Selasa, 03 November 2015

PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latra Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa dunia Islam di masa lalu banyak menghasilkan tokoh dan pemikir-pemikir besar yang nama dan karyanya sampai sekarang masih dipakai dan dijadikan rujukan dalam menghadapi berbagai situasi dan persoalan yang terjadi dalam konteks kehidupan umat Islam. Salah satunya ialah al-Mawardi. Ia adalah seorang ahli fiqh khususnya berkaitan dengan fiqh siyasi dan termasuk salah seorang tokoh yang berpengaruh besar terhadap pemikiran politik Islam. Dalam kitabnya yang terkenal al-Ahkam as-Sulthaniyah ia banyak memberikan teori-teori politik yang sampai saat ini masih relevan dan dipakai oleh sebagian umat Islam dalam mengatur berbagai masalah yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan.
Al-Ahkam as-Sulthaniyyah demikian terkenalnya dan seringkali dianggap sebagai penjabaran paling benar dari teori politik Islam khususnya dari kalangan Sunni. Dalam sejarah Islam kitab ini merupakan risalah pertama yang ditulis dalam bidang ilmu politik dan administrasi negara secara terperinci. Namun jarang sekali dilakukan pengkajian yang mendalam tentang buku itu, kenapa buku itu ditulis, sumber yang digunakan dalam menulis buku itu, serta pengaruhnya terhadap masanya dan masa berikutnya, adalah hal yang jarang dilihat dan dipermasalahkan.
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan al-Mawardi, baik tentang riwayat hidupnya, kondisi sosial politik pada masa kehidupannya dan yang terpenting adalah teori-teori politik dan tata negara yang dikembangkannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan yang baik terhadap pemikiran politik al-Mawardi.
B.      Batasan Masalah.
Oleh karena pemikiran Al-Mawardi sangat banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran Islam, baik masalah hukum, social maupun politik, maka pada makalah ini masalah yang dibahas adalah terbatas pada pemikiran politik Al-Marwadi.
C.     Rumusan Masalah
1.       Bagaimanakah Riwayat Hidup Al-Mawardi?
2.       Apa sajakah Karya-karya Al-Mawardi?
3.       Bagaimanakah Konsep pemikiran Politik Al-Mawardi Tentang Ahlul Ikhtiar dalam Memilih Kepala Negara?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Riwayat Hidup Al-Mawardi
Nama  lengkap  al-Mawardi  adalah  Abu  Hasan  Ali  bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri.[1]  Mawardi dilahirkan di Bashrah pada tahun 364 H. atau 975 M. Panggilan al-Mawardi diberikan kepadanya   karena   kecerdasan   dan   kepandaiannya   dalam   berorasi, berdebat,  berargumen  dan memiliki  ketajaman  analisis terhadap setiap masalah  yang  dihadapinya.[2]    Sedangkan  julukan  al-Bashri  dinisbatkan pada tempat kelahirannya. Masa kecil Mawardi dihabiskan di Baghdad hingga  tumbuh  dewasa.  Mawardi  merupakan  seorang  pemikir  Islam yang terkenal pada masanya. Ia juga dikenal sebagai tokoh terkemuka madzhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada dinasti Abbasiyah.
Selain sebagai pemikir dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Banyak karya-karyanya dari berbagai  bidang  ilmu  seperti  ilmu  bahasa,  sastra,  tafsir,  dan  politik. Bahkan ia dikenal sebagai tokoh Islam pertama yang menggagas tentang teori politik bernegara dalam bingkai Islam dan orang pertama yang menulis  tentang  politik  dan  administrasi  negara[3]   lewat  buku karangannya dalam bidang politik yang sangat prestisius yang berjudul “Al-Ahkam al-Sulthaniyah”..
Al-Mawardi pada awalnya menuntut ilmu di Basrah. Ketika itu Basrah termasuk salah satu pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan di wilayah Islam. Namun al-Mawardi masih belum puas dengan ilmu yang dimilikinya, hingga akhirnya ia melanjutkan studinya di Baghdad di Universitas al-Za’farani. Selanjutnya ia mengembara ke berbagai daerah, tetapi pada akhirnya kota Baghdad dipilihnya sebagai tempat tinggal dan mengajar di sana beberapa tahun. Di kota ini pula ia menghabiskan waktunya untuk menulis sejumlah buku dalam berbagai bidang.
Selain mendapat pendidikan di perguruan tinggi, ia masih belum merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya. Ia kemudian mempelajari berbagai disiplin keilmuan dari beberapa ulama terkemuka di Baghdad khususnya berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Di antara gurunya ialah al-Hasan ibn Ali al-Hambali, Ja’far ibn Muhammad ibn al-Fadhl al-Baghdadi, dan Abu Hamid al-Isfirayini. Gurunya yang disebut terakhir ini amat berpengaruh pada diri al-Mawardi dan padanya ia mendalami mazhab Syafi’i dalam kuliah rutin yang diadakan di sebuah masjid yang terkenal dengan nama Masjid Abdullah ibn al-Mubarak di Baghdad. Sedangkan teologi yang dianut al-Mawardi adalah teologi Sunni. Karena gurunya kebanyakan dari golongan Sunni, maka corak pemikirannya mengarah ke Sunni.
Al-Mawardi belajar fiqh dari ulama terkemuka di Basrah yaitu Syekh ash-Shaimiri dan Syekh Abu Hamid (keduanya ahli hukum Islam). Sejak kecil ia sangat senang mendalami fiqh khususnya yang berkaitan dengan fiqh siyasi (tata negara dan pemerintahan Islam),[4] setelah dewasa ia menjadi Kadi yang terkenal (karena sering berpindah-pindah) pada masa pemerintahan Abbasiyah, al-Qadir (berkuasa 381 H/991 M-423 H/1031 M1). Karir al-Mawardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu menjadi hakim agung (Qadi al-Qudat), penasehat raja atau khalifah di bidang agama (hukum Islam) dan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan khalifah al-Qadir, ia diberi kehormatan dan diangkat menjadi duta keliling yang diutus dalam berbagai misi diplomatik ke negara-negara tetangga. Ia memiliki pengaruh besar dalam menjaga dan memelihara wibawa khalifah al-Qadir di Baghdad yang merosot di tengah-tengah para raja dari Bani Saljuk dan Bani Buwaihi yang ketika itu hampir sepenuhnya berdiri sendiri.
Al-Mawardi di kemudian hari terkenal dengan karena pemikiran politik melalui bukunya yang berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyyah yang dianggap sebagai buku pertama yang disusun khusus tentang pemikiran politik Islam. Karya ini antara lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis. Selain dari al-Ahkam as-Sulthaniyyah, terdapat beberapa karyanya tentang politik Islam, antara lain: Qawanin al-Wizarah (Ketentuan-Ketentuan Kewaziran/Kementerian), Siyasah al-Mulk (Strategi Kepemimpinan Raja), Adab ad-Dunya wa ad-Din (Tata Krama Kehidupan Politik/Duniawi dan Agamawi), Kitab al-Hawi (Yang Terhimpun), dan al-Iqna’ (Keikhlasan) Berkaitan dengan sumber dan keterbatasan dalam menemukan buku-buku politik al-Mawardi lainnya, maka dalam makalah ini hanya akan mengungkapkan pemikiran-pemikiran politik al-Mawardi yang terdapat dalam kitab al-Ahkamas-Sulthaniyyah.

B.      Karir politik al-Mawardi
Al-Mawardi hidup ketika kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah sedang mengalami berbagai gejolak dan disintegrasi. Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, khalifah-khalifah Abbasiyah benar-benar dalam keadaan lemah dan tidak berdaya.[5] Kekuasaannya hanya merupakan formalitas, sedangkan kekuasaan riil berada di tangan Bani Buwaihi dan orang-orang Turki. Awal kemunduran dari politik Bani Abbas adalah ketika al-Mutawakkil berkuasa. Al-Mutawakkil adalah khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaannya dengan cepat. Setelah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah.
Situasi politik di dunia Islam pada masa Al-Mawardi, yakni menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari masa al-Farabi, dan bahkan lebih parah. Kedudukan khalifah mulai melemah dan dia harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia. Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang demikian luas wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada waktu itu khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima berkebangsaan Turki atau Persia, serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama kekuasaan para pejabat tinggi dan panglima non-Arab itu makin meningkat, sampai waktu itu belum tampak adanya usaha di pihak mereka untuk mengganti khalifah Arab itu dengan Khalifah yang berkebangsaan Turki atau Persia.
Namun demikian mulai terdengar tuntutan dari sementara golongan agar jabatan itu dapat diisi oleh orang non-Arab dan tidak suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana dapat diperkirakan menimbulkan reaksi dari golongan lain, khususnya dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir atau tawfidh atau penasehat dan pembantu utama khalifah dalam menyusun kebijaksanaan. Mawardi adalah salah satu tokoh utama dari golongan terakhir ini.
Apabila diperhatikan pendahuluan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karangan al-Mawardi, terlihat bahwa karya itu ditulis atas permintaan seorang yang berkuasa. Besar kemungkinan orang yang memintanya itu adalah khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu. Motifnya barangkali adalah untuk mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah yang berada di tangan golongan Sunni, yaitu kekuasaan Bani Abbas. Maka tidak mengherankan bila al-Mawardi tidak dapat menerima adanya dua orang kepala pemerintahan yang berkuasa dalam satu waktu di dunia Islam. Motif penolakan ini secara implisit untuk menentang pemerintahan bani Fathimiyah yang pada saat itu berkuasa di Mesir. Ia menilainya sebagai kekuatan politik yang berbahaya terhadap kekuasaan bani Abbasiyah di Baghdad.
Sebagai reaksi terhadap situasi politik pada zamannya maka al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy, bahwa wazir tafwidh (pembantu utama khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan) harus berbangsa Arab, dan perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan-jabatan pembantunya yang penting. Alasan utamanya tak lain adalah mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah Abbasiyah.
Untuk mensiasati masa-masa sulit yang penuh dengan kekacauan ini, pada tahun 429 H. khalifah al-Qadir mengumpulkan empat orang ahli hukum yang mewakili empat madzhab fiqih untuk menyusun   ikhtisar.   Di  antaranya,   Mawardi   yang   dipilih   untuk mewakili  madzhab  Syafi’i  dan  menulis  kitab  al-Iqna’.  Al-Quduri dipilih untuk mewakili Madzhab Hanafi dan menulis kitab al- Mukhtasyar, sedangkan dua kitab lainnya tidak begitu penting, dan Mawardi  mendapat  pengakuan  dari  khalifah  atas  karyanya  yang terbaik.  Untuk  menghargai  jasanya  itu, Mawardi  diangkat  sebagai Aqdi al-Quddah (Hakim Agung) setelah menjadi hakim di beberapa daerah.[6]   Pengangkatan      tersebut      mendapat      kritikan      dan memunculkan keberatan oleh beberapa ahli hukum terkemuka seperti at-Thayib al-Thabari dan al-Sinsari yang menyatakan, bahwa tak seorangpun  berhak  atas posisi  itu kecuali  Allah.  Namun  Mawardi tidak menghiraukan keberatan itu dan tetap mempertahankan pengangkatannya sebagai Aqdi al-Quddah dengan alasan bahwa para ahli hukum yang sama sebelumnya  telah mengakui gelar al-Muluk al-A'zam  (Raja  Agung)  bagi  Jalal  ad-Daulah,  seorang  pemimpin kaum Buwaiyah, meskipun Mawardi sendiri tidak mengakui secara positif kemegahan gelar tersebut.[7]
Selain faktor suhu politik dan kondisi sosial, karakter pemikiran Mawardi  juga  terinspirasi  oleh  tokoh-tokoh  klasik  abad  sebelum  masehi, seperti  Plato  dan  Aristoteles  serta  periode  Islam  klasik  seperti  ibnu  Abi Rabi.   Hal   ini   terungkap    dalam   teori   proses   terbentuknya    negara. Sebagaimana   plato,  Aristoteles  juga  mengatakan,   “the  people  is  zoon
politicon” artinya manusai sebagai makhluk politik yang mempunyai kecenderungan  untuk berkumpul  dengan sesamanya.  Sedangkan  Abi Rabi berpendapat, bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa bantuan   orang   lain,   sehingga   mereka   saling   memerlukan,   membantu, berkumpul  dan  menetap  di  suatu  tempat.[8]   Begitu  juga  Mawardi  yang berpendapat, untuk memenuhi kebutuhan sosial, menciptakan ketenteraman dan keseimbangan dalam kehidupan, maka manusia atau masyarakat harus mendirikan negara dan mengangkat seorang kepala negara. Namun Mawardi memasukkan   nilai-nilai   syari’at   dalam   teorinya   tersebut.[9]     Di   antara beberapa  pengaruh  tersebut,  yang paling  besar adalah  situasi dan kondisi pada masa itu.
C.     Karya-karya Al-Mawardi
Al-Mawardi merupakan penulis yang sangat produktif. Kesibukannya sebagai hakim tidak menyurutkan produktifitasnya untuk berkarya. Bahkan disela-sela tugasnya sebagai hakim yang harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia masih bisa mengajar dan membimbing para muridnya di samping menulis buku. Menurut sejarah, masih banyak buku karangannya yang belum ditemukan yang ia simpan dan hanya beberapa buku saja yang ditemukan  oleh muridnya dari buku-buku yang ia sebutkan.[10]
Adapun  karya-karyanya  yang  ditemukan  dari  berbagai  cabang ilmu dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain:
a.       Al-Hawi al-Kabir[11]
b.       An-Nukat wa al-Uyuni[12]
c.       Adab al-Qadi
d.       An-Nawawi
e.       Al-Amtsal wa al-Din f.   A’lam an-Nubuwah g.   Qunun al-Wizarat
f.        Siyasat al-Malik
g.       Adab ad-Dunya wa al-Din[13]
h.       Al-Iqna
i.         Dan al-Ahkam al-Sulthaniyah[14]

D. Konsep pemikiran Politik Al-Mawardi.
1. KonsepAl-Mawardi tentang Imamah (Pemimpin)
Mayoritas ulama abad pertengahan  dan pakar politik Islam sepakat bahwa mengangkat kepala negara merupakan kewajiban bagi umat Islam dalam komunitasnya. Secara implisit Allah banyak menyinggung dalam beberapa ayat al-Qur’an  tentang  pentingnya  mengangkat  seorang  pemimpin. Meskipun demikian Islam tidak memberikan aturan baku bagaimana proses pemilihan dan pengangkatan seorang kepala negara, dan Nabipun tidak memberikan rambu-rambu yang jelas tentang kepemimpinan  bagi generasisesudahnya. Akan tetapi beliau menyerahkan kepada umatnya secara musyawarah untuk memilih orang yang mereka kehendaki.[15]
Fakta  sejarah   politik   Islam  membuktikan,   proses  pengangkatan kepala negara setelah wafatnya  Nabi Muhammad,  yang dimulai dari Abu Bakar sebagai khalifah pertama mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal  ini  dapat  dilihat  dari  proses  pemilihan  dan  pembaiatan  Abu  Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad melalui musyawarah, meskipun terjadi perdebatan yang sengit antara kelompok Muhajirin dan kelompok Ansor.[16]
Kemudian terpilihnya Umar Ibn Khaththab sebagai amirul mukminin setelah Abu Bakar melalui mandat yang diberikan oleh Abu Bakar kepada Umar Ibn Khaththab. Sedangkan pemilihan Usman Ibn Affan sebagai pengganti Umar Ibn Khaththab  melalui  musyawarah  ahlul halli wal aqdi (dewan pemilih) yang ditunjuk oleh Umar.[17] Sementara Ali Ibn Abi Thallib diangkat menjadi khalifah atas desakan para pengikutnya setelah melalui pertikaian dan perebutan kekuasaan dengan Muawiyyah. Adapun kekhalifahan Muawiyyah diperoleh  melalui  kekerasan,  tipu  daya  dan  pemberontakan.[18]   Kemudian ketika Muawiyyah akan turun tahta, ia mengumumkan penggantinya kepada putaranya  (Yazid).[19]   Sejak  itu  pula  sistem  pengangkatan  kepala  Negara dilakukan   secara   turun   temurun   (memberikan   mandat   kepada   putra mahkota).
Imamah (Kepemimpinan) Pada bagian awal dari kitabnya al-Mawardi menyebutkan bahwa imamah/ kekhilafahan dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. Yang di maksudkan oleh al-Mawardi dengan Imam adalah khalifah, raja, sulthan atau kepala negara. Dalam hal ini Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik. Dalam teorinya al-Mawardi tidak mendikotomikan antara pemimpin politik dan pemimpin agama. Sejarah juga telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw ketika memimpin negara Madinah selain sebagai pembawa ajaran Tuhan, juga sebagai pemimpin negara.
Dari sini Mawardi  mencoba  memberikan  solusi untuk  mengurangi otoritas kepala negara dan upaya menciptakan nuansa politik yang lebih demokratis dengan menciptakan  blue print tentang prosedur pengangkatan kepala negara. Menurut  Mawardi,  untuk  memilih  dan mengangkat  kepala negara dapat dilakukan denga dua cara, yaitu; pertama, denga cara dipilih oleh ahlul-halli  wal-aqdi,  kedua,  dengan  pemberian  (penyerahan)  mandat dari kepala negara terdahulu (sebelumnya).

2.  Persidangan Ahlul Halli wal Aqdi Untuk Memilih dan Mengangkat Kepala Negara
a.   Pengertian ahlul halli wal aqdi
Secara fungsianoal, dewan perwakilan umat yang pada gilirannya disebut ahlul halli wal aqdi, telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad ketika memimpin pemerintahan di Madinah. Nabi Muhammad telah meletakkan landasan filosofis sistem pemerintahan yang memiliki corak demokratis. Hal ini tampak ketika Muhammad dalam  memimpin   negara  Madinah,   menghadapi   persoalan  yang bersifat duniawi dan menyangkut kepentingan umat yang mengharuskan  melibatkan  para  sahabat  untuk  memecahkan persoalan  tersebut.  Meskipun  secara  kelembagaan  dewan  tersebut tidak  terornagisir  dan tidak  terstruktur,  namun  keberadaan  mereka sangat penting dalam pemerintahan Islam yang selalu diajak bermusyawarah  oleh Nabi ketika beliau menghadapi  masalah yang tidak  ada  petunjukanya  dalam  al-Qur'an.  Sedangkan  keanggotaan mereka tidak melalui pemilihan secara seremonial, tetapi melalui seleksi alam. Mereka adalah para sahabat yang dipercaya oleh umat sebagai wakil mereka yang selalu diajak untuk bermusyawarah oleh Muhammad.
Karena Islam merupakan gerakan ideologis, maka fenomena yang melekat pada gerakan tersebut adalah bahwa orang-orang yang pertama ikut dalam gerakan tersebut dan orang-orang yang berjasa atas gerakan yang dilancarkan  oleh Muhammad  untuk ekspan dan menyebarkan ajaran Islam, dianggap sebagai sahabat sejati dan sekaligus sebagai penasehat Muhammad. Oleh karena itu, pemilihan ini tidak melalui pemilihan secara formal atau melalui pemungutan suara, tetapi secara alami melalui ujian praktek dan pengorbanan mereka  terhadap  gerakan  Islam.  Dengan  demikian,  dewan perwakilan umat tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok orang-orang yang pertama masuk Islam yang setia mendampingi Muhammad,  dan kelompok  orang-orang  yang  memiliki  jasa besar dengan wawasan dan kemampuan  mereka.[20]  Inilah fenomena yang diyakini oleh para politikus Islam sebagai embrio lahirnya dewan perwakilan  rakyat  atau  ahlul  halli  wal  aqdi  dalam  pemerintahan Islam. Istilah ahlul halli wal aqdi barasal dari tiga suku kata, yaitu ahlun,  hallun  dan  aqdun.  Dalam  kamus  bahasa  arab  kata mempunyai  arti  ahli  atau  keluarga,   sedangkan  kata  ﱠﻞﺣَ  berarti  membuka atau menguraikan,[21]  sedangkan  َﺪَﻗَا memiliki arti mengikat  atau ٌﺪﻗْ اَ berarti kesepakatan.[22]  Dari ketiga suku kata tersebut dapat dirangkai menjadi sebuah kata (istilah) yang mempunyai arti "orang- orang yang mempunyai wewenang melonggarkan dan mengikat."[23]
Dalam terminologi politik ahlul halli wal aqdi adalah dewan perwakilan (lembaga legislatif) sebagai representasi dari seluruh masyarakat (rakyat) yang akan memilih kepala negara serta menampung dan melaksanakan aspirasi rakyat.
Dalam hal ini, Mawardi mendefinisikan ahlul halli wal aqdi sebagai  kelompok  orang  yang  dipilih  oleh  kepala  negara  untuk memilih kepala negara yang akan menggantikan kepala negara yang lama.[24]  Namun Mawardi tidak menjelaskan tentang unsur-unsur dari ahlul halli wal aqdi.
Abdul Karim Zaidan berpendapat, ahlul halli wal aqdi adalah orang orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan   kepercayaan   kepada   mereka.   Mereka   menyetujui pendapat wakil-wakilnya karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan kejernihan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.[25]
Sedangkan  menurut Imam an-Nawawi,  ahlul halli wal aqdi ialah  para  ulama,  pemimpin,  pemuka  rakyat  yang  mudah dikumpulkan untuk memimpin umat dan mewakili kepentingan- kepentingannya.[26]    Beberapa  ulama  yang  lain  memberikan  istilah ahlul halli wal aqdi dengan sebutan ahlul ikhtiyar, yaitu orang-orang yang memiliki kompetensi untuk memilih.[27]
Muhammad Abduh berpendapat, bahwa ahlul halli wal aqdi sama dengan ulil amri,[28] Lebih lanjut Abduh menjelaskan  dengan lebih rinci beserta unsur-unsurnya dengan mengatakan, "Ahlul halli wal aqdi terdiri dari para  amir,  para  hakim,  para  ulama,  para  pemimpin  militer,  dan semua pimpinan  yang dijadikan  rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik."[29]
Pendapat yang sama di sampaikan oleh Rasyid Ridha, ia mengatakan bahwa ulil amri adalah ahlul halli wal awdi yang terdiri dari para ulama, para pimpinan militer, para pemimpin pekerja untuk kemaslahatan  publik  seperti  pedagang,  tukang,  petani,  para  tokoh wartawan.[30] Al-Razi juga menyamakan pengertian ahlul halli wal aqdi dengan ulil amri. Demikian juga al-Maraghi yang berpendapat sama dengan Abduh dan Ridha.[31]

3.   Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota ahlul halli wal aqdi
Cara Pemilihan atau Seleksi Imam Al-Mawardi mengemukakan pendapatnya tentang pemerintahan terbentuk melalui dua kelompok. Pertama ahl al-ikhtiyar yaitu mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Dan kedua, ahl al-imamah yaitu mereka yang berhak memangku jabatan kepala pemerintahan. Bagi ahl al-ikhtiyar padanya harus memiliki tiga syarat:
a)         memiliki sikap adil
b)         Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi imam.
c)         Bijaksana dan idealis dalam menentukan pilihannya, siapa yang lebih pantas dan terbilang jujur dalam memimpin umat Islam. Namun siapa yang berhak menjadi anggota ahl al-ikhtiyar dan bagaimana cara rekrutmen anggota tersebut tidak dijelaskan lebih jauh oleh Mawardi.[32]
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, ahl al-ikhtiyar atau ahl al-hall wa al-‘aqd bahkan berada dibawah pengaruh kepala negara, karena kepala negaralah yang mengangkat mereka. Oleh karenanya, mereka cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan. ahl al-hall wa al-‘aqd tidak lebih hanya sekedar alat legitimasi ambisi politik penguasa atas tindak tanduknya. Karena dipilih oleh penguasa, ahl al-hall wa al-‘aqd tidak mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Keberadaannya tidak banyak membawa perubahan kembali ke tradisi syura yang efektif berjalan hanya selama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Ahl al-imamah sebagai orang yang berhak menjadi pemimpin, menurut Mawardi harus memiliki tujuh syarat:
a)         Sikap adil dengan segala persyaratannya
b)         Memiliki ilmu pengetahuan yang memadai untuk berijtihad
c)         Sehat pendengaran, pengelihatan, dan lisannya
d)         Utuh anggota-anggota tubuhnya
e)         memiliki wawasan yang baik untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum
f)           Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan menghadapi musuh
g)         Keturunan Quraisy. [33]
Dalam mengangkat kepala pemerintahan terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang duduk dalam ahl al-halli wa al-‘aqdi atau ahl al-ikhtiyar yakni para ulama cendikiawan dan pemuka masyarakat. Kedua, dengan cara penunjukkan atau wasiat oleh kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Kalau pengangkatan melalui pemilihan, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang jumlah peserta dalam pemilihan itu.
Metode untuk mengankat khalifah adalah baiat. Adapun tata cara praktis untuk mengangkat dan membaiat khalifah adalah sebagai berikut:
a)         Mahkamah Mazhalim mengumumkan kekosongan jabatan khalifah.
b)         Amir sementara melaksanakan tugasnya dan mengumumkan dibukanya pintu pencalonan seketika itu.
c)         Penerimaan pencalonan para calon yang memenuhi syara-syarat in’iqad dan penolakan pencalonan mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat in’iqad ditetapkan oleh Mahkamah Mazhalim.
d)         Para calon yang pencalonan nya diterima oleh Mahkamah Mazhalim dilakukan pembatasan oleh anggota Majelis Umah yang Muslim dalam dua kali pembatasan. Pertama dipilih enam yang Muslim dari para calon menurut suara terbanyak. Kedua, dipilih dua orang dari enam calon itu dengan suara terbanyak.
e)         Nama kedua calon tersebut diumumkan. Kaum Muslim diminta untuk memilih satu dari kedua nya.
f)          Hasil pemilihan diumumkan dan kaum Muslim diberitahu siapa calon yang mendapatkan suara terbanyak.
g)         Kaum Muslim langsung membaiat calon yang mendapat suara terbanyak sebagai Khalifah bagi kaum Muslim untuk melaksanakan Kitabullah dan Sunah Rasulnya.
h)         Setelah proses baiat selesai, khalifah kaum Muslim diumumkan keseluruh penjuru sehingga sampai kepada umat seluruhnya. Pengumuman itu disertai penyebutan nama khalifah dan bahwa ia memenuhi sifat-sifat yang menjadikannya berhak untuk menjabat khilafah.
i)           Setelah proses pengangkatan khalifah yang baru selesai, masa sementara amir berakhir.[34]
Menurut Mawardi, mengapa pengangkatan imam atau khalifah dapat dilakukan dengan penunjukan atau wasiat oleh imam yang sebelumnya, dasarnya yang pertama adalah karena Umar bin Khattab menjadi khalifah melalui penunjukkan oleh pendahulunya, yaitu Abu Bakar. Demikian pula halnya Usman. Enam anggota “dewan formatur” yang memilihnya sebagai khalifah adalah ditunjuk oleh pendahulunya, Umar bin Khattab. Dalam hal pengangkatan imam melalui penunjukkan atau wasiat oleh imam yang berkuasa, al-Mawardi menyatakan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya, seorang imam harus berusaha agar yang ditunjuknya itu benar-benar berhak untuk mendapatkan kepercayaan dan kehormatan yang tinggi dan orang yang betul-betul paling memenuhi syarat.
Kalau yang ditunjuk sebagai calon pengganti itu bukan anak atau ayah sendiri, maka terdapat perbedaan pendapat, yaitu apakah imam boleh melaksanakan bai’at sendiri atau tidak. Sekelompok ulama berpendapat tidak boleh tidak dibenarkan imam seorang diri melaksanakan bai’at anak atau ayahnya sendiri. Dia harus bermusyawarah dengan ahl al-ikhtiyar dan mengikuti nasehat mereka. Kelompok ulama kedua mengemukakan bahwa imam seorang diri berhak melaksanakan bai’at kepada anak atau ayahnya sendiri sebagai putra mahkota. Bukankah dia waktu itu pemimpin umat. Sedangkan kelompok yang ketiga berpendapat bahwa kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu ayahnya, imam dapat melaksanakan bai’at seorang diri. Tetapi tidak demikian halnya kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu anaknya.
Dari uraian tentang beberapa cara pengangkatan imam, baik yang melalui pemilihan maupun penunjukkan, al-Mawardi hanya mengemukakan berbagai pendapat tanpa memberikan preferensi atau pilihannya. Sikap kehati-hatiannya tersebut didasarkan pada fakta sejarah yang menunjukkan tidak ditemukannya suatu sistem yang baku tentang pengangkatan kepala negara yang dapat dikatakan pasti bahwa itulah sistem Islami.
4.    Tentang Wazir.
Al-Mawardi membagi wazir menjadi dua bentuk, pertama wazir tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-kepala departeman. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah. Kedua, wazir tanfidz, yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri.
Pada masa pemerintahan al-Mu’tashim, ketika khalifah tidak begitu berkuasa lagi, wazir-wazir berubah fungsi menjadi tentara pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Begitu kuatnya kekuasaan mereka di pusat pemerintahan (Baghdad), sehingga khalifah hanya menjadi boneka
Mereka dapat mengangkat dan menjatuhkan khalifah sekehendak hatinya. Panglima tentara pengawal yang bergelar Amir al-Umara’ atau Sulthan inilah pada dasarnya yang berkuasa di ibukota pemerintahan. Khalifah-khalifah tunduk pada kemauan mereka dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun yang menarik, panglima tersebut tidak berani mengadakan kudeta merebut kursi kekhalifahan dari keluarga Abbasiyyah, meskipun khalifah sudah lemah dan tidak berdaya. Padahal kesempatan dan kemampuan untuk itu mereka miliki. Barangkali pandangan Sunni tentang al-Aimmah min Quraisy (kepemimpinan umat dipegang oleh suku Quraisy) tetap mereka pegang teguh. Mereka merasa tidak syar’i kalau menjadi khalifah karena bukan termasuk keturunan Quraisy. Kalau mereka melakukan kudeta merebut kekuasaan, tentu akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka merasa lebih aman berperan di belakang layar mengendalikan khalifah.
5.    Teori Kontrak Sosial
Suatu hal yang menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi adalah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karenanya maka imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Al-Mawardi mengemukakan teori kontraknya itu pada abad XI, sedangkan di Eropa teori kontrak sosial baru muncul untuk pertama kalinya pada abad XVI.
Dalam hal ini al-Mawardi mengatakan bahwa apabila imam atau kepala negara telah melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada umat, berarti ia telah menunaikan hak Allah berkenaan dengan hak dan tanggung jawab ummat. Dan saat yang demikian imam mempunyai dua macam hak terhadap ummat, yaitu hak untuk ditaati dan hak dibela selama imam tidak menyimpang dari dari garis yang telah ditetapkan.
Sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara kepala negara dengan rakyatnya (kontrak sosial). Dari perjanjian itu lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, rakyat yang telah memberikan kekuasaan dan sebagian haknya kepada kepala negara berhak menurunkan kepala negara, bila ia dipandang tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Sesuai dengan teorinya ini, Mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala negara sebagai sesuatu yang suci. Namun demikian, Mawardi juga menekankan kepatuhan terhadap kepala negara yang telah dipilih. Kepatuhan ini tidak hanya terhadap kepala negara yang adil, tetapi juga yang jahat (fajir). Untuk mendukung pernyataan ini, mawardi mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
Akan ada kelak pemimpin-pemimpin kamu sesudahku. Di antara mereka ada yang baik dan memimpinmu dengan kebaikan. Tapi ada juga yang jahat dan memimpinmu dengan kejahatannya. Dengarkanlah dan patuhilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi kalau mereka berbuat jahat, maka (akibat baiknya) untuk kamu dan kejahatannya kembali kepada mereka.



BAB III
KESIMPULAN
           
            Dari pemaparan diatas dapat kita lihat bahwa boleh dikatakan al-Mawardi adalah seorang yang ahli dalam tata pemerintahan dan merupakan negarawan yang cemerlang dizamannya. Bahkan idenya banyak dipakai pada abad sekarang oleh negeri Arab.
Mawardi  mencoba  memberikan  solusi untuk  mengurangi otoritas kepala negara dan upaya menciptakan nuansa politik yang lebih demokratis dengan menciptakan  blue print tentang prosedur pengangkatan kepala negara. Menurut  Mawardi,  untuk  memilih  dan mengangkat  kepala negara dapat dilakukan denga dua cara, yaitu; pertama, denga cara dipilih oleh ahlul-halli  wal-aqdi,  kedua,  dengan  pemberian  (penyerahan)  mandat dari kepala negara terdahulu (sebelumnya).
Gagasan ketatanegaraan Mawardi yang sekarang dipakai oleh masyarakat modern adalah ide tentang kontrak social, yakni hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karenanya maka imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab.
Demikain makalah ini di tulis dengan segala keterbatasan, semoga bermanfaat dan kritik serta saran amat dibutuhkan dalam penyempurnaan tulisn ini sehingga dapat dikonsumsi oleh khalayak.









DAFTAR PUSTAKA

1.      Abul  A’la  al-Maududi, The  Islamic  Law  and  Constitutional. Terj.  Asep  Hikmat “Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam”, Bandung: Mizan, Cet. ke-1, 1990.
2.      Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2000
3.      Dhiauddin Rais, An-Nazhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj. Abdul Hayyie al- Kattani “Teori Politik Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2001
4.      Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami: al-Siyasy wa al-Diny wa al-Tsaqafi wa al- Ijtima’i,Juz I, Beitur: Dar al-Fikr, 1964
5.      Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani, 2000.
6.      Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Cet. ke-1, 1994.
7.      J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. ke-5, 2002
8.      Khalil Abdul Karim, Quraisy min al-Qabilah ila ad-Din al-Markaziyyah. Terj. M. Faisol Fatawi "Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan", Yogyakarta: LKiS, Cet. ke-1, 2002
9.      Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973. 
10.   Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarata: UI Press, 1990.
11.   Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State. Terj. Imron Rosyidi “Kekuasaan, Pengkhianatan dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori Al-Mawardi Tentang Negara”, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000.
12.   Taqiyyuddin An-Nabhani, Daulah Islam Edisi Mu’tamadah, diterjemahkan oleh Umar Faruq, (Jakarta: HTI Press, 2002),h.342-348.







[1] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarata: UI Press, 1990, hlm. 58.
[2] Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Cet. ke-1, 1994,
hlm. 55.
[3] Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State. Terj. Imron Rosyidi “Kekuasaan, Pengkhianatan dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori Al-Mawardi Tentang Negara”, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000, hlm. 37.
[4] Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, op. cit., hlm. 57.
[5] Munawir Sjadzali, loc. cit.
[6] Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, op. cit., hlm. 36.
[7] Ibid.
[8] Munawir Sjadzali, op. cit., hlm. 61
[9] Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm. 15.
[10] Tim penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, loc. cit.
[11] Al-Hawi al-Kabir merupakan kitab yang terkenal sebagai kitab fiqh paling lengkap dalam  madzhab  Imam  Syafi'i.  Kitab  ini  berisi  tentang  fiqh  yang  mencakup  seluruh  sendi
[12] Dalam kitab ini Mawardi melakukan elaborasi, sebuah studi komparatif tafsir dari beberapa ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an
[13] Ini adalah kitab monumental yang ditulis oleh Imam al-Mawardi yang bernuansa tasawuf. Kitab ini berisi tentang manajemen, moralitas dan etika dalam kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan dengan agama yang terdiri dari etika dalam bergaul dan hidup bermasyarakat, etika dalam mencari dan memanfaatkan ilmu, etika dalam agama, tentang akhlaqul karimah, kejujuran, kearifan, kesabaran, sopan santun, musyawarah dan lain-lain.
[14] Al-Ahkam al-Sulthaniyah merupakan kitab prestisius karya al-Mawardi dalam bidang politik. Kitab ini berisi tentang berbagai persoalan politik dan tata negara dalam bingkai Islam, di antaranya tentang pengangkatan kepala negara, pengangkatan menteri, pengangkatan gubernur,pengangkatan pimpinan jihad,  kepolisian, kehakiman, imam shalat,  pemungutan zakat,  harta rampasan perang, jizyah dan kharaj, hukum dalam otonomi daerah, tanah dan eksplorasi air, tanah yang dilindungi dan fasilitas umum, hukum iqtha’, administrasi negara, dan tentang ketentuankriminalitas. Kitab ini yang membuat Mawardi terkenal sebagai political scientist baik dalam dunia politik maupun akademik. Buku ini mendapat perhatian besar di dunia barat dan non muslim bahkan sampai ke penjuru dunia hingga saat ini.
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami: al-Siyasy wa al-Diny wa al-Tsaqafi wa al- Ijtima’i,Juz I, Beitur: Dar al-Fikr, 1964, hlm. 428.
[16] Pengantar Abd. Salam Arief dalam Manouchehr Paydar, loc. cit.
[17] Ibid., hlm. ix
[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 42.
[19] Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, op. cit., hlm. 15.
[20] Abul  A’la  al-Maududi, The  Islamic  Law  and  Constitutional. Terj.  Asep  Hikmat “Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam”, Bandung: Mizan, Cet. ke-1, 1990, hlm. 260
[21] Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973, hlm. 53.
[22] Ibid., hlm. 275.
[23] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. ke-5, 2002, hlm. 66.
[24] Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973, hlm. 53.
[25] J. Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 67.
[26] Dhiauddin Rais, An-Nazhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj. Abdul Hayyie al- Kattani “Teori Politik Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2001, hlm. 178.
[27] Ibid., hlm. 176
[28] J. Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 68.
[29] J. Suyuthi Pulungan, loc. cit.
[30] Ibid., hlm. 69
[31] Ibid.,
[32] Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, op. cit., hlm. 18
[33] Ibid., Lihat Juga, Khalil Abdul Karim, Quraisy min al-Qabilah ila ad-Din al-Markaziyyah. Terj. M. Faisol Fatawi "Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan", Yogyakarta: LKiS, Cet. ke-1, 2002, hlm. 15
[34] Taqiyyuddin An-Nabhani, Daulah Islam Edisi Mu’tamadah, diterjemahkan oleh Umar Faruq, (Jakarta: HTI Press, 2002),h.342-348.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...