Jumat, 23 September 2016

TAFSIR HADITS AHKAM TENTANG MASA IDDAH

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN MASA‘IDDAH

Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة) yang bermakna perhitungan.[1] Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah. Atau hitungan dari haid atau suci, atau hitungan bulan.[2]
Secara istilah , “Iddah” berarti sejumlah waktu ( hari ) untuk menunggu bagi perempuan dan tidak boleh untuk menikah setelah wafat suaminya atau berpisah denganya.[3] Dikalangan para ulama fiqh terdapat banyak pendapat dalam memberikan pengertian iddah. Menurut ulama Hanafiah, iddah berarti saat-saat tertentu menurut syara’ untuk menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan perkawinan. dengan kata lain saat menunggu bagi wanita ketika berpalingnya perkawinan atau yang serupa. Sedangkan menurut ulama jumhur, Iddah berarti saat menunggu bagi perempuan (istri) untuk mengetahui kekosongan rahimnya, atau untuk beribadah, atau keadaan bersedih-berduka cita terhadap perkawinanya, yang berakhir. Hukum menunggu bagi bekas istri yang telah dicerai oleh  suaminya atau suaminya meninggal dunia itu  adalah wajib dan lama waktunya ditetapkan oleh agama sesuai dengan keadaan bekas suami yang mencerai atau bekas istri yang dicerai.[4]
            Ada yang menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami [5]

HIKMAH 'IDDAH[6]

Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa ‘iddah, diantaranya:

1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.
2.   Syariat Islam telah mensyariatkan masa 'iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.
3. Masa 'iddah disyari'atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan.
4. Masa 'iddah disyari'atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
5. Masa 'iddah disyari'atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil


DASAR PENSYARIATANNYA.

Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah. [5]


Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :


وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' [al-Baqarah/2:228]



HADITS-HADITS TENTANG BILANGAN IDDAH

HADITS KE-904
 TENTANG IDDAH WANITA YANG DITINGGAL MATI SUAMINYA 

عَنْ اَلْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ, فَجَاءَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ, فَأَذِنَ لَهَا, فَنَكَحَتْ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ  وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ  وَفِي لَفْظٍ: ( أَنَّهَا وَضَعَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِأَرْبَعِينَ لَيْلَةً  وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, قَالَ اَلزُّهْرِيُّ: ( وَلَا أَرَى بَأْسًا أَنْ تَزَوَّجَ وَهِيَ فِي دَمِهَا, غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَقْرَبُهَا زَوْجُهَا حتَّى تَطْهُرَ 
Dari al-Miswar Ibnu Makhramah bahwa Subai'ah al-Aslamiyyah Radliyallaahu 'anhu melahirkan anak setelah kematian suaminya beberapa malam. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminta izin untuk menikah. Beliau mengizinkannya, kemudian ia nikah. Riwayat Bukhari dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim. Dalam suatu lafadz: Dia melahirkan setelah empat puluh malam sejak kematian suaminya. Dalam suatu lafadz riwayat Muslim bahwa Zuhry berkata: Aku berpendapat tidak apa-apa seorang laki-laki menikahinya meskipun darah nifasnya masih keluar, hanya saja suaminya tidak boleh menyentuhnya sebelum ia suci.
·         Kajian sanad hadits
            Miswar bin Makhramah
            Nama lengkap beliau adalah Miswar bin Makhramah bin Naufal bin Uhaib bin abdu manaf bin Zahrah bin kilab al-Qurasyi, Abu Abdur Rahman az-Zuhri. Ibunya bernama Syifa` binti Auf. Menurut Umar bi ali beliau lahir pada tanggal 2 hijriah di makkah dan wafat pada tanggal 64 H. beliau termasuk sahabat Nabi. Diantara Guru beliau adalah: Rasulullah SAW, Abdullah bin Abbas, Abdur Rahman bin Auf (paman dari ibu beliau), Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib.[7]
            Urwah bin Zubair
            Nama lengkap beliau adalah Urwah bin Zubair bin Awam bin bin Khuwailid al-Quarasyi al-Asadi, Abu Abdullah al-Madani. Beliau lahir di akhir kekholafahan Umar bin Khattab pada tahun 23 H dan wafatnya menurut Ibn Abi Khaitsamah pada tahun 94/ 95 H. beliau hidup dimasa tengah-tengah tabi`in. menurut Ibn Hajr beliau adalah tsiqah. Diantara guru beliau adalah Miswar bin mukharramah, Amr bin ash, Qhais bin Said bin ibadah, Muhammad bin Musalamah al-Anshari, Marwan bin Hakim.[8]
            Hisyam bin Urwah
            Nama lengkap beliau adalah Hisyam bin Urwah bin Zubair bin Awam al-Qurasyi al-Asady, Abu Mundzir, dan ada yang mengatakan Abu `Abdullah al-Madani. Menurut Kharbi dan dikuatkan oleh Anu Naim dan yang lainnya sunnah al-khamsah, menurut Ibn Said dan ajali beliau adalah tsiqah dan menurut Ibn Hatim tsiqah, Imam di dalam hadits.[9] Diantara guru beliau adalah Urwah bin zubair, umar bin Abdullah bin Umar bin Khattab, Umar bin Khuzaimah, Umar bin Suaib, Umar bin Haris bin Tufail.
            Malik bin Anas
            Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin abi Amir bin Amr as-Subhi humairi, Abu Abudullah al-Madani al-Faqih. Beliau lahir pada tahun 93 H. dan wafat pada tahun 179 H. menurut Ibn Hajar beliau adalah إمام دار الهجرة, رأس المتقنين, وكبير المتسبتين sehingga menurut imam bukhari hadits yang diriwayatkan oleh bin Anas bin Malik bin abi Amir adalah semuah sanadnya shohih. Diantara guru beliau adalah Hisyam bin Urwah, pamannya Abi Sahil Nafi` bin Malik, Nafi` Maula Ibn Umar.
            Yahya bin Quza`ah
            Nama lengkap beliau adalah Yahya Quza`ah Qurasyi, al-Hajazi al-Makki, Muaddhin, meriwayatkan darinya Imam Bukhari, menurut Ibn Hajar beliau adalah maqbul sedang menurut dhahabi adalah tsiqah. Diriwayatkan darinya oleh Imam bukhari, Ahmad di Sholih aal-Misri, Ibrahim bin Mundzir al-Hizami, Muhammad bin Muslim ibn Warati, Dhahili, Abu Yahya bin Abi Maisarah al-Makki, dan menurut Ibn Hibban beliau adalah tsiqah.[10]
            Diantara guru beliau adalah Abdurrahman bin Abi Rijal, Umat bin Abi Aisyah al-Madani, Malik bin Anas, Mughirah bin Abdurrahman al-Hazami.
·         Syarah Hadits
As-Shon’anii menjelaskan dalam kitabnya Subulus al-Salam  bahwa setelah ditinggal mati oleh suaminya yaitu sa’id bin khawlah yang meninggal di Mekah setelah melaksanakan haji wada’ dalam beberapa malam (banyak perselisihan mengenai jumlah malam ketika itu), kemudian Subai’ah datang kepada Nabi untuk meminta izin menikah lagi, Nabi pun mengizinkanya lalu ia  menikah. H. R. Bukhori sedangkan aslinya terdapat dalam Shahihain dan lafadnya milik Bukhari.[11]

Keterangan lain menyebutkan yang dimaksud dengan suaminya adalah Sa’id bin Khawlah al-‘Amiri dari bani ‘Amir bin Luayy dan sebab kematianya karena dibunuh ketika haji wada’ akan tetapi penyebab kematian ini riwayatnya syadz.[12]

Hadits tentang Subaiah menurut Ibn Mas’ud halal baginya menikah lagi setelah melahirkan, karena sesungguhnya ia sudah dihukumi halal untuk menikah ketika melahirkan yang masih berbentuk ‘alaqoh (segumpal darah) dan seterusnya (Mudghah) sekiranya ia mengetahui bahwa ia dalam keadaan hamil. Berbeda dengan Imam Syafi’I dalam salah satu pendapatnya bahwasanya tidak halal baginya sampai melahirkan anak dalam keadaan sempurna.[13]
Hadist ini menunjukkan bahwasanya orang hamil yang ditinggal mati suaminya masa iddahnya habis setelah ia melahirkan walaupun belum sampai empat bulan 10 hari dan boleh melakukan akad nikah setelah itu.[14]

HADITS KE-905
TENTANG IDDAHNYA WANITA YANG HAID, IDDAHNYA 3 X QURU’ (3X HAID/ 3X SUCI)

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( أُمِرَتْ بَرِيرَةُ أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثِ حِيَضٍ. رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ, وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ, لَكِنَّهُ مَعْلُولٌ 
Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Barirah diperintahkan untuk menghitung masa iddah tiga kali haid. Riwayat Ibnu Majah dan para perawinya dapat dipercaya, namun hadits tersebut ma'lul.



HADITS KE-906

وَعَنْ اَلشَّعْبِيِّ, عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ, ( عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم -فِي اَلْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا-: لَيْسَ لَهَا سُكْنَى وَلَا نَفَقَةٌ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Sya'by dari Fathimah Ibnu Qais Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda -tentang perempuan yang ditalak tiga-: "Dia tidak mendapat hak tempat tinggal dan nafkah." Riwayat Muslim.
Biografi  Perawi

Asy-Sya'bi  adalah  Abu  Amr bin Syarahil  bin Abdullah  Asy-Sya'bi Al-Hamdani   Al-Kufi, Tabi'i  yang  utama.  Ibnu  Uyainah  berkata,  "Ibnu Abbas dan Asy-Sya'bi  pad a periode  yang sarna. Suatu ketika Ibnu Umar melewati  temp at Asy-Sya'bi  yang sedang menyampaikan   had its tentang peperangan,   ia berkata,  "Saya menyaksikan   suatu  kaum yang lebih tahu dari  saya tentang  peperangan   itu."  Az-Zuhri  berkata,   "Ulama  itu  ada empat  orang yaitu  Ibnu Al-Musayyib  di Madinah,  Asy-Sya'bi  di Kufah, Hasan  di  Bashrah  dan  Makhul   di  Syam.  Asy-Sya'bi  lahir  pada  masa khalifah  Umar  sebagaimana   dalam  kitab Al-Kasyifkarya   Adz-Dzahabi. Ada yang  mengatakan,   lahir enam  tahun  setelah  kekhalifahan   Utsman dan meninggal  dunia  pada  tahun  204 H pada  usia 62 tahun.


