Minggu, 03 Mei 2020

HUKUM ISLAM BAGI PEMBAKAR HUTAN


BAB IV
ANALISA

A.     Penyebab Kebakaran Hutan
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan   dan   tumbuhan   lainnya.   Kawasan-kawasan   semacam   ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfera Bumi yang paling penting.
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya.[1] Inilah alasan utama mengapa api menjadi alat yang paling efektif dalam membuka lahan dengan membakar hutan.
Salah satu akibat yang paling nampak dari salah urus pengelolaan hutan selama 30 tahun adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan dan lahan, khususnya di Kalimantan dan Sumatera. Hutan-hutan tropis basah yang belum ditebang (belum terganggu) umumnya benar-benar tahan terhadap kebakaran dan hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya, hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran (Schindler dkk., 1989).
Bukti ilmiah berdasarkan pendataan karbon radioaktif dari endapan kayu arang di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan hutan dataran rendah telah berulang kali terbakar paling sedikit sejak 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode Glasial Kuarter (Goldammer, 1990). Kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi kemungkinan manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran di milenium terakhir ini, pertama untuk memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk membuka petak-petak pertanian di dalam hutan. Meskipun kebakaran telah menjadi suatu ciri hutan-hutan di Indonesia selama beribu-ribu tahun, kebakaran yang terjadi mula-mula pasti lebih kecil dan lebih tersebar dari segi frekuensi dan waktunya dibandingkan dua dekade belakangan ini. Oleh karena itu, kebakaran yang terjadi mula-mula ini bukan merupakan penyebab deforestasi yang signifikan. Hal ini terlihat jelas dari kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Kalimantan, misalnya, dari dulu berhutan, dan baru pada waktu belakangan ini mengalami deforestasi yang sangat tinggi.[2]
Berbagai proses degradasi hutan dan deforestasi mengubah kawasan hutan yang luas di Indonesia dari suatu ekosistem yang tahan kebakaran menjadi ekosistem yang rentan terhadap kebakaran. Perubahan yang mendasar ini, ditambah dengan terjadinya fenomena iklim El Niño,33 telah menyebabkan peledakan kebakaran hebat yang terjadi selama 20 tahun terakhir ini.
Indonesia juga memiliki beragam undang-undang lingkungan dan peraturan lainnya yang menghukum pelaku pembakaran yang dilakukan secara sengaja, baik di tingkat nasional dan di tingkat propinsi. Namun demikian berbagai undang-undang ini jarang ditegakkan. Bahkan akibat kebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada tindakan resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat dalam pembakaran, dan pada saat penulisan laporan, tidak ada hukuman resmi penting yang dijatuhkan.
Laporan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP menyimpulkan bahwa "Indonesia tidak memiliki suatu organisasi pengelolaan kebakaran yang profesional. Berbagai usaha pemadaman kebakaran dilakukan berdasarkan koordinasi di antara beberapa lembaga yang terkait. Berbagai lembaga yang terlibat dalam pengelolaan kebakaran tidak memiliki mandat yang memadai, tingkat kemampuan dan peralatan yang tidak memadai untuk melakukan tugas-tugas mereka". Departemen Kehutanan merupakan satu-satunya lembaga pemerintah dengan tugas khusus untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran. Direktorat untuk menanggulangi kebakaran hutan berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA).
Kelemahan pokok dalam hal pemadaman kebakaran di Indonesia yang diidentifikasi oleh kajian Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP meliputi: tumpang tindihnya fungsi di antara berbagai lembaga yang berbeda; wewenang dan tanggung jawab kelembagaan yang tidak jelas; mandat yang tidak memadai; dan berbagai kemampuan kelembagaan lokal yang lemah.
Penerapan peraturan yang gagal, menurut kajian, merupakan akibat dari: kurangnya kemauan politik di pihak lembaga penegak hukum; lemahnya akses terhadap data kebakaran bagi para pejabat penegak hukum; keterbatasan fasilitas dan peralatan untuk mendukung berbagai penyidikan di lapangan; berbagai persepsi yang berbeda di antara berbagai lembaga tentang mana yang merupakan bukti resmi yang memadai dari pembakaran yang disengaja; kurangnya pemahaman tentang berbagai peraturan resmi mengenai kejahatan perusahaan yang memberikan peluang bagi perusahaan, daripada para individu pekerja, untuk dituntut; "lemahnya integritas" di pihak para penegak hukum; dan "berbagai konflik kepentingan" antara berbagai lembaga, sebagian di antaranya ditugaskan untuk konservasi dan pemadaman kebakaran, sementara yang lainnya bertugas untuk mengembangkan perkebunan dan meningkatkan berbagai hasil pertanian.
Kebakaran dapat menimbulkan bahaya atau mendatangkan bencana. Kebakaran bisa terjadi, karena pembakaran yang tidak  terkendali, karena proses alami  atau karena kelalaian manusia. Sumber api alami antara lain adalah kilat, yang menyambar pohon atau bangunan, letusan gunung berapi yang menyebaran bongkahan barapi dan bergesekan antara ranting tumbuhan kering, karena goyangan angin yang menimbulkan panas atau percikan api. Sedangkan pembakaran adalah tindakan membakar sesuatu untuk tujuan tertentu.
Indonesia memiliki hutan tropis  terbesar di dunia, yang keluaasanya menempati urutan ke tiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo. Dengan demikian Indonesia memiliki potensi sumber daya hutan sangat besar. Selama 32 tahun pemerintah orde baru menempatkan sector kehutanana sebagai andalan perolehan devisa negara ke dua setelah sector migas. Sektor kehutanan  juga menyerap bangak tenaga kerja  dan mampu mendorong    terbentuknya sentra-sentar ekonomi dan membuka keterlisolasian  di beberapa daerah terpencil. Namun, bersamaan dengan itu pula sebagai dampak   negatif atas pengelolaan hutan yang eksplitatif dan     tidak     berpihak     pada     kepentingan     rakyat,  pada  akhirnya menyisakan persoalan, di antaranya kerusakan hutan yang sangat menghawatirkan.
Indonesia  telah  kehilangan  hutan  aslinya  sebesar 72  %  menurut World Resource Institute. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama  puluhan  tahun  dan  menyebabkan  terjadinya  penyusutan  hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat  1,6  juta  hektar per tahun,  sedangkan  pada periode  1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. (badan Planologi Dephut, 2003). [3]
Setelah bencana El Nino pada tahun 1997/98 yang menghanguskan 25 juta ektar  hutan diseluruh dunia. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun yang sama bahkan disebutkan sebagai bencana terburuk tahun 1997 karena dampaknya bagi hutan dan emisi karbon yang dilepaskan ke udara. Lebih dari 2.67 juta ton karbon dioxide dilepaskan keudara oleh pembakaran tersebut. Nilainya setara dengan 40 persen  dari seluruh  emisi  yang  ditimbulkan  dari pembakaran bahan  bakar fosil  di Indonesia selama setahun. Bapenas memperkirakan kerugian dari kebakaran  4,5  juta  hektar  hutan  dan  lahan  pada  tahun  1997/1998 mencapai angka US$ 9,72 milyar.[4]
Kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Di akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998, saat api   membinasakan   berjuta-juta   hektar   hutan   tropika   di   Indonesia. Peristiwa   kebakaran yang merusak tersebut mengakibatkan terjadinya lintasan panjang di Pulau Sumatera dan Kalimantan, berbentuk selimut asap yang tebal dan secara serius membahayakan kesehatan manusia. Kebakaran ini juga membahayakan keamanan perjalanan udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di seluruh kawasan dan menimbulkan banyak keluhan dari Negara tetangga.
Rekor ini kembali dipecahkan dengan angka yang lebih fantastis, dimana di beberapa wilayah Indonesia pada 1997/1998 api melalap 11,7 juta hektar hutan yang menghasilkan selimut tebal asap di Asia Tenggara. Angka  ini  pada  tahun-tahun  berikutnya  menurun walaupun cenderung tidak  terdokumentasi  dengan baik, namun dominasi Indonesia tetap tak tertandingi.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan bukan hal baru terjadi disejumlah daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database yang seharusnya menjadi acuan guna dijadikan pola dalam menganalisa upaya pencegahan yang dilakukan pada masa mendatang (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, 2013). Hal tersebut dimaknai sebagai salah satu kapabilitas  yang  dijalankan  oleh  pemerintah,    pola  menganalisa  merupakan metode untuk mengukur pekerjaan mereka serta beragam pencegahan yang efektif dibantu track record tersebut. Database dijadikan pola analisa sekaligus menjadi catatan terhadap kapabilitas atau kemampuan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah di pusat maupun di daerah melaksanakan tugasnya, didukung dengan pembagian tugas yang semakin jelas dan baik
Dalam     kertas  posisi     yang  telah  disampaikan  oleh  wahana lingkungan hidup (WALHI) menyebutkan  bahwa  penyebab kebakaran   hutan   yang   berakibat   pada pencemaran asap dan meningkatnya emisi karbon disebabkan oleh kebakaran yang dilakukan secara sengaja dan rambatan api di kawasan/lahan gambut dengan total luas hutan dan lahan yang terbakar dalam kurun waktu 6 tahun terakhir mencapai   27,612   juta   hektar.   Data   yang   dimiliki   oleh   WALHI menunjukkan bahwa tindakan kesengajaan secara khusus di wilayah Sumatera   dan   Kalimantan   dipicu   oleh   pembakaran   lahan   untuk perkebunan  sawit  dan  HTI  oleh  perusahaan  dan  proyek  lahan  sejuta hektar yang berbuntut ekspor asap ke wilayah negara lain, antara lain Malaysia dan Singapura.[5]
Kebakaran hutan dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. Hutan Indonesia sebenarnya masuk dalam kategori hutan hujan basah yang sebenarnya kecil kemungkinan terjadi kebakaran dengan sendirinya atau yang  disebabkan  karena faktor alam.  Faktanya,  kawasan  yang  terbakar adalah kawasan yang telah telah dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan kawasan perkebunan. Artinya, kebakaran hutan secara nyata dipicu oleh api yang sengaja dimunculkan.[6]
Pertanyaan publik nasional dan internasional mengenai keseriusan penegakan hukum baik yang bersumber pada peraturan perundang- undangan yang ada maupun instrumen internasional yang telah disepakati oleh Indonesia menjadi pertanyaan serius, terutama untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, kepentingan menjaga lingkungan, dan penerapan prinsip zero burning.
Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau selama ini tidak luput dari perhatian nasional maupun negara tetangga, terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi yang menimbulkan dampak kabut asap, yang asapnya dirasakan hingga wilayah   negara tetangga (Singapura dan Malaysia) menimbulkan isu keamanan  lingkungan  bersifat  lintas  batas,  serta  dampak  asap  sampai  pada provinsi  tetangga  (Kepulauan  Riau,  Sumatera  Barat  serta  Jambi),  hal  ini disebabkan oleh faktor dari letak geografis Riau.
Frekuensi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau hampir setiap tahun, jelas meresahkan masyarakat karena beragam kerugian dampak dari kabut asap, dari sisi pemerintahan pada tingkat daerah sudah dalam dua tahun terakhir menyatakan ketidak mampuan dalam menanggulangi kebakaran, dengan menetapkan status darurat kabut asap dan memintah bantuan dari Pemerintah Pusat. Kerugian ekonomi, ekologis serta sosial pun terjadi begitu besar akibat kebakaran karena menciptakan kabut asap. Pengembangan usaha perkebunan terutama  perkebunan  kelapa  sawit  merupakan  faktor  penting  dalam  konversi hutan yang berpengaruh pada kebakaran.
Kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi kemungkinan manusia  mempunyai  peran  dalam memulai  kebakaran di milenium terakhir ini,  perburuan dan selanjutnya untuk membuka petak- petak pertanian di dalam hutan. Meskipun kebakaran telah menjadi suatu ciri hutan-hutan di Indonesia selama beribu-ribu tahun, kebakaran yang terjadi mula-mula pasti lebih kecil dan lebih tersebar dari segi frekuensi dan waktunya dibandingkan dua dekade belakangan ini. Oleh karena itu, kebakaran   yang   terjadi  mula-mula   ini   bukan   merupakan   penyebab deforestasi yang signifikan.
Terlihat jelas dari kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia adalah hutan, dan baru pada waktu belakangan ini mengalami deforestasi yang sangat tinggi. Berbagai proses degradasi hutan dan deforestasi mengubah kawasan hutan yang luas di Indonesia dari suatu ekosistem yang tahan kebakaran menjadi ekosistem yang rentan terhadap kebakaran.
Besar kerugian materil sudah tak terhitung   jumlahnya akibat kebakaran hutan dan asap ini. Mulai dari nilai hutannya sendiri (kayu, margasatwa dan lingkungan), kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana serta harta penduduk yang terkadang ikut terbakar, sampai kepada biaya yang terjadi karena  gangguan pada  trasportasi.  Gangguan  transportasi  dapat berupa penundaan penerbangan, keterlambatan karena jarak pandang yang terbatas, atas lebih celaka lagi kalau terjadi musibah kecelakaan gara-gara asap.
Musibah ini tidak hanya menimpa negeri yang punya hutan dan asap tersebut, melainkan juga merambat ke negeri tetangga  seperti Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Sehingga selain negara-negara tersebut menyumbangkan tenaga dan dana bagi penaggulangan kebakaran hutan dan asap,  mereka  juga menyampaikan kritikan pedas bagi Indonesia.
1.       Faktor  Penyebab Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan terjadi karena beberapa factor, yakni oleh ulah manusia dan faktor alam itu sendiri. Faktor alam biasa terjadi pada musim kemarau ketika cuaca sangat panas. Namun, sebab utama dari kebakaran adalah pembukaan lahan yang meliputi ;[7]
a.       Pembakaran lahan yang tidak terkendali sehingga merembet ke lahan lain Pembukaan lahan tersebut dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun perusahaan. Namun bila pembukaan lahan dilaksanakan dengan pembakaran dalam skala besar, kebakaran tersebut sulit terkendali. Pembukaan lahan dilaksanakan untuk usaha perkebunan, HTI, pertanian lahan kering, sonor dan mencari ikan. pembukaan lahan yang paling berbahaya adalah di daerah rawa/gambut.
b.      Penggunaan  lahan  yang  menjadikan  lahan  rawan  kebakaran, misalnya di lahan bekas HPH dan di daerah yang beralang-alang.
c.       Konflik antara pihak pemerintah, perusahaan dan masyarakat karena status lahan sengketa Perusahaan-perusahaan kelapa sawit kemudian  menyewa  tenaga  kerja  dari  luar  untuk  bekerja  dan membakar lahan masyarakat lokal yang lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan, untuk mengusir masyarakat. Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi terdegradasi, dan dengan demikian perusahaan akan lebih mudah dapat mengambil alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk asli.
d.      Dalam   beberapa   kasus,   penduduk   lokal   juga   melakukan pembakaran untuk memprotes pengambil-alihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit.
e.       Tingkat  pendapatan  masyarakat  yang  relatif  rendah,  sehingga
terpaksa memilih alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk pembukaan lahan.
f.        Kurangnya   penegakan   hukum   terhadap   perusahaan   yang melanggar peraturan pembukaan lahan
g.      Pembukaan lahan secara liar baik oleh perorangan dan perusahaan.
2.      Penyebab kebakaran lain, antara lain:
a.       Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
b.      Kecerobohan  manusia  antara  lain  membuang  puntung  rokok secara sembarangan dan lupa mematikan api di perkemahan.
c.       Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
d.      Kebakaran  di  bawah  tanah/ground  fire  pada  daerah  tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau
e.       Hutan-hutan tropis basah yang belum terganggu umumnya benar- benar tahan terhadap kebakaran dan hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya, hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran.
B.     Dampak Kebakaran Hutan
1.      Bencana Ekonomis
Menurut  pemerintah, 2,6  juta  hektar   lahan  dan  hutan  telah terbakar antara bulan  Juni dan  Oktober  2015,[8] setara dengan ukuran  empat setengah kali lipat  Pulau  Bali. Kebakaran yang diakibatkan ulah manusia tersebut – lebih dari 100.000 kebakaran[9]– dilakukan untuk mempersiapkan  lahan pertanian dan untuk memperoleh   tanah  secara  murah.  Dengan  tidak  diterapkannya pola  pembakaran   yang  terkendali  maupun   penegakan   hukum yang memadai, kebakaran menjadi tidak terkendali, didorong oleh kekeringan  dan  diperburuk dengan  pengaruh  El Niño. Kerugian ekonomi dan lingkungan yang luas ini berulang setiap tahun. Hanya beberapa ratus bisnis dan beberapa ribu petani saja yang memperoleh keuntungan  dari praktik-praktik spekulasi tanah  dan  perkebunan. Sementara puluhan juta rakyat Indonesia yang lain menderita kerugian dengan adanya pengeluaran biaya kesehatan dan gangguan ekonomi. Pada tahun 2015, kerugian bagi negara Indonesia akibat kebakaran diperkirakan mencapai Rp 221 triliun (16,1 miliar dolar AS). Biaya tersebut secara regional dan global akan jauh lebih tinggi. Pemerintah telah  berjanji  untuk  memprioritaskan  pengendalian   kebakaran dan Presiden  telah menyerukan  pengambilan tindakan. Sekarang adalah waktunya bagi Indonesia untuk mengatasi pendorong utama kebakaran akibat ulah manusia, menegakkan hukum, dan mengubah kebijakan guna mengurangi risiko berulangnya bencana ekonomi ini.
      Hingga bulan Oktober  tahun  2015,  masing-masing dari delapan provinsi  mencatat  kebakaran dengan  luas  melebihi   100.000 hektar.  Pulau Sumatera  dan Kalimantan – dimana sebagian  besar lahan gambut yang rawan di negeri ini berada – – adalah wilayah yang paling menderita. Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah masing- masing mewakili 23 persen dan 16 persen dari jumlah luas lahan yang terbakar. Tidak seperti tahun-tahun yang lalu, kebakaran di Papua meluas hingga 10 persen dari jumlah luas lahan yang terbakar secara nasional. Ini perkembangan yang sangat menyayangkan karena dibanding propinsi lain, lahan gambut di Papua masih utuh terjaga di Indonesia.
      Pengeringan  dan   konversi   lahan   gambut,    yang   terutama didorong oleh produksi  minyak kelapa  sawit, berkontribusi terhadap  peningkatan intensitas kabut  asap  dari  kebakaran. Sekitar  33  persen  dari jumlah lahan  yang  terbakar  merupakan lahan gambut, yang menyebabkan kabut asap berbahaya yang menyelimuti wilayah Indonesia dan kawasan sekitarnya, mengganggu perhubungan,  perdagangan,  dan pariwisata, memaksa  penutupan sekolah-sekolah, dan memperburuk kesehatan warga setempat. Kebakaran tahun 2015 itu juga berkontribusi secara signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia.
Pembakaran telah  lama  menjadi  alat  pertanian di Indonesia. Secara tidak resmi, proses pembakaran juga berperan penting dalam  pembukaan lahan. Sehingga sementara  banyak yang dirugikan akibat meluasnya kebakaran dan kabut asap, sejumlah pihak  memperoleh   keuntungan  besar.  Artikel ini menjelaskan, siapa yang untung dan rugi, memperkirakan kerugian ekonomi dan kerusakan  yang terkait dengan  kebakaran  dari delapan  provinsi, serta menghubungkannya dengan keuntungan yang diperoleh dari salah satu sektor pertanian – yaitu kelapa sawit.[10]
Bank Dunia memperkirakan bahwa  kebakaran di Indonesia di tahun 2015 menelan biaya setidaknya Rp 221 triliun (16,1 dolar AS) atau setara dengan 1,9 persen dari PDB tahun 2015. Angka ini lebih dari dua kali lipat biaya rekonstruksi pasca tsunami Aceh.[11]
Analisis ini memperkirakan dampak terhadap pertanian, kehutanan, perdagangan,  pariwisata, dan perhubungan.  Efek jangka pendek dari paparan kabut asap terhadap kesehatan dan penutupan sekolah juga disertakan. Biaya lainnya yang diketahui mencakup biaya terkait lingkungan hidup, tanggap  darurat, dan pemadaman  kebakaran. Namun, perkiraan ini belum sepenuhnya mengidentifikasi dampak kesehatan jangka panjang akibat keterpaparan yang berkelanjutan terhadap kabut asap, maupun hilangnya semua layanan ekosistem. Selain itu, perkiraan tersebut  tidak menyertakan kerugian secara regional maupun global.[12]

2.      Bencana Lingkungan Hidup
a.      Emisi Rumah Kaca
Menghitung  emisi   gas   rumah   kaca   dari   kebakaran di Indonesia tidak  mudah  dan  bergantung pada pengukuran jumlah dan kedalaman lahan  gambut yang terbakar. Sementara semua kebakaran menghasilkan emisi gas rumah kaca, emisi CO2 dari kebakaran biasanya diimbangi oleh pertumbuhan kembali tanaman pasca kebakaran. Hal ini tidak terjadi dalam kasus kebakaran lahan gambut, karena api membakar karbon[13] yang telah tersimpan selama ribuan tahun dan tidak dapat diganti. Lahan gambut telah lama menjadi sasaran  konversi lahan – mengeringkan  lahan rawa yang tampaknya tidak produktif dan kemudian membersihkannya dengan dibakar untuk lahan pertanian. Lahan gambut yang sudah kering akan cepat terbakar dan sulit untuk dipadamkan.
Karena material organik pembentuknya, gambut menjadi unik. Layaknya spons, gambut memiliki kemampuan menyimpan air. Kubah gambut (peat dome), yang ada di pulau-pulau seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua dapat diibaratkan waduk yang dapat menyimpan jutaan kubik air berasal dari air hujan.
Air tersebut yang kemudian mengalir sepanjang tahun untuk mendukung kehidupan ekologis, termasuk manusia.[14] Gambut juga mengatur tata air, rantai air, menjaga kualitas air dan pengendali banjir.
Eksploitasi gambut berarti mengubah bentang alami yang ada. Gambut dikeringkan, dengan cara membuat kanal-kanal salurah air yang akan mengeluarkan air di lahan gambut.  Keberadaan kanal menyebabkan kadar air gambut menurun, akibatnya di bagian atas permukaan gambut dapat ditanami oleh spesies introduksi pertanian, perkebunanan dan kehutanan yang sistem perakarannya harus berada di lahan kering.
Akibatnya, ketebalan vertikal area yang dikeringkan tergantung kepada peruntukan tanaman. Umumnya permukaan lahan gambut yang dikeringkan antara 40-100 cm. Menurut Kementerian Pertanian, di Indonesia diperkirakan terdapat 4-6 juta hektar lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya lahan perkebunan, umumnya berada di wilayah gambut dangkal.
Akan tetapi, ketidak hati-hatian dalam pembukaan lahan dan pembuatan kanal yang tidak memperhitungkan ketebalan gambut, menyebabkan kubah gambut terbelah oleh kanal. Alhasil sistem ekologis yang telah ada selama ribuan tahun berubah. Bahan organik yang ada di dalam gambut menjadi kering dan mudah terbakar pada saat musim kering.
Secara ilmiah jika dihitung, emisi lahan gambut yang berasal dari kebakaran lahan (46 persen) yang diikuti oleh oksidasi gambut (25 persen) dan penghapusan biomassa (mencapai 24 persen) dari deforestasi dan degradasi hutan. Lahan gambut menyumbang 50 persen emisi gas rumah kaca Indonesia.[15]
Kebanyakan lahan gambut ditemukan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, tetapi tidak ada peta dasar (baseline)   daerah    lahan     gambut    yang     lengkap dan  disepakati.  Dengan      mengizinkan       pengeringan dan pembakaran lahan gambut, hal tersebut memiliki konsekuensi perubahan iklim yang signifikan, bahkan global, serta konsekuensi terhadap kesehatan   dan  perekonomian di Indonesia dan kawasan sekitarnya. Selain berkontribusi secara signifikan terhadap emisi gas rumah kaca, kebakaran lahan gambut juga memproduksi kabut asap, karena memiliki kandungan aerosol yang tinggi.
Basis Data Emisi Kebakaran Global versi 4 (Global Fire Emissions   Database   version  4,  GFED4)  memberikan suatu    perkiraan  terbaik   dampak  emisi   gas   rumah kaca, walaupun belum terlalu akurat,  akan dampak kebakaran tahun  2015.  Metode ini memperluas perkiraan dari  tahun-tahun    sebelumnya    berdasarkan    pemetaan citra satelit  daerah  terbakar  dan  konsumsi  bahan  bakar dan deteksi kebakaran  yang sedang  terjadi (aktif).[16] GFED memperkirakan bahwa pada tahun 2015, kebakaran hutan di Indonesia menyumbang sekitar 1.750 juta metrik ton setara karbon dioksida (MtCO2e) terhadap emisi global pada tahun  2015.   Sebagai   perbandingan,   berdasarkan   Komunikasi Nasional ke-2 dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change), Indonesia memperkirakan emisinya secara nasional tahunan adalah sebesar  1.800 MtCO2e. Indonesia telah berjanji untuk mengurangi  emisi sebesar  29 persen (atau 41 persen dengan dukungan keuangan internasional) dibandingkan dengan  skenario seperti biasanya  (business as usual) pada tahun 2030 sebagai bagian dari kontribusinya untuk menjaga agar peningkatan suhu global tidak melebihi 2 derajat Celsius. Kebakaran seperti yang terjadi pada tahun 2015 akan membuat sasaran ini tidak mungkin tercapai.
b.      Dampak Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
Hutan alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak.
Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan, baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN, 2005)
Kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 saja telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003). Kebakaran hutan setiap tahunnya telah memberikan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati. Berbagai jenis kayu kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis kayu yang sudah sulit ditemukan di alam. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.
Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang tergolong fast growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi ada yang termasuk dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat kebakaran ataupun pembakaran hutan.
Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran rendah sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang paling berharga di dunia.
Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia sering mengalami kebakaran baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang berdampak langsung dengan hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna tertentu.
Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya.[17] Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting. Dan kini kekayaan tersebut berangsur-angsur hilang akibat ulah lahan gambut yang terbakar maupun lahan gambut yang berubah fungsi dari wilayah resapan air menjadi lahan perkebunan.
c.       Dampak Bencana Alam
Dampak utama dari penebangan hutan secara liar adalah banjir dan tanah longsor. Tanah longsor sering terjadi di Indonesia, diakibatkan penggundulan hutan bertahun-tahun. Pegiat lingkungan hidup memperingatkan tanah longsor disebabkan penebangan hutan secara secara eksesif dan gagalnya penanaman kembali hutan.
Ada dua faktor perubahan kenapa banjir terjadi. Pertama itu perubahan lingkungan dimana didalamnya ada perubahan iklim, perubahan geomorfologi, perubahan geologi dan perubahan tata ruang. Dan kedua adalah faktor dari masyarakat sendiri.
Terjadinya bencana banjir dan tanah longsor menunjukkan peristiwa yang berkaitan dengan masalah tanah. Hujan dan banjir telah menyebabkan pengikisan lapisan tanah oleh aliran air yang disebut erosi yang berdampak pada hilangnya kesuburan tanah serta terkikisnya lapisan tanah dari permukaan bumi. Banjir akan bisa menjadi lebih besar jika penyimpan air tidak bisa menahan air limpasan. Hal ini bisa terjadi ketika hutan yang berfungsi sebagai daya simpan air tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Hutan dapat mengatur fluktuasi aliaran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi. Kejadian banjir ini akan menjadi kejadian tahuanan daerah hilir yang rawan bencana apabila pengelolaan bagian hulu tidak diperbaiki segera, baik melalui reboisasi / penghijauan dan upaya konservasi tanah.
Akibat penebangan hutan yang luas, jumlah air yang tersedia menjadi besar karena evapotranspirasi dari tumbuhan menjadi kecil. Namun, ketika turun hujan, biasanya sebagian besar air hujan akan mengalir di atas permukaan tanah. Akibatnya, nilai aliran permukaan tanah sangat besar dan mubazir karena air berlebihan langsung masuk ke sungai dan menimbulkan banjir, terutama apabila sungainya dangkal akibat pelumpuran dari erosi tanah. Namun, permukaan air tanah dapat menurun dan pengisian kembali air ke dalam tanah oleh air hujan sangat sedikit. Karena itu, banyak mata air kering, permukaan air sumur menurun, dan terjadi kekurangan air terutama pada musim kemarau.
Jika penggundulan hutan dibiarkan terus berlangsung. Banjir dan tanah longsor akan terjadi silih berganti. Upaya pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan cara menggalakkan kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali terhadap tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan atau pegunungan yang posisi tanahnya miring perlu dibangun tersering atau sengkedan, sehingga mampu menghambat laju aliran air hujan. Perlu adanya bimbingan dan penyuluhan kepada penduduk setempat tentang betapa pentingnya keberadaan hutan bagi kehidupan makhluk hidup. Juga melakukan pembenahan terhadap sistem hukum yang mengatur tentang pengelolaan hutan menuju sistem hukum yang responsif.
Bencana tanah longsor terjadi disebabkan tidak ada lagi usur yang menahan lapisan tanah pada tempatnya sehingga menimbulkan kerusakan. Jika penggundulan hutan dibiarkan terus berlangsung. Banjir dan tanah longsor akan terjadi silih berganti. Upaya pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan cara menggalakkan kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali terhadap tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan atau pegunungan yang posisi tanahnya miring perlu dibangun tersering atau sengkedan, sehingga mampu menghambat laju aliran air hujan.
Pada hakekatnya manusia merupakan bagian dari alam. Dalam melangsungkan kegiatan kehidupan, manusia secara otomatis tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada lingkungan alam. Dalam hukum ekologis, setiap gangguan ekosistem akan selalu mengarah pada proses keseimbangan kembali. Adanya hubungan-hubungan timbal balik antara manusia sebagai komponen biotik dengan komponen abiotik yang saling berinteraksi dan saling mempegaruhi akan membentuk sebuah keseimbangan.
Fenomena yang terjadi sekarang ini, kelihatannya pendekatan lingkungan menjadi semakin terbelakang di tengah derasnya arus pembangunan yang bergeser kea rah globalisasi. Akibatnya sejumlah dampak yang merugikan muncul berkaitan dengan system ekonomi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip global dan sudah pasti, secara keseluruhan korban utama adalah kerusakan lingkungan melalui eksploitasi sumber daya alam.
Banjir dan tanah longsor akibat dari menurunnya kualitas ekosistem hanyalah akibat dari perilaku dan hasil kerja manusia dalam memberlakukan dan mengelolah sumber daya alam dan lingkungan. Banyak perilaku manusia yang hanya mementingkan diri sendiri untuk memenuhi nafsu perut dan kekuasaan, tanpa mencoba mengembangkan nalar empati kepada lingkungannya.
d.      Dampak terhadap Harta dan Nyawa Manusia
Kerugian terhadap harta benda dan nyawa manusia dari peristiwa bencana alam akibat rusaknya hutan di negeri kita sudah sangat memprihatinkan. Kita lihat beberapa peristiwa bencana dan kerugian yang dialami baik dari segi harta benda dan nyawa.
Bencana berskala dahsyat yang melanda Indonesia tak hanya berkutat pada tiga tersangka utama saja: gempa bumi, tsunami, ataupun gunung meletus. Selain tiga ancaman tersebut, masih ada satu fenomena alam lain yang jika dibiarkan dan tak mendapat intervensi menyeluruh akan membawa dampak yang mematikan pula, yaitu ancaman bencana alam tanah longsor dan kabut asap.
1.   Banjir dan tanah longsor akibat kerusakan hutan:
1.1. Tanah Longsor Situ Gintung, Tangerang
Jumat, 27 Maret 2009, tragedi mencekam menyeruak di wilayah pinggiran kota Jakarta. Situ Gintung yang terletak di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten tiba-tiba Jebol di waktu subuh. Bencana tersebut menewaskan kurang lebih sekitar 7 orang dan menenggelamkan ratusan rumah yang berada di sekitarnya. Hasil investigasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVG) menjelaskan bahwa bencana terjadi karena jebolnya tanggil selebar ± 65 meter, yang diikuti oleh gerakan tanah longsoran pada tanggul dengan panjang antara 3-7 meter, dan lebar antara 3-8 meter. Penyebab jebolnya tanggul secara keseluruhan terjadi karena curah hujan yang tinggi kala itu, kemudian adanya retakan pada tanggul serta limpahan air yang melebihi kapasitas. Apalagi ditambah kontur tanah di sekitar kawasan tersebut yang sangat curam.
1.2.Tanah longsor Bahorok, Sumatera Utara
Senin, 3 November 2003 silam. Bukit curam yang berada di sekitar Desa Bukit Selawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara tersapu oleh longsoran tanah yang membawa air bah limpahan sungai Bahorok. Akibat kejadian ini 90 orang dilaporkan tewas dan ratusan orang lainnya menderita luka dan hilang terbawa arus banjir. Berdasarkan catatan kebencanaan dari Walhi, longsor dan banjir bandang Bahorok terjadi akibat kerusakan hutan karena penebangan liar yang tak terkendali. Kala itu, 170 ribu hektar taman nasional Gunung Leuser dari luas total 788 ribu hektar rusak parah akibat penebangan hutan.
1.3.Tanah Longsor Banjarnegara
`             Belum hilang dalam ingatan, bagaimana pertengahan Desember 2026, peristiwa tanah longsor dahsyat menghantam Dusun Jemblung, Desa Sampang, Banjarnegara. Jumat sore (12/12) menjelang maghrib, hujan belum sempat menampakkan redanya. Dalam waktu kurang dari lima menit, tanah longsor mematikan menimbun 105 rumah warga di tiga desa sekaligus. Akibatnya fatal, seratus lebih korban jiwa melayang tertimbun longsoran tanah. Tebing setinggi 100 meter di Desa Sampang, Karangkobar, Banjarnegara tersebut memang mulanya diklasifikasikan sebagai daerah longsor berpotensi sedang dan tinggi. Catatan penulis menunjukkan bahwa tanah longsor Banjarnegara terjadi akibat material penyusun bukit Tegallele yang merupakan endapan vulkanik tua dan lapuk. Ditambah hujan deras yang tak berhenti mengguyur sejak dua hari sebelumnya menyebabkan tanah jenuh terhadap air. (IJL)[18]
1.4. Banjir Kabupaten Garut Jawa barat
Banjir menerjang tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, Jawa Barat 22 September 2016. Bencana yang menewaskan sedikitnya 23 orang itu meluluhlantakkan ratusan rumah dan fasilitas umum, Selasa (20/9). Selain akibat faktor cuaca, banjir terjadi ka­rena maraknya penggundul­an hutan. [19]
1.5. Bencana banjir Aceh
Bencana banjir bandang yang terjadi sehari menjelang hari raya Idulfitri 1433 H itu mengakibatkan 6 orang meninggal dunia, 4 hilang, 37 unit rumah warga rusak parah dan tiga rusak ringan, 7 jembatan hancur serta 3 kilometer jalan mengalami rusak berat akibat longsor. Kapolda dengan tegas menyatakan, praktik pembalakan liar telah berdampak besar terhadap kesengsaraan masyarakat setempat, sehingga kepolisian tidak bisa mentoleransinya lagi. “Tidak ada toleransi, siapapun pelakunya akan kita tindak tegas,” ujar Kapolda. [20]
2.   Bahaya Kabut Asap
Kabut asap menjadi masalah bagi banyak kota di dunia dan terus mengancam lingkungan. Menurut EPA U.S., udara dalam status bahaya karena problem kabut jika telah melewati batas 80 bagian persejuta (parts per billion) (ppb) atau 0.5 ppm ozone (komponen utama asbut) [1], melebihi dari 53 ppb nitrogen dioksida atau 80 ppb partikel. Kabut asap dalam keadaan berat merusak dan bahkan menyebabkan masalah pernapasan bagi manusia, termasuk penyakit emphysema, bronchitis, dan asma. Kejadian klinis sering terjadi saat konsentrasi ozone levels sedang tinggi.
Zat-zat yang terkandung dalam asap kabut ini antara lain:
a. Sulfur Dioksida
Pencemaran oleh sulfur dioksida terutama disebabkan oleh dua komponen sulfur bentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida(SO2) dan Sulfur Trioksida (SO3), dan keduanya disebut Sulfur Oksida (SOx)
Sumber dan distribusi dari Sulfur Dioksida ini adalah berasal dari pembakaran arang,minyak bakar gas,kayu dan sebagainya. Sumber yang lainnya adalah dari proses-proses industri seperti pemurnian petroleum,industri asam sulfat, industri peleburan baja, dan sebagainya.
Pengaruh utama polutan Sox terhadap manusia adalah iritasi sistem pernafasan terutama pada tenggorokan yang terjadi pada beberapa individu yang sensitif iritasi. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kadiovaskular.
Pencegahan dari Sulfur dioksida antara lain dengan :
o  Merawat mesin kendaraan bermotor agar tetap berfungsi dengan baik
o  Memasang filter pada knalpot
o  Memasang scruber pada cerobong asap
o  Merawat mesin industri agar tetap baik dan melakukan pengujian secara berkala
o  Menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara dengan kadar sulfur yang rendah, dll.
b. Carbon Monoksida (CO)
Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbondioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah, tetapi sumber utamanya adalah dari kegiatan manusia, Karbon monoksida yang berasal dari alam termasuk dari larutan, oksida metal dari atmosfer, pegunungan, kebakaran hutan, dan badai listrik alam.
Dampak karbon monoksida bagi kesehatan adalah penguraian HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa oksigen ke seluruh tubuh. Kondisi seperti ini dapat berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Dampak keracunan CO berbhaya bagi orang yang telah menderita gangguan otot jantung.
c. Nitrogen Dioksida
Oksigen Nitrogen (NOx) adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfer yang terdiri dari Nitrogen monoksida (NO) dan Nitrogen Dioksida (NO2).
Sumber utama Nox yang diproduksi oleh manusia adalah dari pembakaran dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan bermotor, produksi energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NOx buatan manusia berasal dari pembakaran arang, minyak, gas dan bensin.
Dampak Nitrogen Dioksida terhadap kesehatan adalah NO2 bersifat racun terutama terhadap paru-paru. Kadar NO2 yang lebih tinggi dari 100 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang dan 90% dari kematian tersebut disebabkan oleh gejala pembengkakan paru-paru (edema pulmonari).
d. Oksidan
Oksidan (O3) merupakan senyawa di udara selain oksigen yang memiliki sifat sebagai pengoksidasi. Oksidasi adalah komponen atmosfer yang diproses oleh proses fotokimia, yaitu suatu proses kimia yang membutuhkan sinar matahari mengoksidasi komponen-komponen yang tak segera dioksidasi oleh oksigen.
Oksidan terdiri dari Ozon, Peroksiasetilnitrat, dan Hidrogen Peroksida. Dampak dari O3 bagi kesehatan adalah Beberapa gejala yang dapat diamati pada manusia yang diberi perlakuan kontak dengan ozon, sampai dengan kadar 0,2 ppm tidak ditemukan pengaruh apapun, pada kadar 0,3 ppm mulai terjadi iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan Ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing berat dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon dengan kadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan edema pulmonari.
Pada kadar di udara ambien yang normal, peroksiasetilnitrat (PAN) dan Peroksiabenzoilnitrat (PbzN) mungkin menyebabkaniritasi mata tetapi tidak berbahaya bagi kesehatan. Peroksibenzoilnitrat (PbzN) lebih cepat menyebabkan iritasi mata.
e. Hidrokarbon
Hidrokarbon adalah bahan pencemar udara yang dapat berbentuk gas, cairan maupun padatan. Semakin tinggi jumlah atom karbon, unsur ini akan cenderung berbentuk padatan. Sebagai bahan pencemar udara, Hidrokarbon dapat berasal dari proses industri yang diemisikan ke udara dan kemudian merupakan sumber fotokimia dari ozon. Kegiatan industri yang berpotensi menimbulkan cemaran dalam bentuk HC adalah industri plastik, resin, pigmen, zat warna, pestisida dan pemrosesan karet. Diperkirakan emisi industri sebesar 10 % berupa HC.
Pengaruh hidrokarbon pada kesehatan manusia dapat terlihat pada tabel dibawah ini.
Jenis Hidrokarbon
Kosentrasi (ppm)
Dampak Kesehatan
Benzene (C6H6)
100
Iritasi membran mukosa

3.000
Lemas setelah setengah sampai satu jam

7.500
Pengaruh sangat brbahaya setelah pemaparan satu jam

20.000
Kematian setelah pemaparan 5-10 menit
Toluena (C7H8)
200
Pusing, lemah , dan bekunang-kunang setelahpemaparan 8 jam

600
Kehiulangan koordinasi bola mata terbalik setelah pemaparan 8 jam

Gas Khlorin ( Cl2) adalah gas berwarna hijau dengan bau sangat menyengat. Berat jenis gas khlorin 2,47 kali berat udara dan 20 kali berat gas hidrogen khlorida yang toksik. Gas khlorin sangat terkenal sebagai gas beracun yang digunakan pada perang dunia ke-1.
Karena banyaknya penggunaan senyawa khlor di lapangan atau dalam industri dalam dosis berlebihan seringkali terjadi pelepasan gas khlorin akibat penggunaan yang kurang efektif. Hal ini dapat menyebabkan terdapatnya gas pencemar khlorin dalam kadar tinggi di udara.
Selain bau yang menyengat gas khlorin dapat menyebabkan iritasi pada mata saluran pernafasan. Apabila gas khlorin masuk dalam jaringan paru-paru dan bereaksi dengan ion hidrogen akan dapat membentuk asam khlorida yang bersifat sangat korosif dan menyebabkan iritasi dan peradangan.
f. Partikel Debu
Partikulat debu melayang (Suspended Particulate Matter/SPM) merupakan campuran yang sangat rumit dari berbagai senyawa organik dan anorganik yang terbesar di udara dengan diameter yang sangat kecil, mulai dari dampak partikel debu terhadap kesehatan dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Selain dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan, partikel debu juga dapat mengganggu daya tembus pandang mata dan juga mengadakan berbagai reaksi kimia di udara.
g. Timah Hitam
Timah hitam ( Pb ) merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5°C dan titik didih 1.740°C pada tekanan atmosfer.Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan haemoglobin, Gejala keracunan akut didapati bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut muntah atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, Kejang dan gangguan penglihatan.Dampak kabut asap sangat berbahaya bagi kita semua, karena dapat mengganggu sistem pernapasan dan jantung kronis. [21]
Selain itu kabut asap juga sangat berbahaya bagi lalu lintas. Baik lalu lintas darat, sungai maupun udara. Karena tebalnya kabut asap membuat jarak pandang hanya beberapa meter saja.
Hal ini bisa saja dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Contohnya sudah banyak sekali kapal-kapal laut yang bertabrakan, bahkan pesawat membatalkan penerbangan dan membatalkan lepas landas.
Namun proses pembentukannya tergantung pada cukup tidaknya inti kondensasi yang tersedia. Kabut asap juga dapat disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan karena campur tangan manusia di dalamnya.
Ditambah lagi dengan belum turunnya hujan yang membuat keadaan semakin parah. bahkan sekolah-sekolah pun banyak yang diliburkan. Sedangkan ketika tidak terlalu parah anak-anak mulai masuk sekolah kembali akan tetapi jam masuk anak sekolah di mundurkan satu jam. Ketika di pagi hari kabut asap menjadi sangat tebal sekali.
Banyak upaya yang dilakukan tapi, masih belum berhasil. Upaya yang dilakukan yaitu berupa menyiram dengan air dan membuat hujan buatan.
Jadi, pengertian kabut asap adalah Halimun butir-butir air nya lebih besar dari 0,1 milimeter. Kabut asap terbentuk karena kelembaban relatif udara mencapai 100 persen dan perkembangannya tergantung dengan inti kondensasi yang tersedia.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengakui bahwa jumlah korban jiwa dalam musibah kabut asap yang menyelimuti Indonesia telah meningkat menjadi 19 orang. Lima korban berasal dari Sumatera Selatan, lima dari Kalimantan Tengah, lima orang dari Jambi, tiga dari Kalimantan Selatan dan satu orang dari Riau.[22]
Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengumumkan bahwa terdapat sepuluh orang korban jiwa akibat menghirup asap. Namun jumlah korban jiwa terus meningkat.
DIperkirakan sebanyak setengah juta orang telah menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut sejak pertama kali munculnya kebakaran hutan pada bulan Juli lalu.
Para korban berasal dari Sumatera dan Kalimantan, di mana diduga banyak lahan yang sengaja dibakar untuk mengosongkan area tersebut dengan biaya yang murah. Para ahli menilai bahwa bencana kabut asap tahun ini merupakan yang terburuk dalam sejarah, diperparah dengan adanya fenomena El Nino yang membawa angin panas.[23]
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Andra Sjafril mengatakan sebanyak 66.234 jiwa diantaranya terkena penyakit indeks saluran pernafasan akut (ISPA), 1.076 jiwa terjangkit pneunomoa, 3.073 terjangkit asma, 3.693 jiwa terkena penyakit mata dan 4.857 jiwa terkena penyakit kulit.[24]
Tabel 1. Berbagai dampak kesehatan akibat terpajan kabut yang terkait dengan kebakaran hutan di 8 Provinsi di Indonesia, September - November 19971[25]

 
Dampak kesehatan
jumlah kasus
Kematian Asma Bronkitis
Infeksi saluran napas akut
Kendala melakukan kegiatan setiap hari Peningkatan perawatan pasien rawat jalan Peningkatan perawatan pasien rawat inap Kehilangan hari kerja
527
298.125
58.095
1.446.120
4.758.600
36.462
15.822
2.446.352

polutan
Mekanisme
Efek potensial pada kesehatan
Partikulat (partikel kecil < 10 μ, diameter aero dinamik  < 2.5 μ
 Akut: iritasi bronkus, inflamasi dan reaktivitas meningkat
 Berkurangnya bersihan mukosilier
 Mengurangi respons makrofag dan imunitas lokal
 Reaksi fibrotik
 Mengi, asma eksaserbasi
 Infeksi saluran napas
 Bronkitis kronik dan PPOK
 PPOK eksaserbasi
Karbon monoksida
 Berikatan dengan hemoglobin menghasilkan karboksi hemoglo- bin yang dapat mengurangi trans- port oksigen ke organ vital dan menyebabkan gangguan janin
 Berat badan bayi lahir rendah
 Meningkatnya kasus kematian perinatal
Hidrokarbon aromatik polisiklik
(benzo-alpyrene)
Karsinogenik
 Kanker paru
 Kanker mulut, nasofaring dan laring
Nitrogen dioksida
 Pajanan akut menyebabkan reaktivitas bronkus
 Pajanan kronik dapat mening- katkan kerentanan  infeksi bakteri dan virus
 Mengi, asma eksaserbasi
 Infeksi saluran napas
 Berkurangnya fungsi paru anak
Sulfur dioksida
 Pajanan akut menyebabkan reaktivitas bronkus
 Pajanan kronik sulit untuk memis- ahkan efek partikel
 Mengi, asma eksaserbasi
 PPOK eksaserbasi
 Penyakit kardiovaskuler
Kondesat asap biomass, termasuk hidrokarbon aromatik polisiklik dan ion metal
 Absorpsi racun ke dalam lensa se- hingga terjadi perubahan oksidatif
 Katarak
Tabel 2. Pengaruh polutan asap kebakaran pada sistem pernapasan dan organ lain[26]


Kebanyakan orang dewasa sehat dan anak- anak akan sembuh dengan cepat dari pa- janan asap dan tidak akan mendapat efek jangka panjang. Namun, populasi sensitif tertentu  dapat  mengalami gejala kronik yang lebih berat. Bahan yang terkandung dalam asap kebakaran hutan dapat meng- iritasi mukosa serta  mencetuskan gang- guan pernapasan akut dan kronik seperti asma, bronkitis, penurunan faal paru, kan- ker sampai kematian. Gangguan  fungsi makrofag, peningkatan kadar albumin dan laktosa dehidrogenase yang menunjukkan kerusakan membran sel serta kerusakan sel epitel dapat ditemukan akibat pajanan asap kebakaran hutan. Bahkan kondisi kronik  terpajan polusi udara beracun de- ngan konsentrasi tinggi sedikit meningkat- kan risiko kanker.[27]

C.    Apresiasi Islam terhadap Memproduktifkan Hutan dan lahan (Ihya’ al-Mawat)
1.      Pengertian Ihya’ al-Mawat
Ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata, bila diterjemahkan secara literer ihya’ berarti menghidupkan dan mawat berasal dari maut berarti mati atau wafat. Ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. "Bringing to Life" means putting a piece of land to use by an individual and acquiring proprietary rights over it[28]. Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun, yang bisa menjadikan tanah tersebut hidup[29] yakni dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.
The Majelle mendefinisikan al-mawat sebagai "Those lands which are not mulk property of anyone... the localities (of which)... are far from the distant parts of the village or town, that the sound of a person who has a loud voice cannot be heard from the houses which are in the extreme limit of the town or village.” [30]
Secara terminologi, ada beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama’ fiqh tentang ihya’  al-mawat :
a.    Menurut Ulama’ Hanafiyah adalah
اصلاح الارض لايملكها ولاينفع بها احد وتعذر زرعها لانقطاع الماء عنها من العامر

Artinya:  Penggarapan lahan yang belun dimiliki  dan digarap orang lain karena ketiadaan irigasi serta  jauh dari pemukiman.
b.  Menurut ulama’ Malikiyah adalah:
ما سلم عن اختصاص باحياء (اى بسبب احياء ه بشيئ) او بسبب كونه حريم عمارة كمحتطب او مرعى لبلد
Artinya: Tanah atau lahan yang selamat dari pengelolahan (sebab mengelola  lahan itu dengan sesuatu), atau sebab adanya penghalang untuk mengelola lahan tersebut.
c.    Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض ما لم يكون عامرا ولا حريما لعامر قريب من العامراو بعد       
Artinya: Penggarapan tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari  pemukiman maupun dekat.
d.    Menurut ulama’ Hanabilah adalah:
الارض التى ليس لها مالك ولابها ماء ولا عمارة ولا ينفع بها
Aritnya: Lahan atau tanah yang tidak ada pemiliknya, tidak ada airnya (gersang), tidak dikelola, serta tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
Dalam kitab Fiqh Sunnah  karya Sayid Sabiq tertulis: [31]
احياء الموات معناه إعداد الأرض الميتة التى لم يسبق تعميرها و ﺗﻬﯿﺌ و جعلها صالحة للإنتفاع بها فى السكنى و الزرع و نحو ذلك.  

Dari pengertian di atas jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki sebidang tanah, manakala tanah itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki seseorang.
Al-Quran tidak memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara jelas dan rinci. Secara umum al-Quran menganjurkan setiap muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani maka  bercocok tanam di lahannya. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Jummu’ah:
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠ [32]

Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Dalam hal menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam karena menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat semakin meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat diatas  menganjurkan untuk memberdayakan diri dan lingkungan tentunya ini termasuk pada aktifitas pemberdayaan sumberdaya alam dengan menghidupkan lahan kosong.
2.      Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain[33].
Hadits yang berkenaan dengan ihya’ al-mawat adalah
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا (رواه البخارى)    [34]
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musa bin Daud, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Abi Al-Aswad dari 'Urwah dari Aisyah berkata: Rasulullah Shallalahu'alaihiwasallam pernah bersabda: "Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang belum ada seorangpun yang memilikinya maka dia lebih berhak dengan kepemilikannya." (H.R Bukhari)
Pada riwayat yang lain dinyatakan bahwa siapa saja yang mengolah lahan mati dan terbengkalai maka lahat tersebut menjadi miliknya. Sebagaimana yang diriwayatkan oelh Jabir:
عن جابر رضى الله, ان النبي صلى الله عليه وسلم, قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد والترمذى) [35]
Artinya:   Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)
Wahbah menjelaskan bahwa hadits di atas menunjukkan kebolehan menghidupkan tanah mati yang tidak ada pemiliknya, dan tidak sedang dimanfaatkan orang lain. Dengan demikian siapapun boleh menghidupkannya dengan menyiram, mengolah, dan menanamnya, atau mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat pagar di sekitar tanah tersebut. Hadits ini juga menjelaskan bahwa syara’ mendorong untuk menghidupkan lahan tidur karena manusia sangat membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian, perindustrian, dan lapangan perekonomian lainnya[36].
Dalam hadits tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal apa saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk dihidupkan, dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan Allah SWT. dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia[37]
Dalam hal ini tidak ada bedanya seorang Muslim dengan kafir dzimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintahan Islam) karena hadits-hadits tersebut bersifat mutlak. Lagi pula, harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi menjadi miliknya dan tidak bisa dicabut darinya. Ketentuan ini berlaku umum. Hanya saja, kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan cara digarap/dimanfaatkan. Abu Yusuf dalam al-Kharaj menuturkan riwayat dari Said bin al-Musayyab. Disebutkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah berkata:
   و ليس لمحتجر حق بعد ثلاث سنين”Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.” [38]

3.       Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
Menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun cara ihya’ al-mawat adalah sebagai berikut[39]:
a)        Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan;
b)        Menanam, cara ini dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c)        Menggarisi atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d)        Menggali parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.

4.      Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun obyek yang berkaitan dengan ihya al-mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam. "Nothing is lawful to any person but what is permitted by the Imam. [40] Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara.
Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah SAW, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul SAW. agar memberikannya[41].
Tidak semua lahan kosong yang boleh dijadikan obyek ihya’ al-mawat. Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya[42].

5.      Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu: [43]
a.     Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
b.     Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.
   Hafidz Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki tanah kosong dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh memilikinya di negara musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas-bekas pemilikan, tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri Islam maka tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada di negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh[44].
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah[45]:
a.      Pemilikan lahan itu.
            Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan, Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
b.    Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
            Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim. Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila yang menggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10% dari hasil lahan garapan itu.
c.    Seorang telah menggarap sebidang lahan
            Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum boleh.
           
6.      Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
            Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup tiga hal, yaitu[46] : orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
a.        Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong. Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim.
b.      Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
            Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara islam maupun bukan,  bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
c.       Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan   
Menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu, menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah harta  yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah SAW, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.

7.      Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut[47]. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.
Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa  yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa). Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya. Yahya meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Hak kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.” [48]. Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan keuangan Islam awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau  membangunnya untuk kepentingannya[49].
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak tanah.
Di Indonesia kewenangan untuk membuka lahan tidur diberikan kepada setiap individu atau badan hukum selama pembukaan lahan tersebut mendapatkan izin dari penguasa setempat baik dari camat, bupati, atau gubernur ditingkat propinsi. Untuk tanah yang berukuran luas, maka harus mendapatkan izin langsung dari Badan pertanahan Nasional. Untuk lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak dan kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut, maka dalam hukum Islam lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan untuk dimiliki.
Hal yang sama juga dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang berfungsi sosial tidak  dapat dimiliki oleh siapa pun selama tanah itu masih difungsikan untuk kebutuhan sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak mengenal kepemilikan tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam masyarakat adat yang disebut dengan hak ulayat[50]. Kepemilikan tanah dalam Islam lebih cenderung bersifat individual. UUPA sebenarnya lebih cenderung mengarahkan kepemilikan tanah yang bersifat kolektif tersebut semakin dikurangi, oleh karena itulah pemerintah menganjurkan pemerintah lokal untuk tidak menghidup-hidupkan kembali kepemilikan tanah bersifat kolektif tersebut (tanah ulayat).
Untuk pembukaan lahan baru yang belum pernah dimiliki seseorang atau badan hukum, maka kewenangan untuk membuka lahan baru tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja akan tetapi harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat yaitu kepada Gubernur untuk tingkat propinsi, Wali Kotamadya/Bupati untuk tingkat Kotamadya/Kabupaten, dan Camat Kepala Wilayah untuk tingkat kecamatan[51].



8.      Ihya’ Al-Mawat Dalam Masalah Pertanian
Dalam masalah produksi, termasuk di bidang pertanian, Islam tidak menyinggung masalah bagaimana tatacara memproduksi kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan kekayaan. Telah diriwayatkan, bahwa Nabi SAW. pernah bersabda adalah masalah penyerbukan kurma, “Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan) dunia kalian.” Juga terdapat riwayat, bahwa Nabi SAW. pernah mengutus dua orang Muslim untuk berangkat ke pandai besi Yaman demi  mempelajari industri persenjataan.  Semua ini menunjukkan, bahwa syariah telah menyerahkan masalah memproduksi harta kekayaan tersebut kepada manusia, agar mereka memproduksinya sesuai dengan keahlian dan pengetahuan mereka.
Demikian pula dalam bidang pertanian. Pilihan tatacara pengadaan dan peningkatan produksi pertanian merupakan hal yang mubah untuk ditempuh. Hanya saja,  pilihan cara peningkatan produksi itu harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte asing, serta pilihan yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan.  Untuk itu peningkatan produksi dalam pertanian biasanya menempuh dua jalan,  intensifikasi dan  ekstensifikasi, sebagaimana telah diujelaskan sebelumnya.
Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu petani dalam hal pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk serta sarana produksi pertanian lainnya.  Sekali lagi,  pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu intervensi dalam pengelolaan pertanian negara oleh pihak asing dapat dihindarkan.
Adapun ekstensifikasi pertanian dicapai dengan[52]: Pertama, mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah mati.  Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan pasang surut dan sebagainya, sesuai dengan pengaturan negara. Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang serta  tidak tampak ada bekas-bekas apa pun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain. Menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah mati, jika telah telah dihidupkan oleh seseorang, menjadi milik yang bersangkutan. Syariah telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya.
Kedua, setiap orang yang memiliki tanah diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi modal dari Baitul Mal sehingga orang yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal.  Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikan tanahnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil dan diberikan kepada yang lain. 
Kebijakan Islam dalam distribusi lahan pertanian tentu amat erat kaitannya dengan tanah. Tanah merupakan faktor produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling serius para ahli ekonomi, karena sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh faktor produksi lainnya. Sifat itu antara lain tanah dapat  memenuhi kebutuhan pokok dan permanen manusia, tanah kuantitasnya terbatas dan tanah bersifat tetap.  Sifat lainnya adalah tanah bukan produk tenaga kerja. Segala sesuatu yang lain adalah produk tenaga kerja kecuali tanah. Di dalam masyarakat, permasalahan tanah juga telah menjadi penyebab pertentangan, pertikaian dan pertumpahan darah. Tanah juga memberikan andil besar dalam perubahan struktur dan sistem masyarakat. Sistem ekonomi Kapitalisme maupun Sosialisme dalam hal ini sedikit banyak dipicu karena kecemburuan sosial terhadap orang-orang yang memiliki tanah karena hak-hak istimewa dan menjadikannya sebagai alat eksploitasi masyarakat.
Dari sudut sejarah, status kepemilikan tanah terus berkembang mengikuti kompleksitas masyarakat. Pada masa kehidupan berburu dan meramu, kepemilikan atas tanah bukanlah termasuk raison d’etre oleh masyarakat saat itu. Ketika masyarakat mulai memasuki tahap awal dunia pertanian, kepemilikan atas tanah mulai melembaga. Namun, tipe perladangan berpindah yang diterapkan masyarakat primitif waktu itu belum menimbulkan masalah dalam kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah saat itu dianggap sebagai kepemilkan sementara karena mereka meninggalkan tanahnya setelah selesai dipergunakan. Baru pada tahap pertanian menetap dan populasi masyarakat semakin bertambah, masyarakat mulai mencintai tanah dan berusaha menguasai tanah secara permanen. Pada periode ini, meski masih dianggap sebagai milik masyarakat, tanah dibagi sama rata pada kepala keluarga dan berlaku untuk jangka waktu tertentu. Lalu datanglah suatu masa ketika pembagian secara periodik tidak dipakai lagi. Mereka yang telah mengolah tanahnya tidak mau tunduk lagi pada tujuan komunitas. Mereka mempertahankan tanah garapannya dan memunculkan lembaga kepemilikan keluarga. Sistem ini terus berkembang menjadi kepemilikan bebas. Tidak hanya bebas untuk memiliki, namun juga bebas untuk memindahtangankan kepemilikan kepada pihak lain.
Pemilikan tanah dianggap suatu tipe kepemilikan yang par excellence (paling istimewa) di negara-negara kapitalis. Tanah boleh dimiliki oleh individu seluas-luasnya, bahkan menyewakannya kepada masyarakat dengan harga sewa dan harga jual yang dilakukan sewenang-wenang. Akibatnya cukup serius, harga bahan pokok naik dan inflasi terjadi. Bagi negara, tanah menjadi lahan subur bagi perolehan pajak. Konsekuensinya, dalam sistem kapitalis, penyewaan tanah akan memberikan nilai tambah dan karena itu dapat dikenakan pajak tinggi. Namun, pemilikan atas secara individual justru tidak diakui dalam masyarakat sosialis. Para petani dan kaum buruh dilarang mengambil nilai tambah dari hasil kerjanya. Status mereka pun semata-mata sebagai buruh tani. Sistem ini secara faktual menimbulkan ketimpangan ekonomi dan menjadikan negara-negara sosialis gagal mencapai swasembada pangan pada pertengahan abad kedua puluh. Mereka masih bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Hingga kini persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama perekonomian. Persoalan tentang kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab oleh ekonomi kapitalis dan sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu dijawab oleh sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi. Islam secara tegas menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di antara seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun demikian, Islam juga tidak mengizinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar kemampuan untuk mengelolanya. Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk dalam kategori kepemilikan individu apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya, seperti terdapat kandungan bahan tambang atau dikuasai oleh negara. Ketika kepemilikan ini dianggap absah secara syariah, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelola tanahnya maupun memindahtangankan tanahnya melalui pewarisan, jual-beli, hibah, wakaf, ihya’ al-mawat, tahjir, dan iqtha’.
Salah satu masalah dalam pertanian di Indonesia adalah masalah lahan pertanian. Menurut Anton Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia. Dua diantaranya adalah luas kepemilikan lahan petani sempit sehingga sulit menyangga kehidupan keluarga petani, dan masih banyaknya lahan tidur (idle land). Sebagai contoh, data menunjukkan umumnya para petani Indonesia tergolong petani gurem dengan luas garapan kurang dari 1 ha. Menurut hasil sensus 1983, petani Indonesia rata-rata memiliki lahan 0,98 ha/petani. Namun, menurut sensus 2003 petani Indonesia hanya memiliki 0,7 ha/petani. Bahkan di Pulau Jawa petani hanya memiliki 0,3 ha dan luar Jawa memiliki 0,8 ha/petani (Sinar Harapan, 15 Juli 2011). Solusinya? Ada yang menggagas, agroindustri pedesaan harus dibangun untuk merasionalisasi (mengurangi) jumlah petani yang memiliki lahan sempit. Ini artinya, petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah mendasarnya sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit. Solusi ini juga jelas tidak menggunakan syariah Islam yang sebenarnya telah mengatur bagaimana seseorang dapat memiliki lahan. Contoh lain, masalah lahan tidur. Solusinya kadang hanya dijelaskan secara global saja, misalnya dengan memanfaatkan lahan tidur untuk memberdayakan masyarakat. Padahal syariah Islam punya solusi untuk mengatasi lahan-lahan tidur yang ditelantarkan oleh pemiliknya.
Jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian diterapkan, masalah-masalah lahan di Indonesia kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit, dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum ihya’ al-mawat. Seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim akan mendapat kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme ihya’ al-mawat. Dengan kata lain, sistem ekonomi Islam telah menetapkan mekanisme lainnya dalam penguasaan tanah secara khusus, yaitu menghidupkan tanah mati dan pemberian oleh negara. Karena itu, hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan Islam memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan sistem ekonomi lainnya.

D.    Tinjauan Fiqh Lingkungan bagi Pelaku Pembakaran Hutan
Islam memproyeksikan bahwa manusia mempunyai peranan penting dalam menjaga kelestarian alam (lingkungan hidup). Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhan. Manifestasi dari keimanan seseorang dapat dilihat dari perilaku manusia, sebagai khalifah terhadap lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang sangat detail terkait pemeliharaan dan kelestarian alam.
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk dan hamba Tuhan, sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan di muka bumi. Manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba (beribadah) kepada Sang Pencipta. Tauhid merupakan sumber nilai sekaligus etika yang pertama dan utama dalam teologi pengelolaan lingkungan. [53]
Al-Qur'an al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kauniyyah, dan tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal tersebut. Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.[54]
Menurut Quraish Shihab, meskipun terdapat sekian banyak ayat-ayat tersebut, tidak menjadi jaminan bahwa al-Qur’an sama dengan kitab ilmu pengetahuan atau bertujuan menguraikan hakekat-hakekat ilmiah. Ketika al-Qur’an memperkenalkan diri sebagai tibyanan likulli syay’i (QS/16: 89) bukan dimaksudkan untuk mengklaim bahwa dia menjelaskan segala sesuatu, tetapi lebih menggam¬barkan bahwa dalam al-Qur’an terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[55]
Masalah kehidupan di dunia (العالم), disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 112 kali.[56] Dunia dalam bahasa Arab artinya dekat,[57] adapula yang mengartikan hina.[58] Dikatakan “dekat” karena umur dunia ini tidak lama. Dikatakan “hina” karena dunia ini tempat kehinaan dan kesengsaraan, penyebab dari segala malapetaka.
Karena kehidupan di dunia sifatnya sementara, maka Islam dengan segala bimbingan dan arahannya mengaharapkan adanya keseimbangan jasmani dan rohani. Itu disebabkan karena kehidupan di dunia merupakan jembatan atau kendaraan menuju akhirat sebagai kehidupan yang abadi.[59] Dalam QS al-Ra’d/13: 26 Allah swt. ber-firman :
اَللهُ يَبْسُطُ الرِزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ، وَفَرِحُواْ بِالحَيَوةِ الدُنْيَا وَمَا اْلحَيَاةُ الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ اِلاَّ مَتَاعٌ.
Terjemahnya :
Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).’[60]
Eksistensi kehidupan di dunia sebagaimana dalam ayat di atas, tentu akan mendorong manusia untuk menyediakan bekal (beramal), mengerjakan perbuatan baik yang akan diterima pahalanya di akhirat kelak yang sifatnya abadi. Jadi, hidup ini amat baik dan berharga untuk dipergunakan dengan baik-baiknya dalam arti; jangan disia-siakan dan terbuang percuma.
Al-Qur'an tidak melarang manusia untuk merasakan keuntungan dan kebahagiaan di dunia. Hanya saja, diingatkan jangan sampai me-lampaui batas sehingga merugikan diri sendiri atau orang lain. Pem-batasan ini perlu, manusia jangan sampai salah menpergunakan kekayaan, kekuasaan dan pengetahuan di dunia ini, dengan wahana yang telah berlumur dosa dan maksiat bisa membawa kepada ke-runtuhan, kehancuran dan kekacauan bagi mereka sendiri.
Mata pencaharian dan pekerjaan duniawi bukan sekedar masalah yang mubah, tetapi dituntut juga wajib, tergantung kepada masyarakat. Mencari pencaharian di dunia dengan berbagai macam ragamnya, ada yang mubah di satu sisi dan ada pula yang wajib di sisi lain. Umpamanya; siapa yang memanfaatkan kerja orang lain dalam masalah makan, pakaian dan tempat tinggalnya maka dia harus berbuat pula bagi orang lain itu dengan kadar yang sama (seimbang dalam menerima dan memberi). Jika tidak dilakukannya seperti itu, berarti dia adalah orang zalim.” Siapa yang ridha terhadap sesuatu ynag sedikit dari pekerjaannya, maka dia tidak menerima keduniaan kecuali hanya sedikit pula.
Oleh karena itu, apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan firman Allah swt. maka ditemukan korelasinya dalam QS Al-Baqarah/2: 22 sebagai berikut;
ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فِرَٰشٗا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءٗ وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ رِزۡقٗا لَّكُمۡۖ فَلَا تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ أَندَادٗا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٢

Terjemahnya:
‘Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan dia menjadikan air hujan dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu meng-adakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui’.[61]
Kata lakum (لكم) dalam ayat di atas, menunjukkan arti manfaat. Maksudnya, untuk dimanfaatkan bagi setiap orang. Antara lain pemanfaatan itu, ada yang berhubungan dengan masalah makan dan ada pula yang berhubungan dengan masalah keperluan sehari-hari seperti pakaian, perumahan dan sebagainya.[62] Lebih lanjut al-Marâgiy me-nyatakan bahwa adanya hujan yang diturunkan Allah swt. mengakibat-kan hidupnya tumbuh-tumbuhan di tanah (sawah) tersebut. Dari tumbuh-tumbuhan yang hidup itu, membuahkan hasil yang sangat bermanfaat bagi manusia.[63]
Adapun penjelasan dari iman al-Syaukani, beliau menyatakan bahwa; yang dimaksud pemanfaatan pada ayat di atas, bukan satu macam pemanfaatan saja, misalnya makan bahkan termasuk semua yang layak untuk dimanfaatkan dari segala seginya. Umpamanya, sekalipun menurut sunnah tanah itu haram dimakan, namun juga bermanfaat untuk hal-hal yang lain. Dan sebagai bekal pemanfaatan ini, manusia dibumi ini dan kekuatan yang dimilikinya serta pemanfaatan hasil bumi itu, selalu memerlukan penjagaan hidupnya, kekuatannya dan keaktifannya dengan makanan, obat-obatan, pakaian tempat tidur dan perumahan, juga perlu sarana, alat dan sebagainya.[64]
Oleh karena itu, manusia berhak menguasai sebagian tanah untuk ditanami tumbuh-tumbuhan, mereka berhak menguasai pohon-pohonan, memproduksi tambang-tambangnya seperti minyak dan sebagainya. Atau mendirikan rumah, gedung, pertokoan, pabrik dan lain-lain. Yang demikian itu, karena Allahlah yang menciptakan langit dan bumi serta seluruh isinya adalah untuk kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Bumi Allah itu luas maka apa yang diberikan oleh-Nya hendaknya dimanfaatkan. Dalam QS al-Nisa/4: 97.
.. قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ
Terjemahnya :
Para malaikat berkata; “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?[65]
Ayat di atas, memberikan pemahaman bahwa bumi ini sangat luas dan bagi manusia adalah tempat mereka berhijrah dalam arti mereka dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk melangsungkan hidupnya.[66] Jadi, dengan informasi bahwa bumi ini sangat luas maka tentu manusia secara bebas berdiam dan beraktifitas di dalamnya.
Menurut Nurcholish Madjid, dengan berdiamnya manusia di bumi ini mereka digugat untuk tidak hanya menetap di satu atau di satu wilayah saja, melainkan mereka harus berpindah-pindah (transmigrasi) untuk berbuat sesuatu yang bakal mengangkat harkat dan martabatnya yang diperoleh dari iman dan bakti kepada Tuhan yang Maha Esa.[67]
Dapat diketahui bahwa pada dasarnya seluruh yang ada di bumi ini boleh dimanfaatkan. Tidak ada yang berhak untuk menghalanginya kecuali atas izin Allah swt. Dalam hal pemanfaatan itu, manusialah yang diberi hak otoritas disebabkan mereka menyandang predikat khalîfah.
Menurut M. Quraish Shihab, khalifah berarti berarti “peng-ganti”. Pada awalnya diartikan sebagai “di belakang”, kemudian se-suatu yang berada di belakang adalah pengganti. Selanjutnya khalifah diasosiasikan dengan pemimpin yang datang sesudah Rasulullah saw. wafat. Khalifah yang dimaksud adalah khulafaur rasyidin.[68] Tetapi menurut Abd. Muin Salim, khalifah yang dimaksud di sini adalah semua manusia yang telah dikodrati untuk mengurus bumi ini.[69] Secara tegas dinyatakan bahwa wilayah kekhalifahan manusia adalah bumi.[70]
Seluruh makhluk hidup termasuk hewan-hewan dapat berdiam di atasnya. Di atas permukaan bumi ini lah Allah swt. menumbuhkan berbagai tumbuhan untuk bahan makanannya. Jadilah bumi ini tempat tinggal yang melindunginya dari hawa panas atau dingin atau sebagai tempat menguburkan bangkai-bangkai tubuh manusia itu sendiri.
Dengan beraktifitasnya semua makhluk, khususnya manusia, maka eksistensi bumi inilah dapat dijadikan sebagai tempat isterahat yang nyaman, tidur dan pindah tempat untuk mengusahakan pekerjaan serta kehidupan yang lebih baik.
Seandainya bumi ini dalam keadaan kering, maka batu-batu semakin keras, tanam-tanaman yang tidak tumbuh yang mengakibatkan tidak menbawa manfaat bagi manusia. Oleh karena itu, penciptaan bumi ini telah dilengkapi dengan segala fasilitas dan daur kosmologi yang tertata baik memang Allah swt. peruntukkan kepada manusia.[71]
Akan tetapi ketika manusia mulai melakukan aktifitas pemenuhan kebutuhan hidupnya di bumi ini, mereka mulai melampaui batas. Dalam memenuhi kebutuhan yang tak terbatas ini manusia mulai melakukan ekspoitasi terhadap alam secara sangat luar biasa. Proses eksploitasi ini berkembang semakin jauh seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia..
Alam seakan akan tidak lagi bias memenuhi kebutuhan dan keinginaan manusia. Sehingga dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut manusia mengabaikan banyak hal. Mereka abai terhadap pentingnya menjaga kelestarian ekosistim yang ada. Sebab mereka tak menyadari bahwa merusak ekosisitim berarti secara tidak langsung kita sudah merusak pola hubungan simbiosis mutualisme antara manusia dana lam. Bias di pastikan ini akan menjejaskan manusia itu sendiri.
Atas keprihatinian inilah maka muncul pembahasan tentang fiqh lingkungan dalam persoalan kehidupan manusia. Bagaimana upaya fiqh lingkungan dalam memformulasikan hokum-hukum seputar lingkungan hidup yang di ambil dari nash-nash al-Quran dan hadits Rasulullah SAW.

1.    Fiqh Lingkungan (Fiqh Bi’ah) 
Rusaknya alam  yang di akibatkan bencana  semakian hari semakin dekat mengancam jiwa manusia. Secara nasional, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, kekeringan dan bayaknya virus dan penyakit merupakan fenomena yang akrab dengan penduduk bangsa Indonesia. Sementara itu, secara global telah terjadi perubahan drastis wilayah lingkungan hidup, mulai dari kerusakan ozon (lubang ozon) pemanasan global, efek rumah kaca, perubahan ekologi, dan sebagainya. Belakangan ditemukan pula banyaknya kasus daratan pulau yang lenyap dari peta dunia karena naiknya permukaan laut serta kasus kepunahan spesies binatang tertentu, seperti punahnya harimau jawa.[72] Krisis lingkungan ini pada gilirannya akan mengancam eksistensi bumi sebagai tempat tinggal manusia dan makhluk lain.Umat Islam yang umumnya tinggal di negara-negara yang berkembang tidak luput dari ancaman krisis lingkungan ini, bahkan persoalan cenderung lebih kompleks.
Pasca kolonialisme dan imperialisme Barat negara-negara muslim berusaha bangkit menemukan identitas mereka. Masalahnya, sebagai negara berkembang yang baru saja ingin bangkit, negara-negara muslim harus berhadapan pada dualisme keadaan antara pembangunan ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi kekayaan sumber daya alam dan industrialisasi yang sangat tidak terkendali, dan keadaan lingkungan yang telah sangat cepat berubah sehingga dikhawatirkan menimbulkan bencana yang akan menimpa.[73]
Jika diamati secara lebih cermat, menurut sebagian  pakar hukum Islam yang  peduli terhadap issue lingkungan setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan  lahirnya kriris lingkungan ini. Pertama, permasalahan fundamental-filosofis. Permasalahan ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan posisi manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang mengganggap dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung  bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Paham ini ditunjang dengan paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan.[74]
Kedua, permasalahan politik ekonomi global. Sebagai imbas paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme,  negara-negara maju (Barat) telah mendirikan pabrik-pabrik industri yang telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Permasalahan kemudian muncul ketika negara-negara Barat menuntut negara-negara dunia ketiga untuk mengambil peran positif dalam memelihara lingkungan ini, terutama menetralisir kasus kebakaran hutan, sementara negara-negara miskin dan berkembang memandang Barat sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap krisis lingkungan global.
Ketiga, permasalahan- pemahaman keagamaan. Di kalangan umat Islam, masih terdapat golongan yang menganut pagam teologi yang bercorak teosentrik. Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir dan sebagainya sebagai taqdir Tuhan, dan tidak memandang krisis ekologis ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial serta kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah).
Menurut WHO (World Health Organization) kesehatan di artikan suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak pernah lepas dari lingkungan. Aktivitas manusia dipengaruhi oleh lingkungan sebagai penunjang kehidupan, baik lingkungan fisik, biologis, ataupun lingkungan sosial. Hubungan interaksi antara manusia dan lingkungan jika tidak berjalan dengan baik dan seimbang akan menimbulkan bahaya lingkungan yang selanjutnya menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan kesehatan lingkungan. Pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan lingkungan secara tuntas. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Perkembangan kota yang cepat membawa dampak pada masalah lingkungan. Perilaku manusia terhadap lingkungan akan menentukan wajah kota, sebaliknya lingkungan juga akan mempengaruhi perilaku manusia. Lingkungan yang bersih akan meningkatkan kualitas hidup. Perkembangan kota akan diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk, yang juga akan berakibat pada masalah-masalah sosial dan lingkungan.[75]
Dalam bidang fikih, watak teosentrik tampak pada segolongan orang yang memahami fikih hanya sebatas ibadah mahdloh seperti salat, saum, zakat, dan haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan fenoeman sosial, seperti fikih lingkungan masih terabaikan. Padahal dalam konteks krisis ekologis saat ini, fikih lingkungan menjadi sangat urgen. Melalui fikih lingkungan, perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa membuang sehelai sampah ke tempatnya atau menyingkirkan duri dari jalanan itu adalah ibadah. Melalui fikih lingkungan, juga perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa berjualan di atas trotoar itu termasuk mengambil hak para pejalan kaki yang diharamkan agama dan sebagainya.[76] Agama selama ini dipandang hanya berkutat pada ranah ritus dan simbol belaka dan cenderung mengabaikan realitas sosial yang tengah berkembang.[77] Ketika kemudian Islam dihubung-hubungkan dengan upaya pmeliharaan lingkungan, sebagian  orang memandang sebelah mata. Padahal umat Islam (ulâma) memiliki peranan penting dalam membangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya konservasi lingkungan hidup, antara lain dengan menggunakan pendekatan fikih.[78]
Masalah lingkungan telah ada di hadapan kita, berkembang sedemikian cepatnya, baik di tingkat nasional maupun internasional (global dan regional) sehingga tidak ada suatu negara pun dapat   terhindar daripadanya.[79] Masalah ini bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan sosial-budaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif fikih lingkungan (fiqh al-bîah)[80], karena persoalan ekologi berkaitan dengan problem kemanusiaan secara keseluruhan. Fikih lingkungan (fiqh al-bîah) merupakan terobosan baru bagi upaya konservasi dan restorasi lingkungan hidup dengan perspektif keagamaan.
Perspektif ini sekaligus menegaskan akan pentingnya pendekatan agama, termasuk produk hukumnya, dalam rangka konservasi dan restorasi lingkungan sebagai suplement bagi pendekatan disiplin ilmu lain yang telah ada. Selanjutnya kata "lingkungan", sebagi terjemahan dari kata al-bîah dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata "fiqh" yang secara istilah berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at Islam mengenai perbuatan-perbuatan manusia, yang mana pengetahuan tersebut diambil dari dali-dalil yang bersifat at-tafshiliyyah.[81] Oleh karenanya, fikih lingkungan yang dimaksud adalah pengetahuan atau tuntutan syar'i yang konsen terhadap masalah-masalah ekologi atau tuntutan syar'i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap perilaku manusia yang cenderung memperlakukan lingkungan secara destruktif dan eksploitatif. Di sini fikih lingkungan harus mengatur tentang kaidah baik-buruk atau halal-haram yang akan menjadi patokan penilaian bahwa sebuah aksi itu baik atau buruk. Dengan cara ini, umat Islam akan mampu menghadirkan sebuah pendekatan religius yang mendasarkan diri pada Qur’an dan Hadits dalam memandang  persoalan lingkungan hidup. Umat Islam sekaligus dapat meyakinkan dunia bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan dan terorisme dan tidak apatis terhadap persoalan lingkungan, tetapi ia memiliki view point yang berbasis al-Qur’an-al hadist mapun fikih untuk menyelesaikan persoalan lingkungan hidup.[82]
Pencemaran alam dapat menjadi faktor pembatas pada populasi manusia. Pencemaran alam berpengaruh pada pencemaran udara, kesehatan, dan pertumbuhan tanaman yang juga akan menghambat perkembangan populasi manusia. Permasalahan ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan posisi manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang mengganggap dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Paham ini ditunjang dengan paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan.[83] Di samping itu problematika pemahaman keagamaan menjadi faktor pendorong akan minimnya kesadaran manusia tentang menjaga ekosistem. Dikalangan umat Islam, masih terdapat golongan yang menganut faham teologi yang bercorak teosentrik. Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir dan kerusakan lingkungan sebagai taqdir Tuhan, dan tidak memandang krisis ekologis ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial serta kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah). Padahal Tuhan sendiri menyuruh manusia untuk memahami fenomena alam dan fenomena sosial berdasarkan informasi ilmu pengetahuan serta hidup berdampingan secara harmoni bersama alam dengan jalan menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya. Dalam bidang fikih, watak teosentrik ini juga tampak pada segolongan orang yang memahami fikih hanya sebatas ibadah mahdloh seperti salat, saum, zakat, dan haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan fenomana sosial, seperti fikih lingkungan masih terabaikan.
Diantara sumber-sumber metodologi pengembangan hukum Islam, mashlahah merupakan salah satu alat metodologis yang dapat dijadikan pegangan dalam mengembangkan fikih lingkungan. Konsep mashlahah ini pada mulanya dijadikan dasar bagi para fuqaha untuk merumuskan konsep maqâshid asy-syarî‘ah yang akan menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Berbeda dengan pendekatan kebahasaan terhadap sumber hukum Islam yang menitikberatkan kepada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui maqâshid asy-syarî‘ah kajian lebih menitikberatkan pada upaya melihat nilai-nilai yang berupa kemashlahatan manusia dalam setiap taklîf yang diturunkan Allah.[84]
Berdasarkan pemahaman al-Syatibi terhadap ayat-ayat al-Quran, ia menyimpulkan bahwa maqâshid asy-syarî‘ah dalam arti kemashlahatan dapat ditemukan dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan artinya apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas dimensi kemashlahatannya maka ia dapat dianalisis melalui maqâshid asy-syarî‘ah yang dapat dilihat dari ruh syarî‘ah dan tujuan umum dari pewahyuan agama Islam. Menurut al-Syatibi, hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syarî‘ah adalah mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok; agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl), akal (al- ’aql), dan harta (al-mâl)
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok tersebut, al-Syatibi membagi tingkat maqâshid atau tujuan syari‘ah kepada maqâshid ad-dharûriyat, maqâshid al-hâjiyyat dan maqâshid at-tahsîniyyat. Maqâshid ad-dharûriyyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur dalam kehidupan manusia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan.[85]  seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya.
Namun demikian, baik al-Syathibi tidak menyinggung hifzh al-bi’ah atau hifzh al-‘alam (memilihara lingkungan) sebagai bagian dari maqashid asy-syari’ah. Syariat memang tidak membahas secara langsung isu-isu tentang pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan, sementara fikih sendiri merupakan ilmu pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana keputusan manusia yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat dibenarkan dan mana yang tidak. Fikih mempertimbangkan kepentingan umat manusia (mashalih) yang terdiri atas lima hal: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl), akal (al-‘aql), dan harta (al-mal).[86]
Secara tematik (maudlu’i)  ayat-ayat al-Quran serta hadits-hadits secara langsung atau tidak langsung, eksplisit atau implisit, memberikan hak kepada manusia sebagai khalifah Allah untuk memanfaatkan alam demi memenuhi kebutuhan hidupnya, dan pada saat yang sama memerintahkan manusia untuk memeliharan dan menjaga keseimbangan alam. Karena itu, memelihara alam semesta (hifzh al-’alam) merupakan pesan moral yang bersifat universal yang telah di sampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup merupakan bagian integral dari tingkat keimanan seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang perlu di sampaikan mengenai pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) Pertama, pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) dipandang sebagai bagian dari maqâshid asy-syarî‘ah, di samping memelihara agama (ad-dîn),  jiwa (an-nafs),  keluarga (an-nasl),  akal (al-’aql), dan  harta (al-mâl). Dengan demikian, kebutuhan dasar manusia tidak lagi terdiri dari lima hal pokok (al-kulliyyat al-khamsah) melainkan enam (al-kulliyyat al-sittah) Kedua, tanpa merubah struktur (al-kulliyyat al-khamsah) sebagaimana digagas al-Syathibi, namun dapat digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihî fahua wâjib” (sesuatu yang menjadi mediator pelaksaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib).[87] Dengan argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) tidak termasuk dalam kategori al-kulliyyat al-khamsah, tetapi al-kulliyyat al-khamsah itu sendiri tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) diabaikan. Sebagai contoh upaya memelihara jiwa (an-nafs) tidak akan berhasil dengan baik apabila kita mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam), upaya memelihara keluarga (an-nasl) tidak berhasil dengan sempurna apabila kita mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) dan seterusnya.
Fikih lingkungan tumbuh dengan kompleksitas problem ekologi secara multidisipliner. Berbeda dengan fiqh al-zakâh dan fiqh al-hajji misalnya, fikih lingkungan dapat menjadi disiplin ilmu keislaman yang “mengekspansi” seluruh bidang-bidang kehidupan manusia dengan alam. Menurut Yusuf Qaradhawi, menjaga lingkungan (hifzh al-bi`ah) sama dengan menjaga agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek agama, jiwa, akal, keturunan dan harta rusak, maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda.[88] Oleh sebab itu, dislokasi fikih lingkungan atau fiqh al-bîah bisa menjadi oportunitas yang konfrontatif jika diikuti oleh paradigma epistemologi yang komprehensip dan konseptualisasi yang bisa dipertanggung jawabkan.
Fiqh al-bî’ah adalah fikih ling- kungan yang merupakan bagian dari persoalan fikih kontemporer yang diorientasikan untuk menyikapi berbagai isu lingkungan dari perspektif yang lebih praktis dengan memberikan patokan-patokan hukum dan regulasi yang berkaitan dengan lingkungan. Pendekatan  fikih lingkungan  memiliki  ke- unggulan dibanding pendekatan-pendekatan lain,  semisal  filsafat  lingkungan,[89]   karena umat Islam memerlukan aturan yang lebih praktis dengan bukti pola pikir bayâni (seperti kecenderungan nalar fikih) yang basisnya teks (nashsh) lebih dominan daripada pola-pola pikir  lain  (‘irfânî dan  burhânî).[90]  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fiqih al- bî’ah adalah  kerangka  berpikir  konstruktif hukum Islam dalam memahami lingkungan alam makrokosmos maupun mikrokosmos sebagai tempat hidup dan kehidupan manusia.
Sayyed Hossein Nasr memandang krisis lingkungan atau ekologi sebagai akibat dari krisis spiritual manusia modern. Manusia modern telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya telah tereduksi dan ter- perangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi. Nasr menggunakan dua istilah pokok yaitu axis dan rim atau center dan periphery. Menurutnya, manusia modern telah berada dipinggiran (rim/periphery) eksistensinya dan bergerak menjauhi pusat (center/axis)  eksistensinya.[91]
Alquran menginformasikan kepada manusia bahwa bencana-bencana alam seringkali diawali dengan terjadinya penyimpangan perilaku manusia di dalam masyarakat. Dengan kata lain, menurut Nasaruddin Umar, bahwa perilaku makrokosmos seringkali berbanding lurus dengan perilaku mikrokosmos.[92]
Lebih lanjut Nasarudin mengidentifikasi beberapa contoh bencana alam yang di- informasikan dalam Alquran, seperti umat Nabi Nuh yang keras kepala dan diwarnai berbagai kezhaliman (Q.s. al-Najm [53]: 52), dihancurkan dengan banjir besar (Q.s. Hûd [11]: 40). Umat Nabi Syu’aib yang penuh dengan korupsi dan kecurangan (Q.s. al-A’râf [7]: 85, Hûd [11]: 84-85) dihancurkan dengan gempa yang menggelegar dan mematikan (Q.s. Hûd [11]: 94). Umat Nabi Shaleh yang kufur dan dilanda hedonisme dan cinta dunia yang berlebihan (Q.s. al-Syu’âra’ [26]: 146-149) dimusnahkan dengan keganasan virus yang mewabah dan gempa (Q.s. Hûd [11]: 67-68). Umat Nabi Luth yang dilanda kemaksiatan dan penyimpangan seksual (Q.s. Hûd [11]: 78-79) dihancurkan dengan gempa bumi dahsyat (Q.s. Hûd [11]: 82). Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang berambisi mengambil alih Ka’bah sebagai bagian dari ambisinya untuk memonopoli segala sumber ekonomi, juga dihancurkan dengan cara mengenaskan sebagaimana di- lukiskan dalam surah al-Fil [105]: 1-5.
Kondisi inilah yang disinyalir Alquran sebagai penyebab krisis lingkungan, karena egoisme dan egosentrisme manusia acapkali menjadi penyebab terjadinya kerusakan alam, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
 Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.s. al-Mu’minûn [23]: 71).


Telah nampak kerusakan  di  darat dan di laut disebabkan  karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan  kepada mereka sebagian  dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali  (ke jalan yang benar)”.  (Q.s. al-Rûm [30]: 41).
Munculnya kesadaran mengenai urgensitas fiqh al-bî’ah ini merupakan buah dari ajaran Islam yang sangat peduli terhadap lingkungan hidup. Sejak awal Islam telah menganjurkan pemeluknya untuk melakukan dua pola relasi- interaksi yang adil dan berimbang, antara pola interaksi manusia dengan Tuhan (hablun min  Allah) dan  manusia  dengan  manusia dan  alam  (hablun min  al-nâs). Pola  yang pertama  dibingkai  oleh  fiqh al-ibâdât, se- dangkan  pola  yang  kedua  diwadahi  oleh fiqh al-mu`âmalat dengan memasukkan kajian baru seperti fiqh al-bî’ah, fiqh al-siyâsah dan lainnya.
Jika dikaji lebih lanjut, pola interaksi tersebut sesungguhnya terbangun atas dasar konsep tawhîd. Secara harfiah, tawhîd berarti kesatuan (unitas) yang secara absolut berarti mengesakan Allah dan sekaligus membedakannya dari makhluk. Akan tetapi tawhîd juga dapat diartikan secara luas sebagai kesatuan (unitas) seluruh ciptaan- baik manusia maupun alam-dalam relasi- relasi kehidupan. Dengan kata lain, tawhîd mengandung pengertian tentang kesatuan antara Tuhan, manusia dan alam.[93]
Dalam  buku  Major Themes  of  The Quran, Rahman menjelaskan pandangan dunia   (world  view)  Alquran   mengenai relasi Tuhan-manusia-alam dalam tiga gagasan utama. Pertama, Tuhan merupakan satu- satunya eksistensi yang menciptakan alam dan manusia. Kedua, Tuhan  menciptakan  alam sebagai sebuah kosmos atau tatanan yang teratur yang tidak statis, melainkan berkembang secara dinamis. Ketiga, alam bukan suatu permainan yang sia-sia, tetapi ia memiliki tujuan dan manusia harus mempelajari hukum-hukum alam ini yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan  (sunnatullah) dan  menjadikannya sebagai panggung aktivitas manusia.[94]
Demikian hubungan integratif antara Tuhan-manusia-alam dalam pandangan Islam. Hubungan integratif ini selanjutnya akan menjadi basis ontologis permusan paradigma fiqh al-bî’ah berbasis kecerdasan naturalis. Dalam hubungan ini, manusia dan alam sama-sama menempati posisi yang sejajar. Manusia diberi hak mengelola alam, tetapi pada saat yang sama Allah memerintahkan manusia untuk memelihara keseimbangan alam dengan sebaik-baiknya.
2.    Kerangka Metodologis Fiqh al-Biah
Dalam kajian fikih dijelaskan bahwa terdapat empat sumber hukum Islam yang disepakati para ulama meliputi Alquran, sunnah, ijma’ (konsensus) dan  qiyâs (penalaran analogis). Logika syariah sebagai suatu sistem per- undang-undangan agama menunjukkan secara  jelas  bahwa  ia  adalah  perundang- undangan yang dijabarkan pertama kali secara langsung dari Alquran dan sunnah Nabi serta dari tindakan individu dan ma- syarakat  yang  hidup  sesuai  dengan  wahyu dan tradisi Nabi. Menurut Abdillahi Ahmed al-Na’im,  ijmâ’  dan  qiyâs tidak  disebutkan secara jelas dalam Alquran dan sunnah sebagai sumber hukum Islam.[95]
Namun demikian, kesimpulan para ulama tentang empat sumber hukum Islam tersebut dapat dilacak dari penfsiran mereka terhadap firman Allah Q.s. al-Nisa [4]: 59 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatillah Rasulnya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. “Perintah mentaati Allah dan RasulNya” sebagaimana tercantum dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai perintah mengikuti Alquran dan sunnah, sedangkan perintah mentaati ûlil amri diartikan sebagai perintah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati mujtahidîn, karena mereka itulah ûlil amri ummat Islam dalam pembentukan hukum Islam. Kemudian perintah mengembalikan kejadian yang dipertentangkan antara umat Islam kepada Allah dan Rasulnya diartikan sebagai  perintah  mengikuti  qiyâs ketika tidak  terdapat  nash atau  ijmâ’.  Pengertian taat dan mengembalikan masalah ini adalah mengembalikan masalah yang dipertentangkan kepada Allah dan Rasulnya karena qiyâs adalah melakukan penyesuaian antara kejadian yang tidak terdapat hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan ‘illat hukum antara dua jenis kejadian tersebut. Jadi ayat tersebut, merupakan dalil untuk mengikuti empat sumber hukum Islam yang selama ini diakui umat Islam.[96]
Di samping empat sumber hukum primer tersebut, terdapat sumber-sumber hukum lain  yang  bersifat  sekunder,  antara  lain; pertama, istihsân yang didefinisikan sebagai upaya berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyâs jali (nyata) kepada qiyâs khâfî (tersembunyi) atau dari hukum kulli (umum) ke hukum pengecualian karena ada dalil atau indikator yang menunjukkan perpindahan ini.[97] Kedua, mashlahah mursalah (kesejahteraan umum) merupakan mashlahah yang tidak disyari’atkan oleh al-Syâri’ untuk mewujudkan mashlahah itu serta tidak terdapat dalil yang menunjukkan pengakuan dan pembatalannya, seperti keputusan menciptakan system penjara bagi pelaku kriminal atau mencetak uang sebagai alat tukar.[98] Menurut Ahmed An- Na’im, konsep mashlahah ini sangat mirip dengan ide tentang “kebijakan umum” (public policy) atau “kebijakan hukum” (the policy of the law) dalam tradisi Barat.[99]
Di antara sumber-sumber metodologi pengembangan hukum Islam, maslahah merupakan  salah  satu  alat  metodologis yang dapat dijadikan pegangan dalam mengembangkan  paradigma  fiqh al-bî’ah. Konsep maslahah ini pada mulanya dijadikan dasar bagi para fuqaha untuk merumuskan konsep  maqâshid al-syarî‘ah yang  akan menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Berbeda dengan pendekatan ke- bahasaan terhadap sumber hukum Islam yang menitikberatkan kepada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui  maqâshid al-syarî‘ah  kajian  lebih menitikberatkan pada upaya melihat nilai- nilai yang berupa kemashlahatan manusia dalam setiap taklîf yang diturunkan Allah.[100]
Konsep  maqâshid al-syarî‘ah  ini  diartikan sebagai maksud atau tujuan atau prinsip disyari‘atkannya hukum dalam Islam, karena itu yang menjadi bahasan utama adalah mengenai masalah hikmah dan ‘illat al-hukm.[101]
Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa semua kewajiban (taklîf) diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat,[102] dan bahwa semua kewajiban (taklîf) yang diemban oleh setiap manusia tidak dapat dipisahkan dari aspek kemaslahatan baik secara eksplisit maupun secara implisit. Dalam pandangan al-Syâthibî, hukum yang tidak mempunyai tujuan kemaslahatan akan menyebabkan hukum tersebut kehilangan legitimasi sosial di tengah masyarakat manusia, dan ini suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum Tuhan.[103]
Berdasarkan pemahaman  al-Syâthibî terhadap ayat-ayat Alquran, ia menyimpulkan bahwa   maqâshid al-syarî‘ah dalam   arti kemaslahatan dapat ditemukan dalam aspek- aspek hukum secara keseluruhan,[104] artinya apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas dimensi ke- maslahatannya, maka ia dapat dianalisis melalui maqâshid al-syarî‘ah yang dapat dilihat dari ruh syariah dan tujuan umum dari pewahyuan agama Islam. Menurut al-Syâthibî, hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syarî‘ah adalah mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok; agama (al-dîn), jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl), akal (al-aql), dan harta (al-mâl). Sementara Ibn‘Asyûr menyatakan, bahwa mashlahah adalah sifat perbuatan yang menghasilkan sebuah kemanfaatan yang berlangsung terus menerus dan ditetapkan berdasarkan pendapat mayoritas ulama”.[105]
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan  bahwa  mashlahah memiliki relasi yang signifikan dengan syariah dalam beberapa rumusan di antaranya: Pertama, syariah dibangun atas dasar kemaslahatan dan  menolak  adanya  kerusakan  di  dunia dan akhirat, Allah memberi perintah dan larangan dengan alasan kemaslahatan; Kedua, syariah  selalu  berhubungan  dengan kemaslahatan, sehingga Rasulullah Saw. men- dorong umatnya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kerusakan; Ketiga,  tidak ada kemungkinan adanya pertentangan antara syariah dan kemaslahatan; dan Keempat, syariah selalu menunjukkan pada kemaslahatan meskipun tidak diketahui keberadaan letak kemaslahatannya, dan Allah memberi kepastian bahwa semua kemaslahatan yang ada dalam syariah tidak akan menimbulkan kerusakan.[106]
Dapat dirumuskan bahwa  memelihara  alam  semesta  (hifdz al-’âlam) merupakan  pesan  moral  yang bersifat universal yang telah disampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup merupakan kewajiban dan menjadi bagian integral keimanan seseorang. Prinsip yang mendasari pertimbangan terakhir adalah kemaslahatan manusia. Dalam mazhab Maliki, suatu hal yang meski tidak ditetapkan oleh nash secara eksplisit, tetapi memiliki kemanfaatan adalah dianjurkan, bahkan  wajib,  karena  dasar  tujuannya yang  tepat  (al-muhdatsat al-mahmûdah fî al-ma’nâ). Apalagi, jika pemeliharaan lingkungan terkait dengan pelaksanaan kewajiban, maka memelihara lingkungan menjadi wajib, karena ada kaidah:
بجاو وهف هبلاا   بجاولا متيلاام
“Sesuatu yang bisa menentukan  kesempurnaan pelaksanaan suatu kewajiban akan menjadi wajib pula”. 
Dan  ada  kaidah  lain  yang menyebutkan:
لئاسولل دصاقلما مكح
“Sarana memiliki status hukum yang  sama dengan perbuatan  yang menjadi  tujuan”.

Kedua kaidah ini adalah tepat atas dasar anggapan jika pemeliharaan lingkungan hanya menjadi pelengkap dari sudut pandangan fikih ibadah. Sebaliknya, jika pemeliharaan lingkungan menjadi isu krusial, maka status hukumnya bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai tujuan yang memiliki dasar-dasar nash, sebagaimana halnya juga ibadah yang hukumnya wajib.[107]
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang perlu di sampaikan mengenai pemeliharaan alam semesta (hifdz  al-’âlam). Pertama,  pemeliharaan alam  semesta  (hifdz al-’âlam) dipandang sebagai bagian dari maqâshid al-syarî‘ah, di samping  memelihara  agama  (al-dîn), jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl), akal (al-aql), dan harta (al-mâl). Kedua, tanpa merubah struktur (al-kulliyyât al-khamsah), sebagaimana digagas al-Syâthibî, namun dapat digunakan kaidah ushul fikih yang mengatakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahua wâjib” (sesuatu yang menjadi mediator pelaksaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib). Dengan argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’ âlam) tidak termasuk dalam kategori al- kulliyyat al-khamsah,  tetapi  al-kulliyyat  al- khamsah itu sendiri tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’âlam) diabaikan. Sebagai contoh upaya memelihara jiwa (al-nafs) tidak akan berhasil dengan baik, jika seseorang mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’ âlam). Upaya memelihara keluarga (al-nasl) tidak berhasil dengan sempurna, jika sesorang mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’âlam)  dan seterusnya.
Fiqh al-bî’ah adalah regulasi norma-norma hukum Islam yang mengatur perilaku dan tindakan manusia yang berhubungan dengan konservasi lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui, bahwa krisis ekologis sebagian besar dilatarbelakangi tindakan manusia. Dalam konteks inilah letak signifikansi merumuskan paradigma fiqh al-bî’ah berbasis kecerdasan naturalis untuk mengatur kaidah baik-buruk atau halal-haram yang akan menjadi patokan penilaian tindakan manusia terhadap lingkungan, sehingga dengan cara ini, umat Islam akan mampu menghadirkan sebuah pendekatan religius yang mendasarkan diri pada Alquran, Hadits dan ijtihad dalam memandang persoalan lingkungan hidup.
Secara ontologis, fiqh al-bî’ah dibangun atas landasan teologis yang memandang Tuhan, manusia dan alam sebagai aspek yang memiliki hubungan yang bersifat integratif. Dalam pola hubungan ini, manusia dan alam sama-sama menempati posisi yang sejajar. Dalam hal ini, manusia sebagai khalifah diberi hak mengelola alam, tetapi pada saat yang sama Allah me- merintahkan manusia untuk memelihara keseimbangan alam dengan sebaik-baiknya.
Secara  epistemologis,  fikih lingkungan dibangun atas dasar konsep maslahah. Konsep ini pada mulanya dijadikan dasar untuk merumuskan  konsep  maqâshid al-syarî‘ah yang akan menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Meskipun al-Syâthibî dan Rahman sama-sama tidak menyinggung  hifdz al-‘âlam (memilihara  lingkungan)  sebagai bagian  dari  maqâshid al-syarî’ah,  namun terdapat beberapa penjelasan Alquran maupun hadits yang menerangkan mengenai urgensitas pemeliharaan alam. Karena itu,  hifdz al-‘âlam (memilihara lingkungan) dapat dijadikan sebagai mediator utama bagi terlaksananya al-kulliyyat al-khamsah  tersebut.
Sementara  itu,  secara  aksiologis.  fiqh al-bî’ah berisi norma-norma yang mengatur dan mengontrol pemeliharaan alam semesta melalui dua instrumen; yaitu halal dan haram. Konsep halal dan haram sebagaimana yang digagas fiqh al-bî’ah ini dibangun atas dasar konsep tauhid, khilafah dan amanah serta prinsip keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan umat, sehingga kerangka etika lingkungan dalam perspektif Islam dapat disusun secara lengkap dan komprehensif.[108]

E.     Tinjauan Hukum Pidana Islam bagi Pembakaran Hutan dan Lahan.





[1] Lihat Soemarsono, 1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan). Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal:1-14. Lihat juga Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. Hal. 36-39.
[2] Barber, C.V. & Schweithelm, J. (2000). Trial by fire. Forest fires and forestry policy in Indonesia's era of crisis andreform. World Resources Institute (WRI), Forest Frontiers Initiative. In collaboration with WWF-Indonesia and Telapak Indonesia Foundation, Washington D.C, USA.
[3] Abduk Khakim, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah, (Bandung: Chitra Aditya Bakti, 2005), hlm. 1.
[4] Anonim,       2007,       sebab       kebakaran       Hutan       Indonesia       pada http;//www.issdp.or.id/v2
[5] WALHI, Kebakaran Hutan Yang Berulang, Di Akses pada http/www.walhi.or.id
[6] Ibid.
[7] Anonim, Ibid
[8] Disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia di Pertemuan Forum Komunikasi Data dan Informasi Bencana di Jakarta tanggal 10 November 2015.
[9] Basis Data Emisi Kebakaran Global: http://www.globalfiredata.org/index.html.
[10]  Versi tulisan ini disertakan dalam Triwulanan Perekonomian Indonesia edisi bulan Desember 2015
[11] As reported by the World Bank: http://www.worldbank.org/en/news/ feature /2012/12/26/ indonesia-reconstruction-chapter-ends-eight-years- after-the-tsunami.
[12] Jurnal The World Bank Group Edisi Februari 2016, Gedung Bursa Efek Indonesia Menara 2, lantai 12 Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53, Jakarta 12190, Indonesia
Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia ini sebelumnya dimuat pada Laporan Triwulanan Perkembangan Perekonomian Indonesia (IEQ), Bank Dunia, Jakarta. Desember 2015.
Laporan ini disusun oleh Ann Jeannette Glauber, Sarah Moyer, Magda Adriani, dan Iwan Gunawan. Turut memberi kontribusi adalah Elitza Mileva, Pandu Harimurti, Muhammad Farman Izhar, Anita Kendrick, dan George Henry Stirrett Wood. Diseminasi dilakukan oleh Indra Irnawan, Jerry Kurniawan, GB Surya Ningnagara dan Nugroho Sunjoyo, di bawah bimbingan Dini Sari Djalal.
Pendanaan diberikan oleh Pemerintah Norwegia dan Kedutaan Besar Denmark melalui REDD+ Support Facility (RSF) Bank Dunia. Pendanaan dukungan juga diberikan oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia di bawah naungan program SEMEFPA.
Temuan-temuan, interpretasi dan kesimpulan-kesimpulan yang dinyatakan di dalam laporan ini tidak mencerminkan pandangan Bank Dunia, para Direktur Pelaksana Bank
Dunia atau pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data-data yang temuat dalam laporan ini. Batas-batas, warna, denominasi dan informasi-informasi lain yang digambarkan pada setiap peta di dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat Bank Dunia mengenai status hukum dari wilayah apapun atau dukungan atau penerimaan dari batas-batas tersebut.
[13] Indonesia memiliki lebih dari 20 juta hektar lahan gambut yang tersebar dari Sumatera hingga Papua, sehingga menjadikan negara ini pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia. Gambut sering disebut sebagai ekosistem penting yang sering diasosiasikan sebagai pelindung atmosfer bumi dari lepasan unsur gas rumah kaca.
Kata gambut sendiri dipercaya berasal dari kosa kata bahasa suku Melayu Banjar yang tinggal di Kalimantan Selatan. Gambut adalah tumpukan material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi pada lahan rawa. Ketebalan vertikal di lahan gambut dapat mencapai belasan bahkan hingga puluhan meter. Jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan gambut dan hutan rawa beradaptasi selama ribuan bahkan puluhan ribu tahun sehingga membuat suatu hubungan saling ketergantungan antara massa biotik dan abiotik yang saling mendukung secara simbiotik.
Dengan demikian, lahan gambut memiliki perbedaan komposisi dibandingkan lahan lainnya. Lahan gambut menyimpan karbon (stock carbon) dalam biomasa dan nekromasa tanaman (di atas permukaan dan di dalam tanah). Di dalam tanah, karbon tersimpan pada lapisan gambut. Pada lahan kering, karbon yang tersimpan di dalam biomasa tanaman bisa melebihi karbon yang tersimpan di dalam tanah, tergantung jenis dan kerapatan tutupan tanaman pada lahan tersebut. Lihat Fahmudin Agus, Kurniatun Hairiah dan Anny Mulyani. Pengukuran Cadangan karbon Tanah gambut. 2011. World Agroforestry Centre. Bogor. Hal.1.
[14] Rencana Induk rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Kerjasama antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Kalimantan Tengah dan Pemerintah Belanda. 2008. Hal. 5.
[15] Bappenas. Reducing Carbon Emissions from Indonesia`s Peat Lands. Interim Report of A Multi-Disciplinary Study. 2009. Hal. 18.
[16] Pendekatan ini dijelaskan dalam Van der Werf et al. (2010), “Global fire emissions and the contribution of deforestation, savanna, forest, agricultural, and peat fires (1997–2009)” Journal of Atmospheric Chemistry and Physics, dan selanjutnya diperinci pada situs web GFED.
[17] Sheil, D, et all. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan pandangan masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. Center for International Forestry Research. Indonesia
[18] http://blog.act.id/3-kejadian-tragedi-tanah-longsor-mematikan-di-indonesia
[19] http://mediaindonesia.com/news/read/68124/banjir-garut-akibat-hutan-gundul/2016-09-22 . Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Dadan Ramdhan, kemarin, mengungkapkan areal hutan di hulu dan sekitar Sungai Cimanuk berkurang drastis. Praktik alih fungsi lahan berlangsung masif sehingga berdampak pada areal resapan air.
“Memang hujan dengan intensitas tinggi tengah melanda Jabar, termasuk wilayah Priangan timur seperti Garut, Sumedang, Ciamis, dan Tasikmalaya. Namun, faktor cuaca termasuk hujan hanya pemicu. Faktor utamanya, pe­lang­garan penggunaan lahan,” ujar Dadan.
Dia tambahkan, ekspansi bisnis juga terus merambah wilayah konservasi. Lahan parkir air nyaris tak lagi ada. Olah tanah pertanian pun tak me­meduli­kan dampak buruk.
Begitu pula dengan penggundulan hutan di sekitar anak Sungai Cimanuk seperti Sungai Cikarenjeng, Bungbulang, dan Cisutan sehingga tak lagi optimal menyerap dan menampung air. Ia memin­ta pemerintah segera mengembalikan lahan konservasi atau resapan air.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk memang sudah tidak sehat. Koefisien regim sungai (KRS) atau perbandingan debit air tertinggi dengan debit air terendah dalam satu periode pada DAS Cimanuk mencapai 713. Padahal, kondisi DAS dikatakan baik apabila memiliki KRS kurang dari 80.
‘’Kondisi itu menyebabkan mudahnya air meluap saat terjadi hujan dan surut secara cepat. Saat musim kemarau, DAS akan mengalami kekeringan,’’ jelas Sutopo.
Bupati Garut Rudi Gunawan menga­kui pula bahwa banjir bandang di Garut tak lepas dari kerusakan lingkungan. “Untuk aliran sungai di hulu Cikajang, kondisi hutan bagus, tetapi ada hutan lainnya gundul.’’
[20] http://www.mongabay.co.id/2012/12/28/kalesidoskop-bencana-lingkungan-2012-degradasi-hutan-melaju-banjir-menerjang-manusia/
[21] http://bloggudangtugas.blogspot.co.id/2017/03/makalah-kabut-asap.html
[22] https://www.rappler.com/indonesia/110936-jumlah-kematian-akibat-kabut-asap
[23]http://regional.liputan6.com/read/2589511/ratusan-warga-riau-korban-kabut-asap-kembali-ke-rumah
[24]http://kabar24.bisnis.com/read/20151022/78/484905/kebakaran-hutan-korban-kabut-asap-di-riau-capai-70.000-jiwa
[25] Dawud Y. Smoke episodes and assessment of health impacts related to haze from forest fires: Indonesian experience. The Indonesian Association of Pulmonologist, Persahabatan Hospital Jakarta; 1999.p 313-22
[26] National Interagency Fire Center. The science of wildland fire. [cited  2011 Jan 9]. Available from www.nifc.gov/preved/comm_guide/wildfire/fire 4.html.
[27] A Guide for Public Health Officials. Wildfire smoke revised (July 2008). Available from: http://www.arb.ca.gov/smp/progdev/pubeduc/wfgv8.pdf. Lihat juga Malilay J. A review of factors affecting the human health impacts of air pollutants from forest fires. Health guideline for vegetation fire. (WHO october 1998). hal. 70.
[28] Zua Uj-Haque, Landlord and Peasant in Early Islam: A Study of the Legal Doctrine of Muzaraa or Sharecropping, (Islamabad: Islamic Research Institute Press, 1984), hal. 248.
[29] Taqyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), hal. 72
[30] The Mejelle, Article 1270, (Lahore: Law Publishing Co., 1967), p. 207.
[31] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fath al-Arabia, 1990), hal. 273.
[32] Q.S. Al-Jumu’ah/62: 10.

[33] Imam Taqi al-Din abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisar, (Damaskus: Darl al-Khair, 1994), hal. 361.
[34] Al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (Indonesia: Al-Hidman, 733-852 H.), hal. 195.
[35] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 227. Lihat juga dalam Sunan Tarmidzi hadits 1299 dan 1300 dalam Hadits Soft:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَقَدْ رَوَاهُ بَعْضُهُمْ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْسَلًا وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ قَالُوا لَهُ أَنْ يُحْيِيَ الْأَرْضَ الْمَوَاتَ بِغَيْرِ إِذْنِ السُّلْطَانِ وَقَدْ قَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُحْيِيَهَا إِلَّا بِإِذْنِ السُّلْطَانِ وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَعَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ جَدِّ كَثِيرٍ وَسَمُرَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيَّ عَنْ قَوْلِهِ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ فَقَالَ الْعِرْقُ الظَّالِمُ الْغَاصِبُ الَّذِي يَأْخُذُ مَا لَيْسَ لَهُ قُلْتُ هُوَ الرَّجُلُ الَّذِي يَغْرِسُ فِي أَرْضِ غَيْرِهِ قَالَ هُوَ ذَاكَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah mengabarkan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi telah mengabarkan kepada kami Ayyub dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Sa'id bin Zaid dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Barangsiapa menghidupkan tanah mati (membuka lahan baru) maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi orang yang memiliki tanah secara zhalim." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib dan sebagian mereka telah meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara mursal. Hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka, ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat: Ia boleh menghidupkan tanah mati tanpa seizin penguasa sedangkan sebagian ulama berpendapat: Ia tidak boleh menghidupkannya kecuali mendapat izin dari penguasa. Pendapat pertama lebih shahih. Ia mengatakan: Dalam hal ini ada hadits serupa dari Jabir, Amr bin 'Auf Al Muzani kakek Katsir dan Samurah. Telah menceritakan kepada kami Abu Musa Muhammad bin Al Mutsanna ia berkata: Aku bertanya kepada Abu Al Walid Ath Thayalisi tentang sabda beliau: "Tidak ada hak bagi orang yang memiliki tanah secara zhalim." Ia pun menjawab: Orang zhalim yang memiliki adalah orang yang merampas, ia mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Aku bertanya: Apakah ia orang yang menanam di tanah orang lain? Ia menjawab: Dialah orangnya.
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih.
[36] Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adilatuh, Juz VI,  (Damaskus: Darl al-Fikr, 1997), hal. 4616.
[37] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2007), hal. 47.
[38] An-Nabhani, Sistem, hal. 73
[39] Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), hal. 189-190.
[40] Muaz bn Jabal, Al-Wahbah al-Zuhaili, Al-Figh Al-Islami Wa Adillahtuh, Vol V, (Damascus: Darnl FikT, 1989), hal. 561.
[41] An-Nabhani, Sistem, hal. 137.
[42] Ibn Qudamah, Al-Kaffi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Al-Maktabul Islami, 1988), hal. 435.
[43] Al-Husaini, Kifayah, hal. 361.

[44] Abdullah, Kunci, hal. 189-190.
[45] Syekh Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab al-Arabiah, tt), hal. 38.


[46] Shalih ibn Fauzan ibn Abdullah, Al-Mulakhashu al-Fiqhiy, (Arab Saudi: Darl ibn al-Jauzi, 2005), hal. 152.



[47] Sabiq, Fiqh, hal. 274.



[48] Yahya, Kitab al-Kharaj, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979), hal. 19.
[49] Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979), hal. 26.



[50] John Salendeho, Masalah Tanah dan Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 284.
[51] Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 40.



[52] Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 40.



[53] A. Qadir Gassing, “Fiqih Lingkungan: Telaah Kritis tentang  Penerapan Hukum Taklifi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”Pidato Pengukuhan Guru Besar, Makassar: IAIN/UIN Alauddin, 8 Februari 2005), hal. 4-7.
[54] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. XXVIII; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), hal. 131.
[55] Ibid
[56] Asharuddin Sahil, Indeks Al-Quran, Panduan Mencari Ayat Al-Quran Berdasarkan Kata Dasarnya (Cet.  I; Bandung: Mizan, 1994), hal. 174
[57] Louis Ma’luf, Al-Munjid Fiy Al-Lugah (T.t.: Dar al-Masyriq, 1977), hal. 43.
[58] Ibn Zakariyah, Maqayis al-Lughah. Lihat pula Mahmud Yunus, Kamus Arab IndonesiaJakarta: Hidakarya Agung, 1992), hal. 277.
[59] Fachruddin HS., Ensiklopedia Al-Quran, hal. 3.  
[60] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 373.
[61] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 11. 
[62] Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid I (Cet. II; Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), hal. 121.
[63] Lihat Ahmad Mustafa al- Maraghi, Tafsîr al-Maraghi., juz IMesir: Mushtafa al-Baby al-Halabiy wa Awladuh, 1973), hal. 101.
[64] Demikian penjelasan al-Syaukaniy yang dikutip oleh  Khalil Mushawiy, Kaifa Tabniy al-Syahshiyah.
[65] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 137.
[66] Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid V, hal. 222.
`[67] Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan  (Cet.  I; Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 106.   
[68] M.Quraish shihab, Opcit, hal. 76
[69] Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-Qur'an (Cet.  II; Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1992), hAL. 110.
[70] Ibid. hal. 120
[71] Lihat Imam al-Ghazali, Al-Hikmah Fiy Makhlûqatillah diterjemahkan oleh Abdullah Alkaf dengan udul Hikmah Penciptaan Makhluk (Cet.I; Bandung: Pustaka, 1986), hal. 14.
[72] Musnahnya harimau Jawa tidak hanya merugikan orang Jawa, tapi juga orang-orang di seluruh dunia. Musnahnya harimau  Jawa sama dengan terputusnya  rantai ekosistem  kehidupan di muka bumi.
                [73] Fachruddin M. Mangunjaya, “Dunia Islam dan Perubahan Iklim, jakarta, 2008
[74] Hikmat Trimenda, “Islam dan Penyelamatan Lingkungan”,  http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2007/022007/16/0902.htm, diakses tanggal 20 September 2013

                   [75] Alkadri, Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah-BPPT. Jakarta. 1999
[76] Muchsin al-Fikri, “Fikih Lingkungan dan Kearifan Lokal”,
                [77] Muhammad Mawhiburrahman, Menggagas Fikih Lingkunganhttp://muhammad mawhiburrahman.blogspot.com 2013/05/ menggagas- fikih-lingkungan.html,diakses tanggal 20 September 2017
[78][ Alie yafie, merintis fikih lingkungan hidup (jakrta; ufuk, 2006)
[79] M.Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Alumni, Bandung, 2001), hal. 10.
                [80] Kemunculan wacana fikih lingkungan bisa ditelusuri belum lama ini.Sebuah survei historis-arkeologis yang lebih komprehensif tentu tetap harus dilakukan untuk menandai secara pasti sejak kapan istilah ini menjadi kosa kata baru dalam wacana keislaman (dan hukum Islam) kita secara umum. Namun, menurut pengamatan terbatas penulis, wacana fiqh lingkungan mengemuka kurang lebih saat Yusûf al-Qardlâwî, guru besar fikih dari Syiria yang pandangan-pandangannya populer di negara kita, menulis karyanya yang berjudul Ri'âyah al-Bîah fî Syarî'ah al-Islâm pada tahun 2001 yang lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa tahun-tahun sebelumnya wacana ini telah populer dalam diskursus ilmiah di Arab sana. Tetapi bila kita lihat "fluktuasi" perkembangan wacananya di Indonesia, secara hipotetis bisa dikatakan bahwa wacana ini merupakan "rintisan" al-Qardlâwî. Seolah menindak lanjuti gagasan al-Qardlâwî, pada tahun 2006 KH.Ali Yafie kemudian menerbitkan buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Menyetujui gagasan al-Qardlâwî, Ali Yafie yang juga seorang faqîh di Indonesia, mewacanakan perlunya suatu landasan baru untuk memperluas kajian fiqh hingga merambah persoalan-persoalan lingkungan. Gagasan Ali Yafie ini seolah mengiringi serangkaian buku dan tulisan yang terbit dua atau tiga tahun sebelumnya tentang "bidang baru" ini, seperti antara lain buku hasil karya Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam (2005).
[81]  Lihat Abd al-Wahhâb Khallâf, Ushûl al-fiqh (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978), hal 15.
                [82] Ilyas Supena, Jurnal ADDIN,  Stud fikih Lingkungan (Sebuah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis). 2009

[83] Hikmat Trimenda, “Islam dan Penyelamatan Lingkungan”,  http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2007/022007/16/0902.htm
[84] Maqâshid asy-syarî‘ah  secara substansial mengandung kemashlahatan yang menurut al-Syatibi yang dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama, Maqâshid asy-Syarî‘ (tujuan Tuhan) dan kedua Maqâshid al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqâshid asy-syarî‘ah mengandung empat aspek, yaitu (1) tujuan awal dari al-Syari‘ dalam menetapkan syari‘ah, yaitu kemashlahatan dunia dan akhirat, (2) penetapan syari‘ah sebagai sesuatu yang harus dipahami, (3) penetapan syari‘ah sebagai hukum mukallaf yang harus dilaksanakan, (4) penetapan syari‘ah  guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum. Sedangkan maqâshid asy-syarî‘ah ditinjau dari sudut tujuan mukallaf aialah agar setiap mukallaf memenuhi keempat tujuan syari‘ah yang digariskan al-Syari, sehingga tercapai kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.Lihat Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 43
[85] Imam Syathibi, al-Muwafaqat…, Juz II, hal. 7.
[86] Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hal. 220
[87] Ibid
[88]  Yusuf al-qordhawi, Islam Agama Ramah lingkungan terj. Hakam shah (jakarta; pustaka al kaustar)
[89] Mustafa Abu-Sway, “Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqih al-Bi`ah fil-Islam)”, dalam http://www. homepages.iol.ie/~afifi/Articles/environment.htm. Menurut Abu-Sway, guru besar filsafat Islam di al-Quds University, istilah fiqih lingkungan lebih mudah diterima dalam kesadaran umat Islam dibandingkan filsafat lingkungan (philosophy of environment) yang sekarang masih diasosiasikan sebagai pemikiran abstrak metafisis. Filsafat lingkungan yang dimaksud Abu-Sway adalah bagian dari filsafat alam, seperti persoalan asal-usul kejadian alam
[90]  Muhammad  ‘Ãbid  al-Jâbiri,  Bunyan al-‘Aql al-‘Arâbi: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma’rifah fi al-Tsaqafat al-‘Arabiyyah, (Bayrût: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993)
[91] Sayyed Hossein, Man and Nature, The Spiritual Crisis in Modern Man, hal. 14
[92] Nasaruddin Umar, Islam Fungsional, (Jakarta: RahmatSemesta Center, 2010), hal. 275.
[93] Nurcholish Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), cet. XI, hal. 276.
[94] Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), hal. 2-3.
[95] Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. (Yogyakarta: LKIS, 1997), hal. 39
[96] Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushûl Fiqh, (Mishr: Dârul Qolam, t.t), hal. 21.
[97] Ibid, h. 80-82

[98] Ibid, hal. 84
[99] Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, hal. 51.
[100] Istilah Maqâsid al-syarîah yang berarti tujuan penetapan hukum  ini  dipopulerkan  oleh seorang  ahli  ushul  fikih dari Madzab  Maliki,  Abû  Ishâq  al-Syâthibî,  terutama  semenjak beredarnya  kitab  “al-Muwâfaqât     ushûl al-Syarî’ah”,   akan tetapi dari sudut gagasan, sebenarnya poin-poin maqâshid al- syarîah ini sudah pernah dikemukakan oleh ulama ushul fikih sebelumnya seperti kata al-maqâshid sendiri menurut Ahmad Raisûni, pertama kali digunakan oleh at-Turmudzî al-Hâkim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah yang pertama kali menyuarakan Maqâshid  al-syarîah melalui buku-bukunya, al- Shalâh wa Maqâshiduhu,  al-Haj wa Asrâruhu,  al-‘Illah,  ‘Ilal al-Syarî’ah,   ‘Ilal  al-‘Ubûdiyyah   dan  juga  bukunya  al-Furûq yang kemudian diadopsi oleh al-Qarafî menjadi judul buku karangannya. Setelah al-Hâkim kemudian muncul Abû Manshûr al-Mâturidî (w. 333) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abû Bakar al-Qaffâl al-Syâsyî (w.365) dengan bukunya Ushûl al-Fiqh dan  Mahâsin al-Syarî’ah.  Setelah  al-Qaffâl  muncul Abû Bakar al-Abhârî (w.375) dan al-Baqîlânî (w. 403) masing- masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al- Dalâil wa al-‘Illah dan al-Taqrîb wa al-Irsyâd fi Tartîb Thurûq al-Ijtihâd. Sepeninggal al-Baqîlânî muncullah al-Juwainî dalam kitab al-Burhân, al-Ghazâlî dalam kitab al-Mushtashfâ, al-Râzî dalam kitab al-mahsûl, al-‘Amidi> dalam kitab al-Ihkâm, Ibn Hâjib,  al-Baidlâwî,  al-Asnawî,  Ibn  Subukî,  Ibn  ‘Abdissalâm, al-Qarâfî, al-Thûfî, Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim. Urutan di atas adalah versi Ahmad Raisûnî, sedangkan menurut Yûsuf Ahmad Muhammad al-Badawî, sejarah maqâshid al-syarî’ah ini dibagi dalam dua fase yaitu fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase setelah Ibn Taimiyyah. Adapun menurut Hammâdî al-Ubaidî orang yang pertama kali membahas maqâshid al-syarî’ah adalah Ibrâhiîm al-Nakhâ’î (w. 96 H), seorang tâbi’în sekaligus gurunya Hammâd ibn Sulaimân gurunya Abû Hanîfah. Setelah itu muncul al-Ghazâlî, ‘Izzuddîn ‘Abdussalâm, Najmuddîn al-Thûfî dan terakhir al-Syâthibî. Meskipun dengan versi yang beraneka ragam, namun dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum al- Syâthibî, maqâshid  al-syarî’ah sudah ada dan sudah dikenal, hanya saja susunannya belum sistematis. Lihat, Imâm Syâthibî: Bapak Maqâshid al-Syarî’ah Pertama, http://islamlib.com.
[101] Abdul Wahab Khallaf, Opcit. hal. 199
[102] Abû Ishâq al-Syâthibî, Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî’ah,(Bayrût: Dâr al-Ma‘rifah, t.t.), Juz II, h.195.
[103] Konsep  maqâshid al-syarî’ah   dalam  pemikiran  al-Syatibi  ini  bertujuan  mengekspresikan  penekanan  terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan apresiasi hokum manusia. Lihat Wael B. Hallaq, “The Primacy  of The Quran inSyatibi Legal Theory”, (Leiden: Ej-Brill, 1991), hal. 89
[104] Abû Ishâq al-Syâthibî, Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî’ah, hal. 6-7.
[105] Muhammad Thâhir bin ’Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Bayrût: Muassasah Fuâd, 2004), Juz II, hal. 297
[106] Muhammad bin Abû Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abû  Abdullah,  I’lâm   al-Muwaqqi’în ‘an   Rabb  al-‘Ãlamîn, (Bayrût: Dâr al-Jail, t.t.), Juz III, hal. 3.
[107] Wardani, “Menformulasikan Fiqh Al-Bi`ah: Prinsip- Prinsip Dasar Membangun Fiqih Ramah Lingkungan”, dalam Jurnal Al-Mustawa Vo.1 No. 1/ Februrai, 2009, DPPAI UII
[108] Muhammad Harfin Zuhdi, Fiqh Al-Bî’ah: Tawaran Hukum Islam Dalam Mengatasi Krisis Ekologi, Jurnal Al-‘Adalah Vol. XII, No. 4, Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...