Selasa, 03 November 2015

SISTIM PERADILAN PADA KERAJAAN SIAK

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Riau pada tempo dulu adalah merupakan wilayah perkembangan kerajaan melayu dan perkembangan agama Islam disepanjang selat Malaka. Ada beberapa kerajaan yang tumbuh dan berkembang pada awal abad ke 18 diantaranya Kerajaan Riau Lingga, Kerajaan Siak, kerajaan Indragiri dan Kerajaan Pelalawan, merupakan kerajaan –kerajaan Melayu yang berpengaruh pada masa tersebut. Kesemua kerajaan Melayau Riau ini menunjukkan bahwa masyarakat Riau pada masa itu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Sehingga orang-orang melayu sudah dikatakan telah mempunyai ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama. Karena kalau kita baca sejarah dari kerajaan – kerajaan melayu RIau terlihat megah dan mencapai puncak kejayaan pada masa itu.
Pada masa tersebut sudah terdapat sistim pemerintahan monarkhi. Meskipun tidak sebagai Kerajaan Islam, tetapi prinsip-prisip Islam dilakukan sepanjang yang dapat diusahakan oleh masyarakat Melayu Ketika Itu. Kedudukan seorang Sultan sultan sangatlah menentukan bukan saja sebagai seorang pemimpin negeri, tetapi juga sebagai khalifatullah atau wali Allah atau sultan adalah bayangan Allah di permukaan bumi ini.[1]
Siak adalah salah satu Kerajaan yang cukup berpengaruh dan berkembang ketika itu. Maka dari itulah kami ingin mengetahui dan mempelajari bagaimana system peradilan yang dipakai pada masa pemerintahan Siak sesuai dengan disiplin ilmu yang sedang penulis dalami pada program studi Hukum Islam Strata 2 pada UIN Suska Pekanbaru. Tentunya keterbatasan sumber dan Literature yang ada untuk mnggali lebih mendalam tentang system peradilan kerajaan Siak ini tidaklah begitu memadai. Akan tetapi penulis berharap upaya ini dapat memberikan kita pmahaman dan menambah khazanah keilmuan kita terhadap pengaruh Islam terhadap sisitem peradilan pada masyarakat melayu masa lalu.


B.      Batasan Masalah
Masalah yang akan kita bahas pada makalah ini terbatas pada masalah system peradilan yang ada pada masa kerajaan Siak Sri Inderapura.
C.     Rumusan Masalah
Permasalah yang akan ditulis pada makalah ini adalah:
1.       Bagaimanakah Sejarah Lahir dan Berkembangnya Kerajaan Siak?
2.       Bagaimanakah Sisitim Peradilan Pada masa Kerajaan Siak?























BAB II
PEMBAHASAN
1.       Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Kerajaan Siak Sri Inderapura
a.       Masa Awal
Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil, anak dari Sultan Mahmud Shah sultan Kesultanan Johor yang dibunuh dan dilarikan ke Pagaruyung[2] bersama ibundanya Encik Apong. Raja kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat[3] dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan.[4] Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.[5]
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah[6].
Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.
Sebelum menetap di daerah yang dinamakan Kabupaten Siak, Kesultanan Siak Sri Indrapura beberapa kali mengalami perpindahan pusat kekuasaan. Ketika pertama kali didirikan, pusat pemerintahan Kesultanan Siak Sri Indrapura berada di Buantan, kemudian berpindah ke Mempura, Senapelan Pekanbaru, kembali lagi ke Mempura, dan ketika diperintah oleh Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864) pusat pemerintahan dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap di sana sampai pemerintahan Sultan Siak Sri Indrapura yang terakhir, Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946)[7]  dan menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.[8]
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 / 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Dan oleh bangsa Eropa menyebutnya sebagai The Sun Palace From East (Istana Matahari Timur).[9]
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II). Sultan As-Sayyidi Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin II atau Sultan Syarif Kasim II (lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Dia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Riau di bawah Kesultanan Siak pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Kasim Sani (Sani=dua). Ketika Jepang kalah, ikatan Hindia Belanda lepas, Sultan Syarif Kashim menghadapi 3 pilihan: berdiri sendiri sperti dulu, bergabung dg Belanda atau bergabung dg Republik Sultan sebagai sosok yg wara' dan keramat melakukan istikharah. Saya kuat menduga Allah memberitahu Sultan Syarif Kasim agar bergabung dg Republik karena kekayaan Riau yg sangat berlimpah dan berlebihan kalau sekedar dikuasai sendiri. Maka Sultan menentukan pilihan bergabung dg Republik. Mendukung NKRI. BERGABUNG, bukan menyerahkan diri.
Sultan menurunkan modal 13 juta Golden (3x nilai kompleks gedung Sate, Bandung), bersama-sama dengan para komisaris lainnya di PT. NKRI (Deli, Asahan Siak, Yogya, Solo, Kutai kartanegara, Pontianak, Ternate, Tidore, Bali, Sumbawa-daerah-daerah yg termasuk Zelfbestuuren-berpemerintahan sediri pada jaman pendudukan Belanda di nusantara).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden pada tahun 1946. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968
Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin. Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.
b.       Masa keemasan
Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,[10] pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun tahun 1728 atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil menekan Raja Kecil keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya dan atas keberhasilan itu Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.[11]
Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya pada kawasan kepulauan dan mulai membangun kekuatan baru pada kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.[25] Ancaman dari Siak, serta di saat bersamaan Johor juga mulai tertekan oleh orang-orang Bugis yang meminta balas atas jasa mereka. Hal ini membuat Raja Sulaiman pada tahun 1746 meminta bantuan Belanda di Malaka dan menjanjikan memberikan Bengkalis kepada Belanda, kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.
Sepeninggal Raja Kecil tahun 1746, klaim atas Johor memudar, dan pengantinya Sultan Mahmud fokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan daerah vazal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam bidang persenjataan.[28] Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi Sultan Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail, telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh Orang Laut, terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.
Pada abad ke-18 K.esultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[12] termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor,  sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.[13]
Perdagangan
Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang. Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dalam Tuhfat al-Nafis, di mana dalam deskripsi ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yang rakus akan kekayaan dunia.
Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar bahkan timah dan emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka serta salah satu kawasan industri kayu terutama untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan. Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung.
Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera dan Semenanjung Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan, yang sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.[14]
c.       Kemunduran
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor, yang berada dalam perlindungan Inggris di Singapura.[38][39] Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris.  Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda, setelah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858. Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda.[15]
Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya. Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatera antara pihak Inggris dan Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah. Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia-Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau. Namun di tengah tekanan tersebut Kesultanan Siak masih mampu tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.[16]
d.       Struktur pemerintahan
Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak, setelah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yang mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya. Dewan menteri ini terdiri dari:
1. DatukTanah Datar dengan gelar Sri Paduka Raja
2. Datuk Lima Puluh dengan gelar Sri Bejuangsa
3. Datuk Pesisir dengan gelar Sri Dewa Raja
4. Datuk Kampar dengan gelar Maharaja Sri Wangsa
Di samping keempat datuk tersebut ada pula Datuk Bintara Kanan dan Kiri yang mengatur tata pemerintahan, hukum dan undang-undang kesultanan; Datuk Laksmana untuk mengatur laut; dan Panglima untuk kawasan darat .[17]
Di luar pusat pemerintahan, Kesultanan Siak Sri Indrapura juga mengatur sistem pemerintahan di daerah. Sebagaimana tercatat di buku Sejarah Piau (2004), pemerintahan di daerah-daerah dipegang oleh Kepala Suku yang bergelar Penghulu, Orang Kaya, dan Batin. Ketiga jabatan tersebut sama kedudukannya, hanya saja Penghulu tidak mempunyai hutan tanah. Dalam menjalankan tugasnya Penghulu dibantu oleh:
