Jumat, 23 September 2016

KEBANGKITAN HUKUM ISLAM

MASA KEBANGKITAN KEMBALI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DAN FIQH KAUM PEMBAHARU

A.    Pendahuluan
Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.
Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya. Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yng kembali kepada kemurnian ajaran islam.[1][1] Tanda-tanda kemajuan :
1.      Di bidang perundang-undangan
Periode ini dimulai dengan berlakunya Majalah al Ahkam al Adliyah yaitu Kitab Undang-undang Hukum perdata Islam pemerintahan Turki Usmani pada Tahun 1876 M.
2.      Di bidang pendidikan
Diperguruan-perguruan agama islam di Mesir, Pakistan, maupun di Indonesia dalam cara menpelajari fiqh tidak hanya dipelajari tertentu, tetapi juga dipelajari secara perbandingan, bahkan juga dipelajari hukum adat dan juga sistem hukum eropa.Dengan demikian diharapkan wawasan pemikiran dalam hukum dan mendekatkan pada hukum islam dan hukum yang selama ini berlaku.
B.     Fiqh Kaum Pembaharu
Ketika Islam memasuki periode perkembangan peradaban yang ditengarai makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, di sana-sini terjadi akulturasi budaya antar bangsa, dan adanya persentuhan agama Islam dengan pengetahuan agama lain, maka ajaran Islam mulai dipahami dan diamalkan dengan semangat rasionalisme seiring dengan tumbuh dan berkembangnya pemikiran Islam.
Muhammad al-Bahy menetapkan tiga pola upaya intelektualisasi ajaran Islam  yang melahirkan pemikiran Islam.  Pertama, usaha menggali dan memahami hukum-hukum agama dari sumbernya baik yang terkait dengan pengaturan  hubungan manusia dengan Tuhan, maupun pengaturan hubungan sesama manusia, termasuk dalam usaha ini adalah mencari solusi hukum Islam bagi permasalahan baru yang belum terjadi pada masa Nabi Muhammad.  Kedua, usaha menyelaraskan prinsip-prinsip ajaran Islam (aspek normativitas) agar tetap aktual dalam setiap zaman.  Ketiga, usaha menggali argumen (rasional religius) untuk mempertahankan  akidah Islam sekaligus menolak paham-paham lain yang bertentangan, menjelaskan posisi Islam secara umum, dan juga menggali faktor-faktor yang dapat menjadi motivasi dalam memberdayakan pemikiran untuk menjaga spirit Islam agar ajarannya tetap eksis dan utuh.
Atas dasar kenyataan di atas, Ahmad Amin mendiskripkan adanya tiga pola dan metode yang dilakukan umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.  Pertama, kaum tektualis-literalis yang berusaha memahami agama atas dasar teks al-Qur’an dan Hadis secara ketat.  Kedua,  kaum rasionalis yang berusaha memahami ajaran Islam dengan pendekatan dan kekuatan akal untuk menyingkap ajaran Islam secara kontekstual.  Ketiga, kaum intuitif yang berusaha memahami ajaran Islam lewat pendekatan  kashf dan ilham dalam rangka mengungkap rahasia agama secara batin.
Sejalan dengan pemikiran di atas, A. Mukti Ali (w. 2004) menyimpulkan bahwa dilihat dari segi pendekatan, terdapat tiga macam pola pendekatan yang dilakukan kaum muslimin dalam memehami ajaran agama Islam yaitu pendekatan  naqly (tradisional), pendekatan  aqly (rasional) dan pendekatan  kashf  (mistis).
Dalam perjalanan sejarah, ajaran Islam mengalami penyimpangan-penyimpangan yang disebabkan oleh kesalahan dalam memahami dan mengamalkannya ataupun adanya penolakan masyarakat untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan  Hadis yang benar, sehingga mendorong munculnya usaha-usaha pemurnian dan pembaharuan pemikiran Islam oleh pembaharu (mujaddid). Demikian itu karena sejak permulaan sejarahnya, Islam telah mempunyai  tradisi pembaharuan (tajdid), sehingga orang Islam segera memberi jawaban dan merespon terhadap apa saja yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam.
Pembaharuan dalam Islam mengandung tiga prinsip yang bersifat sistemik, yaitu;  Pertama,  sesuatu yang diperbaharui telah ada eksistensinya secara faktual.  Kedua,  sesuatu yang diperbaharui telah lama berlangsung atau telah mensejarah. Ketiga, sesuatu yang diperbaharui dikembalikan pada keadaan semula dalam kemurniannya.[2][2] Dengan demikian, dalam konteks pembaharuan Islam yang di dalamnya antara lain tercakup konsep tentang purifikasi ajaran, karena misi pembaharuan (tajdid) yang esensial adalah untuk memurnikan ajaran Islam dan memformulasikan secara permanen validitas dan ketidakberubahan normativitas Islam kendati pada aspek historisitas bersifat dinamis dan responsif, tetapi prinsip di atas terkait pula dengan fungsi pembaharuan dalam Islam yang mengandung tiga fungsi pokok;  Pertama,  al-i’adah yaitu mengembalikn ajaran Islam kepada kondisi kemurnian dan keasliannya.  Kedua,  al-‘ibanah yaitu menyeleksi atau mensahkan ajaran Islam dari segala macam unsur-unsur lain yang telah mengotorinya.  Ketiga, al-ihya’ yaitu mendinamisasikan spiritual ajaran Islam sehingga mampu merespons dengan benar dan tepat, baik terhadap perubahan maupun dinamika kehidupan.[3][3]
Berdasarkan pengertian pembaharuan di atas, upaya-upaya pembaharuan dalam Islam cenderung didasarkan pada keyakinan bahwa telah terjadi berbagai macam anomaly atau penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Islam yang disebabkan oleh kesalahan memahami dan mengamalkan doktrin Islam, karena ajaran untuk  kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktik-praktik dan konvensi-konvensi keberagaman generasi salaf merupakan doktrin pokok kaum pembaharu. Mereka memandang, bahwa era kehidupan Islam dan metode keberagaman masa Nabi dan generasi salaf (minhaj tadayyun al-salaf) adalah cara Islam yang istimewa serta merupakan model keberagaman yang ideal, itulah sebabnya usaha-usaha yang dilakukan kaum pembaharu, meski dalam formulasi yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dihadapi, namun memiliki benang merah kesatuan inspirasi dan arah dan keaslian dengan membersihkan hal-hal yang dipandang bid’ah.
Pembaharuan dan Pengaruhnya
Fungsi pembaharuan Islam adalah untuk menjaga kemurnian ajaran (al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih) dan memotivasi semangat kebebasan  individual untuk menempatkan akal pikiran dengan segala konsekuensinya menjadi semakin tinggi. Hal itu mutlak diperlakukan bagi usaha dinamisasi ajaran Islam agar menjadi fungsional (al-Abu Azam Al Hadi akhdhu bi al-jadid al-aslah), karena hakekat kebebasan untuk memahami ajaran Islam adalah inti dari ijtihad sebagai lawan taqlid yang menjadi agenda kedua para pembaharu.[4][4]
Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M.) dan Muhammad Rashid Ridha (1865-1935 M.), melancarkan usaha pembaharuan dengan jalan memodernisasikan ajaran Islam di Mesir. Beberapa pengikutnya kelak dikenal dengan golongan Salafiyyah. Muhammad Abduh berupaya memodernisasikan ajaran Islam yang asli dengan penyesuaian perkembangan modern, usaha penyesuaian tersebut membutuhkan usaha baru untuk meniscayakan dibukanya pintu ijtihad.
1.      Madzhab Skriptualisme
Mazhab berpikir skriptualisme mempunyai landasan penilaian berdasarkan teks atau wahyu (kitab suci), bahwa hanya dengan wahyu-lah kita bisa memberikan penilaian terhadap sebuah realitas dan dengan wahyu pulalah kita bisa mengatakan bahwa sesuatu itu benar dan salah, tanpa wahyu maka mustahil kita bisa memberikan sebuah penilaian.
Ada beberapa problem dalam mazhab skriptualisme antara lain:
a. Sifat klaim akan selalu muncul terhadap pemahaman  ayat, padahal pemahaman kita terhadap ayat tidak terlepas dari subyektifitas penafsir, sehingga tidak perlu adanya sifat otoritas tafsir dan klaim kebenaran dari penafsiran terhadap kitab tertentu dan klaim kebenaran.
b. Agama yang memiliki kitab suci bukan cuma satu agama tapi banyak agama dan masing orang-orang yang memeluk agama yang berbeda sama-sama mengklaim bahwa merekalah pemilik kebenaran, pertanyaan kemudian, mungkinkah agama-agama itu bila sekiranya mengandung nilai kebenaran akan terjadi hal yang sifatnya kontradiksi, dan kalau memang mereka sama-sama meyakini kebenaran agama mereka dan kitab suci mereka, lalu kenapa mesti terjadi pengkafiran bahkan pembantaian, bahkan dalam sejarah keagamaan di dunia ini telah meninggalkan duka hitam yang sangat besar kepada ummat manusia, karena ratusan juta manusia telah menjadi korban pertikaian dan peperangan antar agama, yang sama-sama mengklaim pewaris kebenaran.
Dari dua problem diatas dan beberapa pertanyaan untuk mazhab skriptualisme, akan mengantarkan kita kepada suatu pemahaman bahwa ayat-ayat dan kitab suci bukanlah landasan penilaian dalam mengambil kesimpulan, akan tetapi Al-Qur’an ditempatkan sebagai data-data yang sifatnya metafisika dimana penelitian yang sifatnya emperikal tidak mampu menelitinya.
2.      Madzhab Liberalisme
Kata liberal berasal dari bahasa asing (Inggris) yang berarti bebas, tidak picik (pikiran).  Kemudian kata liberal[5][5] ini telah menjadi kata baku bahasa Indonesia yang mengandung arti “Pandangan bebas, luas dan terbuka”. Menurut Arkoun, secara terminology mazhab liberalisme adalah aliran hukum yang sangat menekankan penggunaan rasio (akal). Aliran ini tak terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap makna hakikinya, makna ini dianggap sebagai ruh agama Islam, tema umum Islam (maqashid al-syari’ah). Dengan  arti kata bahwa mazhab ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam, seklaigus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Mereka meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dari dalam konteks.
Sejarah munculnya mazhab liberal ini dapat dilacak pada mazhab ahl al-ra’y di kalangan sahabat nabi, dua cara yang dilakukan para sahabat yang melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat-sahabat ‘Alawi dan mazhab ‘Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita sebagai Syiah dan ahl Sunnah. Mazhab fiqh liberalisme sering diidentikkan dengan  rasionalisme yaitu aliran Mutazilah dan Syiah. Dimana mazhab ini lebih menekankan rasio (akal) dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
Aliran ini  tidak terikat dengan bunyi teks, melainkan berusaha menangkap makna hakikinya, maka peranan akal dalam ijtihad sangat dominan. Perbedaannya bahwa rasional dalam fiqh adalah suatu pemikiran yang ada hubungannya dengan nash-nash, namun apabila tidak ada hubungannya maka tidak disebut rasional tetapi liberal.
Akar-Akar Liberalisme Islam
Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut “gerakan kebangkitan” (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai. Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaharu Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa pada satu sisi, dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim pada sisi lain. Karenanya, misi para pembaru Muslim pada –meminjam istilah Albert Hourani— masa-masa liberal (liberal age) itu adalah pembebasan dari cengkeraman penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi ini terus berjalan secara beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika sebagian besar negara-negara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi kedua, proyek pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.[6][6]
Salah satu agenda penting dari misi kedua itu adalah memahami dan menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama (Islam). Apa yang dilakukan tokoh-tokoh awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791) di Jazirah Arab, Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1860) di Aljazair dan Libia, Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873) di Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (1822-1889) di Tunisia, tak lain dari upaya melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi-tradisi Islam serta membangun kembali pemahaman keagamaan kaum Muslim secara benar dan bermakna. Sebagian gagasan rekonstruktif itu mendapatkan respons dari masyarakat Muslim, tapi sebagian lainnya, mengalami tantangan, khususnya dari ulama ortodoks yang dalam hal ini menjadi lawan serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaharu Arab di masa-masa awal kebangkitan meyakini bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân). Islam juga mampu beradaptasi dengan dunia modern, termasuk dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan dalam beberapa hal nilai-nilai Barat. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal. [7][7]
Kiri Abduh
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa gerakan awal-awal kebangkitan Islam mengalami signifikansinya pada figur Muhammad Abduh (1849-1905). Abduh adalah seorang modernis sejati. Kendati dididik secara tradisional dan berguru pada beberapa ulama al-Azhar yang sebagian besar bersikap konservatif, Abduh membuktikan dirinya sebagai seorang intelektual yang terbuka dan progresif. Agaknya, pengaruh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), teman dan gurunya, sangat besar dalam membentuk sisi modernitas Abduh. Lewat al-Afghani lah Abduh mengenal dunia Barat secara langsung (kedua tokoh ini tinggal di Eropa selama kurang-lebih lima tahun), perkenalan yang sangat mempengaruhi sikapnya sebagai intelektual dan tokoh agama.
Abduh sangat pandai bagaimana dia harus bersikap sebagai seorang ‘alim dan sekaligus sebagai seorang intelektual modernis. Selama menjadi Mufti, Abduh mengeluarkan banyak fatwa yang berkaitan dengan persoalan-persoalan modern. Pada satu sisi, Abduh selalu dilihat sebagai seorang tokoh ‘alim, mujtahid, dan penganjur doktrin orisinalitas Islam (al-ashâlah al-islâmiyyah). Pada sisi lain, Abduh juga dianggap sebagai seorang reformis yang toleran, liberal, dan kaya akan gagasan-gagasan modern. Tidak heran kalau murid-murid Abduh kemudian terpecah menjadi dua kelompok besar yang oleh Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, dianalogikan seperti murid-muridnya Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Sama seperti Hegel yang melahirkan dikotomi “kanan” dan “kiri,” menurut Hanafi, murid-murid Abduh juga dapat dikelompokkan berdasarkan katagori ini. Yakni, kelompok Kanan Abduh (Abduh al-Yamînî) yang cenderung mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaannya, dan kelompok Kiri Abduh (Abduh al-Yasârî) yang lebih cenderung mengembangkan gagasan-gagasan modernnya. [8][8]
Di antara murid-murid Abduh yang memiliki kecenderungan “kanan” adalah Muhammad Rashid Ridha (w. 1935) dan Shakib Arslan (w. 1946). Sementara Qasim Amin (w. 1908) dan Ali Abd al-Raziq dianggap sebagai murid-murid Abduh beraliran “kiri.” Kecenderungan “kanan” dan “kiri” dalam aliran (mazhab) Abduh ini dalam perkembangan selanjutnya mengalami radikalisasi yang cukup signifikan. Baik yang “kanan” maupun “kiri” sama-sama mengklaim sebagai penerus Abduh yang paling benar.
Dari ilustrasi di atas, kita bisa melihat bahwa murid-murid Abduh yang beraliran “kiri” semakin hari semakin ke “kiri” dan menjadi radikal, yang mencapai puncaknya pada diri Hassan Hanafi, penggagas “Kiri Islam.” Dalam hal ini, tokoh-tokoh sekuler (‘ilmani) radikal semacam Fuad Zakariya, Zaki Najib Mahmud, dan Adonis (Ahmad Said) juga merupakan perluasan dari aliran “kiri.” Kendati mereka tidak berguru langsung kepada Abduh, tapi penerus kelompok Kiri Abduh, seperti Thaha Hussein, Ahmad Luthfi Sayyid, dan Ismail Mazhar turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka. Begitu juga, kelompok kanan, semakin hari semakin ke “kanan” menjadi “Kanan Islam” atau “Fundamentalis.” Hal ini bisa dilihat dari murid-murid langsung Rashid Ridha, seperti Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb. Gerakan Ikhwan al-Muslimun dan kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya (seperti Hizb al-Tahrir) adalah evolusi panjang dari kelompok kanan Abduh yang secara kental dipengaruhi penafsiran-penafsiran Ridha terhadap Abduh, khususnya gagasan politiknya.
Kemunduran
Di satu sisi, Islam Liberal di kawasan Arab mengalami perkembangan cukup pesat. Murid-murid dan simpatisan Abduh yang berkecenderungan “kiri” semakin menyebar, tak hanya terbatas di kawasan timur (masyrîq) Arab saja, tapi juga meluas hingga ke kawasan barat (maghrib) seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair. Tokoh-tokoh intelektual semacam Mohammed Arkoun, Mohammed Abed Jabiri, Hisham Djait, Burhan Ghaliun, Salim Yafut, dan Abdullah al-‘Urwa (Laroui) adalah pemikir-pemikir terpandang di kawasan ini yang ide-idenya berada dalam track pemikiran Abduh. Begitu juga, isu-isu yang didiskusikan tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan keagamaan, seperti pada masa-masa awal kebangkitan. Tapi juga meluas hingga persoalan-persoalan demokrasi, HAM, gender, sastra, musik, dan iptek.[9][9] Namun di sisi lain, ruang gerak Islam Liberal di dunia Arab sebetulnya semakin mengalami kontraksi. Ia tidak bisa banyak berinteraksi dengan masyarakat secara luas. Bahkan cenderung mengalami konflik yang serius. Kasus-kasus yang menimpa para pemikir Arab ini adalah bukti betapa pemikiran liberal masih menemukan kendala klasik. Yakni, mudah berbenturan dengan otoritas agama dan masyarakat.
KESIMPULAN
1.      Hukum Islam mengalami priode perkembangan-perkembangan yang salah satunya adalah disebut dengan Priode Kebangkitan yang dimulai pada bagian kedua abad ke 19 sampai dengan saat ini, dengan tokoh sentralnya adalah Jalaluddin Al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905). Pikiran-pikiran kedua tokoh ini sangat dipengaruhi oleh Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328).
2.      Ciri utama dari Perkembangan Hukum Islam pada priode ini adalah adanya ajakan untuk mendirikan Pan Islamisme dan melakukan perubahan menyeluruh terhadap dunia Islam khususnya di bidang pendayagunaan akal atas Al-Qurâan dan Sunnah dan sekaligus melepaskan ikatan dari belenggu mazhab. Bermazhab adalah sesuatu yang biasa, akan tetapi kefanatikan yang berlebihan terhadap mazhab adalah sesuatu yang binasa dan membinasakan.
3.      Ciri lain  dari periode kebangkitan ini adalah pendekatan hukum Islam melalui Perbandingan Mazhab baik mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi maupun Hambali ditambah lagi dengan Mazhab Syi’ah. Perbandingan bahkan dilakukan dengan sistem hukum Barat dan hukum-hukum lainnya.
4.      Ciri lainnya ditandai dengan perhatian yang cukup besar dari dunia Eropa dan Barat pada umumnya untuk mempelajari hukum Islam sehingga mereka menjadikan hukum Islam sebagai mata kulliah resmi di Fakultas-Fakultas Hukum.
5.      Ciri berikutnya dari perkembangan hukum Islam ini adalah adanya kecenderungan pada negeri-negeri berpenduduk muslim untuk kembali kepada Hukum Islam seperti yang terlihat di Timur Tengah dan di Asia Tenggara. Kalaupun negaranya tidak negara Islam, akan tetapi hukum yang diterapkan di dalamnya adalah hukum Islam.





[1][1] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, 2005, Jakarta : Prenada Media.
[2][2] Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH., Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 42.
[3][3] Busthani Muhammad Said, Pembaharuan dan Pembaruan dalam Islam, Terj. Mahsun al-Munzir, Ponorogo Gontor: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1992, hlm. 1-3.
[4][4] Syafiq Mughni, Nilai-nilai Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001. Hlm. 10-11.
[5][5] Ensiklopedi Nasional Indonesia menyebut liberalisme sebagai aliran pikiran yang mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang atas dasar kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya sebebas mungkin.
[7][7] Sikap yang menjadi inti dari doktrin Islam Liberal ini juga yang kerap membuat para tokohnya harus berhadapan dengan masyarakat dan penguasa (yang didukung oleh ulama ortodoks). Sebab, penafsiran ulang adalah istilah yang tidak populer bagi mereka, khususnya karena dalam istilah itu terkandung makna perlawanan terhadap kemapanan. Tidak heran jika dalam banyak kasus, tokoh-tokoh Muslim liberal lebih sering menemui hambatan ketimbang sukses.
[8][8] Luthfi Assyaukanie , dalam makalah Wacana Islam Liberal Di Timur Tengah. Makalah ini disampaikan pada diskusi “Wacana Islam Liberal di Timur Tengah” di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001.
[9][9] Liberal Islam: A Source Book. Oxford University Press, 1998. Selain buku Kurzman, buku yang juga secara spesifik berbicara tentang isu ini adalah Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (University of Chicago Press, 1988) karya Lionard Binder.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...