Jumat, 26 Juni 2015

IJTIHAD ISTISHLAHI DALAM CATATAN SEJARAH

IJTIHAD ISTISHLAHI DALAM CATATAN SEJARAH
Oleh: MASRIZAL


A.  Latar Belakang Masalah
Semua umat Islam sepakat bahwa sumber hukum Islam yang pertama adalah al-Qur’an. Adapun sumber hukum yang kedua adalah al-sunnah yang merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat dari kehidupan Rasulullah. Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam al-Qur’an adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya.
Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Nabi kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Dalam melakukan ijtihad, para sahabat waktu itu tidak mengalami problem metodologis apapun karena bila mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi dengan Nabi. Pada masa ini ijtihad masih sangat terbatas terutama pada masalah-masalah keperdataan.
Keadaan demikian tiba-tiba berubah setelah Rasulullah wafat. Sejak itu para sahabat mulai dihadapkan pada masalah-masalah baru dan krusial terutama tentang siapa yang pantas menggantikan Nabi untuk memimpin umat dan kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara’. Satu-satunya pilihan bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada al-Quran, hadis, dan tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka saksikan.
Setelah periode tersebut, muncullah sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan politik tempat mazhab hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Wahyu Allah yang salah satunya berisi tentang hukum Islam telah berhenti sejak empat belas abad yang lalu. Wahyu tersebut telah final dan berhasil diabadikan hingga sekarang dalam bentuk mushaf al-Qur’an dan kitab-kitab hadis. Namun demikian, peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di masyarakat tidak pernah berhenti. Untuk menggali hukum dari peristiwa yang baru muncul pada setiap zaman tersebut dibutuhkan sebuah ijtihad. Ijtihad pada periode klasik dimulai pada akhir masa shahabat dan dilanjutkan pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in. Hanya saja, ijtihad pada periode sahabat belum dapat dikatakan sebagai alat penggali hukum karena keputusan masih di tangan Rasulullah.

B.  Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam al-Qur’an ataupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangaaun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan oleh para ahli agama Islam.
Secara bahasa, kata ijtihad memiliki beberapa makna. Menurut Louis Makhluf, ijtihad berasal dari kata kerja (fi’il) jahada, yajhadu, dan bentuk mashdar-nya jahdan yang berarti pengerahan segala kasanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Atau bisa juga bermakna bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan. [1] Ada juga yang berpendapat bahwa ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari situ, ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna pengerahan daya dan kekuatan atau pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.[2]
Adapun ijtihad secara istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli Ushul Fiqih adalah pengerahan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad ialah untuk mengeluarkan hukum syara’ dan ia tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlak.[3]
Al-Syaukani merumuskan bahwa ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan metode istinbath.[4] Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ijtihad ialah mencurahkan daya kekuatan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci.[5]
Dengan demikian, adapun pengertian ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu.
Walaupun definisi ijtihad di atas redaksinya berbeda-beda, namun pada prinsipnya mereka sepakat bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak. Sejak terkodifikasinya ilmu Ushul Fiqih oleh Imam al-Syafi’i, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fiqih dan Ushul Fiqih, padahal istilah ijtihad pada masa Rasulullah dan sahabatnya, dipergunakan pada hampir semua aspek ilmu pengetahuan. Meskipun pada masa itu istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga, namun pada masa tabi’in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari qiyas, istishlah, istihsan, maslahah mursalah dan sebagainya.[6]

C.  Sejarah Perkembangan Pada Masa Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mazhab

1.    Ijtihad Pada Masa Nabi
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah boleh bagi Nabi Saw menetapkan hukum dengan ijtihad dalam kasus perkara yang tidak ada nashnya, atau sebaliknya? Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila dihadapkan pada suatu peristiwa hukum, Nabi Saw diperintah untuk menunggu wahyu, kecuali bila dikhawatirkan momen peristiwa hukum itu berlalu, dan diperintahkan ijtihad apabila Nabi tidak diberi wahyu.[7]
Ijtihad yang dilakukan Nabi Saw terbatas pada proses qiyas. Apabila beliau menetapkan ijtihadnya, maka hal itu merupakan dalil yang sudah pasti keabsahannya karena beliau tidak akan menetapkan kesalahan, dan oleh karena itu tidak boleh berbeda dengannya sebagaimana diperbolehkan berbeda dengan para mujtahid lainnya. Ulama Hanafiyah menganggap bahwa ijtihad Nabi ini merupakan salah satu bentuk wahyu dan mereka menyebutnya sebagai wahyu batin. Kebanyakan ahli ushul berpendapat bahwa Nabi Saw diperintahkan berijtihad secara mutlak dengan tanpa terikat menunggu wahyu. Ulama Asy’ariyah, kebanyakan ulama Mu’tazilah, dan ulama Mutakallimin (ahli teologi) berpendapat bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa beliau berijtihad dalam menentukan strategi dan hal-hal yang berhubungan dengan peperangan saja.[8]
Dalil mazhab yang dipilih  adalah bahwa ijtihad Rasulullah terjadi dalam hal-hal yang berhubungan dengan penentuan hukum syariat dan dalam hal-hal yang berkaitan dengan peperangan. Adapun ijtihad yang berkaitan dengan hal-hal dalam peperangan ditunjukkan oleh firman Allah Swt:
$xÿtã ª!$# šZtã zNÏ9 |MRÏŒr& óOßgs9 4Ó®Lym tû¨üt6tGtƒ šs9 šúïÏ%©!$# (#qè%y|¹ zMn=÷ès?ur šúüÎ/É»s3ø9$# ÇÍÌÈ
Artinya:
Semoga Allah mema’afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (Q.S Al-Taubah [9]: 43).

Firman itu adalah teguran kepada beliau atas izinnya kepada sekelompok orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam perang Tabuk. Secara pasti izin ini tentu tidak berasal dari nash, sebab jika izinnya didasarkan pada nash, maka Nabi tidak ditegur, tetapi berasal ijtihad.
Firman Allah yang lain:
Ÿwöq©9 Ò=»tGÏ. z`ÏiB «!$# t,t7y öNä3¡¡yJs9 !$yJÏù öNè?õs{r& ë>#xtã ×LìÏàtã ÇÏÑÈ
Artinya:
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar Karena tebusan yang kamu ambil. (QS. Al-Anfal [8]: 68).

Firman ini turun sebagai teguran atas persetujuan beliau terhadap pendapat Abu Bakar dan sahabat lainnya dalam penerimaan tebusan dari tawanan-tawanan perang Badar.
Adapun ijitihad Nabi dalam hukum-hukum syara’, maka (keberadaannya) ditetapkan oleh sabda beliau Saw. Di waktu haji wada’ (haji perpisahan):
لَوِاسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِى مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا أُهْدِيْتُ، وَلَوْ لاَ أَنَّ مَعِي الْهَدْيَ لأَحْلَلْتُ.[9]
Artinya:
Kalau terjadi lagi masalahku ini yang sudah lewat, aku tidak membawa hewan Sembelihan (di waktu ihram) dan kalau aku tidak membawa hewan sembelihan ini tentu aku telah bertahallul. (HR. Tirmidzi).

         Menggiring hewan sembelihan termasuk amalan-amalan haji dan Nabi telah melakukannya dengan ijtihad yang tidak ada nashnya, sebab kalau tidak, maka tidak ada artinya bagi penyesalan atas perbuatannya.
Diriwayatkan dari Ummi Salamah, beliau berkata: “Dua orang Anshar telah datang kepada Nabi Saw dalam perkara warisan yang sudah lama (diperebutkan oleh) keduanya. Maka Nabi bersabda:
إنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَ إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ إِلي وَ إِنَّمَا أَقْضِى بِرَأْيِي فِيْمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَيَّ فِيْهِ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّ أَخِيْهِ فَلاَ يَأْخُذْهُ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ يَأْتِى بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى عُنُقِهِ.[10]
Artinya:
Sesungguhnya aku adalah manusia biasa dan kamu mengadu kepadaku. Hanyasaja aku akan memutuskan hal-hal yang wahyu  belum turun kepadaku dengan pendapatku (sendiri), maka barangsiapa yang aku tetapkan baginya dengan sesuatu dari hak saudaranya kemudian orang itu tidak mengambilnya, maka aku memberinya sepotong api yang kelak di hari kiamat dia akan membawanya di atas lehernya. (HR. Al-Tirmidzi).

