Jumat, 23 September 2016

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DALAM SEJARAH

Penulis-penulis sejarah Hukum Islam telah mengadakan pembagian tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam. Pembagian ke dalam tahap-tahap ini tergantung pada tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam mengadakan pentahapan. Ada yang membaginya ke dalam 5, 6 atau 7 tahapan. Namun pada umumnya mereka membagi tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan Hukum Islam itu ke dalam 5 masa:
1.      Masa Nabi Muhammad (610-632 M)
2.      Masa Khulafa Rasyidin (632-662 M)
3.      Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII-X M)
4.      Masa Kelesuan Pemikiran (abad X-XIX M)
5.      Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang)
       Berikut adalah penjabran dari ke lima masa sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam:
1.1    Masa Nabi Muhammad (610-632 M)
       Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul di Semenanjung Arab, di suatu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada ketiga sisinya dan lautan pasir pada sisi keempat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di tengah-tengah gurun pasir yang amat sangat luas yang mempengaruhi cara hidup dan cara berfikir orang-orang Badui yang tinggal di tempat itu. Untuk memperoleh air bagi makanan ternaknya, mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Alam yang begitu keras membentuk manusia-manusia individualistis. Perjuangan memperoleh air dan padang rumput merupakan sumber-sumber perselisihan antar mereka. Dan karena itu pula mereka hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis patrilineal, yang saling bertentangan.[1][1]
       Kedudukan anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga karena melalui anak laki-laki inilah garis keturunan ditarik dan dia pulalah di dalam keluarga yang dianggap akan meneruskan keturnan dan membawa nama baik keluarganya. Dan karena statusnya yang demikian, maka laki-laki mempunyai kekuasaan yang amat besar dibanding wanita. Kedudukan wanita dipandang sangat rendah, wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali.[2][2] Karena itu pula, jika lahir anak perempuan dalam satu rumah tangga, seluruh keluarga menjadi malu karena merasa tidak bisa mempertahankan keturunannya. Karena itu keluarga bersangkutan, berusaha untuk melenyapkan nyawa bayi wanita atau membunuhnya kemudian setelah ia berumur beberapa tahun.
       Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah yang bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 Masehi, lahirlah seorang bayi yang oleh ibunya (Aminah) diberi nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab berarti terpuji atau yang dipuji.[3][3]
       Setelah ibunya meninggal Muhammad dipelihara oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib dan setelah kakeknya meninggal dunia pula, Muhammad masih diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Muhammad berasal dari keluarga terhormat tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia hidup di kalangan mereka yang berkuasa di Mekah. Pada usia 25 tahun beliau kawin dengan seorang janda yang bernama Khadijah yang umurnya lima belas tahun lebih tua dari beliau dan masih mempunyai hubungan kekerabatan.
       Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan Nabi Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama bulan Ramadhan. Ketika beliau mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu itu beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk menyebarluaskan wahyu yang diterimanya kepada umat manusia.[4][4]
       Namun selain itu Nabi Muhammad juga membawa wahyu-wahyu Allah tentang ayat-ayat hukum. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan soal shalat, zakat dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai mu’amalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam l Qur’an. Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an itu menurut penelitian Prof. Abdul Wahhab Khallaf adalah sebagai berikut:
1.      Hukum Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan kewarisan sebanyak 70 ayat.
2.      Hukum Perdata lainnya, di antaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat.
3.      Mengenai hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat.
4.      Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat
5.      Hukum Tata Negara terdapat 10 ayat
6.      Hukum Internasional terdapat 25 ayat
7.      Hukum Acara dan Peradilan terdapat 13 ayat.
       Ayat-ayat tersebut pada umumnya berupa prinsip-prinsip saja yang harus dikembangkan lebih lanjut sewaktu Nabi Muhammad masih hidup, tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum ini terletak pada diri beliau sendiri melalui ucapan, perbuatan dan sikap diam beliau yang disebut sunnah yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis.
1.2    Masa Khulafa Rasyidin (632-662 M)
       Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat Jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah.
       Kedudukan nabi sebagai utusan Allah tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau  sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala negara berpindah kepada Khulafa Rasyidin (khalifah). Pengganti nabi sebagai khalifah dipilih dari kalangan sahabat nabi sendiri. (Sahabat artinya: teman,rekan, kawan. Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan Nabi Muhammad dalam menyebarluaskan ajaran Islam). Pada masa Khulafaur Rasyidin ini perkembangan hukum islam dibagi menjadi empat periode:


1)      Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
            Setelah nabi wafat, Abu Bakar As-Siddiq diangkat sebagai khalifah pertama. Khalifah adalah pimpinan yang diangkat setelah nabi wafat untuk menggantikan nabi dan melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan pemerintah. Abu bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah selama dua tahun (632-634          M). Sebelum masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan karena hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.[5][5] Berikut adalah hal-hal penting dalam masa pemerintahannya:
a)      Pidato pelantikannya dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa juga antara pemerintah dengan warga negara.
b)      Cara penyelasaiannya jika timbul masalah di dalam masyarakat mula-mula pemecahan masalahnya dicari dalam wahyu Allah. Kalu tidak terdapat disana, dicarinya dalam sunnah nabi. Kalau dalam sunnah Rasulullah ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkannya dalam satu majlis. Mereka yang duduk dalam majlis itu melakukan ijtihad bersama (jam’i) atau ijtihad kolektif. Timbullah keputusan atau konsensus bersama yang disebut ijmak mengenai masalah tertentu. Sehingga dalam masa pemerintahan ini sering disebut Ijmak Sahabat.
c)      Atas anjuran Umar, dibentuklah panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Al Qur’an yang telah ditulis pada zaman nabi. Setelah Abu Bakar wafat himpunan naskah Al Qur’an disimpan oleh Umar Bin Khattab dan diberikan kepada Hafsah (janda Nabi Muhammad).
2)      Khalifah Umar Bin-Khatab
            Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan kedudukannya sebagai khalifah II. Beliau memerintah dari tahun 634-644 Masehi. Semasa pemerintahan Saidina Umar, kekuasaan Islam berkembang dengan pesat ia selalu:
a)      Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam hingga menguasai Mesopotamia dan sebagian kawasan Parsi dari pada kekuasaan Persia (berjaya menamatkan kekuasaan persia), dan menguasai Mesir, Palestina, Baitulmaqdis, Syria, Afrika Utara, dan Armenia dari pada Byzantine (Romawi Timur).
b)      Menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (Qamariyah)
c)      Membiasakan melakukan shalat at-tarawih, yaitu shalat sunnat malam yang dilakukan setelah shalat isya pada bulan Ramadhan.
            Saidina Umar banyak melakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan Islam seperti mengangkat gubernur-gubernur di kawasan yang baru ditakluk dan melantik panglima-panglima perang yang berkebolehan. Semasa pemerintahannya juga kota Basra dan Kufah dibina. Saidina Umar juga amat dikenali karena kehidupannya yang sederhana. Beliau juga melakukan banyak sekali tindakan di lapangan hukum:
a)      Tentang talak tiga diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain.
b)      Al Qur’an telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf  (orang-orang yang baru memeluk agama  islam) ditetapkan sebagai Mustahib (orang yang menerima zakat).
c)      Menurut Al Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 38 orang yang mencuri diancam dengan hukuman potong tangan
d)     Di dalam Al Qur’an (QS 5:5) terdapat ketentuan yang membolehkan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab (wanita Yahudi dan Nasrani).[6][6]
            Saidina Umar wafat pada tahun 644 selepas dibunuh oleh seorang hamba Parsi yang bernama Abu Lu’lu’ah. Dia menikam Saidina Umar sebanyak enam kali sewaktu Saidina Umar menjadi imam di Masjid al-Nabawi, Madinah. Saidina Umar meninggal dunia dua hari kemudian dan dikebumikan di sebelah makam Nabi Muhammad SAW dan makam Saidina Abu Bakar.
3)        Kholifah Utsman Bin Affan
Selanjutnya masuk ke dalam masa pemerintahan Utsman Bin Affan yang berlangsung dari tahun 644-656 M. Ketika dipilih, Usman telah tua berusia 70 tahun dengan kepribadian yang agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang di sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan. Hal ini dimanfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri dari golongan Umayyah.
Kemudian perluasan daerah Islam diteruskan ke India, Maroko dan Konstantinopel. Jasanya yang paling besar dan yang paling penting yaitu tindakannya telah membuat Al Qur’an standar (kodifikasi Al Qur’an). Standarisasi Al Qur’an dilakukannya karena pada masa pemerintahannya, wilayah Islam telah sangat luas di diami oleh berbagai suku dengan bahasa dan dialek yang berbeda. Karena itu, dikalangan pemeluk agama Islam, terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayaat Al Qur’an yang disebarkan mealui hafalan.
4)        Khalifah Ali Bin Abi Thalib
                       Setelah Usman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali Bin Abi Thalib menjadi khalifah ke-4. Ia memerintah dari tahun 656-662 M. Ali tidak dapat berbuat banyak dalam mengembangkan agama Islam karena keadaan negara tidak stabil. Di sana timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok. Di antaranya dua kelompok besar yakni, kelompok Ahlussunah Wal Jama’ah, yaitu kelompok atau jamaah umat Islam yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad dan Syi’ah yaitu pengikut Ali Bin Abi Thalib.
            Penyebab perpecahan diantara dua kelompok ini adalah perbedaan pendapat mengenai “masalah politik” yakni siapa yang berhak menjadi khalifah, kemudian disusul dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan kekeluargaan. Golongan syi’ah sekarang banyak terdapat di Libanon, Iran, Irak, Pakistan, India dan Afrika Timur. Sumber hukum Islam di masa Khulafa Rasyidin ini adalah Al Qur’an, Ijma’ sahabat dan Qiyas.
1.3    Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII-X M)
       Periode ini berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah “Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1) Lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai sekarang.[7][7]
       Adapun faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum adalah[8][8]:
1.    Wilayah Islam sudah sangat luas dari Hindia, Tiongkok sampai ke Spanyol maka tinggal berbagai suku bangsa dengan adat istiadat, cara hidup kepentingan yang berbeda oleh karena itu diperlukan pedoman hukum yang jelas yang dapat mengatur tingkah laku mereka dalam berbagai bidang kehidupan
2.    Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai landasan untuk membangun serta mengembangkan fikih islam.
3.    Telah tersedia para ahli hukum yang mampu berijtihad untuk memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat.
       Pada periode inilah muncul para mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan pendapatnya diikuti oleh umat Islam diberbagai belahan dunia. Mereka itu diantaranya adalah:

1.      Imam Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit) : 700-767 M
            Ia lahir di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H. Sebagaimana ulama yang lain, Abu Hanifah memiliki banyak halangan untuk berdiskusi berbagai ilmu agama. Semula materi yang sering di diskusikan adalah tentang ilmu kalam yang meliputi al-Qada dan Qadar. Kemudian ia pindah ke materi-materi fiqh Al-Khatib al-Bagdadi menuturkan bahwa Abu Hanifah tadinya selalu berdiskusi tentang ilmu kalam.
            Sebagaimana ulama lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan Al-Snnah, akan tetapi ia tidak mudah menerima hadiah yang diterimanya. Lahannya menerima hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah dari jama’ah, atau hadist yang disepakati oleh fuqaha di suatu negeri dan diamalkan; atau hadist ahad yang diriwayatkan dari sahabat dalam jumlah yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang di pertentangkan.[9][9]
            Abu Hanifah dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu, dalam menghadapi nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka ia dikenal sebagai ahli di bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas.
2.      Malik Bin Anas: 713-795 M
            Ia lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Malik  bin Anas tinggal di Madinah dan tidak pernah kemana-mana kecuali beribadah Haji ke Mekkah. Imam Malik menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama, kemudian al hadist sedapat mungkin hadist yang mutawatir atau masyhur.
3.      Muhammad Idris Al-Syafi’i: 767-820 M
            Ia lahir di Ghazah atai Asqalan pada tahun 150 H. Ia berguru kepada Imam Malik di Madinah. Kesetiannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan nyantri di tempat sang guru hingga sang guru wafat pada tahun 179 H. Imam Syafi’i pernah juga berguru kepada murid-murid Abu Hanifah. Ia tinggal di Bagdad selama dua tahun, kemudian kembali ke Mekkah. Akan tetapi tidak lama kemudian ia kembali ke Irak pada tahun 198 H, dan berkelana ke Mesir.
            Dalam pengembaraannya, ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl al-Hadis. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil sama halnya tidak seluruh metode ahl al-Hadis harus diambil. Akan tetapi menurutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir mereka masing-masing. Dengan demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap salah satu mazhab, bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penegah antara kedua metode berpikir yang ekstrim. Ia berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk menjawab masalah yang tidak manshus.[10][10] Menurut Imam Syafi’i tata urutan sumber Hukum Islam adalah:
1)    Al Qur’an dan Al-Sunnah
2)   Bila tidak ada dalam Al Qur’an dan Al Sunnah, ia berpindah ke Ijma.
4.      Ahmad Bin Hambal (Hanbal): 781-855 M 
            Ia lahir di Bagdad pada tahun 164 H. Ia tinggal di Bagdad sampai akhir hayatnya yakni tahun 231 H. Negeri-negeri yang pernah ia kunjungi untuk belajar antara lain adalah Basrah, Mekkah, Madinah, Syam dan Yaman. Ia pernah berguru kepada Imam Syafi’i di Bagdad dan menjadi murid Imam Syafi’i yang terpenting, bahkan ia menjadi mujtahid sendiri.
            Menurut Imam Ahmad, sumber hukum pertama adalah Al-Nushush, yaitu Al Qur’an dan Al Hadist yang marfu. Apabila persoalan hukum sudah didapat dalam nas-nas tersebut, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula menggunakan “metode ijtihad”. Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka Imam akan memilih pendapat yang paling dekat dengan Al Qur’an dan Al Sunnah.
1.4    Masa Kelesuan Pemikiran (abad X-XIX M)
       Sejak abad kesepuluh dan kesebelas Masehi, ilmu hukum Islam mulai berhenti berkembang. Para ahli hukum pada masa ini hanya membatasi diri, mempelajari pikiran-pikiran para ahli hukum sebelumnya yang telah dituangkan dalam berbagai madzab.
       Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al Sunnah, tetapi pikiran-pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imam-imamnya. Dinamika yang terus-menerus tidak lagi ditampung dengan pemikiran hukum pula. Pada saat itu masyarakat yang terus berkembang tidak diiringi dengan pengembangan pemikiran hukum Islam bahkan pemikiran hukum Islam berhenti. Keadaan ini dalam sejarah dikenal dengan periode “kemunduran” dalam perkembangan hukum Islam. Yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.    Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa negara baru baik di Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Asia.
2.    Ketidak stabilan politik yang menyebabkan ketidak stabilan berfikir.
3.    Pecahnya kesatuan kenegaraan/ pemerintahan itu menyebabkan merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
4.    Dengan demikian timbullah gejala kelesuan berpikir dimana-mana dan para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggungjawab. Dengan demikian perkembangan hukum Islam menjadi lesu dan tidak berdaya menghadapi tantangan zaman.[11][11]
1.5    Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX sampai sekarang)
       Setelah mengalami kelesuan,kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam bangkit kembali. Ini terjadi pada bagian kedua abad ke-19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut di atas yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Gerakan ini, dalam kepustakaan disebut gerakan salaf (salafiyah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (=permulaan), generasi awal dahulu.
       Sebagai reaksi terhadap taqlid di atas pada periode kemunduran itu sendiri telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan perkembangan masyarakat. Pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar, namanya Ibnu Taimiyyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Dilanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia). Usaha ini dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) di lapangan politik (H.M. Rasjidi, 1976:20). Ia menilai kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena penjajahan Barat. Karena itu, agar umat Islam dapat maju kembali, untuk itu ia menggalang persatuan seluruh umat Islam yang terkenal dengan nama Pan Islamisme.
       Cita-cita Jamaluddin kemudian dilanjutkan oleh muridnya Mohammad Rasjid Ridha (1865-1935) yang mempengaruhi pemikiran umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh diikuti antara lain oleh gerakan sosial dan pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912.
       Paham Ibnu Taimiyah, seorang tokoh pemikir abad ke-14 M membagi ruang lingkup agama Islam ke dalam dua bidang besar yakni ibadah dan mu’amalah, dikembangkan lebih lanjut oleh Mohammad Abduh. Di antaranya adalah:
1.      Membersihkan Islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan Islam
2.      Mengadakan pembaruan dalam sistem pendidikan Islam, terutama di tingkat perguruan tinggi
3.      Merumuskan dan menyatakan kembali ajaran Islam menurut alam pikiran modern
4.      Mempertahankan/membela (ajaran) Islam dari pengaruh Barat dan serangan agama lain
5.      Membebaskan negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam dari belenggu penjajahan
       Menurut Mohammad Abduh, dalam kehidupan sosial, kemiskinan dan kebodohan merupakan sumber kelemahan umat dan masyarakat Islam. Oleh karena itu kemiskinan dan kebodohan harus di “perangi” melalui pendidikan. Selain itu Poligami menurut Abduh adalah pintu darurat yang hanya dapat dilalui kalau terjadi sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan perkawinan dan keluarga. Pemahaman Mohammad Abduh mengenai ayat ini sekarang tercermin dalam Undang-Undang perkawinan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
       Mengenai mazhab, Mohammad Abduh bermaksud hendak menghapuskan dinding pemisah antar mazhab, sekurang-kurangnya mengurangi kalau tidak dapat menghapuskan kefanatikan mazhab sekaligus dan menganjurkan agar umat Islam yang memenuhi syarat kembali lagi menggali hukum Islam dari sumbernya yang asli, yakni Al Qur’an dan Sunnah Muhammad (Rasulullah), sebagaimana yang pernah terjaadi dalam sejarah (hukum) Islam.
       Ia bermaksud pula mengembalikan fungsi akal pikiran ke tempatnya yang benar dan mempergunakannya secara baik untuk memecahkan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan manusia pada zamannya. Mohammad Abduh terkenal dengan gerakan salaf (gerakan salafiyah) mempunyai pengaruh yang besar di negara-negara Islam.
       Zaman kebangkitan pemikiran hukum Islam ini dilanjutkan sekarang dengan sistem baru dalam mempelajari dan menulis hukum Islam. Di samping sistem pemberian materi kuliah khususnya di Fakultas Hukum yang telah berubah tersebut, juga diadakan cara-cara baru dalam menuliskan (melukiskan) hukum Islam. Selain kebangkitan pemikiran hukum Islam di kalangan orang-orang Islam sendiri, terutama di masa akhir-akhir ini, perhatian dunia terhadap perkembangan hukum Islam menjadi bertambah.
       Dalam rangka kembali kepada hukum Islam, akhirnya di Lybia dibentuk suatu Panitia Ilmiah Hukum yang akan mempelajari hukum Islam secara mendalam, di bawah pimpinan seorang ahli hukum terkenal bernama Ali Mansur. Panitia ini bertugas meneliti dan mempelajari hukum Islam dalam segala bidang. Bahan-bahan hukum yang mereka pergunakan dalam menyusun kodifikasi hukum Islam itu bukan hanya bahan-bahan yang terdapat di kalangan ahlus sunnah wal jama’ah saja, tetapi juga dari aliran lain yang terdapat dalam semua bahan-bahan hukum itu, dan memilih dengan hati-hati pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan kondisi dan situasi umat Islam di abad ke-20 ini.
       Di Indonesia atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Departemen Agama telah dikompilasikan Hukum Islam menegenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kompilasi ini telah disetujui oleh para ulama dan ahli hukum Islam pada bulan Februari 1988 dan (tahun 1991) telah diberlakukan bagi umat Islam Indonesia yang menyelesaikan sengketa mereka di Peradilan Agama (salah satu unsur kekuasaan kehakiman di tanah air kita) sebagai hukum terapan.




[12][1] Philip K. Hitti, 1970: 13-16
[13][2] Daud, Mohammad Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tatata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 155
[14][3] Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakrta: Pustaka Jaya, 1979) , hal. 55
[15][4] Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, 2002, hal:31



[1][1] Philip K. Hitti, 1970: 13-16
[2][2] Daud, Mohammad Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tatata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 155
[3][3] Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakrta: Pustaka Jaya, 1979) , hal. 55
[4][4] Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, 2002, hal:31
[5][5] Hazairin, 1955
[6][6] H.M Rasjidi: 1973
[7][7] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal. 182
[8][8] Ibid, hal 165
[9][9] Muhammad Zuhri.op.cit, hal 98
[10][10] Ibid, hal: 113
[11][11] A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 174-175









Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Kemajuan (Periode VII)


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Semangat ijtihad senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha, meskipun di antara mereka ada yang lebih memilih status quo. Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) memberikan kritikan tajam kepada mereka yang mengabadikan taqlid, dan Ibn Taimiyyah (661 H-728 H) juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Dalam era modern ini, umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan dalam menghadapi modernisasi. Munculnya arus modernisasi melahirkan beragam reaksi dari beberapa ulama. Ada yang menerima dan ada yang menentang.
Pada makalah-makalah sebelumnya yang telah diterangkan oleh para penulisnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan Hukum Islam itu telah mengalami perkembangan beberapa priode, dan dalam pembagian yang disebutkan oleh Hudhari Bek dalam bukunya yang sangat terkenal Tarikh Al-Tasyri Al-Islamiâ disebutkan periode perkembangan Hukum Islam sebagai berikut :
1. Priode Pertama, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Rasulullah SAW.
2. Priode Kedua, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat-Sahabat Besar.
3. Priode Ketiga, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat Kecil danTabiin.
4. Priode Keempat, disebut Priode Pembinaan Hukum pada Masa Awal Abad Kedua sampaipertengahan Abad Keempat Hijriyah.
5. Priode Kelima, disebut Priode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
6. Priode Keenam, disebut dengan Priode Keruntuhan yang ditandai dengan jatuhnya Baghdad di Tangan Holako atau disebut juga dengan Priode Taklid / Kejumudan. Hudhari Bik hanya membagai sejarah perkembangan hukum Islam ini ke dalam enam priode, sedangkan priode ketujuh ini adalah tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber lainnya, termasuk kullliah yang disampaikan oleh Dosen Mata Kulliah ini Bapak Prof. Dr. H. Helmi Karim, MA.
7. Priode Ketujuh adalah Priode Kebangkitan dan inilah yang dimaksudkan dalam makalah ini.














BAB II
PEMBAHASAN

Masa Kebangkitan Hukum Islam

Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan  kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha ke arah kebangu­nan tersebut sudah dimulai sejak abad-abad yang lalu, akan tetapi masih terbatas sifatnya dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan mereka sudah menginsafi kedudukan dirinya sebagai golongan yang mundur, maka barulah mulai kebangunan universal yang meliputi seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.
                Sebagai contoh di jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 – 1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah. Di Mesir muncul pikiran-pikiran Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan muridnya Sayid Muhammad Rasyid Ridha, yang menyerukan umat Islam seluruh dunia supaya melepaskan diri dari rantai taklid, kembali kepada ajaran salaf yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Tafsir Al-Manar banyak sekali memuat uraian dan tafsir ayat yang menyangkut tentang kebebasan berpikir dan kecaman terhadap taklid. Pengaruh tafsir itu dirasakan pula di berbagai Negara termasuk di Indonesia.
                Dari sudut pembinaan dan pembangunan Hukum Islam, amatlah besarnya jasa dan kepeloporan Turki Utsmani, terutama sejak tampuk pemerintahan imperium Islam itu dipegang oleh Sultan Salim I (1512 – 1520 M) yang dilanjutkan oleh Sultan Sulaiman I (1520 – 1560 M) dan sultan-sultan berikutnya.[15][1]


Setelah Perkembangan Hukum Islam mengalami masa kelesuan, kemunduran dan tidak ada perkembangan dalam bidang Ijtihad, apalagi ditandai dengan tertutupnya pintu ijtihad, dalam beberapa abad lamanya, maka perkembangan pemikiran Islam bangkit kembali yang itu dimulai pada bagian kedua abad ke 19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam tersebut timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Menurut Harun Nasution, pada abad ke-19 merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir di tahun 1801 M, telah membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power, yang  telah pincang dan membahayakan Islam. Kontak Islam dengan Barat sekarang berlainan sekali dengan kontak Islam dengan Barat di periode klasik. Pada waktu itu (periode klasik) Islam sedang menaik dan Barat sedang dalam kegelapan dan sekarang sebaliknya, Islam sedang dalam kegelapan dan Barat sedang menaik. Kini Islam yang ingin belajar dari Barat.
Dalam ekpedisinya ke Mesir, Napoleon tidak hanya membawa tentara. Dalam rombongannya terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Napoleon juga membawa dua set alat percetakan dengan huruf latin, Arab dan Yunani. Ekpedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan ilmiah. Untuk hal tersebut akhir ini dibentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institut d ’Egypte, yang mempunyai empat bahagian Ekonomi-Politik dan Bahagian Sastra-Seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga ini bernama La Decade Egyptienne. Di samping itu ada lagi suatu majalah, Le Courier d ‘Egypte, yang diterbitkan oleh Marc Auriel, seorang pengusaha yang ikut dengan ekspedisi Napoleon. Sebelum kedatangan ekspedisi ini orang Mesir tidak kenal pada percetakan dan majalah atau surat kabar.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlihatkan Perancis mencengangkan umat Islam pada waktu itu, hal ini terlihat dari komentar yang dikemukakan oleh Al-Jabarti, seorang ulama Al-Azhar dn penulis sejarah, ia mengatakan “Saya lihat di sana (Institut d ‘Egypte) benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hak yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita.
Demikianlah kesan seorang cendikiawan Islam pada waktu itu terhadap kemajuan yang dialami Barat. Ini menggambarkan betapa mundurnya umat Islam di ketika itu. Keadaan menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau diperiode klasik orang Barat yang terkagum-kagum melihat perkembangan peradaban Islam, di periode modern kaum Muslim yang heran melihat kecanggihan teknologi yang diperagakan Barat.
Ide-ide pembaharuan yang dibawa olep ekpedisi Napoleon ke Mesir, belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam. Tetapi dalam perkembangan kontak dengan Barat di abad ke-19, seiring dengan bertambahnya jamaah haji, ide-ide itu makin jelas dan kemudian diadopsi dan mulai dipraktekkan. Bagaimanapun, ekspedisi yang dilakukan oleh Napoleon telah membuka mata umat Islam akan kelemahan dan kemunduran mereka.
Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju kembali sebagaimana di periode klasik. Usaha-usaha ke arah itu pun mulai dijalankan dalam kalangan umat Islam. Tetapi dalam pada itu Barat juga bertambah maju.[15][2]
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah Barat itu, maka pada awal abad XIII H, timbullah ide-ide, usaha-usaha dan gerakan-gerakan pembebasan diri dan ilmu pengetahuan islam dari penjajah dan pengaruh barat, merasa perlu mengadakan pembaharuan yang universal, meliputi bidang pendidikan, social, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia islam.
Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
  1. Modernisme, pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim, pendukung pola ini mendakwakan bahwa Hukum Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan dan kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat keluasan  informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini, untuk mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus berani meninggalkan fiqih yang sudah ada dan membangun fiqih baru yang kontekstual.
  2. Survivalisme, pendukung pola ini bercita – cita mebangun pemikiran fiqih dengan berpijak pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada. Keluasan  fiqhyah, menurut pendukung pola ini harus di kembangkan. Hingga sampai saat ini.
  3. Tradisionalisme, pendukung pola ini menekankan keharusan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Satu hasil yang menarik dari cita-cita pola ini adalah penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan pendapat. Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan ikhtilaf ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis, bukan pada pendapat – pendapat para imam mazhab.
  4. Neo-survivalisme, pola terakhir ini disebut neo-survivalisme, kerena para pendukungnya selain menawarkan fiqih pengembangan juga menampakkan concernya yang besar terhadap kepedulian sosial. Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relefansinya dengan persoalan-persoalan kekinian[15][3]
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius. Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
  1. Jamaluddin Al Afghani
Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempela­jari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil­safat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Tidak ada perbedaan diantara Al-Afghani dengan Ibnu Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi awal) lebih banyak berhujjah dengan menggunakan dalil-dalil agama dan pendekatan logika (mantiqy) dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya, seperti yang kita bisa lihat dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani lebih kepada pendekatan provokasi (dalam term positif) atau membakar semangat, menyadarkan ummat atas realitas keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi dengan para ulama dan pemimpin kaum Muslimin.
Kontribusi Al-Afghani
Pertama; Perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua; upaya melawan pemikiran naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya, dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan ajaran-ajarannya.
  1. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.
 Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu.al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya.Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.Allah menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal.
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat:
.  أفلا يعقلون ,أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون
Dan sebagainya.Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional.Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam.Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.[15][4]
  1. Syeikh Muhammad As-Sirhindi

      Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
      Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a).  Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b).  Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c).  Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)      Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e).  Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f).   Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada kebaikan.
g).  Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.

  1. Sayyid Ahmad Syahid

      Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
      Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a).  Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
b).  Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitannya.
c).  Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang Empat.
      Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.[15][5]

  1. Muhammad Abdul Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
Disetiap negara Islam yang dikunjunginya Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat yang bertebaran. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam Syekh atau walinya masing-masing. Kemakam-makam itulah umat Islam pergi dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia di dunia ini. Perbuatan ini menurut paham Wahabiah termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT
Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai berikut.
  1. Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
  2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan sebagai musyrik
  3. Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan sebagai syirik
  4. Meminta syafaat selain kepada Allah juga perbuatan syrik
  5. Bernazar kepada selain Allah juga merupakan sirik
  6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
  7. Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran.
  8. Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi denngan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa kepada paham syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad ke-19 adalah sebagai berikut.
  1. Hanya al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama bukanlah sumber
  2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
  3. Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup
Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.












BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Ø  Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan  kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik Sebagai contoh di jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 – 1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah
ü  Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
Ø  Modernisme
Ø  Survivalisme
Ø  Tradisionalisme
Ø  Neo-survivalisme

ü  Tokoh  yang membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
Ø  Jamaluddin Al – Afghani
Ø  Muhamma Abduh
Ø  Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Ø  Sayyid Ahmad Syahid
Ø  Muhammad Abdul Wahab
Daftar Pustaka
v   Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam,  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004
v     Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1996
v   Mun’im A. Sirrry. . Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti,1995
v   Rahmat Djatnika, Dkk. . Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI, 1986



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...