Jumat, 23 September 2016

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PADA MASA KEBANGKITAN


BAB  I
 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Islam adalah agama terakhir untuk menyempurnakan agama-agama yang dibawa para nabi terdahulu. Islam sejak awal diturunkan telah mengalami pertentangan hebat dari para kaum Quraisy waktu itu. Banyak hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nenek moyang kaum Quraisy yang dianggap menyimpang oleh Islam. Hak manusia, kepercayaan, ekonomi, muamalah. Semuanya diterapkan dengan aturan baru sesuai dengan ajaran Islam. Seiring dengan berlalunya waktu, lambat laun Islam menjadi mayoritas dan telah merubah tatanan kehidupan masyarakat Mekkah dan Madinah serta daerah lain waktu itu. Pada awal turunnya sampai wafatnya Rasulullah semua hukum masih bersumber dari Allah (Al-Qur’an) dan Rasulullah (Hadist). Segala permasalahan selalu dibawa kepada Rasulullah untuk diselesaikan.
Sepeninggalan Rasulullah mulai dirasakan oleh kaum muslimin, temئpat untuk bertanya segala permasalah telah wafat, maka salah satu cara yang dilakukan adalah dibukanya pintu ijtihad, dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Hadis) sebagai landasan. Setelah Perkembangan Hukum Islam mengalami masa kelesuan, kemunduran dan tidak ada perkembangan dalam bidang Ijtihad, apalagi ditandai dengan tertutupnya pintu ijtihad, dalam beberapa abad lamanya, maka perkembangan pemikiran Islam bangkit kembali yang itu dimulai pada bagian kedua abad ke 19 M. Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Kebangkitan kembali pemikiran Islam tersebut timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada al-Quran dan Sunnah.
Adapun alasan mereka untuk memegangi ijtihad adalah[1]:
1.    Mereka mencontoh perbuatan Nabi, yaitu mempergunakan ijtihadnya apabila wahyu Ilahi tidak turun kepadanya.
2.    Percakapan yang pernah terjadi ketika Rasulullah mengutus Muaz bin Jabal menjadi Qadi negeri Yaman.
3.    Apa yang mereka pahami dari penyebutan illat (alasan) pada sebagai hukum dalam nas al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa tujuan dari penetapan hukum tersebut ialah untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia. Dan manakala kemaslahatan menghendaki perturan, umat Islam wajib berusaha menyusun peraturan yang bisa merealisasikan kemaslahatan tersebut.
Atas dasar inilah, para mufti dari kalangan sahabat bersepakat untuk mengembalikan persoalan kepada sumber perundang-undangan yang tiga ini dengan mengikuti urutan-urutannya, sebagaimana yang sudah kita cantumkan di atas.
Para sahabat ketika menerima alquran dan Sunah, mereka tunduk mengamalkannya menurut teks ungkapan semata-mata, kecuali sahabat seperti Umar bin Khattab. Tercatat dalam banyak hal ia sering mengusulkan pendapatnya kepada Khalifah Abu Bakar untuk dijadikan sumber kebijakan, seperti upaya pengumpulan Alquran dan sebagainya; begitu pula pendapatnya hingga dibijaki sendiri melalui dewan musyawarah sahabat, atau kadang menggunakan kekuasaan otoriternya dalam kapasitas beliau sebagai khalifah; seperti kebijakannya mencabut hukum potong tangan pada musim krisis pangan, hukum harta rampasan dari hukum perdata hak milik prajurit menjadi milik negara atau membebankan hak bagi khalifah untuk menarik pajak di atasnya, Sehingga di samping hukum zakat ada hukum pajak, serta reinterpretasi hukum dalam pembagian zakat.[2]
Pada pemerintahan Bani Ummayyah pemikiran hukum Islam terus berkembang seiring dengan banyaknya permasalahan yang dihadapi. Dan terjadi peningkatakan kreativitas fiqih, hal ini disebabkan beberapa faktor yaitu.
1.      Menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah
2.      Meluasnya periwayatan hadits
3.      Para hamba sahaya mulai menggeluti fiqh dan ilmu syari’at
4.      Munculnya beberapa aliran fiqh.[3]
Kondisi dan perkembangan Hukum Islam berlanjut pada masa Daulah Bani Abasiyah waktu itu sedang berada di puncak kejayaannya, hal tersebut ditandai dengan, diantaranya:
1.     Fiqih Islam pada masa Daulah Bani Abasiyah sedang mencapai puncak kejayaan karna adanya penghargaan dari khalifah.
2.     Kebebasan berpendapat, perbedaan social budaya adat istiadat melahirkan madzhab-madzhab dalam hukum Islam.
3.     Pemikiran-pemikiran Madzhab dari periode inilah yang masih diikuti oleh Umat Islam sampai sekarang, contohnya mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut madzhab Syafi’i.
Pada pemerintahan bani Abbasiyah dibuat aturan-aturan ijtihad, disusunnya Ushul Fiqh dan barulah hasil ijtihad itu menjadi sangat nyata karena dalam periode ini fiqh itu dibukukan. Dalam periode ini pula para mujtahidin mulai memperluas hukum dan membuat macam-macam masalah yang direka-reka dan muncul berbagai mazhab dan golongan-golongan serta timpulnya perselisihan yang hebat dan luas.
Setelah mengalami periode kejayaan. Hukum Islam pada akhirnya mengalami masa kemunduran yaitu berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti madzhab Hanbali, dll.[4] Adapun faktor penyebab taqlid adalah :
1.      Pembukuan kitab madzhab
2.      Fanatisme madzhab
3.      Jabatan hakim
4.      Ditutupnya pintu ijtihad
Setelah mengalami masa kegelapan, akhirnya pada abad ke 19 M atau ke 13 Hijriah Hukum Islam mulai bangkit, hal tersebut ditandai dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu yang terus berkembang sampai sekarang.
Pada makalah ini pemakalah akan memaparkan perkembangan hukum Islam pada masa kebangkitan setelah mengalami kemunduran.

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pemikiran hukum Islam pada masa kebangkitan?
2.    Siapakah tokoh-tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam

C.    Tujuan
      1.    Mengetahui bagaimana dinamika pemikiran hukum Islam pada masa kebangkitan
2.    Mengetahui tokoh-tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam











BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pemikiran Hukum Islam pada masa kebangkitan
Setelah Mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam bangkit kembali. Hal ini terjadi karena reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam.
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah Barat itu, maka pada awal abad XIII H, timbullah ide-ide, usaha-usaha dan gerakan-gerakan pembebasan diri dan ilmu pengetahuan Islam dari penjajah dan pengaruh barat, merasa perlu mengadakan pembaharuan yang universal, meliputi bidang pendidikan, social, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia Islam.[5]
Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya. Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yng kembali kepada kemurnian ajaran islam.[6]
Menurut Dr. Rarrouq, keharusan kebangkitan fiqih bukan sekedar kebutuhan sejarah tetapi bahkan kebutuhan fiqih itu sendiri. Ini berarti, mengabaikan fiqih dari perkembangannya sama artinya dengan mengabaikannya dalam kehancuran. Karena perkembangan merupakan kebutuhan dari keberadaan dirinya.Seperti itu pula yang kita lihat dalam era kejumudan dan kebekuan fiqih. Fiqih tidak mampu lagi memberikan jawaban – jawaban atas kebutuhan dan permasalahan – permasalahan baru yang muncul dalam dunia Islam, bahkan yang lebih tragis, ia mengalami kristalisasi sebagai akibat hancurnya bangunan masyarakat Islam.
Diantara fuqaha yang diidentikkan bermazhab kepada mazhab hambali, muncullah ahmad ibnu taimiyah dan muridnya, ibnu qayyim al jauziyah. Dia berdiri sebagai hamzah washol diantara masa terdahulu dengan masa sesudahnya.Mereka memerangi khurufat dan bid’ah serta menganjurkan pemahaman syari’at dengan memakai pikiran, penalaran, dan akal sehat. Mereka adalah penerus ahmad ibnu hanbali yang mengatakan bahwa pintu ijtihad itu terus berlaku hingga hari kiamat. Mereka kembali pada mazhab salaf al – shalih yang berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah Rasul. Ibnu Qayyim al- jauziyah memerangi taqlid buta dari kejumudan serta mempertajam berijtihad.[7]
Meskipun semua sepakat bahwa kebekuan fiqih itu telah melahirkan realitas baru dalam alam pikir Islam berupa krisis pemikiran dan krisis hukum, namun terjadu perbedaan yang cukup tajam dalam usaha menemukan penyelesaiannya. Perbedaan tersebut kemudian berkembang dalam wujud pemikiran dikalangan ulama’ dan fuqaha sejak akhir abad ke – 14 H hingga sekarang ini.[8][8]
Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan ilmu fiqh, yaitu :
  1. Modernisme, pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim, pendukung pola ini mendakwakan bahwa fiqh Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan dan kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat keluasan  informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini, untuk mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus berani meninggalkan fiqh yang sudah ada dan membangun fiqh baru yang kontekstual.
  2. Survivalisme, pendukung pola ini bercita – cita mebangun pemikiran fiqh dengan berpijak pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada. Keluasan tesarwah fiqhyah, menurut pendukung pola ini harus di kembangkan. Hingga sampai saat ini.
  3. Tradisionalisme, pendukung pola ini menekankan keharusan kembali kepada Al-qur’an dan As-sunnah. Satu hasl yang menarik dari cita – cita pola ini adalah penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan pendapat. Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan ikhtilaf ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis, bukan pada pendapat – pendapat para imam mazhab.
  4. Neo – survivalisme, pola terakhir ini disebut neo – survivalisme, kerena para pendukungnya selain menawarkan fiqh pengembangan juga menampakkan concernya yang besar terhadap kepedulian social. Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relefansinya dengan persoalan – persoalan kekinian.[9]
Karenanya dalam banyak hal,  mereka mengajukan suatu pendekatan – pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relevansinya dengan persoalan – persoalan kekinian. Menurut pendukung pola ini, kegagalan fuqaha selama ini dikarenakan kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat dalam perkembangan yang sedemikian rupa sehingga muncul kesenjangan antara fiqih secara teoritis dengan kenyataan masyarakat secara praktis. Untuk yang tersebut terakhir ini mereka mengajak pada suatu pemahaman yang lebih dinamis dan tidak kaku, yaitu dengan menggabungkan pemahaman Tarikh Tasyri’ dengan sosiologi hukum.[10]
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh Islam, kedua kodifikasi hukum Islam.
1.      Pembahasan Fiqih Islam
Bermulanya zaman ini pada akhir tahun ketiga belas Hijirah ketika zaman pemerintahan kerajaan Uthmaniah. Pada ketika itu, kerajaan Uthmaniah telah menggunakan fiqh sebagai satu undang-undang dan dijadikan dalam bentuk akta dan amandemen. Para hakim menggunakannya sebagai rujukan di dalam menjalankan proses penghakiman. Ia dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu. Tugas ini diberikan kepada segolongan ulama besar diketuai oleh Menteri Keadilan untuk membentuk satu undang-undang dalam urusan peradaban. Pekerjaan  tersebut diselesaikan oleh pihak Lujnah pada tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869-1876 M. Para ulama telah menyusun 1851 akta yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil daripada fiqh Hanafi dengan memilih perkara yang terbaik seiring dengan perubahan zaman dan juga yang mendatangkan kebaikan kepada manusia. Himpunan akta-akta dinamakan ini sebagai Majallah al­Ahkam al-’Adliah dan dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia digunakan pada zaman pemerintahan Kerajaan Uthmaniah sehingga dihentikan penggunaannya selepas kejatuhan kerajaan Uthmaniah. Majallah ini dibahagikan kepada bebarapa fasal seperti berikut; Jual beli, sewaan, kafalah, hiwalah, pajak gadai, amanah, hibah (anugerah), rompak dan pencurian, paksaan, syuf’ah, jenis-jenis syarikat, wakalah, sulhu (rundingan), Iqrar, dakwaan, keterangan, dan kehakiman.
Pada mukadimah kitab ini, dimulakan dengan fasal permulaan, mengandungi sejumlah kaedah-kaedah kulliyyah berjumlah 77 kaedah. Kemudian berlaku banyak perubahan pada undang-undang tersebut dan ada juga yang dibuang dan digantikan dengan undang-undang lain pada tahun 1880 Masihi. Selepas itu terdapat undang­undang lain yang digazetkan di negara-negara Islam lain. Sebahagian besarnya disusun berkenaan dengan al-Ahwal al-Syaksiyyah atau undang-undang keluarga yang dikuatkan dengan fiqh Islam tanpa disempitkan dengan mazhab-mazhab tertentu. Negara Turki merupakan negara pertama yang mengeluarkan undang-undang berkenaan dengan undang-undang keluarga dengan nama Qanun Huquq al-A’ilah (undang-undang hak-hak kekeluargaan) dan dikeluarkan pada tahun 1917. Pada tahun tersebut diresmikan Undang-undang Hukum Keluarga menggunakan prinsip Talfiq dan Tahayyur (Menggabungkan beberapa pendapat kemudian dirumuskan satu hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan perkembangan semasa). Undang-undang tersebut disebut The Ottoman Law of Family Rights.
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Sehingga fiqih Islam nisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para ulama’, menjahui metode yang rumit dan menyusahkan, menggunakan konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam dan terfokus.[11] Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut:
  1. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain. Penguasa pada zaman ini  berpegang kepada mazhab tertentu  dalam ber – taqlid dan qadha’, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka mambatasi kurikulum Al – Azhar hanya dengan mazhab Syi’ah.
  2. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih tematik. Pada zaman ini, kajian fiqih sudah beralih pada kajian kitab – kitab fiqih klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan.
  3. Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih komparasi. Pada masa ini para peneliti fiqih lebih focus ke kajian fiqih komparasi. Metode ini memilki kelebihan, yakni dapat memunculkan teori – teori umum dalam fiqih Islam dan teori baru seperti teori akad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proposional serta yang lainnya yang dapat kita lihat dari hasil karya ilmiah. Dalam muktamar internasional tentang perbandingan UU yang dilaksanakan di lohre tahun 1931, kemudian 1937, dan konfrensi Advokasi Internasional tahun 1948, para penelis menyatakan, “ Fiqih Islam memiliki nilai perundang – undangan yang tinggi dan tidak bisa ditandingi sehingga harus dijadikan sumber perundang – undangan civil, semua prinsipnya bisa mewujudkan peradaban dan kemajuan, lebih mampu dari perundang – undangan lain dalam memenuhi kebutuhan umat manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa, mudah dirujuk dan dikaji serta diambil produk hukumnya”.
  4. Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.Diantara indikasi kebangkitan fiqih pada zaman ini adalah didirikannya beberapa lembaga kajian diberbagai negeri Islam dan terbitnya beberapa insiklopedi fiqh.[12]
2.       Kodifikasi Hukum Fiqih
Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor.1Dan jika ada setiap masalah akan dirujuk kepada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi putus dalam menyelesaikan perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
  1. Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
  2. Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang sitematik.
Menurut seorang orientalis inggris moderat, W. Montgomery bahwa bebrapa bagian dari fiqih telah disusun dalam bentuk undang – undang sejak dari masa Nabi Saw masih hidup. Undang – undang yang merupakan UUD Islam tersebut, oleh ibnu Hisyam diberi nama dengan Kitabun Nabi. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan nama The Constitution of Medina. Pada tahun 1956 oleh Montgomery sendiri dan pada tahun 1961 di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh H. Zainal Abidin Ahmad, dengan nama Piagam Nabi Muhammad SAW. Kemudian atas anjuran Ibnu Muqaffa’, khalifah al – Mansur (w 163 H) Meminta agar Imam Malik bersedia mengumpulkan bahasan Fiqih dalam satu madzhab untuk dijidikan sebagai undang – undang yang berlaku bagi Daulah Umayyah. Akhirnya Imam Malik menyusun kitab al – muwattha. Usaha kearah pengkodifikasian ini, kemudian dilanjutkan oleh ulama india pada masa Sultan Muhammad (w 1138). Tetapi mereka hanya dapat mengumpulkan sejumlah fatwa dan keputusan pengadilan kedalam sebuah kitab yang diberikan nama al – fatwa al – Hindiyah.[13]

B.    Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :



    1. Muhammad Ibn Abd Wahhab (1703 – 1791)
Abd Wahab adalah seorang faqih yang bermazhab Hambali, belajar agama ke Basrah (4 tahun), Bagdad(5 tahun), Kurdistan, Namdan, dan Isfahan. Di kota terakhir ia belajar filsafat dan tasawuf. Dari perjalanan ilimiahnya, ia melihat kerusakan aqidah, seperti meminta tolong kepada syech atau wali tarekat, kekuatan ghaib, berdo’a dengan melalui perantara (tawasul). Ia berpendapat bahwa umat islam harus kembali seperti yang dianut dan diamalkan Raululah, sahabat,  dan tabi’in. Sumber ajaran hanya al Qur’an dan hadits, dan untuk memahaminya memakai ijtihad. Upaya dan pemurnian yang dilakukan oleh kelompok ini seringkali disebut dengan Gerakan Wahabi.[14]

    1. Sayyid Ahmad Syahid ( 1786 – 1831 )
Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a)          Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
b)         Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitannya.
c)          Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang Empat.
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.
    1. Muhammad Abduh (1849 – 1905)
Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.Muhammad Abduh berpendapat, sebab yang membawa kemunduran fiqih Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam.Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki dan menerima perubahan.
Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid.Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat.Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu.Al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal.Menurut pendapatnya Al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal.
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat:.  أفلا يعقلون , أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون  dan sebagainya. Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.

  1. Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a)          Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b)          Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c)          Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)         Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e)          Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f)           Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada kebaikan.
g)         Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.[15]

Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam fase kebangkitan ini. Di Mesir, ada Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida dan para murid dari Muhammad Abduh. Di Turki, ada Sultan Mahmud II dan Mutafa Kemal. Di India-Pakistan, ada Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah. Para ulama – ulama tersebut merupakan pelopor gerakan pembaharuan. Gerakan ini menyerukan kepada kebangunan kaum muslimin, pengembangan ilmu – ilmu Islam, meninggalkan taqlid buta dan bid’ah, dan kembali pada ajaran Al-Qur’an dan As – sunnah dan mengikuti metode ulama syalafiyin, seperti: sahabat dan ulama – ulama sebelum masa kemunduran.

Sebenarnya masih banyak lagi pemikir-pemikir Islam yang punya andil besar dalam perkembangan Islam pada masa kebangkitan. Seperti Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.








BAB III
P E N U T U P


A.     Kesimpulan
Kebangkitan fiqih dimulai dari akhir abad 13 H atau 19 M sampai pada hari ini. fase ini mempunyai karakter dan corak berbeda dengan fase – fase sebelumnya. Fiqih dihadapkan pada zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi masukan dalam menentukan jawaban atas setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Kebangkitan fiqih ditandai oleh dua aspek, yaitu :
1.     Pembahasan fiqih Islam, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah, fiqih tematik, fiqih komparasi, dan Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.
2.     Kodifikasi hukum fiqih, di mulai pada awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur, kemudian kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki
Ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata).
Tokoh-tokoh yang berjasa dalam kebangkitan fiqih Islam, mereka adalah; Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad As-Sirhindi, Sayyid Ahmad Syahid, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.


B.     Saran dan Kritik
Dalam penulisan makalah ini pasti banyak kekurangan dan dibutuhkan pemikiran positif untuk sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.





Daftar Pustaka

Ali, Mukti,  Alam  Pikiran Islam Modern di Timur Tengah:  Jakarta: Djambatan, 1995

Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, 2005, Jakarta : Prenada Media.

Djatnika, Rahmat Dkk, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI. 1986.

Husen, Ibrahim. “Sampai Di Mana Ijtihad Dapat Berperan”. IAIN Gunung Jati Bandung, 15 Maret 1989.

Khallaf, Abdul  Wahab Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.

Khalil, Rasyad Hasan. Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam ), diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A. Jakarta: Amzah, 2009.

Praja. Juhana S. Dkk,  Hukum islam diIndonesia. Bandung: Pustaka Rosdakarya Offset, 1991.

Sirrry,  Mun’im A. Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti. 1995.







[1]Abdul  Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 37
[2] Ibrahim Husen, “Sampai Di Mana Ijtihad Dapat Berperan” (IAIN Gunung Jati Bandung, 15 Maret 1989).
[3] DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam ), diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 ), h. 62
[4] Ibid.
[5] Rahmat Djatnika, Dkk, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. (Jakarta: Dept. Agama RI. 1986), h. 46
[6] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, 2005, Jakarta : Prenada Media.
[7] Juhana S. Praja. Dkk,  Hukum islam diIndonesia, (Bandung: Pustaka Rosdakarya Offset, 1991), h. 7
[8] Mun’im A. Sirrry. Sejarah Fiqih Islam (Islamabad: Risalah Gusti. 1995) h. 152
[9] Ibid., h. 153
[10]Ibid. h. 155
[11] Rasyad Hasan Kholil. , Tarikh Tasyri’;sejarah legislasi hukum islam  (Jakarta: amzah, 2009), h. 131.
[12] Ibid., h. 133
[13] Rahmat Djatnika , Dkk, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. (Jakarta:Departemen Agama RI, 1986), h. 51
[14] . Mukti Ali, Alam pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), h.43
[15] . Ibid.h.137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...