IBNU ABBAS DAN PENGARUH PEMIKIRANNYA DALAM PERKEMBANGAN
PENAFSIRAN AL
QUR’AN
A. Pendahuluan
Kitab
al Qur’an yang merupakan pusat ajaran Islam telah menjadi bahan pengkajian yang
tidak pernah kering. Ia selalu digali agar ditemukan berbagai mutiara dari
dalam kandungannya. Sepanjang perjalanan sejarah al Qur’an, berbagai kalangan
telah menumpahkan segenap waktu, tenaga dan fikirannya untuk selalu dapat
berinteraksi dengan kalam yang mulia tersebut. Semakin intens perhatian
yang diarahkan kepadanya, semakin besar daya tarik yang ia pancarkan dan daya
tarik tersebut tidak pernah habis dan
selalu tampak menarik bagaikan kilauan sudut permata yang begitu indah.
Salah satu jenis kajian yang terus
berkembang seiring perjalanan waktu adalah kajian tafsir yang boleh dikatakan sama
tuanya dengan usia al Qur’an sejak ia
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW 14 Abad yang lalu. Dalam setiap
kurun waktu tertentu, cabang ini telah menghasilkan pemikir-pemikir yang brilian yang telah mampu
menjelaskan berbagai macam makna yang dikandung oleh Al Qur’an dan menghasilkan
karya-karya besar. Karya-karya tersebut kelak akan menjadi salah satu alat
mediasi yang paling jitu untuk mudah memahami al Qur’an dan menjadikannya
pelita dalam kehidupan ini.
Tak pelak lagi, nama Abdullah bin
Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas menjadi
salah satu nama yang paling popular dalam menafsirkan wahyu Allah tersebut.
Kemampuan yang ia miliki telah diakui
oleh berbagai kalangan, terutama kalangan sahabat-sahabat Nabi yang cukup
senior seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.
Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al Qur’an, pun menjadi salah satu
model yang mengilhami ulama-ulama besar
dalam bidang tafsir beberapa abad kemudian. Kota suci Mekkah menjadi awal perkembangan
pemikiran Ibnu Abbas yang juga
menghasilkan ulama-ulama besar
seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr.[1]
B. Profil Ibnu
Abbas.
Nama lengkap beliau adalah Abdullah
bin Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf al Qursyi al Hasyimi.[2]
Beliau adalah anak paman Rasul Abbas bin Abdul Muthallaib. Ibundanya
adalah Lubabah al Kubra binti al Harits bin Hazan al Hilaliyah. Ibnu
Abbas lahir di kota Mekkah 3 tahun sebelum Rasul
Hijrah ke kota
Madinah. Kelahiran beliau bertepatan dengan tahun pemboikotan Bani Hasyim oleh
orang-orang Quraisy.[3]
Ibnu Abbas selalu bersama Nabi di masa
kecilnya karena beliau termasuk salah
satu kerabat dekat nabi dan karena
bibinya, Maimunah, adalah salah
seorang istri Nabi. Menurut Riwayat
Bukhari, Ibnu Abbas dididik langsung
oleh Rasul dan Rasul meramalkan bahwa ia akan menjadi ahli Tafsir al Qur’an.[4]
Pada tahun 36 H. beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul
Haj. Ia tidak berada di kota Madinah ketika Utsman
terbunuh. Dalam pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Ibnu Abbas memihak kepada
Ali.[5] Di
akhir usianya, Ibnu Abbas mengalami kebutaan,.namun hal itu tidak membuat
kendurnya semangat beliau untuk menggali nilai-nila yang terkandung di dalam al
Qur’an serta terus bersikap kritis terhadap setiap perkembangan yang terjadi di
tengah ummat pada masanya.. Ibnu Abbas
wafat pada tahun 68 Hijrah dalam usia 70 tahun. Beliau wafat di kota Thaif
dan dimakamkan di kota
yang sama.
Ibnu Abbas diberi gelar
al Bahr[6] yang berarti Samudra. Hal itu disebabkan karena betapa dalam dan luas
ilmu yang ia miliki. Kepakaran tersebut
disebabkan kehidupan ilmiah yang selalu menghiasi hari-hari beliau, di
mana belajar dan mengajar adalah
kesibukan-kesibukan yang tidak pernah beliau tinggalkan. Beliau mengajarkan
berbagai macam ilmu kepada muruid-muridnya. Kadang-kadang beliau mengajarkan Fiqh,
atau Ta’wil atau sejarah. Ubaidillah bin Abdullah pernah
mengatakan: “ Tidaklah aku menyaksikan orang alim yang duduk bersama Ibnu Abbas kecuali ia
merendahkan diri terhadap Ibnu Abbas.
Dan tidaklah aku melihat orang yang bertanya kepada Ibnu Abbas kecuali ia akan mendapatkan ilmu dari jawaban
Ibnu Abbas.”[7] Hal
itupun semakin ditopang oleh ketidakterlibatan beliau dalam percaturan politik dan pemerintahan,[8]
kecuali hanya dalam waktu yang sangat sedikit, yaitu ketika beliau ditugaskan
oleh Ali bin Abi Thalib sebagai Amir di kota Basrah.[9]
Dengan kedalaman ilmu tersebut
berbagai macam pujianpun diarahkan kepada beliau, seperti yang disampaikan oleh
Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas adalah ummat Muhammad yang
paling tahu tentang apa yang diturunkan kepada Muhammad. Thawus, salah
seorang Tabi’in pernah ditanya oleh al Laits bin Sulaiman :
“Mengapa engkau tinggalkan sahabat-sahabat senior dan berguru kepada anak kecil
ini (Ibnu Abbas). Thawus menjawab, “Aku melihat
70 orang sahabat Rasul berselisih tentang suatu urusan, akan tetapi semuanya kembali
kepada pendapat Ibnu Abbas.”[10] Luasnya
ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Abbas, tidaklah terjadi begitu saja. Akan tetapi kepakaran
tersebut disebabkan oleh beberapa hal
yang amat penting yang menghiasi perjalanan hidup beliau :
- Do’a
Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang
paling kuat tentang kemampuan Ibnu Abbas dalam menafsirkan dan memahami
kitab suci al Qur’an. Menurut pengakuan Ibnu Abbas Sendiri, Rasul pernah
dua kali mendoakan beliau. Do’a tersebut adalah Allahum ‘allimhu al
hikmah اللهم علمه) الحكمة)
dan allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil. (اللهم فقهه في الدين وعلمه التاويل)[11]
Menurut ajaran Islam, do’a yang dipanjatkan oleh Rasul adalah do’a yang mustajab
dan seluruh kehendak Rasul di dalam do’a tersebut dikabulkan oleh Allah.
- Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga
kenabian, di mana beliau selalu
hadir bersama Rasulullah sejak
kecil. Beliau selalu mendengar
banyak hal dari Rasul, dan
menyaksikan kejadian serta berbagai
peristiwa yang menyebabkan turunnya
ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah
dua kali menyaksikan Malaikat Jibril bersama dengan Nabi.[12]
- Interaksi beliau dengan para sahabat senior sesudah
wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan
dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat dan lain
sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh
Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan
Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku
akan mendatanginya. Boleh jadi aku
akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aiu bertanya tentang hadist tersebut
kemudian pergi.
- Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa
Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk
mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an.
- Kecerdasan otak yang merupakan anugerah Allah yang
membuat Ibnu Abbas mampu untuk berijtihad
dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam
penafsiran al Qur’an.
Dengan
pengetahuan yang amat luas tersebut, maka Ibnu Abbas selalu menjadi rujukan
para sahabat baik senior maupun yunior untuk meminta keterangan dan penjelasan
tentang maksud suatu ayat. Seperti kasus ketika Umar bin al Khattab
bertanya maksud ayat : ) ايود احدكم
ان تكون له جنة من نخيل ( surat al Baqarah
ayat 266. Maka tidak seorangpun dari
sahabat yang mampu memberikan penjelasan yang memadai tentang ayat yang
dimaksud. Pada akhirnya Ibnu Abbas
berkata : Wahai Amirul Mu’minin. Aku mendapatkan suatu pemahaman pada
diriku tentang ayat yang dimaksud. Ayat tersebut berisi perumpamaan yang dikemukakan Allah sehingga seolah-oleh Allah berkata : Apakah
salah seorang di antara kalian menyukai
pekerjaan orang-orang yang baik
sepanjang hidupnya namun ketika akan
wafat ia tutup agenda hidupnya yang baik
tersebut dengan mengerjakan pekerjaan
orang-orang yang sengsara. Sehingga pekerjaan tersebut merusak seluruh amal kebajikannya.[13]Kedalaman
ilmu tersebut pulalah pada akhirnya kaum muslimin memberinya gelar sebagai Turjumanul
Qur’an, penafsir al Qur’an [14]
C. Pemikiran
Tafsir Ibnu Abbas.
Ibnu abbas merupakan peletak dasar
dari teori penafsiran yang banyak mengilhami model-model penafsiran era
berikutnya. Pemikirannya diyakini
sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat baik bagi kalangan mufassir
bil ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al ra’yi. Bahkan secara
tradisional beliau dipercaya sebagai
salah seorang tokoh yang telah berhasil
menanamkan embrio Hermeneutika al
Qur’an.[15]
Bagi kelompok bi al ma’tsur
(penafsiran memalui tradisi) Ibnu Abbas telah memberikan panduan penafsiran al
Qur’an terbaik, dengan membiarkan al Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang
saling berhubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al
Qur’an dengan al Qur’an sendirilah yang memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak
ditemukan penjelasan tersebut dari al Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits
Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi al Qur’an juga
diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang
cukup sulit untuk dipahami. Kedua cara
yang ditempuh oleh Ibnu Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku bagi kelompok penafsir al Qur’an bi al
ma’tsur untuk masa selanjutnya.
Kelompok mufassir bi al Ra’yi (Penafsiran
melalui nalar) juga memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah
digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat
tidak ia temukan di dalam al Qur’an atau dari hadits nabi, maka beliau berupaya
untuk merujuknya kepada sair-sair Arab kuno ataupun
percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa
yang tinggi. “Keluarnya” Ibnu dari lingkaran al Qur’an dan Hadits Nabi tersebut
adalah sebuah keberanian dan merupakan ijtihad dalam bentuk lain. Dan tentunya
keberanian untuk melakukan ijtihad
bukanlah keberanian yang bersifat apriori, namun dilandasai oleh niat dan keinginan yang kuat
untuk menyingkap makna-makna terdalam dari al Qur’an. Seperti yang diceritakan
sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru
al samawaat فاطر السموات)), sampai
suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui tengah bertikai
masalah sebuah sumur. Salah seorang dari Arab Badui mengatakan : ana
Fathortuha (انا فطرتها) (aku yang
membuatnya). Dengan adanya percakapan
tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata : فطر
Bahkan beliau tidak
segan-segan untuk mencari sumber penafsiran dari kalangan ahli kitab
yang telah memeluk agama Islam, baik dari kalangan Yahudi seperti Abdullah
bin Salam maupun dari kalangan Nasrani seperti Ibnu Juraij. Namun
sebagaimana yang dikatakan oleh Husain
az Zahabi, bahwa eksplanasi tersebut hanya berkaitan dengan pambahasan yang
sangat terbatas dan adanya kecocokan
sejarah antara al Qur’an dan kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi
jika berseberangan dengan keterangan al Qur’an atau bahkan bertentangan dengan
syari’at Islam, menurut Az Zahabi, Ibnu Abbas tidak mempergunakan
penafsiran ahli kitab. Keberanian Ibnu
Abbas untuk mencari sumber-sumber penafsiran dari selain al Qur’an dan hadits nabi menjadi inspirasi penting
bagi kalangan ahlu al ra’yi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal
fikiran sebagai salah satu alternatif
penafsiran al Qur’an.
Secara eksplisit terungkap, Ibnu Abbas memiliki kecenderungan untuk
menggunakan akal fikiran yang jernih dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Tidak
melulu beliau menggunakan standar baku
penafsiran ayat dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits Nabi. Beliau berani berijtihad, dan diakui oleh
kalangan sahabat. Contoh keberanian lain tersebut adalah ketika Ibnu Umar
meminta Ibnu Abbas untuk menafsirkan ayat
( اولم
يرى الدين كفروا ان السموات والارض كانتا رتقا ففتقناهما). Dalam penafsirannya
Ibnu Abbas tidak merujuk kepada al Qur’an maupun hadits Nabi, akan tetapi
merujuk kepada pemikirannya sendiri. Beliau mengatakan bahwa langit dulu
bersatu dengan bumi. Yang dimaksud bersatu di sini langit tidak menurunkan
hujan dan bumi tidak menumbuhkan tanaman. Maka Allah memisahkan keduanya dengan
menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di Bumi. Ibnu
Umar menanggapi penafsiran tersebut dengan mengatakan : “Aku begitu
kagum dengan penafsiran Ibnu Abbas. Dan sekarang aku tahu bahwa ia telah
mendapatkan anugerah ilmu.”[16]
Dengan demikian bibit-bibit penafsiran dengan menggunakan nalar telah dibangun
oleh Ibnu Abbas semenjak generasi kedua Ummat Islam.
Meskipun Ibnu Abbas telah memulai upaya penafsiran menggunakan rasio,
namun pemikirannya-pemikiran tafsirnya
belaum dibukukan dalam bentuk kitab tafsir yang sistematis. Untuk mengetahui
bentuk pemikiran belaiu, masih harus menggunakan sistem periwayatan. Hal itu
disebabkan oleh belum berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik pada saat
itu. Untuk mengetahui pemikiran tafsir ibnu Abbas, para ulama telah menetapkan
jalur periwayatan yang akurat dan memiliki tingkat kebenaran maksimal. Imam
As Suyuthi mengatakan “Pemikiran-pemikiran”
Ibnu Abbas dalam bidang tafsir
memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak. Dan riwayat yang paling baik
adalah melalui jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas.
Bahkan jalur periwayatan ini telah diakui oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya
apabila meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas.[17]
Namun meskipun begitu, masih ada sebagian kelompok yang meragukan periwayatan
langsung Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Kelompok ini beranggapan
bahwa Ali Bin Abi Thalhah tidaklah mendengar langsung dari Ibnu Abbas,
akan tetapi meriwayatkan pemikiran Ibnu Abbas melalui perantaraan Mujahid atau Said bin Jabir.
Selain jalur Ali bin Abi Thalhah, juga terdapat jalur lain yang
juga dianggap sebagai jalur yang baik untuk mengetahui pemikiran Ibnu Abbas.
Jalur tersebut adalah jalur periwayatan Qais
bin Atha’ bin Saib dari Said bin Jabir
dari Ibnu Abbas. Jalur
periwayatan ini menurut Bukhori dan Muslim adalah jalur yang sahih. Juga
terdapat jalur periwayatan dari Ibnu
Ishaq dari Muhammad bin Abi
Muhammad dari Ikrimah atau dari said bin Jabir dari Ibnu
Abbas[18]. Namun
jalur ini menurut Ibnu Jarir al
Thabari dan Abi Hatim adalah jalur periwayatan yang hasan, dan mereka juga menggunakan
jalur ini dalam meriwayatkan penafssiran-penafsiran dari Ibnu Abbas.
Keberadaan Ibnu Abbas di Kota Mekkah
telah menciptakan sebuah konstelasi pemikiran Tafsir yang brilian.
Murid-murid beliau dianggap sebagai pemuka-pemuka Tafsir yang mencerahkan. Ibnu
Taimiyah, seperti yang diungkapkan As Suyuthi, mengatakan bahwa
orang yang paling tahu tentang tafsir adalah kelompok Mekkah, karena di kota
ini bermukim Ibnu Abbas.[19]
Murid-murid iIbnu Abbas yang terkemuka dalam bidang Tafsir adalah Mujahid,
Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, Said bin Jabir dan Thawus.
Meskipun pemikiran Ibnu Abbas yang berkaitan dengan Tafsir lebih banyak
di pahami melalui jalur periwayatan, akan tetapi para ulama mencoba untuk
memadukan berbagai pemikiran Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
Sebuah karya yang berada di tangan penulis saat ini menunjukkan hal tersebut.
Berbagai riwayat telah dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang
menghimpun pemikiran Ibnu Abbas dalam memahami al Qur’an, mulai dari surat al Fatihah sampai dengan surat al Naas. Kumpulan penafsiran
tersebut diberi judul (تنويرالمقباس من تفسير ابن
عباس) Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas.
Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan penafsiran al Qur’an ini dikumpulkan
oleh Abi Thahir Muhammad bin Ya’qub
al Fairuzzabady al Syafi’i.[20]
Menurut az Zahabi, segala sesuatu
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam tafsir ini hanya melalui jalur periwayatan Muhammad bin Marwan as Suday al Shaghir
dari Muhammad bin Saib al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu
Abbas. Secara pribadi, az Zahaby meragukan seluruh riwayat tersebut yang ada dalam tafsir tersebut
dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, sebagaimana keraguan yang juga dialami oleh Imam
Syafi’i. menurut as Syafi’I, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan
Ibnu Abbas dalam masalah tafsir hanya berjumlah ratusan. Artinya bila riwayat tersebut meliputi seluruh ayat
al Qur’an yang berjumlah ribuan, maka ada sebagian yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.[21]
D. Tafsir Ibnu
Abbas.
Az Zahabi mengungkapkan
sebuah kitab Tafsir yang dinisbahkan kepaba Ibnu Abbas yang diberi nama Tanwirul
Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Tafsir ini diterbitkan di Mesir dan
cetakan lainnya berasal dari Beirut .
Dari cetakan aslinya, kitab ini tidak memiliki kata pengantar, sehingga tidak
dapat diselami lebih jauh lagi tentang keberadaan penulis kitab tersebut. Namun
al Fairuzzabady sendiri bukanlah orang yang tidak dikenal. Belaiu adalah
pengarang kamus al Muhith[22]
yang terkenal dan ahli dalam bidang bahasa. Pola penafsiran yang ditampilkan
dalam tafsir ini memiliki kesamaan dengan penafsiran yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin
Assuyuthi dalam Tafsir al Jalalain. Dalam kitab tersebut,
Mufassir berupaya untuk menafsirkan
dan menjelaskan kalimat per kalimat,
sehingga makna setiap kalimat dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Hal
ini dilakukan penulis mulai dari surat al
Fatihah hingga surat
al Baqarah.
Dilihat dari judul kitab tersebut, maka pembaca digiring kepada sebuah
kesimpulan, bahwa penafsiran yang dilakukan di dalam kitab ini semuanya mengacu
kepada penafsiran Ibnu Abbas. Akan tetapi penulis hanya menemukan dua jalur
periwayatan yang diungkapkan pengarang
yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas. Sedangkan untuk surat-surat yang lain,
pengarang hanya menyebutkan kalimat ( وباسناده
عن ابن عباس) Wabi isnadihi an ibni Abbas.
Artinya sanad yang diambil sama dengan sanad yang ada dalam surat
al Fatihan atau surat
al Baqarah. Surat yang disebutkan sanadnya
secara lengkap adalah : Pertama, ketika pengarang kitab menafsirkan surat al Fatihah.
Dalam menafsirkan surat tersebut, al Fairuzzabadi menyebutkan riwayat
dengan lengkap, yaitu dari jalur Abdullah as tsiqah bin al Ma’mun al
Harwi dari ayahnya, dari Abu
Abdullah dari Abu Ubaidillah Mahmud bin Muhammad al Razi dari
Ammar bin Abdul Majid al Harwi dari Ishaq as Samarqandi, bin
Marwan dari al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas.[23]
Sedangkan dalam menafsirkan surat al Baqarah, penulis menyebutkan jalur
periwayatan dari Abdullah bin al
Mubarak dari Ali bin Ishaq as
Samarqandi dari Muhammad bin Marwan dari al Kalbi dari Abu Sholeh
dari Ibnu Abbas. Selanjutnya penulis tidak lagi menemukan jalur
periwayatan lainnya dalam menafsirkan surat-surat berikutnya. Oleh sebab itu,
apabila berpatokan kepada pendapat az Zahabi dan Imam SyafiiI di
atas, maka semua penafsiran tersebut bukanlah murni pemikiran Ibnu Abbas secara
utuh. Apalagi pengarang tidak mencantumkan berbagai jalur periwayatan yang
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menggali dan
mengumpulkan berbagai periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas.
Dengan demikian meskipun pengarang tafsir ini menggiring pembaca ke arah
penafsiran Ibnu Abbas, akan tetapi dengan tidak menampilkan berbagai bentuk
periwayatan dengan jelas, maka akan menimbulkan pertanyaan, apakah semuanya
adalah penafsiran Ibnu Abbas, atau penafsiran pengarang sendiri dengan
mengusung nama Ibnu Abbas dalam karangannya.
E. Penutup
Abdullah bin Abbas adalah sosok sahabat Rasul yang berani
melakukan ijtihad dalam bidang tafsir. Selain menerangkan makna ayat-ayat
al Qur’an melalui al Qur’an sendiri atau melalui hadits Nabi, Ibnu Abbas
juga berupaya untuk menggali makna al Qur’an dari syair-syair Arab kuno
dan ahli kitab. Ijtihad model ini sedikit banyak akan memberikan
inspirasi kepada kelompok mufassir bi al Ra’yi untuk mengembangkan
penafsiran al Qur’an di kemudian hari. Dengan demikian, pemikirannya membuka
dan mengilhami berkembangnya dua macam kelompok penafsiran, yaitu penafsiran
dengan tradisi (bil ma’tsur) dan penafsiran menggunakan nalar (bil
ra’yi).
Berbagai buku yang berkaitan dengan Tafsir Ibnu Abbas tidaklah mewakili
pemikiran tafsir Ibnu Abbas. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya riwayat Ibnu
Abbas yang sampai kepada kita, dan jumlah riwayat tersebut hanya berada pada
kisaran ratusan saja.
1.
Quraisy shihab,Membumikan al
Qur’an, Mizan, Bandung ,
2004, hal. 71.
2.
Muhammad Husain az Zahabi, al
Tafsir wal mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo, 2003, Jld. 1, hlm. 50
3.
Mochtar Efendi, Ensiklopedi
Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang , Jld. I, 2000, hlm. 14
4.
Ibid.
5.
Ibid.
6.
Muhammad al Jazari,Asdul Ghabah
fi ma’rifat al Sahabah, Jld. III, Darul Kutub al Ilmiyyah, Khairo, t. thn,
hlm. 292
7.
Ibid.
8.
Muhammad Abdul Azim al Zarqani,
Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, Daru Ihyai al Turats al Araby, Bairut, T. Thn., hlm. 344.
9.
Muhammad Husain azzahabi, Op.
Cit, hlm. 52
10.
Muhammad all Jazari, Op. Cit.
11.
Muhammad al Jazari, Op.
Cit.
12.
Ibid.
13.
Ibid, hlm. 54.
14.
Al Zarqani, Op. Cit., hlm.
243
15.
Munzin Hitami, Menangkap
Pesan-Pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006, hlm. 34
16.
Muhammad az Zarqani, Op. Cit., hlm. 343
17.
Ibid., hlm. 344
18.
Ibid.
19.
Ibid,hlm. 345
20.
Muhammad Husain az Zahabi,Loc.
Cit, hlm. 62
21.
Ibid.
22.
Ibid.
23.
Abu Thahir Bin Ya’qub al
Fairuzzabadi, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni Abbas, Darul Fikr, Beirut , 2001, hlm. 1
[2] Muhammad
Husain az Zahabi, al Tafsir wal mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo,
2003, Jld. 1, hlm. 50
[3] Mochtar
Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang , Jld. I, 2000,
hlm. 14
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6]
Muhammad al Jazari,Asdul Ghabah fi ma’rifat al Sahabah, Jld. III, Darul
Kutub al Ilmiyyah, Khairo, t. thn, hlm. 292
[7] Ibid.
[8]
Muhammad Abdul Azim al Zarqani, Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, Daru
Ihyai al Turats al Araby, Bairut, T.
Thn., hlm. 344.
[9] Muhammad
Husain azzahabi, Op. Cit, hlm. 52
[10]
Muhammad all Jazari, Op. Cit.
[11]
Muhammad al Jazari, Op. Cit.
[12] Ibid.
[13] Ibid,
hlm. 54.
[14] Al
Zarqani, Op. Cit., hlm. 243
[15] Munzin
Hitami, Menangkap Pesan-Pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006, hlm.
34
[16]
Muhammad az Zarqani, Op. Cit., hlm. 343
[17] Ibid.,
hlm. 344
[18] Ibid.
[19] Ibid,hlm.
345
[20]
Muhammad Husain az Zahabi,Loc. Cit, hlm. 62
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23]
Abu Thahir Bin Ya’qub al Fairuzzabadi, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni
Abbas, Darul Fikr, Beirut ,
2001, hlm. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar