Selasa, 03 November 2015

LAFAL DHALATUN NASH MENURUT IMAM HANAFI

BAB 1
PENDAHULUAN
A.        LATAR BELAKANG
Dalam melakukan istinbat hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafal nash serta begitu pula dengan dalalahnya. Berkenaan dengan cara penunjukan dalalah lafal nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh.
Nash Yang Menjadi dalil hukum Islam baik dalam Al Qur’an maupun AsSunnah, keduanya adalah menggunakan bahasa Arab. Untuk memahaminya dengan baik, maka membutuhkan kemampuan memahami bahasa dan ilmu bahasa Arab dengan baik pula.
Seseorang yang ingin mengistinbathkan atau mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut harus betul-betul mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Ia harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya). Karena itulah ulama’ Ushul Fiqh menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau dalil yang berbahasa Arab dapat dipahami dengan baik dan sempurna.
Suatu teks nash kadang-kadang dapat memberikan pengertian yang bermacam-macam karena dari jalan-jalan yang dipergunakan oleh para mujtahid untuk memahami petunjuknya (Thuruqud-Dalalahnya). Mengambil petunjuk suatu nash bukanlah hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu.
Mencari illat yang menjadi sebab ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannya menjadi rasional. Jalan tersebut oleh Ahli Ushul dinamai ‘Dilalatun Ibarat, Dalaltul Isyarah, Dalalatud Dalalah, dan Dalalalatul Iqtidha’.
Pembicaraan tentang Dalalah inipun merupakan sebagian dari pembicaraan tentang lafadh yakni pembicaraan tentang lafadh ditinjau dari maksud yang terdapat di dalamnya. Memang Dalalah itu sendiri menurut bahasa adalah kepada maksud tertentu.
Dalalah atau petunjuk lafadh ini mempunyai beberapa macam. Hanya saja di kalangan para ulama’ Ushul Fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam makalah ini akan pemakalah uraikan tentang Dalalah menurut ulama’ Hanafiyah.
Menurut ulama Hanafiah, metode dalam penunjukan nass terbagi menjadi 4 yaitu ibarah nas, isyarah nash, dalalah nash, dan iqtida’ nash[1]. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara bagaimana penunjukannya. 
B.    RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian lafal dalalah nash?
2. Bagaimana penunjukan lafal nash menurut madzhab Hanafi ?
3. Bagaimana perbedaan metode-metode menurut madzhab Hanafi ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui lafal dalalah  nash.
2. Untuk mengetahui penunjukan lafal nash menurut madzhab Hanafi.
3. Untuk mengetahui perbedaan metode-metode menurut madzhab Hanafi Lafazs Dan Dalalahnya










BAB 11
PEMBAHASAN
1.       Pengertian Lafal  Dalalah Nash
Secara bahasa kata دلا لـة adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata دل- يـدل yang berarti menunjukan dan kata dalâlah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan.[2] Adapun menurut istilah sebagaimana disebutkan oleh Quthub Mustafa Sanu bahwa yang dimaksud dengan dalâlah adalah ;
كـون الشـئ بـحـالـة يـلـزم مـن الـعـلم بـه الـعـلم بشـئ أخـر.
Dalâlah itu ialah keadaan sesuatu yang dapat memastikan untuk mengetahui yang lainnya.
Dalalah adalah suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan atau memahami sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
Adapun pengertian yang lain Dalalah (الدلالة) itu sendiri menurut bahasa adalah maksud tertentu[3]. Dan dalam ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain petunjuk suatu lafadh kepada makna tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah hubungan antara al-dal dan al-madlul. Al-dal adalah lafadh sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh.[4]
Contoh : الصلاة (sholat). ini namanya al-dal. dan madlulnya adalah do’a (ma’na bahasa atau lughawi). Atau perbuatan yang diakhiri dengan takbir dan diakhiri dengan salam (ma’na istilah). Maka penunjukan ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam namanya Dalalah.
Pembahasan Dalalah sangat amat penting untuk mengetahi maksud suatu dalil. Dalam mengambil suatu dalil namanya istidlal (الأستدلال). Jadi antara al-dal,  al-madlul, Dalalah, dan al-istidlal itu tidaklah sama
Dengan kata lain, dilâlah itu ialah penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.  Dilâlah lafal  itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukan oleh suatu lafal  nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ini:
وَاَحَـلَّ اللهُ الْـبَـيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا البـفـرة ٢:٢٧٥
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’.
Dilalah atau penunjukkan yang dapat dipahami dari ayat ini adalah bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba’ itu hukumnya haram, karena makna atau pengertian inilah yang segera dan mudah ditangkap oleh akal seseorang.
Pembahasan tentang dilâlah ini sangat penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Menurut Amir Syarifuddin.[5] bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berpikir secara dilâlah.
2.      Penunjukan Lafal Nash Menurut Madzhab Hanafi
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah kumpulan lafal-lafal yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dalalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf[6] adalah sebagai berikut;
مـايـسـتـد ل الـنـظرالصحيح فـيـه عـلى حكم شـرعي عـملي عـلى ســبـيـل          ا لـقـطع أوالـظن
Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’i maupun dhanni.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Sementara itu, yang dimaksud dengan dilâlah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Al-Jarjani, dalam kitab “Al-Ta’rifât” adalah :
كـيـفـية د لا لـة اللـفــظ عـلى المـعـنى
Cara penunjukkan lafadz atas sesuatu makna atau pengertian yang dikandung oleh Nash.
Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dilalah ialah sesuatu yang ditunjukkan.
Menyangkut dilalah lafadz nash ini di kalangan ulama ushul memang terdapat perbedaan.Kalangan ulama Hanafiyah membagi cara penunjukan dilalah lafal nash itu kepada empat macam,[7] yaitu ‘ibarah nass, isyarah nass, dilalah nass, dan iqtida’ nass.
a.       Ibarah Nash
Dalalah Ibarat yang juga disebut Ibarat Nash ialah petunjuk lafadh kepada makna yang mudah dapat dipahami baik dimaksudkan untuk suatu arti ashli maupun untuk arti tab’i[8], dan makna itu memang dikehendaki oleh Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan), baik maksud itu asli menurut mereka atau maksud utama dari nash dan maksud yang tidak asli atau maksud kedua yang mengikuti ma’na yang asli tadi tapi tidak disebutkan dalam nash[9].
Yang dimaksud dengan Ibârat al-Nash ialah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا الـكلآ م عــلى الـمـعـنـى الـمـقـصود مـنـه ا مـا أصالـة أوتــبـعـا
Ibarat nash ialah petunjuk kalimat (lafal) kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh kalimat itu sendiri.[10]
Menurut Abu Zahrah adalah:
وهي المعنى المفهوم من اللفظ سواء كان نصا او ظاهرا
Artinya: “Makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafadh, baik dalam bentuk nash ataupun dzahir”.
Oleh karena itu, setiap pengertian yang difahami dari keadaan lafadh yang jelas disebut Dalalah Ibarah.[11]
Definisi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Quthub Mustafa Sanu adalah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا لـة الـفــظ عــلى مـا كان الـكلا م مـسـوقـا لآجـلـه أصا لـة أ و تـبـعـا وعـلـم قـبـل الـتـأ مـل أن ظا هـر اللـفـظ يـتـنـا ولـه.
Ibarat al-Nash ialah petunjuk lafal yang didasarkan pada susunan kalimatnya sendiri secara langsung dan ia dapat diketahui dengan mudah dan jelas yang tercakup di dalamnya.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa, Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 275 berikut ini.
وَاَحَـلَّ اللهُ  الْبَــيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’
Ungkapan atau ibarat pada ayat tersebut menunjukkan dua pengertian sebagaimana berikut:
Membedakan antara jual beli dan riba. Ini merupakan tujuan utama yang ditunjukkan ayat tersebut.[12]
Menjelaskan akan halalnya jual beli. Pengertian ini merupakan tujuan Taba’i (sekunder).[13]
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan antara jual beli dan riba’ itu dua hal yang berbeda atau tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual beli itu boleh dan riba’ itu haram.Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat.
DaIalah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami baik dari arti asli (arti yang mula-mula terpakai dengan disusunnya lafadz itu dalam suatu nash ataupun arti tabi’i (arti lain yang cukup jelas atau yang mudah dapat dipahami dari lafadz tersebut)
Sebagai contoh lain adalah ibarat dalam Al-Qur’an misalnya firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya:. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Qs. An-nisa:10).

Nash tersebut menunjukkan, bahwa di antara perbuatan dzalim yang paling keji ialah memakan harta benda anak yatim, dimana perbuatan tersebut adalah dosa yang menimbulkan siksaan kelak di hari kiamat dan sanksi hukuman di dunia yang dilaksanakan oleh pemerintah, agar perbuatan tersebut tidak terulang lagi.
Menurut Abu Zahrah:
‘‘Ibarah Nash adalah makna yang dapat dipahami dari lafazh, baik itu lafazh zharir atau lafazh nash, atau baik itu lafazh muhkam atau bukan muhkam.”
Menurut Syaykh al-Khudlariy:
“Ibarah Nash itu lafazh dan artinya adalah petunjuk lafazh atas makna yang dimaksudkan, baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli.”
Dapat disimpulkan bahwa ‘ibarah nash mengandung lafazh yang tersusun dari dua maksud hukum, yakni maksud hukum yang asli (hukum yang mula-mula dipakai) dan maksud hukum bukan asli (taba’iy = ikutan). ‘Ibarah nash mengandung makna yang segera dapat dipahami dari susunan lafazhnya.
Contoh lafazh ‘ibarah nash:
 وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Pengertian asli dari nash ini adalah pembatasan jumlah maksimal wanita yang boleh dikawini, yaitu empat orang. Adapun pengertian tidak asli disini bahwa adanya anjuran/ pembolehan kawin dengan wanita yang disenangi.[14]
Dengan memperhatikan ’Ibaratnash (apa yang tersurat dalam nash) tersebut kita memperoleh tiga pengertian. Yakni:
1.    Diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangi,
2.    Membatasi jumlah istri sampai empat orang saja dan,
3.    Wajib hanya mengawini seorang saja jika dikhawatirkan berbuat khianat lantaran mengawini wanita banyak.
Pengertian yang pertama bukan merupakan maksud asli, sedang pengertian yang kedua dan ketiga merupakan maksud yang asli. Sebab ayat tersebut dikemukakan pada orang-orang yang khawatir berkhianat terhadap hak-hak wanita yatim, sehingga harus dialihkan dari beristri yang tiada terbatas kepada terbatas yaitu hanya dua, tiga atau empat orang saja. Inilah maksud yang ashli dari Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan), kemudian maksud yang tidak asli (tabi’i) tentang bolehnya mengawini wanita yang disenangi.[15]
b.      Isyarah Nash
Yang dimaksud dengan Isyarat al-Nash ialah ;
هـى الـد لا لـة اللـفــظ عـلى حـكم لـم يـقـصد أصا لـة ولا تـبـعـا ولكـنـه لازم للـمـعـنى الذى سـيـق الـكلا م لا فـاد تـه.
Isyarat dan al-nash ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa isyârat al-nash itu sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Tegasnya, isyârat al-nash itu ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat.
Dalalah Isyarartun Nash ialah petunjuk lafadh kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil kalaziman atau kemestian dari arti yang dipahami dengan dalalah Ibarotun Nash[16]. Adapun menurut Abu Zahrah adalah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafadh, dari kesimpulan dari pemahaman terhadap sesuatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri atau dengan kata lain menyimpulkan dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarotun nash.[17]
Sedangkan dalam kamus Ushul Fiqh:
 اشارة النص وهي دلالة على مالم يقصد له اللفظ أصلا
Artinya: Isyarat Nash adalah petunjuk lafadh kepada yang tidak dimaksud oleh lafadh untuknya (yang ditunjuki oleh lafadh, bukan dengan ibarat nya, tetapi petunjuk itu datang sebagai natijah dari ibarat ini).[18]
Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah, ayat 233:
وَعَـلَى الْمَوْلُوْدِ لَــهُ رِزْقُــهُـنَّ وَكِـسْـوَتُهُـنَّ بِالْمَعْـرُوْفِ … (البقـرة / ۲ :۲۳۳)
Dan kewajiban Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan layak kepada isteri …

Secara ibarat Nash pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (ma’ruf).
            Menurut Amir Syarifuddin[19] , bahwa ungkapan المولودلـه yang diartikan dengan ayah adalah sebagai pengganti kata الاب dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah menggunakan kata المولود له dalam ayat ini. Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan المولود له adalah terdiri dua unsur kata, yaitu المولودyang arti dasarnya adalah “anak yang dilahirkan, dan kata له yang  berarti “untuknya” dan kata له itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan” المولود له arti asalnya “anak untuk ayah”. Oleh karena itu, ungkapan lafal المولود له mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal nash.[20]
Sebagai contoh lain firman Allah SWT yang berbunyi:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,” (Qs. Al-Baqarah :282)

Maksudnya adalah memberi sifat terhadap catatan dengan benar, memberikan pemahaman secara jelas bahwa apa yang ditulis itu harus benar dan sesuai kehendak orang yang mengimlakkan. Dan secara implisit (isyarat) dapat dipahami bahwa catatan itu dapat dijadikan Argumentasi (data) bagi orang yang mengimlakkan, dimana ia tidak dapat terhadap apa-apa yang tertera dalam tulisan tersebut selama tidak didustakan.
Dalalah isyarat nash atau isyarat al-Nash adapun yang dimaksud dengan dalalah isyarat nash adalah petunjuk lafazh yang diperbolehkan dari apa yang tersirat dalam nash.
Contoh lain:
لَّا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِن طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمۡ تَمَسُّوهُنَّ أَوۡ تَفۡرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلۡمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلۡمُقۡتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعَۢا بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٢٣٦ وَإِن طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدۡ فَرَضۡتُمۡ لَهُنَّ فَرِيضَةٗ فَنِصۡفُ مَا فَرَضۡتُمۡ إِلَّآ أَن يَعۡفُونَ أَوۡ يَعۡفُوَاْ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ عُقۡدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ وَلَا تَنسَوُاْ ٱلۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٢٣٧
Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dari ayat ini, bahwa berdasarkan ibarah nash, boleh menceraikan istri sebelum bercampur dan sebelum menentukan maharnya. Akan tetapi, arti yang lazim dan tidak bisa dipisahkan dari nash ialah sah mengadakan aqad perkawinan tanpa menentukan maharnya lebih dahulu. Sebab talak (perceraian) tidak akan terjadi (tidak pernah ada) sebelum adanya akad nikah. Inilah yang disebut dalalah nash.[21]
Contoh lainnya:
 وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
Artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah, ayat 233)
Makna Ibarat Nash yang tersurat dari ayat tersebut adalah bahwa memberi nafkah dan pakaian kepada ibu yang menyusui wajib bagi Ayah. Karena demikianlah makna yang dapat diambil dengan mudah dari lafadh tersebut dan memang dimaksudkan oleh Siyaqul Kalam, adapun makna  isyarat nash nya yang tersirat antara lain:
Ayah tidak dapat disertai orang lain  dalam menjalankan kewajibannya memberi nafkah kepada anak-anaknya, lantaran anak itu adalah putranya sendiri bukan putra orang lain.
Ayah walaupun dalam keadaan miskin sedangkan ibunya mampu, maka putra tersebut tetap menjadi tanggungannya.
Ayah dalam keadaan yang sangat memerlukan boleh mengambil harta anaknya sekedar menutup kebutuhannya, tanpa menggantinya. Karena ia adalah anaknya dan harta anaknya termasuk hartanya juga.
Pengertian-pengertian yang demikian ini diistimbathkan dari Isyarat Nash. Yaitu dari huruf ”lam” pada lafadh “lahu”yang mengandung pengertian itu bahwa seorang anak itu adalah milik bapaknya.[22]
c.       Dalalah Nash
Dilâlat al-Nash ini disebut juga dengan dilâlat al-dilâlat. Adapun yang dimaksud dengan dilâlat al-dilâlat adalah
دلا لـة الـنص هـى دلا لـة الـكلا م عـلـى ثـبـوت حـكـم المنصوص عـلـيه المـسـكـوت عـنـه لا شـتــراكهـما فى عـلـة الحكم التى يـمكـن فـهـمهـا بـمجـرد فـهـم اللـغـة مـن غـيـر احـتـيـاج الى نـظـرواجـتـهـا د
Dilalat Nash ialah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.

Dalalah nash (Petunjuk Nash) adalah petunjuk lafazh nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan kerena terdapat persamaan illat keduanya.[23]
Jika nash itu ungkapannya menunjukkan pada hukum suatu kejadian karena ‘illat yang menjadi dasar hukum itu, kemudian didapati kejadian yang sama ‘illat hukumnya atau lebih utama daripadanya, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash itu mencakup dua kejadian tersebut.[24]
Contoh lafazh:
.. فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[25] (Q.S. al-Isra’ 23)

Pengertian secara dalalah nash bahwa semua perkataan atau perbuatan yang menyakitkan kedua hati orang tua itu dilarang.[26]
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan, selain ucapan “ah” atau hardikan yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah  dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah SWT.[27]
Contoh lain:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ١٠
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.” (Q.S. An Nisa’ [4]: 10)

Pengertian secara dalalah nash bahwa membakar, membuang harta anak yatim, serta memberikannya kepada orang lain juga dilarang.[28]
Menurut Romli, Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya.
            DaIalah Nash merupakan petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, illah yang dipahami dari lafasz itu sama dengan illah suatu peristwa yang tidak disebutkan hukumnya.
d.      Iqtidha’ Nash
Dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’ (دلالة الإقتضاء) ini disebut juga dilâlat al-iqtidlâ’.Yang  maksud dengan iqtidhâ’al- nash(إقتضاء النص). ialah:
اقـتـضاء الـنـص هى دلا لـة الكلآ م عـلى مـسـكوت عـنـه يـتـو قــف عـلـيه صدق الكلآ م.
Iqtidla’ al-nash ialah penunjukan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan.[29]
            Adapun Abu Zahrah secara sederhana mendefinisikannyasebagai berikut:
دلالة اللفظ على كل امرلا يستقيم المعنى الا بتقديره
 Artinya: “Penunjukan lafadh kepada setiap sesuatu yang tida selaras maknanya”.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash.
Menurut Romli, Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah, ayat 3 berikut ini:
حُـرِّمَتْ عَـلَيْـكُمُ الْـمَـيْـتَــةَ وَالدَّمَ وَلَحْـمَ الْـخِـنْـزُيْـرِ…
Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi
Pengertian ayat ini belum jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi.Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.
Dalalah iqtidhaun nash ialah yang mengandung suatu pengertian dalam suatu hal yang tidak disebutkan lafadznya untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan (lafadz).
Misalnya firman Allah SWT:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا
Artinya:  Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”. (Q.S.Yusuf:82)

Menurut dzahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung” yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi orang-orang dalam “kafilah” yang memungkinkan memberikan jawaban.[30]
Kehendak nash adalah makna atau pengertian yang mana kalimat itu tidak dapat dimengerti kecuali dengan memperkirakan adanya pengertian tersebut. Jadi lafazhnya tidak ada, akan tetapi kebenaran kalimat dan maknanya membutuhkan pengertian itu.[31]
Seperti dalam firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهاَ تُكُمْ وَبَناَتُكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, dan anak-anakmu yang perempuan.” (Q.S. An Nisa’: 23)

Pengertian secara iqtidha nash pada ayat ini adalah “mengawini mereka”, karena menyandarkan keharaman kepada pribadi ibu dan anak adalah tidak tepat. Maka diperkirakanlah lafazh yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh nash tersebut yakni kata mengawini.
Arti yang dipahami dengan Dalalah Ibarotun Nash dari ayat di atas adalah bahwa ibu dan anak perempuan adalah haram. Akan tetapi keharaman itu terletak pada perbuatan bukan pada materi bendanya. Oleh karena itu untuk menjadikan lebih jelas pengertian ayat tersebut, harus diperkirakan adanya sesuatu yang tidak disebutkan yakni (mengawini), sehingga arti ayat di atas menjadi: Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu.
3.      Perbedaan Metode-metode menurut Mazhab Hanafi
Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru  dilâlat al-nash  dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash. Sebagaimana dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibârat al-nash dengan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyârat nash, maka ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat al-nash lebih didahulukan dari pada isyârat al-nash. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat nash atau isyârat nash dengan dilâlat al-nash, maka lebih didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilâlat al-nash. Bila terjadi pertentangan antara dilâlat al-nash dengan iqtidlâ’ al-nash, maka dilâlat al-nash lebih didahulukan atas iqtidlâ’ al-nash. Sebagai contoh adalah firman Allah: Surat al-Baqarah ayat 178 berikut ini:
يـَاَيُّـهَـاالَّـذِ يْـنَ امَـنِـوْا كُـتِـبَ عَـلَـيْـكُـمُ الْـقِـصَاصُ فِى الْـقَـتْـلَى…
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu (melaksanakan qishash dalam pembunuhan
Ayat ini dilihat dari segi ibârat nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 93 berikut ini:
وَمَـنْ يَـقْـتُـلْ مُـؤْ مِـنًـا مُـتَـعَـمُّـدًا فَـجَـزَاؤُهُ جَـهَـنَّـمَ خـَالُـدٌا فِـيْـهـَا وَغَـضِـبَ اللهُ عَـلَـيْـهِ وَلَـعَـنَّـهُ وَاَعَـدَّ لَـهُ عَـذَا بًـا عَـظِـيْـمًـا”) النساء/ ٤:۹۳(
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.
Ayat ini dengan cara isyârat menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibârat nash mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibârat nash lebih diutamakan dari isyârat nash, yaitu dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.
Empat macam dalalah yang telah disebutkan di atas tadi khususnya yang dalalah lafdhiyah dapat dijadikan pegangan ataupun hujjah untuk menentukan arti suatu nash dalam suatu penetapan hukum, hanya saja kekuatan di antara empat macam Dalalah tersebut bertingkat-tingkat.[32] Tingkatan Dalalah-Dalalah tersebut dalam Istinbath hukum tidaklah sama. Dalalah Ibarat (eksplisit) yang paling kuat, dan Dalalah iqtidha’ yang paling lemah. Menurut Madzhab Hanafi, tingkatan Dalalah tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Dalalah.al-Ibarah
2.     Dalalah.al-Isyarah
3.     Dalalah.an-Nash
4.     Dalalah.al-Iqtidha’
Dengan urutan-urutan ini maka apabila dalam suatu peristiwa terjadi pertentangan arti yang dipahami dengan Dalalah yang satu dengan arti yang dipahami dengan dalalah yang lain, maka didahulukan arti yang dipahami dengan dalalah yang lebih kuat. Jadi arti yang dipahami dengan Isyarotun Nash didahulukan dari pada arti yang dipahami dengan dalalah-dalalah yang lain.
Sebagai contoh, pertentangan antara arti yang dipahami dengan Dalalah Isyarotun Nash, dari ayat-ayat sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS. Al-Baqarah:178).
Arti yang dipahami dengan dalalah ibrotun nash dari ayat di atas yaitu bahwa pembunuh baik dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja wajib dikenai hukuman qhishos. Sedangkan dalam ayat yang lain disebutkan:
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا ٩٣
Artinya: Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya ….(Q.S, an-nisa’: 93).
Arti yang dipahami dengan Dalalah Isyarotun Nash dari ayat di atas adalah bahwa pembunuh dengan sengaja tidak dikenai hukuman qishas, sebab Allah SWT telah menentukan balasannya, dengan demikian terjadilah pertentangan antara arti yang dipahami dari kedua ayat di atas.
Dalam hal ini dipilih arti bahwa pembunuh dengan sengaja wajib dikenai qishas, sebab arti ini dipahami dengan Ibarotun Nash, dan arti yang dipahami dengan Ibarotun Nash maka harus didahulukan dari arti yang dipahami dengan dalalah-dalalah yang lain.
Para Ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujah, pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya; yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengqias sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun para ulama pendukung qias yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah yang lain yaitu: mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad, ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan ketentuan:
1. Mafhum Mukholafah tidak bertentangan dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti firman Allah (al-Isro’:31)
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini tidak bisa dijadikan hujah, karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari firman Allah (al-Isro’: 33)
2. Apabila adanya pembatasan hukum yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafa.
Arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah, antara lain:
a. Pembatasan hukum tersebut sesuai dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi, misal firman Allah (an-Nisa: 23)
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
b. Pembatasan hukum yang disebut dimaksud sebagai pendorong untuk dilaksanakan, seperti sabda Nabi SAW: ”tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih tiga hari kecuali terhadap (kematian) suaminya, selama empat bulan sepuluh hari”.
c. Pembatasan hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah. (at-Taubah :80)
ٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ أَوۡ لَا تَسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ إِن تَسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ سَبۡعِينَ مَرَّةٗ فَلَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَهُمۡۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَفَرُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ٨٠
Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik

اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
d. Pembatasan hukum yang tersebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi ditanya tentang zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau menjawab. ”pada unta yang mencari makan sendiri dikenakan zakat”.
Alasan ulama yang menjadikan mafhum mukholafah sebagai hujah, yaitu:
1. Bahwasnya syara’ membatasi hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
3. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti mempunyai penggunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama hanafiyah mengatakan bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang tidak disebut itu justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh”
Dalam buku ushul fiqih karya Drs. Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum mukholafah dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. mafhum mukallaf itu tidak bertentangan denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari padanya, seperti Manthuq dan Mafhum Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas Jali, maka didahulukan Qiyas daripadanya.
2. Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
 Contoh ayat:
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا
Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).
Mafhum Mukhalafah nya yaitu terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
3. Sesuatu yang disebutkan itu bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan. Jika ia disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan, maka mafhum mukhalafah nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya adalah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمَ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ {رواه البخارى مسلم}
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau hendaknya ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).
Mafhum mukhalafah dari lafaz yang beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.
4. jika kait disebutkan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi hujjah.
Misalnya firman Allah:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: “janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid…”. (QS. Al Baqarah: 187)

Kait dalam masjid-masjid mafhumnya yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah menunjukkan b ahwa bagi orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan isterinya.
5. kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan yang umum. Jika ia menunjukkan suatu kebiasaan yang umum, maka mafhum Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
Artinya: “anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu…”. (QS. An Nisaa’: 23).

Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan yang umum yaitu anak tiri biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak tirinya yang bukan dalam pemeliharaannya.
6. jika suatu kait menunjukkan kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Surat Ali Imran: 130).

Kait dengan berlipat ganda tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan kekjian riba. Jadi ayat ayat ini tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang tidak berlipat ganda itu hukumnya mubah (boleh).
7. jika suatu kait menunjukkan banyak (jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum mukhalafhnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
Artinya: “Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).
Kait tujuh puluh kali tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh kali lalu mereka diampunkan.









BAB 111
KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa  pada mazhab Hanafi terdapat empat tingkatan dalalah yakni:
Pertama dalalah Ibarat Nash yakni petunjuk lafadh kepada makna yang mudah dapat dipahami baik dimaksudkan untuk suatu arti ashli maupun untuk arti tab’i, dan makna itu memang dikehendaki oleh Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan), baik maksud itu asli menurut mereka atau maksud utama dari nash dan maksud yang tidak asli atau maksud kedua yang mengikuti ma’na yang asli tadi tapi tidak disebutkan dalam nash.
Kedua isyârat al-nash yakni petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Tegasnya, isyârat al-nash itu ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat.
Ketiga dalalah nash (Petunjuk Nash) yakni petunjuk lafazh nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan kerena terdapat persamaan illat keduanya.
Keempat dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’ yakni suatu petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash.
Dalam pandangan ulama mazhab Hanafi, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru  dilâlat al-nash  dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash.








DAFTAR PUSTAKA
1.        Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1984)
2.        Abdul Wahab Khalaf. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. 1984. Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah.
3.        Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta : PT.Logos Wacana Ilmu, 2001), 126.
4.        Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. 2001. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
5.        Asjmuni A. Rahman, Metoda Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986)
6.        Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986.
7.        Jazuli, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Ed. 1, cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000)
8.        Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
9.        Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Surabaya: Citra Media, 1997).
10.    Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I,
11.    Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
12.    Muhammad Adib Shalih, Tafsir an-nusush Fil Fiqhul Islami, Maktab Islami, Beirut, 1993.
13.    Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999).
14.    Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005.
15.    Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Juz I, (Beirut Libanon; Dar al-Fikr, 1986).
16.    Yahya Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
17.    Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah,1965).
18.    Zaky al-Din Sya’ban.Ushul al-Fiqh al-Islami.1965. Mesir: Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah.




[1] Yahya Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 295
[2] A. Jazuli, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Ed. 1, cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 279
[3] Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005, hlm 37.
[4] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm 25.
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2009), Hlm. 132-133
[6] Abdul Wahab Khalaf. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. 1984. Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah.
[7] Amir Syarifuddin, Opcit, hlm. 280
[8] Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986, hlm. 81
[9] Muhammad Adib Salih, Tafsir an-nusush Fil Fiqhul Islami, Maktab Islami, Beirut, 1993, hlm. 470
[10] Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Surabaya: Citra Media, 1997), hlm. 175
[11] Totok Jumantoro, dkk, Op.Cit, hlm. 42
[12] Muhammad Adib Salih, Op.Cit, hlm. 475
[13] Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 205.
[14] Muhammad Adib Salih, OpCit, hlm. 472. Lihat juga Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Surabaya: Citra Media, 1997), hlm. 175
[15] Yahya Mukhtar, dkk, Op.Cit, hlm. 296.
[16] Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk. Op.Cit. hlm. 84. Lihat juga Muhammad Adib Salih, OpCit. Hlm. 478.
[17] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. 1995, hlm. 205
[18] Totok Jumantoro, dkk, Op.Cit, hlm. 39
[19] Ibid, hlm. 280
[20] Muhammad Adib Salih, OpCit., hlm 472-474
[21] Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hlm. 234-235
[22] Yahya Mukhtar, Op.Cit, hlm. 298
[23] ibid
[24] Asjmuni A. Rahman, Metoda Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), Hlm. 98
[25] Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
[26] Asjmuni A. Rahman, Opcit, hlm. 177
[27] Muhammad Adib Salih, OpCit. Hlm. 518-519.
[28] Ibid,  hlm. 177-178
[29] Ibid. hlm. 548
[30] Ibid. hlm. 549
[31] Ibid., hlm. 178
[32] A. Jazuli, Opcit, hlm. 279

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...