Penulis-penulis sejarah Hukum Islam
telah mengadakan pembagian tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan Hukum
Islam. Pembagian ke dalam tahap-tahap ini tergantung pada tujuan dan ukuran yang
mereka pergunakan dalam mengadakan pentahapan. Ada yang membaginya ke dalam 5,
6 atau 7 tahapan. Namun pada umumnya mereka membagi tahap-tahap perkembangan
dan pertumbuhan Hukum Islam itu ke dalam 5 masa:
1. Masa Nabi
Muhammad (610-632 M)
2. Masa Khulafa
Rasyidin (632-662 M)
3. Masa
Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII-X M)
4. Masa
Kelesuan Pemikiran (abad X-XIX M)
5. Masa
Kebangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang)
Berikut
adalah penjabran dari ke lima masa sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum
Islam:
1.1 Masa Nabi Muhammad (610-632 M)
Agama
Islam sebagai induk hukum Islam muncul di Semenanjung Arab, di suatu daerah
tandus yang dikelilingi oleh laut pada ketiga sisinya dan lautan pasir pada
sisi keempat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di tengah-tengah
gurun pasir yang amat sangat luas yang mempengaruhi cara hidup dan cara
berfikir orang-orang Badui yang tinggal di tempat itu. Untuk memperoleh air
bagi makanan ternaknya, mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain. Alam yang begitu keras membentuk manusia-manusia individualistis.
Perjuangan memperoleh air dan padang rumput merupakan sumber-sumber
perselisihan antar mereka. Dan karena itu pula mereka hidup dalam klen-klen yang
disusun berdasarkan garis patrilineal, yang saling bertentangan.[1][1]
Kedudukan
anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga karena melalui anak
laki-laki inilah garis keturunan ditarik dan dia pulalah di dalam keluarga yang
dianggap akan meneruskan keturnan dan membawa nama baik keluarganya. Dan karena
statusnya yang demikian, maka laki-laki mempunyai kekuasaan yang amat besar
dibanding wanita. Kedudukan wanita dipandang sangat rendah, wanita hanya
dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali.[2][2] Karena itu
pula, jika lahir anak perempuan dalam satu rumah tangga, seluruh keluarga
menjadi malu karena merasa tidak bisa mempertahankan keturunannya. Karena itu
keluarga bersangkutan, berusaha untuk melenyapkan nyawa bayi wanita atau
membunuhnya kemudian setelah ia berumur beberapa tahun.
Pada
tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah yang bertepatan dengan tanggal 20 April
tahun 571 Masehi, lahirlah seorang bayi yang oleh ibunya (Aminah) diberi nama
Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan Muhammad. Kedua nama ini
berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab berarti terpuji atau yang
dipuji.[3][3]
Setelah
ibunya meninggal Muhammad dipelihara oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib
dan setelah kakeknya meninggal dunia pula, Muhammad masih diasuh oleh pamannya
Abu Thalib. Muhammad berasal dari keluarga terhormat tetapi tidak kaya dan
sebagai seorang pemuda ia hidup di kalangan mereka yang berkuasa di Mekah. Pada
usia 25 tahun beliau kawin dengan seorang janda yang bernama Khadijah yang umurnya
lima belas tahun lebih tua dari beliau dan masih mempunyai hubungan
kekerabatan.
Pada
waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan Nabi Muhammad sering
menyendiri di gua Hira selama bulan Ramadhan. Ketika beliau mencapai umur 40
tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu
itu beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga tahun kemudian,
Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk menyebarluaskan wahyu yang
diterimanya kepada umat manusia.[4][4]
Namun
selain itu Nabi Muhammad juga membawa wahyu-wahyu Allah tentang ayat-ayat
hukum. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam
Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 ayat
dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan soal shalat, zakat dan
haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai mu’amalah jumlahnya 228, lebih kurang
3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam l Qur’an. Klasifikasi 228
ayat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an itu menurut penelitian Prof. Abdul
Wahhab Khallaf adalah sebagai berikut:
1. Hukum
Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan kewarisan sebanyak 70 ayat.
2. Hukum
Perdata lainnya, di antaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat.
3. Mengenai
hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat.
4. Hukum Pidana
terdiri dari 30 ayat
5. Hukum Tata
Negara terdapat 10 ayat
6. Hukum
Internasional terdapat 25 ayat
7. Hukum Acara
dan Peradilan terdapat 13 ayat.
Ayat-ayat
tersebut pada umumnya berupa prinsip-prinsip saja yang harus dikembangkan lebih
lanjut sewaktu Nabi Muhammad masih hidup, tugas untuk mengembangkan dan
menafsirkan ayat-ayat hukum ini terletak pada diri beliau sendiri melalui
ucapan, perbuatan dan sikap diam beliau yang disebut sunnah yang kini dapat
dibaca dalam kitab-kitab hadis.
1.2 Masa Khulafa Rasyidin (632-662 M)
Dengan
wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22
hari yang beliau terima melalui malaikat Jibril baik waktu beliau masih berada
di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah,
berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah.
Kedudukan
nabi sebagai utusan Allah tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala
negara berpindah kepada Khulafa Rasyidin (khalifah). Pengganti nabi sebagai
khalifah dipilih dari kalangan sahabat nabi sendiri. (Sahabat artinya:
teman,rekan, kawan. Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi, menjadi
teman atau kawan Nabi Muhammad dalam menyebarluaskan ajaran Islam). Pada masa
Khulafaur Rasyidin ini perkembangan hukum islam dibagi menjadi empat periode:
1) Khalifah Abu
Bakar As-Siddiq
Setelah
nabi wafat, Abu Bakar As-Siddiq diangkat sebagai khalifah pertama. Khalifah
adalah pimpinan yang diangkat setelah nabi wafat untuk menggantikan nabi dan
melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan pemerintah. Abu bakar adalah
ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah selama dua tahun (632-634 M). Sebelum masuk Islam, dia terkenal
sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan
Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama
Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan
karena hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi muhammad, beliau mempunyai
pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pula
pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.[5][5] Berikut
adalah hal-hal penting dalam masa pemerintahannya:
a) Pidato
pelantikannya dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan
penguasa juga antara pemerintah dengan warga negara.
b) Cara
penyelasaiannya jika timbul masalah di dalam masyarakat mula-mula pemecahan
masalahnya dicari dalam wahyu Allah. Kalu tidak terdapat disana, dicarinya
dalam sunnah nabi. Kalau dalam sunnah Rasulullah ini pemecahan masalah tidak
diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkannya dalam
satu majlis. Mereka yang duduk dalam majlis itu melakukan ijtihad bersama
(jam’i) atau ijtihad kolektif. Timbullah keputusan atau konsensus bersama yang
disebut ijmak mengenai masalah tertentu. Sehingga dalam masa pemerintahan ini
sering disebut Ijmak Sahabat.
c) Atas anjuran
Umar, dibentuklah panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat
Al Qur’an yang telah ditulis pada zaman nabi. Setelah Abu Bakar wafat himpunan
naskah Al Qur’an disimpan oleh Umar Bin Khattab dan diberikan kepada Hafsah (janda Nabi Muhammad).
2) Khalifah
Umar Bin-Khatab
Setelah
Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan kedudukannya sebagai khalifah II.
Beliau memerintah dari tahun 634-644 Masehi. Semasa pemerintahan Saidina Umar,
kekuasaan Islam berkembang dengan pesat ia selalu:
a) Umar turut
aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah
Islam hingga menguasai Mesopotamia dan sebagian kawasan Parsi dari pada
kekuasaan Persia (berjaya menamatkan kekuasaan persia), dan menguasai Mesir,
Palestina, Baitulmaqdis, Syria, Afrika Utara, dan Armenia dari pada Byzantine
(Romawi Timur).
b) Menetapkan
tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan
(Qamariyah)
c) Membiasakan
melakukan shalat at-tarawih, yaitu
shalat sunnat malam yang dilakukan setelah shalat isya pada bulan Ramadhan.
Saidina
Umar banyak melakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan Islam seperti
mengangkat gubernur-gubernur di kawasan yang baru ditakluk dan melantik
panglima-panglima perang yang berkebolehan. Semasa pemerintahannya juga kota
Basra dan Kufah dibina. Saidina Umar juga amat dikenali karena kehidupannya
yang sederhana. Beliau juga melakukan banyak sekali tindakan di lapangan hukum:
a) Tentang
talak tiga diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika, dianggap
sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri, kecuali
salah satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang
lain.
b) Al Qur’an
telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf (orang-orang yang baru memeluk agama islam) ditetapkan sebagai Mustahib (orang
yang menerima zakat).
c) Menurut Al
Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 38 orang yang mencuri diancam dengan hukuman
potong tangan
d) Di dalam Al
Qur’an (QS 5:5) terdapat ketentuan yang membolehkan pria muslim menikahi wanita
ahlul kitab (wanita Yahudi dan
Nasrani).[6][6]
Saidina
Umar wafat pada tahun 644 selepas dibunuh oleh seorang hamba Parsi yang bernama
Abu Lu’lu’ah. Dia menikam Saidina Umar sebanyak enam kali sewaktu Saidina Umar
menjadi imam di Masjid al-Nabawi, Madinah. Saidina Umar meninggal dunia dua
hari kemudian dan dikebumikan di sebelah makam Nabi Muhammad SAW dan makam
Saidina Abu Bakar.
3)
Kholifah
Utsman Bin Affan
Selanjutnya
masuk ke dalam masa pemerintahan Utsman Bin Affan yang berlangsung dari tahun
644-656 M. Ketika dipilih, Usman telah tua berusia 70 tahun dengan kepribadian
yang agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang di sekitarnya
untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan. Hal ini dimanfaatkan
terutama oleh keluarganya sendiri dari golongan Umayyah.
Kemudian
perluasan daerah Islam diteruskan ke India, Maroko dan Konstantinopel. Jasanya
yang paling besar dan yang paling penting yaitu tindakannya telah membuat Al
Qur’an standar (kodifikasi Al Qur’an). Standarisasi Al Qur’an dilakukannya
karena pada masa pemerintahannya, wilayah Islam telah sangat luas di diami oleh
berbagai suku dengan bahasa dan dialek yang berbeda. Karena itu, dikalangan
pemeluk agama Islam, terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayaat
Al Qur’an yang disebarkan mealui hafalan.
4)
Khalifah Ali
Bin Abi Thalib
Setelah Usman meninggal
dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali Bin Abi Thalib menjadi khalifah ke-4.
Ia memerintah dari tahun 656-662 M. Ali tidak dapat berbuat banyak dalam
mengembangkan agama Islam karena keadaan negara tidak stabil. Di sana timbul
bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada
perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok. Di antaranya dua
kelompok besar yakni, kelompok Ahlussunah
Wal Jama’ah, yaitu kelompok atau jamaah umat Islam yang berpegang teguh
pada Sunnah Nabi Muhammad dan Syi’ah
yaitu pengikut Ali Bin Abi Thalib.
Penyebab
perpecahan diantara dua kelompok ini adalah perbedaan pendapat mengenai
“masalah politik” yakni siapa yang berhak menjadi khalifah, kemudian disusul
dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan
kekeluargaan. Golongan syi’ah sekarang banyak terdapat di Libanon, Iran, Irak,
Pakistan, India dan Afrika Timur. Sumber hukum Islam di masa Khulafa Rasyidin
ini adalah Al Qur’an, Ijma’ sahabat dan Qiyas.
1.3 Masa Pembinaan, Pengembangan dan
Pembukuan (abad VII-X M)
Periode
ini berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah
“Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1)
Lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum
fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai
sekarang.[7][7]
Adapun
faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis
hukum adalah[8][8]:
1. Wilayah
Islam sudah sangat luas dari Hindia, Tiongkok sampai ke Spanyol maka tinggal
berbagai suku bangsa dengan adat istiadat, cara hidup kepentingan yang berbeda
oleh karena itu diperlukan pedoman hukum yang jelas yang dapat mengatur tingkah
laku mereka dalam berbagai bidang kehidupan
2. Telah ada
karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai landasan untuk
membangun serta mengembangkan fikih islam.
3. Telah
tersedia para ahli hukum yang mampu berijtihad untuk memecahkan berbagai
masalah hukum dalam masyarakat.
Pada
periode inilah muncul para mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan
pendapatnya diikuti oleh umat Islam diberbagai belahan dunia. Mereka itu
diantaranya adalah:
1. Imam Abu Hanifah (Al-Nukman ibn
Tsabit) : 700-767 M
Ia
lahir di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H.
Sebagaimana ulama yang lain, Abu Hanifah memiliki banyak halangan untuk
berdiskusi berbagai ilmu agama. Semula materi yang sering di diskusikan adalah
tentang ilmu kalam yang meliputi al-Qada dan Qadar. Kemudian ia pindah ke
materi-materi fiqh Al-Khatib al-Bagdadi menuturkan bahwa Abu Hanifah tadinya
selalu berdiskusi tentang ilmu kalam.
Sebagaimana
ulama lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan Al-Snnah, akan
tetapi ia tidak mudah menerima hadiah yang diterimanya. Lahannya menerima hadis
yang diriwayatkan oleh jama’ah dari jama’ah, atau hadist yang disepakati oleh
fuqaha di suatu negeri dan diamalkan; atau hadist ahad yang diriwayatkan dari
sahabat dalam jumlah yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang di pertentangkan.[9][9]
Abu
Hanifah dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu, dalam menghadapi nas al-Qur’an dan
al-Sunnah. Maka ia dikenal sebagai ahli di bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas.
2. Malik Bin Anas: 713-795 M
Ia
lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Malik bin Anas tinggal di Madinah dan tidak pernah
kemana-mana kecuali beribadah Haji ke Mekkah. Imam Malik menempatkan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum pertama, kemudian al hadist sedapat mungkin hadist yang
mutawatir atau masyhur.
3. Muhammad Idris Al-Syafi’i: 767-820 M
Ia
lahir di Ghazah atai Asqalan pada tahun 150 H. Ia berguru kepada Imam Malik di
Madinah. Kesetiannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan nyantri di tempat
sang guru hingga sang guru wafat pada tahun 179 H. Imam Syafi’i pernah juga
berguru kepada murid-murid Abu Hanifah. Ia tinggal di Bagdad selama dua tahun,
kemudian kembali ke Mekkah. Akan tetapi tidak lama kemudian ia kembali ke Irak
pada tahun 198 H, dan berkelana ke Mesir.
Dalam
pengembaraannya, ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl
al-Hadis. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil
sama halnya tidak seluruh metode ahl al-Hadis harus diambil. Akan tetapi
menurutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir mereka masing-masing.
Dengan demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap salah satu mazhab, bahkan
berusaha menempatkan diri sebagai penegah antara kedua metode berpikir yang
ekstrim. Ia berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk menjawab
masalah yang tidak manshus.[10][10] Menurut
Imam Syafi’i tata urutan sumber Hukum Islam adalah:
1) Al Qur’an
dan Al-Sunnah
2) Bila tidak
ada dalam Al Qur’an dan Al Sunnah, ia berpindah ke Ijma.
4. Ahmad Bin Hambal (Hanbal): 781-855 M
Ia
lahir di Bagdad pada tahun 164 H. Ia
tinggal di Bagdad sampai akhir hayatnya yakni tahun 231 H. Negeri-negeri yang
pernah ia kunjungi untuk belajar antara lain adalah Basrah, Mekkah, Madinah,
Syam dan Yaman. Ia pernah berguru kepada Imam Syafi’i di Bagdad dan menjadi
murid Imam Syafi’i yang terpenting, bahkan ia menjadi mujtahid sendiri.
Menurut
Imam Ahmad, sumber hukum pertama adalah Al-Nushush, yaitu Al Qur’an dan Al
Hadist yang marfu. Apabila persoalan hukum sudah didapat dalam nas-nas
tersebut, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula menggunakan “metode
ijtihad”. Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka Imam
akan memilih pendapat yang paling dekat dengan Al Qur’an dan Al Sunnah.
1.4 Masa Kelesuan Pemikiran (abad X-XIX
M)
Sejak
abad kesepuluh dan kesebelas Masehi, ilmu hukum Islam mulai berhenti
berkembang. Para ahli hukum pada masa ini hanya membatasi diri, mempelajari
pikiran-pikiran para ahli hukum sebelumnya yang telah dituangkan dalam berbagai
madzab.
Yang
menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum
tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat
hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al Sunnah, tetapi pikiran-pikirannya
ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para
imam-imamnya. Dinamika yang terus-menerus tidak lagi ditampung dengan pemikiran
hukum pula. Pada saat itu masyarakat yang terus berkembang tidak diiringi
dengan pengembangan pemikiran hukum Islam bahkan pemikiran hukum Islam
berhenti. Keadaan ini dalam sejarah dikenal dengan periode “kemunduran” dalam
perkembangan hukum Islam. Yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Kesatuan
wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa negara baru baik
di Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Asia.
2. Ketidak
stabilan politik yang menyebabkan ketidak stabilan berfikir.
3. Pecahnya
kesatuan kenegaraan/ pemerintahan itu menyebabkan merosotnya kewibawaan
pengendalian perkembangan hukum.
4. Dengan
demikian timbullah gejala kelesuan berpikir dimana-mana dan para ahli tidak
mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran
yang merdeka dan bertanggungjawab. Dengan demikian perkembangan hukum Islam
menjadi lesu dan tidak berdaya menghadapi tantangan zaman.[11][11]
1.5 Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX
sampai sekarang)
Setelah
mengalami kelesuan,kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam bangkit
kembali. Ini terjadi pada bagian kedua abad ke-19. Kebangkitan kembali
pemikiran Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut di atas
yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di
antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al Qur’an dan
Sunnah. Gerakan ini, dalam kepustakaan disebut gerakan salaf (salafiyah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran Islam
di zaman salaf (=permulaan), generasi awal dahulu.
Sebagai
reaksi terhadap taqlid di atas pada periode kemunduran itu sendiri telah muncul
beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi
persoalan-persoalan perkembangan masyarakat. Pada abad ke-14 telah timbul
seorang mujtahid besar, namanya Ibnu
Taimiyyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu
Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Dilanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad
Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai
pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia). Usaha ini dilanjutkan
kemudian oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) di lapangan politik (H.M.
Rasjidi, 1976:20). Ia menilai kemunduran umat Islam disebabkan antara lain
karena penjajahan Barat. Karena itu, agar umat Islam dapat maju kembali, untuk
itu ia menggalang persatuan seluruh umat Islam yang terkenal dengan nama Pan Islamisme.
Cita-cita
Jamaluddin kemudian dilanjutkan oleh muridnya Mohammad Rasjid Ridha (1865-1935)
yang mempengaruhi pemikiran umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia,
pikiran-pikiran Abduh diikuti antara lain oleh gerakan sosial dan pendidikan
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912.
Paham
Ibnu Taimiyah, seorang tokoh pemikir abad ke-14 M membagi ruang lingkup agama
Islam ke dalam dua bidang besar yakni ibadah
dan mu’amalah, dikembangkan lebih
lanjut oleh Mohammad Abduh. Di antaranya adalah:
1. Membersihkan
Islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan Islam
2. Mengadakan
pembaruan dalam sistem pendidikan Islam, terutama di tingkat perguruan tinggi
3. Merumuskan
dan menyatakan kembali ajaran Islam menurut alam pikiran modern
4. Mempertahankan/membela
(ajaran) Islam dari pengaruh Barat dan serangan agama lain
5. Membebaskan
negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam dari belenggu penjajahan
Menurut
Mohammad Abduh, dalam kehidupan sosial, kemiskinan dan kebodohan merupakan
sumber kelemahan umat dan masyarakat Islam. Oleh karena itu kemiskinan dan
kebodohan harus di “perangi” melalui pendidikan. Selain itu Poligami menurut
Abduh adalah pintu darurat yang hanya dapat dilalui kalau terjadi sesuatu yang
dapat membahayakan kehidupan perkawinan dan keluarga. Pemahaman Mohammad Abduh
mengenai ayat ini sekarang tercermin dalam Undang-Undang perkawinan umat Islam
di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Mengenai
mazhab, Mohammad Abduh bermaksud hendak menghapuskan dinding pemisah antar
mazhab, sekurang-kurangnya mengurangi kalau tidak dapat menghapuskan
kefanatikan mazhab sekaligus dan menganjurkan agar umat Islam yang memenuhi
syarat kembali lagi menggali hukum Islam dari sumbernya yang asli, yakni Al
Qur’an dan Sunnah Muhammad (Rasulullah), sebagaimana yang pernah terjaadi dalam
sejarah (hukum) Islam.
Ia
bermaksud pula mengembalikan fungsi akal pikiran ke tempatnya yang benar dan
mempergunakannya secara baik untuk memecahkan berbagai masalah dalam hidup dan
kehidupan manusia pada zamannya. Mohammad Abduh terkenal dengan gerakan salaf (gerakan salafiyah) mempunyai
pengaruh yang besar di negara-negara Islam.
Zaman
kebangkitan pemikiran hukum Islam ini dilanjutkan sekarang dengan sistem baru
dalam mempelajari dan menulis hukum Islam. Di samping sistem pemberian materi
kuliah khususnya di Fakultas Hukum yang telah berubah tersebut, juga diadakan
cara-cara baru dalam menuliskan (melukiskan) hukum Islam. Selain kebangkitan
pemikiran hukum Islam di kalangan orang-orang Islam sendiri, terutama di masa
akhir-akhir ini, perhatian dunia terhadap perkembangan hukum Islam menjadi
bertambah.
Dalam
rangka kembali kepada hukum Islam, akhirnya di Lybia dibentuk suatu Panitia
Ilmiah Hukum yang akan mempelajari hukum Islam secara mendalam, di bawah pimpinan
seorang ahli hukum terkenal bernama Ali Mansur. Panitia ini bertugas meneliti
dan mempelajari hukum Islam dalam segala bidang. Bahan-bahan hukum yang mereka
pergunakan dalam menyusun kodifikasi hukum Islam itu bukan hanya bahan-bahan
yang terdapat di kalangan ahlus sunnah
wal jama’ah saja, tetapi juga dari aliran lain yang terdapat dalam semua
bahan-bahan hukum itu, dan memilih dengan hati-hati pemikiran-pemikiran yang
sesuai dengan kondisi dan situasi umat Islam di abad ke-20 ini.
Di
Indonesia atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Departemen Agama telah
dikompilasikan Hukum Islam menegenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Kompilasi ini telah disetujui oleh para ulama dan ahli hukum Islam pada bulan
Februari 1988 dan (tahun 1991) telah diberlakukan bagi umat Islam Indonesia
yang menyelesaikan sengketa mereka di Peradilan Agama (salah satu unsur
kekuasaan kehakiman di tanah air kita) sebagai hukum terapan.
[13][2] Daud,
Mohammad Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tatata
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 155
[2][2] Daud, Mohammad Ali, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tatata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007) hal. 155
[7][7] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam,
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal.
182
Perkembangan Hukum
Islam Pada Masa Kemajuan (Periode VII)
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan dengan
perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya
masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena
sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi
masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas
lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang memerlukan
penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa Rasulullah
SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan langsung oleh
beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat dan wilayah
kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para Sahabat.
Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama
mujtahid pada generasi berikutnya.
Semangat ijtihad senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha,
meskipun di antara mereka ada yang lebih memilih status quo. Jalaluddin
al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) memberikan kritikan tajam kepada mereka yang
mengabadikan taqlid, dan Ibn Taimiyyah (661 H-728 H) juga tidak membenarkan
pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Dalam era modern ini, umat Islam dihadapkan pada tantangan
untuk menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern,
serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan dalam menghadapi
modernisasi. Munculnya arus modernisasi melahirkan beragam reaksi dari beberapa
ulama. Ada yang menerima dan ada yang menentang.
Pada makalah-makalah sebelumnya yang telah diterangkan oleh
para penulisnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan Hukum Islam itu telah
mengalami perkembangan beberapa priode, dan dalam pembagian yang disebutkan
oleh Hudhari Bek dalam bukunya yang sangat terkenal Tarikh Al-Tasyri Al-Islamiâ disebutkan
periode perkembangan Hukum Islam sebagai berikut :
1. Priode Pertama,
disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Rasulullah SAW.
2. Priode Kedua, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat-Sahabat Besar.
3. Priode Ketiga, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat Kecil danTabiin.
4. Priode Keempat, disebut Priode Pembinaan Hukum pada Masa Awal Abad Kedua sampaipertengahan Abad Keempat Hijriyah.
5. Priode Kelima, disebut Priode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
6. Priode Keenam, disebut dengan Priode Keruntuhan yang ditandai dengan jatuhnya Baghdad di Tangan Holako atau disebut juga dengan Priode Taklid / Kejumudan. Hudhari Bik hanya membagai sejarah perkembangan hukum Islam ini ke dalam enam priode, sedangkan priode ketujuh ini adalah tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber lainnya, termasuk kullliah yang disampaikan oleh Dosen Mata Kulliah ini Bapak Prof. Dr. H. Helmi Karim, MA.
7. Priode Ketujuh adalah Priode Kebangkitan dan inilah yang dimaksudkan dalam makalah ini.
2. Priode Kedua, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat-Sahabat Besar.
3. Priode Ketiga, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat Kecil danTabiin.
4. Priode Keempat, disebut Priode Pembinaan Hukum pada Masa Awal Abad Kedua sampaipertengahan Abad Keempat Hijriyah.
5. Priode Kelima, disebut Priode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
6. Priode Keenam, disebut dengan Priode Keruntuhan yang ditandai dengan jatuhnya Baghdad di Tangan Holako atau disebut juga dengan Priode Taklid / Kejumudan. Hudhari Bik hanya membagai sejarah perkembangan hukum Islam ini ke dalam enam priode, sedangkan priode ketujuh ini adalah tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber lainnya, termasuk kullliah yang disampaikan oleh Dosen Mata Kulliah ini Bapak Prof. Dr. H. Helmi Karim, MA.
7. Priode Ketujuh adalah Priode Kebangkitan dan inilah yang dimaksudkan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Masa Kebangkitan Hukum Islam
Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat
hubungannya dengan kebangunan kaum
muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha ke arah kebangunan
tersebut sudah dimulai sejak abad-abad yang lalu, akan tetapi masih terbatas
sifatnya dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah
kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan mereka sudah menginsafi kedudukan
dirinya sebagai golongan yang mundur, maka barulah mulai kebangunan universal
yang meliputi seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.
Sebagai contoh di
jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan
Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang
melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 –
1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang
semula dan mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah. Di Mesir
muncul pikiran-pikiran Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan muridnya
Sayid Muhammad Rasyid Ridha, yang menyerukan umat Islam seluruh dunia supaya
melepaskan diri dari rantai taklid, kembali kepada ajaran salaf yang
berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Tafsir Al-Manar banyak sekali memuat uraian dan
tafsir ayat yang menyangkut tentang kebebasan berpikir dan kecaman terhadap
taklid. Pengaruh tafsir itu dirasakan pula di berbagai Negara termasuk di
Indonesia.
Dari sudut
pembinaan dan pembangunan Hukum Islam, amatlah besarnya jasa dan kepeloporan
Turki Utsmani, terutama sejak tampuk pemerintahan imperium Islam itu dipegang oleh
Sultan Salim I (1512 – 1520 M) yang dilanjutkan oleh Sultan Sulaiman I (1520 –
1560 M) dan sultan-sultan berikutnya.[15][1]
Setelah Perkembangan Hukum Islam mengalami masa kelesuan,
kemunduran dan tidak ada perkembangan dalam bidang Ijtihad, apalagi ditandai
dengan tertutupnya pintu ijtihad, dalam beberapa abad lamanya, maka
perkembangan pemikiran Islam bangkit kembali yang itu dimulai pada bagian kedua
abad ke 19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam tersebut timbul sebagai reaksi
terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah
gerakan-gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan
kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Menurut Harun Nasution, pada abad ke-19
merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir di
tahun 1801 M, telah membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan
kemunduran dan kelemahan umat Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk
mengembalikan balance of power, yang telah pincang dan
membahayakan Islam. Kontak Islam dengan Barat sekarang berlainan sekali dengan
kontak Islam dengan Barat di periode klasik. Pada waktu itu (periode klasik)
Islam sedang menaik dan Barat sedang dalam kegelapan dan sekarang sebaliknya,
Islam sedang dalam kegelapan dan Barat sedang menaik. Kini Islam yang ingin
belajar dari Barat.
Dalam ekpedisinya ke Mesir, Napoleon tidak hanya membawa
tentara. Dalam rombongannya terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara
kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Napoleon juga membawa dua set alat percetakan dengan huruf latin, Arab dan
Yunani. Ekpedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga
untuk keperluan ilmiah. Untuk hal tersebut akhir ini dibentuk suatu lembaga
ilmiah bernama Institut d ’Egypte, yang mempunyai empat bahagian
Ekonomi-Politik dan Bahagian Sastra-Seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga
ini bernama La Decade Egyptienne. Di samping itu ada lagi suatu majalah, Le
Courier d ‘Egypte, yang diterbitkan oleh Marc Auriel, seorang pengusaha yang
ikut dengan ekspedisi Napoleon. Sebelum kedatangan ekspedisi ini orang Mesir
tidak kenal pada percetakan dan majalah atau surat kabar.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlihatkan
Perancis mencengangkan umat Islam pada waktu itu, hal ini terlihat dari
komentar yang dikemukakan oleh Al-Jabarti, seorang ulama Al-Azhar dn penulis
sejarah, ia mengatakan “Saya lihat di sana (Institut d ‘Egypte) benda-benda dan
percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hak yang besar untuk dapat
ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita.
Demikianlah kesan seorang cendikiawan Islam pada waktu itu
terhadap kemajuan yang dialami Barat. Ini menggambarkan betapa mundurnya umat
Islam di ketika itu. Keadaan menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat.
Kalau diperiode klasik orang Barat yang terkagum-kagum melihat perkembangan
peradaban Islam, di periode modern kaum Muslim yang heran melihat kecanggihan
teknologi yang diperagakan Barat.
Ide-ide pembaharuan yang dibawa olep ekpedisi Napoleon ke
Mesir, belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam. Tetapi dalam
perkembangan kontak dengan Barat di abad ke-19, seiring dengan bertambahnya jamaah
haji, ide-ide itu makin jelas dan kemudian diadopsi dan mulai dipraktekkan.
Bagaimanapun, ekspedisi yang dilakukan oleh Napoleon telah membuka mata umat
Islam akan kelemahan dan kemunduran mereka.
Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan
aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam
mengeluarkan pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju
kembali sebagaimana di periode klasik. Usaha-usaha ke arah itu pun mulai
dijalankan dalam kalangan umat Islam. Tetapi dalam pada itu Barat juga
bertambah maju.[15][2]
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan
oleh kaum penjajah Barat itu, maka pada awal abad XIII H, timbullah ide-ide,
usaha-usaha dan gerakan-gerakan pembebasan diri dan ilmu pengetahuan islam dari
penjajah dan pengaruh barat, merasa perlu mengadakan pembaharuan yang
universal, meliputi bidang pendidikan, social, politik, ekonomi, militer dan
lain sebagainya di dunia islam.
Menurut
para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan
Hukum Islam, yaitu :
- Modernisme, pola
pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim,
pendukung pola ini mendakwakan bahwa Hukum Islam tidak lagi mampu merespon
berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan
dan kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat
keluasan informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini,
untuk mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus
berani meninggalkan fiqih yang sudah ada dan membangun fiqih baru yang
kontekstual.
- Survivalisme,
pendukung pola ini bercita – cita mebangun pemikiran fiqih dengan berpijak
pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada. Keluasan fiqhyah, menurut pendukung pola ini
harus di kembangkan. Hingga sampai saat ini.
- Tradisionalisme,
pendukung pola ini menekankan keharusan kembali kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah. Satu hasil yang menarik dari cita-cita pola ini adalah
penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan pendapat.
Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan ikhtilaf
ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis, bukan pada pendapat –
pendapat para imam mazhab.
- Neo-survivalisme, pola
terakhir ini disebut neo-survivalisme, kerena para pendukungnya selain menawarkan
fiqih pengembangan juga menampakkan concernya yang besar terhadap
kepedulian sosial. Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu
pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari
relefansinya dengan persoalan-persoalan kekinian[15][3]
Sebagai reaksi
terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang
menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum.
Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356).
Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan
khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam
sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan,
kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan
sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan
elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya
ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat
berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius. Kemudian banyak
tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali
semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
- Jamaluddin Al Afghani
Nama panjang beliau
adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada
tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang
nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang
masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain
bin Ali bin Abi Thalib.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan
kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah,
matematika, filsafat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun
ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat,
hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani
segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya terhadap ilmu
pengetahuan bak ensiklopedia.
Tidak ada perbedaan diantara Al-Afghani dengan Ibnu
Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi awal) lebih banyak berhujjah
dengan menggunakan dalil-dalil agama dan pendekatan logika (mantiqy)
dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya, seperti yang kita bisa lihat
dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani lebih kepada pendekatan provokasi
(dalam term positif) atau membakar semangat, menyadarkan ummat atas realitas
keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi dengan para ulama dan pemimpin
kaum Muslimin.
Kontribusi Al-Afghani
Pertama; Perlawanan terhadap
kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah
Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada
bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di
bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua; upaya melawan pemikiran
naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya,
dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme
sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara
keseluruhan.
Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat
Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi
terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari situlah Al-Afghani
berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu
memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan ajaran-ajarannya.
- Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir
di suatu desa di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan
pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan
tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum
dipakai sebagai tanggal lahirnya.
Taklid kepada ulama
lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah
yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad
Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap
ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap
umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan
betul dengan sikap umat Islam dahulu.al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam
bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan
taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut
pendapatnya al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga
kepada akalnya.Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.Allah menunjukan
perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal.
Di
dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat:
. أفلا يعقلون ,أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون
Dan
sebagainya.Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang
rasional.Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam.Iman
seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
Kepercayaan
pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari
ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa
pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.[15][4]
- Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya
bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14
Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri
India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a).
Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan
mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b).
Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf
yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa
bersatu dengan Tuhan).
c).
Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)
Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad
Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e).
Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir
bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f).
Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada
gelora cinta pada kebaikan.
g).
Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak
membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.
- Sayyid Ahmad Syahid
Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a).
Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa
upacara yang berlebih-lebihan.
b).
Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan
lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam
mengatasi kesulitannya.
c).
Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di
zaman Khalifah Yang Empat.
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di
dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab
tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab
Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak
tertutup.[15][5]
- Muhammad Abdul Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah
suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19.
Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari nejed,
Saudi Arabia. Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya
memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid
yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah
bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas
di dunia Islam
Disetiap negara Islam yang dikunjunginya Muhammad Abdul
Wahab melihat makam-makam syekh tarikat yang bertebaran. Setiap kota bahkan
desa-desa mempunyai makam Syekh atau walinya masing-masing. Kemakam-makam
itulah umat Islam pergi dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang
dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada
yang meminta diberi anak, jodoh disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang
minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal. Syekh atau wali
yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk
meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia di dunia ini.
Perbuatan ini menurut paham Wahabiah termasuk syirik karena permohonan dan doa
tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT
Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar
dalam Islam oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab
memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiran
sebagai berikut.
- Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah
selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
- Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang
sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan
kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku
demikian juga dinyatakan sebagai musyrik
- Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam
doa juga dikatakan sebagai syirik
- Meminta syafaat selain kepada Allah juga perbuatan syrik
- Bernazar kepada selain Allah juga merupakan sirik
- Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas
merupakan kekufuran
- Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran.
- Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas juga
termasuk kekufuran.
Untuk mengembalikan
kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi denngan tujuan
mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa kepada paham
syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul
Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad
ke-19 adalah sebagai berikut.
- Hanya al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran
Islam. Pendapat ulama bukanlah sumber
- Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
- Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup
Muhammad Abdul Wahab
merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat
dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham
Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di
tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau
meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran
yang dikenal dengan nama Wahabiyah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ø Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat
hubungannya dengan kebangunan kaum
muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik Sebagai
contoh di jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori
Gerakan Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang
melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 –
1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang
semula dan mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah
ü Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada
saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
Ø Modernisme
Ø Survivalisme
Ø Tradisionalisme
Ø Neo-survivalisme
ü Tokoh yang membangkitkan kembali
semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
Ø Jamaluddin Al – Afghani
Ø Muhamma Abduh
Ø Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Ø Sayyid Ahmad Syahid
Ø Muhammad Abdul Wahab
Daftar Pustaka
v
Ali, Muhammad
Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004
v Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1996
v
Mun’im A.
Sirrry. . Sejarah Fiqih
Islam.
Islamabad: Risalah Gusti,1995
v Rahmat Djatnika, Dkk. . Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI,
1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar