Kamis, 10 Maret 2011

Pemberdayaan Masjid


MASJID SEBAGAI PUSAT INFORMASI UNTUK MEMBENTUK
KOMUNITAS BELAJAR BERBASIS MASJID


A.    PENDAHULUAN

Masjid sejak zaman Rasulullah SAW telah menjadi pusat kegiatan kaum muslimin. Walaupun dari arti katanya masjid merupakan tempat sujud kepada Allah SWT namun sejarah menunjukan bahwa masjid tidak semata–mata digunakan untuk kegiatan ritual saja. Dalam perjalanan sejarah Islam yang panjang dapat dikatakan bahwa masjid juga mempunyai peran yang tidak kecil dalam pembangunan peradaban Islam.  Artefak-artefak  peradaban Islam masa lalu selalu tidak dapat dipisahkan dari bangunan masjid.  Bahkan artefak  yang menonjol jika berbicara mengenai peradaban Islam dari suatu lokalitas dapat dipastikan bahwa masjid akan menjadi sebuah ciri yang tidak dapat ditinggalkan.  Oleh karena itu dalam membangun kembali peradaban Islam,  yang mampu menebarkan rahmat kepada alam sekitarnya, pada dasarnya, yaitu sebagai pusat kegiatan kaum muslimin.
Mengingat peradaban  manusia semakin hari semakin kompleks, institusi –institusi baru telah diperkenalkan dan berfungsi ditengah–tengah kehidupan  masyarakat.   Misalnya institusi sekolah sebagai pusat belajar dan pembelajaran, yang di zaman Rasullullah dan para sahabat belum dikenal. Perkembangan seperti ini menuntut dikajinya kembali  mengenai posisi terpadu dari masjid di tengah–tengah kehidupan saat ini.  Menempatkan masjid semata–mata sebagai tempat kegiatan ritual  disamping  mengikari sejarah juga mengabaikan berbagai potensi yang dimiliki oleh insitusi ini.  Salah satu potensi yang dimiliki oleh masjid adalah terselenggaranya kegiatan periodik  ibadah shalat jum’at  di dimana sejumlah besar kaum muslimin berkumpul mendengarkan khotbah jum’at.  Berkumpulnya sejumlah besar kaum muslimin secara periodik merupakan salah satu potensi yang dapat digunakan untuk menggalang hal–hal yang positif bagi perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Tersidianya ruang dan jumlah fasilitas juga merupakan suatu potensi, khususnya dikota –kota besar dimana ruang (space) semakin mahal harganya.
Dalam makalah ini  akan dibahas kemungkinan menjadikan masjid sebagai pusat informasi pendidikan dan keagamaan. Pembahasan akan dimulai dengan mengamati kecendung –kecenderungan menuju masa depan. Pengamatan ini penting agar perencanan tidak menjadi suatu pada akhirnya menghasilkan hal-hal yang tidak sejalan dengan masa depan dan dengan demikian menguranggi efektivitasnya.  Karena besarnya tantangan lingkungan yang harus dihadapinya. Dalam memperhatikan kecenderungan menuju masa depan tersebut kemudian diusulkan sebuah alternatif mengenai salah satu model dari fungsi masjid yaitu sebagai pusat informasi pendidikan dan keagamaan. Sebagai sebuah usulan model ini terbuka untuk dikoreksi dan disempurnakan lebih lanjut disesuaikan dengan karakteristik lokalitas masing-masing.

B. KECENDERUNGAN MENUJU MASA DEPAN
Bentuk masa depan dari peradaban manusia secara rinci tidak dapat diramalkan. Meskipun demikian kecendung-kecendungan yang kemungkinan akan mempengaruhi bentuk peradaban masa depan manusia dapat digunakan untuk memperoleh gambaran umum mengenai masa depan. Dari aspek fisik maka bentuk peradaban itu sangat dipengaruhi perkembangan dan kemajuan teknologi, khususnya teknologi telekomunikasi, komputer, informasi, dan material baru. Kemajuan di bidang ini sangat dipengaruhi  kecendung-kecendungan menuju masa depan itu. Karena kemajuan ini tidak menjadi kendala serius untuk berbagai program atau kegiatan manusia dan kemanusiaan. Kejadian di dimana pun dimuka bumi dapat diikuti hampir seketika dari tempat lainnya  .Massalisasi informasi menjadi suatu yang dpat dengan mudah dilakuka. Ini pula yang menyebabkan abad ini oleh Prof. James Duderstadt disebut sebagai zaman perkelimpahan pengetahuan (the age of abundance knowledge). Berbagai informasai pengetahuan demikian melimpahnya dan dapat diakses praktis secara gratis dari internet. Bahkan kini telah pula dikenal dan menjadi populer istilah open course ware yaitu materi perkulihaan yang amat lengkap, demo animasi, atau simulasi  fonomena yang terkait, materi ajar sampai contoh dan solusi soal-soal yang dapat diperoleh secara gratis melalui internet.
Akibat dari hadirnya kelimpahan pengetahuan adalah terbentuknya sebuah komunitas yang berbasisis pengetahuan ( knowledge based community). Mereka inilah yang kemudian menciptakan, menggerakan, memutar apa yang disebut ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economic) industri berbasis pengetahuan (knowledge based industry) dan lebih luas cara hidup yang berbasis pengetahuan (knowledge bades life style) kegiatan –kegiatan pengetahuan. Dalam situasi seperti ini hanya mereka yang senantiasa siap untuk belajarlah yang paling fit dengan zaman yang berkelimpahan pengetahuan itu, masyarakat seperti inilah yang paling dapat mengambil manfaat dari berlimpahnya pengetahuan. Dapat dipastikan  bahwa masyarakat yang tidak mempunyai kebiasan atau sikap hidup belajar hanya akan menjadi objek dan pantas menjadi korban dalam persaingan antar bangsa yang amat kejam.
Kelimpahan yang diseretai dengan perkembangan yang amat cepat ini juga menimbulkan efek berupa ketidak pastian. Produk-produk baru segra hadir menggantikan produk sebelumnya yang cepat menjadi usang. Dimiliki hari ini menjadi tidak relevan dikeesokan harinya. Kurikulum hari ini tidak menjamin akan memberikan manfaat yang maksimal bagi pserta didik pada saat ini. Bukan  merupakan sebuah kemustahilan bahwa alumni dari sebuah pendidikan benar-benar tidak siap untuk bekerja, menjadi asing dilapangan kerja, karena apa yang dipelajrinya telah menjadi monumen sejarah. Dengan demikian dapat dipahami sepenuhnya bahwa efek berikutnya dari perkembangan teknologi yang amat cepat itu adalah tekanan hidup dan kehidupan yang makin besar. Tekanan ini akan menyebadkan berbagai persoalan sosial, psikilogis, dan bahkn kejiwaan yang dari waktu akan semakin serius dan semakin kompleks. Seandainyapun ilmu-ilmu  sosial dapat mengikuti perkembangan persoalan-persoalan ini namun sosialisasinya sampai pada tingkat yang bersift aplikatif jelas bukan merupakan hal yang mudah diselesaikan. Yang juga merupakan efek perkembangan yang amat cepat adalah biaya yang harus diinvestasikan agar tetap mampu bersaing. Kebutuhan pembiayaan yang tidak kecil ini jelas tidak dapt dipukul oleh mereka, baik individu maupun negara, yang lemah.  Akibatnya jurang perbedaan dari waktu ke waktu dapat dipekirakan akan semakin membesar. Cepat atau lambat hal ini akan menghasilkan persoalan yang juga tidak kalah kompleks dan seriusnya dibandingkan persoalan –persoalan.
Untuk mengatisipasi perkembangan yang amat cepat dan bersifat sulit untuk diramalkan sehingga penuh dengan ketidakpastian ada tiga hal yang penting yang harus diperhatiakan oleh siapa saja yang menginginkan justru mengambil hikmah atau manfaatnya, pertama, mempersiapkan generasi yang selalu siap belajar (learner). Dengan demikian masa depan itu harus diantisipasi dengan membentuk generasi yang menkadikan belajar, dengan berbagai penunjangan seperti membaca, sebagai kebiasaan (habit). Kedua manfaatkan abundance of free knowledge itu maksimal mungkin.Hal ini diantaranya dapat dilakukan denagn menciptakan pusat-pusat akses yang memberikan layanan akses kepada knowledge  itu semurah mungkin, Ketiga disamping yang sangat pratikal , yang berarti rentan terhadap perkembangan, informasi , pendidikan yang bersifat fundamental , yang bearti tidak mudah terpengaruh  terhadap perkembangan yang cepat dan penuh ketidak pastian, perlu mendapatkan perhatian yang serius.Identifikasi dan kemudian disseminasi hal –hal yang fundamental haruslah mendapat porsi yang  cukup didalam setiap kebijakan publik.Core curriculum seharusnya berisi materi yang bersifat fundamental. Dalam ketiga, konteks inilah masjid semestinyalah dapat memberikan kontribusinya. Sebelum membahas  berbagai syarat perlu dan cukup yang harus dimiliki masjid agar dapat berperan semaksimal mungkin, bab berikutnya akan meninjau ulang keadaan dan keberadaan lembaga masjid di Indonesia secara garis besar terlebih dahulu.

C. MASJID DI INDONESIA SAAT INI
Keberadaan masjid di Indonesia adalah seusia dengan keberadaan agama Islam di Indonesia itu sendiri, oleh karena itu tidaklah berlebihan jika disebutkan bahwa masjid  merupakan sebuah institusi yang cukup tua dan telah mentradisi, membangun tradisi sendiri. Termasuk dalam tradisi atau  adalah fungsinya yang sebagian besar hanya sebatas untuk tempat shalat  yang lima waktu dan shalat jum’at beserta khotbahnya. Sudah barang tentu hal ini tidak dimaksud untuk menutupi kenyataan bahwa ada sejumlah masjid ( yang relatif kecil dibandingkan jumlah total masjid yang ada ) yang telah mampu mengembangkan peran dan fungsinya tidak semata –mata hanya kegiatan ’’ibadah ritual saja’’. Dengan demikian untuk sebagian besar  waktu, masjid hanya merupakan bangunan, yang kadang-kadang  besar dan megah, yang sebagian besar waktu hanya merupakan bangunan kosong yang tersia-sia. Juga termasuk  kedalam tradisi itu adalah bahwa masjid diurus secara apa adanya, volunteer, seadanya., suka rela dengan implikasi yang jelas yaitu pemanfaatkan dan kenerja pengurus yang seadanya. Yang mencapai ratusan ribu maka  potensi yang tidak termanfaatkan akan menjadi suatu jumlah yang tidak kecil. Inilah potret umum masjid, khususnya masjid-masjid tradisional di Indonesia.
Dengan dipelopori oleh sejumlah kota besar, nampaknya ada kecendurungan setiap kota untuk membangun masjid sebagai suatu bagian dari sebuah islamic centre. Ujung Pandang, Surabaya, Bandung, dan sebentar lagi Jakarta untuk menyebut beberapa  contoh saja mengenai hal tersebut. Walupun hal ini merupakan sebuah kecenderungan, namun akan  lebih baik jika kecenderungan ini justru terus didorong untuk menjadi kenyataan.  Pada umumnya PEMDA menjadi penyandang dana tunggal, paling tidak untuk inisiasinya, sampai  waktu tertentu, yaitu sebelum mampu berdiri sendiri dari aspek pembiayaan maupun program kegiatan. Sejumlah model pengolahan dan program telah diperkenalkan oleh Islamic Centres ini.
Kecenderungan lainnya yang juga menarik adalah maraknya dibangun masjid –masjid baru (sekadar renovasi masjid  yang telah ada sebelumnya) yang ada dari segi fisiknya relatif megah dan mewah disepanjang jaln raya, khususnya di pulau Jawa. Ini penting untuk menjadi perhatian karena masjid-masjid seperti ini sudah seharusnya akan mempunyai kemudahan akses kepada jaringan telekomunikasi. Walaupun sebenarnya dari aspek teknologi, kemudahan akses telekomunikasi tidak  harus sejalan dengan kemudahan akses trasportasi, namun untuk kondisi di Indonesia khususnya, karena akan menyangkut pembiayaan, hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam melakukan klasifikasi masjid untuk menukarkan  perannya yang optimal menghadapi kecenderungan menuju masa depan. Kadang-kadang masjid ini tidak  berada disuatu wilayah tempat tinggal , dengan kata lain dapat dipastikan  bahwa masjid itu tidak mempunyai jamaah yang fixed (tetap tertentu) jamaah umumnya adalah para musafir.
Dengan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dimasa mendatang maka peran dan fungsi yang relevan akan semakin perlu untuk lebih  ditingkatkan. Yang dimaksud dengan relevan adalah mampu memberikan kontribusi yang terukur dalam usaha masyarakat mencari jawabanterhadap permaslahan yang dihadapinya.Ada sejumlah alasan mengapa masjid dituntut untuk proaktif memberikan kontribusinya tersebut. Pertama, masjid mempunyai resources atau potensi, baik yang tangible, untuk memberikan kontribusi tersebut, kedua institusi masjid tersebar merata hampir keseluruh pelosok tanah air sehingga potensi mengembangkannya menjadi jaringan nasional yang efektif merupakan sebuah keniscayaannya, ketiga sebagai insitusi normatif maka masjid mempunyai kekuatan integrator yang relatif lebih kuat dibandingkan institusi lainnya di tengah –tengah umat, keempat mempunyai aktifitas massal rutin,  sekurang –kurangnya setaip hari jum’at yang berhubungan langsung dengan akar rumput.

D. PUSAT INFORMASI
Masjid dengan forum khutbah jum’at yang diikuti oleh seluruh umat yang telah tiba saatnya dikenai kewajiban shalat Jum’at memang sudah sepantasnya menjadi pusat informasi setiap hari sungguh tidak mungkin untuk dikupas hanya dalam 30 sampai 50 menit. Seandainyapun dapat dikupas maka dapat dipastikan bahwa sifat pengupasannya pun hanyalah sebatas berita. Untuk hal-hal yang memerlukan kupasan atau pembahasan yang mendalam sehingga memberikan  nilai tambah yang lebih besar kepada umat yang memerlukannya perlu dicarikan media atau metoda yang lebih tepat, Jika memang masjid itu diyakini sebagai pusat kegiatan umat bahkan seandaipun umat tidak memelukan informasi, masjid tetap mempunyai tanggung jawab menyediakan yang perlu proaktif mendidik umat umat mengenai pentingnya sejumlah informasi releven untuk diketahui dan kemudian dimanfaatkan oleh umat.
Dengan segala keterbatasan yang ada dan tidak terhindar dari  pusat informasi ini sudah seharusnya di bangun dengan biaya semurah mungkin namun senantiasa terbarukan secara teratur, disamping itu tutunan relevansi juga tidak dapat diabbaikan begitu saja. Pada hal latar belakang dan dengan demikian kebutuhan umat yang harus dilayani beragam.Kenyataan ini berimlikasi pada keharusan  beragamnya jenis informasi yang disediakan. Lebih  dari itu informasi yang ada perlu kajian yang  mendalam, sehingga tidak jarang dapat diselesaikan  dibaca dan apalagi dikaji di masjid.Jadi informasi bersifat trasferable atau portable semudah dan semurah mungkin.Informasi yang tidak tersedia disuatu lokalitas maka informasi masih diperoleh ditempat lain dengan cepat, muudah, dan murah. Dengan kata  lain informasi  itu memang ada dalam suatu jaringan yang bebasis data maka informasi dapat diperoleh. Info itu terstruktur sedemikian rupa sehingga pencarian kembali  dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan murah. Selanjutnya dengan memperhatikan kenyataan bahwa umumnya masjid –masjid  di Indonesia tidak mempunyai ruang yang memadai untuk melakukann aktifitas selain shalat maka informasi itu harus tersimpan secara ringkas, tidak memakan tempat ruang dan waktu. Bahkan lebih dari pada itu, penyimpanan itu juga memerlukan perhatian dan pembiayaan yang memberatkan.
Jika semua persyaratan dipenuhi maka tidak ada pilihan lain kecuali bahwa informasi harus merupakan data elektronik yang berada dalam suatu jaringan. Elektronik atau komputer sehingga membentuk sebuah integrated electronic library. Merupakan sebuah alternatif jaringan dari perpustakaan elektronik nasional berbasis masjidd. Setiap kota mempunyai  sebuah node yang terkoneksi dengan kota-kota lainnya dengan memanfaatkan tulang punggung jaringan Depag. Masjid- masjid didalam kota atau kabupaten mempunyai hubungan dengan node antar kota tersebut. Setiap jaringan lokal mempunyai basis tersendiri. Kelengkapan basis data tersebut tergantung pada kemampuan fasilitas penyimpan data yang dimiliki oleh setiap lokalitas. Apabila fasilitas itu memang memadai maka basis lokal dapat saja merupakan miror image dari basis nasional. Keuntungan dari lokalitas yang seperti ini adalah dalam hal kecepatan pelayanan informasi kepada jamaahnya, jamaah tidak memerlukan waktu transfer iinformasi jarinagn yang lebih besar, yang kadang amat menyita waktu . Dengan semakin murahnya harga fasilitasnya penyimpanan data dapat diharapkan ,paling tidak setiap node dalam jaringan antar kota, dapat merupakan miror image dari pusat data nasional. Disamping kemampuan finasial, keadaan demografi dari jumlah yang selanjutnya akan menentukan apakah suatu masjid lokal perlu mempunyai koneksi dengan node pusat informasi berbasis  masjid di kota terdekat. Setelah fasilitas pendukung ini tersedia maka tantangan berikutnya adalah dalam pembentukan komunitas belajar (learning community) menuju terbentuknya sebuah komunitas berbasis pengetahuan (knowledge based community)

E.  KOMUNITAS BELAJAR BERBASIS MASJID
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa hasil akhir dari berlimpahnya pengetahuan adalah kuatnya pengaruhnya pengetahuan dalam segala aspek kehidupan, mulai dari produk–produk yang padat pengetahuan, ekonomi, dan industtri berbasis pengetahuan  dan bahkan gaya hidup berbasis pengetahuan. Masyarakat yang terlambat mengantipasi kenyataan ini dapat dipastikan akan menjadi masyarakat budak (slaves socienty). Masjid mempunyai potensi yang amat strategis untuk mempersiapkan berlimpahnya pengetahuan itu sehingga terhidar dari perbbudakan karena rendahnya pengetahuan yang dimilikinya. Setelah semua perangkat infrastruktur yang diperlukan untuk membentuk atau mengatifkan kegiatan belajr tersedia maka tantangan berikutnya adalah penyusunan strategi bagi terwujudnya komunitas belajar berbasis masjid ini.
Pertama, menentukan kebutuhan aktifitas belajar yang relevan dengan kebutuhan jamaah. Hanya dengan adanya rasa butuhlah kegiatan itu tidak saja dapat dicciptakan namun lebih penting lagi kegiatan itu akan mampu bertahan. Dalam konteks ini jika masjid harus proatif tidak saja mengidentifikasi kebutuhan jamaahnya bahkan perlu menyadarikan jamaah bahwa mereka sebenarnya memerlukan tambahan pengetahuan tertentu bagi kesuksesan hidup di dunia selanjutnya. Rendahnya wawasana karena akses terhadap perkembangan di dunia , menyebabkan sebagian anggota masyarakat tidak menyadari bahwa terhadap kebutuhan sendiri untuk menghadapi kecenderungan perkembangan zaman. oleh karena  itu disamping  harus senantiasa  well informed masjid perlu terus menerus mensosialisasikan pengetahuan yang dimiliki khususnya yang menyangkut peningkatan kesejahteraan kepada jamaahnya. Dalam keadaan diman kebutuhan jamaah amat bervariasi, maka tahap awal dipilih aktifitas belajar yang akan memberikan manfaat terbesar bagi sebagian besar jamaahnya. Ini perlu digaris bawahi disini karena membangun suatu aktifitas belajar akan sangat menyerap resource yang umumnya terbatas yang dimiliki masjid.
Kedua,  menentukan metoda yang akan digunakan, pemilihan metoda ini disamping disesuaikan dengan tersedianya fasilitas pendukung yang dimiliki juga harus memperhatikan keadaan sosio- psikologis jamaah. Pengguunaan fasilitas multimedia tentunya adalah metoda yang paling ideal namun mungkin  terlalu mahal untuk sebagian besar masjid di Indonesia. Metoda yang relatif digunakan oleh semua masjid adalah metoda klasikal .Namun dengan asumsi bahwa fasilitas infrastruktur dasar untuk dimanfaatkan informasi elektronik telah tersedia maka metoda  yyang akan dipilih harus mampu memanfaatkan fasilitas ini semaksimal mungkin. Termasuk didalamnya penggunaan untuk demo-demo animasi dan akses keberbagai bahan yang tersedia gratis via internet. Peserta harus dapat dirangsang uuntuk selanjutnya bersemangat untuk mengembangkan  sendiri menjadi anggota learning community yang aktif meningkatkan kualitas sendiri.
Ketiga, memilih sumberdaya manusia yang mendukung terbentuknya komunitas belajar . Sumberdaya manusia diusahakansemaksimal mungkin berasal dari anggota jamaah sendiri, walaupun kemudian direkrut sebagai tenaga penuh (full timer). Akan lebih banyak  tenaga kader masjid  sehingga dipastikan mengerti dan memahami visi dan misi institusi  serta sejak dari awak turut membangun komputer, teknologi informasi, dapat direkrut tenaga-tenaga setingkat SMK mengikuti kursus –kursus ynag relevan. Persoalan sumberdaya manusia dalam hal ini tenaga mudah memenuhi kualifikasi bagi pembentukan komunitas belajar, merupakan persoalan yang sirius. Tantangan terbesar yang selama ini dirasakan tentunya karena menjadi tenaga tetap pengelola kegiatan kemakmuran masjid telah dianggap sebagai pekerja yang memberikan apapun kecuali janji kehidupan di akhirat yang baik. Pandangan ini harus diubah dengan menyusun program-program kegiatan yang berkelanjutkan (sustainable) sehingga dapat memberi jaminan kesejahteraan tidak saja di akhirat namun di dunia ini.
Keempat, mencari pembiayaan awal untuk menggerakan calon pusat-pusat pembelajran berbasis masjid, persoalan pembiayaan merupakan persoalan klasik, walaupun pengalaman telah menunjukkan bahwa pengaruh programlah yang perlu disusun dan diwujudkan , sederhana, terlebih dahulu dan anggaran atau dana akan mengalir dengan sendirinya kemudian hari. Meskipun sampai pada tataran tertentu, administratur negara dalam hal ini Departemen Agama mempunyai tanggung jawab untuk memberikan stimulan bagi terbentuknaya pusat –pusat belajar berbasis masjid sebagai suatu konstribusi nyata bagi terbentuknya pusat-pusat belajar berbasis  pengetahuan mengenai hal ini akan dibahhas selanjutnya.

 F. PERAN DEPARTEMEN AGAMA DALAM MEMBANGUN KOMUNITAS  BELAJAR BERBASIS MASJID
Seandainya sebagian besar masjid telah berasil dikembangkan menjadi pusat informasi pendidikan dan agama namun tidak terjadi kegiatan berbasis masjid maka pada dasarnya manfaat keneradaan pusat informasi ini sebenarnya tidak optimal. Tantangan untuk membentuk komunitas belajr berbasis masjid ini tidak ringan dan sederhana. Apalagi dizaman internet diman hampir setiap informasi dapat diperoleh melalui internet, cukup di rumah saja. Hanya denagn terwujudnya masyarakat atau komunitas belajar berbasis massjidlah keberadaan pusat informasi pendidikan agama di masjid yang relevan. Ini tentu akan menyangkut kreativitas pengembangan program dan pembiayaan.  Dalam konteks inilah kami mengusulkan sebuah peran bagi Departemen Agama,  yaitu: peran sebagai penggerak utama (prime mover) atau stimulator utama sebagai penyandang dan awal kepada masjid –masjid yang memenuhi kriteria tertentu. Masjid ini berhak mendapatkan dana awal, semacam hibah (grant) yang bersifat multiyears dari Dep. Agama bagi pembentukan dan pengembbangan komunitas belajar berbasis  masjid.
Pada lima tahun pertama diusulkan ada 4 klasifikasi masjid yang dapat memperoleh hibah ini, yaitu masjid –masjid
·         Utama
·         Madya
·         Pertama
·         Muda
Masjid utama adalah masjid yang relatif telah mandiri dari segi keuangan mempunyai program yang bervariasi, luas yang memadai, mempunyai tenaga tetap dengan kualifikasi yang memadai dalam jumlah yang relatif (dengan jumlah total anggaran sumberdaya manusia berada dalam rentang sekitar 10-20 juta per bulan )atau singkatnya secara kasat mata masjid ini telah makmur. Alasan mengapa masjid yang telah makmur ini berhak mendapatkan hibah adalah sebagai penghargaan atas amal sholeh kemakmuran masjid. Dengan demikian diharapkan akan merangsang masjid-masjid lainnya, (khusus yang berada dikualifikasi Madya) untuk berusaha lebih keras meraih predikat utama ini. Disamping itu mengingat bahwa kualitas tidak mengenal batas sehingga senantiasa dapat untuk terus ditingkatkan .Hibah yang disediakan untuk kelompok ini seharusnya yang terbesar jumlahnya, jumlah yang serba tanggung atau kecil mungkin sudah tidak menarik lagi bagi kelompok ini. Jumlah hibah sebesar 400-500 juta pertahun selama 5 tahun, merupakan jumlah yang cukup besar wajar diberikan kepada kelompok ini.
Masjid  Madya yang relatif mandiri dari segi keuangan, mempunyai sejumlah program rutin, mempunyai tenaga tetap dengan kualifikasi  memadai (dengan jumlah total gaji berkisar 5-10 juta pertahun ) luas lahan memadai, relatif makmur. Jumlah hibah bagi masjid dapat berkisar antara 100-200 juta pertahun selama lima tahun. Masjid pertama adalah masjid yang belum mandiri dari segi keuangan, masih mengandalkan dana pribadi pengurus (volunteer) , tidak mempunyai sumber penghasilan tetap yang memadai, tenaga tetap yang ada hanya sebatas penjaga kebersihan sekaligus muadzin, tidak mempunyai program rutin kecuali ta’lim mingguan. Jumlah hibah yang dapat digunakan untuk kelompok ini berkisar antara 10- 30 juta per tahun selama lima tahun.
Hibah akan diberikan melalui suatu kompetesi terbuka antar masjid dalam kelompok sejenis, Kompetesi dibagi  dalam dua tahap, pertama, pembuatan proposal ini, kedua tinjauan ke lokasi oleh tim juri dari Depag (pusat dan Kanwil ). Masjid –masjid yang memenuhi nilai total (penilaian proposal dan kunjungan ke lapangan) tertentulah yang akan mendapatkan dana hibah itu. Semakin tinggi kelompok maka persyaratan untuk memperoleh hibah akan semakin ketat. Khusus untuk kelompok masjid utama persyaratan untuk memperoleh hubah dapat disusun diantaranya;
·         Program –program yang diajukan harus relevan dengan kebutuhan jamaahnya dan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masjid, serta mendukung terbentuknya komunitas belajar berbasis masjid
·         Melibatkan sejumlah masjid muda dan masjid utama
·         Dalam program tercermin bahwa diakhir program hibah (selama 5 tahun ) program –program yang diusulkan akan tetap terpelihara kelanjutannya (sustainable)
·         Tercermin adanya efisiensi dan efektifitas pengelolaan program hibah
Program akan dievaluasi setiap tahunnya  dan hanya program-program yang dapat menunjukkan indikator kinerja yang sejalan dengan rencana semula yang akan terus dilanjutkan pembiayaannya.Evaluasi dilakukan melalui seminar yang akan diikuti oleh masjid-masjid peserta program sehingga mereka dapat bercermin satu terhadap lainnya.Disamping itu evaluasi juga dilakukan melalui  kunjungan ke lapangan oleh tim penilai .Tim Kanwil Depag bertindak sebagai inspektur, yang melakukan tinjauan maksimal 4 kali dalam satu tahunnya.Kegiatan ini diharapkan dapat menggairahkan kegiatan pengelolaan masjid dan dalam jangka panjang diharapkan bahwa akan semakin banyak masjid secara aktif terlibat dalam kegiatan pencerdasan kehidupan bangsa.

G. CONTOH MODEL ALTERNATIF
Untuk memperoleh gambaran mengenai pengembangan kegiatan masjid yang diarahkan pada kegiatan untuk membangun masyarakat yang berbasis pada  tahap pengetahuan dapat diambil sebuah contoh model alternatif pengembangan,pada tahap yang paling awal untuk dilakukan analisis SWOT( srength, weakness,opportunity, threat)
Berdasarkan hasil analisis ini disusunlah visi dan misi dari aktivitas atau rogram yang hendak dijalankan. Tidak jarang dalam tahap ini perlu dirumuskan pula prioritas –prioritas karena terdapat perbedaan yang cukup besar antara keinginan dan keterbatasan yang tidak terhindarkan. Lebih baik diberikan waktu yang cukup untuk melakukan analisis diri dari pada dalam perjalanan selanjutnya menghadapi persoalan –persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya pengenalan diri dilakukan  dengan baik-baiknya.
Hasil dari analisis diri harus dapat digunakan untuk menentukan jenis-jenis informasi yang relevan dimiliki oleh pusat informasi masjid. Indikator dari ketajaman melakukan analisis diri, dalam konteks ini adalah termanfaatkan itu dapat merupakan cikal bakal dari komunitas belajar berbasis masjid. Melalui hasil analisis ini juga seharusnya proses pengambilan keputusan dalam menyusun prioritas agenda kerja dan melestones dari pencapaian program dapat dirumuskan. Bahkan melalui analisis diri dari yang baik semestinya dapat juga disusun rencana anggaran berbagai kegiatan yang diinginkan.
Indikator kinerja dari program yang disusun harus dapat dirumuskan dengan jelas, jika memungkinkan terkuantifikasi sehingga menjadi bermanfaat untuk melakukan evaluasi kemajuan program,dalam hal ini bersifat kuantitatif maka indikator kinerja tetap harus diusahakan untuk dapat digunakan sebagai salah satu evaluasi.Jika dirasa perlu disamping indikator kinerja utama dapat juga ditambah sejumlah indikator kinerja tambahan, misalnya disamping jumlah pengguna fasilitas perpustakaan digital,mungkin perlu diindentifikasi bahan atau informasi digital di akses oleh pengguna tersebut.Penyusun evaluasi dari indikatorkinerja, program kerja dan penganggaran yang dimulai dari perumusan visi dan misi tentu hanya dapat diharapkan dari masjid yang relatif telah mapan (well established). Masjid yang seperti ini dipastikan mampu menyusun proposal hibah bersaing yang ditawarkan ole Depag yang diantaranya berkeharusan untuk melipatkan masjid dengan kualitifikasi lebih rendah. Bagaiman dengan tipikal masjid yang sederhana.
Misal masjid berada di lingkungan perumahan penduduk perkotaan yang umumnya mempunyai anak-anak setingkat SLTP atau SMA setiap Jum’at dari kencleng masjid terkumpul 200 ribu rupiah dan tabungan telah terkumpul sampai 2 juta rupiah.
Anggaran kebersihan dan pemeliharan setiap bulannya  menghabiskan sekitar 400 ribu rupiah. Disekitar masjid cukup banyak rumah kontrak yang ditinggali oleh mawasiswa. Sejumlah rumah juga menawarkan dagangan baik, baik makanan maupun barang-barang kehidupan sehari –hari bagi masyarakat dan mahasiswa. Setiap subuh kegiatan shalat berjamaah berlangsung dengan jumlah jamaah 10 orang. Di antara anggota takmir atau pengurus masjid terdapat satu atau dua orang mahasiswa.  Masjid telah mempunyai saluran listrik, cukup tersedia air yang memadai untuk kebutuhan jamaahnya. Masjid tidak mempunyai ruang lain kecuali ruang utama saja, dan kantor pengurus tidak ada, Masjid seperti ini dapat dikategorikan kedalam kelompok masjid muda. Dalam konteks pembentukan komunitas belajar berbasis  msjid maka masjid perlu bekerja sama dengan masjid yang berkualifikasi lebih tinggi, mempunyai fasilitas baik sumberdaya manusia maupun lainnya, yang lebih baik . Sudah barang tentu untuk kegiatan sebatas pada belajar mengaji seusai magrib sampai isya, dapat dilakukan sendiri tanpa kerjasama itu. Namun untuk menghadapi kecederungan masa depan yang lebih mapan dari segi proogram dan pembiayaan. Model pemberian hibah  bersaing akan merangsang terjadinya sinergi- sinergi antar masjid yang sederhana dengan masjid yang lebih canggih.
H. KESIMPULAN
Dalam makalah singkat ini telah dibahas mengenai masjid sebagai pusat informasi dalam rangka membentuk komunitas  belajar berbasis masjid.
Pembahasan dimulai dengan pembahasan mengenai kecenderungan menuju masa depan yang harus diantipasi oleh umat Islam .Kecenderungan ini mengidentifikasikan bahwa masa depan akan kuat ditandai oleh padatnya pengetahuan mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia. Pengetahuan demikian berlimpahnya sehingga membentuk dan mempengaruhi pola hidup manusia.  Dari satu sisi hal ini merupakan rahmat bagi manusia namun di sisi lain juga merupakan hambatan, khususnya bagi mereka yang mempunyai potensi dan peran untuk menggerakan masyarakat agar menggunakan kelimpahan pengetahuan itu sebaik –baiknya dengan menjadikan dirinya sebagai tidak pusat informasi namun juga sebagai pusat kegiatan belajar, Departemen Agama dapat memberikan andil yang amat penting dalam proses pembentukan masyarakat belajar berbasis masjid ini yaitu dengan memfasilitasi program –program hibah bersaing antar masjid –masjid sekelas atau sekualifikasi. Dengan demikian diharapkan bahwa dalam waktu 5-10 tahun mendatang masjid benar –benar mempunyai kontribusi  nyata dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi slave nation di antara  bangsa- bangsa di dunia
                                                                                  




Pekanbaru, 09 Maret 2011


Masrizal, S.Ag
NIP: 19720215 200604 1 001


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Departemen Agama RI, Pedoman Pembinaan Masjid,  Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, tahun Anggaran 1980,.

___________________, Pola Pembinaan Kegiatan Kemasjidan dan Profil Masjid, Mushalla dan Langgar, Proyek  Bimbingan dan Dakwah Agama Islam Pusat, Jakarta, 2003.

___________________, Pedoman pemberdayaan Masjid, Profil Masjid, Musolla dan Langgar, Proyek Peningkatan pemberdayaan Rumah Ibadah dan Masyarakat, Jakarta, 2004


Gazalba, Sidi, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan, Pustaka Antara, Jakarta, 1982


Hakim, Lukman, Hasibuan, Pemberdayaan Masjid di  Masa Depan,  Pt. Bina Rena Pariwara, Jakarta, 2002.

Syahidin, Dr, M.Pd, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid,  Alfabeta, Bandung,2003.













             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...