1. Sangko Penghulu (wakil Penghulu)
2. Malim Penghulu (pembantu urusan kepercayaan/agama)
3. Lelo Penghulu (pembantu urusan adat sekaligus berfungsi sebagai Hulubalang).
Batin dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku ash. Jabatan ini didapat secara turun temu run. Batin mempunyai hutan tanah (ulayat). Dalam menjahankan tugasnya, Batin dibantu oheh:
1. Tongkat (pembantu Batin dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap sultan)
2.  Monti (pembantu Batin urusan adat)
3. Antan-antan (pembantu Batin yang sewaktu-waktu dapat mewakili Tongkat atau Monti jika keduanya berhalangan).
Batin dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku ash. Jabatan ¡ni didapat secara turun temurun. Batin mempunyai hutan tanah (ulayat). Dalam menjalankan tugasnya, Batin dibantu oleh:
1. Tongkat (pembantu Batin dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap sultan)
2.  Monti (pembantu Batin urusan adat)
3. Antan-antan (pembantu Batin yang sewaktu-waktu dapat mewakili Tongkat atau Monti jika keduanya berhalangan).
Pada masa pemerintahan Raja Kecil, terdapat beberapa perbatinan di sepanjang ahiran Sungai Siak, antara lain: Perbatinan Gassib, Senapelan, Sejaleh, dan Perawang. Perbatinan sebelah selatan Sungai Siak antara lain: Perbatinan Sakai dan Petalangan. Sedangkan perbatinan di pulau-pulau, antara lain : Perbatinan Tebing Tínggi, Senggoro, Merbau, dan Rangsang. Sementara itu, daerah ash yang kepala sukunya disebut penghulu antara lain: Siak Kecil, Siak Besar, Betung, dan Rempah [18]Model sistem pemerintahan yang dirancang oleh Raja Kecil bertahan hingga Kesultanan Siak Sri Indrapura diperintah oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jahil Syarifuddin merubah sistem pemerintahan dan meletakkan landasan sistem pemerintahan
Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh model birokrasi pemerintahan yang berlaku di Eropa maupun yang diterapkan pada kawasan kolonial Belanda atau Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yang diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33 halaman yang panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi. Ingat Jabatan merupakan dokumen resmi Siak Sri Inderapura yang dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tidak khianat kepada sultan dan nagari.[19]
Nama-nama raja Siak
1.       Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah (1723-1746). Raja Kecil adalah pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura setelah sebelumnya merebut Kesultanan Johor pada 1717.
2.       Tengku Buang Asmara bergelar Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah (1746-1765). Pada masa pemerintahannya nama Siak Sri Indrapura resmi digunakan.Tengku Buang Asmara bergelar Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah (1746-1765). Pada masa pemerintahannya nama Siak Sri Indrapura resmi digunakan.
3.       Tengku Ismail bergelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1767). Beliau juga dikenal dengan sebutan “Sultan Kudung” karena tangannya kudung dalam peperangan melawan Belanda pada 1766.
4.       Tengku Alamuddin bergelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780).
5.       Tengku Muhammad Ah Panglima Besar bergelar Sultan Muhammad Ah Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782). Pada masa pemerintahannya Pekanbaru berkembang menjadi pusat perdagangan.
6.       Tengku Sulung/Yahya bergelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1782-1784).
7.       Tengku Said Ah bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ah Abdul Jalil Baalawi (1784-1810). Beliau adalah putra dan Tengku Embung Badariah dan Said Syarif Usman, seorang bangsawan Arab, sehingga beliau merupakan Sultan Siak pertama berdarah Arab. Pada masa pemerintahannya Siak memiliki 12 daerah jajahan, di antaranya: Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Deli, Serdang, Langkat,dan Temiang.
8.       Tengku Said Ibrahim berQelar Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jahil Khahiluddin (1810-1827).
9.       Tengku Said Isrnail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864). Pada masa pemerintahannya Traktat Siak ditandatangani pada 1 Februari 1858.
10.   Tengku (Panglima Besar) Said Kasim I bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifuddin (1864-1889). Beliau berhasil mendirikan Masjid Syahabuddin, Qubbah Kasyimiah, membuat mahkota kesultanan, memuhai modernisasi pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi.
11.   Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jahil Syarifuddin (1889-1908). Beliau meneruskan modernisasi dalam pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkaya kesultanan dengan eksport hasil bumi Siak. Behiau juga membangun Balai Kerapatan Tínggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah yang diisi dengan perhengkapan Eropa (di antaranya tempat cerutu yang terbuat dan perak, tempat gula yang khusus dipesan dan Limoges, Perancis, dan alat musik Gramafon dan Komet buatan Jerman), membangun percetakan, dan menyusun Al Qawa’id atau Babul Qawa’id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura). Babu! Qawa’id diartikan sebagai “Pintu Segaha Pegangan” (Norma Dewi et.al., 1999/2000:13).[20]
12.   Tengku (Putera) Said Kasim H bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946). Sultan Kasim II adalah sultan terakhir Kesultanan Siak Sri Indrapura. Pada 25 April 1968 beliau ditetapkan sebagai Warga Utama Daerah Riau, dan pada 6 November 1998 beliau mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia.[21]
Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa'id. Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yang dikenakan kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang terlibat perkara dengan masyarakat Melayu. Namun tidak mengikat orang Melayu yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak sebagai anggota. Selanjutnya beberapa nama jabatan lainnya dalam pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dalam yang bertanggung jawab terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendarhari Sriwa Raja yang bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan.[51]
Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu dan hilir, masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dalam bentuk distrik[48] yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak,[53] salah satunya keturunan Al-Jufri yang bergelar Bendahara Patapahan.[54]
Pada kawasan tertentu di Siak Sri Inderapura, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yang sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan. Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir.[14][50][55]
Yang Dipertuan Besar Siak adalah gelar dari penguasa Siak Sri Inderapura, selain gelar Sultan Siak. Penguasa Siak ini dipilih oleh sebuah dewan menteri yang terdiri dari 4 orang datuk yaitu Datuk Tanah Datar, Datuk Limapuluh, Datuk Pesisir dan Datuk Kampar..



2.       Sistim Peradilan Masa Kerajaan Siak
a.       Penyusunan Babul Al-Qawaid
            Kehidupan modern di Kesultanan Siak sudah bermula ketika Belanda masuk dan berlanjut pada Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasirn Abdul Jalil Syarifuddin naik tahta pada 1889-1908. Seperti tertulis didalam buku Siak Sri Indrapura (2005), beliau meneruskan modernisasi dalam pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkaya kesultanan dengan ekspoit hasil bumi Siak. Beliaulah yang membangun Balai Kerapatan Tínggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah yang diisi dengan perlengkapan Eropa (di antaranya tempat cerutu yang terbuat dan perak, tempat gula yang khusus dipesan dan Limoges, Perancis, dan alat musik Gramafon dan Komet buatan Jerman), membangun percetakan, dan menyusun AI-Qawa’id atau Babul Qawa’id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura) tahun 1901 walaupun pada saat itu pemerintahan penjajahan Belanda berkuasa, namun pemerintahan kerajaan  tetap  berjalan  dan berkuasa. Sejak abad ke 13 M di kerajaan Siak ini telah memiliki Pengadilan Agama sendiri dengan dilengkapi Buku Hukum (kodifikasi) yang berjudul babul qawaid. Dalam buku ini disamping mengatur tentang kompetensi dan kedudukan Hakim-Hakim juga mengatur tentang komposisi kelembagaan dan mekanisme kerja peradilan itu sendiri.[22]
            Babul Qawa’id merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu. Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005) dijelaskan bahwa bagian pertama Babu! Qawa’id merupakan bagian pembukaan yang terdiri dan dua pasal dan menjelaskan tentang motivasi, atar belakang, nama dan naskah ini, dan menyebutkan bahwa isinya tidak beriaku sebagai hokum bagi penduduk bukan Melayu atau Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kecuali yang terhibat perkara dengan orang Melayu. Pengadilan untuk kasus ini akan mehibatkan pejabat Kesultanan Siak Sri Indrapura dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda.[23]
            Pengadilan Tinggi berada di ibukota Kerajaan yang disebut Kerapatan Qodhi yang diketuai oleh Sultan, sedangkan hakim Anggota adalah datuk-datuk dari setiap suku,  Qodhi dan Controleur yaitu :
1.       Datuk Sri Pekermaja (Kepala Suku Tanah Datar)
2.       Datuk Sri Bijuangsa (Kepala Suku Lima Puluh)
3.       Datuk Sri Dewaraja (Kepala Suku Pesisir)
4.       Datuk Amir Pahlawan (Kepala Suku Kampar)
5.       Qodhi
6.       Controleur
            Balai Kerapatan Qodhi diberi nama Balairung, yakni tempat diselenggarakannya aktifitas peradilan, yang berkenaan dengan soal agama seperti Muamalat (perdata) maupun Jinayat (pidana) berupa Jarimah seperti Hudud, Qisas Diat dan Ta’zir .[24]
Pada bagian utama Babul Qawa’id terdiri dan 22 bab yang mencakup 154 pasal. Bab pertama merinci pembagian negeri ke dalam 10 provinsi dan batas-batasnya. Selanjutnya tertulis pula bab-bab yang mengatur, antara lain:
1.       Gelar yang Berkuasa di Kerapatan Tínggi,
2.       Besaran Hukuman yang Akan Disidang di Kerapatan Tinggi,
3.       Perkara yang Akan Disidang di Hadapan Hakim Polisi,
4.       Tugas Hakim Polisi Kesultanan dan Provinsi Jajahan,
5.       Nama-nama Suku.[25]
Selain Babul Qawa’id, perubahan sistem pemeritahan juga terlihat pada lembaga pemerintahan di
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Di dalam buku Sefintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya (1999/2000), disebutkan bahwa di dalam menjalankan pemerintahan, sultan dibantu oleh para pejabat kesultanan yang memimpin lembaga, baik di pusat maupun di daerah yang terdiri dari:
1.       Sultan merupakan kepala pemerintahan, pemegang kedaulatan dan administratur tertinggi.
2.       Dewan Menteri (Dewan Kesultanan) yang bertugas memilih dan mengangkat sultan. Dewan ini bersama dengan sultan membuat undang-undang dan peraturan.
3.       Hakirn Kerapatan Tingqi yang bertugas dalam pelaksanaan pengadilan umum.
a.       Sedang Balai Kerapatan Tinggi adalah tempat untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi pada rakyat Siak. Kepala dan
b.       Kerapatan Tinggi adalah sultan dan didampingi oleh para Datuk. Kadi negeri Siak dan Controleur Siak berfungsi sebagai anggota.
4.        Hakirn Polisi merupakan kepala pemerintahan di tingkat provinsi sebagai wakil sultan. Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura terdiri dan 10 provinsi. Yakni:
a.       Propinsi Siak bergelar Tengku Besar
b.       Propinsi Tebing Tinggi bergelar Tengku Temenggung Muda
c.       Propinsi Merbau Bergelar Orang Kaya Setia Indera
d.       Propinsi Bukit Batu Bergelar datuk Laksamana Setia Diraja
e.       Propinsi Bangko bergelar Datuk Dewa Pahlawan
f.        Propinsi Kubu bergelar Datuk Jaya Perkasa
g.       Propinsi Pekanbaru bergelar datuk Syahbandar
h.       Propinsi Tapung Kiri bergelar Syarif Bendahara
i.         Propinsi Tapung Kanan bergelar Datuk Bendahara
j.         2 Komisaris Negara Pangeran wira Negara dan Pangeran Wira Kesuma
5.        Hakim syariah yang terbagi menjadi dua, pertama berkedudukan di Negeri Siak Sri Indrapura bergelar Kadi Siak. Tugas dan Kadi Siak menangani pengadilan tentang harta pusaka atau warisan dan masalah hukum adat. Kedua berkedudukan di daerah provinsi yang bergelar Imam Jajahan. Tugas Imam jajahan adalah membantu Kadi Siak.
6.       Hakirn Kepala Suku/Hinduk merupakan pemerintahan yang terendah menurut hierarki Kesultanan Siak Sri Indrapura. Hakim Kepala Suku/Hinduk bertu gas melaksanakan pemerintahan dan men gatur kehidu pan bermasyarakat, beragama, dan berkesultanan pada sukunya masing-masing. Hakim Kepala Suku/Hinduk tunduk pada Hakim Polis. Provins.i [26]
Namun pada 15 Juni 1915 atas tekanan kerajaan Belanda, kekuasaan kerajaan Siak menjadi sangat dibatasi,[27] para hakim propinsi kekuasaannya dipersempit bahkan ada yang hilang. Berdasarkan keputusan yang diatur oleh Belanda wilayah Siak dibagi dalam bentuk Distrik  yang dipecah lagi menjadi Oder Distrikyaitu:
1.       Distrik Siak yaitu Siak Sri Inderapura, Mempura di Buatan, Mandau dan Sungai Pakning
2.       Distrik Selat Panjang di Tebing Tinggi selat Panjang dan Merbau di Belitung
3.       Distrik Bukit Batu dan distrik Dumai di Batu Panjang
4.       Distrik Bagan Siapi-Api yaitu Bangko di Bagan Siapi-Api, Tanah Putih dan Kubu
5.       Distrik Pekanbaru di pekanbaru, Tapung Kiri di Petapahan dan Tapung Kanan di Sikijang[28]
Pembagian wilayah Distrik ini seolah-olah bertujuan untuk memudahkan Sultan dalam mengatur Negeri, akan tetapi sebenarnya bertujuan untuk menghambat gerakan Sultan, sebab pengangkatan kepala Distrik tidak lagi merupakan kekuasaan penuh Sultan namun harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.[29]
Rngkasan Babul AlQawaid
BAB I
Menentukan watas dan perhinggaan bagian provinsi masing-masing.
Pasal Satu
Negeri Siak Sri Indrapura

Pasal Dua
Negeri Tebing Tinggi

Pasal Tiga
Negeri Merbau

Pasal Empat
Negeri Bukit Batu
Pasal Lima
Negeri Bangko

Pasal Enam
Negeri Tanah Putih

Pasal Tujuh
Negeri Kubu

Pasal Delapan
Negeri Pekanbaru

Pasal Sembilan
Negeri Tapung Kiri

Pasal Sepuluh
Negeri Tapung Kanan

BAB II
Nama gelar yang berkuasa di Kerapatan Tinggi dan menjadi Hakim Polisi pada propinsi masing-masing.

Pasal Satu
Hakim Kerapatan tinggi, polisi, Hajim Syari’ah, Hakim Kepala Suku Hinduk di Siak

Pasal Dua
Tengku Tumenggung di Tebing Tinggi

Pasal Tiga
Orang Kaya Setia Indra di Merbau

Pasal Empat
Datuk Laksamana di Bukit Batu

Pasal Lima
Datuk Dewa Pahlawan di Bangko

Pasal Enam
Datuk Setia Maharaja di Tanah Putih

Pasal Tujuh
Datuk Jaya Perkasa / Datuk Raha Indra Setia di Kubu

Pasal Delapan
Datuk Bandar di Pekanbaru
Pasal Sembilan
Syarif Bendahara di tapung Kiri

Pasal Sepuluh
Datuk Bendahara Muda Sekijang di Tapung Kanan


BAB III
Perkara dan bicara yang wajib dibawa ke hadapan Majelis Kerapatan Tinggi yang bersemayam di dalam Negeri Siak Sri Indrapura.

Pasal Satu
Membunuh disengaja dengan senjata tajam dan sejenisnya

Pasal Dua
Membunuh orang disengaja dengan racun dan sejenisnya

Pasal Tiga
Rupa-rupa pembunuhan lainnya dengan senjata

Pasal Empat
Terkena luka besar, merusak urat besar, sampai merusakkan anggota badan jadi cacat

Pasal Lima
Mencuri, maling, samun, dan segala tipu daya

Pasal Enam
Salah bakar

Pasal Tujuh
Celaka durhaka

Pasal Delapan
Angkara Murka

Pasal Sembilan
Hutang piutang

BAB IV
Perkara dan bicara yang wajib dibawa ke hadapan hakim polisi yang bersidang di dalam Negeri Siak Sri Indrapura.

Pasal Satu
Menyuruh kerja paksa.

Pasal Dua
Menentukan denda.

Pasal Tiga
Memutuskan perkara hutang piutang.

Pasal Empat
Menyelesaikan perkara dusun, kebun dan kampung.

BAB V
Perkara dan bicara yang dibicarakan di hadapan Hakim Polisi Jajahan Negeri Siak Sri Indrapura

Pasal Satu
Menghukum kerja paksa, setinggi-tingginya 3 bulan.

Pasal Dua
Bila hukuman kerja paksa lebih satu bulan.

Pasal Tiga
Menentukan denda maka, setinggi-tingginya 60 ringgit burung.

Pasal Empat
Memutuskan perkara hutang-piutang, setinggi-tingginya 150 ringgit burung.

Pasal Lima
Menyelesaikan perkara harta pusaka, setinggi-tingginya 300 ringgit burung.

Pasal Enam
Menyelesaikan perkara dusun, kebun dan kampung, setinggi-tingginya 300 ringgit burung.

Pasal Tujuh
Yang wajib dibicarakan bahagian propinsi, dan perkara yang lebih besar wajib dikirimkan pada hakim Polisi Negeri Siak Sri Indrapura

BAB VI
Musyawarah hakim-hakim polisi
BAB VII
Nama kepala suku hinduk-hinduk
BAB VIII
Kuasa kepala suku
BAB IX
Kuasa bagi bendahara
BAB X
Kuasa Qadi Negeri Siak
BAB XI
Imam jajahan
BAB XII
Kuasa kepala sekalian imam jajahan
BAB XIII
Ketinggian Sri Paduka Sultan atas hukum polisi dan kepala suku hinduk-hinduk
BAB XIV
Pekerjaan dan tanggungan hakim-hakim polisi bagian Negeri Siak Sri Indrapura dan hakim polisi bahagian propinsi jajahan.
BAB XV
Kewajiban bagi pangeran-pangeran.
BAB XVI
Pekerjaan hoof jaksa.
BAB XVII
Tambahan pekerjaan baduada perkasa.
BAB XVIII
Aturan menjual kebun, dusun, dalam negeri Siak Sri Indrapura serta jajahannya taklukanya
BAB XIX
Menentukan nama suku
BAB XX
Aturan kepala-kepala mengerah bila beroleh perintah dari Sri Paduka Sultan menyuruh berat bekerja
BAB XXI
Menyatakan bahagian-bahagian denda dan sapu meja yang dapat dari tempat keadilan yang dilakukan oleh Kerapatan Tinggi dan Hakim Polisi Negeri Siak dan Hakim Polisi Jajahan.




















BAB III
KESIMPULAN

Dari hasil pemaparan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang kerajaan Siak dan sistim Peradilannya yaitu:
1.       Kerajaan siak yang menganut sistim Monarkhi Demokrasi ini didirikan oleh Raja Kecik anak keturunan anak dari Sultan Mahmud Shah sultan Kesultanan Johor yang dibunuh dan dilarikan ke Pagaruyung bersama ibundanya Encik Apong. Raja kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723. Kerajaan ini tumbuh sampai tahun 1946 atau berkuasa sekitar 223 tahun. Berakhir karena Sultan Syarif Kasim II menyatakan bergabung dengan NKRI. Islam dijadikan agama resmi kerajaan.
2.       Sistim peradilan yang digunakan pada masa kerajaan Siak bersumber pada Kitab Babul Qawaid yang disusun oleh Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasirn Abdul Jalil Syarifuddin naik tahta pada 1889-1908. Buku ini disusun tahun 1901 dan dijadikan sumber hukum dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembagian kekuasaan serta sistim peradilan perdata maupun pidana pada masa itu. Landasan hokum yang digunakan pada masa itu adalah bercorakkan hokum Islam. Akan tetapi jika menyangkut tentang masalah yang terjadi antara masyarakat dengan Belanda ataupun orang-orang yang bekerja dengan Belanda maka permasalahn Hukum diputuskan secara bersama oleh kedu belah pihak.
Demikian penulisan ini semoga bermanfaat dan dapat menambah khazanah pengetahuan kita tentang keberadaa Kerajaan Siak dan system Peradilannya. Masukan dan saran diperlukan untuk penyempurnaan makalah ini.







DAFTAR PUSTAKA

1.           Amir Lutfi,  Unsur Islam Dalam Sistem Peradilan Kesultanan Siak Sri Inderapura 1915-1945, Pekanbaru, IAIN Susqa Press.
2.           Amir Luthfi., Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press.
3.           A. Reid, Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19, Yayasan Obor Indonesia, 2005.
4.           Collins, James T. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah SingkatJakartaKITLV bekerja sama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia.2005.
5.           DEPDIKBUD. Sejarah daerah Riau, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
6.           J. Cave, R. Nicholl, P. L. Thomas., Tenas Effendy, , Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
7.           L. Y. Andaya., Raja Kechil and the Minangkabau conquest of Johor in 1718, JMBRAS 1972.
8.           Norma Dewi et .al.. Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya. Bapeda Riau 2000.
9.           S. M. Samin, Sultan Syarif Kasim II: pahlawan nasional dari Riau, Yayasan Pusaka Riau 2002.
10.        Swardila Suwarno, et.al.. Siak Sri Indrapura. Jakarta: Amanah-Lontar, 2005.
11.        T. P. Barnard, Multiple centres of authority: society and environment in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827, KITLV Press.
12.        T. P. Barnard, Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3  2001.
13.        Tenas Effendy, Lintasan Sejarah Kerajaan Siak, Pekanbaru, BPKD, 1972.
14.        The Edinburgh Gazetteer, Or Geographical Dictionary, A. Constable and Company, 1822.
15.        Yuli S. Setyowati (ed.).. Sejarah Riau. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2004





[1] Lutfi, Amir,  Unsur Islam Dalam Sistem Peradilan Kesultanan Siak Sri Inderapura 1915-1945, Pekanbaru, IAIN Susqa Press, p. 266
[2] Andaya, L.Y., Raja Kechil and the Minangkabau conquest of Johor in 1718, JMBRAS 1972, p. 45.
[3] The Edinburgh Gazetteer, Or Geographical Dictionary, A. Constable and Company, 1822.
[4]   Andaya, L.Y., Op. Cit., p. 55. Lihat juga Barnard, T. P., (2003), Multiple centres of authority: society and environment in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827, KITLV Press, dan Cave, J., Nicholl, R., Thomas, P. L., Effendy, T., (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
[5]  Samin, S. M., Sultan Syarif Kasim II: pahlawan nasional dari Riau, Yayasan Pusaka Riau 2002, p. 25
[6] Norm a Dewi et .al.. Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya. Bapeda Riau 2000, p. 5 Baca juga Luthfi, A., Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press, 1991, p. 52
[7] Ibid., p. 6
[8] Yuli S. Setyowati (ed.).. Sejarah Riau. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2004, p. 207
[9] Suwarno, Swardila, et.al.. Siak Sri Indrapura. Jakarta: Amanah-Lontar, 2005, p. 65

[10]  Luthfi, A., , Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press, 1991, p. 91
[11] Andaya, L.Y., Op Cit., p. 55.
[12]   Collins, James T. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah SingkatJakartaKITLV bekerja sama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia.2005, p. 69
[13] Barnard, T.P., Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in theEighteenth Century, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3  2001, p. 331-342.

[14] Reid, A., Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19, Yayasan Obor Indonesia, 2005, p 115
[15] Ibid, p 220
[16] Sejarah daerah Riau, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, p. 125
[17] Norma, Dewi, Op., Cit., p. 6-7
[18] Setyowati, Yuli, Log., Cit.
[19] Ibid
[20] Ibid, p. 13
[21] Adila, Suwarno, Op., Cit., p 83 dan 86
[22] Lutfi, Amir, Op., Cit., p. 340
[23] Suwarno, Adila, Op., Cit., p 88
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Dewi, Norma, Op., Cit., p. 7-8
[27] Lutfi, Amir, Op., Cit., p 295-296
[28] Effendy, Tenas, Lintasan Sejarah Kerajaan Siak, Pekanbaru, BPKD, 1972, p. 49-50
[29] Lutfi, Amir, Log., Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...