Tafsir  Hadits

Hadits  ini merupakan   dalil bahwa  perempuan   yang ditalak  tiga kali tidak  mendapatkan    hak  tempat  tinggal  dan  nafkah.  Ada  perselisihan


ulama  dalam masalah  ini. Ibnu Abbas, Hasan, Atha', Asy-Sya'bi,  Ahmad dalam  satu riwayatnya,   Al-Qasim,  Imamiyyah,  Ishaq dan pengikutnya, Dawud  dan Ahli hadits  berpendapat   sarna berdasarkan   hadits  ini. Umar bin  Al-Khaththab,   Umar  bin  Abdul  Aziz,  Hanafiyyah,   Ats-Tsauri  dan lainnya  berpendapat   bahwa  ia be
rhak  mendapatkan   nafkah  dan temp at tinggal,   mereka   mendasarkan    ketetapan    mendapatkan    nafkah   pada firman  Allah  Ta'ala, "Maka berikanlah  kepada  mereka  itu najkahnya hingga mereka bersalin:" (QS. Ath- Thalak:  6), tapi  ayat  ini  berkaitan   dengan wanita  hamil.  Sedangkan  ijma' ulama  menetapkan   wanita  yang  ditalak raj'i berhak  menetapkan   nafkah.  Ketetapan  tempat  tinggal  pada  firman Allah  Ta'ala:£Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu." (QS. Ath-Thalak:  6).
Al-Hadi  dan  lainnya  hanya  mewajibkan   nafkah  saja berdasarkan firman  Allah,  "Kepada wanita-wanita yang diceraikan." (QS. AI-Baqarah:241); sebab  ia tetap  bersama   suaminya   karena  tetap  diberikan   nafkahsebagaimana  wanita  yang ditalak  raj'i, namun  tidak wajib mendapatkan temp at tinggal;  karena  firman  Allah,  "di mana kamu bertempat tinggal menurut  kemampuanmu,"  (QS. Ath-Thalak:   6) menunjukkan    bahwa   ia tinggal  bersama  suaminya   berarti  akan  selalu  interaksi.  Hal itu hanya berlaku  bagi wanita  yang  ditalak  raj'i.
Mereka  berkata,   "Hadits   Fatimah   Binti  Qais  ada  'illahnya   yang menyebabkannya  tidak  bisa dijadikan  hujjah,  terangkum   dalam  empat
hal:

Pertama;  Perawinya   seorang  wanita  dan  tidak  didukung   dua  saksi laki-laki yang  meneliti  haditsnya.
Kedua: Riwayat  ini bertentangan   dengan  zhahir  AI-Qur' an.

Ketiga; Keluamya   si wanita  itu dari  rumah  tersebut;  bukan  berarti dia tidak berhak  untuk  mendapatkan   tinggal,  akan tetapi karena ia tidak menjaga  lidah.
Keempat:  Riwayat  ini bertentangan   dengan  riwayat  Ibnu Umar, Jawaban   atas  bantahan    mereka:   walaupun    perawinya    seorang wanita; hal itu tidak menjadi  'illah merubah  status hadits, betapa banyak hadits-hadits   bersumber  dari wanita  sebagaimana  tersebut  dalam kitab- kitab  sejarah  dan  sanad-sanad   shahabat.   Sedangkan   perkataan   Umar:


"Kami tidak akan meninggalkan ketentuan  Rabb kami dalam  Al-Qur' an dan  sunnah  Nabi  kami;  karena  perkataan   seorang  wanita,  sebab  kami tidak  tahu  apakah  dia benar-benar hafal akan hal tersebut  atau  lupa"!" hadits    ini   menunjukkan   keraguan    Umar   terhadap    perawi    wanita tersebut;  karena  Umar  sendiri  menerima   berbagai   riwayat  hadits  dari Aisyah  dan  Hafshah,  keraguan   Umar  terhadap   perawi  tersebut  adalah udzur  beliau  untuk  tidak mengamalkan hadits  itu, akan tetapi keraguan beliau  itu tidak  menjadi  hujjah  bagi yang  lainnya  untuk  mengamalkan hadits  riwayat  ini.
Sedangkan  ungkapan:   hadits  ini bertentangan  dengan   Al Qur' an yaitu  firman  Allah:
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6­/u ( Ÿw  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿw Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºsŒ #\øBr& ÇÊÈ


"Janganlah  kamu  keluarkan  mereka dari rumah  mereka."  (QS. Ath Thalak: 1), tidak benar  karena  antara  hadits  dan firman  Allah ini bisa digabungkan pengamalannya dengan  menafsirkan   hadits    sebagai   pengecualian terhadap  keumuman makna firman Allah. Sedangkan dalil mereka dengan menyebutkan riwayat Umar terdapat pada ungkapan Umar,'sunnah Nabi kami' bukankah   sudah  diketahui   dalam  ilmu  hadits  bahwa   perkataan shahabat   termasuk    sunnah   apalagi   marfu'.   Bantahan   atas  ungkapan ini:  Ahmad   bin  Hanbal   mengingkari   tambahan    'sunnah    Nabi   kami' merupakan perkataan  Umar, lalu Ahmad bin Hanbal bersumpah dan bertanya:  Sebutkan  ayat manakah  yang mewajibkan nafkah  dan tempat tinggal  bagi  wanita  yang  ditalak  tiga kali? Dan  ia berkata,  "Tambahan itu  tidak   benar   berasal   dari  Umar,   demikianlah   yang   disampaikan Ad-Daraquthni. Sedangkan hadits Umar, saya mendengar Rasulullah Shallallahu  Alaihi  wa Sallam bersabda,  "Dia berhak  mendapatkan  tempat tinggal  dan  nafkah."   Hadits  itu dari  riwayat  Ibrahim  An-Nakha'i  dari Umar,  dan  Ibrahim   tidak  mendengar  hadits   ini  dari  Umar:  karena  ia belum dilahirkan  kecuali setelah beberapa  tahun Umar wafat. Sedangkan pendapat   yang  menyebutkan  keluamya   Fatimah  dari rumah  suaminya karena   ia  tidak   bisa  menjaga   lisannya   terhadap    keluarga   suaminya merupakan   alas an  aneh   yang   disimpulkan   dari   hadits   itu.  Karena seandainya  ia  berhak   mendapatkan   tempat  tinggal,   tidak   mungkin Nabi  Shallallahu Alaihi  wa Sallam menggugurkan   hak  tersebut   hanya karena  ia tidak  bisa  menjaga  lisannya;  pastilah   Nabi  Shallallahu Alaihi wa Sallam menasehati  dan  melarangnya  dari  mengucapkan  perkataan yang   bisa   menyakiti  yang   lainnya.   Jelaslah   kelemahan  'illah   yang disampaikan  untuk   menolak  hadits  tersebut.   Maka  yang  paling  tepat adalah   sebagaimana  makna   dalam   hadits   tersebut.   Ibnu  Al-Qayyim Rahimahullah  sudah   membahasnya  dalam   kitab  AI-Hadyu  An-Nabawi mendukung  hadits  riwayat  Fatimah  ini.


HADITS KE-907

وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا تَحِدَّ اِمْرَأَةٌ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا, وَلَا تَلْبَسْ ثَوْبًا مَصْبُوغًا, إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ, وَلَا تَكْتَحِلْ, وَلَا تَمَسَّ طِيبًا, إِلَّا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ. )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ,  وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ  وَلِأَبِي دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيِّ مِنْ اَلزِّيَادَةِ: ( وَلَا تَخْتَضِبْ ) وَلِلنَّسَائِيِّ: وَلَا تَمْتَشِطْ 
Dari Ummu Athiyyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seorang perempuan berkabung atas kematian lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya ia boleh berkabung empat bulan sepuluh hari, ia tidak boleh berpakaian warna-wanri kecuali kain 'ashob, tidak boleh mencelak matanya, tidak menggunakan wangi-wangian, kecuali jika telah suci, dia boleh menggunakan sedikit sund dan adhfar (dua macam wewangian yang biasa digunakan perempuan untuk membersihkan bekas haidnya)." Muttafaq Alaihi dan lafadhnya menurut Muslim. Menurut riwayat Abu Dawud dan Nasa'i ada tambahan: "Tidak boleh menggunakan pacar." Menurut riwayat Nasa'i: "Dan tidak menyisir."

Biografi Perawi

Ummi  Athiyyah  nama  aslinya  Nusaibah,  seorang  Shahabiyyah   dan riwayat-riwayat   haditsnya  terdapat  pada  kitab-kitab  hadits.


Penjelasan  Kalimat

I Ashab adalah  selimut  dari Yaman yang dibuat  dengan  cara dipintal lalu  diwarnai    dan  ditenun.   Qusth  dan  Azhjar  adalah   sejenis  wangi- wangian   yang  berupa   asap,  keduanya    bias a  digunakan    perempuan untuk   membersihkan    bekas  haid  perempuan    dengan   maksud   untuk menghilangkan   bau  tidak  sedap,  bukan  untuk  wangi-wangian.


Tafsir Hadits

Hadits  ini mempunyai   beberapa  hal penting:

Pertama: masa berkabung   seorang  wanita  atas kematian  bapak  atau saudara   lainnya  hanya  tiga  hari,  jika lebih  dari  itu hukumnya   haram. Jika  suami  yang  meninggal,   masa  berkabung   dibatasi   sarnpai  empat bulan  sepuluh  hari.  Abu Dawud  meriwayatkan    dalam  kitab Al-Marasil dari  hadits  Amr  bin  Syu'aib,  bahwa   Nabi  Shallallahu Alaihi wa Sallam mendispenisasi   masa seorang wanita   berkabung  atas kematian  bapaknya sampai   tujuh  hari,  dan  yang  lainnya  hanya   tiga  hari.""!   Seandainya hadits   ini shahih;   maka   menjadi   pengecualian    keumuman    larangan tersebut   sebagaimana   hadits   riwayat   Ummi  Athiyyah   yaitu  terhadap bapak.  Akan  tetapi  hadits  itu mursal dan tidak  bisa menjadi  pengecuali terhadap   larangan  tersebut.
Kedua: ungkapan   'perempuan' menunjukkan   bahwa  anak yang masih kecil tidak termasuk  dalam pengertian  ini; maka ia tidak wajib berkabung atas  kematian   suaminya   (karena   masih   kedl)   tapi  boleh  berkabung atas  lainnya   lebih  dari  tiga  hari,  inilah  yang  menjadi   pendapat    AI- Hanafiyyah   dan  diikuti  Al-Hadi,  Jumhur  ulama  berpendapat   bahwa  ia termasuk  dalam  larangan  hadits,  dan lafazh 'perempuan'   juga dipahami maknanya   secara umum,  bagi si wali agar melarangnya   untuk  memakai
wangi-wangian   atau lainnya;  karena  iddah  itu wajib berlaku  bagi yang dewasa  maupun   kecil dan belum  boleh untuk dilamar.
Ketiga: ungkapan:  'ierhadap mauit' merupakan  dalil yang menunjukkan bahwa  wanita  yang  ditalak  tidak  berkabung   atas kematian   suaminya, akan tetapi kalau talak raj'i; maka ia harus  berkabung  berdasarkan   ijma' ulama,  tapi kalau talak ba'in,  maka tidak wajib untuk  berkabung.   Inilah pendapat   Al-Hadi,  Asy-Syafi'i,  Malik dan  salah  satu pendapat   Ahmad berdasarkan   lafazh  zhahir  hadits:  'terhadap mayit' berdasarkan   mafhum hadits,   sebab  didukung    dari  hikmah   disyariatkan    mas a  berkabung guna  memutuskan   hal-hal  yang membangkitkan    keinginan  melakukan hubungan   suami-isteri,  ini berlaku  bagi wanita  yang ditalak  ba'in karena ada udzur  yang menghalangi  untukkembali   lagi kepada  suaminya.  Akan tetapi wanita yang ditalak ba' in, boleh kembali lagi kepada  suami, namun dengan  akad baru; jika belum  ditalak  tiga kali, Sedangkan  Ali, Zaid bin Ali, Abu  Hanifah  dan  pengikutnya   mewajibkan   masa  berkabung   bagi wanita  yang  sudah  ditalak  ba'in  oleh  suaminya;   diqiyaskan   terhadap wanita   yang   ditinggal   mati   suaminya,   karena   kedua-duanya     wajib untuk  iddah  walaupun   sebabnya  berbeda,  dan juga masa iddah  adalah masa diharamkan   untuk  menikah,  berarti  segala sesuatu  yang menjurus terjadinya  pernikahan  juga diharamkan.  Namun  pendapatyang    pertama lebih tepat  sesuai  dengan  hadits.
Keempat:  teks   hadits    itu   tidak   mewajibkan    untuk    berkabung, melainkan  boleh  bagi isteri untuk  berkabung   atas kematian   suaminya. Mayoritas  ulama  berpendapat   wajib bagi isteri berkabung   berdasarkan hadits   yang  diriwayatkan    Abu  Dawud   dari  Ummi  Salamah  berkata, "Rasulullah   Shallallahu Alaihi wa Sallam bertakziyah   kepadaku   ketika Abu  Salamah   (suami   Ummi   Salamah)   meninggal   dunia   sedangkan saya  memakai jadam  di mataku   ... " Hadits  ini akan  disebutkan   pada pembahasan   yang  akan datang.  Hadits  tersebut  diriwayatkan   juga oleh An-Nasa'i,  danIbnuKatsir   berkomentar:  Dalam sanadnya  ada perawinya yang  gharib, lalu  menambahkan:    akan  tetapi  hadits   itu  diriwayatkan Asy-Syafi'i  dari  Malik  bahwa  ia mendapatkan    hadits  ini  dari  Ummu Salamah  lalu menyebutkannya.    Hal ini memperkuat   kedudukan   hadits serta menunjukkan   bahwa  hadits  ini jelas sumbernya.   Dan berdasarkan juga pada hadits yang diriwayatkan   Ahmad,  Abu Dawud  dan An-N asa'i

