Selasa, 03 November 2015

SISTIM PERADILAN DALAM KITAB-KITAB MELAYU

SISTIM PERADILAN DALAM KITAB-KITAB MELAYU

A.    Pendahuluan
Hukum Islam senantiasa berintegrasi dengan situasi dan lingkungan yang mengitarinya. Perbedaan lingkungan budaya dan struktur masyarakat serta sosio-historis menyebabkan hukum Islam menampilkan ciri dan karakternya di masing-masing wilayah budaya dan setiap offshoot sejarah yang ia lalui, seperti dalam konteks Indonesia dikenal dengan Fikih Indonesia.
Ide Hasbi Ash Shiddieqy tentang Fikih Indonesia atau dalam istilah yang diberikannya sendiri disebut “Fikih yang berkepribadian Indonesia” telah dirintisnya sejak tahun 1940 adalah berlandaskan pada konsep bahwa fikih yang diberlakukan terhadap Muslim Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka. Di samping itu, adat kebiasaan di luar Indonesia yang tidak cocok dengan kultur masyarakat Indonesia tidak perlu terus dipertahankan sebagai fikih yang wajib ditaati oleh muslimin Indonesia (Shiddiqi, 1997: 236). Atas pertimbangan ini menjadi penting dan signifikan untuk menguraikan keberadaan fikih Melayu era pra kolonial di Indonesia.
B.     Masa Kesultanan Kerajaan Peureulak
Islam mulai bertapak di bumi Aceh pada akhir abad pertama Hijriyah. Keberadaan Islam di Aceh akhirnya membentuk kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yang terletak di Bandara Khalifah-Peureulak, Aceh Timur. Kerajaan Islam ini didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H
Konon silsilah raja pertama hingga ke sahabat dan menantu Rasulullah Ali bin Abi Thalib) yang beraliran Syi’ah. Kemudian pada masa sultan yang keempat, yaitu sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Kadir Syah Jihan Berdaulat (306-310H) aliran Syi’ah ini (adanya bubur Syura dan peringatan 10 syura, adanya Tabut Syura tentang Hasan dan Husein di Bengkulu, menurut Yahya Harun). Eksistensi mazhab Syi’ah tidak bertahan lama di aceh. Aliran ini pudar sejak runtuhnya kerajaan Peureulak diganti dengan Ahlusunnah waljama’ah yang dalam pengamalan syari’ah ditetapkan mazhab Imam Syafi’i sebagai pegangngan utama (Syaukani, 2006: 68).
Sebelumnya, kerajaan Peureulak didirikan oleh dinasti Sayid Azizah. Perlak asal katanya Peureulak, yaitu sebutan selama dinasti itu berkuasa. Raja yang pertama adalah Alaidin Sayyid Maulana Aziz Syah. Dinasti ini mempunyai lima generasi yang menguasai daerah Peureulak. Rajanya yang terakhir adalah Sultan Abdul Kadir Syah Johan, berkuasa pada tahun 918-922 M
Pada waktu itu terjadi perebutan kekuasaan antara dinasti Azizah dengan dinasti Meurah (Makrat). Dinasti Makrat adalah dinasti Aceh asli yang sudah memeluk Islam yang kemudian mendirikan kerajaan Peureulak baru yang beribukota di Tonang, yaitu daerah di hulu sungai Tuwon yang terkenal subur. Peristiwa ini terjadi pada tahun 922M.
Setelah itu, kerajaan Peureulak yang semakin kecil itu tidak lagi disebut sebagai kerajaan dan pengaruhnya pun semakin pudar. Baru pada tahun 1225-1263 M, raja Muhammad Amir Syah mengawinkan puterinya yang bernama Ganggang Sari dengan Marah Silu (Malik Saleh) kemudian Marah Silu mendirikan kerajaan baru yang bernama Samudera Pasai di Teluk Lhokseumawe (Harun, 1995: 6).
C.    Kerajaan Samudera Pasai
Sultan yang pertama yaitu Al Malik as Shaleh atau menantu raja Peureulak. Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini, tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata uang dirham.
Setiap kapal yang membawa barang-barang dikenakan pajak 6%. Adanya mata uang ini membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Selain itu, mata uang tersebut menggunakan nama-nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun 1073 ditemukan lagi 11 mata uang dirham diantaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik az Zahir, Sultan Ahmad, Sultan Abdullah, semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke 14 M dan 15 M.
Atas dasar mata uang emas itu, dapat diketahui nama-nama raja dan urutan-urutannya sebagai berikut; Sultan Malik as Saleh yang memerintah sampai tahun 1207 M, Muhammad Malik az Zahir (1297-1326), Mahmud Malik az Zahir (1326-1345), Manshur Malik az Zahir (1345-1346), Ahmad Malik az Zahir (1346-1383), Zain al-Abidin Malik az Zahir (1383-
1405), Nahrasiyah (1402-?), Abu Zaid Malik az Zahir (?-1455), Mahmu Malik az Zahir(1455-1477), Zain al-Abidin (1477-1500), Abdullah Malik az Zahir (1501-1513), dan sultan yang terakhir Zain al-Abidin (1513-1524) (Harun, 1995: 7).
Pada akhirnya, kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M disatukan oleh raja Aceh, Ali Mughayat Syah. Selanjutnya kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam (Yatim, 2004: 224).
D.    Kerajaan Aceh Darussalam
Berdirinya kerajaan ini pada tanggal 12 DzulQa’idah 916 H/1511 M dan pada saat itu juga Malaka jatuh ke tangan Portugis. Raja pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang memerintah selama empat belas tahun (1516-1530 M) telah mampu mempersatukan Kerajaan Islam Aceh Darussalam lebih kurang dari Kutaraja (Banda aceh sekarang) sampai ke Tamiang. Ketika kerajaan Islam Aceh Darussalam dipimpin oleh Sulthan Alaidin Ri’ayat Syah AL- Qahar (1537-1568 M), kerajaan Aceh telah meluas sampai ke Sumatera Barat.
Dalam kerajaan Aceh Darussalam terdapat lembaga ilmu pengetahuan seperti;
a) Balai Sertia Ulama (jawatan pendidikan),
b) Balai Jama’ah Himpunan Ulama’,
c) Balai Sertia Hukama’ (lembaga pengembangan ilmu pengetahuan).
Di samping itu, ada juga lembaga pendidikan dalam tingkat;
a) Meunasah (ibtida’iyah),
b) Rangkang (Tsanawiyah),
c) Daya (Aliyah), tingkat ini berpusat di Mesjid besar dan di sekitarnya terdapat balai-balai tempat para santri,
d) Daya Teuku cik (perguruan tinggi).
Mengenai Mazhab Syafi’i juga diterapkan di kerajaan Samudera Pasai, dan beberapa kerajaan Islam lainnya yang berada di tanah Aceh. Setelah kerajaan-kerajaan itu dipersatukan Ali Mughayatsyah, dan menjadi kerajaan Islam Aceh, yang ibu kotanya Bandar Aceh Darussalam pada tahun 1511 M.
Pada masa sultan Iskandar Muda (1607-1636) hukum Islam dengan mazhab Syafi’i diterapkan secara kaffah, yang meliputi bidang ibadah, ahwal syakhsiyah, mu’amalah maliyah, jinayah, ‘uqubah, murafa’ah, iqtishadiyah, dusturiyah, akhlaqiyah dan ‘alaqah dauliyah, yang akhirnya dikodifiksikan menjadi Qanun al-Ashyi (adat meukuta alam) yang ditulis dalam huruf Arab Melayu. Qanun ini ditetapkan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan (Tim, 2003: 25).
Pada saat itu di Aceh terdapat ulama-ulama yang terkenal antara lain; Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani (w.1040/1630), Syekh Nuruddin ar Raniri (w.1068), Syekh Abdurrauf (w.1105/1693), Syekh Bukhori al-Jauhari (Yahya, 1995: 8).
Dari uraian di atas, dapat diambil empat tema pokok awal kedatangan Islam ke Nusantara. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar “profesional”-yaitu mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam. Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa, dan ke empat kebanyakan para penyebar Islam datang ke Nusantara pada abad pertama Hijrah atau 7 Masehi dengan adanya naskah-naskah tua, Idharul Haqq fi Mamlakat Ferlak karangan Abu Ishak Makarani, Tazkirah Ta baqat Salati n karangan Syekh Syamsul Bahri Abdullah al-Asyi yang disalin kembali oleh Said Abdullh Ibn Said Habib Safuddin dalam tahun 1275H, atas titah Sulthan Alaidin Mansyur Syah. Keurukon Katibu Muluk (sekretaris negara) dari kerajaan Darussalam.
E.     Kitab-kitab Hukum berbahasa Melayu
Satu hal yang berbeda nyata antara ulama di zaman kesultanan dengan ulama Aceh masa- masa terakhir, adalah dalam hal keaktifan tulis menulis. Ulama Aceh masa kesultanan begitu gemar dan memiliki hasrat yang tinggi untuk menghasilkan karya tulis. Mereka seolah belum sempurna hidup dalam tugas keulamaannya sebelum menghasilkan sejumlah karya tulis untuk menjadikan warisan intelektual yang akan ditinggalkan bagi generasi mendatang (Muchsin, 2007: 45).
Lebih lanjut mengenai doktrin-doktrin mazhab Syafi’i, bagi kaum Muslim Indonesia, dikenal dengan bahasa Arab melalui pelbagai penjelasan abad ke -16 tentang fikih, khususnya yang dibuat oleh Ar Ramli (Nihayah) dan Ibn Hajar (Tuhfah). Karya-karya tersebut dan yang lainnya juga telah banyak diterjemahkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian. Lebih jauh dan sekali lagi merujuk kepada teks, orang-orang Melayu dan Jawa abad ke-17 membuat teks-teks cangkokan yang di dalamnya unsur-unsur fikih bercampur baur dengan aturan- aturan lokal. Teks-teks undang-undang ini begitu kompleks dan mengekspresikan definisi orang Indonesia mengenai masalah abstrak seperti ini sebagai “kewajiban”, “aturan”, “kekuasaan”, dan “otoritas”. Karya-karya ini merupakan adaptasi atau salinan dari bahasa Arab, tetapi merupakan karya orisinil yang mengekspresikan pemahaman lokal mengenai Islam. Teks-teks tersebut, yang kemunculannya berkisar dari pertengahan sampai akhir abad ke 17, adalah bagian dari tatanan baru keadaan kaum muslim dan muncul, pada saat yang sama, sebagai karya teologis, dan filsafat yang rumit. Pelajaran dari kita adalah, bahkan dalam aspek-aspek paling teknis dari gambaran karya-karya Indonesia itu, tidaklah menunjukkan sekedar salinan dari sumber-sumber asli berbahasa Arab. Keseimbangan antara yang asli dan ekspresi pandangan Indonesia yang baru berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Bagaimana hal ini berkembang pada akhirnya, tidak pernah diketahui. Kedatangan Belanda secara efektif menghentikan perkembangan tersebut sejak akhir abad ke-18 dan seterusnya (Hooker, 2003: 31).
Terkait dengan buku fikih berbahasa melayu, ulama-ulama Acehlah yang mula-mula menulis kitab fikih dengan huruf Arab-Melayu. Ulama-ulama itu sebagai berikut:
1. Nuruddin Al-Raniry dengan judul bukunya Al-Shirath al-Mustaqim, Jawahir al-‘Ulum fi Kashf al Ma’lum berisi perpaduan antara fikih dan tasauf, Kaifiyah al-Salah dan Tanbih al-Sunnah.
2. Karya Syekh Abdurrauf berjumlah dua puluh satu buah. Ada yang mengatakan 23 kitab (menurut Wan Mohd Saghir Abdullah). Hasil penelitian ada 36 buah (Al-Yasa Abubakar). Menurut Vooorhoeve ketika Abdurrauf  Singkil pulang ke Aceh ia langsung menuju Bandar Aceh Darussalam. Pada waktu diperintah oleh seorang wanita yaitu Sultan Tajul
Alam Safiyatuddin Syah, didampingi oleh Syaiful Rijal, seorang ulama asal Minangkabau yang mendapat kepercayaan menduduki jabatan mufti (Qadi Malik al-‘Adil). Sebagai ulama yang baru datang Abdurrauf mendapat penghargaan yang layak, namun ia mendapat ujian sebagai kealimannya. Telah datang kepadanya seorang utusan sultanah Katib Seri Raja bin Hamzah al-Ashiy, ia datang dengan kitab berbahasa melayu, dan menanyakan kepada Syeikh Abdul Rauf tentang keadaan seseorang ketika menghadapi sakaratul maut seperti yang diceritakan dalam kitab tersebut.
Untuk itu, dalam menghadapi ujian ini Abdurrauf cukup hati-hati dalam memberikan jawaban. Abdurrauf memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini bahwa isi buku tersebut tidak ia temukan dalam kitab-kitab hadis ataupun tulisan ahli sufi. Sebagai koreksi terhadap buku yang dianggapnya tidak betul ia menyusun tiga risalah.
Setelah itu, Sultanah meminta Syeikh Abdurrauf untuk menulis kitab fikih dalam bidang muamalat, guna melengkapi kitab fikih ibadah yang telah disusun oleh Nuruddin Al-Raniry yang berjudul Sirath al-Mustaqim. Syeikh Abdurrauf pada mulanya agak keberatan memenuhi permintaan Sultanah karena bahasa Melayu Pasai yang akan digunakan untuk menulis kitab tersebut tidak lagi dikuasai Abdurrauf dengan baik. Mendengar keluhan ini Sultanah menunjuk Katib Seri Raja (sekretaris sultan) dan Faqih Indera Shalih untuk membimbing Abdurrauf dalam bahasa Melayu. Dengan usaha tersebut lahirlah kitab fikih dengan judul Mir’at Tulab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Shari’at li al-Malik al-Wahhab.
Syekh Aburrauf Syi’ah Kuala menyebutkan bahwa bahasa yang dipakainya untuk menulis kitab ini ialah bahasa Jawi Pasai. Pengucapan dan penulisan Aceh di lakukan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Aceh dan bahasa Melayu, karena dalam kerajaan Aceh Darussalam kedua bahasa itu adalah bahasa resmi, di samping bahasa Arab yang juga dipelajari secara umum sebagai bahasa agama, sehingga dalam karangan-karangan karya sastra dan karya ilmiah ketiga bahasa itu telah bercampur baur menjadi satu (Soelaiman, 2003: xii).
Pada dasarnya, pendapat yang penting dalam kitab ini adalah dibolehkannya wanita menjadi hakim, hal ini berbeda dengan kitab fikih Syafi’i lainnya yang tidak membolehkan wanita menjadi hakim. Syeikh Abdurrauf tidak mencantumkan laki-laki sebagai salah satu syarat untuk menjadi hakim. Ia tidak menterjemahkan kata zakarun (laki-laki) ke  dalam kitab Mir’at al-Thullab. Padahal mengenai syarat-syarat hakim, Abdurrauf mengutip dari kitab Fath al-Wahhab yang di dalamnya tercantum ketentuan laki-laki sebagai salah satu syarat hakim.
Oleh sebab itu, berdasarkan fakta ini dapat dianalisa bahwa tindakan atau pendapat Abdurrauf paling tidak agaknya akan menimbulkan dua macam penafsiran. Pertama mungkin tindakannya dapat ditafsirkan hanyalah untuk memuaskan penguasa yang ketika itu adalah seorang wanita. Kedua, mungkin sebaliknya, pendapat dan tindakannya ini karena Abdurrauf  menghargai wanita lebih ting gi dari umumnya kitab fikih yang bermazhab Syafi’i, sehingga mengizinkan mereka menjadi hakim. Dugaan sementara dalam hal ini menurut penulis lebih cenderung untuk memilih yang terakhir, karena fakta sebenarnya ketika Abdurrauf menjadi mufti kerajaan dia memiliki sikap toleran dan juga tentunya tidak terlepas dari kondisi sosial saat itu.
Karyanya yang lain adalah Hidayat al-Balighah, kitab yang isinya mengenai pembuktian dalam peradilan, kesaksian dan sumpah. Kitab ini ditulis untuk memberi bimbingan praktis kepada hakim-hakim.
F. Karya-karyanya yang lain adalah;
a)  Al-Faraidh, merupakan risalah tentang hukum kewarisan Islam,
b) Bayan Tajalli, yang berisi penjelasan Abdurrauf tentang zikir yang utama dibaca ketika sakaratul maut,
c) Bayan al Arkan, merupakan pedoman dalam melaksanakan ibadah, terutama shalat,
d) Risalah Mukhtasarah fi Bayan al-Syaikh wa al-Murid. Ke dua karangan ini berisi kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka. Terutama dalam metode zikir tarekat Syatariyah,
e) Lubb al-Kashf  wa al-Bayan li ma Yarahu al-Muntaqar bi al-‘Aiyan, isinya menjelaskan tentang sakarat al maut. Kitab ini ditulis Abdurrauf dalam bahasa Arab, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Katib Seri Raja. Ia menyatakan bahwa zikir yang paling utama pada saat sakarat al maut adalah la ilaha illa Allah,
f) Sabil al-Muhtadin. Buku ini menjadi pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umaat Islam di daerah kesultanan Banjar.
3.  Syaikh Yusuf al Makasari dengan judul bukunya Asrar al-Shalah dan Safinat al-Najah yang
juga menghukum orang yang menggunakan opium.
4. Al-Nawawi al-Bantani (1813-1897 M) mengarang buku dalam bidang fikih sekitar sepuluh buah; al-Tausiyah ibn Qasim, Sulaim al-Munajat, Niihayah al-Zain, Mirqat al-Shu’ud al-Tashdiq, Suluk al-Jadah, Al-‘Aqd al-Thamin, Fath al-Majid, Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain, Qutul Habib al-Gharib, Kasifat al-Shaja.
5. Sayyid Usman, yang mengarang banyak buku, sebagian tulisannya juga untuk menjawab persoalan konkret yang dihadapi umat Islam (Sunanto, 2005: 163).
Pada hakikatnya dari uraian di atas, terlihat bahwa fikih Melayu telah berkembang, dimana buku-buku tersebut dikarang untuk menjawab persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Tambahan lagi karangan ulama dahulu (buku-bukunya) tentu saja tidak terbatas pada persoalan fikih.
G. Ijtihad khas Melayu Nusantara
Ada tiga cara bagaimana untuk mengetahui Islam di Indonesia. Pertama, pelbagai metode pengambilan hukum, yakni bagaimana fatwa-dengan otoritasnya mencapai suatu keputusan. Fatwa di sini maksudnya sebagai metode; metode merupakan hal  utama, karena melalui inilah diketahui logika internal. Kedua, untuk mengetahui Islam dari doktrin-doktrin tertulis. Fatwa memperlihatkan bagaimana problematisnya batas-batas antara “Islam” dan “bukan Islam”. Jika individu (kepada Tuhan) merupakan teori, maka secara praktik adalah masalah lain. Ketiga, representasi dalam Islam sangat penting untuk mengetahui bagaimana orang memandang, mengenali, dan memahami agama. Larangan terhadap patung dan pembuatan patung merupakan contoh pembuatan representasi yang paling sensitif dari segi doktrin (M.B. Hooker, 2003: 77). Dalam hal ini penulis hanya mengemukakan dua contoh ulama serta fatwa/kebijakan yang diambil;


1.  Al-Raniry
Tidak ada informasi kapan Al-Raniry mengadakan perjalanan untuk pertama kalinya ke, dan menetap di, wilayah Melayu. Tetapi ada kemungkinan, selama masa antara selesainya dia menjalankan ibadah haji pada 1029/1621 dan 1047/1637, dia tinggal selama beberapa tahun di kepulauan Nusantara, barangkali di Aceh atau Pahang di jazirah Melayu atau kedua- duanya. Kenaikannya secara mendadak ke jabatan Syaikh al Islam di Kesultanan Aceh pada 1047/1637 mengisyaratkan bahwa dia dikenal sebelumnya di lingkungan elit politik Melayu, terutama dari Kesultanan Pahang.
