BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam melakukan istinbat hukum dan
upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja
memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya,
tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung
dibalik lafal nash serta begitu pula dengan dalalahnya.Berkenaan dengan cara
penunjukan dalalah lafal nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh
terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh.
Nash Yang Menjadi dalil hukum Islam
baik dalam Al Qur’an maupun AsSunnah, keduanya adalah menggunakan bahasa Arab.
Untuk memahaminya dengan baik, maka membutuhkan kemampuan memahami bahasa dan
ilmu bahasa Arab dengan baik pula.
Seseorang yang ingin
mengistinbathkan atau mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut harus
betul-betul mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Ia harus mengerti betul
kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya). Karena
itulah ulama’ Ushul Fiqh menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau
dalil yang berbahasa Arab dapat dipahami dengan baik dan sempurna.
Suatu teks nash kadang-kadang dapat
memberikan pengertian yang bermacam-macam karena dari jalan-jalan yang
dipergunakan oleh para mujtahid untuk memahami petunjuknya
(Thuruqud-Dalalahnya). Mengambil petunjuk suatu nash bukanlah hanya terbatas
dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi
dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu.
Mencari illat yang menjadi sebab
ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang
tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga
pengertiannya menjadi rasionil. Jalan tersebut oleh Ahli Ushul dinamai ‘Dilalatun
Ibarat, Dalaltul Isyarah, Dalalatud Dalalah, dan Dalalalatul Iqtidha’.
Pembicaraan tentang Dalalah inipun
merupakan sebagian dari pembicaraan tentang lafadh yakni pembicaraan tentang
lafadh ditinjau dari maksud yang terdapat di dalamnya. Memang Dalalah itu
sendiri menurut bahasa adalah kepada maksud tertentu.
Dalalah atau petunjuk lafadh ini
mempunyai beberapa macam. Hanya saja di kalangan para ulama’ Ushul Fiqh tidak
sependapat dalam membaginya. Dalam makalah ini akan pemakalah uraikan tentang
Dalalah menurut ulama’ Hanafiyah.
Menurut ulama Hanafiah, metode dalam
penunjukan nass terbagi menjadi 4 yaitu ibarah nas, isyarah nash, dalalah nash,
dan iqtida’ nash[1]. Dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara
bagaimana penunjukannya.
B. RUMSAN MASALAH
1. Apa pengertian lafal dalalah nash?
2. Bagaimana penunjukan lafal nash
menurut madzhab Hanafi ?
3. Bagaimana perbedaan metode-metode
menurut madzhab Hanafi ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui lafal dalalah nash.
2. Untuk mengetahui penunjukan lafal
nash menurut madzhab Hanafi.
3. Untuk
mengetahui perbedaan metode-metode menurut madzhab Hanafi Lafazs Dan Dalalahnya
BAB 11
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Lafal Dalalah
Nash
Secara bahasa kata “دلا لـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar)
dari kata “دل- يـدل” yang berarti menunjukan dan kata dalâlah
sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan.[2]
Adapun menurut istilah sebagaimana disebutkan oleh Quthub Mustafa Sanu bahwa
yang dimaksud dengan dalâlah adalah ;
كـون
الشـئ بـحـالـة يـلـزم مـن الـعـلم بـه الـعـلم بشـئ أخـر.
Dalâlah itu ialah keadaan sesuatu
yang dapat memastikan untuk mengetahui yang lainnya.
Dalalah adalah suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang
dimaksudkan atau memahami sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul yang
ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum
itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil yang
menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil
hukum.
Adapun pengertian yang lain Dalalah (الدلالة)
itu sendiri menurut bahasa adalah maksud tertentu[3].
Dan dalam ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang
ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain petunjuk suatu lafadh kepada makna
tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah hubungan antara al-dal dan al-madlul.
Al-dal adalah lafadh sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh.[4]
Contoh : الصلاة (sholat). ini namanya
al-dal. dan madlulnya adalah do’a (ma’na bahasa atau lughawi). Atau perbuatan
yang diakhiri dengan takbir dan diakhiri dengan salam (ma’na istilah). Maka
penunjukan ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam namanya Dalalah.
Pembahasan Dalalah sangat amat penting untuk mengetahi maksud suatu
dalil. Dalam mengambil suatu dalil namanya istidlal (الأستدلال).
Jadi antara al-dal, al-madlul, Dalalah,
dan al-istidlal itu tidaklah sama
Dengan kata lain, dilâlah itu ialah
penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga
dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu
dalil nash. Dilâlah lafal itu ialah makna atau pengertian yang
ditunjukan oleh suatu lafal nash dan atas dasar pengertian tersebut kita
dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ini:
وَاَحَـلَّ اللهُ الْـبَـيْـعَ
وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا …
البـفـرة ٢:٢٧٥
Dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba’.
Dilalah atau penunjukkan yang dapat
dipahami dari ayat ini adalah bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba’ itu
hukumnya haram, karena makna atau pengertian inilah yang segera dan mudah
ditangkap oleh akal seseorang.Pembahasan tentang dilâlah ini sangat penting dalam
ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Menurut Amir
Syarifuddin.[5] bahwa untuk mengetahui sesuatu
tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup
dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan
isyarat disebut dengan berpikir secara dilâlah.
2. Penunjukan
Lafal Nash Menurut Madzhab Hanafi
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah
kumpulan lafal-lafal yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap
dalil memiliki dilalah atau dalalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di
sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf[6] adalah sebagai berikut;
مـايـسـتـد
ل الـنـظرالصحيح فـيـه عـلى حكم شـرعي عـملي عـلى ســبـيـل ا لـقـطع أوالـظن
Segala sesuatu yang dapat dijadikan
petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan)
hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’i maupun dhanni.
Oleh karena itu dapat dipahami
bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah
segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan
dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilâlah, seperti dijelaskan oleh Muhammad
Al-Jarjani, dalam kitab “Al-Ta’rifât” adalah :
كـيـفـية
د لا لـة اللـفــظ عـلى المـعـنى
Cara penunjukkan lafadz atas sesuatu
makna atau pengertian yang dikandung oleh Nash.
Atas dasar ini dapat disimpulkan
bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dilalah ialah sesuatu yang
ditunjukkan.
Menyangkut dilalah lafadz nash ini
di kalangan ulama ushul memang terdapat perbedaan.Kalangan ulama Hanafiyah
membagi cara penunjukan dilalah lafal nash itu kepada empat macam,[7]
yaitu ‘ibarah nass, isyarah nass, dilalah nass, dan iqtida’ nass.
a. Ibarah Nash
Dalalah Ibarat yang juga disebut
Ibarat Nash ialah petunjuk lafadh kepada makna yang mudah dapat dipahami baik
dimaksudkan untuk suatu arti ashli maupun untuk arti tab’i[8],
dan makna itu memang dikehendaki oleh Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan),
baik maksud itu asli menurut mereka atau maksud utama dari nash dan maksud yang
tidak asli atau maksud kedua yang mengikuti ma’na yang asli tadi tapi tidak
disebutkan dalam nash.
Yang dimaksud dengan Ibârat al-Nash
ialah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا الـكلآ م
عــلى الـمـعـنـى الـمـقـصود مـنـه ا مـا أصالـة أوتــبـعـا
Ibarat nash ialah petunjuk kalimat
(lafal) kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan
langsung oleh kalimat itu sendiri.[9]
Menurut
Abu Zahrah adalah:
وهي المعنى المفهوم من اللفظ سواء كان نصا
او ظاهرا
Artinya:
“Makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafadh, baik dalam
bentuk nash ataupun dzahir”.
Oleh karena itu, setiap pengertian
yang difahami dari keadaan lafadh yang jelas disebut Dalalah Ibarah.[10]
Definisi lain, sebagaimana
diungkapkan oleh Quthub Mustafa Sanu adalah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا لـة الـفــظ
عــلى مـا كان الـكلا م مـسـوقـا لآجـلـه أصا لـة أ و تـبـعـا وعـلـم قـبـل الـتـأ
مـل أن ظا هـر اللـفـظ يـتـنـا ولـه.
Ibarat al-Nash ialah petunjuk lafal
yang didasarkan pada susunan kalimatnya sendiri secara langsung dan ia dapat
diketahui dengan mudah dan jelas yang tercakup di dalamnya.
Dari dua definisi di atas dapat
dipahami bahwa, Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian
atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu
sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 275 berikut
ini.
وَاَحَـلَّ اللهُ الْبَــيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا …
Dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba’
Ungkapan atau ibarat pada ayat tersebut
menunjukkan dua pengertian sebagaimana berikut:
Membedakan antara jual beli dan
riba. Ini merupakan tujuan utama yang ditunjukkan ayat tersebut.
Menjelaskan akan halalnya jual beli.
Pengertian ini merupakan tujuan Taba’i (sekunder).[11]
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ayat
ini arti asalnya adalah menjelaskan antara jual beli dan riba’ itu dua hal yang
berbeda atau tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual beli itu
boleh dan riba’ itu haram.Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari
petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat.
DaIalah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami baik
dari arti asli (arti yang mula-mula terpakai dengan disusunnya lafadz itu dalam
suatu nash ataupun arti tabi’i (arti lain yang cukup jelas atau yang mudah
dapat dipahami dari lafadz tersebut)
Sebagai contoh lain adalah ibarat dalam Al-Qur’an misalnya firman
Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا
Artinya:. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Qs. An-nisa:10).
Nash tersebut menunjukkan, bahwa di antara perbuatan dzalim yang
paling keji ialah memakan harta benda anak yatim, dimana perbuatan tersebut
adalah dosa yang menimbulkan siksaan kelak di hari kiamat dan sanksi hukuman di
dunia yang dilaksanakan oleh pemerintah, agar perbuatan tersebut tidak terulang
lagi.
Menurut Abu Zahrah:
‘‘Ibarah Nash adalah makna yang dapat dipahami dari lafazh, baik
itu lafazh zharir atau lafazh nash, atau baik itu lafazh muhkam atau bukan
muhkam.”
Menurut Syaykh al-Khudlariy:
“Ibarah Nash itu lafazh dan artinya adalah petunjuk lafazh atas
makna yang dimaksudkan, baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli.”
Dapat disimpulkan bahwa ‘ibarah nash mengandung lafazh yang
tersusun dari dua maksud hukum, yakni maksud hukum yang asli (hukum yang
mula-mula dipakai) dan maksud hukum bukan asli (taba’iy = ikutan). ‘Ibarah nash
mengandung makna yang segera dapat dipahami dari susunan lafazhnya.
Contoh lafazh ‘ibarah nash:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا
طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ
أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ
أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Pengertian asli dari nash ini adalah pembatasan jumlah maksimal
wanita yang boleh dikawini, yaitu empat orang. Adapun pengertian tidak asli
disini bahwa adanya anjuran/ pembolehan kawin dengan wanita yang disenangi.[12]
Dengan memperhatikan ’Ibaratnash (apa yang
tersurat dalam nash) tersebut kita memperoleh tiga pengertian. Yakni:
Diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang
disenangi,
Membatasi jumlah istri sampai empat orang saja
dan,
Wajib hanya mengawini seorang saja jika
dikhawatirkan berbuat khianat lantaran mengawini wanita banyak.
Pengertian yang pertama bukan merupakan maksud
ashli, sedang pengertian yang kedua dan ketiga merupakan maksud yang ashli.
Sebab ayat tersebut dikemukakan pada orang-orang yang khawatir berkhianat
terhadap hak-hak wanita yatim, sehingga harus dialihkan dari beristri yang
tiada terbatas kepada terbatas yaitu hanya dua, tiga atau empat orang saja.
Inilah maksud yang ashli dari Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan), kemudian
maksud yang tidak asli (tabi’i) tentang bolehnya mengawini wanita yang
disenangi.[13]
b. Isyarah
Nash
Yang dimaksud dengan Isyarat al-Nash ialah ;
هـى
الـد لا لـة اللـفــظ عـلى حـكم لـم يـقـصد أصا لـة ولا تـبـعـا ولكـنـه لازم
للـمـعـنى الذى سـيـق الـكلا م لا فـاد تـه.
Isyarat dan al-nash ialah
penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung
oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan
untuk itu
Dari pengertian ini dapat dipahami
bahwa isyârat al-nash itu sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang
bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya.Tegasnya, isyârat al-nash itu
ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar
yang tersurat.
Dalalah Isyarartun Nash ialah
petunjuk lafadh kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil kalaziman atau
kemestian dari arti yang dipahami dengan dalalah Ibarotun Nash[14].
Adapun menurut Abu Zahrah adalah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu
lafadh, dari kesimpulan dari pemahaman terhadap sesuatu ungkapan (ibarat) dan
bukan dari ungkapan itu sendiri atau dengan kata lain menyimpulkan dari arti
yang dipahami dengan dalalah ibarotun nash.[15]
Sedangkan
dalam kamus Ushul Fiqh:
اشارة النص وهي دلالة على مالم يقصد له اللفظ أصلا
Artinya: Isyarat Nash adalah
petunjuk lafadh kepada yang tidak dimaksud oleh lafadh untuknya (yang ditunjuki
oleh lafadh, bukan dengan ibarat nya, tetapi petunjuk itu datang sebagai
natijah dari ibarat ini).[16]
Sebagai contoh dapat dilihat dalam
surat al-Baqarah, ayat 233:
وَعَـلَى
الْمَوْلُوْدِ لَــهُ رِزْقُــهُـنَّ وَكِـسْـوَتُهُـنَّ بِالْمَعْـرُوْفِ …
(البقـرة / ۲ :۲۳۳)
Dan kewajiban Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan
layak kepada isteri …
Secara ibarat Nash pengertian yang
dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi
isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal
secara layak dan patut (ma’ruf).
Menurut Amir Syarifuddin[17] , bahwa ungkapan “المولودلـه” yang diartikan dengan ayah adalah
sebagai pengganti kata “الاب” dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah menggunakan
kata “المولود له” dalam ayat ini.Dalam pandangan para
Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan “المولود له” adalah terdiri dua unsur kata,
yaitu “المولود”yang arti dasarnya adalah “anak yang
dilahirkan, dan kata “له” yang berarti “untuknya” dan kata “له” itu sendiri dimaksud-kan di sini
adalah ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti asalnya “anak untuk ayah”.
Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung arti lain. Selain dari
arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak
yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang
disebut terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan
lafal nash.
Sebagai contoh lain firman Allah SWT
yang berbunyi:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ
اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ
رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,” (Qs. Al-Baqarah :282)
Maksudnya adalah memberi sifat
terhadap catatan dengan benar, memberikan pemahaman secara jelas bahwa apa yang
ditulis itu harus benar dan sesuai kehendak orang yang mengimlakkan. Dan secara
implisit (isyarat) dapat dipahami bahwa catatan itu dapat dijadikan Argumentasi
(data) bagi orang yang mengimlakkan, dimana ia tidak dapat terhadap apa-apa
yang tertera dalam tulisan tersebut selama tidak didustakan.
Dalalah isyarat nash atau isyarat
al-Nash adapun yang dimaksud dengan dalalah isyarat nash adalah petunjuk lafazh
yang diperbolehkan dari apa yang tersirat dalam nash.
Contoh lain:
لَّا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ
إِن طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمۡ تَمَسُّوهُنَّ أَوۡ تَفۡرِضُواْ لَهُنَّ
فَرِيضَةٗۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلۡمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلۡمُقۡتِرِ قَدَرُهُۥ
مَتَٰعَۢا بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٢٣٦ وَإِن
طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدۡ فَرَضۡتُمۡ لَهُنَّ
فَرِيضَةٗ فَنِصۡفُ مَا فَرَضۡتُمۡ إِلَّآ أَن يَعۡفُونَ أَوۡ يَعۡفُوَاْ ٱلَّذِي
بِيَدِهِۦ عُقۡدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ وَلَا
تَنسَوُاْ ٱلۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٢٣٧
Artinya: Tidak ada kewajiban
membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dari ayat ini, bahwa berdasarkan
ibarah nash, boleh menceraikan istri sebelum bercampur dan sebelum menentukan
maharnya. Akan tetapi, arti yang lazim dan tidak bisa dipisahkan dari nash
ialah sah mengadakan aqad perkawinan tanpa menentukan maharnya lebih dahulu.
Sebab talak (perceraian) tidak akan terjadi (tidak pernah ada) sebelum adanya
akad nikah. Inilah yang disebut dalalah nash.[18]
Contoh lainnya:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوف
Artinya: Dan kewajiban ayah memberi
makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah, ayat
233)
Makna Ibarat Nash yang tersurat dari
ayat tersebut adalah bahwa memberi nafkah dan pakaian kepada ibu yang menyusui
wajib bagi Ayah. Karena demikianlah makna yang dapat diambil dengan mudah dari
lafadh tersebut dan memang dimaksudkan oleh Siyaqul Kalam, adapun makna isyarat nash nya yang tersirat antara lain:
Ayah tidak dapat disertai orang
lain dalam menjalankan kewajibannya
memberi nafkah kepada anak-anaknya, lantaran anak itu adalah putranya sendiri
bukan putra orang lain.
Ayah walaupun dalam keadaan miskin
sedangkan ibunya mampu, maka putra tersebut tetap menjadi tanggungannya.
Ayah dalam keadaan yang sangat
memerlukan boleh mengambil harta anaknya sekedar menutup kebutuhannya, tanpa
menggantinya. Karena ia adalah anaknya dan harta anaknya termasuk hartanya
juga.
Pengertian-pengertian yang demikian
ini diistimbathkan dari Isyarat Nash. Yaitu dari huruf ”lam” pada lafadh
“lahu”yang mengandung pengertian itu bahwa seorang anak itu adalah milik
bapaknya.[19]
c. Dalalah
Nash
Dilâlat al-Nash ini disebut juga
dengan dilâlat al-dilâlat. Adapun yang dimaksud dengan dilâlat al-dilâlat
adalah
دلا
لـة الـنص هـى دلا لـة الـكلا م عـلـى ثـبـوت حـكـم المنصوص عـلـيه المـسـكـوت
عـنـه لا شـتــراكهـما فى عـلـة الحكم التى يـمكـن فـهـمهـا بـمجـرد فـهـم اللـغـة
مـن غـيـر احـتـيـاج الى نـظـرواجـتـهـا د
Dilalat Nash ialah petunjuk lafal
atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang
tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua yang disebutkan dan yang
tidak disebutkan terdapat pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya
dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak
memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.
Dalalah nash (Petunjuk Nash) adalah
petunjuk lafazh nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu
yang tidak disebutkan kerena terdapat persamaan illat keduanya.[20]
Jika nash itu ungkapannya
menunjukkan pada hukum suatu kejadian karena ‘illat yang menjadi dasar hukum
itu, kemudian didapati kejadian yang sama ‘illat hukumnya atau lebih utama
daripadanya, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash itu mencakup dua
kejadian tersebut.[21]
Contoh lafazh:
.. فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا
قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣
Artinya: Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[22]
(Q.S. al-Isra’ 23)
Pengertian secara dalalah nash bahwa
semua perkataan atau perbuatan yang menyakitkan kedua hati orang tua itu
dilarang.[23]
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa
kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan
menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan
kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan
kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada
perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya yang pada
dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan
maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau
tindakan yang dilakukan, selain ucapan “ah” atau hardikan yang dapat menyakiti
kedua orang tua adalah dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa
kepada Allah SWT.
Contoh lain:
إِنَّ ٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ
نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ١٠
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya.” (Q.S. An Nisa’ [4]: 10)
Pengertian secara dalalah nash bahwa
membakar, membuang harta anak yatim, serta memberikannya kepada orang lain juga
dilarang.[24]
Menurut Romli, Dalalah al-Nash
adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas
sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan ‘illat antara
keduanya.
DaIalah Nash
merupakan petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh
lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu
lafadz, illah yang dipahami dari lafasz itu sama dengan illah suatu peristwa
yang tidak disebutkan hukumnya.
d. Iqtida’ Nash
Dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’ (دلالة الإقتضاء) ini disebut juga dilâlat
al-iqtidlâ’.Yang maksud dengan iqtidhâ’al- nash(إقتضاء
النص). ialah:
اقـتـضاء
الـنـص هى دلا لـة الكلآ م عـلى مـسـكوت عـنـه يـتـو قــف عـلـيه صدق الكلآ م.
Iqtidla’ al-nash ialah penunjukan
lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung
kepada yang tidak disebutkan.
Adapun Abu Zahrah secara sederhana
mendefinisikannyasebagai berikut:
دلالة اللفظ على كل امرلا يستقيم
المعنى الا بتقديره
Artinya: “Penunjukan
lafadh kepada setiap sesuatu yang tida selaras maknanya”.
Dari definisi ini dapat dipahami
bahwa suatu petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada
penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash.
Menurut Romli, Iqtida’ al-Nash
adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk
ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan
lafal sebagai penjelasannya. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah
pada surat al-Ma’idah, ayat 3 berikut ini:
حُـرِّمَتْ
عَـلَيْـكُمُ الْـمَـيْـتَــةَ وَالدَّمَ وَلَحْـمَ الْـخِـنْـزُيْـرِ…
Diharamkan atas kamu bangkai, darah
dan daging babi
Pengertian ayat ini belum jelas.Oleh
karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar
teks.Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan
darah dan daging babi.Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia
tidak ada manfaatnya.
Dalalah iqtidhaun nash ialah yang
mengandung suatu pengertian dalam suatu hal yang tidak disebutkan lafadznya
untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan (lafadz).
Misalnya firman Allah SWT:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا
فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا
Artinya: Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami
berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang benar”. (Q.S.Yusuf:82)
Menurut dzahir ungkapan ayat
tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada
“kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan
sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu
dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung” yang dapat ditanya dan
memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-orang”
sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi orang-orang dalam “kafilah” yang
memungkinkan memberikan jawaban.
Kehendak nash adalah makna atau
pengertian yang mana kalimat itu tidak dapat dimengerti kecuali dengan
memperkirakan adanya pengertian tersebut. Jadi lafazhnya tidak ada, akan tetapi
kebenaran kalimat dan maknanya membutuhkan pengertian itu.[25]
Seperti dalam firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ اُمَّهاَ تُكُمْ وَبَناَتُكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu, dan anak-anakmu yang perempuan.” (Q.S. An Nisa’: 23)
Pengertian secara iqtidha nash pada
ayat ini adalah “mengawini mereka”, karena menyandarkan keharaman kepada
pribadi ibu dan anak adalah tidak tepat. Maka diperkirakanlah lafazh yang
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh nash tersebut yakni kata mengawini.
Arti yang dipahami dengan Dalalah
Ibarotun Nash dari ayat di atas adalah bahwa ibu dan anak perempuan adalah
haram. Akan tetapi keharaman itu terletak pada perbuatan bukan pada materi
bendanya. Oleh karena itu untuk menjadikan lebih jelas pengertian ayat
tersebut, harus diperkirakan adanya sesuatu yang tidak disebutkan yakni
(mengawini), sehingga arti ayat di atas menjadi: Diharamkan atas kamu mengawini
ibu-ibumu, anak-anakmu.
3. Perbedaan
Metode-metode menurut Mazhab Hanafi
Dalam pandangan ulama ushul, dari
keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka
yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat
al-nash dan setelah itu baru dilâlat al-nash dan yang terakhir
adalah iqtidlâ’ al-nash. Sebagaimana dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bila
terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibârat al-nash dengan suatu
ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyârat nash, maka ketentuan hukum
yang ditetapkan berdasarkan ibârat al-nash lebih didahulukan dari pada isyârat
al-nash. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan
berdasarkan ibârat nash atau isyârat nash dengan dilâlat al-nash, maka lebih
didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilâlat al-nash. Bila terjadi
pertentangan antara dilâlat al-nash dengan iqtidlâ’ al-nash, maka dilâlat
al-nash lebih didahulukan atas iqtidlâ’ al-nash. Sebagai contoh adalah firman
Allah: Surat al-Baqarah ayat 178 berikut ini:
يـَاَيُّـهَـاالَّـذِ
يْـنَ امَـنِـوْا كُـتِـبَ عَـلَـيْـكُـمُ الْـقِـصَاصُ فِى الْـقَـتْـلَى…
Wahai orang-orang yang beriman
diwajibkan kepada kamu (melaksanakan qishash dalam pembunuhan
Ayat ini dilihat dari segi ibârat
nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian
Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 93 berikut ini:
وَمَـنْ
يَـقْـتُـلْ مُـؤْ مِـنًـا مُـتَـعَـمُّـدًا فَـجَـزَاؤُهُ جَـهَـنَّـمَ
خـَالُـدٌا فِـيْـهـَا وَغَـضِـبَ اللهُ عَـلَـيْـهِ وَلَـعَـنَّـهُ وَاَعَـدَّ
لَـهُ عَـذَا بًـا عَـظِـيْـمًـا”)
النساء/ ٤:۹۳(
Dan barang siapa yang membunuh
seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal
di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab
yang besar baginya.
Ayat ini dengan cara isyârat
menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab
itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibârat nash
mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu
ketentuan hukum dengan ibârat nash lebih diutamakan dari isyârat nash, yaitu
dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.
Empat macam Dalalah yang telah
disebutkan di atas tadi khususnya yang dalalah lafdhiyah dapat dijadikan
pegangan ataupun hujjah untuk menentukan arti suatu nash dalam suatu penetapan
hukum, hanya saja kekuatan di antara empat macam Dalalah tersebut
bertingkat-tingkat.[26]
Tingkatan Dalalah-Dalalah tersebut dalam Istinbath hukum tidaklah sama. Dalalah
Ibarat (eksplisit) yang paling kuat, dan Dalalah iqtidha’ yang paling lemah.
Menurut Madzhab Hanafi, tingkatan Dalalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dalalah.al-Ibarah
2. Dalalah.al-Isyarah
3. Dalalah.an-Nash
4. Dalalah.al-Iqtidha’
Dengan urutan-urutan ini maka
apabila dalam suatu peristiwa terjadi pertentangan arti yang dipahami dengan
Dalalah yang satu dengan arti yang dipahami dengan dalalah yang lain, maka
didahulukan arti yang dipahami dengan dalalah yang lebih kuat. Jadi arti yang
dipahami dengan Isyarotun Nash didahulukan dari pada arti yang dipahami dengan dalalah-dalalah
yang lain.
Sebagai contoh, pertentangan antara
arti yang dipahami dengan Dalalah Isyarotun Nash, dari ayat-ayat sebagai
berikut:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS.
Al-Baqarah:178).
Arti yang dipahami dengan dalalah
ibrotun nash dari ayat di atas yaitu bahwa pembunuh baik dengan sengaja maupun
dengan tidak sengaja wajib dikenai hukuman qhishos. Sedangkan dalam ayat yang
lain disebutkan:
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ
وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا ٩٣
Artinya: Dan barangsiapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia
di dalamnya ….(Q.S, an-nisa’: 93).
Arti yang dipahami dengan Dalalah
Isyarotun Nash dari ayat di atas adalah bahwa pembunuh dengan sengaja tidak
dikenai hukuman qishas, sebab Allah SWT telah menentukan balasannya, dengan
demikian terjadilah pertentangan antara arti yang dipahami dari kedua ayat di
atas.
Dalam hal ini dipilih arti bahwa
pembunuh dengan sengaja wajib dikenai qishas, sebab arti ini dipahami dengan
Ibarotun Nash, dan arti yang dipahami dengan Ibarotun Nash maka harus
didahulukan dari arti yang dipahami dengan dalalah-dalalah yang lain.
Para Ulama sepakat bahwa mafhum
laqab tidak dapat dijadikan hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini
dapat dijadikan hujah, pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya;
yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengqias sesuatu padanya, namun
tidak ada seorangpun para ulama pendukung qias yang membenarkan bahwa pada
hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah
hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah
yang lain yaitu: mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad,
ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan
ketentuan:
1. Mafhum Mukholafah tidak
bertentangan dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti firman Allah
(al-Isro’:31)
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ
مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ
سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ
إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا
٣٣
Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh
membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini tidak bisa dijadikan hujah,
karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari firman Allah (al-Isro’: 33)
2. Apabila adanya pembatasan hukum
yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh
diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum
yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafa.
Arti yang terkandung dalam
pembatasan hukum yang disebut menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum
mukholafah, antara lain:
a. Pembatasan hukum tersebut sesuai
dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi, misal firman Allah
(an-Nisa: 23)
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ
وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ
أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ
ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن
لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ
أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ
إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣
23. Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ
b. Pembatasan hukum yang disebut
dimaksud sebagai pendorong untuk dilaksanakan, seperti sabda Nabi SAW: ”tidak
boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih tiga
hari kecuali terhadap (kematian) suaminya, selama empat bulan sepuluh hari”.
c. Pembatasan hukum yang tersebut,
dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah.
(at-Taubah :80)
ٱسۡتَغۡفِرۡ
لَهُمۡ أَوۡ لَا تَسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ إِن تَسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ سَبۡعِينَ مَرَّةٗ فَلَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَهُمۡۚ
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَفَرُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ
ٱلۡفَٰسِقِينَ ٨٠
Kamu memohonkan ampun bagi mereka
atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu
memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak
akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah
dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik
اسْتَغْفِرْ
لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً
فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
d. Pembatasan hukum yang tersebut
dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi ditanya
tentang zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau menjawab. ”pada unta yang
mencari makan sendiri dikenakan zakat”.
Alasan ulama yang menjadikan mafhum
mukholafah sebagai hujah, yaitu:
1. Bahwasnya syara’ membatasi
hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan
hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan
meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang
menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti
firman Allah ( an-Nisa’:101)
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
3. Terhadap pendapat yang menyatakan
bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti mempunyai penggunaan dan
jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama hanafiyah mengatakan
bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang
tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang tidak disebut itu
justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya
berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh”
Dalam buku ushul fiqih karya Drs.
Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum mukholafah
dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara
syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. mafhum mukallaf itu tidak
bertentangan denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari padanya, seperti Manthuq
dan Mafhum Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas Jali, maka didahulukan
Qiyas daripadanya.
2. Sesuatu yang disebutkan itu bukan
dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan
menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَهُوَ
الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا
Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).
Mafhum Mukhalafah nya yaitu
terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak
menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
3. Sesuatu yang disebutkan itu
bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan. Jika ia
disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan, maka mafhum
mukhalafah nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya adalah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ
اليَوْمَ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ {رواه البخارى مسلم}
Artinya: “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau hendaknya
ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).
Mafhum mukhalafah dari lafaz yang
beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa
menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan
dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.
4. jika kait disebutkan dalam
rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi
hujjah.
Misalnya firman Allah:
وَلَا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: “janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid…”. (QS. Al Baqarah: 187)
Kait dalam masjid-masjid mafhumnya
yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah menunjukkan b ahwa bagi
orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan isterinya.
5. kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan
yang umum. Jika ia menunjukkan suatu kebiasaan yang umum, maka mafhum
Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
Artinya: “anak-anak istrimu yang
dalam pemeliharaanmu…”. (QS. An Nisaa’: 23).
Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada
mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan yang umum yaitu anak tiri
biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi ayat ini tidaklah
menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak tirinya yang bukan
dalam pemeliharaannya.
6. jika suatu kait menunjukkan
kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi
hujjah.
Contoh ayat:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Surat Ali Imran: 130).
Kait dengan berlipat ganda tidak ada
mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan kekjian riba. Jadi ayat ayat ini
tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang tidak berlipat ganda itu hukumnya
mubah (boleh).
7. jika suatu kait menunjukkan
banyak (jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum mukhalafhnya tidak menjadi
hujjah.
Contoh ayat:
إِنْ
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
Artinya: “Kendati pun kamu
memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak
akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).
Kait tujuh puluh kali tidak ada
mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya
bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat
ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh
kali lalu mereka diampunkan.
4. LAFAZH DAN DALALAHNYA
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh.
Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan
hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah)
lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada
yang kurang jelas (khafa).
Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan
atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih
kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari
makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut mujmal
adalah lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna
yang tidak dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan
pemakaiannya (Al-ghazali:145).
Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat),
seperti lafazh guru’ bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata
majemuk (munkkab) seperti mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah:
237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata kerja
seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf
seperti pada wauataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan).
Hukum melaksanakan lafazh mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan.
Untuk mengungkap lafazh tersebut dapat digunakan beberapa teori yang telah di
ungkapkan oleh para ulama terdahulu. Demikian juga terdapat beberapa teori
ulama tentang tingkat kejelasan lafazh dan cara memadukan antara
tingkatan-tingkatan jelas tidaknya suatu lafazh.Hal tersebut akan diuraikan
lebih lanjut.
2. Tingkatan Lafazh dari Segi Kejelasannya.
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi
kejelasan, Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan
dengan bagan berikut:
Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya
di-takwil atau di-nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu
Menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana
(Zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan super
jelas (muhkam).
2.1. Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiah
2.1.1 Zhahir
Berikut beberapa definisi tentang Zahir:
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,
melalui bentuk lafazh itu sendiri.” ( Bazdawi,
1307 H. I:46)
“Sesuatu
yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)
Untuk
memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari
rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain,
sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu
lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa
menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun mempunyai
kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I :
143)
Contoh : ” Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat
tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya
riba. Petunjuk tsb diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan Qarinah
lain.
Masing-masing
dari lafazh al-bay‘ dan ar-riba merupakan lafazh ‘amm yang
mempunyai kemungkinan di-takhsis. Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib
diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang
mentakhsisnya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.
2.1.2 Nash
Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak
diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang
bisa diketahui dengan qarinah.
Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala
sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah
didefinisikan sebagai berikut:
“ Suatu
lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan
lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)
“Lafazh yang
lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari
sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
(Al-Bazdawi)
Muhammad
Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:
“Nash adalah
suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil menurut alur
pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang
kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh
zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai
Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan hukum antara
jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan
hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli
dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan
bahasa.
Kedudukan
hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan
petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis
atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil,
takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat
pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh
zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya
dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh Nash.
2.1.3 Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas
dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis,
namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-Sarakhsi, 372 H.
I: 165 ):
“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya
dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada
petunjuk zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat
kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan
tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil
yang me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan
dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh
mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak
mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah
apabila ada dalil yang mengubahnya.
2.1.4 Muhkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama,
yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu
menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas
dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis,
dan dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak
mungkin diubah :
” Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan
apabila lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman
Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan
lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada
muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu
bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari
maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada
seluruh macam dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus didahulukan adalah dilalah
muhkam.
2.2 Kegunaan
Pembagian Lafazh Menurut Kejelasannya dan Pengaruhnya
terhadap penetapan Hukum
terhadap penetapan Hukum
2.2.1
Pertentangan antara zhahir dan nash
Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir)
”dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa
kamu mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa :24)
yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat
orang saja (Nash).
”Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak2 yatim (perempuan),
maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, empat.Maka jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau
kawinilah budak –budak yang kamu miliki…..” (QS. An-Nisa : 3).
Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu
dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.
2.2.2
Pertentangan antara Muhkam dengan Nash
Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi wanita dengan
dibatasi empat orang (Nash). Dengan Al-Ahjab ayat 53:
”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah dan tidak (pula)
mengawini istri- istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……” (QS. Al- Ahzab :
53)
Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah
dengan syarat tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53 mengharamkan
mengawini janda Rasullullah .Dengan demikian maka harus diambil dilalah ayat
yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.
2.2.3
Pertentangan antara Nash dengan Mufassar
Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada
Rasullullah dan ia berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah,
sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat ?”
Rasullullah menjawab. “tidak, Karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah
shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk setiap shalat,
dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.”( As-Syaukani, I : 299 ).
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah setiap waktu shalat.”
(Az-Zayla’i, I, t,t : 125).
Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat,
sekali saja. sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat,
sehingga berlaku untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk
melakukan shalat itu masih ada.
Hadis riwayat pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua
berbentuk mufassar. Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk
mufassar.
2.2.4
Pertentangan antara Mufassar dengan Muhkam
“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu” ( QS. Ath- Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:
dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya”
Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa
saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan
tidak bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia
bertobat. Dalam hal ini menurut sebagian ulama digunakan ayat yang kedua.
BAB 111
KESIMPULAN
Dilâlah itu ialah penunjukan suatu
lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian
tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.Ibârat
al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan
hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Isyârat al-nash
adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut
asalnya. Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum
juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya
persamaan ‘illat antara keduanya. Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash
kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika
yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya.
Dalam pandangan ulama ushul, dari
keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka
yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat
al-nash dan setelah itu baru dilâlat al-nash dan yang terakhir adalah
iqtidlâ’ al-nash.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. 2001. Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu.
Abdul Wahab Khalaf. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. 1984. Kairo:
Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah.
Wahbah Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami. 1986. Beirut
Libanon: Dar al-Fikr.
Zaky al-Din Sya’ban.Ushul al-Fiqh al-Islami.1965.
Mesir: Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta :
PT.Logos Wacana Ilmu, 2001), 126.
Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah
al-Da’wah al-Islamiyah, 1984), 20.
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Juz I,
(Beirut Libanon; Dar al-Fikr, 1986), 349.
Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir
: Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah,1965), 363-364.
[1]A. Jazuli, Ushul Fiqh: Metodologi
Hukum Islam, Ed. 1, cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 279
[2]Ibid, hal. 280
[3]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2009), Hal. 132-133
[4]Ibid, hal. 280
[5] Berlaku adil ialah perlakuan
yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain
yang bersifat lahiriyah.
[6] Islam memperbolehkan poligami
dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan
pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini
membatasi poligami sampai empat orang saja.
[7]Miftahul Arifin, Ushul Fiqh:
Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Surabaya: Citra Media, 1997),
hal. 175
[8]Romli, Muqaranah Mazahib Fil
Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 234-235
[9]Ibid, Hal. 235
[10]Asjmuni A. Rahman, Metoda
Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), Hal. 98
[11] Mengucapkan kata ah kepada
orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau
memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
[12]
[13]Ibid, hal. 177-178
[14]Ibid., hal. 178
[15]Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek,
Terjemah Ushul Fiqh, alih bahasa: Zaid H. Alhamid, (Pekalongan: Raja Murah,
tt), hal. 141
[16]Amir Syarifuddin, Loc. Cit, hal.
150-151
[17]Miftahul Arifin, Loc. Cit, hal.
174
[18]Ibid, hal. 175
[19]Amir Syarifuddin, Loc. Cit. Hal.
154
[20] Mengucapkan kata ah kepada
orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau
memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
[21]Amir Syarifuddin, Loc. Cit.
hal.156-157
[22]Amir Syarifuddin, Loc. Cit. Hal. 159
[24]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011),
Hal. 191-192
[1]
Yahya Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 295
[2]
A. Jazuli, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Ed. 1, cet. I, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hal. 279
[3]
Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005,
hlm 37.
[4]
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm 25.
[5]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2009), Hal. 132-133
[6]
Abdul Wahab Khalaf. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. 1984. Kairo: Maktabah al-Da’wah
al-Islamiyah.
[7]
Amir Syarifuddin, Opcit, hal. 280
[8]
Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan
Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986, hlm.
81
[9]
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I,
(Surabaya: Citra Media, 1997), hal. 175
[10]
Totok Jumantoro, dkk, Op.Cit, hlm. 42
[11]
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 205.
[12]
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I,
(Surabaya: Citra Media, 1997), hal. 175
[13]
Yahya Mukhtar, dkk, Op.Cit, hlm. 296.
[14]
Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk. Op.Cit. hlm. 84
[15]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. 1995, hlm. 205
[16]
Totok Jumantoro, dkk, Op.Cit, hlm. 39
[17]
Ibid, hal. 280
[18]
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal.
234-235
[19]
Yahya Mukhtar, Op.Cit, hlm. 298
[20]
ibid
[21]
Asjmuni A. Rahman, Metoda Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1986), Hal. 98
[22]
Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada
itu.
[23]
Asjmuni A. Rahman, Opcit, hal. 177
[24]
Ibid, hal. 177-178
[25]
Ibid., hal. 178
[26]
A. Jazuli, Opcit, hal. 279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar