Jumat, 26 Juni 2015

ALIRAN FILSAFAT HUKUM ISLAM

OLEH MASRIZAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam melihat penetapan hukum islam pada hakikatnya ada pada Tuhan. Karena dia adalah pencipta umat manusia serta berikut produk-produk hukum yang dihasilkan yang mengatur kehidupan ini. Juga kita mngetahui bahwa rasulullah saw adalah orang yang diutus untuk menerangkan norma-norma hukum tersebut terhadap umat manusia.
Sedangkan dilihat dari segi historis perjalan Islam dalam menetapkan hukum mengacu pada nash. Namun sebagai mana yang kita ketahui bahwa dalam perjalanan sejarah tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam aliran pemikiran islam dengan masalah hukum yang menyebabkan perbedaan pandangan dimasyarakat dan sikap tertutup dari masyarakat untuk menggali hukum. Disinilah pentingnya filsafat.
Ketika filsafat dijadikan sebagai alat untuk mendukung jalannya ijtihad,sebagaimana yang dilakukan Umar  bin Khatab terhadap pelaku pencuruian yang tidak dipotong tangannya oleh sebab masa itu adalah masa sulit,[1] maka pemikiran Hukum dalam Islam mulai menapaki era baru atau pencerahan. Melalui struktur logis yang dibangun dalam tradisi filsafat, para intelektual muslim berupaya mengembangkan ilmu keislaman menjadi beragam disiplin ilmu seperti kalam, fiqh, tafsir dan lain-lain. 
Quraish Shihab dalam bukunya Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat, menjelaskan bahwa masa merupakan arus deras dan melaju tanpa dapat dibendung. Perubahan adalah keniscayaan. Manusia hanya mempunyai dua pilihan, mandek hingga tergilas dan mati atau maju bersamanya tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya.[2]   Dengan kata lain, Islam menghendaki terciptanya kemaslahatan seluruh umat manusia tak terkecuali hanya yang membedakan mungkin dari sisi konsekuensi (balasan) dan perlakuan terhadap orang-orang di luar Islam.[3]
Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu al Qayyim bahwasanya syari’ah merupakan keadilan, rahmat, mashlahah dan hikmah secara universal.[4] Nilai-nilai Islam yang dimaksudkan adalah terimplementasinya maqâ shid syarî ah al-khamsah yang merupakan metode filsafat hukum Islam.
Disebabkan semua inilah maka timbulnya dorongan untuk menjawab permasalah kehidupan umat oleh para tokoh pemikir Islam yang bermuara pada lahirnya aliran-alirah dalam hukum dan filsafat hukum islam.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian singkat tersebut yang menjelaskan bahwa pembahasan pada kali ini tentang “Filsafat Hukum Islam”. Dan untuk pembahasan yang terfokus, maka rumusan pokok masalah pada tulisan ini sebagai berikut :
1.   Apa pengertian Filsafat Hukum Islam ?
2.   Bagaimana Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam (Ushul Fiqih) ?
3.   Apa Aliran yang Berkembang Dalam Filsafat Hukum Islam?




BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Filsafat Hukum Islam
Filsafat Hukum Islam terdiri atas 3 kata yaitu Filsafat, Hukum dan Islam. Masing-masing dari 3 kata tersebut memiliki definisi tersendiri. Maka sebelum mengetahui pengertian Filsafat Hukum Islam, mari kita ketahui terlebih dahulu masing-masing arti dari 3 kata tersebut :
1. Pengertian filsafat
Filsafat diambil dari bahasa arab “Falsafah”, berasal dari bahasa yunani “philosophia” kata majemuk yang terdiri dari kata “Philos” yang artinya cinta atau suka dan kata “Sophia” yang artinya kebijaksanaan. Dengan demikian, secara etimologi kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Dan secara terminologi, filsafat mempunyai arti yang bermacam. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tersebut[5]:
a. Plato (427 SM-347 SM) ia seorang filsuf yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia sendiri berguru pada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.[6]
b.  Aristototeles (381 SM-322 SM). Mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.[7]
c.  Al-Farabi (wafat 950 M). seorang filsu muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya[8].
2.  Pengertian Hukum dan Islam
Dalam filsafat hukum dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hukum, sumber hukum dan manfaat atau fungsi hukum dalam masyarakat.[9] Hukum secara etimologis seperti yang dijelaskan oleh Ibn Mandzur, berasal dari bahasa Arab, al-hukm berarti al-‘ilm wa al-fiqh. Juga berarti al-‘adl. Fi’il muta’addinya yaitu kata ahkama mempunyai arti atqana (berpegang dengan teguh). Al-hukm juga berarti al-qada’ (ketetapan) dan al-man’ (pencegahan).
Sedangkan secara terminology, hukum adalah sekumpulan aturan-aturan, baik berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai pengikat bagi anggotanya. Oleh karena itu, hukum Islam menurut Abu Zahrah adalah titah (khitab) pembuat shara’ yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau penetapan. Definisi ini lebih mendekati makana shari’ah. Sedang menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy adalah koleksi daya upaya fuqaha’ dalam menerapkan shari’ah Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Definisi ini lebih mendekati makna fiqh.[10]
Dari beberapa penjelasan di atas dapat didefinisiskan bahwa filsafat hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber asal muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya, serta fungsi dan manfaat hukum islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya. Dengan kata lain kajian ini berupaya menjawab persoalan-persoalan hukum Islam secara kontemplatif, sistematif, logis dan radikal. Atau juga filsafat hukum Islam dapat diartikan setiap kaidah, asas atau mabda’, aturan-aturan pengendalian masyarakat   pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah itu dapat berupa Alqur’an, hadist, pendapat sahabat dan thabiin, ijma’ ulama’ dan fatwa lembaga keagamaan. Al-jurjani dalam bukunya Hikmah Al-Tasyri wa Falsafatuh juga menjelaskan bahwa filsafat hukum Islam diistilahkan hikmah at-tasyri’.[11] Filsafat hukum Islam sendiri dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Falsafah asy-syari’ah, yang mengungkapkan masalah ibadah, muammalah, jinayah dan ‘uqabah dari materi hukum Islam. Falsafah syari’ah mencakup asrar al-ahkam, khasha’ilah al-ahkam, mahasin al-ahkam dan thawabi’ al-ahkam. Falsafah Tasyri’, yaitu filsafat yang memancarkan hukum islam, menguatkan dan memeliharanya. Falsafah tasyri’ meliputi ushul al-ahkam, maqasid al-ahkam dan qawa’id al-ahkam. Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuh, yaitu kajian mendalam dan radikal tentang prilaku mukallaf dalam mengamalkan hukum Islam sebagai undang-undang dan jalan kehidupan yang lurus.[12] Jika kita berbicara tentang Hukum, secara sederhana segera terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah-laku manusia dalam suatu masyarakat. Baik peraturan berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa[13].
Tidak ada pengertian yang sempurna mengenai Hukum. Namun para pakar berusaha memberikan jawaban yang mendekati kebenaran. Menurut Nasrudin Rozak, Hukum adalah peraturan-peraturan tentang perbuatan dan tingkah laku manusia didalam lalu lintas hidup[14].
Islam secara etimologi berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Jadi Hukum Islam adalah Hukum yang bersumber dari agama dan menjadi bagian agama Islam[15].
3. Pengertian Filsafat Hukum Islam
Adapun pengertian secara terminologi, menurut Azhar Basyir : ia mengatakan bahwa “Filsafat Hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematik, dapat dipertanggung jawabkan dan radikal tetang Hukum Islam.” Filsafat Hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujun Hukum Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penepatannya. Dan Filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara Hukum Islam sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka bumi yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Jadi Filsafat Hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber asal-muasal hukum islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan manfaat hukum islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya[16].
Dengan rumusan lain Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, meguatkan, dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka bumi yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini hukum Islam akan benar-benar “cocok sepanjang masa di semesta alam”
Apabila kita mengikuti pendapat al-Jurjawi bahwa yang dihasilkan oleh ahli pikir adalah filsafat dan yang dihasilkan orang yang mendapat kasyf dari Allah SWT sehingga menemukan kebenaran adalah hikmah.
B.     Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam (Ushul Fiqih)
Hukum Islam Mengacu pada pandangan hukum yang berifat  teleologis. Artinya hukum Islam itu diciptakan karena iia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagian di akhirat. Jadi hukum Islam Bukan bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana’ dan pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak. Inilah yang membedakannya dengan hukum manusia yang menghendaki   kedamaian di dunnia saja.
1.   Pertumbuhan Filsafat  Hukum Islam
Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad merupakan awal dari lahirnya filsafat hukum Islam pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu, pemikiran falsafi yang salah di benarkan oleh wahyu, ketika Rasulullah telah wafat dan wahyupun telah usai maka akal dengan pemikiran falsafinya berperan baik dalam perkara yang ada Nashnya maupun yang tidak ada. Pemikiran falsafi terhadap hukum islam yang ada nashnya bermula pada masa khulafaurasyidin terutama umar bin khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf, dll. Yang dilakukan oleh Umar bedasarkan kesesuaian zaman untukk menjamin menegakkan keadilan yang menjadi asas hukum islam, merupakan contoh penerapan hukum berdasarkan hukum manusia. Jadi penerapan hukum harus dapat meneggakkan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum islam
2.   Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Kegiatan penelitian terhadap tujuan hukum (Maqasid Al-Syariah) telah dilakukan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu, Al-Juwaini dapat diakatakan sebagai ahli Ushul fiqih pertama yang menekankan pentingnya memahami Maqashid Syariah dalam penetapan Hukum ia menyatakan bahwa seseoarang tidak dikatakan mampu menetapakan hukum dalam Islam sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah Menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya
Al-juawaini mengelaborasi lebih lanjut Maqashid Al-Syariah dalam kaitannya dalam pembahasan illat  pada masalah Qiyas. menurut Pendapatnya, dalam kaitannya dengan Illat, ashl dapat dijadikan 5 kelompok, yaitu kelompok darruriyat, al-hajjiyyat al-ammat, makramat, sesuatu yang tidak termasuk kelompok Darruiyat dan Hajjiyat dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Pada dasarnya Al-Juwaini mengelompok ashl atau tujuan hukum menjadi 3 kelompok yaitu Darruriyat, Hajjiyat, Makramat yang terakhir dalam istilah lain disebut Tahsiniyyat. Pemikiran Al-juwaini dikembangkan oleh muridnya yaitu al-Ghazali, beliau menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dalam pembahasan al-Mnasabat al-maslahiyyat dalam Qiyas. Sementara dalam kitab yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan Istishlah. Ia menrincikan maslahat itu menjadi lima, memlihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ahli ushul fiqih yang membahas secara khusus aspek utama Maqashid al-syariahadalah Izz al-Din Ibn Abdal-Salam dari kalangan mazhab Syafii. Dalam kitabnya Qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat maslahat yang dijawantahkan dalam bentuk Dar’u al-mafasid wa Jalbu al-manafi (menghindari mafsadat dan menarik manfaat). Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba mengembangkan prinsip mashlahat yang merupakan inti pembahasan dalam Maqashid al-syariah.
Ahli Ushul fiqih yang membahas teori Maqashid Al-Syariah secara khusus, sistematis dan jelas adalah, al-Syahtibi dari kalangan madzhab Maliki, dalam kitabnya Al-Muwafaqad ia menghabiskan kurang lebih sepertiga pembahasannya dalam masalah ini, ia secara tegas bahwa tujuan Allah SWT. Mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.  Karena itu taklik dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan hukum tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya para penulis Filsafat Hukum Islam mencoba menonjolkan istilah filsafat hukum Islam ketimbang menggunakan Istilah Hikmah atau tujuan disyariatkan hukum Islam.
C.     Aliran yang Berkembang Dalam Filsafat Hukum Islam
Dalam istilah Hukum Islam aliran disebut juga dengan istilah mazhab. Perkataan  mazhab berarti jalan yang dilalui atau jalan yang ditempuh.[17] Dapat juga berarti pokok-pokok pikiran yang diikuti, seperti perkataan Imam asy-Syafi’i;
ھ ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺢﺻ اذا
Wahbah az-zuhaily[18]   dalam kitabnya Fiqh  Islamy wa adillatuhu, menjelaskan  bahwa mazhab adalah hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan  kata  lain,   mazhab diartikan  dengan jalan  yang mengantarkan  seseorang  kepada suatu tujuan tertentu  pada kehidupan  dunia, begitu  juga dengan hukum-hukum  dapat mengantarkan  seseorang kepada satu tujuan di akhirat.
Ketika   dilakukan  penelusuran terhadap al-Qura dan Sunnah, tidak ditemukan satu perkataan  pun yang memberikan  petunjuk atau isyarat akan adanya istilah mazhab,  tidak ditemukan suatu ungkapan yang mengisyaratkan bahwa mazhab tersebut ada dalam ajaran Islam. Demikian juga pada Rasulullah SAW,  yang tidak mengajarkan  adanya pengkultusan  suatu  pendapat.  Semua umat Islam adalah satu, satu pendapat, yaitu mengikuti  pendapat dan ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Tidak jauh berbeda dengan Rasulullah, para sahabat pun  tidak mengenal adanya mazhab, meskipun di antara mereka ada yang ahli  dalam berijtihad, seperti Abu Bakar  Shiddiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, Ali bin muthalib, dan lain-lainnya. Bahkan Rasulullah Saw menegaskan agar umat Islam mengikuti Abu Bakar dan Umar bin Khatab dalam sebuah sabdaNya;
و ا يﻌﺑ ﺬﻟ اوا
Artinya:   Ikutilah olehmu sekalian dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar ibn Khathab
Pada kesempatan  yang lain, Rasulullah memerintahkan  umatnya untuk
mengikuti khalifah yang empat, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Untuk maksud ini, Rasulullah bersabda;
ي ﻦﻣ ا را ءا ﻨﺳو ﺜﻨﺴﺑ ﯿ "
Artinya; Hendaklah kamu sekalian mengikuti Sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. (HR. Ahmad dan Turmuzi).
Munculnya istilah  mazhab berawal pada zaman sahabat Rasulullah. Umpamanya adalah  pada masa itu ada mazhab Aisyah, mazhab Abdullah bin Umar, mazhab Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lainnya.[19]  Suksesi pemerintahan, pasca wafatnya Rasulullah SAW. menggiring para sahabat terjebak dalam ranah politik (siapa yang layak menjadi kepala Negara), dan ranah teologi ( apakah akal  dapat mengetahui wahyu,  dan bagaimanakah  hubungan akal  dengan wahyu),dan  bahkan lebih jauh dari itu, umat Islam mulai merumuskan  metode penggalian hukum  (dalam  persoalan fikih   dan  Ushul  Fikih).   Tren  ini berkembang  seiring dengan berkembang  dan meluasnya pemerintahan  Islam. Dengan demikian, suksesi pemerintahan juga telah ikut   ambil bagian dalam sejarah pembentukan  dan perkembangan  hukum Islam.  Keadaan  ini  telah membentuk tiga aliran  atau mazhab besar dalam Hukum Islam, yaitu mazhab Zahiriyah, Hambaliyah, Malikiyah dan Syafi’iyah
a. Mazhab Ahl al-Sunnah
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, para sahabat banyak yang pergi meninggalkan kota Madinah, menuju kota-kota yang baru dibangun seperti Kufah, Mekkah, Basrah, Mesir dan Syam. Di ibu kota tersebut mereka mengajarkan  fikih,  meriwayatkan hadist, dan mengembangkan  ajaran agama. Umat Islam  di daerah tersebut  pun berlomba-lomba  untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama berupa fikih dan Hadist, sehingga banyak melahirkan generasi yang mumpuni. Di antara mereka adalah Sa’id ibnu Musayyab (13 H-94 H), Ibrahim  An-Nakhai  (46 H- 96 H), Amir ibn Surahbi (19 H- 103  H)l, Thaus ibn Kaisan al-Yamani (W 106 H), Al-Hasan ibn Jasar al-Bhisr i (W 11H), dan Atha’ ibn Abi Rabah (27 H-11 H).[20]
Pada periode ini, fikih mulai dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri, dan para ulama pun mulai saling berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang lebih  dominan dalam menggunakan   wahyu  di  samping akal  atau ra’yi. Sebahagiannya  lagi  mereka lebih dominan menggunakan  ra’yi  atau logika ketimbang wahyu. Untuk itu, para ulama fikih pada masa ini  terbagi kepada dua golongan, yaitu; golongan Ahlur Ra’yi dan golongan Ahlul Hadist.[21]
a.1)  Ahlul Hadist.
Ulama  golongan ini,  dalam menyelesaikan persoalan fikih,   lebih mengkedepankan  atau lebih dominan  menggunakan hadist ketimbang  akal atau rakyi. Karenanya  mereka menjauhi penggunaan rakyi dan baru akan menggunakannya  bila  dalam keadaan yang sangat mendesak. Untuk itu kegiatan mereka banyak dicurahkan untuk menghafal hadist-hadust dan fatwa para shahabat. Aliran ini berkembang di daerah Hejaz. Di antara tokohnya adalah; Sa’id ibn Musayyab (W 94 H), Amir bin Syurahel asy-Sya’by (W 104 H), dan lain-lain.
Adapun faktor penyebab aliran ini berkembang di Hejaz adalah;
1)     Pengahruh dari  para sahabat yang mengajarkan fikih  di  hejaz,  yang notabene sebagai ahlul  hadist.  Umpamanya ‘Abdullah   ibn  Abbbas,‘Abdullah ibn Umar.
2)     Banyaknya jumlah sahabat yang berdomisili di daerah Hejaz, serta merta Sunnah dan fatwa sahabat beredar  dengan jumlah yang besar.
3)     Di daerah  Hejaz, jarang sekali terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak di dapati hukumnya di dalam al-Quran dan Hadist, serta fatwa-fatwa sahabat dikarenakan kehidupan  masyarakat Hejaz pada saat itu hampir tidak berbeda dengan masa sebelumnya.
a.2)   Ahlul Rakyi.
Kelompok  yang berorientasi kepada rakyu  (pendapat akal)  dalam menetapkan hukum  dan  meneliti  berbagai mashlahat untuk  dijadikan landasan hukum. Aliran ini muncul disebabkan oleh karena sedikitnya jumlah hadis yang beredar di tempat fuqaha berada. Keadaan ini mendorong mereka untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum.
Aliran   ini   berkembang di  daerah Irak.   Adapun tokohnya yang termasyhur adalah; Al-Qamah bin Qeys (W. 62 H), Ibrahim bin Yazid an- Nakha’I (W. 95H).

Adapun faktor penyebab aliran ini berkembang di Irak adalah:
1)     Pengaruh  dari sahabat  yang pertama  mengajarkan  fikih,  umpamanya
2)     Abdullah bin Mas’ud, yang notabene bercorak rakyi.
3)     Sedikitnya  jumlah hadist dan fatwa sahabat yang beredar di Irak.
4)     Banyaknya persoalan fikih yang muncul di daerah Irak.
5)     Daerah  Irak  merupakan pusat kegiatan politik,  dan daerah tempat berkembangnya aliran Khawarij  dan Syi’ah,  yang memicu munculnya hadist-hadist palsu
Pada pemerintahan  Bani  Abbasiyah, lahirlah imam-imam  mujtahid yang professional dari golongan Ahlul Hadist dan Ahlur Rakyi. Di antaranya yang   popular dan masih eksis sampai sekarang adalah Mazhab Hanafy, Mazhab Malik, Mazhab asy-Syafi’I, Mazhab Hanbali, dan mazhab Zhahiry.[22]
b.  Mazhab  Hanafi.
Mazhab ini dibangun  oleh Imam  Abu Hanifah, merupakan ulama besar yang telah mewarnai dunia dengan khazanah  ilmu pengetahuan,  terutama  di bidang ilmu fiqih. Keluasan ilmu, pengalaman,  kezuhudan, keberanian seolah menyatu dalam diri  sang Imam.  Nama asli  dari Imam  Hanafi adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Kufah pada tahun 80 Hijriah (699 M).[23]   Pada masa remajanya, beliau telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu, walaupun beliau anak seorang saudagar  kaya namun beliau menjauhi hidup.
Gubernur  di Iraq  pada waktu itu adalah Yazid  bin Hurairah Al-Fazzari. Pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan Baitul mal, tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia  tidak mau menerima  kedudukan tinggi tersebut. Sampai  berulang kali   Gabenor Yazid  menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.
Pada saat yang lain Yazid menawarkan pangkat Hakim tetapi imam Hanafi
juga menolaknya. Oleh kerana itu ia diselidiki  dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya. Akhirnya Imam Hanafi ditangkap oleh gubernur dan dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu dan lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gubernur menawarkan menjadi kadi,  juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi  dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110  kali. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya hingga ia dilepaskan kembali.
Madzab Hanafi disebarluaskan oleh murid-murid beliau dan fatwa-fatwa beliau dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para muridnya sehingga tersebar luas dan dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafi’i.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam Hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar. Dalam menetapkan hukum, Imam Hanafi menggunakan  metode berdasarkan  Al  Quran, Sunnah Rasul,  Fatwa sahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan ‘Urf. Sedangkan 'Urf maksudnya adalah adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.[24]
c. Mazhab Malik.
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik, merupakan salah satu imam ahli fikih  yang masyhur dan termasuk dari 4  Imam  Madzhab. Keluasan ilmu, kedermawanan, keshalehan pada diri beliau banyak dituliskan dalam kitab-kitab sejarah Islam. Profil biografi imam malik penuh dengan semangat mencari ilmu yang akan kita bahas secara ringkas dalam artikel ini.
Imam malik dilahirkan di kota Madinah al Munawwarah  pada tahun 93 H, dengan nama lengkapnya Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah.[25]
Guru Imam  Malik  diantaranya  adalah Nafi’  bin Abi  Nu’aim,  Nafi’  al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Sedangkan murid-murid beliau diantaranya adalah Ibnul Mubarak, Imam Syafi’i, Al Qathan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al  Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Abu Hudzaifah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.
Al Muwaththa' merupakan  kitab yang disusun oleh Imam  Malik,  yang beliau susun selama 40 tahun, dan telah ditunjukan kepada 70 ahli fiqh kota Madinah. Kitab Al Muwaththa’ berisi 100.000 hadits, yang diriwayatkan oleh lebih dari seribu orang dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. Sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H pada usia 87 tahun.
Adapun metode istimbat hukum mazhab Maliki adalah al-Quran, Sunnah, Ijmak ahli Madinah, Qiyas, Istishlah atau al-mashalih al-Murshalah.
d. Mazhab  Syafi'i.
