SENI
BACA AL
QUR’AN DALAM BINGKAI SEJARAH
ANTRA
PRO DAN KONTRA
- Pendahuluan.
Al
Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang selalu dianjurkan untuk dibaca. Ia
merupakan bacaan yang mulia yang selalu memberikan ketenangan jiwa bagi yang
khusyu’ membaca maupun yang terbiasa mendengarkannya. Apalagi dibaca dengan
menggunakan irama yang merdu dan indah
yang tentunya dapat menambah kesan khusyu’ apabila sesuai dengan konteks ayat
yang dibaca. Dalam ajaran Islam sendiri Allah senantiasa memerintahkan ummat
Islam untuk selalu menyempatkan diri membaca firmanNya itu sehingga diharapkan ajaran
tersebut akan mewarnai aktifitas pribadi maupun sosial.
Keindahan adalah hal yang selalu
melekat dengan al Qur’an. Keindahan
tersebut dapat diidentifikasi melalui goresan tulisan setiap kata dan
kalimatnya, keindahan susunan kalimatnya, serta
berbagai hal yang dikandungnya. Seluruh keindahan tersebut merupakan
sebuah gambaran betapa indahnya Allah, Zat yang menciptakan al Qur’an. DariNya
terpancar keindahan sebagaimana Sabda Rasulullah : ان
الله جميل يحب الجمال . sesungguhnya Allah Maha Indah dan
sangat mencintai keindahan.
Bentuk keindahan lain yang terpancar
dari al Qur’an adalah irama bacaan yang selalu mengiringi bacaan demi bacaan. Keindahan tersebut terpancar, apabila seorang qari (orang yang membaca al Qur’an) melantunkan
untaian kalimat suci tersebut dengan suara yang merdu dan indah. Keindahan
tersebut akan semakin terpelihara,
manakala pola bacaan yang dibawakan tidak melanggar kaidah-kaidah Tajwid yang telah menjadi pedoman dalam membaca al
Qur’an.
Akan tetapi dalam perkembangannya,
irama atau lagu al Qur’an tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan
ulama. Sekelompok ulama mengharamkan dan sebagian lainnya menganggap hal
tersebut adalah mubah dan boleh dibawakan dalam membaca al Qur’an. Oleh sebab
itu, dalam kesempatan ini, penulis mencoba untuk menguraikan kedua pendapat
tersebut, sekaligus mencoba untuk menawarkan jalan tengah yang dapat dipilih
dalam memberikan panduan bagi orang yang membaca al Qur’an.
- Pro dan kontra lagu al Qur’an.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa seni baca al
Qur’an telah eksis dan menjadi
pembahasan di kalangan Ummat Islam sejak turunnya al Qur’an. Hal itu
dapat dilihat dari beberapa hadits Nabi maupun komentar para Sahabat berkaitan
dengan hal tersebut. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hal
tersebut antara laian adalah :
1.زينوا القران باصواتكم , فان الصوت الحسن يزيد القران
حسنا.
Artinya : hiasilah al Qur’an dengan suaramu,
karena sesungguhnya suara yang merdu menambah keindahan al Qur’an.
2. ليس منا من لم يتغن
بالقران.
Artinya : tidaklah termasuk
bagian dari ummatku orang yang tidak melagukan al Qur’an. [1]
3. Hadits dari Abu Musa al Asy’ari yang menyatakan
: pada suatu ketika Rasulullah berkata, wahai Abu Musa, semalam aku telah
mendengar bacaan al Qur’anmu. Kemudian
Abu Musa menjawab. Demi Allah, andaikata aku tahu bahwa engkau mendengar bacaan
al Qur’an itu, niscaya aku baguskan lagi bacaan al Qur’anku. Mak Rasul bersabda
: sesungguhnya engkau telah dianugerahi seruling (suara yang bagus)
dari keluarga Nabi Daud AS.
4.
ويقول البراء: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقرأ بمن العشاء:
(ولتين والزيتون (3))، فما سمعت أحدا أحسن صوتا أو قراءة منه. [2]
Dari Al Barra’ mengatakan bahwa
aku mendengar Rasul SAW membaca dalam sholat Isya’ surat al Tiin, dan aku belum pernah
mendengarkan orang lain lebih bagus suaranya dari Rasulullah.
Hadits 1, 2 dan 3 di
atas menunjukkan betapa Rasulullah menganjurkan kepada ummatnya yang selalu
membaca al Qur’an untuk menghiasi bacaan tersebut dengan suara dan irama yang
indah, sehingga akan memberikan nilai tambah, baik bagi yang membacanya maupun
bagi orang-orang yang mendengarnya. Sedangkan hadits yang keempat dari al
Barra’ menjelaskan bahwa Rasulullah sendiri adalah seorang Nabi yang
memiliki suara indah ketika membaca ayat-ayat al Qur’an.
Akibatnya para sahabat maupun
tabi’in dan ulama-ulama sesudah mereka menjadi bagian dari orang-orang yang
selalu mengkombinasikan bacaan mereka
dengan irama dan suara yang indah. Sehingga muncullah pemuka-pemuka sahabat,
tabi’in dan lain sebagainya yang yang dikenal dengan qari’ dan memiliki
kelebihan dalam membaca al Qur’an. Di kalangan sahabat dikenal Abdullah bin
Mas’un, Abu Musa al Asy’ari, Ubay Bin Ka’ab.[3]
Uqbah bin Amir, dan Alqamah bin Qais al Nakha’I, yang bacaan al Qur’annya
selalu mendapat pujian dari Abdullah bin Mas’ud. Ibnu Mas’ud pernah
berkata kepada Alqamah, jikalau Rasul mendengar engkau membaca al Qur’an maka Rasul akan senang
dengan bacaanmu. [4]Di
kalangan Tabi’in antara lain dikenal Umar bin Abdul Aziz yang memiliki suara
yang memukau dalam membaca al Qur’an. Sedangkan untuk ulama yang datang sesudah
masa tersebut dikenal Imam Hamzah al zayyat, Imam Yahya bin Watsab dan adapula
Imam Syafi’I, pendiri mazhab Syafi’I, yang diceritakan apabila membaca al
Qur’an membuat menangis orang-orang yang mendengarkannya karena indah dan merdu
suara yang dimilikinya.
Berdasarkan keterangan di atas, Ibnu
Mas’ud dan Ibnu Abbas membolehkan orang membaca al Qur’an menggunakan irama dan
suara yang indah. Imam abu Hanifah dan Sahabat-sahabatnya sering mendengarkan
bacaan al Qur’an dengan irama.[5]
Hal tersebut juga dibolehkan oleh Ibnu Jarir dan Ubaidillah bin abi Bakrah. Bahkan
Ibnu Qudamah berpendapat bahwa lebih afdhol membaca al Qur’an dengan
suara dan irama yang indah. Karena menurut Ibnu Qudamah Rasul telah memerintahkan
kita untuk menghiasi bacaan al Qur’an
dengan suara yang indah.
Akan tetapi selain dari
hadits-hadits yang mendukung dan adanya para ulama yang dikenal dengan
keindahan suara yang mereka miliki, terdapat pula hadits-hadits yang bersumber
dari Rasulullah yang memaparkan
makruhnya membaca al Qur’an
dengan menggunakan irama. Diantaranya sebuah riwayat yang disampaikan oleh Anas
bin Malik, sahabat sekaligus pembantu Rasulullah. Dikatakan bahwa suatu ketika
Anas mendengarkan bacaan al Qur’an dengan irama di mana si pembaca mengangkat
suaranya dengan irama tertentu. Maka Anas kemudian menutup wajahnya dan
wajahnya kemudian berwarna hitam. Anas
kemudian berkata, beginilah, beginilah yang telah mereka kerjakan. Abu Hurairah juga mencela hal yang demikian.
Bahkan beliau berfikir untuk dijemput maut pada tahun di mana al Qur’an telah
dijadikan bacaan yang berirama.[6]
Sedangkan
dalam sunan al Darimi dijelaskan bahwa sebagian sahabat memandang irama
tersebut merupakan sesuatu yang baru yang diada-adakan oleh sebagian ummat
Islam. Dan hal itu dipandang sebagai perbuatan bid’ah. Sebagaimana
diketahui perbuatan bid’ah adalah sangat tercela, karena pelaku-pelakunya akan
masuk ke dalam neraka. Sedangkan Ibnu Sahnun memandang bahwa membaca al Qur’an
dengan berirama adalah sesuatu yan tidak perlu untuk diajarkan kepada
murid-muridnya. Karena ia berpatokan kepada pendapat Imam Malik yang menganggap
bacaan al Qur’an dengan irama adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan dalam
membaca al Qur’an.[7] Bahk
menurut riwayat bahwa al Harits bin
Miskin ketika menjabat sebagai Gubernur Mesir pada tahun 237 H, pernah
menghukum cambuk orang-orang yang membaca al Qur’an dengan berirama.
Demikianlah pro dan kontra yang
telah lama berlangsung antara dua kelompok yang
membolehkan dan menolak bacaan al Qur’an dengan berirama. Kedua kelompok
tentunya memiliki alasan-alasan
tersendiri yang menurut mereka layak
untuk dijadikan sebagai dalil dari pendapat-pendapat tersebut. Akan tetapi
menurut penulis, kedua kelompok
memiliki tujuan yang sama yaitu menjadi al Qur’an dari sesuatu yang
dapat merusak kalam Ilahi tersebut.
3. Jalan
Tengah Yang Harus Ditempuh
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa setiap
perbedaan pendapat yang terjadi bertujuan tiada lain adalah untuk menjaga
kesucian al Qur’an dari hal-hal yang dapat merusaknya. Kelompok yang pro kepada
irama bertujuan agar al Qur’an yang dibaca dapat ditampilkan dengan penuh
keindahan, sehingga akan menambah rasa khusyu’ orang-orang yang membacanya dan semakin mendatangkan rahmat
bagi orang-orang yang mendengarnya. Kelompok ini menginginkan agar untuk al Qur’an diberikan
suara yang terbaik, sebagai bentuk penghargaan terhadap kalam Allah
tersebut.
Sedangkan kelompok yang kontra berkeinginan agar kalam Allah tersebut tidak
dijadikan barang mainan seperti syair-syair yang biasa dinyanyikan di kalangan masyarakat Arab pada
saat itu. Di mana ketika syair dinyanyikan, tidak ada lagi aturan-aturan bacaan
yang ditaati. Kekhawatiran itu muncul jika hal itu terjadi di dalam membaca al
Qur’an.
Menurut Zahiruddin al al Marghabani,
adalah sebuah hal yang tidak masuk akal bila orang-orang yang membaca al
Qur’an dengan berirama merupakan sebuah bentuk kekafiran. Tuduhan tersebut
tentunya akan dialamatkan kepada para Ustadz dan orang-orang alim yang
mengajarkan al Qur’an karena memiliki suara-suara yang bagus. Kalau para Ustadz
tersebut dianggap kafir, tentunya, menurut Zahiruddin, para muridnya juga
dianggap sebagai kafir.
Maka oleh sebab itu menurut penulis,
kedua hal yang saling bertentangan di atas dapat disatukan berdasarkan hal-hal
berikut ini.
- Dibolehkannya membaca al Qur’an dengan irama
apabila seorang qari’ tidak melanggar aturan-aturan hukum Tajwid
yang telah disepakati. Artinya bila ada bacaan mad, harus dibaca
sesuai dengan panjang yang telah disepakati. Tidak boleh menukar bacaan qashr
menjadi bacaan mad,jika hanya berupaya memperturutkan irama
bacaan. Membaca dengan ghunnah
apabila memang hukumnya demikian.
- Apabila seorang qari,melanggar aturan-aturan
tersebut sehingga menimbulkan bentuk-bentuk bacaan baru yang tidak
memiliki landsan yang kuat dalam membaca al Qur’an karena sekedar ingin
memperindah bacaan dengan irama tertentu, maka hal itu menjadi sesuatu
yang haram untuk dilakukan.
Artinya membaca
al Qur’an dengan irama diperbolehkan selama tidak melanggar aturan-aturan Tajwid
yang telah disepakati oleh para ulama.[8]
Aturan-aturan Tajwid yang dimaksud adalah, seorang qari harus memperhatikan makharijul huruf, atau tempat keluarnya huruf Hijaiyyah.
Kemudian seorang qari juga harus memperhatikan sifat-sifat yang dimiliki oleh
masing-masing huruf, sehingga setiap huruf dapat diucapkan sebagaimana
mestinya. Selanjutnya harus juga diperhatikan ahkamul Huruf, yaitu
hukum-hukum yang terjadi akibat
pertemuan satu huruf dengan huruf lainnya, seperti hukum izhar, ikhfa’, idghom, dan iqlab.
Masing-masing hokum memiliki panjang masing-masing. Seorang qaripun
harus memperhatikan ahkamul mad wal qashr. Yaitu hokum panjang pendek
bacaan yang harus tetap terjaga dengan baik. Dan terakhir seorang qari’ juga harus memperhatikan
hokum-hukum waqf dan ibtida’,
sehingga makna ayat tetap terjaga.
Bila seluruh hal di atas tidak
dijaga dengan baik dan konsisten, maka tentunya seorang yang melagukan bacaan
al Qur’annya akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang dapat
mengakibatkan ayat-ayat al Qur’an tidak diucapkan sebagaimana mestinya.
Maka sudah semestinya seorang qari menjaga dengan
sebaik-baiknya hal-hal di atas demi menjaga kesucian al Qur’an. Seorang qari’
pada hakekatnya tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan yang tidak
terpuji yang dapat merusak al Qur’an
yang dibacanya, termasuk melakukan pemalsuan-pemalsuan dalam bentuk apapun
ketika akan melakukan perlombaaan membaca al Qur’an seperti Musabaqah Tilawatil
Qur’an (MTQ) atau STQ di berbagai kategri. Menurut hemat penulis, pada saat ini
dalam berbagai even MTQ dan STQ di Indonesia telah berkembang upaya-upaya untuk
memalsukan identitas para peserta untuk
mencapai kejuaraan. Jika dikaitkan dengan berbagai pendapat di atas, maka hal
itu tentu merusak dan menghancurkan kesucian al Qur’an, dan tentunya haram
untuk dilakukan.
4. Kesimpulan
dan Penutup.
Dari keterangan di atas, dapat
ditemukan adanya dua pendapat yang saling berlawanan satu dengan lainnya seputar
irama membaca al Qur’an. Sekelompok ulama memandang bahwa irama tersebut
merupakan sebuah hal yang dapat menambah keindahan ayat al Qur’an dan sebagain
lagi memandang bahwa irama tersebut merupakan kerbuatan bid’ah yang
tidak boleh dilakukan, karena dapat membahayakan keutuhan bacaan al Qur’an.
Akan tetapi dengan tetap memelihara mutu bacaan sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmu Tajwid yang telah disepakati, irama bacaan bisa tetap
menghiasi bacaan sehingga akan semakin menambah kekhusyu’an baik bagi yang membacanya maupun bagi yang
tengah mendengarkannya.
[1] Al Razi,
Fadhailul Qur’an watilawatuhu, Maktabah Syamilah, hlm. 16
[2] Labib Al
Sai’d, al Taghanni bil Qur’an, Mkatabah Syamilah, hlm. 19
[3] Depag RI , Buku Pedoman
Mengajar Pelajaran Seni Baca al Qur’an, Ditjen Bimas Islam, Jakarta , 1996, hlm. 85.
[4] Labib al
Said,Op. Cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid,
hlm. 43.
[8] Al
Inayah bil qur’anil Karim fi ahdinnabiyyi,Maktabah Syamilah, hlm. 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar