Jumat, 23 September 2016

IBNU ABBAS DAN PENGARUH PEMIKIRANNYA DALAM PERKEMBANGAN PENAFSIRAN AL QUR’AN

IBNU ABBAS DAN PENGARUH PEMIKIRANNYA DALAM PERKEMBANGAN PENAFSIRAN AL QUR’AN

A. Pendahuluan

            Kitab al Qur’an yang merupakan pusat ajaran Islam telah menjadi bahan pengkajian yang tidak pernah kering. Ia selalu digali agar ditemukan berbagai mutiara dari dalam kandungannya. Sepanjang perjalanan sejarah al Qur’an, berbagai kalangan telah menumpahkan segenap waktu, tenaga dan fikirannya untuk selalu dapat berinteraksi dengan kalam yang mulia tersebut. Semakin intens perhatian yang diarahkan kepadanya, semakin besar daya tarik yang ia pancarkan dan daya tarik tersebut  tidak pernah habis dan selalu tampak menarik bagaikan kilauan sudut permata yang begitu indah.
            Salah satu jenis kajian yang terus berkembang seiring  perjalanan waktu adalah  kajian tafsir yang boleh dikatakan sama tuanya  dengan usia al Qur’an sejak ia diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW 14 Abad yang lalu. Dalam setiap kurun waktu tertentu, cabang ini telah menghasilkan  pemikir-pemikir yang brilian yang telah mampu menjelaskan berbagai macam makna yang dikandung oleh Al Qur’an dan menghasilkan karya-karya besar. Karya-karya tersebut kelak akan menjadi salah satu alat mediasi yang paling jitu untuk mudah memahami al Qur’an dan menjadikannya pelita dalam kehidupan ini.
            Tak pelak lagi, nama Abdullah bin Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas menjadi salah satu nama yang paling popular dalam menafsirkan wahyu Allah tersebut. Kemampuan yang ia miliki  telah diakui oleh berbagai kalangan, terutama kalangan sahabat-sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al Qur’an, pun menjadi salah satu model yang mengilhami ulama-ulama besar  dalam bidang tafsir beberapa abad kemudian. Kota suci Mekkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu Abbas  yang juga menghasilkan  ulama-ulama besar seperti  Said bin Jubair  dan Mujahid bin Jabr.[1]

B. Profil Ibnu Abbas.
            Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf al Qursyi al Hasyimi.[2] Beliau adalah anak paman Rasul Abbas bin Abdul Muthallaib. Ibundanya adalah Lubabah al Kubra binti al Harits bin Hazan al Hilaliyah. Ibnu Abbas lahir di kota Mekkah 3 tahun sebelum Rasul Hijrah ke kota Madinah. Kelahiran beliau bertepatan dengan tahun pemboikotan Bani Hasyim oleh orang-orang Quraisy.[3] Ibnu Abbas selalu bersama Nabi  di masa kecilnya  karena beliau termasuk salah satu kerabat dekat nabi dan karena  bibinya, Maimunah,  adalah salah seorang istri Nabi.  Menurut Riwayat Bukhari, Ibnu Abbas  dididik langsung oleh Rasul  dan Rasul meramalkan   bahwa ia akan menjadi  ahli Tafsir al Qur’an.[4] Pada tahun 36 H. beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul Haj.  Ia tidak berada di kota Madinah ketika Utsman terbunuh. Dalam pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Ibnu Abbas memihak kepada Ali.[5] Di akhir usianya, Ibnu Abbas mengalami kebutaan,.namun hal itu tidak membuat kendurnya semangat beliau untuk menggali nilai-nila yang terkandung di dalam al Qur’an serta terus bersikap kritis terhadap setiap perkembangan yang terjadi di tengah ummat pada masanya.. Ibnu Abbas  wafat pada tahun  68 Hijrah  dalam usia 70 tahun. Beliau wafat di kota Thaif  dan dimakamkan di kota yang sama. 
            Ibnu Abbas  diberi gelar   al Bahr[6]  yang berarti Samudra. Hal itu disebabkan  karena betapa  dalam dan luas  ilmu yang ia miliki. Kepakaran tersebut  disebabkan kehidupan ilmiah yang selalu menghiasi hari-hari beliau, di mana belajar dan mengajar  adalah kesibukan-kesibukan yang tidak pernah beliau tinggalkan. Beliau mengajarkan berbagai macam ilmu kepada muruid-muridnya. Kadang-kadang beliau mengajarkan Fiqh, atau Ta’wil atau sejarah. Ubaidillah bin Abdullah pernah mengatakan: “ Tidaklah aku menyaksikan orang alim  yang duduk bersama Ibnu Abbas kecuali ia merendahkan diri terhadap Ibnu Abbas.  Dan tidaklah  aku  melihat orang yang bertanya kepada Ibnu Abbas  kecuali ia akan mendapatkan ilmu dari jawaban Ibnu Abbas.[7] Hal itupun semakin ditopang oleh ketidakterlibatan beliau  dalam percaturan politik dan pemerintahan,[8] kecuali hanya dalam waktu yang sangat sedikit, yaitu ketika beliau ditugaskan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai Amir di kota Basrah.[9]
            Dengan kedalaman ilmu tersebut berbagai macam pujianpun diarahkan kepada beliau, seperti yang disampaikan oleh Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas adalah ummat Muhammad yang paling tahu tentang apa yang diturunkan kepada Muhammad. Thawus, salah seorang Tabi’in pernah ditanya oleh al Laits bin Sulaiman : “Mengapa engkau tinggalkan sahabat-sahabat senior dan berguru kepada anak kecil ini (Ibnu Abbas). Thawus menjawab, “Aku  melihat  70 orang  sahabat Rasul  berselisih tentang  suatu urusan, akan tetapi semuanya kembali kepada  pendapat Ibnu Abbas.”[10] Luasnya ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Abbas, tidaklah terjadi begitu saja. Akan tetapi kepakaran tersebut  disebabkan oleh beberapa hal yang amat penting yang menghiasi perjalanan hidup beliau :
  1. Do’a  Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang paling kuat tentang kemampuan Ibnu Abbas dalam menafsirkan dan memahami kitab suci al Qur’an. Menurut pengakuan Ibnu Abbas Sendiri, Rasul pernah dua kali mendoakan beliau. Do’a tersebut adalah Allahum ‘allimhu al hikmah اللهم علمه) الحكمة) dan allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil. (اللهم فقهه في الدين وعلمه التاويل)[11] Menurut ajaran Islam, do’a yang dipanjatkan oleh Rasul adalah do’a yang mustajab dan seluruh kehendak Rasul di dalam do’a tersebut dikabulkan oleh Allah.
  2. Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau  selalu hadir bersama Rasulullah  sejak kecil. Beliau selalu mendengar  banyak hal dari Rasul,  dan menyaksikan  kejadian serta berbagai peristiwa  yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah  dua kali menyaksikan Malaikat Jibril  bersama dengan Nabi.[12]
  3. Interaksi beliau dengan para sahabat senior sesudah wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas  belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an,  sebab-sebab turunnya ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku akan mendatanginya.  Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aiu  bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi.
  4. Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan   uslub-uslubnya  dan puisi-puisi  Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an.
  5. Kecerdasan otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbas mampu untuk berijtihad  dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam penafsiran al Qur’an.
            Dengan pengetahuan yang amat luas tersebut, maka Ibnu Abbas selalu menjadi rujukan para sahabat baik senior maupun yunior untuk meminta keterangan dan penjelasan tentang maksud suatu ayat. Seperti kasus ketika Umar bin al Khattab bertanya maksud ayat : )           ايود احدكم ان تكون له جنة من نخيل  ( surat al Baqarah ayat 266.  Maka tidak seorangpun dari sahabat yang mampu memberikan penjelasan yang memadai tentang ayat yang dimaksud.  Pada akhirnya Ibnu Abbas berkata : Wahai Amirul Mu’minin. Aku mendapatkan suatu pemahaman pada diriku tentang ayat yang dimaksud. Ayat tersebut berisi perumpamaan  yang dikemukakan Allah  sehingga seolah-oleh Allah berkata : Apakah salah seorang di antara kalian menyukai  pekerjaan orang-orang  yang baik sepanjang hidupnya  namun ketika akan wafat ia tutup  agenda hidupnya yang baik tersebut dengan  mengerjakan pekerjaan orang-orang yang sengsara. Sehingga pekerjaan tersebut merusak  seluruh amal kebajikannya.[13]Kedalaman ilmu tersebut pulalah pada akhirnya kaum muslimin memberinya gelar sebagai Turjumanul Qur’an, penafsir al Qur’an [14]
           
C. Pemikiran Tafsir Ibnu Abbas.
            Ibnu abbas merupakan peletak dasar dari teori penafsiran yang banyak mengilhami model-model penafsiran era berikutnya.  Pemikirannya diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al ra’yi. Bahkan secara tradisional beliau dipercaya  sebagai salah seorang tokoh  yang telah berhasil menanamkan  embrio Hermeneutika al Qur’an.[15]
            Bagi kelompok bi al ma’tsur (penafsiran memalui tradisi) Ibnu Abbas telah memberikan panduan penafsiran al Qur’an terbaik, dengan membiarkan al Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al Qur’an dengan al Qur’an sendirilah yang memiliki validitas  kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi al Qur’an juga diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang cukup  sulit untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh Ibnu Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku  bagi kelompok penafsir al Qur’an bi al ma’tsur untuk masa selanjutnya.
Kelompok  mufassir bi al Ra’yi (Penafsiran melalui nalar) juga memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat tidak ia temukan di dalam al Qur’an atau dari hadits nabi, maka beliau berupaya untuk merujuknya kepada sair-sair Arab kuno ataupun percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi. “Keluarnya” Ibnu dari lingkaran al Qur’an dan Hadits Nabi tersebut adalah sebuah keberanian dan merupakan ijtihad  dalam bentuk lain. Dan tentunya keberanian  untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian yang bersifat apriori, namun  dilandasai oleh niat dan keinginan yang kuat untuk menyingkap makna-makna terdalam dari al Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al samawaat فاطر السموات)), sampai suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui tengah bertikai masalah sebuah sumur. Salah seorang dari Arab Badui mengatakan : ana Fathortuha (انا فطرتها) (aku yang membuatnya). Dengan adanya percakapan  tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata : فطر
 Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari sumber penafsiran dari kalangan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam, baik dari kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan Nasrani seperti Ibnu Juraij. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh  Husain az Zahabi, bahwa eksplanasi tersebut hanya berkaitan dengan pambahasan yang sangat terbatas  dan adanya kecocokan sejarah antara al Qur’an dan kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi jika berseberangan dengan keterangan al Qur’an atau bahkan bertentangan dengan syari’at Islam, menurut Az Zahabi, Ibnu Abbas tidak mempergunakan penafsiran ahli kitab.  Keberanian Ibnu Abbas untuk mencari sumber-sumber penafsiran dari selain al Qur’an  dan hadits nabi menjadi inspirasi penting bagi kalangan ahlu al ra’yi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran sebagai salah satu alternatif  penafsiran al Qur’an.
Secara eksplisit terungkap, Ibnu Abbas memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal fikiran yang jernih dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku penafsiran ayat dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits Nabi.  Beliau berani berijtihad, dan diakui oleh kalangan sahabat. Contoh keberanian lain tersebut adalah ketika Ibnu Umar meminta Ibnu Abbas untuk menafsirkan ayat  ( اولم يرى الدين كفروا ان السموات والارض كانتا رتقا ففتقناهما). Dalam penafsirannya Ibnu Abbas tidak merujuk kepada al Qur’an maupun hadits Nabi, akan tetapi merujuk kepada pemikirannya sendiri. Beliau mengatakan bahwa langit dulu bersatu dengan bumi. Yang dimaksud bersatu di sini langit tidak menurunkan hujan dan bumi tidak menumbuhkan tanaman. Maka Allah memisahkan keduanya dengan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di Bumi. Ibnu Umar menanggapi penafsiran tersebut dengan mengatakan : “Aku begitu kagum dengan penafsiran Ibnu Abbas. Dan sekarang aku tahu bahwa ia telah mendapatkan anugerah ilmu.[16] Dengan demikian bibit-bibit penafsiran dengan menggunakan nalar telah dibangun oleh Ibnu Abbas semenjak generasi kedua Ummat Islam.
Meskipun Ibnu Abbas telah memulai upaya penafsiran menggunakan rasio, namun pemikirannya-pemikiran tafsirnya belaum dibukukan dalam bentuk kitab tafsir yang sistematis. Untuk mengetahui bentuk pemikiran belaiu, masih harus menggunakan sistem periwayatan. Hal itu disebabkan oleh belum berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik pada saat itu. Untuk mengetahui pemikiran tafsir ibnu Abbas, para ulama telah menetapkan jalur periwayatan yang akurat dan memiliki tingkat kebenaran maksimal. Imam As Suyuthi mengatakan “Pemikiran-pemikiran”  Ibnu Abbas  dalam bidang tafsir memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak. Dan riwayat yang paling baik adalah melalui jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas. Bahkan jalur periwayatan ini telah diakui oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya apabila meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas.[17] Namun meskipun begitu, masih ada sebagian kelompok yang meragukan periwayatan langsung Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Kelompok ini beranggapan bahwa Ali Bin Abi Thalhah tidaklah mendengar langsung dari Ibnu Abbas, akan tetapi meriwayatkan pemikiran Ibnu Abbas melalui perantaraan  Mujahid atau Said bin Jabir.
Selain jalur Ali bin Abi Thalhah, juga terdapat jalur lain yang juga dianggap sebagai jalur yang baik untuk mengetahui pemikiran Ibnu Abbas. Jalur tersebut adalah jalur periwayatan  Qais bin Atha’ bin Saib dari  Said bin Jabir dari Ibnu Abbas.  Jalur periwayatan ini menurut Bukhori dan Muslim adalah jalur yang sahih. Juga terdapat jalur periwayatan dari  Ibnu Ishaq dari  Muhammad bin Abi Muhammad  dari Ikrimah  atau dari said bin Jabir dari Ibnu Abbas[18]. Namun jalur ini menurut  Ibnu Jarir al Thabari dan Abi Hatim adalah jalur periwayatan yang  hasan, dan mereka juga menggunakan jalur ini dalam meriwayatkan penafssiran-penafsiran dari Ibnu Abbas.
Keberadaan Ibnu Abbas di Kota Mekkah  telah menciptakan sebuah konstelasi pemikiran Tafsir yang brilian. Murid-murid beliau dianggap sebagai pemuka-pemuka Tafsir yang mencerahkan. Ibnu Taimiyah, seperti yang diungkapkan As Suyuthi, mengatakan bahwa orang yang paling tahu tentang tafsir adalah kelompok Mekkah, karena di kota ini bermukim Ibnu Abbas.[19] Murid-murid iIbnu Abbas yang terkemuka dalam bidang Tafsir adalah Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, Said bin Jabir dan Thawus.
Meskipun pemikiran Ibnu Abbas yang berkaitan dengan Tafsir lebih banyak di pahami melalui jalur periwayatan, akan tetapi para ulama mencoba untuk memadukan berbagai pemikiran Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an. Sebuah karya yang berada di tangan penulis saat ini menunjukkan hal tersebut. Berbagai riwayat telah dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang menghimpun pemikiran Ibnu Abbas dalam memahami al Qur’an, mulai dari surat al Fatihah sampai dengan surat al Naas. Kumpulan penafsiran tersebut diberi judul (تنويرالمقباس من تفسير ابن عباس) Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan penafsiran al Qur’an ini dikumpulkan oleh  Abi Thahir Muhammad bin Ya’qub al Fairuzzabady al Syafi’i.[20]
Menurut az Zahabi, segala sesuatu  yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam tafsir ini hanya melalui jalur periwayatan  Muhammad bin Marwan as Suday al Shaghir dari Muhammad bin Saib al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas. Secara pribadi, az Zahaby meragukan seluruh riwayat  tersebut yang ada dalam tafsir tersebut dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, sebagaimana keraguan yang juga dialami oleh Imam Syafi’i. menurut as Syafi’I, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan Ibnu Abbas dalam masalah tafsir hanya berjumlah ratusan. Artinya  bila riwayat tersebut meliputi seluruh ayat al Qur’an yang berjumlah ribuan, maka ada sebagian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.[21]
D. Tafsir Ibnu Abbas.
Az Zahabi mengungkapkan  sebuah kitab Tafsir yang dinisbahkan kepaba Ibnu Abbas yang diberi nama Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas.  Tafsir ini diterbitkan di Mesir dan cetakan lainnya berasal dari Beirut. Dari cetakan aslinya, kitab ini tidak memiliki kata pengantar, sehingga tidak dapat diselami lebih jauh lagi tentang keberadaan penulis kitab tersebut. Namun al Fairuzzabady sendiri bukanlah orang yang tidak dikenal. Belaiu adalah pengarang kamus al Muhith[22] yang terkenal dan ahli dalam bidang bahasa. Pola penafsiran yang ditampilkan dalam tafsir ini memiliki kesamaan dengan penafsiran yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin Assuyuthi dalam Tafsir al Jalalain. Dalam kitab tersebut, Mufassir  berupaya untuk menafsirkan dan menjelaskan  kalimat per kalimat, sehingga makna setiap kalimat dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Hal ini dilakukan penulis mulai dari surat al Fatihah hingga surat al Baqarah.
Dilihat dari judul kitab tersebut, maka pembaca digiring kepada sebuah kesimpulan, bahwa penafsiran yang dilakukan di dalam kitab ini semuanya mengacu kepada penafsiran Ibnu Abbas. Akan tetapi penulis hanya menemukan dua jalur periwayatan yang diungkapkan  pengarang yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas. Sedangkan untuk surat-surat yang lain, pengarang hanya menyebutkan kalimat ( وباسناده عن ابن عباس) Wabi isnadihi an ibni Abbas. Artinya sanad yang diambil sama dengan sanad yang ada dalam surat al Fatihan atau surat al Baqarah. Surat yang disebutkan sanadnya secara lengkap adalah : Pertama, ketika pengarang kitab menafsirkan surat al Fatihah. Dalam menafsirkan surat tersebut, al Fairuzzabadi menyebutkan riwayat dengan lengkap, yaitu dari jalur Abdullah as tsiqah bin al Ma’mun al Harwi dari  ayahnya, dari Abu Abdullah dari Abu Ubaidillah Mahmud bin Muhammad al Razi dari Ammar bin Abdul Majid al Harwi dari Ishaq as Samarqandi, bin Marwan dari al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas.[23] Sedangkan dalam menafsirkan surat al Baqarah, penulis menyebutkan jalur periwayatan dari  Abdullah bin al Mubarak dari Ali bin Ishaq as  Samarqandi dari Muhammad bin Marwan  dari al Kalbi dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas. Selanjutnya penulis tidak lagi menemukan jalur periwayatan lainnya dalam menafsirkan surat-surat berikutnya. Oleh sebab itu, apabila berpatokan kepada pendapat az Zahabi dan Imam SyafiiI di atas, maka semua penafsiran tersebut bukanlah murni pemikiran Ibnu Abbas secara utuh. Apalagi pengarang tidak mencantumkan berbagai jalur periwayatan yang merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menggali dan mengumpulkan berbagai periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas.
Dengan demikian meskipun pengarang tafsir ini menggiring pembaca ke arah penafsiran Ibnu Abbas, akan tetapi dengan tidak menampilkan berbagai bentuk periwayatan dengan jelas, maka akan menimbulkan pertanyaan, apakah semuanya adalah penafsiran Ibnu Abbas, atau penafsiran pengarang sendiri dengan mengusung nama Ibnu Abbas dalam karangannya.

E. Penutup
Abdullah bin Abbas adalah sosok sahabat Rasul yang berani melakukan ijtihad dalam bidang tafsir. Selain menerangkan makna ayat-ayat al Qur’an melalui al Qur’an sendiri atau melalui hadits Nabi, Ibnu Abbas juga berupaya untuk menggali makna al Qur’an dari syair-syair Arab kuno dan ahli kitab. Ijtihad model ini sedikit banyak akan memberikan inspirasi kepada kelompok mufassir bi al Ra’yi untuk mengembangkan penafsiran al Qur’an di kemudian hari. Dengan demikian, pemikirannya membuka dan mengilhami berkembangnya dua macam kelompok penafsiran, yaitu penafsiran dengan tradisi (bil ma’tsur) dan penafsiran menggunakan nalar (bil ra’yi).
Berbagai buku yang berkaitan dengan Tafsir Ibnu Abbas tidaklah mewakili pemikiran tafsir Ibnu Abbas. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya riwayat Ibnu Abbas yang sampai kepada kita, dan jumlah riwayat tersebut hanya berada pada kisaran  ratusan saja.


           
1.       Quraisy shihab,Membumikan al Qur’an, Mizan, Bandung, 2004, hal. 71.
2.       Muhammad Husain az Zahabi, al Tafsir wal mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo, 2003, Jld. 1, hlm. 50
3.       Mochtar Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang, Jld. I, 2000, hlm. 14
4.       Ibid.
5.       Ibid.
6.       Muhammad al Jazari,Asdul Ghabah fi ma’rifat al Sahabah, Jld. III, Darul Kutub al Ilmiyyah, Khairo, t. thn, hlm. 292
7.       Ibid.
8.       Muhammad Abdul Azim al Zarqani, Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, Daru Ihyai al Turats al Araby,   Bairut, T. Thn., hlm. 344.
9.       Muhammad Husain azzahabi, Op. Cit, hlm. 52
10.    Muhammad all Jazari, Op. Cit.
11.    Muhammad al Jazari, Op. Cit.
12.    Ibid.
13.    Ibid, hlm. 54.
14.    Al Zarqani, Op. Cit., hlm. 243
15.    Munzin Hitami, Menangkap Pesan-Pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006, hlm. 34
16.    Muhammad az Zarqani,  Op. Cit.,  hlm. 343
17.    Ibid., hlm. 344
18.    Ibid.
19.    Ibid,hlm. 345
20.    Muhammad Husain az Zahabi,Loc. Cit, hlm. 62
21.    Ibid.
22.    Ibid.
23.    Abu Thahir Bin Ya’qub al Fairuzzabadi, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni Abbas, Darul Fikr, Beirut, 2001, hlm. 1



[1] Quraisy shihab,Membumikan al Qur’an, Mizan, Bandung, 2004, hal. 71.
[2] Muhammad Husain az Zahabi, al Tafsir wal mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo, 2003, Jld. 1, hlm. 50
[3] Mochtar Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang, Jld. I, 2000, hlm. 14
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Muhammad al Jazari,Asdul Ghabah fi ma’rifat al Sahabah, Jld. III, Darul Kutub al Ilmiyyah, Khairo, t. thn, hlm. 292
[7] Ibid.
[8] Muhammad Abdul Azim al Zarqani, Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, Daru Ihyai al Turats al Araby,   Bairut, T. Thn., hlm. 344.
[9] Muhammad Husain azzahabi, Op. Cit, hlm. 52
[10] Muhammad all Jazari, Op. Cit.
[11] Muhammad al Jazari, Op. Cit.
[12] Ibid.
[13] Ibid, hlm. 54.
[14] Al Zarqani, Op. Cit., hlm. 243
[15] Munzin Hitami, Menangkap Pesan-Pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006, hlm. 34
[16] Muhammad az Zarqani,  Op. Cit.,  hlm. 343
[17] Ibid., hlm. 344
[18] Ibid.
[19] Ibid,hlm. 345
[20] Muhammad Husain az Zahabi,Loc. Cit, hlm. 62
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Abu Thahir Bin Ya’qub al Fairuzzabadi, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni Abbas, Darul Fikr, Beirut, 2001, hlm. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...