BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MASA‘IDDAH
Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة) yang bermakna perhitungan.[1] Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah. Atau hitungan dari haid atau suci, atau hitungan bulan.[2]
Secara istilah , “Iddah” berarti sejumlah waktu ( hari ) untuk
menunggu bagi perempuan dan tidak boleh untuk menikah setelah wafat suaminya
atau berpisah denganya.[3] Dikalangan para ulama fiqh terdapat banyak pendapat dalam memberikan
pengertian iddah. Menurut ulama Hanafiah, iddah berarti saat-saat
tertentu menurut syara’ untuk menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan
perkawinan. dengan kata lain saat menunggu bagi wanita ketika berpalingnya
perkawinan atau yang serupa. Sedangkan menurut ulama jumhur, Iddah berarti
saat menunggu bagi perempuan (istri) untuk mengetahui kekosongan rahimnya, atau
untuk beribadah, atau keadaan bersedih-berduka cita terhadap perkawinanya, yang
berakhir. Hukum menunggu bagi bekas istri yang
telah dicerai oleh suaminya atau suaminya meninggal dunia itu
adalah wajib dan lama waktunya ditetapkan oleh agama sesuai dengan keadaan
bekas suami yang mencerai atau bekas istri yang dicerai.[4]
Ada yang menyatakan, masa
‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa
dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas
sang suami [5]
HIKMAH 'IDDAH[6]
Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa ‘iddah, diantaranya:
1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.
2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa 'iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.
3. Masa 'iddah disyari'atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan.
4. Masa 'iddah disyari'atkan agar kaum
pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan,
terutama dalam kasus perceraian.
5. Masa 'iddah disyari'atkan untuk
menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicerai sedang
hamil
DASAR PENSYARIATANNYA.
Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah. [5]
Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' [al-Baqarah/2:228]
HADITS-HADITS
TENTANG BILANGAN IDDAH
HADITS
KE-904
TENTANG IDDAH WANITA YANG DITINGGAL MATI
SUAMINYA
عَنْ اَلْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ
رضي الله عنه ( أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا-
نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ, فَجَاءَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ, فَأَذِنَ لَهَا, فَنَكَحَتْ )
رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ وَفِي لَفْظٍ:
( أَنَّهَا وَضَعَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِأَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَفِي
لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, قَالَ اَلزُّهْرِيُّ: ( وَلَا أَرَى بَأْسًا أَنْ تَزَوَّجَ
وَهِيَ فِي دَمِهَا, غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَقْرَبُهَا زَوْجُهَا حتَّى
تَطْهُرَ
Dari al-Miswar Ibnu Makhramah bahwa Subai'ah al-Aslamiyyah
Radliyallaahu 'anhu melahirkan anak setelah kematian suaminya beberapa malam.
Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminta izin untuk menikah.
Beliau mengizinkannya, kemudian ia nikah. Riwayat Bukhari dan asalnya dalam
shahih Bukhari-Muslim. Dalam suatu lafadz: Dia melahirkan setelah empat puluh
malam sejak kematian suaminya. Dalam suatu lafadz riwayat Muslim bahwa Zuhry
berkata: Aku berpendapat tidak apa-apa seorang laki-laki menikahinya meskipun
darah nifasnya masih keluar, hanya saja suaminya tidak boleh menyentuhnya
sebelum ia suci.
·
Kajian sanad hadits
Miswar bin Makhramah
Nama lengkap beliau adalah Miswar bin Makhramah bin Naufal bin Uhaib bin
abdu manaf bin Zahrah bin kilab al-Qurasyi, Abu Abdur Rahman az-Zuhri. Ibunya bernama Syifa` binti Auf. Menurut Umar bi
ali beliau lahir pada tanggal 2 hijriah di makkah dan wafat pada tanggal 64 H.
beliau termasuk sahabat Nabi. Diantara Guru beliau adalah: Rasulullah SAW,
Abdullah bin Abbas, Abdur Rahman bin Auf (paman dari ibu beliau), Usman bin
Affan, Ali bin Abi Tholib.[7]
Urwah bin Zubair
Nama lengkap beliau adalah Urwah bin Zubair bin
Awam bin bin Khuwailid al-Quarasyi al-Asadi, Abu Abdullah al-Madani. Beliau
lahir di akhir kekholafahan Umar bin
Khattab pada tahun 23 H dan wafatnya menurut Ibn Abi Khaitsamah pada tahun 94/
95 H. beliau hidup dimasa tengah-tengah tabi`in. menurut Ibn Hajr beliau adalah
tsiqah. Diantara guru beliau adalah Miswar bin mukharramah, Amr bin ash, Qhais
bin Said bin ibadah, Muhammad bin Musalamah al-Anshari, Marwan bin Hakim.[8]
Hisyam bin Urwah
Nama lengkap beliau adalah Hisyam
bin Urwah bin Zubair bin Awam al-Qurasyi al-Asady, Abu Mundzir, dan ada yang
mengatakan Abu `Abdullah al-Madani. Menurut Kharbi dan dikuatkan oleh Anu Naim
dan yang lainnya sunnah al-khamsah, menurut Ibn Said dan ajali beliau adalah
tsiqah dan menurut Ibn Hatim tsiqah, Imam di dalam hadits.[9]
Diantara guru beliau adalah Urwah bin zubair, umar bin Abdullah bin Umar bin Khattab, Umar bin Khuzaimah, Umar bin Suaib, Umar bin Haris
bin Tufail.
Malik bin Anas
Nama lengkap beliau adalah Malik bin
Anas bin Malik bin abi Amir bin Amr as-Subhi humairi, Abu Abudullah al-Madani
al-Faqih. Beliau lahir pada tahun 93 H. dan wafat
pada tahun 179 H. menurut Ibn Hajar beliau adalah إمام دار الهجرة, رأس المتقنين, وكبير المتسبتين sehingga menurut imam bukhari hadits yang diriwayatkan oleh bin Anas bin
Malik bin abi Amir adalah semuah sanadnya shohih. Diantara guru beliau adalah
Hisyam bin Urwah, pamannya Abi Sahil Nafi` bin Malik, Nafi` Maula Ibn Umar.
Yahya bin Quza`ah
Nama lengkap beliau adalah Yahya
Quza`ah Qurasyi, al-Hajazi al-Makki, Muaddhin, meriwayatkan darinya Imam
Bukhari, menurut Ibn Hajar beliau adalah maqbul sedang menurut dhahabi adalah
tsiqah. Diriwayatkan darinya oleh Imam bukhari, Ahmad di Sholih aal-Misri,
Ibrahim bin Mundzir al-Hizami, Muhammad bin Muslim ibn Warati, Dhahili, Abu
Yahya bin Abi Maisarah al-Makki, dan menurut Ibn Hibban beliau adalah tsiqah.[10]
Diantara guru beliau adalah Abdurrahman bin Abi Rijal, Umat bin Abi
Aisyah al-Madani, Malik bin Anas, Mughirah bin Abdurrahman al-Hazami.
·
Syarah Hadits
As-Shon’anii menjelaskan dalam kitabnya Subulus al-Salam bahwa setelah ditinggal mati oleh suaminya yaitu
sa’id bin khawlah yang meninggal di Mekah setelah melaksanakan haji wada’
dalam beberapa malam (banyak perselisihan mengenai jumlah malam ketika itu),
kemudian Subai’ah datang kepada Nabi untuk meminta izin menikah lagi,
Nabi pun mengizinkanya lalu ia menikah. H. R. Bukhori sedangkan aslinya terdapat dalam Shahihain dan
lafadnya milik Bukhari.[11]
Keterangan lain
menyebutkan yang dimaksud dengan suaminya adalah Sa’id bin Khawlah al-‘Amiri
dari bani ‘Amir bin Luayy dan sebab kematianya karena dibunuh ketika haji wada’
akan tetapi penyebab kematian ini riwayatnya syadz.[12]
Hadits tentang Subaiah menurut Ibn Mas’ud halal baginya menikah
lagi setelah melahirkan, karena sesungguhnya ia sudah dihukumi halal untuk
menikah ketika melahirkan yang masih berbentuk ‘alaqoh (segumpal darah)
dan seterusnya (Mudghah) sekiranya ia mengetahui bahwa ia dalam keadaan
hamil. Berbeda dengan Imam Syafi’I dalam salah satu
pendapatnya bahwasanya tidak halal baginya sampai melahirkan anak dalam keadaan
sempurna.[13]
Hadist ini menunjukkan bahwasanya orang hamil yang ditinggal mati
suaminya masa iddahnya habis setelah ia melahirkan walaupun belum sampai empat
bulan 10 hari dan boleh melakukan akad nikah setelah itu.[14]
HADITS
KE-905
TENTANG IDDAHNYA WANITA YANG HAID, IDDAHNYA 3 X QURU’ (3X HAID/ 3X
SUCI)
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ: ( أُمِرَتْ بَرِيرَةُ أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثِ حِيَضٍ. رَوَاهُ
اِبْنُ مَاجَهْ, وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ, لَكِنَّهُ مَعْلُولٌ
Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Barirah diperintahkan untuk
menghitung masa iddah tiga kali haid. Riwayat Ibnu Majah dan para perawinya
dapat dipercaya, namun hadits tersebut ma'lul.
HADITS
KE-906
وَعَنْ اَلشَّعْبِيِّ, عَنْ
فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ, ( عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم -فِي
اَلْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا-: لَيْسَ لَهَا سُكْنَى وَلَا نَفَقَةٌ ) رَوَاهُ
مُسْلِمٌ
Dari Sya'by dari Fathimah Ibnu Qais Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda -tentang perempuan yang ditalak tiga-:
"Dia tidak mendapat hak tempat tinggal dan nafkah." Riwayat Muslim.
Biografi Perawi
Asy-Sya'bi
adalah
Abu
Amr bin Syarahil
bin Abdullah Asy-Sya'bi Al-Hamdani Al-Kufi, Tabi'i
yang utama. Ibnu Uyainah
berkata,
"Ibnu Abbas dan Asy-Sya'bi pad a periode
yang sarna.
Suatu ketika Ibnu Umar melewati temp at Asy-Sya'bi
yang sedang
menyampaikan had its tentang peperangan, ia berkata,
"Saya menyaksikan suatu kaum
yang lebih tahu dari
saya tentang peperangan itu." Az-Zuhri berkata, "Ulama itu ada empat orang
yaitu Ibnu Al-Musayyib di Madinah,
Asy-Sya'bi
di Kufah, Hasan
di Bashrah dan Makhul
di
Syam. Asy-Sya'bi lahir pada
masa khalifah Umar sebagaimana
dalam kitab
Al-Kasyifkarya Adz-Dzahabi. Ada yang mengatakan, lahir
enam tahun setelah kekhalifahan Utsman
dan meninggal dunia
pada
tahun
204 H pada
usia 62 tahun.
Tafsir Hadits
Hadits
ini merupakan
dalil
bahwa perempuan yang
ditalak tiga kali tidak
mendapatkan hak tempat tinggal dan nafkah.
Ada
perselisihan
ulama dalam masalah
ini. Ibnu Abbas, Hasan,
Atha', Asy-Sya'bi, Ahmad dalam satu riwayatnya, Al-Qasim, Imamiyyah, Ishaq
dan pengikutnya, Dawud dan
Ahli hadits berpendapat
sarna
berdasarkan hadits ini. Umar bin Al-Khaththab, Umar bin
Abdul Aziz, Hanafiyyah, Ats-Tsauri dan lainnya berpendapat bahwa ia be
rhak mendapatkan nafkah dan temp at tinggal,
mereka
mendasarkan ketetapan mendapatkan nafkah
pada firman
Allah
Ta'ala, "Maka berikanlah kepada
mereka
itu najkahnya
hingga mereka bersalin:" (QS.
Ath- Thalak: 6), tapi ayat ini berkaitan dengan
wanita hamil. Sedangkan ijma' ulama menetapkan wanita yang ditalak raj'i berhak menetapkan nafkah. Ketetapan tempat
tinggal pada firman
Allah Ta'ala:£Tempatkanlah mereka
(para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu." (QS. Ath-Thalak: 6).
Al-Hadi
dan
lainnya
hanya
mewajibkan nafkah saja berdasarkan
firman Allah, "Kepada wanita-wanita yang diceraikan." (QS.
AI-Baqarah:241); sebab ia tetap
bersama suaminya karena tetap diberikan nafkahsebagaimana
wanita
yang ditalak
raj'i, namun tidak wajib
mendapatkan temp at tinggal; karena firman Allah,
"di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu," (QS. Ath-Thalak: 6) menunjukkan bahwa
ia tinggal bersama
suaminya berarti akan selalu interaksi. Hal itu hanya berlaku bagi wanita yang
ditalak raj'i.
Mereka
berkata, "Hadits Fatimah
Binti Qais ada 'illahnya yang
menyebabkannya tidak bisa dijadikan hujjah, terangkum dalam empat
hal:
Pertama; Perawinya seorang wanita dan tidak didukung dua
saksi laki-laki yang
meneliti haditsnya.
Kedua: Riwayat ini bertentangan dengan zhahir AI-Qur' an.
Ketiga; Keluamya si wanita
itu dari rumah tersebut; bukan berarti dia
tidak berhak untuk
mendapatkan tinggal, akan tetapi karena
ia tidak menjaga lidah.
Keempat: Riwayat ini bertentangan dengan
riwayat
Ibnu Umar, Jawaban atas bantahan mereka:
walaupun perawinya seorang
wanita; hal itu tidak menjadi 'illah merubah
status hadits,
betapa banyak hadits-hadits bersumber dari wanita sebagaimana tersebut dalam kitab- kitab
sejarah
dan
sanad-sanad shahabat. Sedangkan perkataan Umar:
"Kami tidak
akan meninggalkan ketentuan Rabb kami dalam
Al-Qur' an dan
sunnah
Nabi
kami; karena perkataan seorang wanita, sebab
kami tidak tahu apakah dia benar-benar hafal akan hal tersebut atau lupa"!"
hadits ini menunjukkan keraguan Umar
terhadap perawi
wanita
tersebut; karena Umar sendiri
menerima berbagai riwayat hadits dari Aisyah dan
Hafshah, keraguan Umar terhadap perawi tersebut adalah udzur beliau untuk tidak
mengamalkan hadits itu,
akan tetapi keraguan
beliau itu
tidak menjadi hujjah bagi yang
lainnya
untuk
mengamalkan hadits riwayat ini.
Sedangkan
ungkapan: hadits ini bertentangan dengan Al Qur' an yaitu
firman
Allah:
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# #sÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# (
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6/u (
w Æèdqã_ÌøéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ wur Æô_ãøs HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4
y7ù=Ï?ur ßrßãn «!$# 4
`tBur £yètGt yrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4
w Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºs #\øBr& ÇÊÈ
"Janganlah kamu keluarkan mereka
dari rumah mereka."
