Minggu, 03 Mei 2020

HUKUM BAGI PEMBAKAR HUTAN DAN LAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, karena dilihat dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir serta dapat menjaga kesuburan tanah. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena itu, pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.[1]
Hutan adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat yang serbaguna yang memang mutlak diperlukan oleh umat manusia.[2] Selain berfungsi sebagai paru-paru bumi, fungsi hutan di antaranya adalah mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah; menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi; melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik; memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman perburuan,  dan  taman  wisata,  serta  sebagai  laboratorium untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pariwisata; serta merupakan salah satu unsur strategi pembangunan nasional.[3] Namun, bersamaan itu pula sebagai dampak negatif atas pengelolaan hutan yang eksploitatif dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat, pada akhirnya menyisakan banyak persoalan, diantaranya tingkat kerusakan hutan yang sangat menghawatirkan. [4]
Sedemikian besarnya faedah hutan bagi manusia, sehingga apabila terjadi kerusakan seperti penebangan liar, kebakaran dan lain sebagainya maka akan menimbulkan dampak yang kurang baik dalam tatanan hidup manusia. Hutan secara perlahan namun pasti, menyusut keberadaannya, dengan dilakukannya penebangan pohon, kawasannya dirambah dan tidak cepat melakukan penanaman kembali, akibatnya bukan hanya habitat satwa yang terganggu namun juga ekosistem alam turut berubah secara drastis, dan pada giirannya nanti kehidupan manusia turut terancam bahaya. [5]
Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan bagi dunia Internasional. Faktanya, Indonesia mendapatkan rekor dunia guiness yang dirilis oleh Greenpeace sebagai negara yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia. Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan dirusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005.Sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar 2% setiap tahunnya.[6]
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini tidak memperhatikan manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut, sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Penyebab utama kerusakan hutan adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan  terjadi  karena manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian. Selain itu, kebakaran didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan.
Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.[7]Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia, hutan adalah suatu areal yang dikelola untuk produksi kayu dan hasil hutan lainnya dipelihara bagi keuntungan tidak langsung atau dapat pula bahwa hutan sekumpulan tumbuhan yang tumbuh bersama.[8]
Menurut beberapa peraturan terkait dengan pemanfaatan dan pelestarian hutan,hutan merupakan Sumber Daya Alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya.[9]
Luas hutan di Indonesia berkisar 122 juta hektar, yang persebarannya di Pulau Jawa hanya sekitar 3 juta Ha, terdiri atas 55% hutan produksi dan 45% hutan lindung. Persebaran hutan di Indonesia kebanyakan berjenis hutan hujan tropis yang luasnnya mencapai 89 juta hektar. Daerah-daerah hutan hujan tropis antara lain terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Irian. Hutan hujan tropis anggotanya tidak pernah menggugurkan daun, liananya berkayu, pohon-pohonnya lurus dapat mencapai rata-rata 30 meter.[10]
Karena sudah terjadi setiap tahun dan sulit diberantas, maka sudah tentu kejahatan pembakaran hutan dan lahan dilakukan secara terorganisir. Kalau saja hanya dilakukan oleh individu-individu warga masyarakat, mungkin dampak pembakaran hutan dan lahan tidak lah sedahsyat yang kita rasakan. Karena itu sangat patut diduga, bahwa pembakaran hutan dan lahan dilakukan secara terorganisir dan sistematis.Terhadap fenomena kedua, perlu dipikirkan secara lebih komprehensif bahwa penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remedium adalah dengan catatan. Catatan itu adalah jika ternyata sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata sudah diberikan, maka sanksi pidana sebaiknya tidak perlu diterapkan. Namun jika sanksi administrasi dan sanksi perdata tidak efektif, maka sanksi pidana boleh dijadikan sebagai primum remedium (sarana penghukuman yang utama).[11]
Praktik penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan menunjukkan bahwa sanksi administrasi dan atau sanksi perdata senyatanya tidak memberi efek jera, sehinggga kejadian kabut asap terus berulang kali terjadi. Dalam hal ini lah sanksi pidana seharusnya diperlukan, karena salah satu keunggulan sanksi pidana dibandingkan sanksi lain adalah dapat memberikan efek jera. UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengisyaratkan bahwa, setiap orang wajib menjaga lingkungan hidup termasuk pemilik lahan juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab menjaganya.Jadi tidak ada alasan membakar hutan secara sengaja atau tidak. Pada pasal 98 ayat 1 UU No. 32 tahun 2009 menyebutkan bahwa pelaku pembakaran lahan diancam hukuman minimal tiga tahun penjara, maksimal sepuluh tahun penjara dan denda minimal Rp. 3 miliar. Jika kebakaran itu menyebabkan jatuhnya korban, maka pelaku pembakaran lahan diancam hukuman minimal empat tahun penjara, maksimal 12 tahun penjara dan denda minimal Rp 4 miliar, maksimal Rp 12 miliar.
Jika kebakaran tersebut menyebabkan hilangnya nyawa, maka pelaku diancam hukuman minimal lima tahun penjara, maksimal 15 tahun penjara dan denda minimal Rp 5 miliar, maksimal Rp 15 miliar.Sesuai pasal 116 UU Nomor 32 Tahun 2009, pidananya dijatuhkan kepada pemberi perintah dan pimpinan badan usaha, tanpa melihat apakah pembakaran lahan itu dilakukan secara perorangan atau bersama-sama. Hukuman ditambah dengan pemberatan sepertiga dibandingkan dengan pembakaran lahan yang dilakukan orang pribadi.
Dalam perspektif Islam, pendekatan sistem melihat lingkungan alam, manusia dan agama dalam sifat mutualism dan terintegrasi. Ekosistem lingkungan adalah keseluruhan yang terintegrasi, yang sifat-sifatnya unit dan lebih kecil. Pendekatan sistem tidak melihat manusia sebagai subjek (yang) dan lingkungan sebagai objek (ying), tetapi kedua-duanya mutualism. Sebagai agama yang diturunkan menjadi rahmat bagi alam semesta, Islam sesungguhnya mempunyai pandangan yang holistik terhadap lingkungan. Pelestarian alam dan lingkungan hidup ini tidak terlepas dari peran manusia, sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana disebut di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ ٠ ….
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi….” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Jelaslah tugas manusia di muka bumi, terutama kaum Muslimin, sebagai khalifah[12] (pemimpin) dan wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup). Dengan demikian, pendekatan sistem menjadi dasar misi manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah memelihara lingkungan hidup, dilandasi visi bahwa manusia harus lebih mendekatkan diri kepada Allah. Perangkat utama dari misi tersebut adalah kelembagaan, penelitian dan keahlian. Adapun tolok ukur pencapaian misi ini adalah mutu lingkungan. Berdasarkan “Teorema sistem” ini, kerusakan lingkungkan merupakan cerminan dari turunnya kadar keimanan manusia. Rasulullah Saw dan para sahabat telah memberikan teladan pengelolaan lingkungan hidup yang mengacu kepada tauhid dan keimanan. Seperti dikatan oleh Sir Thomas Arnold (1931), Islam mengutamakan kebersihan sebagai standar lingkungan hidup. Standar inilah yang mempengaruhi pembangunan Kota Cordoba. Islam menjadikan Kota Cordoba memiliki tingkat peradaban tertinggi di Eropa pada masa itu. Cordoba merupakan kota dengan 70 perpustakaan berisi ratusan ribu koleksi buku, 900 tempat pemandian umum dan pusatnya segala macam profesi tercanggih pada masa itu. Kebersihan dan keindahan kota tersebut menjadi, standar pembangunan kota lain di Eropa. Ringkasnya, Islam mempunyai masterplan pembangunan kota yang ramah lingkungan dan berorientasi pada keseimbangan (equilibirium) antara kebutuhan ekonomis dan ekologis masyarakatnya.[13]
Namun hukum pidana Islam tidak menetapkan hukum tertentu bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan. Apakah termasuk had atau ta’zir. Kalaupun termasuk ta’zir, seperti apa ketentuan hukum bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan tersebut? Hal inilah yang akan dijawab dalam penelitian ini.
Atas dasar diskurusus tersebut, saya ingin meneliti persoalah hukum pidana bagi pelaku pembakaran hutan  ini menurut tinjauan hukum Islam secara konfrehensif, yang kemudian peneliti kemas dengan judul: Tindak Pidana Bagi Pembakar Hutan Perspektif Hukum Pidana Islam.
B. Definisi Istilah
Untuk memudahkan dalam memahami dan menela’ah penelitian ini, Penulis membuat batasan pengertian istilah yang berhubungan dengan judul tesis ini. Adapun istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Tindak pidana
Pengertian Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.[14] Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuataan, (yaitu suatu keadaan atau kejadiaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.  Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kajadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena timbulnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undanagan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari perbuatan” tapi “tindak tidak menunjukkan pada suatu yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang . Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan. Contoh: U.U no. 7 tahun 1953 tentang pemilihan umum (pasal 127, 129 dan lain-lain. [15]
Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di indonesia memberikan definisi “tindak pidana”atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya  merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. [16]
Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Drs. Adami Chazawi, S.H menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat. [17]
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah:
a.    Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita  menggunakan istilah ini.
b.    Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana.Dan para ahli hukum lainnya.
c.    Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya Drs. E. Utrect, S.H.
d.    Pelanggaran Pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.
e.    Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.
f.     Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undang-undang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (baca pasal 3).
g.    Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatnomdalam beberapa tulisan beliau. [18]

2.        Perspektif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perspektif berarti :
a.       Cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tingginya);
b.      Sudut pandang; pandangan;
c.       Gelombang Ling pandangan dari sudut satuan kompleks bahasa sebagai wujud yang bergerak, yang mempunyai bagian awal, inti, dan bagian akhir; pandangan dinamis;
d.      Medan Ling pandangan dari sudut satuan bahasa sebagaimana satuan itu berhubungan dengan yang lain dalam suatu sistem atau jaringan; pandangan relasional;
e.       Partikel Ling pandangan dari sudut satuan bahasa sebagai unsur yang lepas; pandangan statis. [19]
Pengertian perspektif secara umum merujuk pada suatu perangkat nilai, perangkat gagasan, kerangka konseptual dan perangkat asumsi yang berpengaruh terhadap persepsi seseorang sehingga akhirnya akan mempengaruhi tindakan seseorang yang berada dalam kondisi tertentu.
Menurut Martono seorang ilmuwan sosial mengungkapkan bahwa arti kata perspektif ialah cara pandang terhadap sebuah masalah dengan menggunakan sudut pandang tertentu dalam melihat fenomena tersebut. Ardianto dan Q-Anees juga mengungkapkan arti kata perspektif adalah sudut pandang atau cara pandang kita terhadap suatu hal.
Secara etimologi perspektif dapat diartikan sebagai cara seseorang dalam melakukan penilaian akan sesuatu hal yang diungkapkan baik secara lisan maupun tertulis. Hampir setiap hari banyak orang selalu berupaya mengungkapkan sudut pandang dan perspektif mereka tentang berbagai macam hal. Misalnya: maraknya orang-orang yang mengungkapkan setiap sudut pandangnya akan suatu hal melalui media sosial dengan cara teratur menulis dan memperbaharui status media sosialnya. Hal tersebut merupakan contoh nyata dalam keseharian kita di mana perspektif dituangkan dalam sebuah tulisan.
Perspektif adalah sudut pandang, sudut pandang dalam melihat, menilai sesuatu dan bersifat subjektif karena perspektif itu sangat tergantung oleh “siapa” yang melakukannya. Dengan demikian perspektiflah yang mendasari opini kemudian membentuk mindset atau pola pikir seseorang.

Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarnya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.
Perspektif dapat membimbing seseorang untuk menentukan bagian yang relevan dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara rasional. Secara ringkas dapat disi mpulkan bahwa perspektif adalah sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi
cara  pandang  manusia,  sehingga  menghasilkan  tindakan  dalam  suatu konteks situasi atau hal tertentu
Sedangkan pada Wikipedia English dijelaskan makna dari  perspektif adalah “one’s “point of view”, the choice of a context for opinions, beliefs and experiences”, “the related experience of the narrator”. Dari beberapa pengertian  diatas,  dapat  disimpulkan  bahwa  perspektif  merupakan  suatu sudut pandang seseorang dalam melihat suatu fenomena atau peristiwa dan bersifat subjektif. [20]
3.        Hukum Pidana Islam
Term Hukum Pidana Islam merupakan khas Indonesia yang penggunaan kesehariaannya mengandung ambiguitas (kerancuan), yaitu sebagai padanan syari’ah (hukum yang diwahyukan Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan hadits sebagai sumber orisinil Hukum Islam) di satu sisi, dan sebagai padanan fiqih (norma-norma hukurn hasil olahan syari’ah oleh para ulama) di pihak lain.[21] Adapun Hukum Pidana Islam yang dimaksudkan di dalam penelitian ini mencakup dua hal di atas, yaitu syari’at dan fiqih.
Dengan demikian, maksud judul di atas adalah menganalisa ketentuan apresiasi Islam dalam hal memproduktifkan hutan dan lahan yang mati (ihya’ al-mawat) serta hukum pidana Islam bagi pelaku pembakaran hutan.
C.           Permasalahan
Apabila kita perhatikan dengan seksama latar belakang masalah tersebut, maka kita menjumpai banyak masalah yang saling berkaitan, karena kajian ini adalah bidang hukum pidana Islam, maka mempunyai pengaruh yang besar terhadap kajian istinbāth hukum (kajian dalam ilmu fiqh). Tampak dalam latar belakang tersebut bahwa persoalan keinginan untuk membuka lahan hutan menjadi lahan pertanian atau industri, merupakan akar permasalahan besar sebagai penyebab terjadinya pembakaran hutan yang mengakibatkan terjadinya banyak kerusakan pada lingkungan baik alam, hewan dan bahkan manusia itu sendiri. Kepunahan dan kerusakan siklus ekosistim alam sehingga menimbulkan bencana dimana-mana yang akhirnya menjejaskan kehidupan manuasia itu sendiri.
Dalam kajian hokum pidana islam ini akan dilihat aspek pandang Islam tentang pelaku pembakaran yang berakibat terhadap kerusakan lingkungan yang menjejaskan keselamatan manusia itu sendiri.
1.    Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, dan dari judul yang telah ditetapkan, maka akan muncul beberapa permasalahan yang membutuhkan jawaban. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain adalah:
a.    Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan?
b.    Bagaimana apresiasi Islam terhadap memproduktifkan hutan (Ihya’ al-Mawat)?
c.    Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam fiqih lingkungan bagi pelaku pembakaran hutan?
d.    Termasuk klasifikasi manakah (had atau ta’zir) pelaku pembakaran hutan?
2.    Batasan Masalah
Dari sekian banyak permasalahan yang muncul dari judul di atas, maka untuk lebih terarahnya penelitian ini, penulis membatasinya pada apresiasi Islam terhadap memproduktifkan (Ihya’ al-Mawat) hutan serta ketentuan hukum Islam bagi pelaku pembakaran hutan.
3.    Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka permasalahan yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini adalah:
a.    Bagaimana apresiasi Islam terhadap memproduktifkan hutan (Ihya’ al-Mawat)?
b.    Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam bagi pelaku pembakaran hutan?

D.           Tujuan Penelitian
Berpijak dari rumusan masalah yang telah ditetapkan tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a.    Untuk mengetahui bagaimana apresiasi Islam terhadap memproduktifkan hutan dan lahan  (Ihya’ al-Mawat).
b.    Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan.
E.  Manfaat dan Urgensi Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat tinjau dari dua (2) sisi :
Pertama : Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah yang sangat berharga terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum Islam khususnya dibidang kajian ilmu Ushūl fiqh, yaitu teori ulamā dalam menetapkan hukum dari sumber utamanya yaitu al-Qur’ān dan al-Hadīts yang masih bersifat umum.[22] Ternyata banyak metode dan berbeda yang dipergunakan oleh ulamā dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan al-Hadīts sesuai dengan madzhab yang mereka buat atau bentuk. Sehingga membuka cakrawala intelektual kita dalam memutuskan sebuah hukum bila diperlukan. Temuan-temuan yang dihasilkan nantinya diharap dapat memberikan dorongan kepada peneliti berikutnya untuk memformulasikan teori hukum baru dalam rangka menjawab persoalan hukum yang berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Sedangkan secara administratif adalah untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar megister dalam bidang hukum Islam (M.Sy) di Program Pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau.
Kedua: Secara praktisi hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya pembinaan dan pengembangan Hukum Pidana Islam, sehingga senantiasa dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, terutama para ulamā dalam mensyiarkan agama Islam dan hakim dalam mempertimbangkan putusannya dalam perkara hukum. Kajian ini sangat penting untuk mengembangkan kerangka pikir dalam metode penetapan hukum sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman.
F.   Sistematika Penulisan
Untuk lebih jelas dan mudah dipahami pembahasan dalam penelitian ini, penulis memaparkan dalam  sistematika penulisan yang mengacu kepada Buku Panduan Penulisan Tesis Dan Desertasi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau tahun 2015.[23] Adapun tesis  ini terdiri dari lima (5) bab sebagai berikut :
Bab I, merupakan bab pendahuluan yang memaparkan latar belakang masalah, masalah-masalah secara umum, Batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan
Bab II, berisi tentang kerangka teoritis yang meliputi tinjauan umum yang secara deskriptif meliputi tentang pembahasan pengertian ‘Tindak Pidana dan Hukum Pidana Islam.
Bab III, berisi tentang metode penelitian, sumber data (primer dan sekunder) dilanjutkan dengan tehnik pengumpulan data  
Bab IV, berisi tentang dampak pembakaran hutan, ketentuan islam tentang ihya al-mawat, ketentuan fiqh tentang hukum pidana bagi pembakar hutan dan fiqih lingkungan, pandangan fiqih lingkungan tentang lingkungan hidup, klasifikasi manakah (had atau ta’zir) pelaku pembakaran hutan dan lahan.
Bab V penutup, berisi kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan disimpulkan temuan-temuan dari penelitian tentang judul tesis ini yang akan dikemas dengan bahasa yang singkat dan padat. Selanjutnya akan dilengkapi dengan rekomendasi.




[1]Suriansyah Murhaimi, Hukum Kehutanan; Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2012), hal. 53-54.
[2] Wanggai Frans, Manajemen Hutan, (Grasindo, Jakarta, 2009), hal. 2.
[3] Suparmoko, Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPFE YOGYAKARTA, (Yogyakarta, 1997), hal. 239.
[4] Abdul  Khakim, Pengantar  Hukum  Kehutanan  Indonesia  (Dalam  Era  Otonomi Daerah), (Citra Aditya Bakti Cet.1, Bandung, 2005), hal. 1.
[5] Bambang  Pamulardi,  Hukum Kehutanan  dan  Pembangunan  BidangKehutanan, (Rajagarafindo Persada, Jakarta, 1996), hal. 1-2.
[6]Ibid, hal. 54-55.
[7]Lihat pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
[8]Abdul Hakim, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Baktim, 2005), hal. 48.
[9]Ibid, hal. 49-50.
[10]Ibid, hal. 51.
[11] HS. Salim, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 37.
[12] Pengertian khalifah menurut etimologi berasal dari akar kata kha, lam, fa, mempunyai tiga makna pokok yaitu mengganti, belakang dan perubahan. Lihat Abu Al-Husain bin Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Maqayis al-Lughah. hal. 210. Menurut terminologis, pengertian khalîfah ditemukan beberapa pendapat, antara lain; menurut Al-Sayuti menukilkan pendapat Salman Al-Farisiy dan Muawiyah bahwa Khlaifah adalah kepala pemerintahan umat Islam. Abd. Al-Rahman Jalal al-Din Al-Sayuti, Al-Durr Al-Mansyur fi Al-Tafsir Al-Mantsur, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983), hal. 169. Sedangkan ditinjau dari sudut filosofis, maka istilah khalifah dalam arti pengganti atau pemimpin, ada dua pandangan yang berbeda-beda yaitu:1) menyatakan bahwa manusia sebagai species telah menggantikan species lain yang sejak itu manusia bertempat tinggal di muka bumi, karena diakui bahwa jin mendahului manusia, maka manusia sebagai pengganti jin;2) pandangan kedua tidak perlu mempertimbangkan pendahulu-pendahulu manusia atau siapa mahluk sebelum manusia di muka bumi ini. Uraian lebih lanjut lihat Abd. Rahman Sileh Abaullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an (Cet.  I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 46.
[13]Adnan Harahap, dkk, Islam dan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Penerbit Yayasan Swarna Bhumy, 2001), hal.  83-84.
[14] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008), hal. 54.

[15]   Moeljatno, Ibid, hal. 55.
[16] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 58.
[17] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 67.

[18] Ibid, hal. 67.
[19] Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta; PT. Gramedia, 2008), hal. 855

[20] ttps://id.wikipedia.org/wiki/Perspektif
[21] Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gema Media, 2001), hal. 13.
[22] Lihat Wahbah Zuhaili, al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh, cet. I, (Damaskus; Dar al-Fikri al-Mu’ashirah, 1999), hlm. 13

[23] UIN Suska Pekanbaru, Buku Panduan Penulisan Tesis Dan Desertasi, (Pekanbaru; PPs UIN Suska, 2015), hlm. 11-12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...