BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-qur’an ialah kitab yang perlu
dikaji mendalam, karena merupakan sumber hukum yang pertama untuk kaum
muslimin. Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam
mengkaji Alqur’an adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari
kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang
bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui
kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang
ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah
Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am dan lafadz
khas. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara lebih
mendalam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pengertian lafadz ‘am serta ruang lingkup dan
kehujahanya?
2.
Apa pengertian serta klasifikasi dan dalalah dari lafadz
khash?
3.
Sebutkan pengertian takhsis serta pembagianya?
BAB
II
PEMBHASAN
A. LAFAL
‘AM
1.
Pengertian ‘Am
Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah:
الَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ
ماَيَصْلُوْحُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً
Artinya: “Lafal yang meliputi pengertian umum
terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu dengan hanya disebut
sekaligus. “[1]
Dengan pengertian lain, al-am ialah suatu perkataan yang member
pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu
dengan tidak terbatas, misalnya: Al-Insan
yang berarti manusia. Perkataan
ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk dala tujuan
perkataan ini, sekali mengucapkan lafal Al-Insan
berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. [2]
Dapat dimengerti keumunan itu
menjadi sifat yang pengertiaannya mencakup segala yang dapat dimasukkan ke
dalam konotasi lafal. Sedangkan lafal yang menunjukan beberapa orang, seperti Rijalun tidak termasuk lafal umum.
2.
Jenis-jenis Am
Lafal Am mempunyai beberapa bentuk, di antaranya adalah sebagai berikut:[3]
a. Lafal
kulun, jami’un, kaffah, ma’sya (artinya
seluruhnya). Masing-masing lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafal-lafal itu,
misalnya:
Ø Kullun
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”
(QS. Ali-Imran: 185)
Ø Jami’un
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Arttinya:
“Dia-lah (Allah) yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada di bumi, semuanya,” (QS.
Al-Baqoroh : 29)
Ø Ma’syar
يَا مَعْشَرَ
الْجِنِّ وَالإنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ
آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا
“Hai
golongan jin dan manusia! Apakah tidak pernah dating kepadamu Rasul-rasul dari
golonganmu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan member
peringatan kepadamu, terhadap pertemuan hari ini?” (QS. Al-an’am: 130)
Ø Kaffah
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ
“
Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada manusia semuanya” (QS.
Saba’: 28)
b. Isim istifham
ialah man (siapa), ma (apa), aina, ayyun (di mana),
Dan
mata (kapan), misalanya:
·
Man
(siapa) :
مَنْ
ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
“Siapakah yang mau berpiutang
kepada Allah dengan piutang yang baik?” (QS. Al-Baqarah : 245)
·
Ma
(apa)
سَقَرَ فِي سَلَكَكُمْ مَا
“Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS.
Al-Muddasir : 42)
·
Ayyun
(siapakah):
أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا
قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ
“siapakah di antara kau yang bias membawa
kursi tahta kerajaanya (Bulqis) di hadapanku sebelu mereka datang menyerahkan
diri kepadaku” (QS. An-naml 38)
·
Mata
(kapan)
بُُقَرِ اللهِ نَصْرَ إِنَّ أَلآَ للهِ ا نَصْرُ مَتَى
“kapan datangnya pertolongan Allah?
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS.
Al-Baqarah : 215)
·
Aina
(dimana)
“Di manakah tempat tinggalmu?”
c. Isim
syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa
saja), dan ayyun (yang mana saja),
misalnya:
Ø Man (barang
siapa):
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
“Barang
siapa yang mengerjakan kejahatn, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu.”(QS. An-nisa’ : 123)
Ø Ma (apa
saja)
مَا تُنْفِقُوا
مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah) niscaya kamu diberi
pahalanya dengan cukup dan sedikit pun kamu tidak dianiaya.”
(QS. Al-Baqarah : 272)
Ø Ayyun (mana
saja)
أَيًّا
مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ
“Dengan apa saja kamu seru Dia,
maka Ia mempunyai nama-nama yang baik.” (QS. Al-Isra’ : 110)
Ø Ayyuma (siapa
saja)
“Siapa saja perempuan yang minat
ditalak kepada suaminya tanpa alas an, maka haram baginya wangi surga” (HR.
Ahmad)
d. Isim mufrad yang
makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah: 275)
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangannya.”
(QS. Al-Maidah : 38)
Makrifat
dengan idhafah:
وَإِن تَعُدُّوا
نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“kalau kamu menghitung-hitung nikmat Allah tentu kamu tidak dapat
menghitungnya” (QS. Ibrahim : 134)
e. Jama’ yang
ditakrifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah:
Ø Makrifat dengan
alif lam (al) :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS.Al-maida : 42)
Ø Makrifat dengan
idhafah:
Seperti lafal ummahatukum
pada ayat ini:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Terlarang
bagimu (mengawini) ibu-ibumu” (QS. An-Nisa’ 23)
f. Isim Nakirah
yang terletak sesudah Nafi:
Misalnya:
وَاتَّقُوا
يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا
“Jagalah
dirimu dari (adzab) hari (kiamat),yang pada hari itu, seorang pun tidak dapat
membela orang lain, walau sedikit pun.” (QS. Al-Baqarah : 48)
Kalimat nafsun=seorang pun, yang jatuh sesudah naïf (Ia=tidak) yaitu tidak tertentu, dan ditujukan kepada semua jenis
manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
g. Isim mausul
(alladzi, alldzina, allati, maa,dan sebagaiinya):
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا
“sesungguhnya
orang-orang yang makan harta anak-anak yatim dengan aniaya, bener-bener
orang-orang itu makan api perut mereka.” (QS. An-Nisa : 10). [4]
3. Macam-macam
lafadz ‘Am
a. Lafaz
‘Am yang maksudnya umum”, adalah lafaz yang dari segi lafaznya adlah ‘am sedangkan yang dimaksud dengan ‘am itu memang adalah keumumannya.
Secara definitive, dapat dirumuskan sebagai berikut:
Lafaz
‘am yang disertai qarinah yang menolak kemungkinan untuk ditakhsiskan.[5]
Umpamanya lafaz ‘am dalam firman
Allah, surat Al-imran (3): 185:
كُلُّ نَفْسٍۢ
ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ
Artinya: “ Setiap diri akan merasakam kematian.”
Kata
kullun nafsi dalam ayat diatas,
adalah lafaz yang dari segi lafaznya adalah sighat ‘am yang dari segi artinya
dapat diketahui memang tidak dapat dibatasi keumumannya, karena tidak satu pun
dari sema makhluk hidup yang tidak akan merasakan kematian Qarinah yang menyertai disini adalah qarinah haliyah atau keyakinan yang dirasakan bersama. Lafaz ‘am
dalam bentuk ini penunjukannya terhadap umum adalah qath’i.
b. Lafaz
‘Am yang maksudnya adalah khushus”,
adalah lafaz yang dari segi lafaznya adlah ‘am.
Namun dari segi makna yang terkandung didalamnya adalah khushush. Secara definitif rumusnya adalah:
Yaitu
lafaz ‘am yang disertai qarinah yang meniadakan keumumannya.
Umpamanya lafaz ‘am dalam firman
Allah, surat Al-Imran (3): 97:
سَبِيل
إِلَيْهِ اسْتَطَاعَ ا مَنِ الْبَيْتِ حِجُّ النَّاسِ عَلَى وَلِلَّهِ
“kewajiban
manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah Haji ke Baitullah bagi orang
yang berkuasa berjalan kesana.”
Lafaz
An-nas dalam ayat ini adalah am’ karena ia tunggal didahului alif-lam jinsiyyah. Meskipun lafaznya ‘am namun yang dikehendaki dalam ayat
ini adalah sebagian afradnya saja,
yaitu orang mukallaf yang mempunyai kesanggupan. Lafaz ‘am dalam bentuk ini penunjukannya terhadap
kekhususannya qath’i.
c. Lafaz
“‘am yang di khususkan”, adalah lafaz
‘am yang selalu ada kemungkinan
mendapat takhshish. Secara definitf
adalah:
“lafaz ‘am yang tidak disertai oleh qarinah yang meniadakan kemungkinan
untuk ditkhshish, juga tidak disertai qarinah yang meniadakn lafaz itu dapat
tetap bersifat ‘am”.
Bentuk
lafaz ‘am yang ketiga inilah yang
terbanyak ditemukan dari semua bentuk lafaz ‘am. Umpamanya hadist Nabi berbunyi:
Artinya: orang yang member petunjuk untuk berbuat kebaikan itu sendiri.
Lafaz man dalam hadits tersebut berarti ‘am, karena ia adalh isim
maushul. Dalam lafaz ini tidak terdapat tanda (qarinah) apakah bermakna ‘am atau
khushush.
Perbedaan antara lafaz “Am yang
dimaksudnya adalah khusush” dengan
lafaz “Am yang dikhusushkan” adalah: lafaz yang maksudnya adalah yang tidak
dimaksud afradnya lebih banyak.
Sedangkan lafaz “ ‘Am yang dikhusushkan” adalah apa yang dikehendaki dari lafaz
itu afradnya lebih banyak, dan apa
yang dimaksud afradnya lebih sedikit.[6]
4.
Dalalat ‘Am
Jumhur al-ulama, di
antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafzh
al-‘am itu zhanniy dalalat-nya atas
semua satuan-satuan yang di dalamnya. Demikian pula, lafzh al-‘am, setelah di-takhshish,
sisa satuan-satuannya juga zhanniy dalalat-nya,
hingga terkenalah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyat yang berbunyi:
” Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshis”
Oleh karena itu ketika lafzh ‘am ditemukan hendaklah berusaha
dicarikan pen-takhshish-nya.
Atas dasar pendapat jumhur al-ulama tersebut di atas,
kiranya, dapat dipahami bahwa lafzh
al-‘am itu, baik sebelum maupun sesudah di-takhshish, zhanny dalalat-nya.
Berbeda dengan jumhur al-ulama, Ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa lafzh al-‘am itu qath’iy dalalat-nya,
selagi tidak ada dalil lain yang men-takhshish-nya
atas satuan-satuannya. Karena lafzh
al-‘am itu dimksudkan oleh bahasa untuk menunjukan atas semua satuan yang
ada di dalamnya, tanpa kecuali.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut
di atas terlihat ada perbedaan. Bagi jumhur
al-‘ulama’, sejak semula, lafzh al-‘am
itu zhanny dalalat-nya. Oleh karena itu dapat di-takhshish dengan dalil zhanniy
lainnya seperti khabar ahad atau qiyas. Sedangkan bagi Ulama Hanafiyah,
karena lafzh al-’am itu sejak semula qath’iy dalalat-nya, maka ia tidak dapat
di takhsish kecuali dengan dalil qath’iy. Oleh sebab itu dalil zhanniy, seperti khabar ahad dan qiyas
tidak dapat mentakhsish lafzh ‘am.
Sebagai contoh, Ulama Hanafiyah
mengharamkan memakan daging binatang yang disembelih tanpa menyebut basmallah,
karena adanya firman Allah dalam surat al-An’am (6) ayat 121, yang bersifat
umu, yang berbunyi:
وَلا تَأْكُلُوا
مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ...
“Dan janganlah
kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketik menyembelinya…
Ayat
tersebut, menurut mereka, tidak dapat di-takshish oleh hadist Nabi yang
berbunyi:
المسلم يذبح علي اسم الله سميّ أو لم يسم
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas
nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)
Alasannya
adalah bahwa ayat tersebut qah’iy, baik
dari segi wurud (turun) maupun dalalat-nya, sedangkan hadits Nabi itu
hanya zhanniy wurud-nya, sekalipun qath’iy dalalat-nya.
Ulama
Syafi’iyah membolehkan memakan daging binatang yang sisembelih orang Islam
tanpa basmalat, dengan alas an bahwa
ayat itu, menurut mereka, dapat di-takhshish
dengan hadits tersebut. Karena dalalat
kedua dalil itu sama zhanniy. Lafazh
al-‘am pada ayat itu zhanniy dalalat-nya, sedang hadits zhanniy pula wurud-nya dari
Nabi Muhammad SAW.[7]
B.
LAFAL KHAS
1.
Pengertian Khas
Para
Ulama ushul berbeda pendapat dalam
meberikan definisi khas. Namun, pada
hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang
dapat dikemukakan disini, antar lain: [8]
Artinya: “suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti
yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Dan
menurut Al-Bazdawi, definisi khas adalah:
“setiap lafaz yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan
terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan
definisi di atas, ia mengeluarkan lafazh
mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khas, dan bukan pula bagian dari lafazh ‘amm.pendapat ini dipegang pula
oleh sebagian Ulama Syafi’iyah.[9]
Seperti
dikemukakan Adib Shalih, lafazh khas adalah
lafazh yang mengandung satu
pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para Ulama Ushul Fiqh sepakat. Seperti disebutkan
Abu Zahrah, bahwa lafazh khash dalam nash syara’. Menunjuk kepada
pengertiannya yang khash secara qath’i (pasti) dan hukum yang
dikandungnya bersifat pasti (qath’i) selama tidak ada indikasi yang
menunjukan pengertian lain.[10]
2.
Dalalat Khas
Lafazh khash
dalam al-syar adalah menunjuk kepada dalalat qath’iyat terhadap makna khusus
yang dimaksud dan hukum yang ditunjuknya adalah qath’iy, bukan zhaniiy, selama
tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Sebagai contoh,
firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 196, yang berbunyi:
Artinya: tetapi jika ia tidak menemukan (binatang
korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji…
Lafzh
()tiga dalam ayat tersebut di atas adalah khash,
yang tidak mungkin untuk diartikan kurang atau lebih dari makna yang
dikehendaki oleh lafazh itu sendiri,
yaitu tiga hari. Oleh karena itu dalalat maknanya adalah qath’iyyat dan dalalat hukumnya
pun qath’iyat.
Sebagai
telah disebut di atas bahwa hukum yang ditunjuk oleh lafzh khash itu qath’iy. Selama
tidak ada qarinat yang menghendaki
untuk di-ta’wil-kan kepada maksud
yang lain. Akan tetapi, apabila ada qarinat
maka lafzh al-khash tersebut
harus di-ta’wil-kan kepada maksud
makna yang lain.
Sebagai
contoh hadits Nabi yang berbunyi:
Artinya:
“Pada setiap empat puluh ekor kambing,
wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut
jumhur Ulama lafzh (empat puluh ekor kambing) dan lafzh (seekor kambing) keduanya adalah lafzh al-khash. Karena kedua lafzh tersebut tidak mungkin diartikan
lebih atau kurang dari makna yang ditunjuki oleh lafzh tersebut adalah qath’iyat.
Akan tetapi, menurut Ulama Hanafiyah, bahwa dalam hadits Nabi tersebut
terdapat qarinah yang mengalihkan
kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat itu adalah untuk menolong fakir
miskin. Pertolongan itu dapat tercapai bukan hanya dengan memberikan seekor
kambing, tetapi juga dapat dengan memberikan seekor kambing yang dizakatkan.[11]
3.
Sifat-sifat Lafazh
Khash
Lafzh khash itu, dalam nash-nash
syara’, kadang-kadang dating secara mutlaq, tanpa diikuti oleh suatu syarat apa pun, kadang-kadang muqayyad, yakni di batasi dengan suatu
syarat, kadang-kadang datang dengan sighat
(bentuk) al-amr, yakni tuntunan
untuk dilakukan suatu perbuatan, dan kadang-kadang dengan sighat al-nahy, yakni melarang mengerjakan suatu perbuatan. Dengan
demikian pembahasan tentang khash ini
mencakup lafzh al-mutlaq, al-muqayyad,
al-amr, dan al-nahy.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Lafal
‘AM
a. Pengertian
‘Am
Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah:
الَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ
ماَيَصْلُوْحُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً
Artinya:
“Lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam
pengertian lafal itu dengan hanya disebut sekaligus. “
b. Jenis-jenis
Am
Lafal Am mempunyai beberapa bentuk, di antaranya adalah sebagai berikut:
·
Lafal kulun, jami’un, kaffah, ma’sya (artinya
seluruhnya).
·
Isim
istifham ialah man
(siapa), ma (apa), aina, ayyun (di mana),
Dan
mata (kapan).
·
Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa
saja), dan ayyun (yang mana saja).
·
Isim
mufrad yang makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah.
·
Jama’
yang ditakrifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah.
·
Isim
Nakirah yang terletak sesudah Nafi.
c. Macam-macam
lafadz ‘Am
Ø Lafaz
‘Am yang maksudnya umum”, adalah lafaz yang dari segi lafaznya adlah ‘am sedangkan yang dimaksud dengan ‘am itu memang adalah keumumannya.
Ø Lafaz
‘Am yang maksudnya adalah khushus”,
adalah lafaz yang dari segi lafaznya adlah ‘am.
Namun dari segi makna yang terkandung didalamnya adalah khushush.
Ø Lafaz
“‘am yang di khususkan”, adalah lafaz
‘am yang selalu ada kemungkinan
mendapat takhshish.
d. Dalalat
‘Am
Jumhur al-ulama, di
antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafzh
al-‘am itu zhanniy dalalat-nya atas
semua satuan-satuan yang di dalamnya.
2. LAFAL
KHAS
a. Pengertian
Khas
lafazh khas
adalah lafazh yang mengandung satu
pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para Ulama Ushul Fiqh sepakat. Seperti disebutkan
Abu Zahrah, bahwa lafazh khash dalam nash syara’. Menunjuk kepada
pengertiannya yang khash secara qath’i (pasti) dan hukum yang
dikandungnya bersifat pasti (qath’i) selama tidak ada indikasi yang
menunjukan pengertian lain.
b. Dalalat
Khas
Lafazh khash
dalam al-syar adalah menunjuk kepada dalalat qath’iyat terhadap makna khusus
yang dimaksud dan hukum yang ditunjuknya adalah qath’iy, bukan zhaniiy, selama
tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
c. Sifat-sifat
Lafazh Khash
pembahasan tentang khash ini mencakup lafzh
al-mutlaq, al-muqayyad, al-amr, dan al-nahy.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Muhammad Adib Shalih, Tafsir
an-nusush Fil Fiqhul Islami, Maktab Islami, Beirut, 1993.
2. Uman
Khairul, Ushul Fiqh, CV Pustaka
Setia, Bandung, 1998
3. Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid II, PT LOGOS Wacana
Ilmu, Jakarta, 1999
4. Djazuli,
Ushul Fiqh (metodologi hukum islam,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000
5. Syafe’i
Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, CV Pustaka
Setia, Bandung, 2007
6. Efendi
Satria, Ushul Fiqh, Prenada Media,
Jakarta, 2005
7. Zahra,MuhammadAbu,
Ushul Al-Fiqh : dar Al-Fikral 'Arabi, 1985
8. Prof.
Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A. Ushul Fiqh. 2008. Kencana Prenada Media
9. Group.
Jakarta
10. Drs.
Khairul Uman-Drs. H. A. Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. 2001. CV. Pustaka Setia.
Bandung
11. Dr.
H. Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. 2003. PT Raja Grafindo Persada.
12. Dr.
H. A. Syafi’i Karim. Fiqh Ushul Fiqh. 1997. Pustaka Setia.
13.
Ahmad Dahlan.
Ushul Fiqh. 2010. Jakarta.
[1]
Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M. A. Ushul Fiqh hal 69
[2]
Zahra, Muhammad Abu, Ushul Al-fiqh, Kairo. Hal 236
[3]
Drs. H. Nazar Bakry. Fiqh & Ushul Fiqh. Hal 198
[5]
Drs. H. A. Syafi'i Karim. Fiqh & Ushul fiqh.hal 151
[7] Djazuli, Ushul Fiqh (metodologi hukum islam, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2000, hal. 336-338
[8]
Drs. Khairul Uman- Drs. H. A. Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. Hal 62
[9] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, CV Pustaka Setia, Bandung,
2007, hal. 187
[10] Satria Efendi, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005,
hal. 205
[11]
Ahmad Adhlan , Ushul Fiqh. Jakarta.2010. hal 86
[12] Djazuli, Ushul Fiqh (metodologi hukum islam,hal. 341-343
copy past
BalasHapuscopy past
BalasHapus