(QS. Ath Thalak: 1), tidak benar karena antara hadits
dan firman Allah
ini bisa digabungkan
pengamalannya dengan menafsirkan hadits sebagai
pengecualian
terhadap keumuman makna firman Allah. Sedangkan dalil mereka dengan menyebutkan riwayat Umar terdapat pada ungkapan Umar,'sunnah Nabi kami' bukankah sudah diketahui dalam ilmu hadits bahwa perkataan shahabat termasuk sunnah
apalagi
marfu'. Bantahan atas ungkapan
ini: Ahmad
bin Hanbal
mengingkari tambahan 'sunnah Nabi
kami' merupakan perkataan Umar,
lalu Ahmad bin Hanbal bersumpah dan
bertanya: Sebutkan ayat manakah yang
mewajibkan nafkah dan tempat tinggal
bagi
wanita
yang
ditalak
tiga kali? Dan
ia berkata, "Tambahan
itu tidak
benar
berasal
dari Umar,
demikianlah yang
disampaikan
Ad-Daraquthni. Sedangkan hadits Umar,
saya mendengar Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Dia berhak mendapatkan
tempat
tinggal dan nafkah." Hadits itu dari
riwayat
Ibrahim
An-Nakha'i dari Umar, dan Ibrahim tidak mendengar
hadits ini dari Umar: karena ia belum dilahirkan kecuali setelah beberapa tahun Umar wafat. Sedangkan
pendapat yang menyebutkan
keluamya Fatimah dari rumah suaminya
karena ia tidak bisa menjaga
lisannya terhadap keluarga suaminya
merupakan alas an aneh
yang
disimpulkan dari hadits
itu. Karena
seandainya ia berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak
mungkin
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menggugurkan hak tersebut hanya
karena ia tidak
bisa
menjaga
lisannya;
pastilah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menasehati
dan
melarangnya dari mengucapkan perkataan yang bisa
menyakiti
yang lainnya. Jelaslah kelemahan
'illah yang
disampaikan untuk menolak hadits tersebut. Maka yang paling tepat adalah sebagaimana makna dalam
hadits
tersebut. Ibnu Al-Qayyim
Rahimahullah sudah membahasnya
dalam kitab AI-Hadyu An-Nabawi mendukung hadits riwayat Fatimah
ini.
HADITS KE-907
وَعَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا تَحِدَّ
اِمْرَأَةٌ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا, وَلَا تَلْبَسْ ثَوْبًا مَصْبُوغًا, إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ, وَلَا
تَكْتَحِلْ, وَلَا تَمَسَّ طِيبًا, إِلَّا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ
أَوْ أَظْفَارٍ. ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ,
وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ وَلِأَبِي
دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيِّ مِنْ اَلزِّيَادَةِ: ( وَلَا تَخْتَضِبْ )
وَلِلنَّسَائِيِّ: وَلَا تَمْتَشِطْ
Dari Ummu Athiyyah Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seorang perempuan
berkabung atas kematian lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya ia
boleh berkabung empat bulan sepuluh hari, ia tidak boleh berpakaian warna-wanri
kecuali kain 'ashob, tidak boleh mencelak matanya, tidak menggunakan
wangi-wangian, kecuali jika telah suci, dia boleh menggunakan sedikit sund dan
adhfar (dua macam wewangian yang biasa digunakan perempuan untuk membersihkan
bekas haidnya)." Muttafaq Alaihi dan lafadhnya menurut Muslim. Menurut
riwayat Abu Dawud dan Nasa'i ada tambahan: "Tidak boleh menggunakan
pacar." Menurut riwayat Nasa'i: "Dan tidak menyisir."
Biografi Perawi
Ummi Athiyyah
nama
aslinya
Nusaibah,
seorang
Shahabiyyah dan riwayat-riwayat haditsnya terdapat pada
kitab-kitab
hadits.
Penjelasan Kalimat
I Ashab adalah selimut dari Yaman yang dibuat dengan cara dipintal lalu diwarnai dan ditenun. Qusth dan Azhjar
adalah sejenis wangi- wangian yang berupa
asap, keduanya bias
a digunakan perempuan untuk membersihkan bekas haid perempuan dengan
maksud
untuk menghilangkan bau
tidak sedap, bukan untuk
wangi-wangian.
Tafsir Hadits
Hadits ini mempunyai
beberapa hal penting:
Pertama: masa berkabung
seorang wanita atas kematian bapak atau saudara lainnya hanya tiga
hari,
jika lebih dari itu hukumnya haram. Jika suami yang
meninggal, masa berkabung dibatasi sarnpai empat bulan sepuluh
hari.
Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab
Al-Marasil dari hadits Amr bin Syu'aib,
bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendispenisasi masa
seorang wanita berkabung
atas kematian bapaknya sampai tujuh hari, dan yang lainnya hanya tiga hari.""! Seandainya hadits ini shahih; maka menjadi
pengecualian keumuman larangan tersebut sebagaimana hadits
riwayat
Ummi Athiyyah yaitu terhadap bapak. Akan tetapi
hadits
itu mursal
dan tidak bisa menjadi pengecuali terhadap larangan tersebut.
Kedua: ungkapan 'perempuan' menunjukkan bahwa
anak yang masih
kecil tidak termasuk dalam
pengertian ini;
maka ia tidak wajib berkabung atas kematian suaminya (karena
masih
kedl)
tapi boleh berkabung atas lainnya lebih dari tiga hari, inilah yang menjadi pendapat AI- Hanafiyyah dan diikuti Al-Hadi, Jumhur
ulama
berpendapat bahwa ia termasuk dalam larangan
hadits,
dan lafazh 'perempuan' juga
dipahami maknanya secara umum, bagi
si wali agar melarangnya untuk memakai
wangi-wangian atau lainnya;
karena
iddah
itu wajib
berlaku bagi
yang dewasa maupun
kecil
dan belum boleh
untuk dilamar.
Ketiga: ungkapan: 'ierhadap mauit' merupakan dalil yang menunjukkan
bahwa wanita yang ditalak
tidak
berkabung atas
kematian suaminya, akan tetapi
kalau talak raj'i; maka ia harus
berkabung
berdasarkan ijma' ulama, tapi kalau talak ba'in, maka
tidak wajib untuk berkabung. Inilah pendapat Al-Hadi, Asy-Syafi'i, Malik dan salah
satu pendapat Ahmad berdasarkan lafazh zhahir hadits:
'terhadap mayit'
berdasarkan mafhum
hadits, sebab didukung dari hikmah
disyariatkan mas a
berkabung
guna memutuskan hal-hal yang membangkitkan keinginan
melakukan
hubungan suami-isteri, ini berlaku bagi
wanita yang
ditalak ba'in karena ada udzur yang menghalangi untukkembali lagi
kepada suaminya. Akan tetapi wanita
yang ditalak ba' in, boleh kembali lagi kepada suami,
namun dengan akad
baru; jika belum ditalak tiga kali,
Sedangkan Ali, Zaid bin Ali,
Abu Hanifah dan pengikutnya mewajibkan masa berkabung bagi wanita yang sudah
ditalak
ba'in
oleh
suaminya; diqiyaskan terhadap wanita yang
ditinggal mati
suaminya, karena
kedua-duanya wajib untuk iddah walaupun sebabnya berbeda, dan juga masa iddah adalah masa diharamkan untuk
menikah,
berarti
segala sesuatu yang
menjurus terjadinya pernikahan juga diharamkan. Namun pendapatyang pertama lebih tepat sesuai dengan hadits.
Keempat:
teks hadits
itu
tidak
mewajibkan untuk
berkabung, melainkan boleh
bagi isteri
untuk berkabung atas
kematian suaminya. Mayoritas ulama
berpendapat wajib
bagi isteri berkabung
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud
dari Ummi Salamah berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertakziyah kepadaku ketika Abu Salamah (suami
Ummi
Salamah) meninggal dunia
sedangkan saya memakai jadam
di mataku ... "
Hadits ini
akan disebutkan pada pembahasan yang akan
datang. Hadits tersebut diriwayatkan juga
oleh An-Nasa'i, danIbnuKatsir berkomentar: Dalam sanadnya ada perawinya yang gharib, lalu menambahkan: akan tetapi hadits itu diriwayatkan Asy-Syafi'i dari
Malik
bahwa
ia mendapatkan hadits ini dari Ummu
Salamah lalu
menyebutkannya. Hal ini memperkuat kedudukan hadits serta menunjukkan bahwa
hadits
ini jelas sumbernya.
Dan
berdasarkan juga pada hadits
yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud dan
An-N asa'i
bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Istri yang ditinggal mati suaminya, tidak boleh memakai
pakaian
bahan dasar (corak) warna kuning,
merah (yang dapat mengundang perhatian),
perhiasan,
dan juga tidak boleh menggunakan pacar dan celak. "112
AI-Hafizh Ibnu
Katsir
berkomentar: Silsilah sanad
perawinya
jayyid (bagus). Akan tetapi had its itu diriwayatkan AI-Baihaqi dengan mauquf'
AI-Hasan dan Asy-Sya'bi berpendapat
bahwa
perempuan yang ditalak tiga kali dan yang ditinggal mati suaminya boleh memakai
celak, merapikan rambut, memakai wangi-wangian, keluar rumah dan berbuat semaunya;
berdasarkan hadits
yang diriwayatkan Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban yaitu hadits
Asma'
binti Umais, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertakziyah
kepadaku
pada hari ke tiga atas kematian Ja'far bin Abu Thalib, lalu bersabda, "Janganlah
kamu berkabung setelah hari ini," teks hadits ini menurut
redaksi dari Ahmad 114, dan masih ada beberapa lafazh
hadits lainnya, tapi semuanya menunjukkan perintah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk
tidak
berkabung setelah tiga hari.
Hadits
ini menjadi nasikh (penghapus hukumnya) terhadap hadits
Ummu Salamah untuk menentukan masa
berkabung; karena kematian Abu Salamah lebih dahulu dari pada kematian Ja'far. Menanggapi hal ini, jumhur
ulama
memberikan tujuh
jawaban sebagai alasan untuk menolak hadits
Asma',
kesemuanya diada-adakan dan tidak
perlu
disebutkan.
