MASA
KEBANGKITAN KEMBALI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DAN FIQH KAUM PEMBAHARU
A. Pendahuluan
Setelah
mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para
pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di
dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan
kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran
dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.
Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud
kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah
kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena
dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang
menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif
dari barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh
barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang
kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual
melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan
intensitasnya. Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang
merupakan kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode
ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yng kembali kepada kemurnian
ajaran islam.[1][1] Tanda-tanda kemajuan :
1. Di bidang
perundang-undangan
Periode ini
dimulai dengan berlakunya Majalah al Ahkam al Adliyah yaitu Kitab Undang-undang
Hukum perdata Islam pemerintahan Turki Usmani pada Tahun 1876 M.
2. Di bidang
pendidikan
Diperguruan-perguruan
agama islam di Mesir, Pakistan, maupun di Indonesia dalam cara menpelajari fiqh
tidak hanya dipelajari tertentu, tetapi juga dipelajari secara perbandingan,
bahkan juga dipelajari hukum adat dan juga sistem hukum eropa.Dengan demikian
diharapkan wawasan pemikiran dalam hukum dan mendekatkan pada hukum islam dan
hukum yang selama ini berlaku.
B. Fiqh Kaum
Pembaharu
Ketika Islam memasuki periode perkembangan peradaban yang ditengarai makin
meluasnya wilayah kekuasaan Islam, di sana-sini terjadi akulturasi budaya antar
bangsa, dan adanya persentuhan agama Islam dengan pengetahuan agama lain, maka
ajaran Islam mulai dipahami dan diamalkan dengan semangat rasionalisme seiring
dengan tumbuh dan berkembangnya pemikiran Islam.
Muhammad al-Bahy menetapkan tiga pola upaya intelektualisasi ajaran
Islam yang melahirkan pemikiran
Islam. Pertama, usaha menggali dan
memahami hukum-hukum agama dari sumbernya baik yang terkait dengan
pengaturan hubungan manusia dengan
Tuhan, maupun pengaturan hubungan sesama manusia, termasuk dalam usaha ini
adalah mencari solusi hukum Islam bagi permasalahan baru yang belum terjadi
pada masa Nabi Muhammad. Kedua, usaha
menyelaraskan prinsip-prinsip ajaran Islam (aspek normativitas) agar tetap
aktual dalam setiap zaman. Ketiga, usaha
menggali argumen (rasional religius) untuk mempertahankan akidah Islam sekaligus menolak paham-paham
lain yang bertentangan, menjelaskan posisi Islam secara umum, dan juga menggali
faktor-faktor yang dapat menjadi motivasi dalam memberdayakan pemikiran untuk
menjaga spirit Islam agar ajarannya tetap eksis dan utuh.
Atas dasar kenyataan di atas, Ahmad Amin mendiskripkan adanya tiga pola dan
metode yang dilakukan umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran
Islam. Pertama, kaum tektualis-literalis
yang berusaha memahami agama atas dasar teks al-Qur’an dan Hadis secara
ketat. Kedua, kaum rasionalis yang berusaha memahami ajaran
Islam dengan pendekatan dan kekuatan akal untuk menyingkap ajaran Islam secara
kontekstual. Ketiga, kaum intuitif yang
berusaha memahami ajaran Islam lewat pendekatan
kashf dan ilham dalam rangka mengungkap rahasia agama secara batin.
Sejalan
dengan pemikiran di atas, A. Mukti Ali (w. 2004) menyimpulkan bahwa dilihat
dari segi pendekatan, terdapat tiga macam pola pendekatan yang dilakukan kaum
muslimin dalam memehami ajaran agama Islam yaitu pendekatan naqly (tradisional), pendekatan aqly (rasional) dan pendekatan kashf
(mistis).
Dalam
perjalanan sejarah, ajaran Islam mengalami penyimpangan-penyimpangan yang
disebabkan oleh kesalahan dalam memahami dan mengamalkannya ataupun adanya
penolakan masyarakat untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an
dan Hadis yang benar, sehingga mendorong
munculnya usaha-usaha pemurnian dan pembaharuan pemikiran Islam oleh pembaharu
(mujaddid). Demikian itu karena sejak permulaan sejarahnya,
Islam telah mempunyai tradisi
pembaharuan (tajdid), sehingga orang Islam segera memberi jawaban dan merespon
terhadap apa saja yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam.
Pembaharuan dalam Islam mengandung tiga prinsip yang bersifat sistemik,
yaitu; Pertama, sesuatu yang diperbaharui telah ada
eksistensinya secara faktual.
Kedua, sesuatu yang diperbaharui
telah lama berlangsung atau telah mensejarah. Ketiga, sesuatu yang diperbaharui
dikembalikan pada keadaan semula dalam kemurniannya.[2][2] Dengan demikian, dalam konteks pembaharuan Islam yang di dalamnya antara
lain tercakup konsep tentang purifikasi ajaran, karena misi pembaharuan
(tajdid) yang esensial adalah untuk memurnikan ajaran Islam dan memformulasikan
secara permanen validitas dan ketidakberubahan normativitas Islam kendati pada
aspek historisitas bersifat dinamis dan responsif, tetapi prinsip di atas
terkait pula dengan fungsi pembaharuan dalam Islam yang mengandung tiga fungsi
pokok; Pertama, al-i’adah yaitu mengembalikn ajaran Islam
kepada kondisi kemurnian dan keasliannya.
Kedua, al-‘ibanah yaitu
menyeleksi atau mensahkan ajaran Islam dari segala macam unsur-unsur lain yang
telah mengotorinya. Ketiga, al-ihya’
yaitu mendinamisasikan spiritual ajaran Islam sehingga mampu merespons dengan
benar dan tepat, baik terhadap perubahan maupun dinamika kehidupan.[3][3]
Berdasarkan
pengertian pembaharuan di atas, upaya-upaya pembaharuan dalam Islam cenderung
didasarkan pada keyakinan bahwa telah terjadi berbagai macam anomaly atau
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Islam yang disebabkan oleh
kesalahan memahami dan mengamalkan doktrin Islam, karena ajaran untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta
praktik-praktik dan konvensi-konvensi keberagaman generasi salaf merupakan
doktrin pokok kaum pembaharu. Mereka memandang, bahwa era kehidupan Islam dan
metode keberagaman masa Nabi dan generasi salaf (minhaj tadayyun al-salaf)
adalah cara Islam yang istimewa serta merupakan model keberagaman yang ideal,
itulah sebabnya usaha-usaha yang dilakukan kaum pembaharu, meski dalam
formulasi yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dihadapi, namun memiliki
benang merah kesatuan inspirasi dan arah dan keaslian dengan membersihkan
hal-hal yang dipandang bid’ah.
Pembaharuan
dan Pengaruhnya
Fungsi
pembaharuan Islam adalah untuk menjaga kemurnian ajaran (al-muhafadhah ‘ala
al-qadim al-shalih) dan memotivasi semangat kebebasan individual untuk menempatkan akal pikiran
dengan segala konsekuensinya menjadi semakin tinggi. Hal itu mutlak
diperlakukan bagi usaha dinamisasi ajaran Islam agar menjadi fungsional (al-Abu
Azam Al Hadi akhdhu bi al-jadid al-aslah), karena hakekat kebebasan untuk
memahami ajaran Islam adalah inti dari ijtihad sebagai lawan taqlid yang
menjadi agenda kedua para pembaharu.[4][4]
Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M.) dan Muhammad Rashid Ridha (1865-1935 M.),
melancarkan usaha pembaharuan dengan jalan memodernisasikan ajaran Islam di
Mesir. Beberapa pengikutnya kelak dikenal dengan golongan Salafiyyah. Muhammad
Abduh berupaya memodernisasikan ajaran Islam yang asli dengan penyesuaian
perkembangan modern, usaha penyesuaian tersebut membutuhkan usaha baru untuk meniscayakan
dibukanya pintu ijtihad.
1. Madzhab Skriptualisme
Mazhab
berpikir skriptualisme mempunyai landasan penilaian berdasarkan teks atau wahyu
(kitab suci), bahwa hanya dengan wahyu-lah kita bisa memberikan penilaian
terhadap sebuah realitas dan dengan wahyu pulalah kita bisa mengatakan bahwa
sesuatu itu benar dan salah, tanpa wahyu maka mustahil kita bisa memberikan
sebuah penilaian.
Ada beberapa problem dalam mazhab skriptualisme antara lain:
a. Sifat
klaim akan selalu muncul terhadap pemahaman ayat, padahal pemahaman kita terhadap ayat
tidak terlepas dari subyektifitas penafsir, sehingga tidak perlu adanya sifat
otoritas tafsir dan klaim kebenaran dari penafsiran terhadap kitab tertentu dan
klaim kebenaran.
b. Agama
yang memiliki kitab suci bukan cuma satu agama tapi banyak agama dan masing
orang-orang yang memeluk agama yang berbeda sama-sama mengklaim bahwa merekalah
pemilik kebenaran, pertanyaan kemudian, mungkinkah agama-agama itu bila
sekiranya mengandung nilai kebenaran akan terjadi hal yang sifatnya
kontradiksi, dan kalau memang mereka sama-sama meyakini kebenaran agama mereka
dan kitab suci mereka, lalu kenapa mesti terjadi pengkafiran bahkan
pembantaian, bahkan dalam sejarah keagamaan di dunia ini telah meninggalkan
duka hitam yang sangat besar kepada ummat manusia, karena ratusan juta manusia
telah menjadi korban pertikaian dan peperangan antar agama, yang sama-sama
mengklaim pewaris kebenaran.
Dari dua
problem diatas dan beberapa pertanyaan untuk mazhab skriptualisme, akan
mengantarkan kita kepada suatu pemahaman bahwa ayat-ayat dan kitab suci
bukanlah landasan penilaian dalam mengambil kesimpulan, akan tetapi Al-Qur’an
ditempatkan sebagai data-data yang sifatnya metafisika dimana penelitian yang
sifatnya emperikal tidak mampu menelitinya.
2. Madzhab Liberalisme
Kata liberal berasal dari bahasa asing (Inggris) yang berarti bebas, tidak
picik (pikiran). Kemudian kata liberal[5][5] ini telah menjadi kata baku bahasa Indonesia yang mengandung arti
“Pandangan bebas, luas dan terbuka”. Menurut Arkoun, secara terminology mazhab
liberalisme adalah aliran hukum yang sangat menekankan penggunaan rasio (akal).
Aliran ini tak terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap makna
hakikinya, makna ini dianggap sebagai ruh agama Islam, tema umum Islam
(maqashid al-syari’ah). Dengan arti kata
bahwa mazhab ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam, seklaigus
merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan
masyarakat. Mereka meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna
dari dalam konteks.
Sejarah
munculnya mazhab liberal ini dapat dilacak pada mazhab ahl al-ra’y di kalangan
sahabat nabi, dua cara yang dilakukan para sahabat yang melahirkan dua mazhab
besar di kalangan sahabat-sahabat ‘Alawi dan mazhab ‘Umari yang akhirnya
mewariskan kepada kita sebagai Syiah dan ahl Sunnah. Mazhab fiqh liberalisme sering diidentikkan dengan rasionalisme yaitu aliran Mu’tazilah dan Syiah. Dimana mazhab ini lebih menekankan rasio (akal) dalam
memahami ayat-ayat al-Quran.
Aliran ini tidak terikat dengan
bunyi teks, melainkan berusaha menangkap makna hakikinya, maka peranan akal
dalam ijtihad sangat dominan. Perbedaannya bahwa rasional dalam fiqh adalah
suatu pemikiran yang ada hubungannya dengan nash-nash, namun apabila tidak ada
hubungannya maka tidak disebut rasional tetapi liberal.
Akar-Akar Liberalisme Islam
Akar-akar gerakan liberalisme
Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang
disebut “gerakan kebangkitan” (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara
hampir serentak dimulai. Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh
pembaharu Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap
kolonialisme Eropa pada satu sisi, dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim
pada sisi lain. Karenanya, misi para pembaru Muslim pada –meminjam istilah
Albert Hourani— masa-masa liberal (liberal age) itu adalah pembebasan
dari cengkeraman penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi ini terus
berjalan secara beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika sebagian
besar negara-negara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi kedua,
proyek pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.[6][6]
Salah satu agenda penting dari
misi kedua itu adalah memahami dan menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama
(Islam). Apa yang dilakukan tokoh-tokoh awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn
Abd al-Wahab (1703-1791) di Jazirah Arab, Muhammad Ibn Ali al-Sanusi
(1787-1860) di Aljazair dan Libia, Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873) di
Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (1822-1889) di Tunisia, tak lain dari upaya
melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi-tradisi Islam serta membangun
kembali pemahaman keagamaan kaum Muslim secara benar dan bermakna. Sebagian
gagasan rekonstruktif itu mendapatkan respons dari masyarakat Muslim, tapi
sebagian lainnya, mengalami tantangan, khususnya dari ulama ortodoks yang dalam
hal ini menjadi lawan serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaharu Arab di masa-masa awal
kebangkitan meyakini bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan
tempat (shâlih li kulli zamân wa makân). Islam juga
mampu beradaptasi dengan dunia modern, termasuk dengan pencapaian ilmu
pengetahuan dan dalam beberapa hal nilai-nilai Barat. Jika terjadi konflik
antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan,
menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran
tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal. [7][7]
Kiri Abduh
Tidaklah berlebihan kalau
dikatakan bahwa gerakan awal-awal kebangkitan Islam mengalami signifikansinya
pada figur Muhammad Abduh (1849-1905). Abduh adalah seorang modernis sejati.
