Jumat, 23 September 2016

SENI MEMBACA AL QURAN

SENI BACA AL QUR’AN DALAM BINGKAI SEJARAH
ANTRA PRO DAN KONTRA

  1. Pendahuluan.
            Al Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang selalu dianjurkan untuk dibaca. Ia merupakan bacaan yang mulia yang selalu memberikan ketenangan jiwa bagi yang khusyu’ membaca maupun yang terbiasa  mendengarkannya. Apalagi dibaca dengan menggunakan irama yang  merdu dan indah yang tentunya dapat menambah kesan khusyu’ apabila sesuai dengan konteks ayat yang dibaca. Dalam ajaran Islam sendiri Allah senantiasa memerintahkan ummat Islam untuk selalu menyempatkan diri membaca firmanNya itu sehingga diharapkan ajaran tersebut akan mewarnai aktifitas pribadi maupun sosial.
            Keindahan adalah hal yang selalu melekat dengan al Qur’an.  Keindahan tersebut dapat diidentifikasi melalui goresan tulisan setiap kata dan kalimatnya, keindahan susunan kalimatnya, serta  berbagai hal yang dikandungnya. Seluruh keindahan tersebut merupakan sebuah gambaran betapa indahnya Allah, Zat yang menciptakan al Qur’an. DariNya terpancar keindahan sebagaimana Sabda Rasulullah : ان الله جميل يحب الجمال  . sesungguhnya Allah Maha Indah dan sangat mencintai keindahan.
            Bentuk keindahan lain yang terpancar dari al Qur’an adalah irama bacaan yang selalu mengiringi bacaan demi  bacaan. Keindahan tersebut  terpancar, apabila seorang qari  (orang yang membaca al Qur’an) melantunkan untaian kalimat suci tersebut dengan suara yang merdu dan indah. Keindahan tersebut  akan semakin terpelihara, manakala pola bacaan yang dibawakan tidak melanggar kaidah-kaidah Tajwid  yang telah menjadi pedoman dalam membaca al Qur’an.

            Akan tetapi dalam perkembangannya, irama atau lagu al Qur’an tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama. Sekelompok ulama mengharamkan dan sebagian lainnya menganggap hal tersebut adalah mubah dan boleh dibawakan dalam membaca al Qur’an. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini, penulis mencoba untuk menguraikan kedua pendapat tersebut, sekaligus mencoba untuk menawarkan jalan tengah yang dapat dipilih dalam memberikan panduan bagi orang yang membaca al Qur’an.

  1. Pro dan kontra lagu al Qur’an.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa  seni baca al Qur’an telah eksis dan menjadi  pembahasan di kalangan Ummat Islam sejak turunnya al Qur’an. Hal itu dapat dilihat dari beberapa hadits Nabi maupun komentar para Sahabat berkaitan dengan hal tersebut. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hal tersebut antara laian adalah :
1.زينوا القران باصواتكم , فان الصوت الحسن يزيد القران حسنا.         
             Artinya : hiasilah al Qur’an dengan suaramu, karena sesungguhnya suara yang merdu menambah keindahan al Qur’an.
2.  ليس منا من لم يتغن بالقران.      
            Artinya : tidaklah termasuk bagian dari ummatku orang yang tidak melagukan al Qur’an. [1]
3.  Hadits dari Abu Musa al Asy’ari yang menyatakan : pada suatu ketika Rasulullah berkata, wahai Abu Musa, semalam aku telah mendengar bacaan al Qur’anmu.  Kemudian Abu Musa menjawab. Demi Allah, andaikata aku tahu bahwa engkau mendengar bacaan al Qur’an itu, niscaya aku baguskan lagi bacaan al Qur’anku. Mak Rasul bersabda : sesungguhnya   engkau  telah dianugerahi seruling (suara yang bagus) dari keluarga Nabi Daud AS.
4.
ويقول البراء: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقرأ بمن العشاء: (ولتين والزيتون (3))، فما سمعت أحدا أحسن صوتا أو قراءة منه. [2]
            Dari Al Barra’ mengatakan bahwa aku mendengar Rasul SAW membaca dalam sholat Isya’ surat al Tiin, dan aku belum pernah mendengarkan orang lain lebih bagus suaranya dari Rasulullah.
            Hadits 1, 2 dan 3  di atas menunjukkan betapa Rasulullah menganjurkan kepada ummatnya yang selalu membaca al Qur’an untuk menghiasi bacaan tersebut dengan suara dan irama yang indah, sehingga akan memberikan nilai tambah, baik bagi yang membacanya maupun bagi orang-orang yang mendengarnya. Sedangkan hadits yang keempat dari al Barra’ menjelaskan bahwa Rasulullah sendiri adalah seorang Nabi yang memiliki suara indah ketika membaca ayat-ayat al Qur’an.
            Akibatnya para sahabat maupun tabi’in dan ulama-ulama sesudah mereka menjadi bagian dari orang-orang yang selalu  mengkombinasikan bacaan mereka dengan irama dan suara yang indah. Sehingga muncullah pemuka-pemuka sahabat, tabi’in dan lain sebagainya yang yang dikenal dengan qari’ dan memiliki kelebihan dalam membaca al Qur’an. Di kalangan sahabat dikenal Abdullah bin Mas’un, Abu Musa al Asy’ari, Ubay Bin Ka’ab.[3] Uqbah bin Amir, dan Alqamah bin Qais al Nakha’I, yang bacaan al Qur’annya selalu mendapat pujian dari Abdullah bin Mas’ud. Ibnu Mas’ud pernah berkata kepada Alqamah, jikalau Rasul mendengar engkau  membaca al Qur’an maka Rasul akan senang dengan bacaanmu. [4]Di kalangan Tabi’in antara lain dikenal Umar bin Abdul Aziz yang memiliki suara yang memukau dalam membaca al Qur’an. Sedangkan untuk ulama yang datang sesudah masa tersebut dikenal Imam Hamzah al zayyat, Imam Yahya bin Watsab dan adapula Imam Syafi’I, pendiri mazhab Syafi’I, yang diceritakan apabila membaca al Qur’an membuat menangis orang-orang yang mendengarkannya karena indah dan merdu suara yang dimilikinya.
            Berdasarkan keterangan di atas, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas membolehkan orang membaca al Qur’an menggunakan irama dan suara yang indah. Imam abu Hanifah dan Sahabat-sahabatnya sering mendengarkan bacaan al Qur’an dengan irama.[5] Hal tersebut juga dibolehkan oleh Ibnu Jarir dan Ubaidillah bin abi Bakrah. Bahkan Ibnu Qudamah berpendapat bahwa lebih afdhol membaca al Qur’an dengan suara dan irama yang indah. Karena menurut Ibnu Qudamah Rasul telah memerintahkan kita untuk menghiasi bacaan al Qur’an  dengan suara yang indah.
            Akan tetapi selain dari hadits-hadits yang mendukung dan adanya para ulama yang dikenal dengan keindahan suara yang mereka miliki, terdapat pula hadits-hadits yang bersumber dari Rasulullah yang memaparkan  makruhnya  membaca al Qur’an dengan menggunakan irama. Diantaranya sebuah riwayat yang disampaikan oleh Anas bin Malik, sahabat sekaligus pembantu Rasulullah. Dikatakan bahwa suatu ketika Anas mendengarkan bacaan al Qur’an dengan irama di mana si pembaca mengangkat suaranya dengan irama tertentu. Maka Anas kemudian menutup wajahnya dan wajahnya kemudian berwarna hitam. Anas  kemudian berkata, beginilah, beginilah yang  telah mereka kerjakan. Abu  Hurairah juga mencela hal yang demikian. Bahkan beliau berfikir untuk dijemput maut pada tahun di mana al Qur’an telah dijadikan bacaan yang berirama.[6]
            Sedangkan dalam sunan al Darimi dijelaskan bahwa sebagian sahabat memandang irama tersebut merupakan sesuatu yang baru yang diada-adakan oleh sebagian ummat Islam. Dan hal itu dipandang sebagai perbuatan bid’ah. Sebagaimana diketahui perbuatan bid’ah adalah sangat tercela, karena pelaku-pelakunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan Ibnu Sahnun memandang bahwa membaca al Qur’an dengan berirama adalah sesuatu yan tidak perlu untuk diajarkan kepada murid-muridnya. Karena ia berpatokan kepada pendapat Imam Malik yang menganggap bacaan al Qur’an dengan irama adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan dalam membaca al Qur’an.[7] Bahk menurut riwayat bahwa  al Harits bin Miskin ketika menjabat sebagai Gubernur Mesir pada tahun 237 H, pernah menghukum cambuk orang-orang yang membaca al Qur’an dengan berirama.
            Demikianlah pro dan kontra yang telah lama berlangsung antara dua kelompok yang  membolehkan dan menolak bacaan al Qur’an dengan berirama. Kedua kelompok tentunya  memiliki alasan-alasan tersendiri  yang menurut mereka layak untuk dijadikan sebagai dalil dari pendapat-pendapat tersebut. Akan tetapi menurut penulis, kedua kelompok   memiliki tujuan yang sama yaitu menjadi al Qur’an dari sesuatu yang dapat merusak kalam Ilahi tersebut.
3. Jalan Tengah   Yang Harus Ditempuh
            Sebagaimana  yang telah dipaparkan di atas, bahwa setiap perbedaan pendapat yang terjadi bertujuan tiada lain adalah untuk menjaga kesucian al Qur’an dari hal-hal yang dapat merusaknya. Kelompok yang pro kepada irama bertujuan agar al Qur’an yang dibaca dapat ditampilkan dengan penuh keindahan, sehingga akan menambah rasa khusyu’ orang-orang yang  membacanya dan semakin mendatangkan rahmat bagi orang-orang yang mendengarnya. Kelompok ini  menginginkan agar untuk al Qur’an diberikan suara yang terbaik, sebagai bentuk penghargaan terhadap kalam Allah tersebut.
            Sedangkan kelompok yang kontra  berkeinginan agar kalam Allah tersebut tidak dijadikan barang mainan seperti syair-syair yang biasa  dinyanyikan di kalangan masyarakat Arab pada saat itu. Di mana ketika syair dinyanyikan, tidak ada lagi aturan-aturan bacaan yang ditaati. Kekhawatiran itu muncul jika hal itu terjadi di dalam membaca al Qur’an.
            Menurut Zahiruddin al al Marghabani, adalah sebuah hal yang tidak masuk akal bila orang-orang yang membaca al Qur’an dengan berirama merupakan sebuah bentuk kekafiran. Tuduhan tersebut tentunya akan dialamatkan kepada para Ustadz dan orang-orang alim yang mengajarkan al Qur’an karena memiliki suara-suara yang bagus. Kalau para Ustadz tersebut dianggap kafir, tentunya, menurut Zahiruddin, para muridnya juga dianggap sebagai kafir.
            Maka oleh sebab itu menurut penulis, kedua hal yang saling bertentangan di atas dapat disatukan berdasarkan hal-hal berikut ini.
  1. Dibolehkannya membaca al Qur’an dengan irama apabila seorang qari’ tidak melanggar aturan-aturan hukum Tajwid yang telah disepakati. Artinya bila ada bacaan mad, harus dibaca sesuai dengan panjang yang telah disepakati. Tidak boleh menukar bacaan qashr menjadi bacaan mad,jika hanya berupaya memperturutkan irama bacaan.  Membaca dengan ghunnah apabila memang hukumnya demikian.
  2. Apabila seorang qari,melanggar aturan-aturan tersebut sehingga menimbulkan bentuk-bentuk bacaan baru yang tidak memiliki landsan yang kuat dalam membaca al Qur’an karena sekedar ingin memperindah bacaan dengan irama tertentu, maka hal itu menjadi sesuatu yang haram untuk dilakukan.
Artinya membaca al Qur’an dengan irama diperbolehkan selama tidak melanggar aturan-aturan Tajwid yang telah disepakati oleh para ulama.[8] Aturan-aturan Tajwid yang dimaksud adalah, seorang qari  harus memperhatikan makharijul huruf,  atau tempat keluarnya huruf Hijaiyyah. Kemudian seorang qari juga harus memperhatikan sifat-sifat yang dimiliki oleh masing-masing huruf, sehingga setiap huruf dapat diucapkan sebagaimana mestinya. Selanjutnya harus juga diperhatikan ahkamul Huruf, yaitu hukum-hukum  yang terjadi akibat pertemuan satu huruf dengan huruf lainnya, seperti hukum  izhar, ikhfa’, idghom, dan iqlab. Masing-masing hokum memiliki panjang masing-masing. Seorang qaripun harus memperhatikan ahkamul mad wal qashr. Yaitu hokum panjang pendek bacaan yang harus tetap terjaga dengan baik. Dan terakhir  seorang qari’ juga harus memperhatikan hokum-hukum waqf  dan ibtida’, sehingga makna ayat tetap terjaga.
            Bila seluruh hal di atas tidak dijaga dengan baik dan konsisten, maka tentunya seorang yang melagukan bacaan al Qur’annya akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan ayat-ayat al Qur’an tidak diucapkan sebagaimana mestinya.
            Maka sudah semestinya  seorang qari menjaga dengan sebaik-baiknya hal-hal di atas demi menjaga kesucian al Qur’an. Seorang qari’ pada hakekatnya tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji   yang dapat merusak al Qur’an yang dibacanya, termasuk melakukan pemalsuan-pemalsuan dalam bentuk apapun ketika akan melakukan perlombaaan membaca al Qur’an seperti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) atau STQ  di berbagai  kategri. Menurut hemat penulis, pada saat ini dalam berbagai even MTQ dan STQ di Indonesia telah berkembang upaya-upaya untuk memalsukan identitas para peserta  untuk mencapai kejuaraan. Jika dikaitkan dengan berbagai pendapat di atas, maka hal itu tentu merusak dan menghancurkan kesucian al Qur’an, dan tentunya haram untuk dilakukan.
4. Kesimpulan dan Penutup.
            Dari keterangan di atas, dapat ditemukan adanya dua pendapat yang saling berlawanan satu dengan lainnya seputar irama membaca al Qur’an. Sekelompok ulama memandang bahwa irama tersebut merupakan sebuah hal yang dapat menambah keindahan ayat al Qur’an dan sebagain lagi memandang bahwa irama tersebut merupakan kerbuatan bid’ah yang tidak boleh dilakukan, karena dapat membahayakan keutuhan bacaan al Qur’an.
            Akan tetapi dengan  tetap memelihara mutu bacaan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu Tajwid yang telah disepakati, irama bacaan bisa tetap menghiasi bacaan sehingga akan semakin menambah kekhusyu’an  baik bagi yang membacanya maupun bagi yang tengah mendengarkannya.

           



[1] Al Razi, Fadhailul Qur’an watilawatuhu, Maktabah Syamilah, hlm. 16
[2] Labib Al Sai’d, al Taghanni bil Qur’an, Mkatabah Syamilah, hlm. 19
[3] Depag RI, Buku Pedoman Mengajar Pelajaran Seni Baca al Qur’an, Ditjen Bimas Islam, Jakarta, 1996, hlm. 85.
[4] Labib al Said,Op. Cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid.

[7] Ibid, hlm. 43.
[8] Al Inayah bil qur’anil Karim fi ahdinnabiyyi,Maktabah Syamilah, hlm. 79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...