Kelima:
terdapat pada:
"Empat bulan sepuluh hari", ada yang ber- pendapat: hikmah
dari penentuan masa berkabung itu;
karena bakal
janin akan sempuma
penciptaannya
dan ditiupkan
ruh
setelah 120 hari
(empat
bulan)
yaitu
lebih dari empat
bulan,
lalu dihitung
berdasarkan bulan hijriyah
untuk
kehati-hatian
ketika hendak melangsungkan akad nikah, dan lafazh angka
sepuluh dengan mu' annats
i'tibar dengan lafazh malam, menurut jumhur
ulama
dengan
siangnya
juga; maka tidak boleh menikah
kecuali
pada
malam
ke sebelasnya.
Keenam: Teks hadits: "Tidak boleh berpakaian warna-warni" merupa-
kan larangan untuk
berpakaian dengan
warna
apapun kecuali
yang dibolehkan dalam hadits.
Ibnu Abdil Bar
berkata, Ijma' ulama menetapkan tidak
boleh bagi wanita yang
berkabung memakai pakaian warna kuning
dan warna-warna lainnya kecuali warna hitam. Malik dan Asy-Syafi'i membolehkan
memakai warna
hitam
karena
untuk
dipakai bukan untuk berhias; bahkan termasuk pakaian
duka. Ulama
berbeda pendapat tentang sutera, pengikut
Asy-Syafi'i
dalam
pendapat yang lebih shahih melarang dengan mutlak memakai
sutera
baik yang berwarna maupun
tidak. Mereka berkata, "Karena sutera dibolehkan secara khusus bagi
perempuan untuk berhias, sedangkan wanita yang berkabung diharamkan untuk berhias."
Ibnu Hazm berkata, "Dia hanya dilarang memakai pakaian
yang berwarna-warni saja, dan
boleh memakai pakaian apa
saja baik sutera
putih atau kuning selama tidak berwarna-warni. Dibolehkan juga memakai
pakaian berhiaskan emas atau semua hiasan dari emas,
perak dan mutiara." Itulah yang dipahami
Ibnu Hazm terhadap
hadits Ummi Athiyyah.
Sedangkan hadits
Ummi
Salamah
yang
menyebutkan larangan memakai pakaian
warna
kuning,
merah
(yang
dapat mengundang perhatian) dan juga perhiasan.lbnu Hazm
berkomentar: haditsnya tidak
shahih; karena
dari riwayat
Ibrahim
bin Thahhan, namun
pendapat
itu dibantah; karena para
pakar
hadits
menetapkan ia termasuk
perawi tsiqah dan
haditsnya benar-benar dari
Rasulullah, bahkan ditetapkan bahwa hadits tersebut shahih,
dan kebanyakan
Imam
hadits menshahihkan hadits itu seperti Ibnu Al-Mubarak, Ahmad dan Abu Hatim. Sedangkan Ibnu
Hazm
memahami berdasarkan zhahir
teks hadits,
sebagian
Imam lagi berdasarkan alasan
yang tepat dari teks nash- yaitu
yang
mengharamkan
perhiasan secara mutlak-: maka menurut
mereka walaupun terbuat
dari bahan
Yaman, tetapi
ada hiasannya,
maka tetap dilarang,
dan mengecualikan hadits tersebut dengan
makna larangan yang tepat. Tafsir makna lafazh 'Ashab sudah dijelaskan dalam
kitab An-Nihayah, dan
ulama-ulama mempunyai penafsiran lain
tentang lafazh 'Ashab.
Ketujuh: sabda Nabi: "Jangan mencelak mata" adalah dalil
yang mela rang memakai celak,
inilah pendapat jumhur ulama.
Ibnu
Hazm
berkata,
"Tidak
boleh
mencelak
matanya walaupun ia tidak mempunyai mata,
baik di waktu siang ataupun malam" berdasarkan hadits bab ini dan hadits Ummi
Salamah yang disepakati keshahihannya yang menyebutkan bahwa
ada seorang
wanita
yang ditinggal mati suaminya, lalu sanak kerabatnya mengkhawatirkan keadaan
matanya kemudian datang meminta izin kepada Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam
memakai celak
(sebagai obat
matanya), Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam
tidak mengizinkan bahkan bersabda, "Tidak"
diulangi
sampai
dua atau tiga
kali. 115
Jumhur ulama,
di
antara Malik, Ahmad, Abu
Hanifah
beserta pengikutnya membolehkan memakai celak untuk
berobat
berdasarkan
hadits Ummi Salamah yang diriwayatkan Abu Dawud-" menyebutkan tentang celak untuk berobat
mata (menajamkan penglihatan dan menyejuk- kannya), ketika ada seorang
wanita
yang
ditinggal
mati suaminya ingin
memakainyakarenamengeluhsakitdimatanya.
UmmiSalamahmenjawab: Tidak boleh memakai celak kecuali dalam keadaan dharurat (terpaksa), maka boleh dipakai di malam hari, namun dihapus ketika siang hari.
Kemudian Ummu
Salamah melanjutkan:
Rasulullah bertakziyah, ketika Abu Salamah (suaminya)
meninggal dunia, lalu menyebutkan
hadits tentang jadam.
Ibnu Abdil Bar berkata,
"Inilah pendapat saya, walaupun bertentangan dengan hadits
lain yang melarang
penggunaan celak
sekalipun matanya sakit, hanya saja
kedua hal yang bertentangan tersebut bisa digabungkan berdasarkan keadaannya masing-masing yaitu
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang karena
melihat
kondisinya
tidak begitu
parah dan
tidak membahayakan, dan
dibolehkan pada malam hari untuk menghindari fitnah tersebut."
Pendapatku: sudah maklum bahwa £atwa
Ummi Salamah yang mengqiyaskan jadam
dengan celak,
menggunakan qiyas dengan adanya
nash dan larangan dalam beberapa hadits; tidak bisa
dijadikan dasar
hukum menurut
yang
mewajibkan
berkabung.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( جَعَلْتُ عَلَى عَيْنِي صَبْرًا, بَعْدَ أَنْ
تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّهُ
يَشِبُ اَلْوَجْهَ, فَلَا تَجْعَلِيهِ إِلَّا بِاللَّيْلِ, وَانْزِعِيهِ بِالنَّهَارِ,
وَلَا تَمْتَشِطِي بِالطِّيبِ, وَلَا بِالْحِنَّاءِ, فَإِنَّهُ خِضَابٌ قُلْتُ:
بِأَيِّ شَيْءٍ أَمْتَشِطُ? قَالَ: بِالسِّدْرِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ,
وَالنَّسَائِيُّ, وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ
Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku menggunakan jadam di
mataku setelah kematian Abu Salamah. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "(Jadam) itu mempercantik wajah, maka janganlah
memakainya kecuali pada malam hari dan hapuslah pada siang hari, jangan
menyisir dengan minyak atau dengan pacar rambut, karena yang demikian itu
termasuk celupan (semiran). Aku bertanya: Dengan apa aku menyisir?. Beliau
bersabda: "Dengan bidara." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Sanadnya
hasan.
وَعَنْهَا; ( أَنَّ اِمْرَأَةً
قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اِبْنَتِي مَاتَ عَنْهَا زَوْجُهَا, وَقَدْ
اِشْتَكَتْ عَيْنَهَا, أَفَنَكْحُلُهَا? قَالَ: لَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan
bertanya: Wahai Rasulullah, anak perempuanku telah ditinggal mati suaminya, dan
matanya telah benar-benar sakit. Bolehkah kami memberinya celak?. Beliau
bersabda: "Tidak." Muttafaq Alaihi.
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ:
( طُلِّقَتْ خَالَتِي, فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ
تَخْرُجَ, فَأَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: بَلْ جُدِّي
نَخْلَكِ, فَإِنَّكَ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي, أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا )
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Saudara perempuan ibuku telah
cerai dan ia ingin memotong pohon kurmanya, namun ada seseorang melarangnya
keluar rumah. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau
bersabda: "Boleh, potonglah kurmamu, sebab engkau mungkin bisa bersedekah
atau berbuat kebaikan (dengan kurma itu). Riwayat Muslim
وَعَنْ فُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ; (
أَنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ فَقَتَلُوهُ. قَالَتْ:
فَسَأَلْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي; فَإِنَّ
زَوْجِي لَمْ يَتْرُكْ لِي مَسْكَنًا يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةً, فَقَالَ: نَعَمْ
فَلَمَّا كُنْتُ فِي اَلْحُجْرَةِ نَادَانِي, فَقَالَ: اُمْكُثِي فِي
بَيْتِكَ حَتَّى يَبْلُغَ اَلْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ: فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا, قَالَتْ: فَقَضَى بِهِ بَعْدَ ذَلِكَ عُثْمَانُ )
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ,
والذُّهْلِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ وَغَيْرُهُمْ
Dari Furai'ah Binti Malik bahwa suaminya keluar untuk mencari
budak-budak miliknya, lalu mereka membunuhnya. Kemudian aku meminta kepada Rasululah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam agar aku boleh pulang ke keluargaku, sebab
suamiku tidak meninggalkan rumah miliknya dan nafkah untukku. Beliau bersabda:
"Ya." Ketika aku sedang berada di dalam kamar, beliau memanggilku dan
bersabda: "Tinggallah di rumahku hingga masa iddah." Ia berkata: Aku
beriddah di dalam rumah selama empat bulan sepuluh hari. Ia berkata: Setelah
itu Utsman juga menetapkan seperti itu. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits
shahih menurut Tirmidzi, Duhaly, Ibnu Hibban, Hakim dan lain-lain.
وَعَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ
قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ زَوْجِي طَلَّقَنِي ثَلَاثًا, وَأَخَافُ
أَنْ يُقْتَحَمَ عَلَيَّ, قَالَ: فَأَمَرَهَا, فَتَحَوَّلَتْ ) رَوَاهُ
مُسْلِمٌ
Fathimah Binti Qais berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah,
suamiku telah mentalakku dengan tiga talak, aku takut ada orang mendatangiku.