Kendati dididik secara tradisional dan berguru pada beberapa ulama al-Azhar
yang sebagian besar bersikap konservatif, Abduh membuktikan dirinya sebagai
seorang intelektual yang terbuka dan progresif. Agaknya, pengaruh Jamaluddin
al-Afghani (1838-1897), teman dan gurunya, sangat besar dalam membentuk sisi
modernitas Abduh. Lewat al-Afghani lah Abduh mengenal dunia Barat secara
langsung (kedua tokoh ini tinggal di Eropa selama kurang-lebih lima tahun),
perkenalan yang sangat mempengaruhi sikapnya sebagai intelektual dan tokoh
agama.
Abduh sangat pandai bagaimana
dia harus bersikap sebagai seorang ‘alim dan sekaligus sebagai seorang
intelektual modernis. Selama menjadi Mufti, Abduh mengeluarkan banyak fatwa
yang berkaitan dengan persoalan-persoalan modern. Pada satu sisi, Abduh selalu
dilihat sebagai seorang tokoh ‘alim, mujtahid, dan penganjur doktrin
orisinalitas Islam (al-ashâlah al-islâmiyyah). Pada sisi lain, Abduh
juga dianggap sebagai seorang reformis yang toleran, liberal, dan kaya akan
gagasan-gagasan modern. Tidak heran kalau murid-murid Abduh kemudian terpecah
menjadi dua kelompok besar yang oleh Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer,
dianalogikan seperti murid-muridnya Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Sama
seperti Hegel yang melahirkan dikotomi “kanan” dan “kiri,” menurut Hanafi,
murid-murid Abduh juga dapat dikelompokkan berdasarkan katagori ini. Yakni,
kelompok Kanan Abduh (Abduh al-Yamînî) yang cenderung mengembangkan
pemikiran-pemikiran keagamaannya, dan kelompok Kiri Abduh (Abduh al-Yasârî)
yang lebih cenderung mengembangkan gagasan-gagasan modernnya. [8][8]
Di antara murid-murid Abduh
yang memiliki kecenderungan “kanan” adalah Muhammad Rashid Ridha (w. 1935) dan
Shakib Arslan (w. 1946). Sementara Qasim Amin (w. 1908) dan Ali Abd al-Raziq
dianggap sebagai murid-murid Abduh beraliran “kiri.” Kecenderungan “kanan” dan
“kiri” dalam aliran (mazhab) Abduh ini dalam perkembangan selanjutnya mengalami
radikalisasi yang cukup signifikan. Baik yang “kanan” maupun “kiri” sama-sama
mengklaim sebagai penerus Abduh yang paling benar.
Dari ilustrasi di atas, kita bisa melihat bahwa
murid-murid Abduh yang beraliran “kiri” semakin hari semakin ke “kiri” dan
menjadi radikal, yang mencapai puncaknya pada diri Hassan Hanafi, penggagas
“Kiri Islam.” Dalam hal ini, tokoh-tokoh sekuler (‘ilmani) radikal
semacam Fuad Zakariya, Zaki Najib Mahmud, dan Adonis (Ahmad Said) juga
merupakan perluasan dari aliran “kiri.” Kendati mereka tidak berguru langsung
kepada Abduh, tapi penerus kelompok Kiri Abduh, seperti Thaha Hussein, Ahmad
Luthfi Sayyid, dan Ismail Mazhar turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka.
Begitu juga, kelompok kanan, semakin hari semakin ke “kanan” menjadi “Kanan
Islam” atau “Fundamentalis.” Hal ini bisa dilihat dari murid-murid langsung
Rashid Ridha, seperti Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb. Gerakan Ikhwan
al-Muslimun dan kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya (seperti Hizb
al-Tahrir) adalah evolusi panjang dari kelompok kanan Abduh yang secara kental
dipengaruhi penafsiran-penafsiran Ridha terhadap Abduh, khususnya gagasan
politiknya.
Kemunduran
Di satu sisi, Islam Liberal di
kawasan Arab mengalami perkembangan cukup pesat. Murid-murid dan simpatisan
Abduh yang berkecenderungan “kiri” semakin menyebar, tak hanya terbatas di
kawasan timur (masyrîq) Arab saja, tapi juga meluas hingga ke kawasan
barat (maghrib) seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair. Tokoh-tokoh
intelektual semacam Mohammed Arkoun, Mohammed Abed Jabiri, Hisham Djait, Burhan
Ghaliun, Salim Yafut, dan Abdullah al-‘Urwa (Laroui) adalah pemikir-pemikir
terpandang di kawasan ini yang ide-idenya berada dalam track pemikiran Abduh.
Begitu juga, isu-isu yang didiskusikan tidak hanya terbatas pada
persoalan-persoalan keagamaan, seperti pada masa-masa awal kebangkitan. Tapi
juga meluas hingga persoalan-persoalan demokrasi, HAM, gender, sastra, musik,
dan iptek.[9][9] Namun di sisi lain, ruang gerak Islam Liberal di dunia Arab sebetulnya
semakin mengalami kontraksi. Ia tidak bisa banyak berinteraksi dengan
masyarakat secara luas. Bahkan cenderung mengalami konflik yang serius.
Kasus-kasus yang menimpa para pemikir Arab ini adalah bukti betapa pemikiran
liberal masih menemukan kendala klasik. Yakni, mudah berbenturan dengan
otoritas agama dan masyarakat.
KESIMPULAN
1. Hukum Islam
mengalami priode perkembangan-perkembangan yang salah satunya adalah disebut
dengan Priode Kebangkitan yang dimulai pada bagian kedua abad ke 19 sampai
dengan saat ini, dengan tokoh sentralnya adalah Jalaluddin Al-Afghani
(1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905). Pikiran-pikiran kedua tokoh ini
sangat dipengaruhi oleh Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328).
2.
Ciri utama
dari Perkembangan Hukum Islam pada priode ini adalah adanya ajakan untuk
mendirikan Pan Islamisme dan melakukan perubahan menyeluruh terhadap dunia
Islam khususnya di bidang pendayagunaan akal atas Al-Qurâan dan Sunnah dan
sekaligus melepaskan ikatan dari belenggu mazhab. Bermazhab adalah sesuatu yang biasa, akan tetapi kefanatikan yang
berlebihan terhadap mazhab adalah sesuatu yang binasa dan membinasakan.
3.
Ciri
lain dari periode kebangkitan ini adalah
pendekatan hukum Islam melalui Perbandingan Mazhab baik mazhab Syafi’i, Maliki,
Hanafi maupun Hambali ditambah lagi dengan Mazhab Syi’ah. Perbandingan bahkan dilakukan dengan sistem hukum Barat dan hukum-hukum
lainnya.
4.
Ciri lainnya
ditandai dengan perhatian yang cukup besar dari dunia Eropa dan Barat pada
umumnya untuk mempelajari hukum Islam sehingga mereka menjadikan hukum Islam
sebagai mata kulliah resmi di Fakultas-Fakultas Hukum.
5.
Ciri
berikutnya dari perkembangan hukum Islam ini adalah adanya kecenderungan pada
negeri-negeri berpenduduk muslim untuk kembali kepada Hukum Islam seperti yang
terlihat di Timur Tengah dan di Asia Tenggara. Kalaupun
negaranya tidak negara Islam, akan tetapi hukum yang diterapkan di dalamnya
adalah hukum Islam.
[1][1] Prof. H. A.
Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, perkembangan, penerapan hukum Islam,
2005, Jakarta : Prenada Media.
[2][2] Prof. H.
Muhammad Daud Ali, SH.,
Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2004, hlm. 42.
[3][3] Busthani
Muhammad Said, Pembaharuan dan Pembaruan dalam Islam, Terj. Mahsun
al-Munzir, Ponorogo Gontor: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1992, hlm. 1-3.
[5][5] Ensiklopedi
Nasional Indonesia menyebut liberalisme sebagai aliran pikiran yang
mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang atas dasar kebebasan individu yang
dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya sebebas mungkin.
[7][7] Sikap yang menjadi inti dari doktrin Islam Liberal
ini juga yang kerap membuat para tokohnya harus berhadapan dengan masyarakat
dan penguasa (yang didukung oleh ulama ortodoks). Sebab, penafsiran ulang
adalah istilah yang tidak populer bagi mereka, khususnya karena dalam istilah
itu terkandung makna perlawanan terhadap kemapanan. Tidak heran jika dalam
banyak kasus, tokoh-tokoh Muslim liberal lebih sering menemui hambatan ketimbang
sukses.
[8][8] Luthfi Assyaukanie , dalam makalah Wacana Islam Liberal Di Timur
Tengah. Makalah ini disampaikan pada diskusi “Wacana Islam Liberal
di Timur Tengah” di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari
2001.
[9][9] Liberal
Islam: A Source Book. Oxford University Press, 1998. Selain buku Kurzman,
buku yang juga secara spesifik berbicara tentang isu ini adalah Islamic Liberalism:
A Critique of Development Ideologies (University of Chicago Press, 1988)
karya Lionard Binder.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar