Jumat, 26 Juni 2015

BANK ASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

OLEH MASRIZAL
BANK ASI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A.    Pendahuluan
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang terbaik bagi bayi, karena pengolahannya telah berjalan secara alami dalam tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah disiapkan lebih dahulu, sehingga begitu anak itu lahir, air susu ibu telah siap untuk dimanfaatkan. Demikian kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Namun demikian ada banyak kaum ibu pada saat ini yang tidak dapat memberikan ASI kepada anaknya dengan berbagai alasan seperti ASI-nya tidak keluar, alasan kesehatan serta karena waktunya tersita untuk bekerja, maka muncullah gagasan untuk mendirikan Bank ASI untuk memenuhi kebutuhan ASI balita yang ibunya tidak bisa menyusui anaknya secara langsung.
Berdasar pada hal tersebutlah maka ide mendirikan bank ASI ini muncul. Sebenarnya ide ini telah berkembang di Eropa kira-kira lima puluh tahun yang lalu. Gagasan itu muncul setelah adanya bank darah. Mereka melakukannya dengan mengumpulkan ASI dari wanita dan membelinya kemudian ASI tersebut dicampur di dalam satu tempat untuk menunggu orang yang membeli ASI tersebut dari mereka. Permasalahan ini cukup menarik untuk dikaji melalui hukum Islam. Pentingnya melakukan kajian tersebut, karena sebagaimana yang diketahui bahwa dalam Islam ada istilah yang disebut sebagai saudara sesusu. Apakah bank ASI ini juga mengakibatkan terjadinya saudara sesusuan atau tidak?
Setiap anak yang baru dilahirkan memiliki hak atas dirinya yang harus dipenuhi ibunya, Islam mewajibkan ibu untuk menyusui anak hingga berusia dua tahun. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah alBaqarah ayat 233 sebagai berikut:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ آَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Artinya : Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna…..[1]
Asal hukum menyusui anaknya bagi seorang ibu hukumnya adalah sunnah, namun hal itu terjadi bila seorang ayah merupakan orang yang mampu dan ada orang lain yang mau menyusui anaknya. Jika semua hal itu tidak ada, maka menyusui anak tersebut hukumnya wajib [2]. Kata al-walidat dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan ummahat yang merupakan bentuk jamak dari kata umm. Kata ummahat biasanya digunakan. untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedangkan al-walidat artinya adalah para ibu, baik ibu kandung atau bukan. Oleh karena itu, al-Qur’an sejak dini telah menggariskan bahwa ASI, baik susu ibu kandung atau bukan, adalah konsumsi terbaik bagi bayi sampai usia dua tahun. Dan air susu ibu kandung yang lebih baik tentunya. Karena anak merasa tenang dan tentram, sebab menurut ilmuan, bayi ketika itu mendengar detak jantung ibunya dan sudah mengenal sejak dalam kandungan. Detak jantung wanita lain berbeda dengan ibunya sendiri.
Penyusuan sampai dua tahun bukan merupakan perintah wajib, karena dipahami dari potongan ayat liman arada an yutimma ar-rada’ah (bagi yang ingin menyempurnakan susuan). Akan tetapi, anjuran ini sangat ditekankan, seolah-olah merupakan perintah wajib. Apabila kedua orang tuanya sepakat untuk mengurangi masa tersebut, maka tidak mengapa. Tetapi hendaknya jangan lebih dari dua tahun, karena dua tahun telah dinilai sempurna oleh Allah.[3]
Di sisi lain, masa dua tahun itu menjadi tolak ukur bila terjadi perbedaan pendapat diantara ibu bapak. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa seorang hakim dapat memaksa seorang ibu untuk menyusui anaknya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa seorang ibu hanya dianjurkan (mandub) untuk menyusui anaknya. Oleh karena itu hakim tidak berhak memaksa, kecuali hanya dalam keadaan darurat.[4]
Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman dalam memahami ayat 233 dalam surah al-Baqarah. Sebagian ulama memahami bahwa ayat ini sebagai perintah pada seorang ibu untuk menyusui anaknya. Pendapat ini mereka dukung dengan potongan lain dalam surah al-Baqarah ayat 233 yang menyatakan:
….لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ....
Artinya : “..........janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya......”.[5]

Jumhur ulama memahami perintah dalam ayat ini bukanlah perintah wajib melainkan sunnah (mandub), disamping ayat itu merupakan petunjuk bagi suami istri dalam persoalan menyusukan anak. Didukung dengan firman Allah SWT dalam surah at-Talaq ayat 6:
 .....وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ اُخْرى….. 
Artinya : dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.[6]

Menurut jumhur ulama fiqih dianjurkan seorang ibu untuk menyusui anaknya, karena susu ibu lebih baik bagi anaknya dan kasih sayang ibu dalam menyusukan anak lebih dalam. Di samping itu menyusukan anak itu merupakan hak bagi ibu sebagaimana juga menjadi hak bagi sang anak. Oleh karena itu, seorang ibu tidak boleh dipaksakan mempergunakan haknya, kecuali ada alasan yang kuat untuk memaksa para ibu untuk menyusui anaknya.[7]
ASI merupakan bahan makanan yang diberikan Allah SWT kepada seorang bayi melalui payudara ibunya selama dua tahun pada awal masa kehidupannya. Menyusui sebaiknya dilakukan setelah proses kelahiran bayi dan setiap kali bayi menetek. Dan sebaiknya bayi pada masa itu diberikan dengan susu kolustrum[8] yang merupakan nutrisi pertama paling penting bagi bayi, karena mengandung antibodi yang melindungi bayi dari infeksi dan faktor pertumbuhan yang membantu perkembangan secara normal dan pematangan pencernaan.[9]
Karena sebab penyusuan itu pula berkaitan hukum Islam terutama dalam perkawinan Islam yaitu terdapat hal yang istimewa di antaranya adalah penghalang bagi seseorang untuk menikah dengan wanita yang menyusuinya yang lebih dikenal dengan rada'ah. Persusuan akan menjadikan orang yang disusui menjadi mahram bagi ibu rada'ahnya sebagaimana menjadi kemahraman bagi anak laki-laki terhadap setiap orang yang diharamkan baginya dari keturunan ibu kandung. Menyusui merupakan hal yang esensial bagi manusia, maka sebagian orang berpikir tentang beragam cara agar semua orang dengan segala aktivitas dapat menyusui tanpa mengganggu kinerja kerjanya.
Maka para ilmuwan Eropa menghadirkan ide untuk mendirikan Bank ASI dengan tujuan membantu para ibu yang tidak bisa menyusui bayinya secara langsung, baik karena kesibukan bekerja maupun kesulitan yang lain seperti ASI yang tidak bisa keluar, ibu mengidap penyakit yang mempengaruhi produksi ASInya dan membantu bagi bayi yang lahir secara prematur maupun yang ditinggal mati ibunya.[10]
Namun masih terdapat rasa kekhawatiran dari sebagian masyarakat mengenai timbulnya mahram antara donatur susu (para ibu) dengan para bayi yang menyusu, sehingga ketika bayi sudah mencapai usia dewasa, kemudian dia menikahi wanita yang menyusuinya, maka dikhawatirkan terjadi perkawinan yang dilarang karena hubungan persusuan. Oleh karena itu muncul pertanyaan apakah persusuan dalam Bank ASI tetap menimbulkan hukum mahram atau tidak?
Berbeda dengan Yusuf Qardawi, sebagai ulama kontemporer dia pernah melontarkan pemikiran kontroversial tentang perwujudan Bank ASI. Menurutnya pendirian Bank ASI tidaklah dilarang oleh agama karena tidak dijumpai alasan untuk melarang (mani’), asalkan bertujuan untuk mewujudkan tujuan yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi bagi bayi prematur (yang tidak mempunyai daya dan kekuatan) terlebih bayi yang ditinggal mati oleh ibunya.[11]
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan [12], menyimpulkan bahwa pengumpulan susu oleh rumah sakit dari kaum ibu yang diberikan pada bayi-bayi yang dirawat dalam rumah sakit dapat menimbulkan hukum mahram.
menurut Mazhab Hanafi bahwa air susu yang sudah terpisah dari seorang ibu dianggap telah menjadi bangkai dan haram menjual air susu ibu, sehingga pendirian Bank ASI tidak diperbolehkan, sedangkan menurut Syafi’i bahwa pemisahan air susu dari seorang ibu, maka ASI tersebut tetap suci dan boleh dikonsumsi namun tetap mengakibatkan hukum mahram, dan diperbolehkan menjual ASI karena dianggap seperti makanan sebagaimana susu yang lain pada umumnya, sehingga bila ditinjau dari pendapat ini, maka Bank ASI boleh didirikan.
Muhammad Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah al-Hadisah pada masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam[13], menyimpulkan bahwa agak sukar menentukan atau mengetahui donor ASI sebagaimana donor darah, karena pendonor ASI dan bayi yang menyusu tidak saling mengenal. Adapun pemanfaatan air susu dari Bank ASI adalah sah apabila dalam keadaan terpaksa (bukan karena haram).
B.     Pengertian Bank Asi
Bank ASI merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.[14]
Semua ibu donor diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker. Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu ruangannya[15]:
a.       Suhu 19-25 derajat celsius ASI dapat tahan 4-8 jam.
b.      Suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari
c.       Suhu dalam freezer khusus bisa tahan 3-4 bulan[16]
C.     Kaitan Bank ASI dengan radla'ah
a.    Pengertian ar-Radha'ah
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha' atau susuan. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha' adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar-Radha' adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As-Syafi'iyah mengatakanar-Radha' adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al-Hanabilah mengatakan ar-Radha' adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya.[17]
b.    Batasan Umur
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman.[18] Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah.
فَإِنَّمَاالرَّضَاعَةُمِنْ الْمَجَاعَةِ
"Sesungguhnya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar" (HR Bukhari dan Muslim)[19]

Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan. Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara as-su'uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara al-wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.[20] Sebagaimana Riwayat Abu Daud dan Daar Kuthny dari Ibnu Mas'ud bahwasannya Rasulullah Saw. Bersabda,
لاَرَضَاعَ اِلاَّمَاانْشَزَالْعُظْمَ وَانْبَتَ ا للَّحْمَ
Tidak ada penyusuan kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging. (HR. Abu Dawud).

d.      Dasar Hukum Rada'ah
Dalil yang menjadi dasar rada'ah bersumber dari:
a.     Ayat al-Qur’an, antara lain:
…..وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ آَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ....
Artinya : Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.......... (alBaqarah: 233)[21]
 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي نَكُمْأَرْضَعْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ ......
Artinya : Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ........... (an-Nisa’: 23)[22]
b.      Sunnah Rasulullah
 حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ح
 وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ح
وَحَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ آِلَاهُمَا عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ )وَقَالَ سُوَيْدٌ وَزُهَيْرٌ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ.
Artinya: هBercerita padaku Zuhair Ibn H{arb berkata padaku Isma’il Ibn Ibrahim dan Berkata padaku Muhammad Ibn ‘Abdillah Ibn Numair berkata padaku Isma’il dan Berkata padaku Suwaid Ibn Sa’id berkata padaku Mu’tamir Ibn Sulaiman keduanya dari Ayyub dari Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Abdillah Ibn Zubair dari ‘Aisyah ra Berkata, Rasulullah SAW Bersabda “tidaklah menimbulkan kemahraman satu kali sedot dan dua kali sedotan ”.

 وحَدَّثَنَاه زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ مِهْرَانَ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ جَمِيعًا عَنْ شُعْبَةَ ح و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ آِلَاهُمَا عَنْ قَتَادَةَ بِإِسْنَادِ هَمَّامٍ سَوَاءً غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ شُعْبَةَ انْتَهَى عِنْدَ قَوْلِهِ ابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ وَفِي حَدِيثِ سَعِيدٍ وَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ وَفِي رِوَايَةِ . 8 بِشْرِ بْنِ عُمَرَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ زَيْدٍ
Artinya : Bercerita Zuhair Ibn H{arb bercerita padaku Yahya yaitu alQuttan bercerita padaku Muh{ammad Ibn Yahya Ibn Mihran al-Quta’iy bercerita padaku Bisyr Ibn Umar bersamaan dari Syu’bah dan bercerita padaku Abu Bakar Ibn Abi Syaibah bercerita padaku ‘Ali Ibn Musyhir dari Sa’id Ibn Abi ‘Arubah kedua- duanya dari Qatadah dengan sanad Hammam sama saja selain bahwa hadis Syu’bah selesai pada sabda Rasul: “Sesungguhnya dia (anak perempuan Hamzah) adalah anak perempuan saudara sepersusuanku sesuatu yang diharamkan sebab persusuan sama dengan yang diharamkan sebab nasab. Dan dalam riwayat Bisyr Ibn Umar saya mendengar Jabir Ibn Zaid.

Riwayat ini memberikan pengertian bahwa hukum rada'ah yang dimaksud di atas adalah haramnya pernikahan, melihat, khalwat, dan berpergian dengan pasangan. Selain itu tidak termasuk seperti warisan, kewajiban memberi nafkah dan memerdekakan budak dan hal-hal yang berhubungan dengan nasab, sehingga hukum mahram dan sebagainya disebabkan melihat pada orang yang orang yang menyusui, sehingga kerabatnya termasuk kerabat orang yang menyusu, maka kerabat orang yang menyusui selain daripada anak-anaknya tidak ada hubungan diantara mereka dengan orang yang disusui, maka tidak ada ketentuan hukum diantara mereka.[23] Dalam sebuah hadis yang lain disebutkan:

....قَالَتْ عَائِشَةُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي رَجُلٌ قَاعِدٌ فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِهِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ قَالَتْ فَقَالَ انْظُرْنَ إِخْوَتَكُنَّ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَإِنَّمَا …….. الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ

Artinya :..... Aisyah berkata: Rasulullah masuk kepadaku dan disisiku ada lelaki yang duduk. Maka Rasul kaget menyaksikan hal itu. Dan saya melihat kemarahan diwajah beliau. Aisyah berkata: saya berkata: Wahai Rasulullah! Dia adalah saudara laki-lakiku sepersusuan. Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Perhatikan saudara laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu”.....
e.       Rukun dan Syarat Rada'ah
Rukun Rada'ah Jumhur Ulama selain Abu Hanifah menetapkan bahwa rukun rada'ah ada tiga[24], yaitu:
1.      Anak yang menyusu;
2.      Wanita yang menyusui; Wanita yang menyusui menurut beberapa pendapat ulama disyaratkan adalah seorang wanita, baik dewasa, dalam keadaan haid, hamil atau tidak. Namun ulama berbeda pendapat tentang air susu dari wanita yang sudah meninggal.[25] Menurut Syafi’i air susu harus berasal dari wanita yang masih hidup, sedangkan menurut Imam Hanafi dan Malik boleh meskipun wanita tersebut sudah mati.[26]
3.      Air Susu.
Syarat Rada’ah
Menurut jumhur ulama syarat susuan yang mengharamkan nikah adalah:
1.      Air susu harus berasal dari manusia, menurut jumhur baik perawan atau sudah mempunyai suami atau tidak mempunyai suami;
2.      Air susu itu masuk kerongkongan anak, baik melalui isapan langsung dari puting payudara maupun melalui alat penampung susu seperti gelas, botol dan lain-lain; Menurut ulama Mazhab empat terjadinya rada’ah tidak harus melalui penyedotan pada puting susu, namun pada sampainya air susu pada lambung bayi yang dapat menumbuhkan tulang dan daging. Namun mereka berbeda pendapat mengenai jalan lewatnya ASI, menurut Imam Malik dan Hanafi harus melewati rongga mulut, sedangkan menurut H{anbali adalah sampai pada lambung dan pada perut atau otak besar.
3.      Menurut mayoritas ulama penyusuan yang dilakukan melalui mulut (wajur) karena bersifat mengenyangkan sebagaimana persusuan atau melalui hidung (sa’ut) karena adanya sifat memberi makan, karena otak mempunyai perut seperti lambung, namun sifat memberi makan tidak disyaratkan harus melalui lubang atas, akan tetapi sampainya susu pada lambung dianggap cukup untuk menimbulkan hukum mahram.
Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan apabila susu itu dialirkan melalui alat injeksi, bukan mulut atau hidung maka tidak menimbulkan kemahraman. Sedangkan menurut ulama Malikiyyah meskipun dengan cara ini tetap haram. Begitu juga menurut Imam Muhammad penyuntikan ini tetap menimbulkan hukum mahram seperti batalnya puasa karena persusuan.
4.      Menurut ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah air susu itu harus murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Apabila susu itu bercampur dengan cairan lainnya, maka menurut mereka diteliti manakah yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah susu maka bisa mengharamkan nikah. Apabila yang dominan adalah cairan lain maka tidak mengharamkan nikah. Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah susu yang dicampur dengan cairan lain itupun dianggap sama saja hukumnya dengan susu murni dan tetap mengharamkan nikah, apabila susu itu dicampur dengan susu wanita lain. Menurut Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf yang haram dinikahi adalah wanita yang air susunya lebih banyak dalam campuran itu.
Akan tetapi, menurut Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Zufar bin Hudail bin Qaisy al-Kufi seluruh pemilik susu yang dicampur itu haram dinikahi anak tersebut, baik jumlah susu mereka sama atau salah satunya lebih banyak, karena dua susu yang dicampur masih sejenis.[27]
5.      Menurut maz\hab fiqih empat dan jumhur ulama susuan itu harus dilakukan pada usia anak sedang menyusu. Oleh sebab itu menurut mereka apabila yang menyusu itu adalah anak yang sudah dewasa di atas usia dua tahun, maka tidak mengharamkan nikah. Alasannya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 233 yang menyatakan bahwa sempurnanya susuan adalah dua tahun, dan juga dalam surah Luqman ayat 14:
 ...وَفِصَالُهُ فِيْ عَامَيْنِ ....
Artinya: ..dan menyapihnya dalam dua tahun……
Maksudnya selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun. Dan sebuah riwayat hadis:
..عَن ابن عَبَّاس ,عَنِ النَّبِي ص م "لَا يَحرُمُ مِنَ  الرَّضَاعَةِ ا اِلَا مَا آَانَ فِيْ حَوْلَيْن
Artinya:.... Dinar dari Ibn ‘Abbas dari Rasulullah SAW “tidak dinamakan menyusui kecuali dalam usia dua tahun” .......

Akan tetapi Daud az-Zahiri mengatakan bahwa sususan anak yang telah dewasa tetap mengharamkan nikah. Alasannya adalah sebuah riwayat dari Aisyah:
....قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ لِعَائِشَةَ إِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْكِ الْغُلَامُ الْأَيْفَعُ الَّذِي مَا أُحِبُّ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيَّ قَالَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ أَمَا لَكِ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُسْوَةٌ قَالَتْ إِنَّ امْرَأَةَ أَبِي حُذَيْفَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ سَالِمًا يَدْخُلُ عَلَيَّ وَهُوَ رَجُلٌ وَفِي نَفْسِ أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْهُ شَيْءٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ":أَرْضِعِيهِ حَتَّى 21 يَدْخُلَ عَلَيْك
Artinya:..... Ummi Salamah berkata pada Aisyah bahwa anak kecil yang masuk dalam rumahmu yang tidak saya sukai ketika masuk rumahku berkata: Aisyah berkata mungkin engkau mendapat jawaban pada Rasulullah SAW tentang masalahmu? Berkata: sesungguhnya Istri Abi Huzayfah (Sahlah binti Suhail) berkata “Ya Rasulullah, Salim masuk dalam rumahku dan dia adalah seorang laki-laki. Dan dalam diri Abi Huzayfah darinya terdapat sesuatu. Rasulullah menjawab”susukan dia, sehingga ia dapat masuk dalam rumahmu”.

Kemudian Sahlah menyusui Salim sebanyak lima kali, kemudian Salim menjadi anak di rumahnya, dan juga didukung adanya ‘Aisyah memerintahkan anak-anak perempuan saudara laki-laki dan perempuannya untuk menyusui pada setiap lelaki yang menyukai ‘Aisyah ketika melihatnya, yang kemudian masuk ke rumahnya, apabila lelaki tersebut sudah dewasa, maka disusui dengan lima kali susuan.[28]
Menurut jumhur ulama radha’ah hanya dapat terjadi dalam masa anak-anak, jumhur ulama menyatakan bahwa kasus Salim merupakan rukhsah (keringanan hukum) baginya.
6.      Menurut maz\hab Syafi’i dan Hanbali penyusuan harus dilakukan dengan lima kali isapan yang terpisah, karena yang dianggap kuat dalam hal persusuan adalah persusuan menurut adat istiadatnya (‘urf), ketika si bayi memisahkan diri dari penyusuan karena sudah enggan menyusu, maka dihitung menjadi rada’ah hal itu didasarkan pada 'urf, adapun ketika bayi memutuskan berpisah dari menyusu walau hanya sekedar istirahat, bernafas, bermain-main atau berpindah-pindah pada puting susu satu ke yang satunya dari satu wanita ke wanita yang lain, kemudian dia kembali menyusu lagi maka tidak masuk dalam hitungan rada’ah, melainkan seluruhnya dihitung satu kali isapan saja, apabila penyusuan tersebut kurang dari lima kali isapan maka tidak ada hukum mahram, apabila ada keraguan (syak) dalam hitungannya maka harus dibangun adanya keyakinan dalam penyusuan tersebut, karena dalam hal itu pada asalnya adalah tidak adanya persusuan yang menimbulkan mahram, namun meninggalkan keraguan lebih diutamakan, karena syak merupakan hal yang samar.
Hal ini didasarkan pada beberapa hal di antaranya adalah:
a.    Hadis yang diriwayatkan dari Aisyah
......عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ آَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 24 وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
Artinya:..... dari Aisyah ra, Sesungguhnya dia berkata: “Ayat alQur’an pernah turun dalam mengahramkan wanita tempat menyusu jika susuan (mencapai) sepuluh kali susuan, kemudian dinasakh menjadi lima kali susuan. Lalu Rasulullah wafat dan hukum lima kali susuan itu masih dibaca dalam al-Qur’an ”
b.   ‘illat terkandung dalam keharaman rada’ah adalah syubhat juz’iyyah, yaitu yang terjadi dengan sebab susu yang menumbuhkan daging dan tulang, dan hal itu tidak terjadi dalam susuan yang sedikit. Oleh karena itu persusuan yang sedikit tidak mengharamkan yang mengharamkan adalah seperti yang tersebut dalam hadi, yaitu lima kali susuan;
c.    Hadis lain dari 'Aisyah:
 ......عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( وَقَالَ سُوَيْدٌ وَزُهَيْرٌ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَقَ :” )لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ                وَالْمَصَّتَان
Artinya: Dari Aisyah ra Berkata, Rasulullah SAW Bersabda (dan Suwaid dan Zuhair: Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda): “tidaklah menimbulkan kemahraman satu kali sedot dan dua kali sedotan.

7.      Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafi ASI yang banyak atau sedikit tetap dihukumi mahram meskipun satu kali sedot. Berdasarkan pada beberapa dalil di antaranya:
1.         Keumuman firman Allah SWT:
 ....وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
.......
Artinya:...dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan;.. (an-Nisa’: 23)[29]

Firman ini menggantungkan keharaman dengan sebab menyusu tanpa keharaman dengan sebab tertentu. Bagaimanapun cara terjadinya persusuan tetap menimbulkan hukum mahram.
2.         Hadis yang menyatakan bahwa “sesuatu yang diharamkan sebab persusuan sama dengan yang diharamkan sebab nasab” hadis tersebut mengandung hukum mahram tanpa menentukan persusuan dan didukung pula dengan hadis lain dari para sahabat, yaitu riwayat dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas, bahwa mereka berkata: “sedikit atau banyaknya susuan tetap mengharamkan”.
3.         Bahwa persusuan merupakan perbuatan yang mengandung hukum mahram,maka baik sedikit atau banyak sama saja, karena maksud dari asy-Syari’menggantungkan hukum dan hakikat serta terlepas dari syarat berulang-ulang dan banyaknya, apabila hakikat itu terwujud, maka hukum itupun datang.
Pendapat ini banyak dipakai di negara Mesir dan Libya, sedangkan pendapat pertama banyak dipakai di negara Suriah karena merupakan pendapat yang kuat dan mengandung unsur kemudahan dan keluwesan bagi manusia.[30]
Sedangkan menurut Daud azh-Zahiri kadar susuan yang mengharamkan nikah itu minimal tiga kali isapan, dan jika kurang dari itu tidak haram bagi lelaki tempat ia menyusu, dalilnya adalah hadis Rasulullah:
......عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) وَقَالَ سُوَيْدٌ وَزُهَيْرٌ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 28 وَسَلَّمَ قَالَ " (لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَان
Artinya: ..........dari Aisyah ra Berkata, Rasulullah SAW Bersabda asas“tidaklah menimbulkan kemahraman satu kali sedot dan dua asasskali sedotan ”.

Menurut Daud az-Zahiri hukum susuan yang ditentukan secara umum oleh ayat al-Qur’an di atas dibatasi oleh hadis ini. Dengan demikian ibu susuan dan seluruh wanita yang mempunyai hubungan darah dengannya haram dikawini apabila susuan itu mencapai kadar tiga kali susuan atau isapan tiga kali ke atas.[31] Begitu juga menurut Saur Abu Daud, Daud Ibnu Muzakkir yaitu sedikitnya tiga kali susuan yang mengenyangkan.
8.      Menurut Qardawi Bank ASI didukung oleh Islam mempunyai tujuan yang baik yang membantu orang yang lemah terlebih pada bayi yang prematur, bahkan bila perlu susu dibeli jika sang donatur tidak berkenan memberikan susunya. Memberikan pertolongan tersebut menurut Qardawi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena sangat membantu para bayi yang terlahir dan kurang beruntung dengan tidak mendapatkan ASI.[32]
Dalam pendapatnya Qardawi mengemukakan beberapa poin, antara lain:
a.       Para ulama fiqih berbeda pendapat dalam masalah rada’ah terbagi ulama menjadi dua golongan, yaitu:
1)        Kelompok ulama yang memperluas pengharaman, yaitu mereka yang lebih berpijak pada kehati-hatian dalam menghukumi hukum haram. Yaitu ulama yang berpendapat dalam beberapa hal, di antaranya:
a.         Sedikit maupun banyaknya susuan menimbulkan hukum mahram;
b.         Persusuan terjadi tanpa mengenal umur meski dalam usia 40 tahun;
c.         Persusuan tidak harus dilakukan dengan menetek;
d.        Hukum mahram tetap ada, meskipun susu berasal dari wanita yang telah mati;
e.         Terdapat ulama yang mengatakan bahwa dua anak yang menyusu pada kambing tetap menimbulkan hukum mahram.
2)        Kelompok ulama yang mempersempit pengharaman, yaitu pendapat yang telah disampaikan oleh Imam Lais bin Sa’ad yang mengambil riwayat dari Ahmad yang merupakan pendapat Mazhab Ibnu Hazm bahwa persususan hanya dapat terjadi dengan menetek langsung dari puting sang ibu, hal itu dilihat dari kejelasan arti pada lafadz rada’ah, arda'athuturdhi'uhu-irdha'an, kelompok ulama ini tidak setuju dengan kelompok pertama, karena sifat umumah tidak bisa timbul antara manusia dan hewan yang merupakan makanan dan tumpangan mereka.[33]
b.      Kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan
1)        Persusuan tidak harus terjadi dalam hal penumbuhan daging dan penumbuhan tulang; Yusuf Qardawi tidak sependapat dengan hadis yang digunakan Ibnu Qudamah untuk menguatkan pendapat pendapat jumhur bahwa persusuan yang dianggap adalah persusuan yang menumbuhkan daging dan menguatkan tulang. Berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud:
حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ الْمُغِيرَةِ حَدَّثَهُمْ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنٍ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا شَدَّ 8 الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ
Artinya : Bercerita padaku ‘Abdul Salam Ibn Mutahhir bahwa Sulaiman Ibn al-Mugirah bercerita kepada mereka dari Abi Musa dari ayahnya dari anak laki-laki ‘Abdillah Ibn Mas’ud dari Ibn Mas’ud berkata: “Bahwa tiada susuan kecuali susuan yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging” ......

Menurutnya jika ‘illat susuan terletak pada menumbuhkan daging dan menguatkan tulang dengan cara apapun maka sama seperti halnya tranfusi darah yang dilakukan oleh seorang wanita pada seorang anak, maka akan timbul hukum mahram, karena darah lebih cepat dibandingkan dengan ASI dalam hal menumbuhkan daging dan menguatkan tulang.[34]
2)   Wajur dan sa’ut tidak menimbulkan kemahraman;
Hukum mahram dapat timbul akibat penyusuan melalui menuangkan air susu melalui hidung (sa’ut) yang menurut jumhur ulama karena merupakan jalan yang membatalkan puasa dan menuangkan air susu ke tenggorokan melalui mulut (wajur) karena sama dengan menyusu. Menurut Qardawi tidak demikian, karena proses sa’ut sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh, hal itu sejalan dengan pendapat Abu Bakar, Mazhab Daud, dan perkataan Ata' al-Khurasaniy hal ini bukan penyusuan.[35] Menurut Qardhawi wajur tidaklah menimbulkan hukum mahram, dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat, karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah yang dihisap melalui tetek. Hal ini sesuai dengan pendapat dengan al-Lais, Abu Sulaiman yakni Daud, Imam Ahli Zahir dan para Ahli Zahir.[36]
3)        Sifat keibuan (umumah) merupakan ‘illat hukum mahram pada susuan.
Menurut Yusuf Qard{awi ‘illat dari timbulnya hukum mahram persusuan terletak pada sifat ummumah (keibuan) yang dalam bentuk verbal hanya terjadi dengan menyedot puting secara langsung. Keibuan yang ditegaskan dalam surah an-Nisa': 23 tidak terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Dan keibuan disini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya. Pendapat Qardawi sejalan dengan Ibn Hazm yang menganggap bahwa persususan hanya dapat terjadi dengan menetek langsung dari puting sang ibu, hal itu dilihat dari kejelasan arti pada lafaz rada’ah : arda'athu-turdi'uhu-irda'an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan rada'ah dan rada' atau rida’ (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu.[37]
4)   Hukum meragukan (syak) dalam rada’ah
Menurut Qardawi, pendapat jumhur yang mensyaratkan beberapa hal dalam penyusuan dan pengisapan seperti ketentuan wanita yang menyusui sehingga tidak diketahui siapakah wanita yang disusu oleh seorang anak? berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut, apakah lima kali susuan? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan? Dan apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air susu lainnya hukumnya sama dengan air susu murni, apakah yang lebih dominan?. Semua itu menimbulkan keraguan dalam hal persusuan sehingga tidaklah menyebabkan hukum mahram.. [38]
D.    Hukum Jual Beli Asi
Air Susu Ibu (ASI) adalah bagian yang mengalir dari anggota tubuh manusia, dan tidak diragukan lagi itu merupakan karunia Allah bagi manusia dimana dengan adanya ASI tersebut seorang bayi dapat memperoleh gizi. ASI tersebut merupakan sesuatu hal yang urgen di dalam kehidupan bayi[39]. Karena pentingnya ASI tersebut untuk pertumbuhan maka sebagian orang memenuhi kebutuhan tersebut dengan membeli ASI pada orang lain. Jual beli ASI manusia itu sendiri di dalam fiqih Islam merupakan cabang hukum yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Ada dua pendapat ulama tentang hal tersebut.[40]
Pertama, tidak boleh menjualnya. Ini merupakan pendapat ulama madzhab Hanafi kecuali Abu Yusuf, salah satu pendapat yang lemah pada madzhab Syafi'i dan merupakan pendapat sebagian ulama Hanbali. 
Kedua, pendapat yang mengatakan dibolehkan jual beli ASI manusia. Ini merupakan pendapat Abu Yusuf (pada susu seorang budak), Maliki dan Syafi'i, Khirqi dari madzhab Hanbali, Ibnu Hamid, dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga madzhab Ibnu Hazm.[41]

Sebab Timbulnya Ikhtilaf (Perbedaan)
Menurut Ibn Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam hal tersebut adalah pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah. Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui perahan.[42] Imam Malik dan Imam Syafi'i membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya. Alasan mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu halal untuk diminum maka boleh menjualnya seperti susu sapi dan sejenisnya. Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena dia disamakan seperti daging manusia.[43] Maka karena daging manusia tidak boleh memakannya maka tidak boleh menjualnya, adapun ASI itu dihalalkan karena dharurah bagi bayi, sebagaimana qawaid fiqih :
اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Darurat itu bisa membolehkan yang dilarang.
Hal ini jelas, karena akan menambah masalah. Kaitannya dengan pembahasan kita yaitu, ketiadaan ASI bagi seorang bayi adalah suatu kemudaratan, maka memberi bayi dengan ASI yang dijual di bank ASI adalah kemudaratan pula. Maka apa yang tersisa dari bertemunya kemudaratan kecuali kemudaratan.[44] Karena Fiqih bukanlah pelajaran fisika dimana bila bertemu dua kutub yang sama akan menghasilkan hasil yang berbeda. Maka penulis sependapat bahwa hendaknya kita melihat mana yang lebih besar manfaatnya daripada kerusakannya.
Sebagian Ulama Kontemporer Membolehkan Bank ASI.
Sebagian ulama kontemporer membolehkan pendirian bank ASI ini, diantara mereka adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi. Mereka beralasan :[45]
         Bahwa kata kata radha'(menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna menghisap puting payudara dan meminum ASI-nya. Maka oleh karena itu meminum ASI bukan melalui menghisap payudara tidak disebut menyusui, maka efek dari penyusuan model ini tidak membawa pengaruh apa-apa di dalam hukum nasab nantinya.
        Yang menimbulkan adanya saudara sesusu adalah sifat "keibuan", yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain mengikutinya.[46]
Dalam hal ini, perantaraan untuk meneguk susu tidak diambil karena pada pandangan jumhur ulama, ‘illat hukum ini terdapat pada sampainya susu ke dalam perut bayi walau dengan cara apapun. Sehingga meminum susu dari Bank ASI adalah tidak dibolehkan karena ia membawa kepada percampuran nasab yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu Wahbah Zuhayliy mendukung Majma' Fiqih al-Islami. Akan tetapi menurut Wahbah Zuhaiyly pengunaan ASI dalam Bank ASI dapat dilakukan dengan catatan diharuskan adanya beberapa syarat yang harus dipatuhi yaitu:
1).   Hendaklah susu itu diberikan kepada anak-anak oleh seorang wanita saja dan tidak bercampur aduk agar tidak bercampur nasab apabila ia memberikan susu lebih dari lima kali yang mengenyangkan.
2)    Hendaklah pihak pengurus Bank susu mengeluarkan catatan “Ibu Susuan” agar bayi yang menyusu kelak mengetahui ibu susuan dan saudara susuannya. Sementara wanita yang tidak menikah yang berkeinginan mengambil anak angkat untuk dijadikan anak susuan harus mematuhi pada kaidah dan hukum tersebut.[47]
                           Selain itu kehati-hatian terhadap percampuran nasab karena rada’ah mendapat perhatian dari Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa banyak dari manusia menganggap mudah dalam hal persusuan. Sehingga mereka menyusukan anaknya pada seorang atau beberapa wanita, dan tidak ada petunjuk untuk mengetahui anak-anak dan saudara wanita yang menyusui, begitu juga anak-anak suaminya dari selain wanita tersebut. Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui akibat hukum yang timbul, seperti hukum mahram dan hak-hak kekerabatan baru yang telah dijadikan oleh as-Syari’ seperti keturunan. Sehingga rentan terjadi perkawinan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan saudara perempuan maupun bibi dari ibu dan ayah dari hubungan sepersusuan, sedangkan lelaki tersebut tidak mengetahuinya. Maka diwajibkan adanya sikap kehati-hatian yang tinggi dalam masalah ini, sehingga manusia tidak akan terjatuh dalam hal-hal yang dilarang.[48]
Alasan yang dikemukakan oleh beberapa madzhab dimana mereka memberi ketentuan berapa kali penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dan ibu susu memilki ikatan yang diharamkan nikah, mereka mengatakan bahwa jika si bayi hanya menyusu kurang dari lima kali susuan maka tidaklah membawa pengaruh di dalam hubungan darah.[49]
Setelah memperhatikan berbagai pendapat yang disampaikan oleh para ulama, penulis tampaknya cenderung kepada yang membolehkan keberadaan Bank ASI dengan alasan sebagaimana yang disebutkan.
E.     Penutup
Kesimpulan 
            Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan permasalah hukum yang timbul terhadap Bank Asi adalah masalah radha’ah (menyusui) dan kemahramannya.
            Illat dalam masalah radha’ah adalah menyusunya, meski dalam prosesnya terjadi perbedaan pendapat terhadap kemahramannya. Ada perbedaan pada kadar susuan, ada yang berbeda pada cara masuknya susu tersebut, langsung atau tidak langsung. Ada yang berbeda pada kemurnian susu tersebut, asli atau sudah bercampur.       
Perbedaan pandangan ulama terhadap beberapa masalah penyusuan mengakibatkan mereka berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya Bank Asi. Akan tetapi kita sudah bisa mendapatkan illat dari masalah timbulnya Bank Asi yaitu menyusuinya. Apakah kadar susunya banyak sehingga sampai menumbuhkan tulang dan daging atau kadarnya hanya sekedar kenyang, mungkin sebatas tiga kali isapan; Apakah dihisap secara langsung dari putting susu ibu susuan, atau melalui botol maupun mungkin dimasukkan melalui alat lain;  Apakah susu tersebut telah bercampur atau masih murni; hal ini bukanlah menjadi persoaalan.
Perbedaan ini menimbulkan perbedaan terhadap kesimpulan hukum dalam hal Bank Asi pengqiyasan yang dapat kita ambil pada masalah ini adalah qiyas musawwi atau setara dengan hukum asal yamh illatnya radha’ah (menyusui) yang menyebabkan timbulnya hubungan kemahraman. Meski ada perbedaan pada masalah cara masuk susu tersebut; langsung dari putting atau tidak langsung, takarannya menjadi daging atau tidak , sahisab atau sampai kenyang. Sehingga terjadilah perbedaan pendapat sebagaimana berikut:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Salah satu alasannya: Bayi tidak bisa menjadi mahram bagi ibu yang disimpan ASI-nya di bank ASI. Karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung. Sedangkan dalam kasus ini, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua menyatakan hukumnya haram. Menimbang dampak buruknya menyebabkan tercampurnya nasab. Dan mengikuti pendapat jumhur yang tidak membedakan antara menyusu langsung atau lewat alat.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.


DAFTAR PUSTAKA
1.        Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan, Cetakan I.
2.        Abdul Qadim, Zallum, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati,Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
3.        Abdurrahman,  Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
4.        Ahmad Dahlan Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam.
5.        Ahmad Sawi al-Malik, Hasyiyah al-‘Allamah as-Sawi ‘ala Tafsir alJalalain
6.        Cholil, Uman,  Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Cet. 2, Surabaya: Ampel Suci, 1994.
7.        Ibnu Hamam, Syarh Fath al-Qadir, Juz III.
8.        Ibnu Qayyim, Jami’ al-Fiqh, Juz VI.
9.        Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II.
10.    M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol, I.
11.    Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Cet. V, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
12.    Masjfuk, Zuhdi,  Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Cet. XI, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
13.    Masjfuk, Zuhdi,  Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Cet. XI, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
14.    Muhammad Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah al-H{adisah pada masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam.
15.    Muhammad Ibn ‘Ismail al-Kahilaniy, Subul as-Salam, Juz III.
16.    Qararah wa Tausiyat Majma’ al-Fiqh al-Islami, Majma’ al-Fiqh al-Islami.
17.    Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II.
18.    Sunardi, Ayah Beri Aku ASI.
19.    Wahbah Zuh{aiyly, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu,Juz X.
20.    Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II.
21.    Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II.
22.    Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid III.
23.    Yusuf Qardawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan.



[1] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 47
[2] Ahmad Sawi al-Malik, Hasyiyah al-‘Allamah as-Sawi ‘ala Tafsir alJalalain, h.108-109
[3] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol, I, h. 470-471
[4] Wahbah Zuh{aiyly, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu,Juz X, h. 7274
[5] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 47
[6] Ibid, h. 817
[7] Wahbah Zuh{aily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,Juz X, h. 7275
[8] Susu awal yang dihasilkan payudara selama beberapa hari pertama persalinan. Susu awal ini berwarna kekuning-kuningan, kental dan lengket.
[9] Sunardi, Ayah Beri Aku ASI, h.48
[10] Ahmad Dahlan Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1475
[11] Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, h.783
[12] Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan, Cetakan I,h.207
[13] Muhammad Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah al-H{adisah pada masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, h.163
[14] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Cet. V, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, h. 120. 
[15] Ibid., h. 120
[16] ibid
[17] Cholil, Uman,  Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Cet. 2, Surabaya: Ampel Suci, 1994, h. 267.

[18] Ibid., h. 268-270
[19] Abdurrahman,  Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, h. 75.
[20] Masjfuk, Zuhdi,  Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Cet. XI, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2000, h. 157.
[21] Departemen Agama RI, ibid., h. 47
[22] Ibid., h. 105
[23] Muhammad Ibn ‘Ismail al-Kahilaniy, Subul as-Salam, Juz III, h. 217
[24] Wahbah Zuhayliy, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu, Juz X, h. 7273
[25] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, h. 39-40
[26] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h.191
[27] Ibnu Hamam, Syarh Fath al-Qadir, Juz III, h. 435
[28] Wahbah Zuhayliy, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu, Juz X, h. 7286
[29] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 105
[30] Wahbah Zuhayliy, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu, Juz X, h. 7289-7290
[31] Ibnu Qayyim, Jami’ al-Fiqh, Juz VI, h. 193 - 194
[32] Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, h.783
[33] Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid III, h.418-419
[34] Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, h.785-786
[35] Ibid., h. 785
[36] Ibid., h. 788
[37] Ibid.
[38] Ibid, h. 790
[39] Masjfuk, Zuhdi,  Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Cet. XI, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2000, h. 165.
[40] Ibid.
[41] Abdul Qadim, Zallum, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati,Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, h. 234.
[42] Ibid.
[43] Ibid., h. 245.
[44] Masjfuk, ZallumMasail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam,.... h. 312.
[45] Cholil, Uman,  Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern...., h. 311.
[46] Ibid., h. 314
[47] Ibid., h. 314.
[48] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h.195-196
[49] Cholil, Uman, Loc. Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...