Mazhab ini  didirikan oleh Imam  asy-Syafi’i [26]  merupakan  ulama besar yang memiliki pengetahuan yang mendalam di berbagai disiplin ilmu terutama di bidang fiqh. Termasyhur bukan hanya karena kejeniusannya tapi juga karena sifat dermawan, wara’ dan kezuhudan beliau.[27]
Salah satu karangannya adalah “Al-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’I adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh,  hadis, dan ushul. Ia  mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz.
Pertemuan  Imam  Syafi’i  dengan Imam  Ahmad bin Hanbal terjadi di Mekah pada tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam  Syafi’i  banyak belajar tentang ilmu  fiqh,  ushul  madzhab, penjelasan nasikh dan mansukh. Di Baghdad, Imam  Syafi’i  menulis madzhab lamanya. Kemudian  beliau pindah ke Mesir  tahun 200 H  dan menuliskan madzhab  baru.[28]   Di  sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Adapun metode  penetapan  hukum mazhab asy-Syafi’I  adalah al-Quran, Sunnah, Ijmak,  Fatwa  sahabat yang disepakati, fatwa sahabat yang diperselisihkan, Qiyas dan Istidlal.

e. Mazhab Ahmad bin Hambal
Mazhab Ahmad bin Hanbal di bangun oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (164 H)[29] .Riwayat  tentang sejarah kehidupan Imam  Ahmad bin Hambal banyak ditulis oleh banyak 'ulama di berbagai kitab mereka. Keutamaan ilmu, kekuatan hafalan dan akhlak beliau menyinari perjuangan  Islam di sepanjang  sejarah. Profil biografi Imam  Ahmad bin Hambal merupakan mutiara pelajaran besar yang dapat kita ambil hikmahnya.
Murid Ahmad bin Hambal banyak dari kalangan 'ulama besar di antaranya Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Hambal bin Ishaq dan lainnya.
Kitab  beliau sangat banyak, di antaranya adalah Kitab  Al  Musnad yang berisi lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits, Az-Zuhud, Fadhail Ahlil  Bait, Jawabatul Qur’an, Al  Imaan, Ar-Radd ‘alal  Jahmiyyah, Al  Asyribah dan Al Faraidh.
Adapun sandaran hukum mazhab Hanbali adalah ;
a)     An-Nushus.  Ia  memberikan fatwa berdasarkan nash, sebagai rujukan utama.
b)     Fatwa sahabat. Ketika tidak ditemukan nash, maka imam Ahmad merujuk kapada fatwa sahabat, sebatas ia tidak mengetahui bahwa fatwa tersebut ada yang menentangnya atau masih dalam perselisihan.
c)      Fatwa yang paling dekat dengan  nash. Ahmad lebih memilih pendapat sahabat yang mendekati al-Quran dan Sunnah bila ada beberapa pendapat yang berlainan dan saling bertentangan tentang suatu hukum. Kadang ia tidak  memberikan fatwa  jika  tidak  ada yang  menguatkan pendapat saahabat tersebut, dan kadang kala mengambil salah satu pendapat yang masih diperselisihkan tersebut.
d)     Hadis  mursal  dan dha’if   yang dianggapnya lebih  kuat  dari  Qiyas. Penggunaan hadist mursal dan dha’if tersebut dipilihnya selama tidak ada dalil   lain   yang  menentangnya, seumpama pendapat sahabat  dan ijmak. Adapun hadist dha’if yang diambilnya adalah hadist dha’if yang tidak sampai pada derajat hasan dan shahih.
e)     Qiyas. Jika  keempat dalil  di atas tidak dapat diterapkan, barulah dia mengambil metode qiyas.[30]
f.  Mazhab Zhahiri
Pendiri dari mazhab Zhahiry adalah Daud ibn Ali  al-Ashfahaniy  yang dilahirkan pada tahun 202 H.  di  Kufah  dan wafat pada tahun 270  H  di Baghdad..[31]
Pada awalnya Daud Zhahiry merupakan  penganut  mazhab asy-Syafi’I yang baik, termasuk ulama yang rajin mendalami dan mempelajari hadist-hadist Rasulullah.
Inti  dari ajaran dan paham yang berkembang dalam mazhab az-zhahiri berkisar  pada persoalan hukum  Islam   dan  pendekatan-pendekatan   yang digunakan dalam memahami sumber tersebut. Konsekuensi logis dari pendapat tersebut adalah adanya perbedaaan pendapat dalam masalah fikihnya.
Seperti telah disebutkan, Imam  Daud az-Zhahiri  menolak al-qias  dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Dalam cara mempertegas ijtihadnya, Imam Daud az-Zhahiri berkata :
ع او ﻨﺴا و بﺘﻜأ : لﻮﺻا نا
 “Sumber hukum pokok hanyalah al-Qur’an, Sunnah, Ijmak.”[32]
Bagi  penganut az-Zhahiri  keumuman nash  al-Qur’an  sudah cukup menjawab semua tantangan dan masalah. Pendirian tersebut berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl: 89:
 “(dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang  saksi  atas  mereka  dari  mereka  sendiri  dan  kami datangkan  kamu (Muhammad) menjadi saksi atas  seluruh  umat manusia.  dan  kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
            Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‘illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias  sebagai  cara ijtihad, seperti Imam  ibn Idris  al-Syafi’i.  Menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal.
Ulama yang mengakui al-Qias biasanya ingin mengetahui makna tersirat dari suatu ketentuan  al-Qur’an  dan sunnah. Dalam rangka mengetahui  dalil dibalik teks, ulama melakukan penelitian, sehingga  diketaui ‘illat  hukumnya, baik ‘illat yang terdapat dalam Nash secara tekstual (‘illat manshusah) maupun ‘illat yang diperoleh setelah melalui penelitian (‘illat mustanbathah). Bagi Imam Daud az-Zhahiri, tujuan penentuan syari’ah adalah Ta’abbudi (bukan ta’aquli).
Adapaun al-dalil yang merupakan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam  Daud az-Zhahiri  dibangun  oleh Ibnu  Hazm. Ad-dalil  adalah  suatu metode pemahaman suatu nash yang menurut ulama mazhab az-Zhahiri,  pada hahikatnya tidak keluar dari nas dan atau ijmak itu sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil   dilakukan  pendekatan kepada nash  atau  ijmak   melalui  dilalah (petunjuknya) secara langsung tanpa harus mengeluarkan  ‘illatnya  terlebih dahulu. Dengan demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qias, sebab untuk melakukan qias diperlukannya kesamaan ‘illat secara kasus asal dan kasus baru. Sedangkan pada ad-Dalil tidak diperlukan mengetahui ‘illat tersebut.
g. Mazhab Syia’h
1. Sejarah munculnya Syi'ah
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun menurut Watt, syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah. Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan kelompok mendak sikap Ali (Khawarij).[33]
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengn masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib  yang  berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya, yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar biasa besar.[34]
Perbedaan pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam yang memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah Perang Siffin.
Dalam perkembangan selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan kepada kenabian), Nubuwwah (Percaya kepada kenabian), Ma’ad (kepercyaan akan adanya hidup diakhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahl-al bait), dan adl (keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan antara sunni dan syi’ah terletak pada doktrin imamah.[35] Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejrah, kelompok ini akhirnya tepecah menjadi beberapa aliran. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Diantara aliran-aliran syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah. Zaidiyah, dan Ghullat.
2.  Pokok-pokok Ajaran  Syi'ah
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.

a.   At tauhid
Kaun Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT.[36]
b.   Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya, bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.[37]
c.    An nubuwwah
Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka yang melakukan amal shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka yang durhaka dan mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru), makhluk (diciptakan) hukian qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas huruf-huruf dan suara-suara yang dapat di dengar, sedangkan Allah berkata-kata tidak dengan huruf dan suara.[38]
d.    Al-Imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam dunia.Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang ilegal dan tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga iamam tidak berdosa serta perintah, larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh diganggu gugat ataupun dikritik.[39]
e.   Al-Ma’ad
Secara harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat. Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwahari akhirat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.[40]

3. Aliran dalam Syiah
1)  Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini  dikaitkan kepada Zaid bin Ali  Zainal Abidin[41],  seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di jamannya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqih ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqih Zaidiyah. Namun ada di antara ulama fiqih yang menyatakan  bahwa buku tersebut  bukan tulisan langsung dari Imam  Zaid.
Namun Muhammad Yusuf   Musa  (ahli  fiqih  Mesir)  menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam
Zaid di jamannya dikenal sebagai seorang faqih  yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqih. Kitab al-Majmu’ ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al- Husein bin Haimi al-Yamani as-San’ani dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang  Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya  adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim, yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan  dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam  al-Hadi  menulis beberapa kitab fiqih. Di antaranya Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram.  Setelah itu terdapat  imam Ahmad bin Yahya  bin Murtada yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Mazahib ’Ulama’ al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlusunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudhu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non- muslim, dan haram mengawini wanita ahlul kitab. Di  samping itu, mereka tidak sependapat  dengan  Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut’ah. Menurut Muhammad  Yusuf  Musa, pemikiran fiqih Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra’yi.
Adapun pokok-pokok pikiran dari mazhab zaidiyah ini adalah;[42]  Sanad hadist yang diutamakan adalah yang berasal dari Ahlul bait, Khalifah bukanlah jabatan keturunan, tetapi khalifah yang terbaik adalah khalifah yang diangkat dari golongan Fathimah.Melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar adalah kewajiban setiap muslim. Oleh sebab itulah dia mengangkat  senjata untuk melawan Yazid  pelaku dosa besar diletakkan antara kufur dan iman, yang dinamakan  fasiq. Manusia mempunyai  ikhtiar dan bertindak  sesuai  dengan kemampuannya. Para imam tidak mempunyai mukjizat.
2)   Mazhab Syiah Imamiyah
Golongan Syiah Imamiah disebut juga dengan golongan itsna Asyiriah (imam yang dua belas), karena menurut mereka hanya ada dua belas imam yang wajib diikuti, yaitu; Ali  bin Abi Thalib, Hasan bin Ali,  Husein bin Ali, Ali  Zainal Abidin,  Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Musa bin Ja’far, Ali al-Ridha bin Musa, Muhammad al-Jawad,  Al-Hadi, Hasan al-Asy’Ari, dan Muhammad al-Mahdi.[43]
Menurut Muhammad  Yusuf  Musa, fiqih Syiah Imamiyah  lebih dekat dengan fiqih  Mazhab Syafi’i  dengan beberapa  perbedaan  yang mendasar. Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah  tidak menerima  qiyas sebagai  salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam,  yang menurut keyakinan mereka terhindar dari  kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara’, kecuali ijma’ bersama imam mereka.Untuk itu, yang menjadi pegangan pokok dalam mazhab ini adalah al- Kitab, As-Sunnhah, Ijmak, dan Aqal.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim, diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqih Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj  al-Qummi. Dasar pemikiran fiqih Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang  berjudul Basya’ir   ad-Darajat    fi   ’Ulum  ’Ali  Muhammad  wa   ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan  oleh Muhammad  bin Ya’qub  bin Ishaq  al-Kulaini  melalui kitabnya, al-Kafi fi ’ilm .
3) Al-Kaisaniyah
Kaisaniyah ialah nama aliran Syiah yang meyakini bahwa kepemimpinan setelah Ali bin Abi Thalib beralih ke anaknya Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat mengenai pendiri Syiah Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas budak Ali bin Abi Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar bin Abi Ubaid yang memiliki nama lain Kaisan.[44]
Diantara ajaran dari Syiah Kaisaniyah ini ialah, mengkafirkan khalifah yang mendahului Imam Ali r.a dan mengkafirkan mereka yang terlibat perang Sifin dan Perang Jamal (Unta), dan Kaisan mengira bahwa Jibril a.s mendatangi Almukhtar dan mengabarkan kepadanya bahwa Allah Swt menyembunyikan Muhammad bin Hanafiyah.[45]
Aliran Kaisaniyah ini terbagi menjadi beberapa kelompok, namun kesemuanya kembali kepada dua paham yang berbeda yaitu: 1. Meyakini bahwa  Muhammad bin Hanafiyah masih hidup. 2. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah tiada, dan jabatan kepemimpinan beralih kepada yang lain.[46]
Pokok-pokok ajaran Syi’ah al-Kaisaniyah anatara lain:
(1)     Mereka tidak percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali ibn Abi Thalib, seperti kepercayaan orang-orang Saba’iyah.
(2)     Mereka mempercayai kembalinya imam (raj’ah) setelah meninggalnya. Bahkan kebanyakan pengikut al-Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah itu tidak meninggal, tetapi masih hidup bertempat di gunung Radlwa.
(3)       Mereka menganggap bahwa Allah Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut perubahan ilmu-Nya. Allah Swt. Memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula kebalikannya.
(4)       Mereka mempercayai adanya reinkarnasi (tanasukh al-arwah).
  (5)     Mereka mempercayai adanya roh.[47]
4).  Al-Ghaliyah
Istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw yang artinya bertambah dan naik. Ghala bi ad-din yang artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas. Syi’ah ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim. Lebih jauh Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Nabi Muhammad.
Gelar ektrem  (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan ada juga beberapa orang yang dianggap sebagai Rasul setelah Nabi Muhammad. Selain itu mereka juga mengembangkan doktrin-doktrin ekstrem lainnya tanasukh, hulul, tasbih dan ibaha.
Aliran-aliran yang terkenal di dalam Syi’ah Ghulat ini adalah Sabahiyah, Kamaliyah, Albaiyah, Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiyah dan Nasyisiyahwa Ishaqiyah. Nama-nama aliran tersebut menggunakan nama tokoh yang membawa atau memimpinnya. Aliran-aliran ini awalnya hanya ada satu, yakni faham yang dibawa oleh Abdullah Bin Saba’ yang mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan. Kemudian karena perbedaan prinsip dan ajaran, Syi’ah ghulat terpecah menjadi beberapa aliran. Meskipun demikian seluruh aliran ini pada prinsipnya menyepakati tentang hulul dan tanasukh. Faham ini dipengaruhi oleh sistem agama Babilonia Kuno yang ada di Irak seperti Zoroaster, Yahudi, Manikam dan Mazdakisme.
Adapun doktrin Ghulat menurut Syahrastani ada enam yang  membuat mereka ektrem yaitu:
(1) Tanasukh yang merupakan keluarrnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi.[48] Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
(2)   Bada’ yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan dengan perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya.[49] Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah Ghulat  memiliki bebrapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, maka artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan kehendak maka artinya memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang diterapkanNya. Bila berkaitan dengan perintah maka artinya yaitumemerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah yang sebelumnya.[50] Faham ini dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan dirinya dengan mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya atau melalui surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan, maka itu dijustifikasikan sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi sebaliknya, ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’
(3)   Raj’ah yang masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa Imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh aliran dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali dan sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-Shaddiq, Muhammad bin Al-Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-Tsaqafi.[51]
(4)   Tasbih artinya  menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
(5)  Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
(6)   Ghayba yang artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Konssep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun 66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.[52]



DAFTAR PUSTAKA
1.        Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, cet ke-2.
2.        Abu Su’ud, As’ Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah, Giza: Maktabah Nafidah, 2004.
3.        Abdurrahman Kasdi, “Maqashid Syariah dan Hak Asasi Manusia; Study Komparatif antara HAM Perspektif Islam dan Perundang-undangan Modern” (makalah tidak diterbitkan)
4.        Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,  Jakarta, Bulan Bintang, 1977
5.        Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet ke-5.
6.        Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Kanisius, Jogjakarta, 1996
7.        Juhaya S. praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : kencana, 2005, Cet.II
8.        M. Ash Shidiqie Hasbi, filsafat Hukum Islam, Jakarta : Raja Wali Pers, 2002
9.        M. Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta,  PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
10.   Moh. Ali as-Sayis,h.72. Lihat juga Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa.Drs. Moh Said dkk. Clarendom Pres.1`977.
11.   Moh. Zahid , “Islam Kāffah dan Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas nama Islam)” dalam  KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April 2006, Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006 
12.   Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam. Terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1996.
13.   Muhammad  Ali  al-Sayis,  Tarikh al-Islamy, Maktabah wa Mathbaah Muhammad  Ali Shobih wa auladuhu
14.   Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bogor, Djambatan, 1990.
15.   Quraish Shihab, “Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat” Jakarta; Lentera Hati, 2006
16.   Sya’bah Muhammad Ismail. Al-Tasyri’a  al-Islamy  Mashadiruhu   wa Athwaruhu, Mesir:Maktabah an Nadhah
17.   Syekh Muhammad al-Khudary , Tarekh al-Tasyri’al-Islamy, Indonesia dar al- Kutub l-Arabiyah,
18.   Tajul Arifin, “Filsafat Hukum Islam”, Bandung; Pustaka Setia. 2008.
19.   Teungku Muhammad  Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang:Pustaka Rizki Putra,2001
20.   Wahbah az-Zuhaily,  Fiqh Islam wa Adillatuhu, alih bahasa,  Abd Hayye al Kattani, Kuala Lumpur:Dar alfikri,2011









[1] Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,  Jakarta, Bulan Bintang, 1977, p. 43
[2]   Quraish Shihab, “Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat” Jakarta; Lentera Hati, 2006, p. 241
[3]   Abdurrahman Kasdi, “Maqashid Syariah dan Hak Asasi Manusia; Study Komparatif antara HAM Perspektif Islam dan Perundang-undangan Modern” (makalah tidak diterbitkan)  p., 3
[4]   Ibid.
[5]  Juhaya S. praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta, kencana, 2005, Cet.II, p..2
[6]  Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Kanisius, Jogjakarta, 1996, p. 15
[7]  Ibid
[8]   M. Ash Shidiqie Hasbi, filsafat Hukum Islam,  Jakarta : Raja Wali Pers, 2002, p.54
[9]  Tajul Arifin, “Filsafat Hukum Islam” Bandung; Pustaka Setia. 2008,  p. 54
[10] Moh. Zahid , “Islam Kāffah dan Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas nama Islam)” dalam  KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April 2006, Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006  p. 810
[11] Tajul Arifin, Op., Cit., p. 55
[12] Ibid., hlm. 56
[13]  M. Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, p.43
[14]   Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,  Bogor, Djambatan, 1990, p.1
[15]  M. Daud Ali, Op., Cit.,  p.42
[16]  M. Ash Shidiqie Hasbi, Op., Cit,, p.55
[17] Wahbah az-Zuhaily,  Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, alih bahasa ( Fiqh Islam dan Dalil-Dalilnya),  Abd Hayye al Kattani, Kuala Lumpur:Dar alfikri,2011, p. 39
[18]  Ibid.
[19] Ibid
[20] Muhammad  Ali  as-Sayis,  Tarikh al-Islamy, Maktabah wa Mathbaah Muhammad  Ali Shobih wa auladuhu , p. 72-73
[21] Lihat Muhammad. Ali as-Sayis, Op., Cit., p. 72. Lihat juga Joseph Schacht, An Introduction Of Ilsamic Law (Pengantar Hukum Islam), alih bahasa.Drs. Moh Said dkk. Clarendom Pres.1977. p. 40-50

[22] Lihat Joseph Schacht. p. 51-112. Lihat juga, Moh Ali as-Sayis. p. 91-110. Lihat juga Dr. Sya’bah  Muhammad Ismail. Al-Tasyri’a  al-Islamy  Mashadiruhu   wa Athwaruhu, Mesir:Maktabah an Nadhah,934. p. 212-348
[23] Lihat al-Syekh Muhammad al-Khudary , Tarekh al-Tasyri’al-Islamy, Indonesia dar al- Kutub l-Arabiyah, 1998, p. 229
[24]  Lihat Moh. Ali as-Sayis, p. 94 lihat juga Syekh Muhammad al-Khudhary, p. 231
[25]  Syekh Muhammad al-Khudhary, Ibid. p. 239
[26] Nama lengkapnya  Abu Abdillahf Muhammad bin Idris  al-Syafi’i.  Al-Syafi’I  adalah murid dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Dengan belajar kepada dua tokoh ini asy-Syafi’I menjadi lebih sempurna keilmuannya, terutama dalam bidang Fikih. Lihat Ahmad Syailabi. Op., Cit.,  p.. 154
[27] Ibid
[28] Perbedaan dua qaul (pendapat) ini disebabkan oleh fakta-fakta baru yang ditemukan oleh asy-Syafi’I ketika melakukan penelitian, sehingga tidak pelak lagi kalau dia melakukan revisi ulang terhadap  pendapatnya  yang lama. Di  samping itu, perbedaan  ini juga dipengaruhi  oleh situasi dan kondisi yang ada baik di daerah Mesir maupun Iraq,  dan juga lebih karena tingkat kebutuhan  masyarakat Mesir maupun  Iraq.  Lihat  Teungku Muhammad  Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2001, p. 88-91
[29]  Lihat Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Ibid..p. 91-92. Lihat juga Syeckh Muhammad al-Khudhary, op.cit. p. 263-264
[30] Ibid
[31] Lihat  DR.  Sya’bah  Muhammad Ismail,op.cit.. p. 346.  Mazhab Zhahiry, merupakan satu satunya mazhab hab yang eksistensinya mengambil namanya dari suatu teori hukum. Prinsip mereka adalah menyadari, meyakini sepenuhnya arti zhahir dari al-Quran dan Hadist, dan menolak semua yang bertentangan  dengan teks  nash, penggunaan  opini bebas peribadi yang telah berkembang  sebelum asy-Syafi’I,  mupun   penggunaan  analogi dan berfikir  sistematis yang dipegang oleh asy-Syafi’i.Lihat Joseph Schachth, Op., Cit., p. 85-86
[32] Ibid, p. 348
[33] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam. Terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1996, p. 34
[34] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, cet ke-2, p.90

[35] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet ke-5, p. 135-136
[36] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Op., Cit., p. 92
[37] Ibid,
[38] ibid
[39] Ibid
[40] Ibid
[41] Lihat Sekh Muhammad al-Khudhary, Op., Cit., p. 264 Lihat juga Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’,Sejarah Legislasi hukum Islam, Jakarta:Amzah, 2009, p, 81-82
[42] Ibid. p. 82
[43] Ibid. p. 83, lihat juga Muhammad Ali As-Sayis, Op.,Cit., p. 64-65
[44] olah Abu Su’ud, As’ Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah, Giza: Maktabah Nafidah, 2004, p. 158
[45] Ibid
[46] Sahilun A. Nasir, Op., Cit.,, p. 108
[47] Ibid, p. 108-109
[48] Abu Zahrah, Op., Cit., p. 106
[49] Ibid
[50] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Op., Cit., p. 107
[51] Ibid
[52] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...