BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran
hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam
melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini
terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon
terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang
menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu
pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk
berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam
itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi,
setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan
itu dilakukan oleh para sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih
kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Islam adalah agama
terakhir untuk menyempurnakan agama-agama yang dibawa para nabi terdahulu.
Islam sejak awal diturunkan telah mengalami pertentangan hebat dari para kaum
Quraisy waktu itu. Banyak hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nenek moyang
kaum Quraisy yang dianggap menyimpang oleh Islam. Hak manusia, kepercayaan,
ekonomi, muamalah. Semuanya diterapkan dengan aturan baru sesuai dengan ajaran
Islam. Seiring dengan berlalunya waktu, lambat laun Islam menjadi mayoritas dan
telah merubah tatanan kehidupan masyarakat Mekkah dan Madinah serta daerah lain
waktu itu. Pada awal turunnya sampai wafatnya Rasulullah semua hukum masih
bersumber dari Allah (Al-Qur’an) dan Rasulullah (Hadist). Segala permasalahan
selalu dibawa kepada Rasulullah untuk diselesaikan.
Sepeninggalan Rasulullah mulai dirasakan oleh kaum muslimin, temئpat untuk bertanya segala permasalah telah wafat, maka
salah satu cara yang dilakukan adalah dibukanya pintu ijtihad, dengan
menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Hadis) sebagai landasan. Setelah Perkembangan Hukum Islam mengalami masa
kelesuan, kemunduran dan tidak ada perkembangan dalam bidang Ijtihad, apalagi
ditandai dengan tertutupnya pintu ijtihad, dalam beberapa abad lamanya, maka
perkembangan pemikiran Islam bangkit kembali yang itu dimulai pada bagian kedua
abad ke 19 M. Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan
dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya
masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena sesungguhnya,
al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat
saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas lagi.
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang
memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa
Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan
langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat dan
wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para
Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau
ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Kebangkitan kembali pemikiran Islam tersebut timbul sebagai reaksi
terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah
gerakan-gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan
kembali kepada al-Quran dan Sunnah.
Adapun alasan mereka
untuk memegangi ijtihad adalah[1]:
1. Mereka mencontoh perbuatan Nabi, yaitu
mempergunakan ijtihadnya apabila wahyu Ilahi tidak turun kepadanya.
2. Percakapan yang pernah terjadi ketika
Rasulullah mengutus Muaz bin Jabal menjadi Qadi negeri Yaman.
3. Apa yang mereka pahami dari penyebutan
illat (alasan) pada sebagai hukum dalam nas al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa
tujuan dari penetapan hukum tersebut ialah untuk merealisasikan kemaslahatan
umat manusia. Dan manakala kemaslahatan menghendaki perturan, umat Islam wajib
berusaha menyusun peraturan yang bisa merealisasikan kemaslahatan tersebut.
Atas dasar inilah, para mufti
dari kalangan sahabat bersepakat untuk mengembalikan persoalan kepada
sumber perundang-undangan yang tiga ini dengan mengikuti urutan-urutannya,
sebagaimana yang sudah kita cantumkan di atas.
Para sahabat ketika menerima alquran
dan Sunah, mereka tunduk mengamalkannya menurut teks ungkapan semata-mata,
kecuali sahabat seperti Umar bin Khattab. Tercatat dalam banyak hal ia sering
mengusulkan pendapatnya kepada Khalifah Abu Bakar untuk dijadikan sumber
kebijakan, seperti upaya pengumpulan Alquran dan sebagainya; begitu pula
pendapatnya hingga dibijaki sendiri melalui dewan musyawarah sahabat, atau
kadang menggunakan kekuasaan otoriternya dalam kapasitas beliau sebagai khalifah;
seperti kebijakannya mencabut hukum potong tangan pada musim krisis pangan,
hukum harta rampasan dari hukum perdata hak milik prajurit menjadi milik negara
atau membebankan hak bagi khalifah untuk menarik pajak di atasnya, Sehingga di
samping hukum zakat ada hukum pajak, serta reinterpretasi hukum dalam pembagian
zakat.[2]
Pada pemerintahan Bani
Ummayyah pemikiran hukum Islam terus berkembang seiring dengan banyaknya permasalahan
yang dihadapi. Dan terjadi peningkatakan kreativitas fiqih, hal ini disebabkan
beberapa faktor yaitu.
1. Menyebarnya para sahabat ke seluruh
pelosok wilayah
2. Meluasnya periwayatan hadits
3. Para hamba sahaya mulai menggeluti
fiqh dan ilmu syari’at
Kondisi dan perkembangan Hukum Islam
berlanjut pada masa Daulah Bani Abasiyah waktu itu sedang berada di puncak
kejayaannya, hal tersebut ditandai dengan, diantaranya:
1.
Fiqih Islam
pada masa Daulah Bani Abasiyah sedang mencapai puncak kejayaan karna adanya
penghargaan dari khalifah.
2.
Kebebasan
berpendapat, perbedaan social budaya adat istiadat melahirkan madzhab-madzhab
dalam hukum Islam.
3.
Pemikiran-pemikiran
Madzhab dari periode inilah yang masih diikuti oleh Umat Islam sampai sekarang,
contohnya mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut madzhab Syafi’i.
Pada pemerintahan bani Abbasiyah
dibuat aturan-aturan ijtihad, disusunnya Ushul Fiqh dan barulah hasil ijtihad
itu menjadi sangat nyata karena dalam periode ini fiqh itu dibukukan. Dalam
periode ini pula para mujtahidin mulai memperluas hukum dan membuat macam-macam
masalah yang direka-reka dan muncul berbagai mazhab dan golongan-golongan serta
timpulnya perselisihan yang hebat dan luas.
Setelah mengalami periode kejayaan.
Hukum Islam pada akhirnya mengalami masa kemunduran yaitu berlangsung dari abad
10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini
disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu
yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti
madzhab Hanbali, dll.[4] Adapun
faktor penyebab taqlid adalah :
1.
Pembukuan
kitab madzhab
2.
Fanatisme
madzhab
3.
Jabatan
hakim
4.
Ditutupnya
pintu ijtihad
Setelah mengalami masa kegelapan,
akhirnya pada abad ke 19 M atau ke 13 Hijriah Hukum Islam mulai bangkit, hal
tersebut ditandai dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu yang terus
berkembang sampai sekarang.
Pada makalah ini pemakalah akan memaparkan
perkembangan hukum Islam pada masa kebangkitan setelah mengalami kemunduran.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pemikiran hukum Islam pada masa kebangkitan?
2. Siapakah tokoh-tokoh
Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
C.
Tujuan
1. Mengetahui
bagaimana dinamika pemikiran hukum Islam pada masa kebangkitan
2. Mengetahui
tokoh-tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Hukum Islam pada masa kebangkitan
Setelah Mengalami kelesuan,
kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam bangkit kembali. Hal ini
terjadi karena reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum
Islam.
Menyadari akan kemunduran dan
kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah Barat itu, maka pada awal abad
XIII H, timbullah ide-ide, usaha-usaha dan gerakan-gerakan pembebasan diri dan
ilmu pengetahuan Islam dari penjajah dan pengaruh barat, merasa perlu
mengadakan pembaharuan yang universal, meliputi bidang pendidikan, social,
politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia Islam.[5]
Fenomena-fenomena
yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud kesadaran dari
kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia
Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat.
Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan
yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Fase
kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia
Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti
dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai
saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya. Periode
kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan kebangkitan
kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan
gerakan pembaharuan pemikiran yng kembali kepada kemurnian ajaran islam.[6]
Menurut Dr. Rarrouq, keharusan
kebangkitan fiqih bukan sekedar kebutuhan sejarah tetapi bahkan kebutuhan fiqih
itu sendiri. Ini berarti, mengabaikan fiqih dari perkembangannya sama artinya
dengan mengabaikannya dalam kehancuran. Karena perkembangan merupakan kebutuhan
dari keberadaan dirinya.Seperti itu pula yang kita lihat dalam era kejumudan
dan kebekuan fiqih. Fiqih tidak mampu lagi memberikan jawaban – jawaban atas
kebutuhan dan permasalahan – permasalahan baru yang muncul dalam dunia Islam,
bahkan yang lebih tragis, ia mengalami kristalisasi sebagai akibat hancurnya
bangunan masyarakat Islam.
Diantara fuqaha yang diidentikkan
bermazhab kepada mazhab hambali, muncullah ahmad ibnu taimiyah dan muridnya,
ibnu qayyim al jauziyah. Dia berdiri sebagai hamzah washol diantara masa
terdahulu dengan masa sesudahnya.Mereka memerangi khurufat dan bid’ah serta
menganjurkan pemahaman syari’at dengan memakai pikiran, penalaran, dan akal
sehat. Mereka adalah penerus ahmad ibnu hanbali yang mengatakan bahwa pintu
ijtihad itu terus berlaku hingga hari kiamat. Mereka kembali pada mazhab salaf
al – shalih yang berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah Rasul. Ibnu Qayyim al-
jauziyah memerangi taqlid buta dari kejumudan serta mempertajam berijtihad.[7]
Meskipun semua sepakat bahwa
kebekuan fiqih itu telah melahirkan realitas baru dalam alam pikir Islam berupa
krisis pemikiran dan krisis hukum, namun terjadu perbedaan yang cukup tajam
dalam usaha menemukan penyelesaiannya. Perbedaan tersebut kemudian berkembang
dalam wujud pemikiran dikalangan ulama’ dan fuqaha sejak akhir abad ke – 14 H
hingga sekarang ini.[8][8]
Menurut para ulama dan fuqoha ada
empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan ilmu fiqh, yaitu :
- Modernisme, pola
pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim,
pendukung pola ini mendakwakan bahwa fiqh Islam tidak lagi mampu merespon
berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan
dan kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat
keluasan informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini,
untuk mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus
berani meninggalkan fiqh yang sudah ada dan membangun fiqh baru yang
kontekstual.
- Survivalisme,
pendukung pola ini bercita – cita mebangun pemikiran fiqh dengan berpijak
pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada. Keluasan tesarwah fiqhyah,
menurut pendukung pola ini harus di kembangkan. Hingga sampai saat ini.
- Tradisionalisme,
pendukung pola ini menekankan keharusan kembali kepada Al-qur’an dan
As-sunnah. Satu hasl yang menarik dari cita – cita pola ini adalah
penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan pendapat.
Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan ikhtilaf
ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis, bukan pada pendapat –
pendapat para imam mazhab.
- Neo – survivalisme, pola
terakhir ini disebut neo – survivalisme, kerena para pendukungnya selain
menawarkan fiqh pengembangan juga menampakkan concernya yang besar
terhadap kepedulian social. Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan
suatu pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari
relefansinya dengan persoalan – persoalan kekinian.[9]
Karenanya dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan –
pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relevansinya
dengan persoalan – persoalan kekinian. Menurut pendukung pola ini, kegagalan
fuqaha selama ini dikarenakan kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat dalam
perkembangan yang sedemikian rupa sehingga muncul kesenjangan antara fiqih
secara teoritis dengan kenyataan masyarakat secara praktis. Untuk yang tersebut
terakhir ini mereka mengajak pada suatu pemahaman yang lebih dinamis dan tidak
kaku, yaitu dengan menggabungkan pemahaman Tarikh Tasyri’ dengan
sosiologi hukum.[10]
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman
ini dapat dilihat dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh Islam, kedua
kodifikasi hukum Islam.
1. Pembahasan
Fiqih Islam
Bermulanya zaman ini pada akhir
tahun ketiga belas Hijirah ketika zaman pemerintahan kerajaan Uthmaniah. Pada
ketika itu, kerajaan Uthmaniah telah menggunakan fiqh sebagai satu
undang-undang dan dijadikan dalam bentuk akta dan amandemen. Para hakim
menggunakannya sebagai rujukan di dalam menjalankan proses penghakiman. Ia
dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu dengan merujuk kepada
kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu. Tugas ini diberikan kepada
segolongan ulama besar diketuai oleh Menteri Keadilan untuk membentuk satu
undang-undang dalam urusan peradaban. Pekerjaan tersebut diselesaikan
oleh pihak Lujnah pada tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869-1876 M. Para
ulama telah menyusun 1851 akta yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil
daripada fiqh Hanafi dengan memilih perkara yang terbaik seiring dengan
perubahan zaman dan juga yang mendatangkan kebaikan kepada manusia. Himpunan
akta-akta dinamakan ini sebagai Majallah alAhkam al-’Adliah dan
dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia digunakan pada zaman pemerintahan
Kerajaan Uthmaniah sehingga dihentikan penggunaannya selepas kejatuhan kerajaan
Uthmaniah. Majallah ini dibahagikan kepada bebarapa fasal seperti berikut; Jual
beli, sewaan, kafalah, hiwalah, pajak gadai, amanah, hibah (anugerah), rompak
dan pencurian, paksaan, syuf’ah, jenis-jenis syarikat, wakalah, sulhu
(rundingan), Iqrar, dakwaan, keterangan, dan kehakiman.
Pada mukadimah kitab ini, dimulakan
dengan fasal permulaan, mengandungi sejumlah kaedah-kaedah kulliyyah
berjumlah 77 kaedah. Kemudian berlaku banyak perubahan pada undang-undang
tersebut dan ada juga yang dibuang dan digantikan dengan undang-undang lain
pada tahun 1880 Masihi. Selepas itu terdapat undangundang lain yang digazetkan
di negara-negara Islam lain. Sebahagian besarnya disusun berkenaan dengan al-Ahwal
al-Syaksiyyah atau undang-undang keluarga yang dikuatkan dengan fiqh Islam
tanpa disempitkan dengan mazhab-mazhab tertentu. Negara Turki merupakan negara
pertama yang mengeluarkan undang-undang berkenaan dengan undang-undang keluarga
dengan nama Qanun Huquq al-A’ilah (undang-undang hak-hak kekeluargaan)
dan dikeluarkan pada tahun 1917. Pada tahun tersebut diresmikan Undang-undang
Hukum Keluarga menggunakan prinsip Talfiq dan Tahayyur (Menggabungkan
beberapa pendapat kemudian dirumuskan satu hukum yang sesuai dengan
kemaslahatan dan perkembangan semasa). Undang-undang tersebut disebut The
Ottoman Law of Family Rights.
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang
sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun
mengkaji. Sehingga fiqih Islam nisa mengembalikan kegemilangannya melalui
tangan para ulama’, menjahui metode yang rumit dan menyusahkan, menggunakan
konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam dan terfokus.[11] Apabila kita
ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari
aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut:
- Memberikan perhatian khusus terhadap kajian
mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada
perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain. Penguasa pada
zaman ini berpegang kepada mazhab tertentu dalam ber – taqlid
dan qadha’, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu
seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka mambatasi
kurikulum Al – Azhar hanya dengan mazhab Syi’ah.
- Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih
tematik. Pada zaman ini, kajian fiqih sudah beralih pada kajian kitab –
kitab fiqih klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan.
- Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih
komparasi. Pada masa ini para peneliti fiqih lebih focus ke kajian fiqih
komparasi. Metode ini memilki kelebihan, yakni dapat memunculkan teori –
teori umum dalam fiqih Islam dan teori baru seperti teori akad,
kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proposional serta
yang lainnya yang dapat kita lihat dari hasil karya ilmiah. Dalam muktamar
internasional tentang perbandingan UU yang dilaksanakan di lohre tahun
1931, kemudian 1937, dan konfrensi Advokasi Internasional tahun 1948, para
penelis menyatakan, “ Fiqih Islam memiliki nilai perundang – undangan yang
tinggi dan tidak bisa ditandingi sehingga harus dijadikan sumber perundang
– undangan civil, semua prinsipnya bisa mewujudkan peradaban dan
kemajuan, lebih mampu dari perundang – undangan lain dalam memenuhi
kebutuhan umat manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa, mudah dirujuk
dan dikaji serta diambil produk hukumnya”.
- Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan
menerbitkan ensiklopedi fiqih.Diantara indikasi kebangkitan fiqih pada
zaman ini adalah didirikannya beberapa lembaga kajian diberbagai negeri
Islam dan terbitnya beberapa insiklopedi fiqh.[12]
2. Kodifikasi Hukum Fiqih
Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan
beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor.1Dan
jika ada setiap masalah akan dirujuk kepada materi yang sudah disusun dan
pendapat ini akan menjadi putus dalam menyelesaikan perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi adalah untuk
merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
- Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang
memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Contohnya para
hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar undang-undang yang telah
ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
- Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum
fiqih dengan susunan yang sitematik.
Menurut seorang orientalis inggris
moderat, W. Montgomery bahwa bebrapa bagian dari fiqih telah disusun dalam
bentuk undang – undang sejak dari masa Nabi Saw masih hidup. Undang – undang
yang merupakan UUD Islam tersebut, oleh ibnu Hisyam diberi nama dengan Kitabun
Nabi. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan nama The
Constitution of Medina. Pada tahun 1956 oleh Montgomery sendiri dan pada tahun
1961 di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh H. Zainal Abidin Ahmad,
dengan nama Piagam Nabi Muhammad SAW. Kemudian atas anjuran Ibnu Muqaffa’,
khalifah al – Mansur (w 163 H) Meminta agar Imam Malik bersedia mengumpulkan
bahasan Fiqih dalam satu madzhab untuk dijidikan sebagai undang – undang yang
berlaku bagi Daulah Umayyah. Akhirnya Imam Malik menyusun kitab al –
muwattha. Usaha kearah pengkodifikasian ini, kemudian dilanjutkan oleh ulama
india pada masa Sultan Muhammad (w 1138). Tetapi mereka hanya dapat
mengumpulkan sejumlah fatwa dan keputusan pengadilan kedalam sebuah kitab yang
diberikan nama al – fatwa al – Hindiyah.[13]
B.
Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
Sebagai reaksi terhadap sikap
taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan
udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu
Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Kemudian
banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan
kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
- Muhammad
Ibn Abd Wahhab (1703 – 1791)
Abd Wahab adalah seorang faqih yang
bermazhab Hambali, belajar agama ke Basrah (4 tahun), Bagdad(5 tahun),
Kurdistan, Namdan, dan Isfahan. Di kota terakhir ia belajar filsafat dan
tasawuf. Dari perjalanan ilimiahnya, ia melihat kerusakan aqidah, seperti
meminta tolong kepada syech atau wali tarekat, kekuatan ghaib, berdo’a dengan
melalui perantara (tawasul). Ia berpendapat bahwa umat islam harus
kembali seperti yang dianut dan diamalkan Raululah, sahabat, dan tabi’in. Sumber ajaran hanya al Qur’an
dan hadits, dan untuk memahaminya memakai ijtihad. Upaya dan pemurnian yang
dilakukan oleh kelompok ini seringkali disebut dengan Gerakan Wahabi.[14]
- Sayyid
Ahmad Syahid ( 1786 – 1831 )
Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun
1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai
tauhid mengandung hal-hal berikut :
a)
Yang boleh
disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang
berlebih-lebihan.
b)
Kepada
makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan
lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam
mengatasi kesulitannya.
c)
Sunnah
(tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman
Khalifah Yang Empat.
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang
taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar.
Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh
pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang
pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.
- Muhammad
Abduh (1849 – 1905)
Muhammad Abduh lahir di suatu desa
di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu
bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat
tanggal lahir anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai
tanggal lahirnya.Muhammad Abduh berpendapat, sebab yang membawa kemunduran
fiqih Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam.Karena
dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki dan menerima perubahan.
Taklid kepada ulama lama tidak perlu
dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat
Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras
mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid.Sikap ulama ini, membuat
umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat.Sikap umat Islam yang
berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan
sikap umat Islam dahulu.Al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat
taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu
ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada
kekuatan akal.Menurut pendapatnya Al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati
manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan
tinggi. Allah menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada
akal.
Di dalam Al-Qur’an terdapat
ayat-ayat:. أفلا يعقلون ,
أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون dan sebagainya. Oleh sebab itu Islam
baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari
dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada
akal. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal
terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan
yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu
pengetahuan.
- Syeikh
Muhammad As-Sirhindi
Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin
Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab.
Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan
tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya
memberikan nama Syeikh Ahmad.
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai
fase kebangkitan :
a)
Dia banyak
memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka
berdakwah dalam level yang tinggi.
b)
Dia
mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang
batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu
dengan Tuhan).
c)
Dia
memerangi semua bentuk syirik.
d)
Dia mengajak
manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan
mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e)
Dia
menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja
Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f)
Dia
memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada
gelora cinta pada kebaikan.
g) Imam
As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan
orang-orang jahat berada bersamanya.[15]
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh
yang berpengaruh dalam fase kebangkitan ini. Di Mesir, ada Muhammad Ali Pasya,
Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida dan para murid dari Muhammad
Abduh. Di Turki, ada Sultan Mahmud II dan Mutafa Kemal. Di India-Pakistan, ada
Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah. Para
ulama – ulama tersebut merupakan pelopor gerakan pembaharuan. Gerakan ini
menyerukan kepada kebangunan kaum muslimin, pengembangan ilmu – ilmu Islam, meninggalkan
taqlid buta dan bid’ah, dan kembali pada ajaran Al-Qur’an dan As – sunnah dan
mengikuti metode ulama syalafiyin, seperti: sahabat dan ulama – ulama sebelum
masa kemunduran.
Sebenarnya masih banyak lagi
pemikir-pemikir Islam yang punya andil besar dalam perkembangan Islam pada masa
kebangkitan. Seperti Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani,
Rasyid Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali,
Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.
BAB III
P E N U T U
P
A.
Kesimpulan
Kebangkitan fiqih dimulai dari akhir
abad 13 H atau 19 M sampai pada hari ini. fase ini mempunyai karakter dan corak
berbeda dengan fase – fase sebelumnya. Fiqih dihadapkan pada zaman baru yang
sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi masukan dalam menentukan
jawaban atas setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang
asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Kebangkitan fiqih ditandai oleh dua
aspek, yaitu :
1. Pembahasan
fiqih Islam, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab
dan pendapat-pendapat fiqhiyah, fiqih tematik, fiqih komparasi, dan Mendirikan
lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.
2. Kodifikasi
hukum fiqih, di mulai pada awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’
menulis surat kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur, kemudian
kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki
Ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam
kitab undang-undang hukum perdata).
Tokoh-tokoh yang berjasa dalam
kebangkitan fiqih Islam, mereka adalah; Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad
As-Sirhindi, Sayyid Ahmad Syahid, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin
Al-Afghani, Rasyid Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid
Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.
B.
Saran dan
Kritik
Dalam penulisan makalah ini pasti
banyak kekurangan dan dibutuhkan pemikiran positif untuk sempurnanya makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Daftar
Pustaka
Ali, Mukti, Alam
Pikiran Islam Modern di Timur Tengah: Jakarta: Djambatan, 1995
Djazuli, Ilmu
Fiqh, Penggalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, 2005, Jakarta :
Prenada Media.
Djatnika, Rahmat Dkk, Perkembangan Ilmu Fiqih Di
Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI. 1986.
Husen, Ibrahim. “Sampai Di Mana Ijtihad Dapat
Berperan”. IAIN Gunung Jati Bandung, 15 Maret 1989.
Khallaf, Abdul
Wahab Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan
Sejarah Hukum Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
Khalil, Rasyad Hasan. Tarikh Tasyri’ ( Sejarah
Legislasi Hukum Islam ), diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A.
Jakarta: Amzah, 2009.
Praja. Juhana S. Dkk,
Hukum islam diIndonesia. Bandung: Pustaka Rosdakarya Offset,
1991.
Sirrry, Mun’im
A. Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti. 1995.
[1]Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh Tasyri’
al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2000), h. 37
[2] Ibrahim Husen, “Sampai
Di Mana Ijtihad Dapat Berperan” (IAIN Gunung Jati Bandung, 15 Maret 1989).
[3]
DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam ), diterjemahkan
oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 ), h. 62
[5] Rahmat Djatnika, Dkk, Perkembangan
Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. (Jakarta: Dept. Agama RI. 1986), h. 46
[6] Prof.
H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, perkembangan, penerapan hukum Islam,
2005, Jakarta : Prenada Media.
[11] Rasyad Hasan Kholil. , Tarikh
Tasyri’;sejarah legislasi hukum islam (Jakarta: amzah, 2009), h. 131.
[13] Rahmat Djatnika , Dkk, Perkembangan
Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. (Jakarta:Departemen Agama RI, 1986), h. 51
[14]
. Mukti Ali, Alam pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta:
Djambatan, 1995), h.43
[15] . Ibid.h.137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar