Minggu, 03 Mei 2020

HUKUM BAGI PEMBAKAR HUTAN DAN LAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM 2


BAB II

A.  Kerangka Teoritis
Kejahatan di bidang kehutanan di Indonesia sudah terjadi sejaka lama, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan. Berbagai bentuk kejahatan di bidang kehutanan telah terjadi, baik dilakukan oleh perorangan maupun korporasi. Di sisi lain, aparat penegak hukum tidak berdaya menghadapi pelaku kejahatan di bidang kehutanan, karena mereka biasanya menggunakan teknologi canggih, bahkan tidak sedikit di antaranya yang memiliki back up atau pelindung yang kuat, sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan sering kali tidak berjalan sesuai harapan.
Salah satu bentuk kejahatan di bidang kehutanan adalah pembakarn hutan yang akhir-akhir ini sering terjadi. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan telah mengatur tindak pidana di bidang kehutanan, termasuk pembakaran hutan. Hanya saja pengaturan mengenai pembakaran hutan sebagai salah satu bentuk kejahatan kehutanan masih terdapat beberapa kelemahan, sehingga berakibat pada lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan pembakaran hutan tersebut. Tidak mengherankan jika hingga kini seringkali diberitakan terjadinya kejahatan kehutanan yang menimbulkan kerugian materiil dan kerusakan hutan, kejahatan pembakaran hutan ini tidak bisa dibiarkan terus berkembang yang akhirnya dapat merusak kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
   Dalam mengatasi kejahatan pembakaran hutan ini, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan, salah satunya adalah Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang di dalamnya memuat sanksi bagi para pelanggarnya. Terhadap pelaku kejahatan hutan, undang-undang ini menetapkan tiga sanksi; sanksi pidana, sanksi ganti rugi, dan sanksi administratif. Ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 78, memuat pidana penjara, denda, dan perampasan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
   Namun ketentuan-ketentuan sanksi tersebut dianggap masih belum efektif, sebab belum memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan hutan. Hal ini terbukti dengan masih maraknya perbuatan pembakaran hutan dan lahan, disamping itu banyaknya pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum. Wajar saja, di dalam Undang-undang Kehutanan ini ketentuan sanksi tertinggi hanya 15 tahun penjara dengan ketentuan denda tertinggi Rp. 5.000.000.000, 00 (lima miliar Rupiah).
Adapun kejahatan dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah jarimah[19]yang ditafsirkan menurut Abdul Qadir‘Audah yaitu sebagai suatu larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan had  atas ta’zir.[20] Sedang ancaman hukumannya dapat disebut dengan ‘Uqubah, yaitu membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya, atau balasan dalam bentuk ancaman hukuman yang jenisnya ditetapkan oleh syara’.[21]Perbuatan larangan tersebut ada kalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dalam pengertian lain disebutkan bahwa kejahatan sebagai perbuatan atau tindak anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan di dalam masyarakat, Negara harus menjatuhkan sanksi kepada pelaku kejahatan.[22]
Suatu perbuatan dipandang sebagai jarimah dan pelakunya dapat dimintai pertanggung jawaban pidana apabila telah memenuhi unsure-unsur sebagai berikut:
1.    Unsur Formil (Rukun Syar’i) yaitu adanya nash atau peraturan yang menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang dianncam dengan hukuman.
2.    Unsur Materil (Rukun Maddi) yakni adanya pebuatan melawan hukum baik perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat.
3.    Unsur Moril (Rukun Adabi), yakni pelakunya adalah orang-orang mukallaf, berakal, bebas berkehendak, dalam arti mukallaf terlepas dari unsur paksaan dan dalam kesadaran penuh.[23]
Pada dasarnya hukum diciptakan dan diundangkan memiliki tujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan manfaat dan menghindari kemudharatan bagi manusia. Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syari’ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat terwujud jika lima unsur pokok (maqashid al-syari’ah) dapat diwujudkan dan dipelihara.[24]
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid[25]pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah. [26] Ada yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik maslahah atau menolak mafsadah.Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia atau di akhirat.Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusi.[27] Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau menarik kebaikan…".Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum. [28]
Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.)    Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.)    Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah. [29]
Dalam penyelesaian masalah pembakaran hutan atau kita qiyaskan dengan perusakan lingkungan. Penulis mengacu pada metode maqashidas-syari’ah[30] yang menawarkan tiga skala prioritas tetapi saling melengkapi;


1.      al-dharuruiyyat (primer);
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.
1)       Agama
             Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Maidah : 3
.. ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ ٣
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam surat Asy-syura : 13.
۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ مَا تَدۡعُوهُمۡ إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِيٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ ١٣

13. Dia telah mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah : 256.
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
2)      Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :
1)      Surat Al-Baqarah ayat 178-179
2)      Surat al-an’am ayat 151
3)      Surat Al-Isra’ ayat 31
4)      Surat Al-Isra’ ayat 33
5)      Surat An-Nisa ayat 92-93
6)      Surat Al-Maidah ayat 32.
Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu surat Al-Isra’ ayat 33
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.


3)      Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal.   
Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
وَإِنَّ لَكُمۡ فِي ٱلۡأَنۡعَٰمِ لَعِبۡرَةٗۖ نُّسۡقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِۦ مِنۢ بَيۡنِ فَرۡثٖ وَدَمٖ لَّبَنًا خَالِصٗا سَآئِغٗا لِّلشَّٰرِبِينَ ٦٦
“66.  Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
وَمِن ثَمَرَٰتِ ٱلنَّخِيلِ وَٱلۡأَعۡنَٰبِ تَتَّخِذُونَ مِنۡهُ سَكَرٗا وَرِزۡقًا حَسَنًاۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ٦٧

67.  Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
وَأَوۡحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ أَنِ ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ ٦٨
68.  Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسۡلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلٗاۚ يَخۡرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٞ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٦٩
69.  Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.
      4)      Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.
      5)      Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai. [31]
2.       al-hajiyyat (sekunder);
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yan gdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang lain)
3.       dan al-tahsiniyyat (tersier).[32]Untuk mengidentifikasi maqashidal-syari’ah (maslahah)tersebut, menurut al-Syathibi metode yang paling tepat adalah menggunakan istiqra’ (induksi) yaitu dengan model pengembalian kesimpulan premis umum dari sekumpulan dalil-dalil yang berserakan. Metode ini pada dasarnya memberikan kebebasan pada akal untuk memahami sebuah nash yang kemudian dikontrol oleh maqashidal-syari’ah. Metode di atas dipakai sebagai pisau analisa atau kacamata untuk membaca permasalahan perusakan lingkungan.[33]
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut. [34]
Selain menggunakan metode maqashid al-syari’ah, penulis juga menggunakan metode analisis terhadap fiqih bi’ah (fiqih lingkungan). [35] Fiqih dalam konteks lingkungan adalah hasil bacaan dan pemahaman manusia terhadap dalil naqli , baik yang maktubah (tertulis), maupun yang kauniyyah (tidak tertulis) yang tersebar di alam jagat raya. Jadi, fiqih lingkungan adalah pemahaman manusia tentang lingkungan hidup melalui pendekatan-pendekatan holy scriptures (teks-teks suci) dan natural signs (tanda-tanda alam) yang pada akhinya akan melahirkan suatu konsep dan sikap mereka terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestariannya. Oleh karena itu, pemahaman ummat terhadap ajaran Islam perlu dikembangkan dan diperdalam agar Islam bisa dipahami secara konfrehensif. 
Kerangka dasar pemahaman fiqih lingkungan tidak dijelaskan secara terperinci  dalam  bab  tersendiri  melainkan  masih  tersebar  dalam  kajian beberapa ilmu fiqih. Hal ini terlihat jelas dimana fiqih mengajarkan kepada kita tentang pola tahapan yang diawali dari kebersihan dan diakhiri dengan tertib dalam menjalankan. Didukung dengan kebebasan dari rasa takut akan kekhawatiran dan didasarkan pada prinsip kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kearifan dari kehidupan manusia. Melihat hal tersebut persoalan fiqih lingkungan bukan hanya mengkaji masalah sampah dan pengrusakan alam semesta, namun lebih cenderung kepada sebuah kriktik dimana kita melihat akan adanya perbedaan yang mendalam dalam menafsirkan antara kebutuhan dan melestarikan. Kecenderungan manusia dalam memuja ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan mereka lupa akan  tugas mereka dimuka bumi sebagai khalifah yang mana tidak hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada, tetapi juga harus melestarikan agar dapat digunakan secara terus menerus.
Secara umum kita pahami bahwa kebutuhan manusia tidak akan ada habisnya. Eksplorasi besar - besaran ditunjukkan dengan pemanfaatan tegnologiyang membantu manuisa dalam merusak alam. Dimulai dari revolusi dunia barat yang telah mampu menemukan tegnologi yang dapat digunakan sebagai   alat   untuk   pengolahan   alam,   namun   manusia   mengesampingan teknologi yang bermanfaat untuk melestarikan alam. Alasan pemenuhan kebutuhan menjadi ukuran utama dalam perkembangan tegnologi pengolahan hasil sumber daya alam.
Berangkat dari hal itu, fiqih yang memiliki norma - norma yang menjabarkan nilai - nilai Al Alqur’an dan Al Sunnah harus dapatmemberikan sumbangan  yang  bersifat  riil  dalam  membentuk  pola  pikir  manusia  yang mampu mengatur tatanan kehidupan manusia yang mampu mengatur tatanan kehidupannya dalam hal pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Hal ini akan mengangkat tatanan hidup manusia kearah yang lebih baik dan tidak hanya memenntingkan ego manusia dalam eksplorasi alam, namun lebih kepada pemanfaatan yang disertai dengan pelestarian sumber daya alam.
Pengkajian Fiqih Lingkungan berdasarkan pada pemahaman bagaimana manusia mampu menjaga dan melestarikan sumberdaya alam yang ada sebagai peruwujudan manusia dalam mengolah alam semesta. Ada beberapa hal yang terkait oleh fiqih lingkungan dimana manusia sebagai khalifah dibumi perlu menjalankan amanatnya untuk menjaga sebagaibentuk pemeluiharaan lingkungan hidup diantaranya yaitu :






1. Perlindungan jiwa raga (hifdh al nafs). [36]
Dalam  pandangan  fiqih  lingkungan  setiap  jiwa  dan  ragaa  makhluk hidup adalah hal yang mulia. Oleh sebab itu perlu adanya penjagaan dan perlindungan yang senantiasanya dijalankan pada setiap makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan) tanpa memandang status derajatnya.
2. Menyelaraskan tujuan kehidupan dunia akhirat. [37]
Dalam fiqih dijelaskan pengatruran kehidupan manusia yang mana fiqih telah mengatur tatanan interaksi manusia baik dengan Alloh SWT. Dengan sesama manusia, dan juga hubungan manusia dengan alam. Menyelaraskan antara tujuan dunia dan akhirat adalah bagaimana manusia dengan alam. Menyelaraskan antara tujuan dunia dan akhirat adalah bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan daslam menjalankan   roda kehidupan namun tidak melupakan tujuan akhirat yaitu mendapatkan ridho Allah SWT.
3. Kebutuhan akan produksi dan konsumsi harus seimbang. [38]
Fiqih lingkungan mengatur tatanan kebutuhan manusia dalam hal memproduksi atau mengkonsumsi sesuatu harus sesuai dengan kadar kemampuan manusia untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Hal ini didasarkan  pada  larangan  manusiauntuk  berllebih  -  lebihan  dalam segala hal.
4. Keseimbangan ekosistem harus dijaga. [39]
Tugas manusia untuk mengolah dan melestarikan alam tidak luput dari peran serta manusia dalammenjaga keseimbangan ekosistem. Jika ekosistem terjaga maka manusia akan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhannya.
5. Semua makhluk adalah mulia (muhtaram). [40]
Selaras  dengan  menjaga  keseimbangan  ekosistem, maka didalamnya manusia   juga harus menjaga setiap makhluk hidup didunia, sebab makhluk   hidup   selain   manusia   dapat   juga   dimanfaatkan   secara seimbang tidak diburu untuk kepunahannya.
6. Manusia menjalankan tugas kekhalifahannya dalam hal mengolah dan mengelola alam semeta. [41]
Dari  pemikiran  ini  maka fiqih  lingkungan  cenderung pada  tatanan yang mengatur kehidupan manusia dengan alam semesta, baik dalam hal pemanfaatan  dan  juga  pelestariannya.  Hal  ini  yang  akan  menunjukkan eksistensi manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang berdasarkan Al Qur’an dan  Al  Sunnah.  Sebab  Islam  berbicara  tentang  alam  mulai  dari pembentukannya yang tidak memiliki kekurangan apapun dalam pemanfaatannya sampai pada hari akhir sebagai bentuk kerusakan bagi umat manusia.
Dari kesekian penjelasan tentang prisip dasar fiqih lingkungan semua berkaitan dengan tugaas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebab manusia yang mempunyai akal fikiran yang dapat digunakan untuk mengolah dan mengelola alam semesta.

B.  Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran penulis tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukan terkait judul penelitian ini, penulis menemukan judul-judul sebagai berikut:
1.    Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau Menurut Perspektif Hukum Lingkungan, oleh Ahmad Jazuli, di Jurnal RechtsVinding, edisi 27 Oktober 2014. Kesimpulannya adalah bahwa untuk meminimalisir dampak kebakaran hutan yang dapat dilakukan, antara lain: (a) pemetaan daerah rawan kebakaran lahan dan/atau hutan; (b) penguatan data dan informasi terkait dengan hot-spot, persebaran asap, pemetaan daerah terbakar, Fire Danger Rating System (FDRS), pengembangan Standard Operation Procedure dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan, dan pengelolaan lahan gambut. Bahkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah memberikan pelatihan kepada Malaysia dalam pengembangan FDRS melalui sistem remote sensing; (c) penguatan dan peningkatan kapasitas masyarakat peduli api yang dilakukan melalui sosialisasi, kegiatan pencegahan dini maupun pelatihan, (d). penanggulangan bencana asap yang terkoordinir dalam rangka tanggap darurat bencana, antara lain melalui gelar pasukan pemadaman api, operasi modifikasi cuaca, dan lain-lain; (e). melakukan penegakan hukum (pidana dan perdata) terhadap pelaku (individu dan korporasi) pembakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap lintas batas yang mengakibatkan kerusakan lingkungan; dan (f) memperkuat kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang mendukung kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning policy) dan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap lintas batas.[42]
2.    Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pembakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, oleh Erdiansyah, di Jurnal Ilmu Hukum, volume 4 Nomor 3 September 2014-Januari 2015. Kesimpulannya, pertama, meskipun Undang-undang kehutanan dan lingkungan dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liabilityterhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilandan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusanpengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi di Provinsi Riau. Ada 9 (sembilan) perusahaan di Riau diduga terlibat melakukan pembakaran hutan dan lahan di Riau, namun baru 2 (dua) perusahaan ditetapkan sebagai tersangka atas nama perusahaan PT. Adei Plantation dan PT. National Sagu Prima, dan baru perusahaan Adei Plantation & Industry sampai ke tingkat peradilan, itupun pada tahun 2013di mana PT. Adei Plantation & Industry dijatuhi sanksi oleh Pengadilan Negeri Pelalawanmenyatakan bahwa terdakwa PT. AdeiPlantation & Industry tidak terbukti secara sah dan menyakinkanbersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatifketiga primair Jaksa Penuntut umum, kemudianmembebaskan terdakwa PT.Adei Plantation & Industry dari dakwaan alternatif ketiga primair tersebut. Selanjutnya menyatakan terdakwa PT. Adei Plantation & Industry telah terbukti secara sah dan menyakikan bersalah melakukan tindakpidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Kemudian menjatuhkan pidana terhadapterdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp.1.500.000.000,-(satu milyar lima ratus juta Rupiah) denganketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti denganpidana kurungan yang diwakili oleh Sdr. Tan Kei Yoong selama 5(lima) bulan; menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa PT.Adei Plantation & Industry berupa perbaikan akibat tindak pidanauntuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas 40 Ha melalui pemberian kompos, dengan biaya sebesar Rp.15.141.826.779.325,-(lima belas milyar seratus empat puluh satu juta delapan ratus dua puluh enam ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan Rupiah tiga ratus dua puluh lima sen). Kedua, hambatan dalam implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau adalah bahwa tindakpidana yang dilakukan korporasi terhadap pencemaran lingkungan sangat sulit sekali diketahui. Meskipun diketahui, untuk membuktikannya di pengadilan masih menghadapi permasalahan hukum, karena kesulitan dalam mencari bukti-bukti berdasarkan hukum dan sulit menentukan siapa yang harus pertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan korporasi tersebut sehingga dalam implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau mengalami beberapa hambatana ntara lain: (a) ketidak sederhanaan perangkat hukum dan perangkat peraturan perundang undangan; (b) profesionalisme aparat penegak hukum lingkungan,dan; c) kesadaran hukum masyarakat dan sarana yang mendukung penegakan hukum.[43]
3.    Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran Hutan di Wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, oleh Aji Prasetyo, di Diponegoro Law ReviewVolume1, Nomor 2, Tahun2013. Kesimpulannya adalah, pertama, pengaturan tindak pidana pembakaran hutan tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu dalam KUHP, Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Perkebunan, Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Hutan, dan Peraturan Daerah Kalimantan Tengah. Kedua, penyidikan tindak pidana pembakaran hutantidak hanya dilakukan oleh penyidik Polri, namun juga dapat dilakukan oleh penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang tugas dan wewenangnya di tentukan dalam Undang-undang. Penegakan hukum tindak pidana pembakaran hutan di Wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur terhadap para pelaku tidak berjalan secara optimal, hal ini ditunjukan dengan tidak adanya pelaku yang dapat dipidana, namun hanya sampai pada proses penyidikan saja. Ketiga, penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran Hutan di wilayah Kabupaten Kota Waringin Timur mengalami beberapa yaitu: (a) dana, sarana, dan prasarana yang terbatas; (b) kurangnya Sumber Daya Manusia; (c) kebiasaan masyarakat membuka lahan dengan cara membakar yang sulit dihilangkan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut yaitu: (a) melakukan kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan setiap menjelang musim kemarau. (b). peningkatan sarana dan prasarana pendukung, yaitu dengan penambahan kendaraan operasional yang dapat mencapai lokasi kebakaran hutan, alat pemadam yang memadai, dan alat-alat yang diperlukan dalam penyidikan. (c).Melaksanakan Patroli rutin yang dilakukan aparat terkait dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, kepolisian , dan Satpol PP.[44]
4.    Kebakaran Hutan di Indonesia dan Proses Penegakan Hukumnya sebagai Komitmen dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim, oleh Popi Tuhulele, di Jurnal Supremasi Hukum, vol. 3, No. 2, Desember 2014. Kesimpulannya, kesadaran dan keseriusan para pengambil keputusan dalam memperhatikan danmengimplementasikan kebijakan dan komitmen dalam sector lingkungan hidup sangatlah tidak memadai. Banyak komitmen nasional dan global dibidang lingkungan hidup yang sasarannya jelas tidak tercapai. Ada gap yang besar antara rumusan kebijakan dengan operasionalisasinya. Diperlukan kemauan yang keras, tidak kenal lelah, dan mendasar untuk menempatkan perhatian dan kebijakan yang pro lingkungan hidup khususnya para elit yang berada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif, meskipun Indonesia memiliki berbagai peraturan terkait dengan kebakaran hutan dan lahan.Dari beberapa uraian di atas, ada banyak celah yang membingungkan dan ini nyata-nyata dipergunakan oleh pihak yang sengaja melakukan cara-cara pengusahaan hutan/perkebunan dengan jalan pembakaran hutan sebagai jalan yang sebenarnya melawan hukum, selain ada celah ketidak serasian siapa aktor penegak hukumnya, dalam hal penegakkan hukum secara sektoral yang selama ini dilakukan antara pihak Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kepolisian Republik Indonesia dengan arahan Undang-undangnya masing-masing. Bahkan di tingkat lapangan, hal ini menjadi sangat rumit sekali. Perlu dilakukan upaya yang keras untuk mendorong penegakan hukum lingkungan, terutama bagi pelaku pembakar hutan dan pentingnya dilakukan koordinasi semua departemen yang terkait dengan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) atau lebih tinggi setingkat Instruksi Presiden (Inpres) seperti yang kita lihat dalam Inpres mengenai Pemberantasan Pembalakan Liar (illegal logging). Hal yang patut untuk dilakukan Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan komitmen dalam mengatasi dampak perubahan iklim dan dalam kaitannya dengan kebakaran hutan yakni perlu penegakan hukum terhadap oknum pelaku kebakaran secara konsisten dan serta menimbulkan efek jera, hal itu dapat dilakukan dengan menyiapkan aturan-aturan yang tegas serta tidak memberikan peluang adanya pelanggaran perlu diupayakan lahirnya Peraturan Pemerintah terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup mengenai tanggung jawab perusahaan apabila terjadi kebakaran/pembakaran di hutan/lahan di konsesinya untuk menutup celah kesimpangsiuran ketentuan hukum seperti yang telah dipaparkan di atas. Reratifikasi terhadap ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, dan mengambil peranan utama dalam implementasi persetujuan in perlu dilakukan Indonesia sebagai perwujudan komitmen internasional dan regionalnya. Karena bagaimanapun perjanjian ini merupakan perjanjian di tingkat regional yang pertama di dunia yang mensyaratkan sekelompok negara bekerjasama menanggulangi asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan lahan.[45]
Berdasarkan judul penelitian-penelitian di atas, tidak terdapat judul yang sama dengan judul yang akan diteliti. Judul-judul di atas hanya hasil penelitian tentang supremasi hukum bagi pelaku pembakar hutan dan lahan. Adapun distingsi dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah menggali ketentuan hukuman bagi pelaku pembakar hutan dan lahan menurut hukum Islam.



[19] Menurut istilah, definisi jarimah yang dikemukakan oleh Imam al-Mawardi :
الجرائم محظورات شرعية زجر الله تعالى عنها بحد او تعزير
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.”Kata jarimah diistilahkan dalam hukum positif sebagai tindak pidana (delik) atau pelanggaran.Dalam pemakaian kata jinayah mempunyai arti lebih luas, yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan pada satuan perbuatan dosa tertentu (jarimah)..
Pengertian jarimah tersebut hampir bersesuaian dengan pengertian menurut hukum positif (hukum pidana Indonesia). Jarimah dalam istilah hukum pidana Indonesia diartikan dengan peristiwa pidana. Menurut Mr. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, peristiwa pidana ialah rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangan lainya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.
Pengertian jarimah menurut syara’ pada lahiriyahnya ternyata sedikit berbeda dengan pengertian jarimah atau tindak pidana menurut hukum positif dalam kaitannya dengan masalah ta’zir. Menurut hukum islam hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak tercantum nash ata ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan ketentuan yang pasti dan terperinci. Sedangkan menurut hukum positif dalam perngertian di atas, hukuman itu harus tercantum dalam undang-undang. Lihat Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam;Fiqh Jinayah, cet.II, Jakarta :Sinar Grafika, 2006, hal. 10 lihat juga Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam;Fiqih Jinayah,cet.2, Bandung : Pustaka Setia, 2000, hal.13
[20]Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/ 1989 M), hal. 66.
[21]Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam; Fiqih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 136.
[22]Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, (Jakarta: Rajawali, 1984), hal. 31.
[23]Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 16.
[24] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/ 1988 M), juz. 2, hal. 72.
[25] Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, (Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992M), hal. 131
[26] Muhammad Fathi al-Duraini, al-Manahij al-usuliyyah, (Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997M), hal.48
[27] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996M), jil.3, hal. 37
[28] Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar , 1998M , m.s.50
[29] Kahairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II,( Pustaka Setia, Bandung, 2001), hal 125-126
[30] Secara bahasa maqashid syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:
هذه الشريعة...وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا
“ Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.” Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi
الآحكام مشروعة لمصالحالعباد
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba." Lihat Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo, I,) hal. 21, Ibnu Mandzur, Lisaan Al-‘Arab Jilid I,( Kairo: Darul Ma’arif, tt) hal. 3642. Dan Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. 14, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), hal. 712
[31] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Bumi aksara, Jakarta, 1992), hal 67-101
[32] Abu Ishaq al-Syathibi,Op. Cit, hal. 73-74.
[33] Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih Versus Hermeneutika; Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2007), hal. 48.
[34] YuAbdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 333-343
[35] Fiqh al-Bi’ah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata (kalimat majemuk; mudhaf dan mudhaf ilaih), yaitu kata fiqh dan al-bi`ah. Secara bahasa “fiqh” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu), al-fahmu (pemahaman) Sedangkan secara istilah, fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil daridalil-dalil tafshili (terperinci). Adapun kata “al-bi`ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lihat Sukarni, Fikih Lingkungan Hidup (Banjarmasin: Antasari Press, 2011) hlm. 45
[36]Alie Yafie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, (Jakarta:Tama Printing 2006), 163.
[37] Ibid, 167.
[38] Ibid, 170.
[39] Ibid, 173.
[40] Ibid, 180.
[41] Ibid, 185.
[42]Ahmad Jazuli,“Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau Menurut Perspektif Hukum Lingkungan,  di Jurnal Rechtsvinding,  edisi 27 Oktober 2014, hal. 41-42.
[43]Erdiansyah , “Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pembakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau,”Jurnal Ilmu Hukum, volume 4 Nomor 3 September 2014-Januari 2015, hal. 163-164.
[44]Aji Prasetyo, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran Hutan di Wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur,”Diponegoro Law Review, Volume1, Nomor 2, Tahun 2013, hal. 9-10.
[45]Popi Tuhulele, “Kebakaran Hutan di Indonesia dan Proses Penegakan Hukumnya sebagai Komitmen dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim,” di Jurnal Supremasi Hukum, vol. 3, No. 2, Desember 2014, hal. 140-141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...