Adapun orang-orang yang menolak bahwa Nabi melakukan ijtihad mengemukakan dalil, firman Allah:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. Al-Najm [53]: 3-4)

Mengenai diperbolehkannya ijtihad bagi selain Rasulullah pada masa beliau masih hidup, para ahli ushul berselisih pendapat pendapat yang kuat menyebutkan bahwa hal itu diperbolehkan. Dalil yang menunjukkannya adalah terjadinya praktek ijtihad sebagaimana terdapat dalam hadis Muadz yang popular dikalangan umat dan mereka dapat menerimanya. Pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadis atau sunnah. Begitu pula selanjutnya setelah masa Nabi, apabila para sahabat menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka, dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka mencari jawabannya dalam al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadist Nabi, dan apabila mereka belum menemukan juga jawabannya dari kedua sumber tersebut, maka mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mencari titik kesamaam dari suatu kejadian yang dihadapi dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadis. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan ummat” yang menjadi dasar penetapan hukum syara’.[11]
Dengan cara seperti itulah Muadz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog di antara keduannya sewaktu Muadz diutus oleh Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan qadhi. Nabi berkata: “Bagaimana cara anda menetapkan hukum bila kepada anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?” Muadz menjawab: “Aku menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah.” Kemudian Rasullah bertanya lagi: “Bila anda tidak menemukan jawabannya dalam kitab Allah? Muadz pun menjawab: “Aku menetapkan hukum dengan sunnah Nabi.” Rasulullah kembali bertanya: “Bila dalam sunnah tidak ditemukan juga?” Muadz menjawab: “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah dalam ijtihadku”. Jawaban muadz dengan urut-urut seperti itu mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad Saw. Ini berarti konsep ijtihad boleh dilakukan ketika kedua sumber hukum tersebut yakni al-Qur’an dan al-hadis tidak ditemukan hukum secara rinci menjelaskan jawaban terhadap suatu masalah.[12]

2.    Ijtihad Pada Masa Sahabat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa para shahabat telah melakukan ijtihad pada waktu Rasulullah hidup. Walaupun, nantinya ijtihad shahabat tersebut harus mendapatkan legitimasi dari Rasulullah. Contohnya ialah yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab dan Ammar ketika berhadas besar dalam suatu perjalanan. Keduanya tidak menemukan air, sementara waktu shalat sudah tiba. Lalu, Ammar melumuri badannya dengan tanah sebagai ganti air untuk menghilangkan hadas besar. Adapun Umar ibn Khatab ia menunda shalatnya sampai ia memperoleh air karena menurutnya tayamum hanya digunakan untuk menghilangkan hadas kecil. Ketika kedua shahabat ini melaporkan apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa kedua pendapat itu adalah keliru. Pendapat Ammar bertentangan dengan cara penggunaan tanah (tayamum) yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 6, yaitu:

bÎ)ur…. öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 ….

Artinya:
….Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…. (QS. Al-Maidah [5]: 6).
Rasulullah menjelaskan kepada Umar bahwa tayamum tidak hanya digunakan untuk menghilangkan hadas kecil, tetapi juga dapat digunakan untuk menghilangkan hadas besar, sesuai dengan ayat di atas.[13]
Singkatnya, ijtihad shahabat pada masa Rasulullah belum dapat dianggap sebagai alat penggali hukum karena ketentuan akhir masih ada di tangan Rasulullah. Tetapi, setelah beliau wafat, ijtihad shahabat sudah dapat dijadikan alat penggali hukum karena tidak lagi menunggu keputusan Rasulullah.
3.    Ijtihad Pada Masa Tabi’in
Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H hingga pertengahan abad IV H. Setelah berakhir masa shahabat, muncul masa tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas murid-murid para shahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada perndapat para shahabat. Secara garis besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:[14]
a.    Mereka mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pendapat sahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang sahabat. Hal itu jika pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan al-Qur’an dan sunnah.
b.    Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada periode tabi’in ini.

Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fiqih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di Makah muncul tokoh seperti Atha ibnu Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.[15]
Jumhur dalam menetapkan hukum terbagi atas dua golongan:[16]
a.    Ahlul Hadis
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama sangat terikat kepada teks-teks al-Qur’an dan sunnah. Jika dalam menetapkan suatu masalah tidak terdapat dalil dalam keduanya, mereka berpaling kepada praktik dan pendapat sahabat. Mereka menggunakan ra’yu hanya dalam keadaaan sangat terpaksa. Namun jika tidak didapatkan dalil dari ketiganya, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tokoh-tokoh golongan ini yang terkenal ialah Sa’id bin Musayyab kemudian diikuti oleh al-Zuhri, al-Tausri, Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan Daud al-Zhahiri.

b.    Ahlul Ra’yi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar, antara lain: pertama, nash-nash syariah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh karena itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu, sebagaimana ucapan Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman. Kedua, setiap hukum syara’ dikaitkan dengan ‘illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang faqih ialah menemukan ‘illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena ‘illlat-nya, atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada ‘illat-nya. Dalam periode ini pula tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam perkembangan fiqih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam mazhab ialah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan A’immah al-Arba’ah (para imam yang empat) dari kalangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

4.    Ijtihad Pada Masa Imam Mazhab
Periode ini terjadi pada pertengahan abad IV H- akhir abad XIII H. Pada periode ini ijtihad mengalami kemunduran, bahkan bisa dikatakan menjadi beku. Dalam memecahkan masalah-masalah ijtihadiyyah, umumnya para mujtahid enggan meng-istinbath hukum dengan secara langsung merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah melalui metode ijtihad seperti yang dilakukan oleh mujtahid pendahulu mereka. Mereka lebih cenderung untuk mencari dan menerapkan produk-produk ijtihad para mujtahid sebelumnya. [17]
Para sejarawan menjuluki masa-masa kemunduran ijtitihad ini dengan periode taqlid dan pemutupan pintu ijtihad. Hal itu karena paham dan sikap mengikuti pendapat-pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang tepat. Bahkan lebih dari itu, diberitakan bahwa sebagian fuqaha’ ada yang merasa tidak keberatan dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat.[18]
Berdasarkan fakta sejarah, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak awal Islam, yaitu pada masa sahabat dan perkembangnannya bertambah pesat pada masa tabi’in serta generasi selanjutnya hingga kini. Dalam perjalanan yang panjang tersebut, tentu perkembangannya mengalami pasang-surut dengan ciri khas masing-masing pada setiap periode.
Para ulama telah menyusun seperangkat metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadis dalam upaya lebih mendekatkan pada maksud-maksud pensyariatan hukum di satu pihak dan mendekatkan hasil penalaan dengan kenyataan yang ada di tengah masyarakat di pihak lain. Kerangka sistematis kaidah-kaidah tersebut, mula-mula diperkenalkan oleh Imam al-Syafi’i (150-204 H). Secara umum metode penalaran tersebut dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili (penentuan ‘illat), dan pola istishlahi (pertimbangan kemaslahatan berdasar nash umum).
a.    Pola Bayani
Ke dalam pola pertama ini dimasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik); kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz musytarak (anbigu), mana lafaz yang umum yang diterangkan (‘am-mubayyan), dan mana pula yang khusus yang menerangkan, mana ayat yang qath’i dan mana pula yang zhanni, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunnah, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh, dan seterusnya.[19]
Sebagai contoh di dalam hadis ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam al-Qur’an ada perintah mempersaksikan ruju’ (QS. Al-Thalaq ayat 2). Ulama memahami kesaksian nikah sebagai wajib, sedang kesaksian ruju’ oleh sebagian ulama dianggap sunnah. Ulama sepakat bahwa masa ‘iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haid adalah tiga quru’. Adanya masa ‘iddah ini dianggap qath’i. Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang arti quru’ tersebut. Ada yang menyatakannya masa suci dan ada yang menyatakannya masa haid. Pemilihan salah satu arti tersebut dianggap zhanni.[20]

b.    Pola Qiyasi (Ta’lili)
Ke dalam pola ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan ‘illat (keadaan atau sifat yang menjadi tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Di sini dibahas cara-cara menemukan ‘illat di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan ‘illat baru (sebagai pengganti yang lama). Sebagai contoh di dalam hadis ada perintah mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu gandum, kurma (kering), dan anggur (kismis). Sebagian ulama kelompok zhahiriyah memahami hadis ini melalui pola bayani, hanya memegangi arti zhahirnya. Jadi produk pertanian yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman tersebut. Namun, sebagian besar ulama berupaya mencari ‘illat dari jenis tanaman tersebut dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang mempunyai ‘illat sejenis. Ada yang mengatakan, “mengenyangkan (makanan pokok)”, ada yang menyatakan jenis biji-bijian, ada yang menyatakan ditanam bukan tumbuh sendiri, dan ada yang menyatakan dibudidaya sebagai ‘illat-nya. Karena perbedaan ini terjadi perbedaan pendapat tentang zakat cengkeh, kopi, sayuran, rotan, dan sebagainya. Ada yang menyatakan terkena zakat dan ada yang menyatakan tidak, sesuai dengan ‘illat-nya yang dipilih tadi. Biasanya pola ini digunakan apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya pada kesimpulan lain agar terasa lebih logis dan lebih berhasil guna.[21]

c.    Pola Istishlahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsisp umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan dharuriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah ini tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan hukumnya, digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari ayat-ayat, seperti tidak boleh mencelakan diri sendiri dan orang lain, menolong orang lain adalah kebajikan, dan lain-lain.[22]
Melalui pendeduksian dan pertimbangan tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan sebagai hukum dasar tranplantasi, boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami istri itu sendiri, sedang pelanggran lalu lintas dianggap sebagai ta’zir. Pola istishlahi sesuai keadaannya, baru digunakan ketika tidak ada dalil khusus, hanya berhubungan dengan persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di dalam Ushul Fiqih, pola yang terakhir ini sangat sedikit mendapat perhatian.[23]




D.  Urgensi Ijtihad Istishlahi Pada Masa Sekarang
Ijtihad dipandang dari cakupannya digolongkan atas dua macam, yakni ijtihad muhtlaq dan ijtihad juz’i. Ijtihad muthlaq dimaksudkan adalah adanya kemampuan yang memungkinkan dari upaya yang dilakukan dalam semua hukum-hukum fiqih. Sedangkan ijtihad juz’i yang mana kemampuannya hanya terbatas pada sebagian hukum-hukum fiqih saja.[24]
Metode ijtihad dengan corak penalaran istishlahi adalah bagian dari keduanya, di mana kalangan ulama dengan kategori ijtihad muthlaq merumuskan metode terbarunya, sedangkan kalangan ulama yang termasuk dalam kategori ijtihad juz’i menekankan maupun mempertegas metode dengan penalaran yang bertumpu pada kemampuan individu serta mempertajam analisisnya dari metode yang dirumuskan pada ulama sebelumnya. Ijtihad istishlahi dianggap sebagai upaya untuk menggali hukum dengan bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan pada al-Qur’an dan hadis. Hal ini berarti bahwa kemaslahatan yang dimaksudkan tidak lain adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum tersebut. Dalam arti lain, kemaslahatan yang ada tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung, baik melalui proses penalaran yang sifatnya bayani maupun yang sifatnya ta’lili melainkan harus dikembalikan kepada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash.[25]
Namun selain dari corak penalaran istishlahi, ada penalaran ta’lili dan bayani. Dari ketiga corak penalaran tersebut hanya penalaran ta’lili dan istishlahi saja yang dalam metode-metode ijtihad perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Hal dikarena corak penalaran ta’lili mempunyai fungsi yang sama dengan adanya upaya di dalamnya untuk menggali hukum yang bertumpu pada penentuan ‘illat-‘illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Pengembangan corak penalaran ta’lili haruslah didukung dengan kenyataan bahwa nash al-Qur’an dan sunnah dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian diiringi dengan cara menyebutkan ‘illai-‘illat hukum yang terdapat di dalamnya.
Adapun penalaran istishlahi dalam perkembangan pemikiran Usul Fiqih, corak ini tampak dalam metode al-mashalih al-mursalah dan al-zari’ah. Dalam pemaparan perlu kiranya ditelaah urgensi dan keterkaitannya dengan konsep maqasid al-syari’ah dalam filsafat hukum Islam.
Mempertimbangkan maqasid al-syari’ah tentu dianggap penting dengan keberadaan metode ijtihad istishlahi. Corak penalaran istishlahi adalah bagian dari lapangan ijtihad yang harus selalu dikembangkan yang nantinya akan menunjukkan urgensi pertimbangan maqasid al-syari’ah dalam metode tersebut. Corak ijtihad istishlahi  diantaranya adalah mashlahah, dalam pengertian istilahnya adalah manfaat yang dikemukakan oleh syara’ dalam menetapkan hukum untuk hambanya dalam upaya pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan definisi mashlahah dalam pandangan Sedangkan kalangan ulama ushul menyatakan bahwa mashlahah adalah bentuk apresiasi dari ketertiban hukum dalam rangka merealisasikan terwujudnya manfaat yang akan diraih atau menghindarkan diri dari kerusakan.[26]
Seluruh hukum yang ditetapkan Allah Swt atas hamba-hambaNya, baik dalam bentuk suruhan atau larangan adalah mengandung maslahah. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahah. Keseluruhan suruhan atau perintah Allah bagi manusia untuk melakukan manfaat untuk dirinya baik secara langsung atau tidak. Manfaat itu ada yang bisa dirasakannya pada waktu itu juga dan ada pula yang dirasakannya sesudahnya. Misalnya, ketika Allah Swt menyuruh mendirikan shalat yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan kebersihan jasmani.[27]
Begitupun dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia, tentunya di balik semua larangan terkandung mashlahah yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. Misalnya, larangan minum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari rasa mabuk yang dapat memberi kerusakan pada anggota tubuh, kerusakan pada kesehatan mental dan akal. Semua ulama sependapat tentang adanya kemaslahatan dalam semua hukum yang ditetapkan Allah. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang perwujudan mashlahah, sehingga Allah menetapkan hukum syara’ atau mashlahah itu yang mendorong Allah dalam menetapkan hukum ataupun ada sebab lainnya. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah itu tetapi perbedaan pendapat itu dianggap tidak memberi pengaruh apa-apa secara praktis dalam hukum. Terlepas dari perbedaan pendapat, secara jelas dalam setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara’ dalam bentuk suruhan dan demikian pula sebaliknya.[28]
Intinya setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal manusia dan akal manusia selalu sejalan dengan hukum syara’. Hal ini menunjukkan bahwa maslahhah dapat diperhitungkan oleh mujtahid dalam menggali hukum serta menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ditemukan hukumnya baik dalam al-Qur’an, sunnah Nabi maupun dalam ijma’. Hanya saja dalam perkembangan ilmu Ushul Fiqih dengan metode ijtihad istishlahi dalam pola mashlahah biasanya yang dipermasalahkan adalah adanya kekuatan hukum atau ketiadaan kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya. Urgensi kemaslahatan terdapat pada semua bentuk hukum, baik itu hukum-hukum yang didasarkan atas wahyu seperti hukum Islam maupun hukum-hukum yang didasarkan bukan dari wahyu walapun penekanan dari masing-masing hukum tersebut berbeda. Tentunya dengan adanya perbedaan tersebut adalah suatu keistimewaan dalam hukum Islam itu sendiri. Perbedaan dari keistimewaan itu di antaranya adalah:[29]
1.    Pengaruh kemaslahatan dalam hukum Islam tidak terbatas di dunia tetapi juga berpengaruh dalam kehidupan akhirat, tentunya ini dikaitkan karena syariat Islam diciptakan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.    Dimensi hukum Islam dengan kemaslahatannya bersifat materi dan juga immateri (ruhi) terhadap kehidupan manusia. Berbeda dengan hukum yang tidak didasarkan atas wahyu biasanya bersifat materi saja.
3.    Kemaslahatan yang terkandung dalam hukum Islam merupakan dasar bagi kemaslahatan-kemaslahatan lain. Hal ini menandakan jika ada pertentangan antara kemaslahatan lain dengan kemaslahatan agama, maka kemaslahatan agama tidak boleh dikorbankan.

Orientasi dunia dan ukhrawi memang selalu terkait dalam kemaslahatan agama. Sebagaimana yang dikatakan al-Syathibi bahwasanya kemashlahatan harus diwujudkan dan kerusakan yang semestinya harus dihapuskan, menurut ketentuan syariat harus ditegakkan pada tegaknya kehidupan dunia dan akhirat.[30] Uraian ini menggambarkan adanya kemaslahatan secara substansial hanya saja permasalahan akan timbul dalam hal legalitas yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dianggap sebagai sesuatu mashlahah.
Dalam perspektif kesejarahan hukum Islam, kategori maslahah ini selalu dikedepankan semacam pemberlakuan pajak terhadap pemilik tanah pertanian dan pajak penghasilan, pemberlakuan adanya penjara dalam kasus kriminal dan pencetakan mata uang. Contoh lain yang lebih populer yang pernah terjadi pada masa khalifah Usman bin Affan yaitu pembukuan mushaf al-Qur’an.[31]
Pemberlakuan metode maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum mengundang polemik di kalangan ulama sehingga menimbulkan perbedaan antara yang menganggapnya sebagai kekuatan hukum atau hujjah dan sebagian ulama yang menolak penggunaannya sebagai dasar penetapan hukum. Imam al-Syafi’i termasuk sebagai kelompok yang menolak metode tersebut sebab penggunannya sama dengan menganggap bahwa Tuhan luput dari membicarakan sebagian dari kemaslahatan makhlukNya ketika menetapkan hukum.[32]
Sedangkan Imam Malik, guru Imam al-Syafi’i berbeda dengan pendapat muridnya yang mempergunakan mashlahah mursalah dalam menetapkan hukum. Imam Malik berpendapat bahwa metode ini dianggap tidak keluar dari cakupan ketentuan nash meskipun tidak ada petunjuk nashnya secara khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ yang dasar hukumnya disimpulkan dari sejumlah nash yang menunjukkan pada prinsip-prinsip umum dan inilah dalil yang kuat. Imam Malik menetapkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, persesuain antara mashlahah dengan maqasid al-syari’ah serta tidak ada pertentangan dengan dasar hukum lain. Kedua, substansinya dari mashlahah itu adalah logis. Ketiga, penggunaan mashlahah haruslah bertujuan untuk menghilangkan kesempitan dalam kehidupan manusia serta tidak menyusahkan.[33]
Kedudukan mashlahah mursalah haruslah selalu dikaitkan dengan maqasid syari’ah sebab dari analisa antara keduanya dapat melahirkan dampak positif. Di antara dampaknya ada titik temu perbedaan pendapat ulama, sebab al-Ghazali sebagai ulama yang bermazhab al-Syafi’i menerima mashlahah mursalah jika di dalamnya ada pemeliharaan perwujudan tujuan syara’ serta bisa dijadikan hujjah, maka dalam hal ini tidak perlu diperselisihkan. Apalagi kemaslahatan dalam pandangan al-Ghazali telah tercakup dalam al-Qur’an dan didasarkan atas kecenderungan manusia untuk mencari kemaslahatan atas dasar hawa nafsu yang dalam istilah al-Syafi’i disebut dengan talazzuz (mencari enaknya saja).[34]
Teori mengenai al-mashlahah al-mursalah bisa diperluas dengan adanya keterkaitan dengan konsep syariat yang ditujukan pada kepentingan masyarakat dan berfungsi memberikan kemanfaatan dan menghilangkan kemudaratan. Penegasan akan adanya keterkaitan dengan maqasid al-syari’ah ini diwujudkan dalam setiap mashlahah yang tidak ditunjukkan oleh nash secara khusus, akan tetapi hal tersebut bisa disesuaikan dengan tindakan syara’, maka mashlahah dalam formatnya bisa dijadikan sebagai dasar hukum. Hanya saja beberapa ulama seperti al-Syatibi, memberikan batasan peranan al-maslahah al-mursalah dalam mengembangkan hukum yang sebagian besar terdapat dalam bidang muamalah.[35]
Urgensi pertimbangan maqasid al-syari’ah akan menjadi jelas dengan penajaman metode ijtihad al-maslahah al-mursalah sebagai corak dari penalaran istishlahi  dapat dilakukan dengan pemahaman komprehensif maqasid al-syari’ah itu sendiri.[36]
Metode lain yang dikembangkan adalah al-zari’ah yang secara etimologi berarti al-wasilah. Secara terminologi adalah jalan yang menyampaikan kepada sesuatu atau jalan yang menyampaikan atau membawa kepada keharusan atau kehalalan. Adanya keterbatasan dalam pendefinisian ini sehingga kalangan ulama ushul merumuskan dalam bentuk fath al-zari’ah yakni membuka jalan atau media yang kiranya dapat membawa kepada kemaslahatan dan sad al-zari’ah yaitu menutup dan menghalangi jalan dan wadahnya yang diduga dapat menimbulkan dan membawa kerusakan atau mafsadah.
Kalangan ulama seperti Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah dianggap banyak mempopulerkan metode al-zari’ah dan hampir ada seratus ayat al-Qur’an dan hadist yang berhubungan dengan urgensi al-zari’ah untuk dipertimbangkan dalam maqasid al-syari’ah. Dalam keseluruhan nash dari al-Qur’an dan hadist tidak hanya digunakan oleh hampir semua ulama dalam berbagai mazhab tetapi lebih dari itu metode al-zari’ah memiliki landasan-landasan dari dua sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan hadis. Metode al-zari’ah mempunyai posisi yang sama dengan al-mashlahah al-mursalah yang mana perlu dipertajam dan dikaitkan dengan pemahaman maqasid al-syari’ah sebagai suatu metode penelitian ‘illat perintah dan ‘illat larangan serta harus dikemukakan lebih mendasar. Al-zari’ah perlu diberikan penekanan pada dampak suatu tindakan, sabab (kausa) dan dampak yang ditimbulkannya terhadap musabbab (efek). Tergantung efek tersebut dikehendaki oleh yang melakukan tindakan kausa ataupun tidak. Kedudukan antara kausa dan efek adalah sama karena suatu efek timbul dari suatu kausa. Orang yang melakukan kausa dianggap melakukan efek. Pada dasarnya sabab (kausa) dalam suatu metode ijtihad atau pengembangan hukum membahas upaya preventif (pencegahan) dan rekayasa dari suatu sistem dalam mewujudkan maqasid al-syari’ah. Sebaliknya pertimbangan maqasid al-syari’ah secara subtansial dan metode dipertajam analisis metode al-zari’ah sebagai bagian dari corak penalaran istishlahi. Pengembangan lanjut metode-metode ijtihad dari kalangan ulama yang memproduksi metode ini sebagai bagian dari corak penalaran istishlahi (al-maslahah al-mursalah dan al-zari’ah) sangat dimungkinkan dapat berperan besar dalam memberikan adanya solusi terhadap berbagai masalah-masalah hukum yang bermunculan dewasa ini apabila diberikan muatan dan pendekatan maqasid al-syari’ah dalam setiap pembahasannya.

E.  Kesimpulan
Sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Allah. Dalam pandangan syariah semua orang wajib tunduk pada hukum Allah yang berasal dari wahyu samawi. Jadi, perumusan hukum Islam tidak lain ialah usaha menemukan kehendak Allah. Sumber untuk mengetahui kehendak Allah itu adalah al-Quran dan sunnah. Tujuan utama kedua sumber ajaran itu adalah meletakkan sebuah way of life yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan sesamanya dan dalam hubungan dengan Allah. Dengan demikian, adalah tugas kaum Muslimin melalui pemanfaatan akalnya untuk merealisasikan pedoman-pedoman pokok itu dalam wujud ketetapan-ketetapan hukum dalam konteks yang berbeda-beda.
Kesimpulan dalam kajian ini, urgensi ijtihad istishlahi dalam konteks kekinian adalah, bahwa ijtihad istishlahi ini dianggap lebih bisa menjawab persoalan ummat kontemporer. Alasannya adalah karena ijtihad istishlahi ini bersentuhan dengan realitas empiris masyarakat, bukan hanya sekedar mengkaji maksud teks semata.

F.   Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mustahasfa min ‘Ilmi al-Ushul, Kairo: Dar al-Kutub, 1407 H/ 1987 M.

Al-Rabi’ah, Abdul Aziz ibn Abdurrahman ibn Ali, Adillat al-Tasyri’ al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha, Kairo: Mu’assasat al-Risalat, 1399 H/ 1979 M.

Al-Syathibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/ 1988 M.

Al-Syaukani, Nail al-Authar, Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1409 H/ 1989 M.

Al-Tirmidzi, Muhammad ibn Isa Abu Isa, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/ 1988 M.

Azhar, Ahmad, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1996.

Baqir, Haidar (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan, 2005.

Basyir, Ahmad Azhar, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, Yogyakarta, UII Pres, 1984.

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum dalam Islam, Jakarta: Logos, 1997.

Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum; Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interprestasi Teks, Yogyakata: UII Pres, 2004.

Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989 H.

Khallaf, Abdul Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Kutub, 1409 H/ 1989 M.

Makhluf, Louis, al-Munjid, Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H/ 1987 M..

Mu’alim, Amir,  dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2005.

Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
Salam, Zarkasi Abdul, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, Yogyakarta: Liberty, 1996.





[1] Louis Makhluf, al-Munjid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H/ 1987 M), hal. 1112.
[2] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hal. 348.


[3] Ahmad Azhar, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 97.
[4] Al-Syaukani, Nail al-Authar, (Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1409 H/ 1989 M), hal. 276.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Kutub, 1409 H/ 1989 M), hal. 32.
[6] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989 H), hal. 53.
[7] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal. 47.
[8] Ibid, hal. 48-49.
[9] Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/ 1988 M), juz. 3, hal. 111.
[10] Ibid, hal. 213.
[11] , Zarkasi Abdul Salam, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hal. 48-49.
[12] Ibid, hal. 51.
[13] Ahmad Azhar Basyir, “Pokok-pokok Ijtihad dalam Hukum Islam,” dalam Haidar Baqir (ed), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2005), hal. 71.
[14] Ibid, hal. 72.
[15] Ibid, hal. 72-73.
[16] Ibid, hal. 74-75.
[17] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hal. 47.
[18] Ibid, hal. 48-49.
[19] Ibid, hal. 49.
[20] Ibid, hal. 49-50.
[21] Ibid, hal. 51.
[22] Ibid, hal. 41-52.
[23] Ibid, hal. 53.
[24] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum; Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interprestasi Teks, (Yogyakata: UII Pres, 2004), hal. 51.
[25] Ibid, hal. 52-53.
[26] Ibid, hal. 54.
[27] Ibid, hal. 55.
[28] Ibid, hal. 56.
[29] Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta, UII Pres, 1984), hal. 32.
[30] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/ 1988 M), juz. 2, hal. 218.
[31] Ibid, hal. 219.
[32] Abdul Aziz ibn Abdurrahman ibn Ali al-Rabi’ah, Adillat al-Tasyri’ al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha, (Kairo: Mu’assasat al-Risalat, 1399 H/ 1979 M), hal. 221.
[33] Ibid, hal. 222.
[34] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustahasfa min ‘Ilmi al-Ushul, (Kairo: Dar al-Kutub, 1407 H/ 1987 M), hal. 364-367.
[35] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 41.
[36] Ibid, hal. 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...