Selasa, 03 November 2015

DHALALH LAFADZ 'AM DAN KHAS

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-qur’an ialah kitab yang perlu dikaji mendalam, karena merupakan sumber hukum yang pertama untuk kaum muslimin. Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Alqur’an adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am dan lafadz khas. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara lebih mendalam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian lafadz ‘am serta ruang lingkup dan kehujahanya?
2.      Apa pengertian serta klasifikasi dan dalalah dari lafadz khash?
3.      Sebutkan  pengertian takhsis serta pembagianya?












BAB II
PEMBHASAN
A.    LAFAL ‘AM
1.      Pengertian ‘Am
Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah:
الَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ ماَيَصْلُوْحُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً
Artinya: “Lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu dengan hanya disebut sekaligus. “[1]
Dengan pengertian lain, al-am ialah suatu perkataan yang member pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: Al-Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk dala tujuan perkataan ini, sekali mengucapkan lafal Al-Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. [2]
Dapat dimengerti keumunan itu menjadi sifat yang pengertiaannya mencakup segala yang dapat dimasukkan ke dalam konotasi lafal. Sedangkan lafal yang menunjukan beberapa orang, seperti Rijalun tidak termasuk lafal umum.
2.      Jenis-jenis Am
Lafal Am mempunyai beberapa bentuk, di antaranya adalah sebagai berikut:[3]
a.       Lafal kulun, jami’un, kaffah, ma’sya (artinya seluruhnya). Masing-masing lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafal-lafal itu, misalnya:
Ø  Kullun
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”
(QS. Ali-Imran: 185)
Ø  Jami’un
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Arttinya: “Dia-lah (Allah) yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada di bumi, semuanya,” (QS. Al-Baqoroh : 29)
Ø  Ma’syar
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالإنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا
“Hai golongan jin dan manusia! Apakah tidak pernah dating kepadamu Rasul-rasul dari golonganmu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan member peringatan kepadamu, terhadap pertemuan hari ini?”  (QS. Al-an’am: 130)
Ø  Kaffah
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ
“ Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada manusia semuanya” (QS. Saba’: 28)
b.      Isim istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina, ayyun (di mana),
Dan mata (kapan), misalanya:
·         Man (siapa) :
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik?” (QS. Al-Baqarah : 245)
·         Ma (apa)
سَقَرَ فِي سَلَكَكُمْ مَا
“Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS. Al-Muddasir : 42)
·         Ayyun (siapakah):
أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ
 “siapakah di antara kau yang bias membawa kursi tahta kerajaanya (Bulqis) di hadapanku sebelu mereka datang menyerahkan diri kepadaku” (QS. An-naml 38)
·         Mata (kapan)
بُُقَرِ اللهِ نَصْرَ إِنَّ أَلآَ للهِ ا نَصْرُ مَتَى
“kapan datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah : 215)
·         Aina (dimana)
“Di manakah tempat tinggalmu?”
c.       Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja), misalnya:
Ø  Man (barang siapa):
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
 “Barang siapa yang mengerjakan kejahatn, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.”(QS. An-nisa’ : 123)
Ø  Ma (apa saja)
مَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah) niscaya kamu diberi pahalanya dengan cukup dan sedikit pun kamu tidak dianiaya.” (QS. Al-Baqarah : 272)
Ø  Ayyun (mana saja)
أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ
“Dengan apa saja kamu seru Dia, maka Ia mempunyai nama-nama yang baik.” (QS. Al-Isra’ : 110)
Ø  Ayyuma (siapa saja)
“Siapa saja perempuan yang minat ditalak kepada suaminya tanpa alas an, maka haram baginya wangi surga” (HR. Ahmad)
d.      Isim mufrad yang makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangannya.” (QS. Al-Maidah : 38)
Makrifat dengan idhafah:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
kalau kamu menghitung-hitung nikmat Allah tentu kamu tidak dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim : 134)
e.       Jama’ yang ditakrifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah:
Ø  Makrifat dengan alif lam (al) :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

 “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS.Al-maida : 42)
Ø  Makrifat dengan idhafah:
Seperti lafal ummahatukum pada ayat ini:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Terlarang bagimu (mengawini) ibu-ibumu” (QS. An-Nisa’ 23)
f.       Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi:
Misalnya:
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا
“Jagalah dirimu dari (adzab) hari (kiamat),yang pada hari itu, seorang pun tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun.” (QS. Al-Baqarah : 48)
Kalimat nafsun=seorang pun, yang jatuh sesudah naïf  (Ia=tidak) yaitu tidak tertentu, dan ditujukan kepada semua jenis manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
g.      Isim mausul (alladzi, alldzina, allati, maa,dan sebagaiinya):
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
“sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak-anak yatim dengan aniaya, bener-bener orang-orang itu makan api perut mereka.” (QS. An-Nisa : 10). [4]
3.      Macam-macam lafadz ‘Am
a.       Lafaz ‘Am yang maksudnya umum”, adalah lafaz yang dari segi lafaznya adlah ‘am sedangkan yang dimaksud dengan ‘am itu memang adalah keumumannya. Secara definitive, dapat dirumuskan sebagai berikut:
Lafaz ‘am yang disertai qarinah yang menolak kemungkinan untuk ditakhsiskan.[5]
Umpamanya lafaz ‘am dalam firman Allah, surat Al-imran (3): 185:
كُلُّ نَفْسٍۢ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ
Artinya: “ Setiap diri akan merasakam kematian.”
            Kata kullun nafsi dalam ayat diatas, adalah lafaz yang dari segi lafaznya adalah sighat ‘am yang dari segi artinya dapat diketahui memang tidak dapat dibatasi keumumannya, karena tidak satu pun dari sema makhluk hidup yang tidak akan merasakan kematian Qarinah yang menyertai disini adalah qarinah haliyah atau keyakinan yang dirasakan bersama. Lafaz ‘am dalam bentuk ini penunjukannya terhadap umum adalah qath’i.
b.      Lafaz ‘Am yang maksudnya adalah khushus”, adalah lafaz yang dari segi lafaznya adlah ‘am. Namun dari segi makna yang terkandung didalamnya adalah khushush. Secara definitif rumusnya adalah:
Yaitu lafaz ‘am yang disertai qarinah yang meniadakan keumumannya.
Umpamanya lafaz ‘am dalam firman Allah, surat Al-Imran (3): 97:
سَبِيل إِلَيْهِ اسْتَطَاعَ ا مَنِ الْبَيْتِ حِجُّ النَّاسِ عَلَى وَلِلَّهِ
“kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah Haji ke Baitullah bagi orang yang berkuasa berjalan kesana.”
            Lafaz An-nas dalam ayat ini adalah am’ karena ia tunggal didahului alif-lam jinsiyyah. Meskipun lafaznya ‘am namun yang dikehendaki dalam ayat ini adalah sebagian afradnya saja, yaitu orang mukallaf  yang mempunyai kesanggupan. Lafaz ‘am dalam bentuk ini penunjukannya terhadap kekhususannya qath’i.
c.       Lafaz “‘am yang di khususkan”, adalah lafaz ‘am yang selalu ada kemungkinan mendapat takhshish. Secara definitf adalah:
lafaz ‘am yang tidak disertai oleh qarinah yang meniadakan kemungkinan untuk ditkhshish, juga tidak disertai qarinah yang meniadakn lafaz itu dapat tetap bersifat ‘am”.
            Bentuk lafaz ‘am yang ketiga inilah yang terbanyak ditemukan dari semua bentuk lafaz ‘am. Umpamanya hadist Nabi berbunyi:
Artinya: orang yang member petunjuk untuk berbuat kebaikan itu sendiri.
            Lafaz man dalam hadits tersebut berarti ‘am, karena ia adalh isim maushul. Dalam lafaz ini tidak terdapat tanda (qarinah) apakah bermakna ‘am atau khushush.
            Perbedaan antara lafaz “Am yang dimaksudnya adalah khusush” dengan lafaz “Am yang dikhusushkan” adalah: lafaz yang maksudnya adalah yang tidak dimaksud afradnya lebih banyak. Sedangkan lafaz “ ‘Am yang dikhusushkan” adalah apa yang dikehendaki dari lafaz itu afradnya lebih banyak, dan apa yang dimaksud afradnya lebih sedikit.[6]
4.      Dalalat ‘Am
Jumhur al-ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafzh al-‘am itu zhanniy dalalat-nya  atas semua satuan-satuan yang di dalamnya. Demikian pula, lafzh al-‘am, setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga zhanniy dalalat-nya, hingga terkenalah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyat  yang berbunyi:
             ” Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshis”
Oleh karena itu ketika lafzh ‘am ditemukan hendaklah berusaha dicarikan pen-takhshish-nya.
Atas dasar pendapat jumhur al-ulama tersebut di atas, kiranya, dapat dipahami bahwa lafzh al-‘am itu, baik sebelum maupun sesudah di-takhshish, zhanny dalalat-nya.
Berbeda dengan jumhur al-ulama, Ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa lafzh al-‘am itu qath’iy dalalat-nya, selagi tidak ada dalil lain yang men-takhshish-nya atas satuan-satuannya. Karena lafzh al-‘am itu dimksudkan oleh bahasa untuk menunjukan atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas terlihat ada perbedaan. Bagi jumhur al-‘ulama’, sejak semula, lafzh al-‘am itu zhanny dalalat-nya. Oleh karena itu dapat di-takhshish dengan dalil zhanniy lainnya seperti khabar ahad atau qiyas. Sedangkan bagi Ulama Hanafiyah, karena lafzh al-’am itu sejak semula qath’iy dalalat-nya, maka ia tidak dapat di takhsish kecuali dengan dalil qath’iy. Oleh sebab itu dalil zhanniy, seperti khabar ahad dan qiyas tidak dapat mentakhsish lafzh ‘am.
Sebagai contoh, Ulama Hanafiyah mengharamkan memakan daging binatang yang disembelih tanpa menyebut basmallah, karena adanya firman Allah dalam surat al-An’am (6) ayat 121, yang bersifat umu, yang berbunyi:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ...
Dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketik menyembelinya…
            Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat di-takshish oleh hadist Nabi yang berbunyi:
المسلم يذبح علي اسم الله سميّ أو لم يسم
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)
            Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qah’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalat-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya zhanniy wurud-nya, sekalipun qath’iy dalalat-nya.
            Ulama Syafi’iyah membolehkan memakan daging binatang yang sisembelih orang Islam tanpa basmalat, dengan alas an bahwa ayat itu, menurut mereka, dapat di-takhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalat kedua dalil itu sama zhanniy. Lafazh al-‘am pada ayat itu zhanniy dalalat-nya, sedang hadits zhanniy pula wurud-nya dari Nabi Muhammad SAW.[7]


B.     LAFAL KHAS
1.      Pengertian Khas
Para Ulama ushul berbeda pendapat dalam meberikan definisi khas. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan disini, antar lain: [8]
Artinya: “suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Dan menurut Al-Bazdawi, definisi khas adalah:
setiap lafaz yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi di atas, ia mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khas, dan bukan pula bagian dari lafazh ‘amm.pendapat ini dipegang pula oleh sebagian Ulama Syafi’iyah.[9]
Seperti dikemukakan Adib Shalih, lafazh khas adalah lafazh yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para Ulama Ushul Fiqh sepakat. Seperti disebutkan Abu Zahrah, bahwa lafazh khash dalam nash syara’. Menunjuk kepada pengertiannya yang khash secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti (qath’i) selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.[10]
2.      Dalalat Khas
Lafazh khash dalam al-syar adalah menunjuk kepada dalalat qath’iyat terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjuknya adalah qath’iy, bukan zhaniiy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Sebagai contoh, firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 196, yang berbunyi:
Artinya: tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji…
Lafzh ()tiga dalam ayat tersebut di atas adalah khash, yang tidak mungkin untuk diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga hari. Oleh karena itu dalalat  maknanya adalah qath’iyyat dan dalalat hukumnya pun qath’iyat.
Sebagai telah disebut di atas bahwa hukum yang ditunjuk oleh lafzh khash itu qath’iy. Selama tidak ada qarinat yang menghendaki untuk di-ta’wil-kan kepada maksud yang lain. Akan tetapi, apabila ada qarinat maka lafzh al-khash tersebut harus di-ta’wil-kan kepada maksud makna yang lain.
Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
Artinya: “Pada setiap empat puluh ekor kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur Ulama lafzh   (empat puluh ekor kambing) dan lafzh (seekor kambing) keduanya adalah lafzh al-khash. Karena kedua lafzh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuki oleh lafzh tersebut adalah qath’iyat. Akan tetapi, menurut Ulama Hanafiyah, bahwa dalam hadits Nabi tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat itu adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat tercapai bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan memberikan seekor kambing yang dizakatkan.[11]
3.      Sifat-sifat Lafazh Khash
Lafzh khash itu, dalam nash-nash syara’, kadang-kadang dating secara mutlaq, tanpa diikuti oleh suatu syarat apa pun, kadang-kadang muqayyad, yakni di batasi dengan suatu syarat, kadang-kadang datang dengan sighat (bentuk) al-amr, yakni tuntunan untuk dilakukan suatu perbuatan, dan kadang-kadang dengan sighat al-nahy, yakni melarang mengerjakan suatu perbuatan. Dengan demikian pembahasan tentang khash ini mencakup lafzh al-mutlaq, al-muqayyad, al-amr, dan al-nahy.[12]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Lafal ‘AM
a.       Pengertian ‘Am
Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah:
الَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ ماَيَصْلُوْحُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً
Artinya: “Lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu dengan hanya disebut sekaligus. “
b.      Jenis-jenis Am
Lafal Am mempunyai beberapa bentuk, di antaranya adalah sebagai berikut:
·         Lafal kulun, jami’un, kaffah, ma’sya (artinya seluruhnya).
·         Isim istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina, ayyun (di mana),
Dan mata (kapan).
·         Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja).
·         Isim mufrad yang makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah.
·         Jama’ yang ditakrifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah.
·         Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi.
c.       Macam-macam lafadz ‘Am
Ø  Lafaz ‘Am yang maksudnya umum”, adalah lafaz yang dari segi lafaznya adlah ‘am sedangkan yang dimaksud dengan ‘am itu memang adalah keumumannya.
Ø  Lafaz ‘Am yang maksudnya adalah khushus”, adalah lafaz yang dari segi lafaznya adlah ‘am. Namun dari segi makna yang terkandung didalamnya adalah khushush.
Ø  Lafaz “‘am yang di khususkan”, adalah lafaz ‘am yang selalu ada kemungkinan mendapat takhshish.
d.      Dalalat ‘Am
Jumhur al-ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafzh al-‘am itu zhanniy dalalat-nya  atas semua satuan-satuan yang di dalamnya.
2.      LAFAL KHAS
a.       Pengertian Khas
lafazh khas adalah lafazh yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para Ulama Ushul Fiqh sepakat. Seperti disebutkan Abu Zahrah, bahwa lafazh khash dalam nash syara’. Menunjuk kepada pengertiannya yang khash secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti (qath’i) selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.
b.      Dalalat Khas
Lafazh khash dalam al-syar adalah menunjuk kepada dalalat qath’iyat terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjuknya adalah qath’iy, bukan zhaniiy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
c.       Sifat-sifat Lafazh Khash
pembahasan tentang khash ini mencakup lafzh al-mutlaq, al-muqayyad, al-amr, dan al-nahy.







DAFTAR PUSTAKA
1.      Muhammad Adib Shalih, Tafsir an-nusush Fil Fiqhul Islami, Maktab Islami, Beirut, 1993.
2.      Uman Khairul, Ushul Fiqh, CV Pustaka Setia, Bandung, 1998
3.      Syarifuddin  Amir, Ushul Fiqh Jilid II, PT LOGOS Wacana Ilmu, Jakarta, 1999
4.      Djazuli, Ushul Fiqh (metodologi hukum islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000
5.      Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007
6.      Efendi Satria, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005
7.      Zahra,MuhammadAbu, Ushul Al-Fiqh : dar Al-Fikral 'Arabi, 1985
8.      Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A. Ushul Fiqh. 2008. Kencana Prenada Media
9.      Group. Jakarta
10.  Drs. Khairul Uman-Drs. H. A. Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. 2001. CV. Pustaka Setia. Bandung
11.  Dr. H. Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. 2003. PT Raja Grafindo Persada.
12.  Dr. H. A. Syafi’i Karim. Fiqh Ushul Fiqh. 1997. Pustaka Setia.
13.  Ahmad Dahlan. Ushul Fiqh. 2010. Jakarta.



[1] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M. A. Ushul Fiqh hal 69
[2] Zahra, Muhammad Abu, Ushul Al-fiqh, Kairo. Hal 236
[3] Drs. H. Nazar Bakry. Fiqh & Ushul Fiqh. Hal 198
[4] Khairul Uman, Ushul Fiqh, CV Pustaka Setia, Bandung, 1998, hal. 61-69
[5] Drs. H. A. Syafi'i Karim. Fiqh & Ushul fiqh.hal 151
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, PT LOGOS Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hal. 80-82
[7] Djazuli, Ushul Fiqh (metodologi hukum islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 336-338
[8] Drs. Khairul Uman- Drs. H. A. Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. Hal 62
[9] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal. 187
[10] Satria Efendi, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 205
[11] Ahmad Adhlan , Ushul Fiqh. Jakarta.2010. hal 86
[12] Djazuli, Ushul Fiqh (metodologi hukum islam,hal. 341-343

2 komentar:

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...