Selasa, 03 November 2015

FIQHUL WAQI

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Pembahasan mengenai pengembangan dan pembentukan hukum diistilahkan dalam literatur ushul fiqh sebagai ijtihad. Ijtihad dalam hal ini diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh seorang ahli fiqh atau faqih dalam merumuskan hukum syar’i dari sumbernya.[1] Dalam perkembangannya selalu berkaitan erat dengan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Secara umum dapat diungkapkan bahwa ijtihad adalah upaya mengoptimalkan penggalian hukum Islam dari sumbernya dengan harapan mendapatkan jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.
Keberadaan hukum pada umumnya seperti yang disepakati dalam semua literatur yang terkait dengan ilmu sosiologi hukum senantiasa dituntut memainkan peran ganda yang sangat penting. Hukum bisa dijadikan alat kontrol sosial dengan berbagai perubahan yang berlangsung dalam kehidupan manusia dan hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan hakiki hukum itu sendiri.[2]
Sistem hukum Islam yang didasarkan wahyu bukan hanya mewujudkan kemaslahatan manusia di akhirat tapi juga di dunia sebagai keseimbangan dalam kehidupan di antara keduanya. Perwujudan ini banyak ditentukan oleh harmonisasi hubungan, baik secara individu maupun kolektif serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Maka dalam hal ini juga, pengembangan metode ijtihad juga ditentukan dengan harmonisasi tujuan-tujuan syari’at atau maqasid al-syari’ah utamanya dalam corak penalaran istislahi. Hanya saja upaya mengharmonisasikan penalaran istislahi sebagai metode ijtihad dalam menghadapi berbagai perubahan sosial dalam kehidupan tercakup dalam bidang muamalah.
Hal ini dimaksudkan karena cakupan bidang muamalah aturan-aturan hukumnya yang dituangkan oleh Allah dalam bentuk garis-garis besarnya saja dan bersifat zanni (tidak pasti). Berbeda dengan masalah aqidah dan ibadah murni sudah diatur dengan rinci dan jelas serta sifatnya yang qat’i (pasti).
Pengertian Fiqih (Hukum Islam) hingga saat ini masih rancu dengan pengertian Syariah. Untuk itu dalam pengertian fiqih disini dimaksudkan di dalamnya pengertian syariat. Dalam kaitan ini kita jumpai pendapat yang mengatakan bahwa fiqih atau hukum islam adalah sekelompok dengan syariat-yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash Al-Quran dan Al-Sunnah. Bila ada nash dari Al-Quran dan Al-Sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari Al-Quran atau Al-Sunnah, dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan demikian yang disebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Menurut pengikut Asy Syafi’i mengatakan bahwa fiqih     (ilmu fiqih) itu ialah :
العِلْمُ الَّذِي يُبَيِّنُ الأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَآلِ اْلمُكَلَّفِيْنَ اْلمُسْتَنْبِظَةِ مِنْ اَدِلَّتِهَآ التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf, yang dikeluarkan (diistimbatkan) dari  dalil-dalil yang jelas
Yang dimaksud dengan amal perbuatan manusia ialah segala amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat, muamalat, kepidanaan dan sebagainya; bukan yang berhubungan dengan akidah (kepercayaan). Sebab yang terakhir ini termasuk dalam pembahasan ilmu kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci ialah stuan-satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu.
Berdasarkan batasan tersebut diatas sebenarnya dapat dibedakan antara syariah dan fiqih atau hukum islam. Perbedaannya tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakannya. Jika syariat didasarkan pada nash Al-Quran dan Al-Sunnah secara langsung, tanpa memerlukan penalaran; sedangkan hukum islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syariat. Dengan demikian, jika syariat bersifat permanen, kekal dan abadi, fiqih atau hukum islam bersifat temporer, dan dapat berubah. Namun, dalam praktiknya antara syariat dan fiqih sulit dibedakan. [3]  
Dengan perkembangan masyarakat seperti itu, maka tentunya masalah hukum pun berkembang sehingga diperlukan beberapa metode pendekatan pemahaman hukum Islam yang terdapat pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Pendekatan tersebut telah melahirkan beberapa metode ijtihad yakni ijtihad ta’lili, ijtihad bayani dan ijtihad istishahi. Dengan ijtihat tersebut telah melahirkan jawaban terhadap permasalahan hukum pada masyarakat yang berkembang. Salah satu diantaranya adalah fiqh waqi atau dikenal juga dengan fiqh realita pada masa ini berkembang terutama pada pemikiran Ibnul Qayyim dan Yusuf al-Qaradawi.
Fiqh waqi ini mencoba melahirkan produk hukum melalui pengamatan terhadap realitas masyarakat kekinian. Dengan demikian hukum dapat berkembang dan berubah sesuai dengan kondisi realitas lingkungan masyarakat dimana hukum tersebut berlaku.  Fiqh ini boleh dikatakan lahir melalui proses ijtihad istislahi yang bersandar pada kemaslahatan ummat, yang insyaallah akan coba kita bahas pada makalah kali ini.
B.      Batasan Masalah
Melihat dari luasnya aspek kajian masalah Fiqh dan Ushul Fiqh, maka pada penulisan makalah ini penulis menfokuskan diri pada pembahasan Fiqhul Waqi dan Ijtihad Istislahi.
C.     Rumusan Masalah
Dari Permasalahan yang akan kita bahas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah yang menjadi fokus penelaahan pada makalah ini yakni;
1.       Apakah yang Dimaksud dengan Ijtihad Istislahi?
2.       Apakah yang Dimaksud dengan Fiqhul Waqi?
3.       Bagaimanakah Hubungan antara Ijtihad Istislahi dengan Fiqhul Waqi?

























BAB II
PEMBAHASAN
A.      Ijtihad Istislahi
Ijtihad dipandang dari cakupannya digolongkan atas dua macam, yakni ijtihad mutlaq dan ijtihad juz’i. Ijtihad mutlaq dimaksudkan adalah adanya kemampuan yang memungkinkan dari upaya yang dilakukan dalam semua hukum-hukum fiqh. Sedangkan ijtihad juz’i yang mana kemampuannya hanya terbatas pada sebagian hukum-hukum fiqh saja.[4] Metode ijtihad dengan corak penalaran istislahi adalah bagian dari keduanya, dimana kalangan ulama dengan kategori ijtihad mutlaq merumuskan metode terbarunya sedangkan kalangan ulama yang termasuk dalam kategori ijtihad juz’i menekankan maupun mempertegas metode dengan penalaran yang bertumpu pada kemampuan individu serta mempertajam analisisnya dari metode yang dirumuskan pada ulama sebelumnya.
Dianggap sebagai upaya untuk menggali hukum dengan bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan pada al-Qur’an dan Hadis. Hal ini berarti bahwa kemaslahatan yang dimaksudkan tidak lain adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum tersebut. Dalam arti lain, kemaslahatan yang ada tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung, baik melalui proses penalaran yang sifatnya bayani maupun yang sifatnya ta’lili melainkan harus dikembalikan kepada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nas.[5]
Namun selain dari corak penalaran istislahi, ada penalaran ta’lili dan bayani. Dari ketiga corak penalaran tersebut hanya penalaran ta’lili dan istislahi saja yang dalam metode-metode ijtihad perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Hal dikarena corak penalaran ta’lili mempunyai fungsi yang sama dengan adanya upaya di dalamnya untuk menggali hukum yang bertumpu pada penentuan illah-illah hukum yang terdapat dalam suatu nas. Pengembangan corak penalaran ta’lili haruslah didukung dengan kenyataan bahwa nas al-Qur’an dan Sunnah dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian diiringi dengan cara menyebutkan illah-illah hukum yang terdapat di dalamnya.[6] Dasar illah yang terkandung di dalam suatu nas, permasalahan-permasalahan hukum yang muncul diupayakan oleh mujtahid pemecahannya melalui penalaran terhadap illah yang ada dalam nas tersebut. Ditinjau dari perkembangan pemikiran usul fiqh, corak penalaran ta’lili ada dalam bentuk metode qiyas dan istihsan.
Sedangkan metode ijtihad dengan corak penalaran bayani adalah upaya penggalian hukum dari suatu nas dengan bertumpu pada kaidah-kaidah lughawi (kebahasaan) dan biasanya banyak terkait dalam masalah ibadah. Sedangkan masalah ibadah dengan menggunakan corak penalaran bayani dan membahasnya dengan upaya pendekatan tentu tidak bisa dipaparkan lebih lanjut karena maslaah ibadah bukan lapangan ijtihad.[7]
Adapun penalaran istislahi dalam perkembangan pemikiran usul fiqh, corak ini tampak dalam metode al-masalih al-mursalah dan al-zari’ah. Dalam pemaparan perlu kiranya ditelaah urgensi dan keterkaitannya dengan konsep maqasid al-syari’ah dalam filsafat hukum Islam.
Mempertimbangkan maqasid al-syari’ah tentu dianggap penting dengan keberadaan metode ijtihad istislahi. Corak penalaran istislahi adalah bagian dari lapangan ijtihad yang harus selalu dikembangkan yang nantinya akan menunjukkan urgensi pertimbangan maqasid al-syari’ah dalam metode tersebut.
Corak ijtihad istislahi diantaranya adalah maslahah, dalam pengertian istilahnya adalah manfaat yang dikemukakan oleh syar’i dalam menetapkan hukum untuk hambanya dalam upaya pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[8] Sedangkan definisi maslahah dalam pandangan Muhammad Ruwwas adalah kebaikan yang lazim dalam berbagai tindakan dan perbuatan yang sesuai keinginan pribadi. Sedangkan kalangan ulama ushul menyatakan bahwa maslahah adalah bentuk apresiasi dari ketertiban hukum dalam rangka merealisasikan terwujudnya manfaat yang akan diraih atau menghindarkan diri dari kerusakan.[9]
Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT atas hamba-hambaNya, baik dalam bentuk suruhan atau larangan adalah mengandung maslahah. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahah. Keseluruhan suruhan atau perintah Allah bagi manusia untuk melakukan manfaat untuk dirinya baik secara langsung atau tidak. Manfaat itu ada yang bisa dirasakannya pada waktu itu juga dan ada pula yang dirasakannya sesudahnya. Umpamanya ketika Allah SWT menyuruh mendirikan shalat yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan kebersihan jasmani.[10]
Begitupun dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia, tentunya di balik semua larangan terkandung maslahah yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. Umpamanya larangan minum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari rasa mabuk yang dapat memberi kerusakan pada anggota tubuh, kerusakan pada kesehatan mental dan akal. Semua ulama sependapat tentang adanya kemaslahatan dalam semua hukum yang ditetapkan Allah. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang perwujudan maslahah sehingga Allah menetapkan hukum syara’ atau maslahah itu yang mendorong Allah dalam menetapkan hukum ataupun ada sebab lainnya. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah itu tetapi perbedaan pendapat itu dianggap tidak memberi pengaruh apa-apa secara praktis dalam hukum. Terlepas dari perbedaan pendapat, secara jelas dalam setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara’ dalam bentuk suruhan dan demikian pula sebaliknya.[11]
Intinya setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal manusia dan akal manusia selalu sejalan dengan hukum syara’. Hal ini menunjukkan bahwa maslahah dapat diperhitungkan oleh mujtahid dalam menggali hukum serta menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ditemukan hukumnya baik dalam al-Qur’an, Sunnah Nabi maupun dalam ijma’. Hanya saja dalam perkembangan ilmu usul fiqh dengan metode ijtihad istislahi dalam pola maslahah biasanya yang dipermasalahkan adalah adanya kekuatan hukum atau ketiadaan kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya.
Urgensi kemaslahatan terdapat pada semua bentuk hukum, baik itu hukum-hukum yang didasarkan atas wahyu seperti hukum Islam maupun hukum-hukum yang didasarkan bukan dari wahyu walapun penekanan dari masing-masing hukum tersebut berbeda. Tentunya dengan adanya perbedaan tersebut adalah suatu keistimewaan dalam hukum Islam itu sendiri. Perbedaan dari keistimewaan itu di antaranya adalah:
Pengaruh kemaslahatan dalam hukum Islam tidak terbatas di dunia tetapi juga berpengaruh dalam kehidupan akhirat, tentunya ini dikaitkan karena syari’at Islam diciptakan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dimensi hukum Islam dengan kemaslahatannya bersifat materi dan juga immateri (ruhi) terhadap kehidupan manusia. Berbeda dengan hukum yang tidak didasarkan atas wahyu biasanya bersifat materi saja.
Kemaslahatan yang terkandung dalam hukum Islam merupakan dasar bagi kemaslahatan-kemaslahatan lain. Hal ini menandakan jika ada pertentangan antara kemaslahatan lain dengan kemaslahatan agama, maka kemaslahatan agama tidak boleh dikorbankan.[12]
Orientasi dunia dan ukhrawi memang selalu terkait dalam kemaslahatan agama. Sebagaimana yang dikatakan al-Syatibi bahwasanya kemashatan harus diwujudkan dan kerusakan yang semestinya harus dihapuskan, menurut ketentuan syari’at harus ditegakkan pada tegaknya kehidupan dunia dan akhirat.[13]
Maslahat menurut para pakar ushul dibagi menjadi tiga bagian;[14]
Pertama, maslahah mu’tabarah. Maslahat bentuk ini, merupakan kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Artinya, kemaslahatan tersebut didukung dengan dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Para ulama sepakat, kemaslahatan seperti ini dapat dijadikan hujjah dalam  menetapkan  hukum.  Menurut  Mustafa Dib al-Bugha, kemaslahatan semacam ini termasuk dalam metode qiyas.[15]
Kedua,  maslahah  mulghah.  Kemaslahatan bentuk kedua ini merupakan kemaslahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentangan dengan ketentuan syara’ itu sendiri. Oleh karenanya, kemaslahatan semacam ini oleh para ulama ushu sepakat untuk menolaknya, dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum.[16]
Ketiga,   maslahah   mursalah[17].    Maksud   dari kemaslahatan  bentuk  ini  adalah  kemaslahatan yang  keberadaannya  tidak  didukung  syara’  dan juga  tidak  ditolak  oleh  syara  melalui  dalil-dalil yang terperinci. Disebut sebagai suatu maslahah, karena hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah ini, dapat menghindarkan mukallaf dari suatu bahaya atau kerusakan, tetapi sebaliknya maslahah tersebut, akan mendatangkan kemanfaatan dan kebaikan bagi mukallaf. Demikian halnya, disebut mursalah  karena Syari’ tidak menyetujuinya melalui dalil-dalil khusus, demikian juga tidak menolak secara terang- terangan.
Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.[18] Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al Quran.[19]
Berdasar pada ketiga maslahah,   al-maslahat   al-mursalah   adalah merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Di antara kedua maslahat  tersebut,  ada  yang  disebut  maslahat  mursalat  yakni  maslahat  yang  tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.[20]
Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat al- mursalat.[21]  Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut :[22]
a.       Maslahat tersebut bersifat reasonable (maqul) dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.
b.       Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (rafu al-haraj), dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat.
c.       Maslahat tersebut  harus sesuai dengan maksud  disyariatkan  hukum (maqashid al-syariat) dan tidak bertentangan dengan dalil syara yang qahti.
Sementara  itu  Al  Ghazali  menetapkan  beberapa  syarat  agar  maslahat  dapat dijadikan sebagai penemuan hukum.[23]
a.       Kemaslahatan   itu   masuk   kategori   peringkat   daruriyyat.   Artinya   bahwa   untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.  
b.       Kemaslahatan itu bersifat qathi, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut bena-benar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhan) semata- mata.
c.       Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid al- syariat.
Berdasarkan ungkapan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode penemuan hukum   istislahi sangat erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana yang diungkpkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan. Bentuk penemuan hukum berdasarkan istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syariat  dan tidak ada illat yang keluar dari syara yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan istislahi.
Kemaslahatan yang terkandung dalam hukum Islam merupakan dasar bagi kemaslahatan-kemaslahatan lain. Hal ini menandakan jika ada pertentangan antara kemaslahatan lain dengan kemaslahatan agama, maka kemaslahatan agama tidak boleh dikorbankan.[24]
Orientasi dunia dan ukhrawi memang selalu terkait dalam kemaslahatan agama. Sebagaimana yang dikatakan al-Syatibi bahwasanya kemaslahatan harus diwujudkan dan kerusakan yang semestinya harus dihapuskan, menurut ketentuan syari’at harus ditegakkan pada tegaknya kehidupan dunia dan akhirat.[25] Uraian ini menggambarkan adanya kemaslahatn secara substansial hanya saja permasalahan akan timbul dalam hal legalitas yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dianggap sebagai sesuatu maslahah. Oleh karena itu diperlukan cara menentukan legalitas maslahah yang akhirnya membagi maslahah tersebut pada tiga macam.
Pertama, maslahah yang diperhitungkan legalitasnya dalam syari’at atau secara syar’i, baik itu langsung maupun tidak langsung. Maslahah yang terkandung di dalamnya maslahah yang permanen dan bersifat abadi.[26] Ketentuan maslahah dalam hal ini berkenaan dengan adanya penunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alasan dalam penetapan hukum. Sebagai contoh tentang tidak baiknya mendekati perempuan yang kondisinya dalam keadaan menstruasi dengan adanya alasan keterkaitan penyakit dalam kondisi tersebut. Keterkaian ini dianggap sebagai maslahah karena mengandung penyakit atau kerusakan.[27] Legalitas maslahah di dalamnya didasarkan penunjukannya dari suatu nas yang ditegaskan dalam QS. al-Baqarah 2/ 222 sebagai berikut:
يسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتولوا النساء فى المحيض.
Terjemahnya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit; oleh karena itu jauhilah perempuan yang sedang haid.
Keberadaan atau penunjukan dalam bentuk nas itu sendiri dalam bentuk illah yang menyebut sesuatu itu ada suatu maslahah dalam hal ini ada kerusakan atau penyakit, ini disebut dengan maslahah mu’tabarah. Pemeliharaan dan menghindarkan jiwa dari suatu penyakit yaitu haid merupakan kemaslahatan yang harus diwujudkan. Demikian pula larangan Allah mendekati atau berzina dalam surah al-Isra’ ayat 32 adalah usaha mewujudkan kemaslahatan keturunan dan kehormatan manusia.[28] Kemaslahatan dalam ziarah kubur tidak lain adalah mengingatkan keberadaan hari kiamat ataupun ketentuan nas dalam kewajiban melaksanakan shalat bagi kaum muslimin adalah evaluasi diri, membersihkan jiwa dari sifat-sifat buruk dan sebagainya.[29]
Kedua, kemaslahatan yang legalitasnya ditolak oleh syari’at, yang berarti sesuatu yang dilihat manusia sebagai suatu kemaslahatan akan tetapi menurut syari’at seperti yang ditunjukkan dalam nas ada yang membatalkan atau menafikan kemaslahatan tersebut.[30] Maslahah yang terkandung di dalamnya dianggap baik oleh akal, tetapi tidak mendapatkan perhatian menurut syari’at sementara petunjuk syari’atnya memang menolaknya.[31]
Beberapa literatur ushul fiqh memberikan sebuah kasus yang legalitas kemaslahatannya ditolak dalam ketentuan syari’at. Secara akal memang dianggap baik dan telah sejalan dengan tujuan syari’at namun ternyata syari’at menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh maslahah tersebut. Umpamanya seorang raja atau orang kaya yang melakukan pelanggaran hukum yaitu mencampuri istrinya di siang hari pada bulan ramadhan. Seorang faqih al-Laits menetapkan bahwa hukuman yang pantas bagi raja atau orang kaya tersebut adalah puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti kewajiban memerdekakan budak dan bukan hukuman yang lain. Menurut faqih, keharusan memerdekakan budak adalah sanksi hukum yang dianggap tidak akan berdampak positif dan tentunya disebabkan oleh adanya kemudahan bagi seorang raja atau si kaya karena dikaruniai kondisi kehidupan yang serba mewah. Oleh karena itu, keharusan berpuasa sebagai sanksi urutan kedua setelah memerdekakan budak sebagaimana yang ditetapkan dalam nas haruslah didahulukan pelaksanaannya karena dapat mewujudkan kemaslahatan sebagai tujuan hukum.[32]
Pengkategorian maslahah mulghat atau yang ditolak legalitasnya oleh syar’i secara tekstual memang dianggap cukup beralasan. Namun apabila kita bertolak dari tujuan pensyari’atan hukum, tentunya fatwa ulama fiqh yang terkenal dan dianggap sebagai imamnya orang Mesir masa itu patut dipertimbangkan sehingga petunjuk nas dalam hal ini hadist yang berkaitan dengan persetubuhan di siang Ramadhan dikembangkan pendapatnya di kalangan ulama antara menerapkan hadist tersebut secara berurutan dan takhyir (memilih dan selektif).
Ketiga, maslahah yang tidak ada legalitasnya, baik terhadap keberlakuan maupun ketidakberlakuannya. Kategori ketiga dari maslaha inilah yang menjadi corak dari metode ijtihad istislahi. Artinya tidak ada penunjukan nas baik dalam tingkat jenisnya maupun pada tingkat macamnya.[33] Dalam hal posisi, tidak mendapatkan legalitas khusus dari nas tentang keberlakuan dan ketidakberlakuannya, maka maslahah ini disebut dengan maslahah mursalah yang berarti terlepas dari petunjuk nas secara khusus. Intinya tidak ada dalil khusus yang menjadi dasar dari maslahah ini meskipun penyebutanannya ada dalam bentuk lain seperti istislah dan istidlal mursal.[34]
Dalam perspektif kesejarahan hukum Islam, kategori maslahah ini selalu dikedepankan semacam pemberlakuan pajak terhadap pemilik tanah pertanian dan pajak penghasilan, pemberlakuan adanya penjara dalam kasus kriminal dan pencetakan mata uang.[35] Contoh lain yang lebih populer yang pernah terjadi pada masa khalifah Usman bin Affan yaitu pembukuan mushaf al-Qur’an.
Pemberlakuan metode maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum mengundang polemik di kalangan ulama sehingga menimbulkan perbedaan antara yang menganggapnya sebagai kekuatan hukum atau hujjah dan sebagian ulama yang menolak penggunaannya sebagai dasar penetapan hukum. Imam Syafi’i termasuk sebagai kelompok yang menolak metode tersebut sebab penggunannya sama dengan menganggap bahwa Tuhan luput dari membicarakan sebagian dari kemaslahatan makhlukNya ketika menetapkan hukum.[36]
Sedangkan Imam Malik, guru Imam Syafi’i berbeda dengan pendapat muridnya yang mempergunakan maslahah mursalah dalam menetapkan hukum. Imam Malik berpendapat bahwa metode ini dianggap tidak keluar dari cakupan ketentuan nas meskipun tidak ada petunjuk nasnya secara khusus namun sesuai dengan tindakan syar’i yang dasar hukumnya disimpulkan dari sejumlah nas yang menunjukkan pada prinsip-prinsip umum dan inilah dalil yang kuat. Imam Malik menetapkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, persesuain antara maslahah dengan maqasid al-syari’ah serta tidak ada pertentangan dengan dasar hukum lain.
Kedua, substansinya dari maslahah itu adalah logis.
Ketiga, penggunaan maslahah haruslah bertujuan untuk menghilangkan kesempitan dalam kehidupan manusia serta tidak menyusahkan.[37]
Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang ditunjukan oleh khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian tujuan syara. Proses seperti itu disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu masalah).[38] Walaupun  para  ulama  berbeda  dalam  memandang  metode  ini,  hakikatnya adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya terdapat tujuan secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Sedangkan  menurut  Al  Ghazali  istislahi  menurut  pandangannya  adalah  suatu metode  istidlal  (mencari dalil) dari nash syara yang tidak merupakan  dalil  tambahan terhadap nash syara, tetapi ia tidak keluar dari nash syara. Menurut pandangannya,  ia merupakan  hujjah  qathiiyyat selama mengandung  arti pemeliharaan  maskud syara, walaupun dalam penetapannya zhani. [39]
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum  dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu itibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara untuk mencegah kemungkinan timbulnya  perselisihan umat tentang Al Quran.[40]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istislahi merupakan cara penemuan hukum yang berdiri sendiri, yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, „urf dan kaidah raf al-harj wa al-masyaqqat.
B.      Fiqhul Waqi’
a.       Pengertian Fiqhul Waqi’
Fiqh bererti “Ilmu”. Waqi’ bererti “Kenyataan Atau Kebenaran”. Apabila dua kalimah ini digabungkan ia bererti “Ilmu Kenyataan Atau Ilmu Kebenaran”. Ia dikatakan juga sebagai “Ilmu Peristiwa Dan Hukumnya”. Namun, jika difahami penggunaan kesemua istilah-istilah ini, ia tidak dapat memberi kenyataan, kebenaran atau apa pun ilmu yang hak yang berkenaan dengannya, kecuali jika diambil atau difahami dari kitab Allah dan sunnah RasulNya. Maka fiqhul waqi’ yang sebenar adalah yang diambil, dipelajar dan difahami dari al-Quran dan as-Sunnah. Oleh kerana itu, Syeikh Nasruddin al-Albani rahimahullah berkata:
“Asas awal fiqhul waqi’ (yang dikehendaki oleh syara, Pent.) ialah mengetahui al-Kitab dan as-Sunnah melalui manhaj Salaf as-Soleh. Sama ada secara pemahaman atau cara pelaksanaannya, bukan hanya setakat pengakuan dan angan-angan. Maka tidak boleh dikatakan “memahami fiqhul waqi’ yang sebenar” sesiapa yang tidak mengetahui kitab Rabb-Nya dan sunnah Nabi-Nya”. (Lihat: Soal Jawab Haula Fiqhul Waqi’, hlm. 16-17 Al-Albani)
Secara ringkas, fiqhul waqi’ dapat difahami dengan jelas dari penjelasan Ibnul Qaiyim rahimahullah. Beliau berkata:
وَلاَ يَتَمَكَّنُ الْمُفْتِيُّ وَلاَ الْحَاكِمُ مِنَ الْفتوَى وَالْحُكْم بِالْحَقِّ اِلاَّ بِنَوْعَيْنِ مِنَ الْفَهْمِ .
“Seseorang mufti atau hakim tidak akan mampu berfatwa dan mengeluarkan (memutuskan) hukum kecuali setelah memahami (waqi’/kenyataan. Pent.) dua (jenis) pemahaman:
اَحَدُهُمَا : فَهْمُ الْوَاقَعِ ، وَالْفِقْهُ فِيْهِ ، وَاسْتِنْبَاطُ عِلْمِ حَقِيْقَته مَا وَقَعَ بَالْقَرَائِنِ وَاْلأمَارَاتِ وَالْعَلاَمَاتِ حَتَّى يحِيْطَ بِهِ عِلْمًا.
“Pertama: Memahami (tahu dan mengerti) tentang waqi’ (kejadian/keadaan/kondisi), berilmu tentang ilmu hakikat (peristiwa/kejadian yang sedang berlaku pada masyarakat. Pent.) Kemudian mampu membuat keputusan secara hakikat yang sebenarnya dari kejadian tersebut, disertai dengan pembuktian-pembuktian, tanda-tanda dan ciri-cirinya sehingga dirinya menguasai ilmu tersebut”.
وَالنَّوْعُ الثَّانِيْ : فَهْمُ الْوَاجِبِ فِى الْوَاقِعِ : وَهُوَ فَهْمُ حُكْم اللهِ الَّذِيْ حكمَ بِهِ فَى كِتَابِهِ اَوْ عَلَى لِسَانِ رَسُوْلِهِ فِى هَذَا الْوَاقِعِ.
“Kedua: Faham (menguasai) ilmu yang wajib yang berkaitan dengan kenyataan. Iaitu memahami hukum-hakam Allah di dalam al-Quran dan lisan (Sunnah) Rasul-Nya yang dengannya Allah telah menentukan sesuatu hukum berdasarkan kenyataan kejadian yang berlaku”.
Kemudian melaksanakan kedua perkara ini (yang wajib digabungkan. Pent), salah satunya dengan yang lainnya kerana tidak boleh dipisahkan. Dan sesiapa yang mengarahkan kesungguh-sungguhannya dan mengorbankan ruang waktunya yang panjang untuk yang demikian, maka dia tidak terlepas dari mendapat dua atau satu pahala dari dua perkara tersebut.
Maka orang alim dituntut untuk menguasai ilmu waqi’ atau berusaha untuk memahaminya agar dapat diputuskan peristiwa/kejadian dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. (Lihat: اعلام الموقعين 1/187. Ibnu Qaiyim)
”Mengetahui hukum-ahkam Allah Subhanahu wa-Ta’ala yang terdapat di dalam al-Quran dan Sunnah NabiNya. Kemudian mampu menerapkan keduanya pada kejadian yang berlaku serta permasalahan yang ada pada ketika itu”.


b.       Dalil Yang Digunakan Sebagai Dasar Pemikiran Fiqhul Waqi’
Berdasar pada firman Allah:
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ هُمْ
“Dan hendaklah engkau berhukum antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah turuti hawa nafsu mereka”. (Al-Maidah, 5:49)
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا اَرَاكَ اللهُ.
“Sesungguhnya telah Kami turunkan aL-Kitab (al-Quran) kepadamu agar kamu berhukum antara mereka dengan apa yang telah diperlihatkan Allah kepadamu”. (An-Nisaa, 105)
Dengan demikian, untuk menetapkan dan melaksanakan fiqhul waqi’ maka asasnya adalah al-Quran dan as-Sunnah kerana keduanya merupakan penerangan, petunjuk dan pelajaran dalam menghadapi waqi’.
Ini bermakna, mengamalkan fiqhul waqi’ sebagaimana yang dituntut dan mengikut manhaj yang dilalui oleh para Salaf as-Soleh, adalah memenuhi perintah Allah Subhana wa-Ta’ala yang berdasarkan firmanNya:
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرَاكَ اللهُ.
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-Kitab dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili (berhukum) antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu”. (An-Nisaa, 4:105)
وَاَنِ احْكُمْ بِيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ هُمْ.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”. (Al-Maidah, 5:49)
هَذَا بَيَانٌ للنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ للْمُتَّقِيْنَ.
“Al-Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”. (Ali Imran, 3:138)
Ayat di atas ini menjelaskan bahawa keadaan, kejadian (peristiwa), kondisi dan situasi (waqi’) ditundukkan dan dirujukkan kepada hukum-ahkam al-Quran dan as-Sunnah. Bukan al-Quran dan as-Sunnah diketepikan kerana memenuhi kehendak fiqhul waqi’ (kondisi, situasi, peristiwa dan kenyataan) yang berlandaskan hawa nafsu, yang diimarahkan dan yang dijadikan fiqh keutamaan sehingga kerananya menjadi penyembah pendewaan akal (aklani – (عقلاني sehingga terkeluar dari panduan dan kehendak al-Kitab (al-Quran dan as-Sunnah).



c.       Fiqh Waqi Ibnul Qayim al-Jauziyah
1.      Al-Allamah Ibnul Qayim al-Jauziyah berkata:
"Tidak akan mampu seorang mufti atau seorang hakim untuk berfatwa atau menetapkan hukum dengan benar, kecuali dengan bantuan dua jenis ilmu (pemahaman):
1)    Memahami dan mengetahui situasi 'dan kondisi, dan menetapkan kesimpulan hakekat yang terjadi dengan bantuan beberapa indikasi dan tanda-tanda, hingga dia benarbenar menguasainya.
2)    Memahami kewajiban yang berkenaan dengan kondisi tersebut, yaitu memahami hukum Allah, yang telah ditetapkan dalam kitab-Nya dan juga melalui lisan Rasul-Nya berkenaan dengan kondisi tersebut. Kemudian ia menerapkan hukum itu pada kondisi tersebut atau sebaliknya.
Maka barangsiapa mengerahkan kemampuan dan usaha untuk itu, niscaya dia tidak akan kehilangan satu atau dua pahala. Seorang alim adalah orang yang dengan memahami waqi' (kondisi) dapat mengetahui hukum Allah dan Rasulnya.[41]
Setelah memahami arti sekilas dan asal munculnya istilah fiqhul waqi', agar memperjelas arti dan hakikatnya, maka berikut akan diuraikan contoh-contoh dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Serta tidak lupa penjelasan para ulama' terhadap contoh-contoh ini. Silahkan simak apa yang dijelaskan oleh Ibul Qayyim berikut ini.
2.  Contoh-contoh Penerapan Fiqhul Waqi' Menurut Salaf
Banyak orang yang keliru di dalam memahami istilah fiqhul waqi' yang dibawakan Ibnul Qayim tadi. Yang berbuntut timbulnya kesalahan di dalam menerapkannya. Sehingga menurut tanggapan mereka fiqhul waqi' itu identik dengan membolak-balik berita dan mendalami informasi-informasi bohong yang disebarkan musuh-musuh Islam.
Untuk itu akan kita paparkan contoh-contoh penerapan fiqhul waqi' menurut ulama, sekaligus untuk mengetahui hakekat fiqhul waqi' :
1)       Al-Allamah Ibnul Qayim berkata:
Sebagaimana saksi Nabi Yusuf dapat mengetahui bebasnya Nabi Yusuf dari tuduhan, karena kejujuran. beliau dengan koyaknya baju beliau di bagian belakang. Yaitu kisah Nabi Yusuf yang disebutkan dalam al-quran suratYusuf: 25-29 yang artinya:
Dan kedua-duanya berlomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang, hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu dimuka pintu. Wanita itu berkata:
"Apakah balasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau dihukum dengan azab yang pedih."
Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku kepadanya." Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu berkata (memberikan kesaksiannya):
"Jika baju gamisnya koyak didepan, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar."
Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, dia berkata: "Sesungguhnya kejadian itu adalah tipu dayamu. Sesungguhnya tipu dayamu adalah besar.
Hai Yusuf berpalinglah dari ini (rahasiakanlah peristiwa ini). Dan kamu (wahai isteriku) motion ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesunguhnya termasuk orang yang berbuat salah."
Coba lihat betapa tajam dan kuatnya firasat saksi dari keluarga wanita tersebut, sehingga dapat menetapkan al-haq dalam kasus itu.

2)       Al-Allamah Ibnul Qayim melanjutkan lagi:
Sebagaimana Nabi Sulaiman dapat menentukan ibu seorang anak yang diperdebatkan, dengan ucapan beliau:
"Berikanlah kepadaku sebilah pisau hingga aku dapat membelah dua anak ini bagi kalian."
Beliau mengisyaratkan kepada sebuah kisah dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasullulah bersabda:
Dahulu ada dua orang wanita bersama anak mereka berdua, lalu seekor serigala menerkam anak salah seorang dari mereka. Seorang berkata kepada temannya : "Serigala itu telah menerkam anakmu." Temannya menjawab: "Tidak. Bahkan serigala itu yang menerkam anakmu."
Kemudian mereka berdua berhukum (meminta keputusan hukum -red) kepada Nabi Dawud. Lalu Nabi Dawud memutuskan bahwa anak yang selamat itu adalah anak dari wanita yang tertua di antara keduanya.
Lalu keduanya berangkat ke Nabi Sulaiman (anak Nabi Dawud) dan menceritakan apa yang terjadi. Lalu Nabi Sulaiman berkata:
Datangkan sebilah pisau agar aku dapat membagi (membelah -red) dua anak ini bagi kalian berdua!"
Wanita yang muda berkata: "Jangan lakukan hal itu. -Semoga Allah merahmatimu- Anak itu adalah anaknya.".
Kemudian (dengan ucapan itu) Nabi Sulaiman memutuskan bahwa anak tersebut adalah anak (milik) wanita yang muda.[42]

Ibnul Qayim berkata:
"Nabi Sulaiman beralasan bahwa kerelaan wanita yang tua terhadap pembelahan (menjadi dua) anak itu menunjukkan bahwa ia ingin berbagi duka dengan wanita yang muda atas kehilangan anaknya.
Dan (Nabi Sulaiman) beralasan bahwa penolakan wanita yang muda serta rasa kasih sayangnya, menunjukkan bahwa ia adalah ibu anak tersebut. Indikasi itu merupakan bukti kuat bagi Nabi Sulaiman untuk menetapkan anak baginya tanpa menghiraukan pengakuan lisannya bahwa "anak itu adalah milik wanita yang tua".[43]
Demikianlah ketajaman firasat Nabi Sulaiman dalam mengungkap waqi'(realita) hingga beliau dapat menetapkan hukum dengan benar.
3)       Al-Allamah Ibnul Qayim melanjutkan contoh lainnya:
Sebagaimana Ali bin Abu Thalib dapat mengeluarkan kitab (surat rahasia) dari seorang wanita yang membawanya dari Hathib (seorang sahabat) tatkala wanita itu mengingkari telah membawanya; dengan ucapan beliau:
"Engkau keluarkan kitab tersebut, atau aku lepaskan pakaianmu."
Kisah lengkapnya dapat dilihat dalam shaih Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abu Thalib yang berkata:
Rasullulah mengutus aku, Abu Martsad dan Aj-Jubeir bin Awwam. Kami semua mengendarai kuda. Rasullulah bersabda:
"Berangkatlah kalian sampai ke Raudhatu-khokh, sebab di sana ada seorang wanita musyrik yang membawa kitab dari Hathib bin Abi Balta'ah kepada kaum musyrikin."
Kemudian kami mendapatinya (wanita itu) sedang menunggang untanya di tempat yang dikatakan Rasulullah tadi. Lalu kami berkata: "Serahkan kitab tersebut!" Ia berkata: "Aku tidak membawa kitab." Lalu kami tambatkan untanya dan kami periksa, namun kami tidak menemukannya. Kami berkata:
"Rasulullah pasti tidak berbohong. Keluarkanlah kitab tersebut atau kami akan melepaskan pakaianmu.
Maka tatkala ia melihat kesungguhan kami, ia merogoh tempat ikat pinggangnya (ia mengenakan ikat pinggang) lalu mengeluarkan kitab tersebut. Selanjutnya kami membawa kitab itu kepada Rasulullah. Umar berkata:
"Ya Rasulull'ah, ia (Hathib bin Abi Balta'ah) telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Biarkanlah aku menebas lehernya."
Nabipun bersabda kepada Hathib: "Apa yang mendorong engkau melakukan hal itu?" Hathib menjawab:
"Demi Allah, aku hanyalah seorang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah. Aku hanya ingin agar aku punya kekuatan untuk membela keluargaku di sana (Mekkah). Semoga Allah melindungi keluargaku dengan kekuatan tersebut. Dan setiap sahabat engkau (Nabi), pasti punya kekuasaan di sana, yang dengannya Allah melindungi keluarga dan hartanya."
Rasullulah menjawab: "Engkau benar, ia (Hathib) jangan kalian kornentari kecuali dengan kebaikan." [44]

Berdasarkan hadits ini, Ibnul Qayim berkata:
"Apabila seorang terdakwa mengaku pailit (tidak ada harta padanya), lalu penggugat berkata kepada hakim bahwa ada harta padanya dan penggugat meminta agar terdakwa diperiksa, maka wajib bagi hakim untuk memenuhinya, agar dapat mengembalikan barang kepada yang berhak."[45]
Coba lihat kedalaman dan keahlian para sahabat dalam mengambil tindaKan dalam situasi dan kondisi apapun. Sehingga mereka dapat memecahkan berbagai masalah dengan firasat (ilham dari Allah -red) dan pemahaman yang jernih.
Dari contoh-contoh di atas serta syarah (keterangan dan penjelasan) Ibnul Qayim, maka jelaslah bagi kita bahwa beliau berbicara tentang firasat yang dianugerahkan kepada seorang alim. (hakim, qadi atau mufti) tatkala dihadapkan kepada suatu kasus yang tidak ia dapati sebelumnya dan pada kondisi yang tidak dia ketahui sebelumnya.
Tidak sebagaimana yang disangka sebagian orang -tatkala mendapati Ibnul Qayim mendapati istilah tersebut- bahwa yang dimaksud dengan fiqhul waqi' adalah fiqhul waqi' yang mereka pahami dan mereka ada-adakan, yaitu membolak-balik majalah dan surat kabar serta memasang telinga di depan radio dan televisi.
Bukan demikian maksud Ibnul Qayim ... akan tetapi beliau berbicara tentang firasat para ulama mujtahidin. Oleh karena itu beliau memulai kitab ath-Thuruqul Hukmiyah fis Siyasah asy-Syariah, dengan pembahasan mengenai firasat seorang hakim dan qadi. Bahkan di sebagian naskah kuno kitab beliau tersebut berjudul al-Firasah al-Mardiyah fi Ahkamis Siyasah asy-Syar'iyyah.
Jadi seorang dapat dikatakan faqihul waqi' jika berkumpul padanya dua perkara yaitu ijtihad dan firasat. Sehingga dia adalah seorang ulama mujtahid dan memiliki firasat yang tajam dan jernih; Oleh karena itu tidak semua ulama dapat berbicara tentang fiqhul waqi'.
d.       Fiqh Waqi Yusuf Al-Qaradawi
Gagasan ijtihad fiqh realitas oleh Qaradhawi adalah usaha mengikuti jejak para ulama terkemuka dalam merespons perubahan realitas sebagai pertimbangan hukum. Di antara ulama yang turut menginspirasi gagasan beliau terkait fiqh al-waqi’ adalah Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Al-Qarafi, dan Ibnu ‘Abidin. Berikut ini, pokok- pokok pemikiran Qardhawi dalam menyikapi realitas sosial kekinian (fiqh al-waqi)[46]:
Pertama, fatwa hukum bisa berubah-ubah dipengaruhi oleh realitas sosial yang melingkupinya. Hal ini bukan kaidah yang baru, karena   para   ulama   terdahulu   dari   berbagai periode telah mempraktekannya, seperti Ibnu al- Qayyim, al-Qarafi, dan Ibnu ‘Abidin.[47]
Kedua, realitas sosial yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar kehidupan manusia  dan  mempunyai  pengaruh,  baik pengaruh positif maupun negatif.
Ketiga, sebelum diberikan suatu hukum tertentu,   realitas   sosial   kekinian   perlu   dikaji secara mendalam untuk mengetahui hakikatnya.
Keempat,  realitas sosial pada masa permulaan Islam perlu dipelajari dan dikaji untuk dijadikan model atau sampel dalam memahami karakter syari’ah Islam serta tujuan syari’ah. Istilah-istilah yang  digunakan  pada  masa  permulaan  Islam harus disesuaikan dengan pemahaman masa kini, seperti kata sha’,  mud, wisq,  qullah,  zira’, dirham, dinar, auqiyah, rathl, qinthar, dll.
Kelima, sebagai pengamalan realistisitas (waqi’iyyah)  Islam,  hukum  fikih  hendaknya bersifat realistis dalam arti tidak menyulitkan, namun memperhitungkan tingkat kemampuan mukallaf, sehingga jika pada keadaan tertentu seperti keadaan darurat hukum bisa berubah 180 derajat, seperti dalam keadaan darurat.
Keenam,  fikih realitas tidak berdiri sendiri, ia adalah kelanjutan dari metode istimbath  hukum (ushul fikih) yang telah berjalan selama ini. Ilmu ushul fikih klasik tidak banyak membahas mengenai peran realitas sosial dalam proses formulasi hukum fikih, sedangkan untuk ushul fikih   kontemporer   kajian  atas   realitas   sosial secara mendalam tidak bisa dikesampingkan.
Ketujuh, fikih realitas tidak mengesampingkan tekstualitas al-Qur`an dan sunnah, namun perlu adanya  keselarasan  antara  teks-teks  al-Qur`an dan sunnah dan esensi tujuan syari’at yang universal.[48]
Selanjutnya, konsep fikih realitas ini bertumpu pada  pemahaman  yang  jelas  mengenai fleksibilitas Islam (al-murunah; wilayah Islam yang bisa dinegosiasikan) dan mengenai yang konstan dalam Islam (as-sabat), yaitu dasar-dasar yang bersifat konstan dan tidak mungkin berubah dari masa ke masa (wilayah Islam yang tidak mungkin dinegosiasikan).[49]
Al-Qaradhawi menyadari bahwa realitas sosial mungkin  bisa  memberikan  pengaruh  posisitif bagi  kehidupan  manusia,  namun  ada kemungkinan pula ia memberikan pengaruh negatif. Oleh karena itu, perlu adanya verifikasi untuk menerima atau menolak realitas sosial yang sedang berjalan[50].
Menyikapi realitas yang bermata dua tersebut, al-Qaradhawi membatasi justifikasi realitas sosial yang dapat mempengaruhi produk hukum hanya berkisar pada wilayah ijtihad yang mencakup hal- hal   sebagai   berikut:   Pertama,    wilayah   yang posisinya tidak diketahui secara pasti dan meyakinkan melalui dalil al-Qur`an dan sunnah (qath’i  as-tsubût wa ad-dilâlah);  kedua, wilayah yang disebut oleh al-Qur`an secara mujmal; ketiga, wilayah yang didiamkan oleh al-Qur`an dan sunnah; keempat, wilayah yang bersifat juz`i (bagian-bagian/cabang-cabang hukum).[51]
Pada akhirnya, al-Qaradhawi menegaskan bahwa dalam fikih atau ushul fikih   lama,   realitas   sosial   yang   menyebabkan    perubahan   fatwa yaitu:
a.     Realitas Zamani;
Perubahan  zaman  (az-zamân).  Yang  dimaksud  dengan  perubahan zaman di sini bukanlah perubahan dari tahun yang satu ke tahu yang lain, namun yang dimaksudkan adalah perubahan perilaku manusia yang disebabkan oleh perubahan zaman.  Zaman di mana kita hidup saat ini tidak sama dengan zaman orang-orang yang hidup di masa lalu. Perubahan mungkin juga diartikan sebagai perubahan perilaku manusia dari perilaku yang baik menjadi jelek, dari jelek menjadi lebih   jelek,   dan   seterusnya.   Contoh   perubahan   fatwa   yang disebabkan karena perubahan zaman bisa dilihat dalam fatwa hukum mengenai   hukuman   bagi   peminum   khamr   (arak).   Pada   masa Rasulullah  tidak  ada  hitungan  cambukan  tertentu  bagi  peminum arak.  Kemudian  di  masa  Abu  Bakar  peminum  arak  dihukum  40 (empat   puluh)   kali   cambukan.   Pada  masa   Umar   bin  Khattab peminum arak dihukum dengan 80 (delapan puluh) kali cambukan. Yang cukup unik adalah bahwa di masa Ali bin Abu Thalib hukuman dikembalikan menjadi 40 (empat puluh) kali cambukan, padahal di masa Umar bin Khattab Ali lah yang mengusulkan agar peminum arak dicambuk 80 (delapan puluh) kali.
b.     Realitas Tempat;
Perubahan   tempat   (al-makân).   Tidak   bisa   dimungkiri   bahwa perbedaan tempat berpengaruh pula pada pola pikir dan perilaku, sehingga mengakibatkan pula perubahan dalam segi hukum. Dalam hal ini desa tentunya berbeda dengan kota, negara dengan musim dingin berbeda dengan negara dengan musim panas, seorang muslim yang  tinggal  di  negara  muslim  berbeda  dengan  yang    tinggal  di negara non-muslim, dll. Contoh dalam hal ini adalah dibolehkannya melakukan  tayamum  jika udara dalam keadaan  sangat dingin dan tidak mamungkinkan memanaskan air.
c.    Realitas Tradisi dan Adat Istiadat
Perubahan  tradisi (al-’urf).  Maksud dari ‘urf di sini adalah segala sesuatu  yang  menjadi  kebiasaan  dalam  kehidupan  manusia,  baik berupa perkataan ataupun perbuatan, baik ataupun buruk. Contoh mengenai hal ini bisa dilihat dari penetapan nishâb emas dan perak, di mana Rasulullah memberikan batas nishâb emas sebesar 20 Dinar (85 gram) perak sebesar 200 Dirham (595 gram). Pada saat itu, nilai 20 Dinar  emas  setara  dengan  nilai  200  Dirham  perak  dan  nishâb  disandarkan pada hal itu. Namun ketika tradisi manusia berubah, di mana  harga  perak  menurun  dibandingkan  harga  emas,  sehingga nishâb dengan mengunakan  standar emas senilai 10 (sepuluh) kali lipat dibanding  nishâb  dengan  menggunakan  standar  perak,  maka yang paling tepat untuk saat ini adalah menggunakan standar emas sebagai  nishâb.  Demikian  ini dikarenakan  memiliki  85 gram emas lebih pantas dianggap kaya secara syar’i dari pada memilki 595 gram perak.
d.    Realitas Kepribadian Pelaku Hukum
Perubahan pada kepribadian pelaku hukum mengakibatkan perubahan  pada paradigma   berpikir   (ar-ra’yu   wa   al-fikr).   Dengan terbukanya dunia saat ini menyebabkan  mudahnya akses informasi dan intensifnya pola interaksi antar individu. Hal itu terkadang bisa berpengaruh  cara pandang  dan pola pikir seseorang  sehingga  bisa bergeser, dari cara pandang yang serba mempersulit menjadi lebih memberikan kemudahan-kemudahan, dari   paradigma tekstualis menjadi  paradigma  maqâsid,  yang pada akhirnya  merubah metodologi.  Hal paling  kentara  dalam  hal ini diwakili  oleh Imam Syafi’i yang mempunyai dua qaul, yaitu qaul qadîm dan qaul jadîd.
e.    Realitas Niat dan Motif
Perubahan  realitas niat dan motif dapat dicontohkan seperti kisah   ketika   ada   seseorang   datang   kepada   Ibnu   Abbas menanyakan  mengenai  taubatnya  si  pembunuh,  apakah  diterima atau tidak? Kepada orang tersebut Ibnu Abbas mengatakan  bahwa taubatnya pembunuh tidak akan diterima oleh Allah. Ketika orang yang  bertanya  tersebut  telah  pergi,  salah  seorang  sahabat  Ibnu Abbas  berkomentar:  “kami  sebelumnya  mendengar  darimu  tidak seperti  itu”.  Lalu  Ibnu  Abbas  menjawab:  “ketika  aku  melihat mukanya,  terlihat  olehku  dia sedang  marah  dan ingin  membunuh seorang mukmin”. Jika seandainya yang datang kepada Ibnu Abbas adalah  orang yang telah membunuh  orang lain lalu menyesal  dan ingin bertaubat tentunya Ibnu Abbas akan mengatakan bahwa pintu taubat masih terbuka.[52]
e.       Kritik Terhadap Fiqh Waqi Yusuf Al-Qaradawi
1.  Kelemahan Tatabbu‘ ar-Rukhash
Apa yang digagas al-Qaradhawi sebagai fiqh taysîr, dalam ungkapan para ahli ushul fikih, disebut dengan tatabbu’ ar-rukhash. Maksudnya bukanlah mengikuti rukhshah (keringanan), seperti berbuka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan, tetapi mengambil pendapat yang teringan di antara hukum-hukum syariat ketika terjadi perbedaan pendapat (Abdullah, 1995: 376). Az-Zuhaili mengungkapkan istilah ini dengan ungkapan ikhtiyâr al-aysar (memilih pendapat termudah) (Az-Zuhaili, 1996: 39). Misalnya, seseorang mengambil pendapat bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudlu (mazhab Hanafi), seraya meninggalkan pendapat bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudlu (mazhab Syafi’i). Hal ini serupa dengan manhaj al-Qaradhawi yang selalu menekankan prinsip kemudahan dan keringanan. Dalam contoh di atas akan terlihat jelas manhaj al-Qaradhawi ini.
Di antara ulama ushul telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah tatabbu’ ar-rukhash. Menurut Muhammad Husain Abdulah dalam Al-Wâdhih fî Ushûl al-Fiqh (hlm. 376), dalam masalah ini ada 3 pendapat: Pertama, ada ulama yang melarang tatabbu’ rukhash, seperti Imam Ahmad (dalam satu riwayatnya), Abu Ishaq al-Marwazi, Imam asy-Syatibi, Imam al-Ghazali, ulama Hanabilah, dan ulama Malikiyah (Az-Zuhaili, 1996: 40). Tatabbu’ rukhash dilarang karena merupakan kecenderungan berdasarkan hawa nafsu, sedangkan syariat melarang mengikuti hawa nafsu. Selain itu, jika ada perbedaan pendapat, wajib dikembalikan pada syariat dengan jalan tarjîh (memilih pendapat dengan dalil terkuat), bukan memilih sesuka hati
2. Kekeliruan Kaidah Perubahan Hukum (Taghayyur al-Ahkâm)
Memang, ada kaidah dalam kitab kodifikasi undang-undang Daulah Utsmaniyah, yakni Majallah al-Ahkam Al-Adliyah, pasal 39, yang berbunyi: Lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyur az-zamân (Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman) (Az-Zuhaili, 2001: 1181). Kaidah ini sebenarnya sangat lemah, lagipula sering disalahpahami, seakan-akan faktor satu-satunya yang mengubah hukum adalah zaman; atau semisalnya seperti tempat, kondisi, dan adat. Padahal, dengan mencermati kitab I‘lâm al-Muwaqqi‘în, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, yang sering dirujuk sebagai sumber kaidah ini, akan jelas bahwa duduk perkaranya tidaklah demikian. Yang benar, perubahan hukum itu terjadi karena adanya nash itu sendiri, yang menunjukkan perubahan hukum, bukan karena faktor waktu, zaman, dan sebagainya (Sa’id, 1995: 309). Waktu dan tempat tidak dapat mengubah hukum jika tidak ada nash yang menunjukkan perubahan hukum. Ibnu Qayyim mencontohkan, Rasulullah saw. tidak menjatuhkan hukum potong tangan pada saat perang. Tindakan Rasul itu bukan karena perang itu sendiri, tetapi karena ada nash lain yang menetapkan tidak dilaksanakannya hukum potong tangan pada saat perang (Al-Jauziyah, 2000:463).
3. Menjustifikasi Realitas yang Rusak.
Pendapat fikih yang keliru dan lemah pada dasarnya masih tergolong pendapat Islami (ar-ra’yu al-islâmî), selama masih berlandaskan dalil atau syubhah ad-dalîl (dalil syariat yang lemah) seperti al-Istihsân, al-Mashâlih al-Mursalah, atau konsep tatabbu’ ar-rukhash. Namun, mungkin orang lupa, bahwa dulu ketika para ulama mencetuskan pendapat-pendapat itu, mereka hidup dalam masyarakat Islami dan dalam Daulah Khilafah Islamiyah sehingga pendapat-pendapat mereka dapat dinilai sebagai opini intelektual murni yang tidak akan menimbulkan suatu bahaya (mudlarat), karena mereka hidup dalam suasana kehidupan Islami. Para ulama semata-mata berijtihad, bukan melakukan justifikasi terhadap penyimpangan agama. Ini jelas berbeda dengan fiqh al-wâqi‘ gagasan al-Qaradhawi, yang lahir di tengah masyarakat yang tidak Islami, dalam sistem kehidupan yang dicengkeram oleh sistem demokrasi sekular yang kufur. Gagasan seperti ini sangat berbahaya, kontraproduktif, dan sulit diterima akal sehat. Sebab, yang seharusnya dilakukan umat Islam justru menghancurkan sistem sekular yang ada, karena sistem itu adalah thâghût yang wajib diingkari. Jelas pendapat seperti ini sangat berbahaya. Sebab yang seharusnya dilakukan umat Islam justru mengubah sistem demokrasi sekuler yang ada ini dengan sistem Islam ajaran Rasulullah saw.
f.        Syarat Dan Batasan Fiqhul Waqi'
Asy-Syekh Abul Hasan al-Mishri telah mencantumkan beberapa syarat dan batasan bagi fiqhul waqi' ini dalam silsilah fatawa syar'iyyah beliau. Di antaranya:
a)    Mengetahui kabar-kabar (informasi tentang waqi' tertentu) dari sumber yang benar (yang dapat dipercaya kebenarannya). Tidak cukup dengan sumber-sumber berita yang palsu. Yang hari ini mengatakan suatu ucapan, besok dibantah sendiri.
b)    Yang menangani berita-berita waqi' tersebut adalah sebagian kecil dari umat, dan selebihnya terus tetap menuntut ilmu syar'i atau yang lainnya, yang dapat mendatangkan manfaat bagi umat. Dan bagi mereka yang menangani, jika mereka ada kemauan untuk menuntut ilmu, maka hendaknya mereka mendahulukan menuntut ilmu. Apalagi jika mereka memiliki kecakapan dan kecerdasan.
c)    Hanya saja yang menangani berita-berita waqi' ini adalah orang-orang yang tidak mempunyai keseriusan menuntut ilmu syar'i. Dan seorang insan hendaknya beramal di bidang yang dengannya ia dapat sukses.
d)    Mereka yang menanganinya harus memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah seperti: permusuhan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap umat ini; bahwa syirik dan bid'ah dapat meruntuhkan dien ini; bahwa dosa syirik itu ada tingkatannya dan bid'ah juga demikian. Bahwa mayoritas kerapkali menimbulkan mudharat dan tidak bermanfaat; bahwa dienul Islam adalah dienullah yang tidak diterima dari seorangpun, kecuali al-Islam. Bahwa kemenangan adalah bagi al-Islam. Tidak bagi yang lainnya, walaupun dalam jangka waktu yang panjang. Bahwasannya perselisihan itu tercela. Dan kejahilan/kebodohan tentang agama adalah senjata utama musuh-musuh kita. Bahwasannya pemahaman salaf terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah jaminan keselamatan. Barangsiapa yang tidak memiliki prinsip-prinsip dengan jelas, maka dikhawatirkan ia akan menyimpang bersama gemerlapnya ucapan musuh-musuh Allah.
e)    Bahwa mereka yang menangani berita-berita tidak menyendiri dalam berfatwa', dengan hanya berdasarkan niakuinat yang mereka terima. Akan tetapi mengembalikan seluruhnya kepada ulama. Merekalah (para ulama) yang akin menangani din mengeluarkan fatwa berdasarkan kekokohan/ kedalaman ilmu mereka, disertai penelaahan maklumat tersebut.
f)      Masalah fiqhul waqi' ini harus ditempatkan sesuai dengan porsinya di tengah-tengah masalah-masalah ilmiyah lainnya, sesuai dengan timbangan syar'inya berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas tadi. Tidak dikatakan la fardu ain yang paling penting! sebab ia hanyalah fardlu kifayah dan tidak pula dikatakan bid'ah.
Demikianlah enam point yang disebutkan oleh Syeikh Abul Hasan al-Mishri sebagai ketentuan -bagi mereka yang menangani berita-berita waqi'. Hal ini adalah amat penting, agar mereka tidak salah kaprah, lalu terjerumus ke dalam sikap ghuluw(berlebih-lebihan) dalam masalah ini.
C.     Hubungan Antara Metode Ijtihad Istislahi dengan Fiqhul Waqi.
Sebagaimana yang telah di paparkan diatas bahwa perkembangan masyarakat telah mengakibatkan masalah hukum pun berkembang sehingga diperlukan beberapa metode pendekatan pemahaman hukum Islam yang terdapat pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Pendekatan tersebut telah melahirkan beberapa metode ijtihad yakni ijtihad ta’lili, ijtihad bayani dan ijtihad istishlahi.
Tiga bentuk maslahat yang diungkapkan oleh ulama seperti; maslahah mu’tabarah yang  merupakan kemaslahatan yang didukung oleh syara’, dengan dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Yang oleh para ulama bersepakat bahwa kemaslahatan seperti ini dapat dijadikan hujjah dalam  menetapkan  hukum.  Menurut  Mustafa Dib al-Bugha, kemaslahatan semacam ini termasuk dalam metode qiyas. Selanjutnya maslahah  mulghah merupakan kemaslahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentangan dengan ketentuan syara’ itu sendiri. Oleh karenanya, kemaslahatan semacam ini oleh para ulama ushu sepakat untuk menolaknya, dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Terakhir maslahah   mursalah.    yakni  kemaslahatan yang  keberadaannya  tidak  didukung  syara’  dan juga  tidak  ditolak  oleh  syara  melalui  dalil-dalil yang terperinci. Disebut sebagai suatu maslahah, karena hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah ini, dapat menghindarkan mukallaf dari suatu bahaya atau kerusakan, tetapi sebaliknya maslahah tersebut, akan mendatangkan kemanfaatan dan kebaikan bagi mukallaf. Demikian halnya, disebut mursalah  karena Syari’ tidak menyetujuinya melalui dalil-dalil khusus, demikian juga tidak menolak secara terang- terangan.
Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya. Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi.
Intinya bahwa metode penemuan hukum  dengan istislahi terfokus pada masalah yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu itibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Istislahi merupakan cara penemuan hukum yang berdiri sendiri, yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, „urf dan kaidah raf al-harj wa al-masyaqqat.
Dengan terbukanya proses ijtihat secara istislahi tersebut dalam menjawab persoalan hukum dalam masyarakat yang berkembang, telah melahirkan suatu metode menjawab permasalahan hukum pada masyaraka. Salah satu diantaranya adalah fiqh waqi atau dikenal juga dengan fiqh realita yang berusaha memahami realitas dalam menetapkan suatu hukum.
Pemikiran yang awal dikembangkan oleh Ibnulqayim dan dilanjutkan oleh Yusuf al-Qaradawi ini ini mencoba melahirkan produk hukum melalui pengamatan terhadap realitas masyarakat kekinian. Dengan demikian hukum dapat berkembang dan berubah sesuai dengan kondisi realitas lingkungan masyarakat dimana hukum tersebut berlaku.  Fiqh ini boleh dikatakan lahir melalui proses ijtihad istislahi yang bersandar pada kemaslahatan ummat.
Meski pemikiran ini banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan ulama yang mengkhawatirkan bahwa kecendrungan dalam melihat realita dikhawatirkan menimbulkan image bahwa kita memudah-mudahkan persoalan agama. Selanjutnya dengan fiqh realitas dikhawatirkan hukum lebih memihak realitas masyarakat dari pada esensi hukum itu sendiri. Karena bukan tidak mungkin realita yang akan membentuk hukum bukan hukum yang membentuk realita.
BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan tulisan diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan:
1.    Ijtihadul Istislahi adalah metode penetapan hukum islam yang berdasar pada kemaslahatan. Fokus Metode ini pada masalah yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu itibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Istislahi merupakan cara penemuan hukum yang berdiri sendiri, yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, „urf dan kaidah raf al-harj wa al-masyaqqat.
2.    Fiqhul Waqi adalah metode dalam mengambil kesimpulan hukum pada satu persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat dengan cara melihat realita. Bahwa kita takakan bias membuat suatu produk hukum yang baik dan berkeadilan tampa melihat realita yang ada. Dalam metode fiqhul waqi mestilah berkumpul padanya dua perkara yaitu ijtihad dan firasat. Sehingga dia adalah seorang ulama mujtahid dan memiliki firasat yang tajam dan jernih.
Dalam menghasilkan hukum fiqhul waqi’ dapat dipengaruhi oleh beberapa realitas, yakni; realitas zaman, realitas tempat, realitas tradisi atau urf, realitas kepribadian pelaku hukum dan realitas niat dan motif.
3.    Fiqhul waqi adalah salah satu poduk dari hasil metode ijtihad istislahi yang bertolak dari hal kemaslahatan.












DAFTAR PUSTAKA

1.      Abdu al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1982 )
2.      Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabiah, Adillat al-Tasyri al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha, Muassasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979.
3.      Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al- Ala al-Indonesi li al-Dawat al-Islamiyyyat, Jakarta, 1972
4.      Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
5.      Al-Ghazali, al-Mustahasfa minIlmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein, Kairo, tt,
6.      Ali Hasaballah, Ushul Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976)
7.      Al-Syathibi, al-ITisham, yang suting oleh Fathurrahman Djamil,
8.      Al-Syatibi, al-I’tisham, (Riyad: Maktabah Riyad al-Hadisah, t.th.)
9.      Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Cairo: Mustafa Mahmud, t.th)
10.   Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Cet. V; Jakarta: Prenada Media Group, 2009)
11.   Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syalabi, (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1996)
12.   Husain Hamid Hassan, Nadhariyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamy (Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971)
13.   Ibnu Hajar Astqolani, Fathul Bari,
14.   Ibnul Qayim Al-Jauziyah,Thuruqul Hukmiyah.
15.   Ibnul Qayim Al-Jauziyah, I'lamul Muwaqqi'in Juz 1. Terj. Asep Saefullah FM, Kamaluddim Sa'diyatulharamain, (Pustaka Azzam, Jakarta, 2000)
16.   Moh. Nur Salim, Fikih Realistis, (t.tp.:HatiNUraniPress, 2009)
17.   Muhammad Mustafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1981)
18.   Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Mujallad al-Awwal, (Cet. I; Beirut: Dar al-Nafais, 2000)
19.   Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabit  al- Maslahah fi al-Syariah  al-Islamiyah, cet IV (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005)
20.   Mustafa  Dib  al-Bugha,  Atsar  al- Adillah al-Mukhtalaf Fiha fi  al-Fiqh  al-Islamy, cet. IV (Damskus: Dar al-Qalam, 2007)
21.   Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia, 1999)
22.   Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1980)
23.   Yusuf al-Qaradhawi, Al- Sunnah:   Mashdaran   li   al-Ma’rifah   wa   al-Hadharah, (Surabaya: Danakarya, 1997)
24.   Yusuf Al-Qaradhawi,  Madkhal   li  Dirasah   asy-Syari’ah   al-Islamiyyah,  (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001).
25.   Yusuf Al-Qaradhawi, Taysir al-Fiqh al-Islamī, terjemah, Zuhairi Misrawi, M. Imdadun Rahmah, (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 2001).








[1] Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Mujallad al-Awwal, (Cet. I; Beirut: Dar al-Nafais, 2000), h. 54-55.
[2] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1980), h. 115-126.
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 298
[4] Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, op. cit., hlm. 55.
[5] Muhammad Mustafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1981), hlm. 14-15.
[6] Ibid.
[7] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syalabi, (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1996), hlm. 133
[8] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Dimasyq: al-Maktabah al-Amawiyyah, 1969), hlm. 23.
[9] Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Mujallad al-Tsani, (Cet. I; Beirut: Dar al-Nafais, 2000), hlm. 1809.
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Cet. V; Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm. 343-344.
[11] Ibid.
[12] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buti, Op. Cit., hlm. 45-59.
[13] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Cairo: Mustafa Mahmud, t.th), hlm. 37.
[14] Husain Hamid Hassan, Nadhariyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamy (Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971), hlm. 3-4.
[15] Mustafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf Fiha fi  al-Fiqh  al-Islamy, cet. IV (Damskus: Dar al- Qalam, 2007), hlm. 32
[16] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabit  al- Maslahah fi al-Syariah  al-Islamiyah, cet IV (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), hlm. 131-260.
[17] Mustafa  Dib  al-Bugha,  Atsar  al- Adillah al-Mukhtalaf Fiha fi  al-Fiqh  al-Islamy, cet. IV (Damskus: Dar al-Qalam, 2007), hlm. 35.
[18] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,  (Jakarta: Al-Majlis al-Ala al-Indonesia 1972),  hlm. 84
[19]  Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia, 1999), hlm. 117
[20] Dalam kajian ilmu Ushul Fiqh “al-maslahat al-mursalah” adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh al-Syari sebagai  dasar penetapan  hukum, tidak pula ada dalil syari yang menyatakan keberadaannya atau keharusan meninggalkannya. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al- Ala al-Indonesi li al-Dawat al-Islamiyyyat, Jakarta, 1972, hlm. 84.
[21] Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabiah, Adillat al-Tasyri al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha, Muassasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M, hlm. 221.
[22] Dalam karangan al-Syathibi, al-ITisham, yang suting oleh Fathurrahman Djamil, Op.Cit, hlm. 142
[23] Al-Ghazali, al-Mustahasfa min „Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein, Kairo, tt, hlm. 364-367.
[24] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buti, Op. Cit., hlm. 45-59.
[25] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Cairo: Mustafa Mahmud, t.th), hlm. 37
[26] Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, Op., Cit., hlm. 1810.
[27] Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 351
[28] Husein Hamid Hasan, Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Mesir: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1971), hlm. 15.
[29] Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, Loc. Cit.
[30] Husein Hamid Hasan, Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Mesir: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1971), hlm. 15
[31] Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 353
[32] Asafri Jaya Bakri, Op. Cit., hlm. 145
[33] Husein Hamid Hasan, Op. Cit., hlm. 17
[34] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Op. Cit., hlm. 39.
[35] Abdu al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1982 ), hlm. 84
[36] Ali Hasaballah, Ushul Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976), hlm.162
[37] Al-Syatibi, al-I’tisham, (Riyad: Maktabah Riyad al-Hadisah, t.th.), hlm. 124-134.
[38] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, Cet. 1, Pustaka Setia, Bandung, 1999.hlm. 117.
[39] Al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 310.
[40] Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabiah, Op. Cit., hlm. 222.
[41] Lihat Ibnul Qayim Al-Jauziyah, I'lamul Muwaqqi'in Juz 1, hlm. 78.
[42] Ibnu Hajas Astqolani, Fathul Bahri , hlm, 12/56.
[43] Ibnul Qayim Al-Jauziyah, Thuruqul Hukmiyah, hlm 5
[44] Ibnu Hajar Astqolani, Fathul Bari, no hadits 3081
[45] Ibnul Qayim Al-Jauziyah, Op., Cit., hlm. 9
[46] Qaradhawi menyebutkan kata fiqh al-waqi dalam kitabnya yang berjudul Al-Sunnah:  Mashdaran  li al- Ma’rifah  wa   al-Hadhârah   namun  tidak  membahas secara   luas,   hanya   dijelaskan   dalam   beberapa paragraf saja. Beliau juga tidak menulis buku yang berjudul fiqh al-waqi. Dalam hal ini, Moh. Nur Salim, dalam tesisnya yang telah dipublikasikan dalam judul Fikih   Realitas   mencoba   mengumpulkan   tulisan- tulisan Qaradhawi mengenai fiqh al-wâqi yang “tercecer” di berbagai buku, majalah, website, dll. untuk dijadikan satu kesatuan pemikiran Qaradhawi yang utuh dan komprehensif. Yang dimaksudkan dengan realitas adalah segala yang ada di sekitar kehidupan manusia dan mempunyai pengaruh, baik pengaruh positif maupun negatif; baik mengenai realitas alam, iklim, keadaan suatu tempat, atau kepribadian seseorang; baik mengenai realitas kaum muslimin atau para non-muslim. al-Qaradhawi, Al- Sunnah:   Mashdaran   li   al-Ma’rifah   wa   al-Hadharah, (Surabaya: Danakarya, 1997), hlm. 292.
[47] Dalam  pandangan al-Qaradhawi, ada  10  hal  yang dapat menjadikan faktor perubahan fatwa, yaitu: perubahan situasi dan kondisi (al-ħal  ), perubahan zaman (az-zaman), perubahan tradisi (al-’urf), perubahan tempat (al-makan), perubahan paradigma berpikir (ar-ra’yu wa al-fikr), perubahan tingkat kemampuan dan kemungkinan (al-qudrat  wa al- imkanat, perubahan kebutuhan manusia (hajat an-nas), perubahan situasi dan kondisi kehidupan (al-audha’ al-hayatiyyah,   sesuatu yang sukar dielakkan (umum al- balwa). Lebih jelas, buka (www.qaradawi.net) diakses, 18 Mei 2015.
[48] Moh. Nur  Salim, Fikih Realistis, (t.tp.:HatiNUraniPress, 2009), hlm. 82
[49] Al-Qaradhawi, Madkhal li Dirasah  asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), hlm. 243.
[50] Qaradhawi, Taysir al-Fiqh al-Islamī, terjemah, Zuhairi Misrawi, M. Imdadun Rahmah, (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 2001), hlm. 288.
[51] Moh. Nur Salim, Log., Cit.
[52] Al-Qaradhawi   lebih  suka  menggunakan   ungkapan  “perubahan   fatwa”  sebagaimana digunakan   oleh  Ibnu  al-Qayyim   daripada  ungkapan   “perubahan   hukum-hukum”   yang digunakan  oleh majalah al-ahkâm  al-‘adliyyah  dengan dua alasan. Pertama,  penyebutan kata “hukum-hukum”  termasuk soal nash dan ijtihad serta qath’i dan Ŝanni di dalamnya. Meskipun  di sana pasti ada hukum-hukum  yang yang tidak bisa berubah  dan tidak boleh diganti,  yaitu  hukum-hukum   nash  yang  qath’i  dalam  penetapan  dan  pengambilannya sebagai dalil. Kedua, perubahan hukum bukan hanya karena perubahan zaman, tetapi juga karena  tempat  dan  keadaan  sebagaimana  telah  diungkapkan  oleh  Ibn al-Qayyim.  Maka penggunaan istilah “perubahan fatwa” di sini jelas lebih benar (al-Qaradhawi,  2001: 114). Dalam wawancara  dengan TV al-Jazirah,  2007, al-Qaradhawi  mengatakan  lebih jelas lagi mengenai  perbedaan  hukum  syar’i  dengan  fatwa.  Menurutnya,   hukum  syar’i  adalah perintah  Allah  (khithab  allah)  yang berhubungan  dengan  perilaku  mukallaf,  baik untuk melakukan, meninggalkan,  atau memilih sesuatu. Dalam hal ini hukum tersebut ada lima, yaitu wajib, haram, mustahab, makruh, dan mubah. Sedangkan fatwa adalah tanazzul al- ħukm (menurunkan/memberikan hukum) atas suatu realitas (www.qaradawi.net).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...