bahwa  Rasulullah  Shallallahu  Alaihi wa Sallam bersabda,







"Istri yang ditinggal mati suaminya, tidak boleh memakai  pakaian  bahan dasar (corak) warna kuning, merah (yang dapat mengundang perhatian),  perhiasan, dan juga tidak boleh menggunakan pacar dan celak. "112
AI-Hafizh   Ibnu   Katsir   berkomentar:   Silsilah   sanad   perawinya  jayyid (bagus).  Akan  tetapi  had its itu diriwayatkan  AI-Baihaqi  dengan mauquf'
AI-Hasan   dan  Asy-Sya'bi   berpendapat    bahwa   perempuan    yang ditalak   tiga  kali  dan  yang  ditinggal   mati  suaminya   boleh  memakai celak, merapikan   rambut,  memakai  wangi-wangian,  keluar  rumah  dan berbuat semaunya; berdasarkan  hadits yang diriwayatkan Ahmad dan dishahihkan   Ibnu  Hibban  yaitu  hadits  Asma'  binti  Umais,  ia berkata, "Rasulullah  Shallallahu  Alaihi wa Sallam bertakziyah  kepadaku  pada hari ke tiga  atas  kematian  Ja'far  bin  Abu  Thalib,  lalu bersabda,   "Janganlah kamu berkabung setelah hari ini,"  teks  hadits   ini  menurut   redaksi   dari Ahmad 114,  dan masih ada beberapa  lafazh hadits  lainnya,  tapi semuanya menunjukkan  perintah   Nabi  Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk   tidak berkabung   setelah  tiga hari.
Hadits  ini menjadi  nasikh (penghapus   hukumnya)   terhadap   hadits Ummu  Salamah  untuk  menentukan   masa berkabung;   karena  kematian Abu  Salamah  lebih dahulu  dari  pada  kematian  Ja'far.  Menanggapi   hal ini, jumhur   ulama   memberikan   tujuh  jawaban   sebagai  alasan  untuk menolak   hadits   Asma',   kesemuanya    diada-adakan   dan   tidak   perlu disebutkan.
Kelima: terdapat   pada:   "Empat bulan sepuluh hari", ada  yang  ber- pendapat:   hikmah   dari  penentuan   masa  berkabung   itu;  karena  bakal janin akan sempuma   penciptaannya  dan ditiupkan   ruh setelah  120 hari
(empat  bulan)  yaitu  lebih dari empat  bulan,  lalu dihitung   berdasarkan bulan  hijriyah  untuk  kehati-hatian  ketika hendak  melangsungkan  akad nikah, dan lafazh angka sepuluh  dengan  mu' annats i'tibar  dengan  lafazh malam,  menurut  jumhur  ulama  dengan  siangnya  juga; maka tidak boleh menikah  kecuali  pada  malam  ke sebelasnya.
Keenam: Teks hadits:   "Tidak boleh berpakaian  warna-warni" merupa- kan    larangan     untuk    berpakaian     dengan    warna    apapun     kecuali yang  dibolehkan   dalam  hadits.   Ibnu  Abdil  Bar berkata,   Ijma'  ulama menetapkan   tidak boleh bagi wanita  yang berkabung   memakai  pakaian warna   kuning   dan  warna-warna   lainnya   kecuali  warna   hitam.  Malik dan  Asy-Syafi'i   membolehkan  memakai   warna   hitam   karena   untuk dipakai  bukan  untuk  berhias;  bahkan  termasuk   pakaian   duka.  Ulama berbeda  pendapat   tentang  sutera,  pengikut  Asy-Syafi'i  dalam  pendapat yang  lebih shahih  melarang   dengan  mutlak  memakai  sutera  baik yang berwarna   maupun   tidak.  Mereka  berkata,   "Karena  sutera  dibolehkan secara  khusus  bagi  perempuan   untuk  berhias,  sedangkan   wanita  yang berkabung   diharamkan   untuk  berhias."
Ibnu Hazm berkata, "Dia hanya dilarang memakai pakaian yang berwarna-warni  saja, dan  boleh  memakai  pakaian  apa  saja baik  sutera putih atau kuning selama tidak berwarna-warni. Dibolehkan juga memakai pakaian berhiaskan emas atau semua hiasan dari emas, perak dan mutiara." Itulah yang dipahami  Ibnu Hazm terhadap  hadits Ummi Athiyyah.
Sedangkan    hadits   Ummi   Salamah   yang   menyebutkan   larangan memakai   pakaian   warna   kuning,   merah   (yang   dapat   mengundang perhatian)  dan juga perhiasan.lbnu   Hazm berkomentar: haditsnya  tidak shahih;  karena   dari  riwayat   Ibrahim   bin  Thahhan,   namun   pendapat itu   dibantah;    karena    para   pakar   hadits    menetapkan     ia  termasuk perawi   tsiqah   dan   haditsnya    benar-benar    dari   Rasulullah,    bahkan ditetapkan   bahwa  hadits  tersebut  shahih,  dan kebanyakan   Imam hadits menshahihkan   hadits   itu  seperti  Ibnu  Al-Mubarak,  Ahmad   dan  Abu Hatim.   Sedangkan    Ibnu   Hazm   memahami    berdasarkan    zhahir   teks hadits,  sebagian  Imam lagi berdasarkan   alasan yang tepat dari teks nash- yaitu  yang  mengharamkan   perhiasan   secara  mutlak-:   maka  menurut mereka   walaupun    terbuat   dari  bahan   Yaman,  tetapi   ada  hiasannya, maka tetap  dilarang,  dan mengecualikan hadits  tersebut  dengan  makna larangan  yang tepat. Tafsir makna  lafazh  'Ashab sudah  dijelaskan  dalam kitab An-Nihayah, dan ulama-ulama   mempunyai   penafsiran  lain tentang lafazh  'Ashab.
Ketujuh: sabda  Nabi:  "Jangan mencelak mata" adalah  dalil yang mela rang memakai  celak, inilah  pendapat   jumhur  ulama.
Ibnu  Hazm  berkata,  "Tidak  boleh  mencelak  matanya   walaupun   ia tidak mempunyai  mata, baik di waktu siang ataupun  malam" berdasarkan hadits bab ini dan hadits  Ummi Salamah yang disepakati  keshahihannya yang  menyebutkan    bahwa   ada  seorang   wanita   yang  ditinggal   mati suaminya,   lalu  sanak  kerabatnya   mengkhawatirkan     keadaan   matanya kemudian   datang  meminta  izin kepada  Nabi Shallallahu  Alaihi wa Sallam memakai  celak (sebagai  obat matanya),  Nabi Shallallahu  Alaihi wa Sallam tidak mengizinkan   bahkan  bersabda,  "Tidak"  diulangi  sampai  dua atau tiga kali. 115
Jumhur   ulama,   di   antara   Malik,  Ahmad,   Abu   Hanifah   beserta pengikutnya   membolehkan   memakai  celak  untuk  berobat  berdasarkan hadits  Ummi  Salamah  yang  diriwayatkan   Abu  Dawud-" menyebutkan tentang celak untuk berobat mata (menajamkan penglihatan  dan menyejuk- kannya),  ketika  ada  seorang  wanita  yang  ditinggal  mati suaminya  ingin memakainyakarenamengeluhsakitdimatanya.        UmmiSalamahmenjawab: Tidak boleh  memakai  celak kecuali  dalam  keadaan  dharurat   (terpaksa), maka boleh dipakai  di malam hari, namun  dihapus  ketika siang hari.
Kemudian   Ummu   Salamah   melanjutkan:   Rasulullah   bertakziyah, ketika  Abu  Salamah   (suaminya)   meninggal   dunia,  lalu  menyebutkan hadits  tentang  jadam.
Ibnu Abdil Bar berkata, "Inilah pendapat  saya, walaupun  bertentangan dengan  hadits  lain yang melarang  penggunaan   celak sekalipun  matanya sakit, hanya  saja kedua hal yang bertentangan   tersebut  bisa digabungkan berdasarkan   keadaannya   masing-masing   yaitu Nabi Shallallahu  Alaihi wa Sallam melarang  karena  melihat  kondisinya  tidak begitu parah  dan tidak membahayakan,    dan  dibolehkan   pada  malam  hari  untuk  menghindari fitnah  tersebut."
Pendapatku:   sudah  maklum  bahwa  £atwa Ummi Salamah yang mengqiyaskan   jadam  dengan  celak, menggunakan   qiyas dengan  adanya nash  dan  larangan   dalam  beberapa   hadits;  tidak  bisa  dijadikan   dasar hukum  menurut  yang  mewajibkan  berkabung.

وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( جَعَلْتُ عَلَى عَيْنِي صَبْرًا, بَعْدَ أَنْ تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّهُ يَشِبُ اَلْوَجْهَ, فَلَا تَجْعَلِيهِ إِلَّا بِاللَّيْلِ, وَانْزِعِيهِ بِالنَّهَارِ, وَلَا تَمْتَشِطِي بِالطِّيبِ, وَلَا بِالْحِنَّاءِ, فَإِنَّهُ خِضَابٌ قُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ أَمْتَشِطُ? قَالَ: بِالسِّدْرِ )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ 
Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku menggunakan jadam di mataku setelah kematian Abu Salamah. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Jadam) itu mempercantik wajah, maka janganlah memakainya kecuali pada malam hari dan hapuslah pada siang hari, jangan menyisir dengan minyak atau dengan pacar rambut, karena yang demikian itu termasuk celupan (semiran). Aku bertanya: Dengan apa aku menyisir?. Beliau bersabda: "Dengan bidara." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Sanadnya hasan.

وَعَنْهَا; ( أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اِبْنَتِي مَاتَ عَنْهَا زَوْجُهَا, وَقَدْ اِشْتَكَتْ عَيْنَهَا, أَفَنَكْحُلُهَا? قَالَ: لَا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan bertanya: Wahai Rasulullah, anak perempuanku telah ditinggal mati suaminya, dan matanya telah benar-benar sakit. Bolehkah kami memberinya celak?. Beliau bersabda: "Tidak." Muttafaq Alaihi.

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( طُلِّقَتْ خَالَتِي, فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ, فَأَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: بَلْ جُدِّي نَخْلَكِ, فَإِنَّكَ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي, أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Saudara perempuan ibuku telah cerai dan ia ingin memotong pohon kurmanya, namun ada seseorang melarangnya keluar rumah. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Boleh, potonglah kurmamu, sebab engkau mungkin bisa bersedekah atau berbuat kebaikan (dengan kurma itu). Riwayat Muslim

وَعَنْ فُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ; ( أَنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ فَقَتَلُوهُ. قَالَتْ: فَسَأَلْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي; فَإِنَّ زَوْجِي لَمْ يَتْرُكْ لِي مَسْكَنًا يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةً, فَقَالَ: نَعَمْ فَلَمَّا كُنْتُ فِي اَلْحُجْرَةِ نَادَانِي, فَقَالَ:  اُمْكُثِي فِي بَيْتِكَ حَتَّى يَبْلُغَ اَلْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ: فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا, قَالَتْ: فَقَضَى بِهِ بَعْدَ ذَلِكَ عُثْمَانُ ) أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, والذُّهْلِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ وَغَيْرُهُمْ 
Dari Furai'ah Binti Malik bahwa suaminya keluar untuk mencari budak-budak miliknya, lalu mereka membunuhnya. Kemudian aku meminta kepada Rasululah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam agar aku boleh pulang ke keluargaku, sebab suamiku tidak meninggalkan rumah miliknya dan nafkah untukku. Beliau bersabda: "Ya." Ketika aku sedang berada di dalam kamar, beliau memanggilku dan bersabda: "Tinggallah di rumahku hingga masa iddah." Ia berkata: Aku beriddah di dalam rumah selama empat bulan sepuluh hari. Ia berkata: Setelah itu Utsman juga menetapkan seperti itu. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Duhaly, Ibnu Hibban, Hakim dan lain-lain.

وَعَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ زَوْجِي طَلَّقَنِي ثَلَاثًا, وَأَخَافُ أَنْ يُقْتَحَمَ عَلَيَّ, قَالَ: فَأَمَرَهَا, فَتَحَوَّلَتْ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Fathimah Binti Qais berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, suamiku telah mentalakku dengan tiga talak, aku takut ada orang mendatangiku. Maka beliau menyuruhnya pindah dan ia kemudian pindah. Riwayat Muslim

وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: ( لَا تُلْبِسُوا عَلَيْنَا سُنَّةَ نَبِيِّنَا, عِدَّةُ أُمِّ اَلْوَلَدِ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا سَيِّدُهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, وَأَعَلَّهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِالِانْقِطَاعِ. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( إِنَّمَا اَلْأَقْرَاءُ; اَلْأَطْهَارُ ) أَخْرَجَهُ مَالِكٌ فِي قِصَّةٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ
Amar Ibnul al-'Ash Radliyallaahu 'anhu berkata: Janganlah engkau campur-baurkan sunnah Nabi pada kita. Masa iddah Ummul Walad (budak perempuan yang memperoleh anak dari majikannya) jika ditinggal mati suaminya ialah empat bulan sepuluh hari. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim dan Daruquthni menilainya munqothi'. 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: (Arti) quru' itu tidak lain adalah suci. Riwayat Malik dalam suatu kisah dengan sanad shahih.

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( طَلَاقُ اَلْأَمَةِ تَطْلِيقَتَانِ, وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ )  رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَأَخْرَجَهُ مَرْفُوعًا وَضَعَّفَهُ
وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ مَاجَهْ: مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, وَخَالَفُوهُ, فَاتَّفَقُوا عَلَى ضَعْفِهِ 
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Talak budak perempuan ialah dua kali dan masa iddahnya dua kali haid. Riwayat Daruquthni dengan marfu' dan iapun menilainya dha'if.
Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan dari hadits 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu dan dinilainya shahih oleh Hakim. Namun para ahli hadits menentangnya dan mereka sepakat bahwa ia hadits dha'if

وَعَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ اَلْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَحَسَّنَهُ اَلْبَزَّارُ. وَعَنْ عُمَرَ رضي الله عنه - ( فِي اِمْرَأَةِ اَلْمَفْقُودِ- تَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ, ثُمَّ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ) أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, وَالشَّافِعِيُّ 
Dari Ruwaifi' Ibnu Tsabit Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain." Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan hasan menurut al-Bazzar. Dari Umar Radliyallaahu 'anhu tentang seorang istri yang ditinggal suaminya tanpa berita: Ia menunggu empat tahun dan menghitung iddahnya empat bulan sepuluh hari. Riwayat Malik dan Syafi'i.

وَعَنْ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اِمْرَأَةُ اَلْمَفْقُودِ اِمْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْتِيَهَا اَلْبَيَانُ )  أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ 
Dari al-Mughirah Ibnu Syu'bah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Istri yang ditinggal suaminya tanpa berita tetap menjadi istrinya (suami yang pergi itu) hingga datang kepadanya berita." Dikeluarkan Daruquthni dengan sanad lemah.

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ اِمْرَأَةٍ, إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا, أَوْ ذَا مَحْرَمٍ )  أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ 
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah sekali-kai seorang laki-laki bermalam di rumah seorang perempuan kecuali ia kawin atau sebagai mahram." Riwayat Muslim

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ, إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ )  أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyepi bersama seorang perempuan kecuali bersama mahramnya." Riwayat Bukhari.


HADITS KE-919

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي سَبَايَا أَوْطَاسٍ: ( لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ, وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ 
وَلَهُ شَاهِدٌ: عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ فِي اَلدَّارَقُطْنِيِّ 
Dari Abu Said Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang tawanan wanita Authas: "Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya sekali." Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim.
Ada hadits saksi riwayat Daruquthni dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ, وَلِلْعَاهِرِ اَلْحَجَرُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مِنْ حَدِيثِهِ 
وَمِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي قِصَّة وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ, عِنْدَ النَّسَائِيِّ وَعَنْ عُثْمَانَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Anak itu milik tempat tidur (suami) dan bagi yang berzina dirajam." Muttafaq Alaihi dari haditsnya.
Dan dari hadits 'Aisyah tentang suatu kisah dari Ibnu Mas'ud dalam riwayat Nasa'i dan dari Utsman pada riwayat Abu Dawud




[1]    Lihat Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304)
[2]   Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuh, (Damsyiq : Dar al Fikr, 1989), Cet. 3, jilid VII : 624.
[3]   Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Semarang: Toha Putra, t.t.) jilid II : 227.
[4] .Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 229.
[5]   Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304
[6]
[7] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz 8, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 177
[8] Ibid, hal. 548

[9] Ibid, hal.57
[10] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz 9, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 83
[11] Muhamad bin Ismail as-Shon’anii, Subulus al-Salam, Jilid 3, (Bairut : Darul al-fikr, 2006), h. 203
[12] Muhamad bin ‘Ali as-Tsaukani, Nailul al-Authar, Jilid 4, (Bairut: Darul al-Fikr, 2000) h.82 
[13] Muhammad bin Khalifah al-Wastani al-Ubai, Ikmalu Ikmal al-Mu’allim, Jilid 5, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah Libanon, 2008), h. 238
[14] Muhamad bin Ismail as-Shon’anii, Subulus al-Salam, Jilid 3. h. 203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...