Selasa, 01 Desember 2015

MAQASHID SYARIAH DAN ISTISHAN



BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah ajaran yang sumbernya dari Tuhan, shalih likulli zaman wa makan, karena memang sifat dan tabiat ajaran Islam yang relevan dan realistis sepanjang sejarah peradaban dunia, kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang bisa dipakai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja mulai dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan ini.
Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terkandung dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilahkan dengan Maqashid al-syariah.
Mungkin bila kita berbicara tentang Maqashid Syariah, secara otomatis pikiran kita akan tertuju kepada seorang al-Syatibi. Yang di anggap sebagai peletak dasar konsep Maqashid Syariah. Namun sebenarnya banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama, salahsatu  yang di anggap sebagai orang pertama yang berbicara tentang Maqashid ialah Abu Abdillah Muhammad bin ali yang popular dengan panggilan al-Turmudzi al- Hakim,Meskipun demikian dalam makalah ini tidak begitu mempersoalkan pada permasalahan tersebut dan lebih menitik beratkan pada urgensi dari Maqashid syariah itu sendiri.
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Ketika kita membahas tentang maqashid syariah, maka kita akan dibawa pada pembahasan berbagai metode penetapan hokum syariaah. Istihsan merupakan salah satu daripada sumber hukum perundangan Islam dimaksud disamping , maslahah mursalah, dan urf..
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat maqashidus syariah danal-Istihsan, bagaimana pandangan para ulama lintas madzhab tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Meski ulama berselisih pendapat tentang kehujahan Istihsan, ini kerana terdapat ulama yang menerima dan juga menolak Istihsan. Antara ulama yang menerima kehujahan Istihsan ialah ulama Hanafiah, Imam Malik dan sebahagian ulama Hanbali. Manakala pula, antara ulama yang menolak kehujahan Istihsan ialah Imam Shafie dam ulama shafi’I serta sebahagian ulama Hanbali.(Abdul Latif Muda 1997:117)
Ulama yang menerima Istihsan berpendapat bahawa Istihsan adalah salah satu cara untuk mencari penyelesaian terbaik bagi kepentingan awam. Manakala pula, menurut sebahagian ulama yang menolak kehujahan Istihsan, jika Istihsan dibenarkan ini boleh membuka jalan ke arah penggunaan akal fikiran tanpa sekatan yang mana ia terdedah kepada kesilapan dalam menetapkan hukum. Hal ini kerana hukum akan dibuat berdasarkan nafsu dan fikiran, sedangkan yang berhak membuat hukum adalah Allah s.w.t. (Amir Husin Mohd Nor 2002:36)


BAB I
PEMBAHASAN
1.      Maqashid Syariah
a.  Pengertian Secara Bahasa
Kata syariat berasal darai “syara’a as-syai” dengan arti; menjelaskan sesuatu. Atau ia diambil dari “asy-syir’ah” dan “asy-syariah” dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang yang datang kesana tidak memerlukan adanya alat.
Dalam “mufrodat Al-Qur’an.” Ar-Raghib Al-Asfahani menulis bahwa “Asy-syar adalah jalan yang jelas. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah: ali’timad: berpegang teguh, al amma: condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari مقصد- قصد maksud, tujuan الشريعة secara bahasa adalah tempat menuju ke sumber air tanpa terputus الشريعة secara makna syar’i adalah Sesuatu yang ditetapkan Allah SWT untuk hambanya berupa ajaran agama. Korelasi makna bahasa dan makna syar’I merupakan jalan ke arah sumber pokok kehidupan.مقاصد الشريعة  berarti tujuan dan fungsi syariat berupa mendatangkan kemaslahatan, baik dalam bentuk mewujudkan maupun memeilhara kemaslahatan tersebut Al-Syatibi mendefiniskan maqashid syari’ah bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.[1]
Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.[2] Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.[3]
b.   Pengertian Secara Istilah
Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah “Menegaskan bahawa syariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia”.[4]
Al Khadimi “Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta”.
 Dr. Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya).[5]
Syariat adalah[6]: hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama.  Atau hukum agama yang ditetapakan dan diperintahkan oleh Allah. Maqashid syariah” adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah,larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah, dan umat.
Maksud-maksud juga bisa disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum.
Maqashid al-syari’ah dalam arti Maqashid al-Syari’, mengandung empat aspek. Keempat aspek itu adalah :
a.       Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
b.      Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
c.       Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan, dan
d.      Tujuan syariat adalah membawa ke bawah naungan hukum.
Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer yang disebut dengan istilah daruriyat tersebut di atas merupakan tujuan utama yang harus dipelihara oleh hukum islam. Kepentingan-kepentingan yang harus dipelihara itu adalah :
A.    Perlindungan Terhadap Agama
Perlindungan agama ini merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agam merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap Muslin serta akhlak yang merupakan sikap hidup seorang Muslim.[7] Dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh  Al-Bukhari yang diambil dari jalur Masruq dari Abdullah, bahwasanya Rosullah bersabda:
لا يحلّ دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلاّ الله وأنّي رسول الله إلاّ بإحدى ثلا ث النّفس باالنّس والثّيّب الزّاني والمارق من الدّين التّارك للجماعة
Tidaklah halal darah seorang muslim yang bersksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal; jiwa dengan jiwa(membunuh dihukum mati), orang yang telah menikah berzina, dan orang yang murtad dari agama (islam) karena meninggalkan sholat jamaah.

Berdasarkkan hadits diatas sudah sangat jelas sekali bahwasanya Allah melindungi orang-orang yang berada dalam agamaNya. Jadi orang-orang yang berada dalam agama islam haram baginya darahnya atau haram baginya untuk membunuhnya.
Dan dilain pihak juga islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap pemeluk agama berhak atas agama dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya manuju agama atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah keyakinannya untuk masuk islam.
Dasar hak ini sesuai firman Allah
لا اكراه فى الدين قد تبيّن الرّشد من الغي
Tidak ada paksaan untuk (mamasuki) agama (islam), sesunguhnya telah jelas yang benar daripada jalan yang sesat.(QS.Al-Baqarah(2): 256).

Mengenai tafsir ayat ini Ibnu katsir mengungkapkan,” Janganlah kalian memaksa seseorang untuk memasuki agama islam. Sesungguhnya dalil dan bukti akan hal itu sangat jelas dan gamblang, bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk masuk agama islam.”
Asbabun nuzul ayat ini(sebagimana dikatakan para ulama ahli tafsir) menjelaskan kepada kita suatu sisi mengagumkan agama ini( islam). Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan ada seorang perempuan yang sedikit keturunannya, dia bersumpah kepada dirinya, bahwa bila dikarunia seorang anak, dia akan menjadikannya seorang yahudi ( hal seperti ini dilakukan oleh wanita dari kaum ashar pada masa jahiliah), lalu ketika ,umcul Bani Nadhir, diantara mereka terdapat keturunan dari kaum ashar. Maka bapak-bapak mereka berkata,” kami tidak akan menbiarkan anak-anak kami; memeluk agama yahudi, lalu Allah menurunkan ayat ini.
 Atas peristiwa yang terjadi ini, Al-qur’an tetap menolak segala bentuk pemaksaan, karena orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka Dia akan membukakan dan menerangi mata hatinya, lalau orang itu akan masuk islam dengan bukti dan hujjah.  Barangsiapa yang hatinya dibutakan, pendengaran, dan penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada gunanya mareka masuk islam dalam keadaan dipaksa.
B. Perlindungan Terhadap Nyawa
Pemeliharaan ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.[8] Untuk itu hukum islam melarang pembunuhan sebagai uoaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya.[9]
Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10H, Nabi SAW menuju kepadang arafah, di sana beliau berkhutbah, yang intinya bahwa islam adalah risalah langit yang terakhir, sejak empat belas abad yang lalu telah mensyariatkan (mengatur) hak-hak asasi manusia secara komprehensif dan mendalam.  Islm mengaturnya dengan segala macam jaminan yang cukup untuk menjaga hak-hak tersebut.  Islam membentuk masyarakatnya di atas fondasi dan dasar yag menguatkan dan memperkokoh hak-hak asasi manusia.
 Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak  hidup. Maka tidak mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak menghadapkannya dengan sumber-sumber kerusakan/ kehancuran.  Alllah berfirman,
ولا تقتلوا أنفسكم إنّ الله كان بكم رحيما
Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu (QS.An-Nisa;29)

Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Abu Hurairah, bahwasanya Rasullah bersabda:
من تردّ من جبل فقتل نفسه  فهو في نار جهنم يتردّ فيه خالدا مخلّدا فيها أبدا ومن تحسى سما     فسمه في يده يتحساه في نار جهنم خالدا مخلّدا فيها أبدا ومن قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يجأ بها في بطنه في نار جهنم خا لدا مخلدا فيها أبدا
Artinya : barang siapa yang menjatuhkan diri dari gunung, lalu dia mati maka di neraka jahannam dia akan mejatuhkan diri dia kekal dan dikekalkan di dalamnya. Dan barang siapa yang minum racun, lalu dia mati maka dia akan menghirup racun tersebut di neraka jahannam dia kekakl dan dikekalkan didalamnya. Dan barang siapa yang bunuh diri dengan menggunakan potongan besi maka di neraka jahannam besi itu akan berada di tangannya lalu dia akan memukul sendiri perutnya dengan besi tersebut dia kekal dan dikekalkan di dalamnya selamanya.

Hal ini disebabkan karena membunuh berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan mencanut ruh manusia. Padahal Allah sajalah sang pemberi kehidupan, dan dia sajalah yang mematikannya. Dialah sang pencipta kehidupan dan kematian.
Syekh Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi mengatakan :
Kita tidak menyaksiakan penciptaan makhluk, namun setiap hari kita menyaksikan kematian, dan hal ini merupakan hal yang sudah kita ketahui bersama. Merusak segala sesuatu berarti kebalikan dari menciptakannya. Maka bagaimana manusia diperkenankan merusak sesuatu yang dibangun (diciptakan) Allah? Dalam penjelasannya firman Allah pada surat Q.S Asy-syura 77-82 :
فا انهم عدو لي الا رب العالمين ۩ الذي  خلقني فهو يهدين ۩ والذي هو يطعمني و يسقين۩ واذا مرضت فهو يشفين ۩ والذي يميتني ثم يحيين ۩ والذي اطمع أن يغفر لي خطئتي يوم الدين          
Artinya : karena sesunggunya apa yang kamu sembah itu adalah musuh ku kecuali dan semesta alam ( Tuhan) yang telah mencipatkan aku, maka dialah yang menunjuk aku dan Tuhan ku, yang dia memberi makan dan minum kepadaku dan apabila aku sakit dialah yang menyembuhkan aku dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) dan yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahan ku pada hari kiamat (asyura)

Ada perbedaan anatra pembunuhan dan kematian (biasa.wajar). pembunuhan tidaklah sama dengan kematian, karena oembunuhan berarti merusak struktur tubuh yang menyebabkan keluarnya ruh-ruh hanya akan berada dalam tubuh yang sehat dengan spesifikasi-spesifiaksi khusus, karena itulah  Allah berfirman mengenai Rasulullah dalam Al-Qur;an terda[at pada surat Al-Imran :144
وما محمد الا قد خمت من قبله الرسول أفاءين مات أو قتل انقلبتم علي أعقبكم ومن ينقلب علي عقيبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشكرين                   
Muhahammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguhtelah berlalu sebelumnya bebarapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad), barang siapa yang berbalik ke belakangm maka ia tidak dapat mendatangkanmudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. 

Adapun kematian adalah keluarnya ruh dari tubuh, dengan struktur tubuh dalam keadaan sehat, dan hanya Allah-lah yang mematikan. Sedang pembunuhan dapat dilakukan manusia dengan menggunakan alat tajam atau dengan tembakau peluru.


C.  Perlindungan terhadap Akal
 Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahay matahari, dan media kebahagian manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal, surat perintah dari Allah disampaikan, dengannya pula manusia berhak pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya. Allah swt berfirman dalam surat al- Isra’ :70 :
ولقد كرمنا بني أدم وحملنهم في البر و البحر ورزقهم من الطيبت وفضلنهم علي كثير ممن خلقنا تفضيلا                                          
 dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kmai lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Andai tanpa akal,  manusia tidak berhak mendaptkan pemuliaan yang bisa mengangkatnya menuju barisan para malaikat. Dengan akal, manusia naik menuju alam para malaikat yang luhur. Karena itulah, akal         poros pembenahan pada diri manusia.[10] Dengannya, manusia akan mendapatkan pahala dan berhak mendapat siksa. Balasan di dunia dan di akhirat berdasarkan akal dan kekuatan pengetahuan. Nikmat dalam diri manusia ini membukakannya cakrawala kehiduoan, dia bisa menapaki penjuru bumi dan menyelam di bawah kedalamannya, serta menungganga udara. Sebagaiman yang telah disabdkana oleh sabda Nabi Nabi Muhammad SAW : wahai manusia, sesungguhnya setiap sesuatu memiliki anugerah, dan anugerah seseorag adalah akalnya. Dan orang yang paling baik petunjuk dan pengetahuannya mengani hujjah di antara kalian adalah orang yang paling mulia amalnya.
Melalui akalnya manusia, manusia mendapatkan petunjuk menuju malrifat kepada Tuhan dan Penciptanya. Dengan akalnya, dia menyembah dan menaati-Nya, menetapkan kesempurnaan dan keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan cacat, membenarkan para rasul dan para nabi, dan mempercayai bahwa mereka mereka adalah perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang diperintahkan Allah kepada mereja, membawa kabar gembira untuk mereka dengan jani, dan membawa peringatan dengan ancaman. Maka manusia mengopersikan akal mereka, mempelajari yang hala dan yang haram, yang berbahaya dan bermanfaat, serta yang baik dan buruk.
Setiap kali manusia mengoperasikan pikiran dan aklanya, menggunakan mata hati dan perhatiannya, maka dia akan memperoleh rasa mana, merasakan kedamaian dan ketenagan, dan masyarakat tempat dia hidup pun akan di dominasi oleh suasana yang penuh dengan rasa sayang, cinta, dan ketengangan. Manusia pun merasakan aman aras harta, jiwa, kehormatan, dan kemerdekaan mereka.
Akal dinamakan عقل  (ikatan) karena ia bisa mengikat dan mencegah pemilinya untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran. Dinamakan demikian, karen akal pun menyerupai ikatan unta; sebuah ikatan akan mencegah manusia menuruti hawa nafsu yang sudah tidak terjendali, sebagaimana ikatan akan mencegah unta agar tidak melarikan diri saat berlari.karena itulah Amir bin Abdul Qais berkata :
اذا عقلك عقلك عما لا ينيغي فأنت عاقل   
Jika akal mengikat mengikatmu dari sesuatu yang tidak sempurnam amka anda adalah orang yang berakal.

Diriwayatkan juga dari Nsbi SAW :
العقل نوؤ غي قلب يفرق به بين الحق و البطل   
Akal adalah cahaya dalam hati yang membedakan  antara perkara yang haq dan perkara  yang bathil.

Orang yang memerhatikan dengan mata hati dan cahaya iman, serta merenungkan dunia saat ini, juga peristiwa dan perubahan yang terjadi, maka dia akan mrndapati bahwa mayoritas umat yang maju dan berperadaban adalah mereka yang membuka medan kehidupan di depan akal, lalu melepaskannya dari semua ikatanm membuka tutup dan penghalangnya, menyingkarkan semua rintangan dan tembok, memcahkan dan melepaskan tali serta batasan di depan kekuatan yang sangat besar, yakni dengan perhatian, pikran, pembahasan, dan ilmu.
D.  Perlindungan terhadap harta benda
harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di aman manusia tidak akan bisa terpisah darinya.
المال و البنون زينة الحيوة الدنيا        
harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (QS. Al-Kahfi : 46)

manusia termotivasi untk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi, dia todak boleh berdiri sebagai pengahalang antar dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta yang dikumpulkannya dengan cara yang halal, diprgunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.
Cara menghasilkan harta tersebut adalah dengan cara bekerja dan mewaris, maka seseorang tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, karena Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ : 29
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أمولكم بينكم با البطل الا أن تكون تجارة عن ترض منكم                        
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
Apabila seseorang meminjamkan hartanya kepada orang lain dalam bentuk utang, maka ia bisa memilih salah satu di antara tiga kemungkinan berikut :
·          Meminta kembali hartanya tanpa tambahan.
·          Apabila tidak bisa mendapatkannya maka dia harus bersabar dan tidak membebaninya dengan melakukan tagihan.
·          Apabila orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, dia dapat menyedahkan pinjaman tersebut kepada peminjam yang dalam keadaan miskin atau payah, karena nikmat harta harus menjadi motivator untuk saling mengasihi, tidak untuk bersikap antipati.
Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal berikut :
Pertama, memliki hak untuk di jaga dari para musuhnya, baik dari tindak pencurian, perampasan, atau tindakan lain memakan harta orang lain (baik dilakukan kaum muslimin atau nonmuslim ) dengan cara yang batil, seperti merampok, menipu, atau memonopoli.
Kedua, harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang mubah, tanpa ada unsur mubazir atau menipu untuk hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka harta ini tidak dinafkahkan untuk kefasikan, minuman keras, atau berjudi.
Dalam islam, harta adalah harta Allah yang dititipkan-Nya pada alam sebagai anugerah ilahi, yang diawasi dan ditundukkan-Nya untuk manusia seluruhnya.  Dan pada kenyataannya, dengan harta, jalan dapat disatukan, dan kedudukan yang manusia raih, serta pangkat yang mereka dapatkan dari harta, yakni harta dan hak Allah seperti yang telah ditetapkan islam adalh hak masyarakat, bukan hak kelompok, golongan, atau starata tertentu. Ia adalah harta Allah yang yang ditunjuk-Nya sebagai khalifah adalah manusia.
Melindungi dan tidak menganiaya harta serta mengambilnya dengan cara yang batil :[11]
1.      Hukum Risywah (suap) dalam islam
Risywah adalah memperdagangkan dan mengeksploitasi tugas atau sebuah pekerjaan untuk mrnghasilkan harta secara batil. Perbuatan ini adalah haram dan dilarang oleh islam, karena hal ini termasuk perkara yang dilarang.
2.      Mencuri
Mencuri adalah mengambil harta orang lain tanpa hak dan tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemiliknya.
3.      Riba
Riba adalah kelebihan harta tanpa imbalan atau ganti yang disyariatkan, yang terjadi dalam sebuah transaksi (akad) dan hal tersebut hukumnya haram.
E.  Perlindungan terhadap Keturunan
 Maksud ini Islam mensyariatkan larangan perzinaan, munuduh zina, terhadap perempuan muhsonat, dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang melakukannya.[12]
Agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi, dan larangan berzina yang terdapat dalam surat al-isra’ : 32
ولا تقربو الزني انه كان فحسة وساء سبيلا               
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.

Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus diciptakan Allah untuk memlihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam hukum Islam ini di atur lebih rinci dan pasti dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah agar pemeliharaan dan kelanjutan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.[13]

2.      Al Istihsan
A.    Makna Etimologi
Istihsan menurut Etimologis (lughowi/bahasa)  adalah menganggap baik sesuatu[14]. “Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau  “”mencari yang lebih baik untuk di ikuti, karena memang di suruh untuk itu”[15]. Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan(apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain[16]
Dari lughawi di atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di anggapnya lebih baik untuk diamalkan.
B.     Makna Terminologi
Istihsan menurut terminologi/istilah ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena  ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu[17]. Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf [18].
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.

Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully[19].Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat[20].
Apabila terjadi sesuatu peristiwa yang tidak dapat nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua pendapat yang berbeda: sudut pandang lahiriyah yang menghendaki suatu hukum. Dan sudut pandang secara tersembunyi yang menuntut hukum  yang lain. Seorang mujtahid menemukan dalil yang memenangkan pandangan  secara tersembunyi, lalu pindah ke sudut pandang lahiriyah. Inilah yang menurut syara’ yang disebut alistihsan.Demikian juga jika hukum itu bersifat umum, sedangkan dalam diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian atas sebagian hukum umum ini, lalu ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang lain. Maka ini juga di sebut al ihtisan.
B. Macam-macam al istihsan
Dari pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa alistihsan ada dua macam[21]:
1. Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2. Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Contoh-contoh istihsan bentuk pertama:
1. Ulama fiqh kelompok hanafi menyebutkan bahwa seorang yang mewakafkan tanah sawahnya maka hak pengairan, minum dan jalan adalah termasuk   tanpa harus menerangkan secara istihsan. Sedangkan menurut kias, hal-hal itu tidak termasuk kecuali dengan nash, seperti halnya jual beli. Adapun bentuk istihsannya; Tujuan wakaf adalah orang yang di beri hak wakaf dapat memanfaatkan barang yang di wakafkan. Sedangkan pemanfaatan tanah sawah itu harus memberi minum, mengairi, dan jalan, sehingga hal-hal itu termasuk wakaf tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tidak dapat terwujud kecuali dengan hal-hal itu, seperti halnya sewa menyewa.
Kias yang nyata adalah menyamakan wakaf  contoh diatas dengan jual beli, karena sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya. Sedangkan kias yang tersembunyi adalah menyamakan wakaf tersebut dengan sewa menyewa, karena sama-sama demi pemanfaatan. Seperti masuknya pengairan, minum dan jalasedn dalam bagian sewa menyewa tanah lumpur tanpa menyebutkannya, maka hal-hal itu masuk juga dalam bagian wakaf tanah lumpur tanpa menyebutkannya.
Ahli fiqh  ulama hanafi menetapkan bahwa jika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli tentang harga barang sebelum barang itu diterima, lalu penjual mendakwa bahwa harganya seratus pound sedangkan pembeli juga mendakwa bahwa harganya sembilan puluh pound  maka keduanya harus bersumpah, menurut istihsan. Sedangkan kias menetapkan bahwa penjual tidak bersumpah, karena penjual yang mendakwa  lebih banyak, yaitu sepuluh, sedangkan pembeli mengingkari, maka penjual tidak wajib bersumpah. Alasan istihsannya bahwa penjual jelas orang yang mendakwa bila dihubungkan dengan tambahan. Pengingkaran adalah hak pembeli dalam penerimaan barang setelah menyerahkan 90 pound. Pembeli adalah jelas orang yang mengingkari adanya tambahan yang di dakwakan oleh penjual yaitu sepuluh, dan ia adalah pendakwa tentang hak penerimaan barang setelah menyerahkan 90 pound. Jadi keduanya adalah pendakwa dari satu sisi dan orang yang di ingkar di sisi lain, maka keduanya harus bersumpah.
Kias yang nyata: Menyamakan kejadian ini dengan semua yang terjadi antara pendakwa dan orang yang ingkar, kesaksian itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari.
Kias yang tersembunyi: Menyamakan kejadian di atas dengan setiap kejadian antara dua orang yang saling mendakwa. Masing-masing dalam waktu bersamaan dikatakan sebagai pendakwa dan sekaligus orang yang ingkar, maka keduanya harus bersumpah.
Contoh-contoh istihsan bentuk kedua:
Syar’i melarang jual beli atau akd pada barang yang tidak ada di tempat akad. Tetapi secara istihsan, diperbolehkan pesan memesan.
C.     Dasar Hukum Istihsan
            para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Contoh istihsan: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf.
Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
D.    Kekuatan istihsan sebagai hujjah
Dari definisi dan penjelasan kedua macam istihsan, jelaslah bahwa pada hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum yang berbentuk istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang di unggulkan dari pada kias yang nyata, sebab hal-hal  tertentu oleh mujtahid di anggap lebih unggul, dan itu adalah alasan istihsan. Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, yang menuntut adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu juga  di anggap alasan istihsan.
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambilan dalil dengan kias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau memenagkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu pengambilan dalil yang benar.







BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Setelah diuraikan konsep maqashid al-syariah menurut al-syatibi adalah tujuan-tujuan disyariatkannya hukum oleh Allah SWT. Yang berintikan kemaslahatan umat manusia di dunia dan kebahagiaan  di akhirat. Setiap persyariatan hukum oleh Allah mengandung maqashid (tujuan-tujuan) yakni kemaslahatan bagi umat manusia. Yakni tujuan persyariatan hukum dalam rangka mewujudkan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yaitu agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Maqashid  syariah persyariatan hukum dalam upaya memberi kemudahan kepada manusia mewujudkan lima unsur pokok tersebut.
Perhatian Ibnu Asyur terhadap maqashid muncul melalui kitab kecilnya yang cantik: Alaisa al-Shubh bi Qarîb. Dimana dalam kitab ini, dengan pemikiran maqashid, ia mengkritik sistem pendidikan dalam Dunia Islam yang tetap mempertahankan gaya tradisionalnya yang cenderung mengajarkan hukum Islam (fikih) secara tekstualis-literalistik, tanpa menjelaskan alasan-alasan dan tujuan-tujuan Tuhan (maqashid) dibaliknya. Kurang-lebih kitab ini dikarang pada tahun 20-an abad ke-20 M.
Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda.
Dari pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa alistihsan ada dua macam:
1. Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2. Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu juga  di anggap alasan istihsan.
kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak istihsān, ki ta dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsān sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak istihsān yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.





DAFTAR PUSTAKA

1.      Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )
2.      Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, (Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2)
3.      Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995)
4.      Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tahun  1996 jilid 3
5.      Wahbah al-Zuhaylî,  Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998., juz II
6.      [1]Yusuf al-qordhowi,” fiqih Maqasid Syariah”,( jakarta timur: Pustaka al-Kautsar,2006)
7.      Fathur rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 )
8.      Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ( Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2005)
A.    Djazuli, Fiqh Siyasah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003)
9.      Ahmad Al-mursi Husain jauhar, maqashid syariah ( Jakarta : AMZAH, 2009)
10.  Saifudin Zuhri, ushul fiqih akal sebagai sumber hukum islam ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009)
11.  Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003)
12.  Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011)
13.  Lisan al-‘Arab
14.  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm.402




[1] Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada ) hal. 61
[2] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, (Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2) hal.225
[3] Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hal. 225
[4] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tahun  1996 jilid 3 hal 37
[5] Wahbah al-Zuhaylî,  Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998., juz II hlm. 1045.
[6] Yusuf al-qordhowi,” fiqih Maqasid Syariah”,( jakarta timur: Pustaka al-Kautsar,2006) hal.13.

[7] Fathur rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hal. 128
[8] Ibid.,  hal.40
[9] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ( Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2005) hal 63
[10] A. Djazuli, Fiqh Siyasah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003) hal.  257
[11] Ahmad Al-mursi Husain jauhar, maqashid syariah ( Jakarta : AMZAH, 2009) hal 191
[12] Saifudin Zuhri, ushul fiqih akal sebagai sumber hukum islam ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009) hal 105-106
[13] Ibid hal 64
[14] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 104
[15] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.324
[16] Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
[17] Opcit hal. 104
[18] Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hal.79
[19] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm.402
[20] Ibid hal.401
[21] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit.,  hal. 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...