Setelah mendapatkan pijakan kuat di istana Sultan Aceh, Al-Raniry mulai melancarkan pembaharuan Islamnya di Aceh. Menurut pendapatnya, Islam di wilayah ini telah dikacaukan kesalahpahaman atas doktrin sufi. Al-Raniry hidup selama tujuh tahun di Aceh sebagai seorang alim, mufti dan penulis produktif, yang mencurahkan banyak tenaga untuk menentang doktrin wujudiyah. Beliau mengeluarkan fatwa yang keras, antara lain; perburuan terhadap orang- orang sesat; membunuh orang-orang yang menolak melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktek-praktek sesat, dan membakar hingga jadi abu seluruh buku mereka. Dia berhasil mempertahankan kedudukannya di istana sampai 1054/1644. Al-Raniry meninggalkan pengaruh penting di Nusantara ini, dengan karya-karyanya.
2.  Abdurrauf Singkil (w.1690)
Al-Singkili dikenal dengan julukan Syaikh Kuala lahir di Singkil diperkirakan sekitar tahun 1615-1693. Ayahnya seorang ulama yang memiliki dayah sendiri. Setelah menamatkan sekolah di dayah ayahnya ia melanjutkan ke dayah tinggi di Barus yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Selanjutnya belajar kepada Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani diperkirakan dayahnya di wilayah Pase. Kemudian belajar di Timur Tengah, meliputi; Dhuha (Doha), Qatar, Yaman, Jeddah dan akhirnya Mekah dan Madinah, selama 19 tahun. Ada 19 orang guru yang ia belajar langsung dalam bermacam disiplin ilmu. Selain itu juga mempunyai hubungan pribadi dengan ulama lain yang merupakan teman diskusi dalam ilmu-ilmu tertentu.
Ada fenomena menarik dalam silsilah para sultan Aceh setelah wafatnya Iskandar Muda. Pada paruhan kedua abad ke 17 (1641-1699), berkuasa empat raja wanita di Aceh, yaitu Taj al-Alam Safiyyat al-Din Syah (1675-1678), Nur al-Alam Naqiyyat al-Din Syah (1675-1678), Inayat Syah Zakiyyat al-Din Syah (1678-1688), dan Keumalat Syah (1688-1699). Lantaran masalah politis, yakni keuntungan yang dituai para Uleebalang lewat peningkatan otoritas mereka di masa kekuasaan para raja perempuan itu, pada 1699 Sayyid Ibrahim Habib mengupayakan suatu fatwa dari Makkah yang menegaskan bahwa pemerintahan wanita tidak dibolehkan oleh Islam. Ia memakzulkan Ratu Kamalat Syah dengan cara mengawini dan mengambil alih kekuasaannya (Amiruddin, 2007: 11).
Semasa berkuasa keempat sultanah Aceh tersebut, yang menjabat sebagai mufti dan qadli malik al-adil adalah Syekh Abd al-Rauf Singkel (w.1690), salah satu ulama besar Aceh yang berasal dari Singkel. Sekalipun terjadi perdebatan tentang kepemimpinan politik wanita ketika itu, Singkel berhasil meredamnya. Ia, meski tidak secara tertulis, tampaknya menjustifikasi kepemimpinan wanita. Lantaran kharisma serta pengaruhnya yang luar biasa, tidak satupun kelompok oposan di Aceh yang mampu menyingkirkan sultanah semasa hidupnya. Baru beberapa saat setelah meninggalnya singkel (w.1690), upaya pendongkelan kepemimpinan wanita di Aceh berhasil dilakukan (Amal dan Panggabean, 2004: 16).
Setelah membaca dan memahami pertentangan ide dan kondisi politik Aceh ketika itu, akhirnya Abdurrauf dapat mengendalikan dan merendam pergolakan yang terjadi dengan jalan mengkompromikan kedua belah pihak. Syeikh Abdurrauf tetap berpendapat bahwa Tajul Alam Safiyatuddin dapat diangkat menjadi Sultanah, sebagai ganti suaminya Iskandar Tsani, namun pengangkatan tersebut harus dibatasi dengan syarat: urusan nikah, fasakh dan hal-hal yang berhubungan dengan hukum agama tetap dipegang oleh ulama yang bergelar Qadi Malik al ‘Adil (Syahrizal,: 40).
Setidaknya ada dua kasus internal dalam kerajaan Aceh. Pertama, mengenai konflik aliran agama di mana Nuruddin Ar-raniry memberikan fatwa sesat terhadap ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumtrani. Karena itu ajaran ini dilarang dan pengikutnya yang tidak mau taubat dibunuh, kitab-kitab karangan Hamzah Fansuri di bakar di depan mesjid Baiturrahman. Konflik ini termasuk berat karena tidak hanya pada tingkat saling curiga dan saling benci tetapi juga sampai pada tingkat pembunuhan. Al-Singkili menjawab atas pertanyaan sultanah dengan sangat bijaksana bahwa dia sebenarnya tidak banyak tahu dengan ilmu tersebut, tetapi dia dapat bertanya kepada gurunya yang lebih ahli yaitu Syeikh Ibrahim al Qurani. Setelah mendapat balasan Al-Singkili menjawab bahwa umat Islam dilarang mengkafirkan orang lain karena akibatnya bila orang lain tidak kafir maka orang tersebut sendiri akan menjadi kafir. Kedua, kebolehan wanita sebagai pemimpin menurut hukum Islam, pendapatnya ini dilihat dari kitabnya Mir’ah Thulab, ketika membahas syarat-syarat untuk menjadi hakim (yang di dalamnya ada pengertian penguasa) dengan mencantumkan syarat laki-laki. Azyumardi Azra (dalam Amiruddin, 2007) menafsirkannya sebagai indikasi lebih jauh dari toleransi pribadi al-Singkili.
Abdurrauf sama sekali tidak melihat keganjilan wanita menjadi sultan, dan menempatkan- nya sebagai “ulil amri” yang harus dipatuhi perintahnya. Untuk jelasnya dikuti kalimatnya, “Setelah lebih dulu menyusun panjang puji-pujiian kepada Allah SWT, Nabi Besar Muhammad SAW, dan segala sahabat beliau, demikian juga para amirul mukminin yang merampungkan tugasnya sebagai khalifah sesuai dengan hukum-hukum” (Said, 1981: 416).
H. Melayu Lingga Raja Ali Haji
Lembaga peradilan telah dikenal semenjak zaman purba, jauh sebelum bangsa Yunani membuat sistem peradilan yang banyak dirujuk hingga masa kini. Bentuk lembaga peradilan berbeda pula ragam dan aturannya. Di berbagai zaman dan peradaban bangsa, lembaga peradilan bersulih rupa seiring masa.
Di alam Melayu, misalnya, semenjak berdirinya Kerajaan Johor-Riau-Lingga telah berdiri pula suatu lembaga peradilan yang menggunakan pandangan sistem hukum syarak (syariah) yang tetap menunjung hukum adat lokal. Tujuan peradilan ¡tu ialah menerapkan hukumjlnayah (pidana Islam) agartercipta keadilan di Kerajaan Johor-Riau-Lingga kala ¡tu.
Tsamarat Al Muhimmah, merupakan sebuah kitab buah tangan Raja Ali Haji, sarjana era l800an, tentang lembaga peradilan dan sistem kenegaraan. Adalah Drs Mahdini.MA, sarjana era masa kini yang menulis ulang dan mengkaji pemikiran Raja Ali Haji khusus masalah sistem peradilan. Tsamarat AI Muhlmmah dikaji mendalam oleh Mahdini, kemudian hasil karya tersebut dipublikasikan pada tahun 1999 oleh Yayasan Pusaka Riau dengan judul Tsamarat AI Muhimmah, Pemikiran Raja All Haji Tentang Peradilan. Buku tersebut berisi dua bagian utama, satu bagian penutup dan dua bagian tentang bagaimana latar belakang teks ash Tsamarat Al Muhimmah karya Raja Ah Haji. Tata cara pemakzulan dan pemberhentian raja serta pejabat kerajaan diterangkan pada bagian pertama buku karya Mahdini. Semua mekanisme administratif dan legal kerajaan itu dilandaskan pada prinsip-prinsip hukum syarak dan hukum adat. Dalam hal pengangkatan raja dilakukan melalui tiga cara. Pertama, melalui pemilihan oleh badan Ahlul Hal!i wa! Aqd!, kedua melalui penunjukkan oleh pendahulunya, disebut istikh!af. Ketiga melalui pengambilan atau perebutan kekuasaan (hal 3). Bab kedua, membahas Tertib Kerajaan dan Aturan Mahkamah atau struktur lembaga negara dan badan peradilan. Lembaga peradilan diletakkan sebagai syarat utama sebuah negara. Karena peran lembaga ini strategis, maka harus ada pengaturan dan aturan tentang cara beroperasinya lembaga ini. Maka persoalan kode etik para qadli peradilan dan segala macam syarat-aturan yang diterapkan dalarn sebuah lembaga peradilan dijelaskan secara khusus dan terperinci. Raja Ahi Haji melalui Tsamarat Al Muhimmah menyajikan persoalan-persoalan aturan peradilan secara terperinci yang mehiputi: makna peradilan, syarat menjadi qadil, dan tata cara melangsungkan perkara di peradilan. Mahdini tidak ketinggalan membahas wewenang dan struktur peradilan yang ideal menurut pandangan Raja Ahi Haji. Struktur yang ideal terdiri dan dua lapis yakni mahkamah kecil yang berada di tingkat daerah dipimpin oheh Qadli dan mahkamah peradihan yang berada di ibukota negara dipimpin oheh Qadli al Qudlah (hal 136). Meski vital, peranan hembaga peradilan tidak lepas dan institusi agama. Para uhama dihetakkan untuk membantu kehancaran kerja para qadli. Sedangkan Syekh a! Islam atau pimpinan negara bertanggungjawab pada kehangsungan proses peradihan yang adil. Selain mengehuarkan fatwa-fatwa, Syekh a! Islam juga mehakukan amanat pengawasan hembaga kehakiman (hal 135).
Sedangkan pelaksanaan tugas kenegaraan diemban oleh Wazir al adhim, pernbantu utama Syekh al Islam. Wazir ini lah yang bertanggungjawab penuh pada pelaksanaan roda pemerintahan. Peradilan berada di bawah pengawasan Syekh Al Islam disebabkan fungsi peradilan (mahkamah) sebagai “tempat mendirikan hukum atas segala hamba Allah Ta’ala’(hal 118).
Menurut tafsiran Mahdini, mahkamah peradilan versi Tsamarat diselenggarakan berdasarkan pembidangan hukum yang lazim dipakai dalam yuridiksi peradilan Islam, yaltu bidang Jinayah, Mu’amalah dan Munakahat. Para qadli yang diangkat mencerminkan pada penguasaan masing-masing bidang hukum tersebut, karena ¡tu terdapat qadli khusus yang menangani munakahat, jinayah dan mu’amalah. Para qadli diangkat dalam jabatannya sebagai qadli al qudah (menteri kehakiman). Para qadli bertanggungjawab dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang diajukan kepadanya. Jadi bukan hakim yang memutuskan perkara.
Cara kerja lembaga peradilan dan sistem kenegaraan yang disampaikan Raja All Haji dalam Tsamarat Al Muhimmah dipengaruhi oleh karya-karya Islam klasik seperti Ihya u!umuddin (karya al Ghazali) dan Al Ahkam al Sulthaniyah (karya Al Mawardi) dan beberapa hipogram lain.
Memang, teks Tsamarat Al Muhimmah memfokuskan din tentang kenegaraan dan kerangka dasar lembaga-lembaga negara di bawah raja. Lantaran fungsi dan kedudukan Raja All Haji sebagai ulama dan penasehat keagamaan Kerajaan Riau Lingga, maka Raja Ali Haji berkepentingan untuk menelurkan aturan-aturan kenegaraan yang beilandaskan hukum Islam.
Karya Tsamarat ¡tu ditujukan pada raja, para pem besar kerajaan dan pegawai pelaksana hukum (qadli) secara umum. Untuk menegakkan keadilan, Tsamarat, menurut Mahdini membedakan istilah “hakim” dan “qadli”. Qadli dipergunakan untuk menyatakan kewenangan orang yang memutuskan suatu perkara berlandaskan hukum Allah. Istilah “hakim” dipergunakan untuk menyatakan orang yang bertugas membantu wazir (menteri urusan dunia) menjalankan pemerintahan dan tidak menangani masalah hukum.[1]
I.       Babul Al-Qawaid Kitab Hukum Peradilan Kerajaan Siak
            Babul Qawa’id merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri Indrapura yang ditulis oleh Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasirn Abdul Jalil Syarifuddin. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu. Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005) dijelaskan bahwa bagian pertama Babul Qawa’id merupakan bagian pembukaan yang terdiri dan dua pasal dan menjelaskan tentang motivasi, atar belakang, nama dan naskah ini, dan menyebutkan bahwa isinya tidak beriaku sebagai hokum bagi penduduk bukan Melayu atau Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kecuali yang terhibat perkara dengan orang Melayu. Pengadilan untuk kasus ini akan mehibatkan pejabat Kesultanan Siak Sri Indrapura dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda.[2]
            Pengadilan Tinggi berada di ibukota Kerajaan yang disebut Kerapatan Qodhi yang diketuai oleh Sultan, sedangkan hakim Anggota adalah datuk-datuk dari setiap suku,  Qodhi dan Controleur yaitu :
1.      Datuk Sri Pekermaja (Kepala Suku Tanah Datar)
2.      Datuk Sri Bijuangsa (Kepala Suku Lima Puluh)
3.      Datuk Sri Dewaraja (Kepala Suku Pesisir)
4.      Datuk Amir Pahlawan (Kepala Suku Kampar)
5.      Qodhi
6.      Controleur
            Balai Kerapatan Qodhi diberi nama Balairung, yakni tempat diselenggarakannya aktifitas peradilan, yang berkenaan dengan soal agama seperti Muamalat (perdata) maupun Jinayat (pidana) berupa Jarimah seperti Hudud, Qisas Diat dan Ta’zir .[3]
Pada bagian utama Babul Qawa’id terdiri dan 22 bab yang mencakup 154 pasal. Bab pertama merinci pembagian negeri ke dalam 10 provinsi dan batas-batasnya. Selanjutnya tertulis pula bab-bab yang mengatur, antara lain:
1.      Gelar yang Berkuasa di Kerapatan Tínggi,
2.      Besaran Hukuman yang Akan Disidang di Kerapatan Tinggi,
3.      Perkara yang Akan Disidang di Hadapan Hakim Polisi,
4.      Tugas Hakim Polisi Kesultanan dan Provinsi Jajahan,
5.      Nama-nama Suku.[4]
Selain Babul Qawa’id, perubahan sistem pemeritahan juga terlihat pada lembaga pemerintahan di
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Di dalam buku Sefintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya (1999/2000), disebutkan bahwa di dalam menjalankan pemerintahan, sultan dibantu oleh para pejabat kesultanan yang memimpin lembaga, baik di pusat maupun di daerah yang terdiri dari:
1.      Sultan merupakan kepala pemerintahan, pemegang kedaulatan dan administratur tertinggi.
2.      Dewan Menteri (Dewan Kesultanan) yang bertugas memilih dan mengangkat sultan. Dewan ini bersama dengan sultan membuat undang-undang dan peraturan.
3.      Hakirn Kerapatan Tingqi yang bertugas dalam pelaksanaan pengadilan umum.
a.       Sedang Balai Kerapatan Tinggi adalah tempat untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi pada rakyat Siak.  
b.      Kerapatan Tinggi adalah sultan dan didampingi oleh para Datuk. Kadi negeri Siak dan Controleur Siak berfungsi sebagai anggota.
4.       Hakirn Polisi merupakan kepala pemerintahan di tingkat provinsi sebagai wakil sultan. Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura terdiri dan 10 provinsi. Yakni:
a.       Propinsi Siak bergelar Tengku Besar
b.      Propinsi Tebing Tinggi bergelar Tengku Temenggung Muda
c.       Propinsi Merbau Bergelar Orang Kaya Setia Indera
d.      Propinsi Bukit Batu Bergelar datuk Laksamana Setia Diraja
e.       Propinsi Bangko bergelar Datuk Dewa Pahlawan
f.       Propinsi Kubu bergelar Datuk Jaya Perkasa
g.      Propinsi Pekanbaru bergelar datuk Syahbandar
h.      Propinsi Tapung Kiri bergelar Syarif Bendahara
i.        Propinsi Tapung Kanan bergelar Datuk Bendahara
j.        2 Komisaris Negara Pangeran wira Negara dan Pangeran Wira Kesuma
5.       Hakim syariah yang terbagi menjadi dua, pertama berkedudukan di Negeri Siak Sri Indrapura bergelar Kadi Siak. Tugas dan Kadi Siak menangani pengadilan tentang harta pusaka atau warisan dan masalah hukum adat. Kedua berkedudukan di daerah provinsi yang bergelar Imam Jajahan. Tugas Imam jajahan adalah membantu Kadi Siak.
6.      Hakirn Kepala Suku/Hinduk merupakan pemerintahan yang terendah menurut hierarki Kesultanan Siak Sri Indrapura. Hakim Kepala Suku/Hinduk bertu gas melaksanakan pemerintahan dan men gatur kehidu pan bermasyarakat, beragama, dan berkesultanan pada sukunya masing-masing. Hakim Kepala Suku/Hinduk tunduk pada Hakim Polis. Provins.i [5]
I.        Kelembagaan Peradilan Ketika Islam Masuk ke Nusantara.
Dengan masuknya agama Islam di Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan  hukum Hindu yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukkan keberadaannya, tetapi hukum Islam telah merembes di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal itu mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan pengembangan peradilan agama di Indonesia.[6] Dalam Islam sendiri adanya istilah ahkamul kahmsah yang mengatur semua tingkah laku manusia muslim dalam berbagai masyarakat. Kaidah-kaidah Haram (larangan), Fard (kewajiban), Makruh (celaan) dan Sunat (anjuran) jauh lebih sempit ruang lingkupnya kalau dibandingkan dengan kaidah jaiz dan mubah. Kedalam katagori kedua terakhir inilah adat dan bagian-bagian hukum adat dapat dimasukkan baik adat yang telah ada sebelum Islam itu atau sesudah Islam itu sampai ke Nusantara selama adat tersebut tidak berlawanan dengan keyakinan masyarakat muslim itu sendiri.[7]
Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan Islam bercorak majemuk. Kemajemukan itu amat bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumya.[8]
Hukum yang digunakan sebagai rujukan dalam menentukan ketetapan hukum pun masih terbatas pada hukum fiqih yang dikodifikasikan oleh ulama-ulama Timur Tengah karya ulama-ulama Mazhab. Menurut sejarah, dari Pasailah hukum Islam Mazhab fiqih Syafi’i diperkenalkan dan disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di tanah air.[9]
Hukum islam nusantara sangat tergantung kepada mazhab yang dipegang oleh para sultan itu sendiri, hal ini tentulah untuk menjalankan hukum Islam itu secara serasi tanpa adanya perbedaan antara keduanya. Misalnya dapat dicontohkan, mazhab Syiah pernah menjadi mazhab resmi kerajaan pereulak yang didirikan pada 1 muharam 225 H/ 806 M, dengan rajanya ketika itu Sayyid Abd Aziz Syah. Tetapi mazhab tersebut tidak bertahan lama  di Aceh ketika runtuhnya kerajaan perlak. Dan setelah itu mazhab syafi’i berkembang pada masa kerajaan Pasai.[10]
Batasan wewenang pengadilan agama pada masa itu meliputi bidang hukum keluarga, yaitu perkawinan dan kewarisan. Kedudukan sultan sebagai penguasa tertinggi, dalam berbagai hal, berfungsi sebagai pendamai apabila terjadi perselisihan hukum.[11]
Peradilan Islam ketika itu betul-betul merupakan peradilan umum bagi umat Islam.[12] Hukum Islam yang berlaku pada saat itu adalah hukum fiqih hasil ijtihad para ulama yang dilakukan secara patuh oleh masyarakat Islam karena kesadaran dan keyakinan mereka bahwa hukum Islam adalah hukum yang benar.[13]
Pola Tahkim kemudian berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Muslim. Ketika kerajaan-kerajaan Islam telah terbentuk, maka pola ini berkembang menjadi pelimpahan wewenang oleh ahlul halli wa al-aqdi. Selanjutnya berkembang menjadi tauliyah dari Imam atau delegation of authority. Pada era ini, hakim sudah diangkat oleh sultan atau raja.[14] ahlil halli wa al-qadi yakni kelompok-kelompok yang terkemuka dalam masyarakat yang sekaligus merupakan sesepuh adat.
Jenis dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Masjid
Dalam perkembangan berikutnya Peradilan Pradata diubah menjadi Pengadilan Surambi yang tidak lagi dipimpin oleh raja, tetapi dipimpin oleh penghulu yang didampingi oleh alim ulama sebagai anggota majelis. Walaupun telah terjadi perubahan nama, namun tugas dan wewenang kekuasaanya tetap tidak berbeda dengan Pengadilan Pradata.[15] Penghulu, sebagai kepala kemasjidan juga menjadi ketua pengadilan agama yang diangkat oleh seorang raja dan priyayi setempat.[16]
Perubahan itu terjadi pada  masa  pemerintahan Sultan Agung di Mataram (1613-1645 M), pengadilan pradata menjadi pengadilan serambi, yang dilaksanan di serambi mesjid. Pemimpin pengadilan, meskipun prinsipnya masih tetap di tangan Sultan, telah beralih ke tangan penghulu yang didampingi bebarapa orang ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majlis. Keputusan pengadilan serambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam mengambil keputusan yang bertentangan dengan nasihat pengadilan serambi.
Sementara di minangkabau, perkara agama diadili pada rapat nagari dan kepala-kepala nagari, pegawai-pegawai mesjid dan ulama-ulama dan dilakukan pada hari jumat, sehingga rapat tersebut dinamakan sidang jumat.[17]
Ketika Islam semakin Kuat dibuktikan dengan adanya kerajaan atau kesultanan Islam. Maka kebijakan dari Sultan  dalam implementasi hukum dilimpahkan kepada pembantu urusan agama, seperti para hakim atau ulama yang telah diangkat. Pada tingkat  desa jabatan agama disebut Kaum, Kayim, Modin dan Amil. Di tingkat kecamatan disebut Penghulu Seda dan tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang berfungsi sebagai hakim atau qadhi yang dibantu beberapa penasihat yang kemudian disebut pengadilan serambi.[18]
Dalam pemutusan perkara penghulu dibantu oleh tiga majlis serambi seagai penasihat. Karena persamaan tempat dan personalia dalam memutuskan perkara tersebut diadili oleh majelis.[19]
J. Hukum materil dan hukum formil
Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat, peran saudagar dalam menyebarkan agama islam digantikan oleh para guru, khatib dan pengawal hukum Islam. Perkembangan agama Islam di Nusantara berjalan dalam dinamika yang cukup pesat. Terkait dengan perkembangan tersebut, sejumlah kitab fikih (hukum Islam) berbahasa Melayu mulai ditulis oleh para ulama-ulama di Nusantara. Seorang Ulama yaitu Syekh Nuruddin Ar-Raniry menghasilkan Karyanya yang membahas tentang hukum Islam adalah kitab hukum Islam pertama yang disebarkan keseluruh Nusantara. Kitab tersebut berjudul Shirathal Mustaqiim (1628 M) dan syarahnya adalah Kitab Sabilul Muhtadiin karya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang menjadi rujukan hukum di daerah Banjar dan daerah lainnya. Sedangkan di daerah Banten dan Palembang juga merujuk kepada kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Abdussamad.[20]selain itu, karya para pujangga yang ada pada waktu itu, antara lain adalah Sajinatul Hukum.[21] Dan menjadi hukum materiil dalam menyelesaikan perkara di antara orang Islam di Kesultanan Banjar, akan tetapi karya-karya hukum Islam tersebut masih ditulis dengan mengikuti sistematika fiqh klasik.
Selain dari kitab tersebut ada juga berbagai kitab yang menjadi rujukan dalam kesultanan islam seperti kitab Miratul thulab  fi tasyi al-ma’rifah al-ahkam al-syar’iyyah li al-malik al-wahab karya Syekh Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105) atas permintaan Sayyidat al-din.[22]
Menarik untuk dicermati, bahwa pada masa-masa menjelang abad XVII, XVIII, XIX, hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna, mencakup masalah Mu’amalah, al-Ahwal al-Syakhsiyah (Perkawinan, Perceraian, dan Warisan), Peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Tidak itu saja, hukum Islam juga menjadi system hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara.
Produk pemikiran fuqaha yang bersifat normatif tersebut disebarluaskan melalui kitab fikih dan disosialisasikan ke dalam bentuk pengajaran dan ditranformasikan  ke dalam peraturan perundang undangan (takhrij al-ahkam fi al-nash al-qanun). Sosialisasi dalam bentuk pengajaran dilakukan melalui pesantren dan perguruan tinggi agama islam, sedangkan tranformasi hukum dilakukan melalui produk kekuasaan negara, terutama untuk memnuhi kebutuhan hukum materil dalam bidang perkawinan , kewarisan, perwakafan, dan hukum formal (acara).[23]
Para hakim di peradilan agama pada umumnya sudah menjadikan kitab-kitab fiqih sebagai landasan hukum. kitab-kitab fiqih sudah berubah fungsinya , kalau semula merupakan literatur pengkajian ilmu hukum Islam, tetapi para hakim peradilan agama telah menjadikan nya kitab hukum.
Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.[24]
K. Hakim dan Otoritasnya
Peradilan atau qadha merupakan fardhu kifayah dan dapat dilakukan dalam keadaan apapun juga. Dalam keadaan tidak ada qadhi atau penguasa dapat dilakukan secara tahkim kepada seorang muhakkam, yakni penyerahan hukum , seperti tahkim seorang wanita kepada seseorang untuk bertindak wali, ataupun penyerahan dua belah pihak yang berselisih kepada pihak ketiga untuk memutus perkara. Dalam suatu kelompok masyarakat yang sudah diatur, jabatan hakim dan qadhi dapat dilakukan secara pemilihan dan baiat oleh ahlul hilli walaqdi yang pengangkatan atas seseorang yang dipercaya oleh majlis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat.[25] Pada masa itu, kalangan santri atau pesantren menjadi sangat penting bagi masyarakat Islam. Karena para santri mempelajari berbagai kitab-kitab karang fuqaha yang ketika itu menjadi pedoman bagi peradilan masyarakat Islam Nusantara. Meraka memiliki berbagai jabatan dalam pemerintahan seperti, penghulu yang merupakan cikal bakal dalam pengembangan tradisi peradilan Islam di Nusantara.[26]
Di daerah-daerah seperti Sulaweasi Utara ,Gayo, Alas, Tapanuli di Sumatara bagian utara dan Sumatara Selatan tidak ada bentuk pengadilan agama secara khusus. Meskipun di daerah-daerah  tersebut pemimpin agama meyelesaikan masalah-masalah agama dan tugas-tugas peradilan.[27]
 Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang. Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang (pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih (ulama)[28]
Di beberapa tempat, menurut Lev (1972:10), seperti di Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lain, para hakim agama biasanya diangkat oleh penguasa setempat. Kedudukan Sultan sebagai penguasa tertinggi, dalam berbagai hal, berfungsi sebagai pendamai apabila terjadi persilisihan hukum.[29]
Pada masa Sultan Hasanudin hanya ada satu Pengadilan yang dipimpin oleh Kadhi sebagai Hakim tunggal. Sedangkan di Aceh, Hakim terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Fakih (ulama).[30]















KESIMPULAM
Pada pemaparan makalah diatas, dapat kita lihat bahwa hukum Islam sangat mewarnai sistim peradilan dalam dunia Melayu. Ada cukup banyak kitab-kitab hukum melayu yang ditulis dan menjadi panduan hukum pada masyarakat Melayu Nusantara.
Diantara kitab-kitab tersebut adalah;
1.      Qanun al-Ashyi (adat meukuta alam) yang ditulis dalam huruf Arab Melayu. Qanun ini ditetapkan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh.
2.      Tsamarat Al Muhimmah, merupakan sebuah kitab buah tangan Raja Ali Haji, sarjana era l800an, tentang lembaga peradilan dan sistem kenegaraan di kerajaan Melayu Lingga.
3.      Babul Qawa’id merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri Indrapura yang ditulis oleh Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasirn Abdul Jalil Syarifuddin. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu.
4.      Al-SHirath al-Mustaqim, Jawahir al-‘Ulum fi Kashf al Ma’lum berisi perpaduan antara fikih dan tasauf, Kaifiyah al-Salah dan Tanbih al-Sunnah yang ditulis oleh Nuruddin Al-Raniry .
5.      Mir’at Tulab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Shari’at li al-Malik al-Wahhab Karya Syekh Abdurrauf berjumlah dua puluh satu buah. Ada yang mengatakan 23 kitab (menurut Wan Mohd Saghir Abdullah).
6.      Kitab Sabilul Muhtadiin karya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang menjadi rujukan hukum di daerah Banjar dan daerah lainnya.
7.      Sedangkan di daerah Banten dan Palembang juga merujuk kepada kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Abdussamad.
8.      Hidayat al-Balighah, kitab yang isinya mengenai pembuktian dalam peradilan, kesaksian dan sumpah. Kitab ini ditulis untuk memberi bimbingan praktis kepada hakim-hakim.
9.      Selain itu, karya para pujangga yang ada pada waktu itu, antara lain adalah Sajinatul Hukum
10.  Sabil al-Muhtadin. Buku ini menjadi pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umaat Islam di daerah kesultanan Banjar.
11.   
Demikian diantara kitab-kitab hukum peradilan pada masyarakat Melayu. Dengan keterbatasan ini semoga informasi yang tertuang dalam makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita.





























DAFTAR PUSTAKA
1.      Abdul halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005).
2.      Andaya, L.Y., Raja Kechil and the Minangkabau conquest of Johor in 1718, JMBRAS 1972.
3.      Barnard, T.P., Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in theEighteenth Century, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3  2001.
4.      Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006)
5.      Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia; (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2003).
6.      Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).
7.      Collins, James T. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV bekerja sama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia.2005.
8.      Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2006),
9.      Lutfi, Amir,  Unsur Islam Dalam Sistem Peradilan Kesultanan Siak Sri Inderapura 1915-1945, Pekanbaru, IAIN Susqa Press.
10.  Luthfi, A., , Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press, 1991.
11.  M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
12.  Mahdini, Tsarnarat Al Muhimrnah, Pernikiran Raja Ai Haji Tentang Peradilan, Penerbit Yayasan Pusaka Ria Cetakan dakan pertarna, Desember 1990.
13.  Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo, 1996).
14.  Norm a Dewi et .al.. Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya. Bapeda Riau 2000.
15.  Samin, S. M., Sultan Syarif Kasim II: pahlawan nasional dari Riau, Yayasan Pusaka Riau 2002.
16.  Sulaikin Lubis, Wismar ’Ain Marjuki, Gemala Dewi, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia”. (Jakarta: Kencana, 2006).
17.  Suwarno, Swardila, et.al.. Siak Sri Indrapura. Jakarta: Amanah-Lontar, 2005.
18.  The Edinburgh Gazetteer, Or Geographical Dictionary, A. Constable and Company, 1822.
19.  Yuli S. Setyowati (ed.).. Sejarah Riau. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2004.
20.  Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983).




[1] Mahdini, Tsarnarat Al Muhimrnah, Pernikiran Raja Ai Haji Tentang Peradilan, Penerbit Yayasan Pusaka Ria Cetakan dakan pertarna, Desember 1990. 163 hal
[2] Suwarno, Adila, Op., Cit., p 88
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Dewi, Norma, Op., Cit., p. 7-8
[6] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia; (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2003), hal. 113.
[7] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam.., hal. 207
[8] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2003), hal. 113.
[9] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam,Peradilan Agama dan Masalahnya, Dalam Tjun
[10] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2006), hal. 68.
[11] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia..., hal. 116
[12] M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal. 9.
[13] Daud Ali,Hukum Islam.., hal. 211.
[14] Daniel S. Lev,Peradilan Agama Islam di Nusantara..., hal. 1-3.
[15] Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.  35.
[16] Daniel S. Lev,Peradilan Agama Islam di Nusantara..., hal. 27.
[17] Muhammad Iqal. Hukum Islam Indonesia Modern, (tanggerang: 2009, Gaya media pratama), hal. 39.
[18] Abdul halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hal. 48.
[19] Basiq, Peradilan Agama di Indonesia..., hal. 35-36.
[20] Daud Ali, Hukum Islam..., hal. 191.
[21] Abdul halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hal. 47.
[22] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia..., hal. 72.
[23] Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 101-102.
[24] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 147.
[25] Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hal. 29.
[26] Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal 106
[27] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 109.
[28]Muhammad Iqal. Hukum Islam Indonesia Modern .
[29] Ibid..., hal. 115-116.
[30] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...