Maka beliau menyuruhnya pindah dan ia kemudian pindah. Riwayat Muslim
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ:
( لَا تُلْبِسُوا عَلَيْنَا سُنَّةَ نَبِيِّنَا, عِدَّةُ أُمِّ اَلْوَلَدِ إِذَا
تُوُفِّيَ عَنْهَا سَيِّدُهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ) رَوَاهُ أَحْمَدُ,
وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, وَأَعَلَّهُ
اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِالِانْقِطَاعِ. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ: ( إِنَّمَا اَلْأَقْرَاءُ; اَلْأَطْهَارُ ) أَخْرَجَهُ مَالِكٌ فِي
قِصَّةٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ
Amar Ibnul al-'Ash Radliyallaahu 'anhu berkata: Janganlah engkau
campur-baurkan sunnah Nabi pada kita. Masa iddah Ummul Walad (budak perempuan
yang memperoleh anak dari majikannya) jika ditinggal mati suaminya ialah empat
bulan sepuluh hari. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits shahih
menurut Hakim dan Daruquthni menilainya munqothi'. 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu
berkata: (Arti) quru' itu tidak lain adalah suci. Riwayat Malik dalam suatu
kisah dengan sanad shahih.
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( طَلَاقُ اَلْأَمَةِ تَطْلِيقَتَانِ, وَعِدَّتُهَا
حَيْضَتَانِ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَأَخْرَجَهُ مَرْفُوعًا
وَضَعَّفَهُ
وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ,
وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ مَاجَهْ: مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ, وَصَحَّحَهُ
اَلْحَاكِمُ, وَخَالَفُوهُ, فَاتَّفَقُوا عَلَى ضَعْفِهِ
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Talak budak perempuan ialah
dua kali dan masa iddahnya dua kali haid. Riwayat Daruquthni dengan marfu' dan
iapun menilainya dha'if.
Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan dari hadits
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu dan dinilainya shahih oleh Hakim. Namun para ahli
hadits menentangnya dan mereka sepakat bahwa ia hadits dha'if
وَعَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رضي
الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ
يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ اَلْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ
حِبَّانَ, وَحَسَّنَهُ اَلْبَزَّارُ. وَعَنْ عُمَرَ رضي الله عنه - ( فِي
اِمْرَأَةِ اَلْمَفْقُودِ- تَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ, ثُمَّ تَعْتَدُّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ) أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, وَالشَّافِعِيُّ
Dari Ruwaifi' Ibnu Tsabit Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang
lain." Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban
dan hasan menurut al-Bazzar. Dari Umar Radliyallaahu 'anhu tentang seorang
istri yang ditinggal suaminya tanpa berita: Ia menunggu empat tahun dan
menghitung iddahnya empat bulan sepuluh hari. Riwayat Malik dan Syafi'i.
وَعَنْ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ
رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اِمْرَأَةُ
اَلْمَفْقُودِ اِمْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْتِيَهَا اَلْبَيَانُ ) أَخْرَجَهُ
اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ
Dari al-Mughirah Ibnu Syu'bah bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Istri yang ditinggal suaminya tanpa berita
tetap menjadi istrinya (suami yang pergi itu) hingga datang kepadanya
berita." Dikeluarkan Daruquthni dengan sanad lemah.
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ
اِمْرَأَةٍ, إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا, أَوْ ذَا مَحْرَمٍ ) أَخْرَجَهُ
مُسْلِمٌ
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah sekali-kai seorang laki-laki bermalam di
rumah seorang perempuan kecuali ia kawin atau sebagai mahram." Riwayat
Muslim
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ, إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ) أَخْرَجَهُ
اَلْبُخَارِيُّ
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyepi
bersama seorang perempuan kecuali bersama mahramnya." Riwayat Bukhari.
HADITS KE-919
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي سَبَايَا أَوْطَاسٍ: ( لَا
تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ, وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ
حَيْضَةً ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
وَلَهُ شَاهِدٌ: عَنْ اِبْنِ
عَبَّاسٍ فِي اَلدَّارَقُطْنِيِّ
Dari Abu Said Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda tentang tawanan wanita Authas: "Tidak boleh bercampur
dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil
hingga datang haidnya sekali." Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut
Hakim.
Ada hadits saksi riwayat Daruquthni dari Ibnu Abbas Radliyallaahu
'anhu
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله
عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ,
وَلِلْعَاهِرِ اَلْحَجَرُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مِنْ حَدِيثِهِ
وَمِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي قِصَّة
وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ, عِنْدَ النَّسَائِيِّ وَعَنْ عُثْمَانَ عِنْدَ أَبِي
دَاوُدَ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Anak itu milik tempat tidur (suami) dan bagi
yang berzina dirajam." Muttafaq Alaihi dari haditsnya.
Dan dari
hadits 'Aisyah tentang suatu kisah dari Ibnu Mas'ud dalam riwayat Nasa'i dan
dari Utsman pada riwayat Abu Dawud
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuh, (Damsyiq
: Dar al Fikr, 1989), Cet. 3, jilid VII : 624.
[4] .Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), hal. 229.
[7] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu
tahdzib Juz 8, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 177
[9] Ibid, hal.57
[10] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu
tahdzib Juz 9, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 83
[11] Muhamad bin Ismail as-Shon’anii, Subulus
al-Salam, Jilid 3, (Bairut : Darul al-fikr, 2006), h. 203
[13] Muhammad bin Khalifah al-Wastani al-Ubai, Ikmalu Ikmal
al-Mu’allim, Jilid 5, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah Libanon, 2008), h. 238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar