Selasa, 01 Desember 2015

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Syariat adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt yang dijelaskan oleh Rasulullah tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat kelak. Ketentuan syariat terbatas dalam firman Allah swt dan sabda Rasulullah. Agar segala ketentuan (hukum) yang terkandung dalam syariat tersebut bisa diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala ketentuan yang dikehendaki oleh Allah swt yang terdapat dalam syariat tersebut.[1]
Pengertian dari syariat sendiri terkadang sering diartikan secara sempit sebagai hukum Islam (Islamic Yurisprudence), sebab makna yang terkandung dalam syariat (secara halus) tidak hanya aspek hukum saja, tetapi ada aspek lain, yaitu aspek i’tiqodiyah dan aspek khuluqiyah.
Dalam memahami hukum Islam tentu diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsipnya pula. Di samping itu juga hukum Islam memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan hukum-hukum lain. Selanjutnya pembahasan ini akan dibahas dalam makalah ini.
B.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana prinsip-prinsip hukum Islam?
2.    Bagaimana karakteristik hukum Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Prinsip-prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip pokok (al mabda’) adalah landasan yang menjadi titik tolak atau pedoman pemikiran kefilsafatan dan pembinaan hukum Islam. Prinsip-prinsip pokok itu adalah : [2]
1.     Meng-Esakan Tuhan (tauhid), semua manusia dikumpulkan di bawah panji-panji atau ketetapan yang sama, yaitu : Laa Ilaaha illallah (QS. Ali Imran : 64).
2.    Manusia berhubungan langsung dengan Allah swt, tanpa atau meniadakan perantara antara manusia dengan Tuhan (QS. Al Ghafir : 60, QS. Al Baqarah : 186).
3.    Keadilan bagi manusia, baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap orang lain (QS. An Nisa : 135, QS. Al Maidah : 8, QS. Al An’am : 152, QS. Al Hujurat : 9).
4.    Persamaan (al musawah) di antara umat manusia, persamaan di antara sesama umat Islam. Tidak ada perbedaan antara manusiayang membedakannya hanyalah taqwanya (QS. Al Hujurat : 13, QS. Al Isra’ : 70 dan beberapa hadits).
5.    Kemerdekaan atau kebebasan (al hurriyah), meliputi kebebasan agama, kebebasan berbuat dan bertindak, kebebasan pribadi dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum (QS. Al Baqarah : 256, QS. Al Kafirun : 5, QS. Al Kahfi : 29).
6.    Amar ma’ruf nahi munkar, yaitu memerintahkan untuk berbuat yang baik, benar, sesuai dengan kemaslahatan manusia, diridhai oleh Allah swt dan memerintahkan untuk menjauhi perbuatan buruk, tidak benar, merugikan umat manusia, bertentangan dengan perintah Allah swt (QS. Ali Imran : 10).
7.    Tolong menolong (ta’awwun) yaitu tolong menolong, saling membantu antar sesama manusia sesuai dengan prinsip tauhid, dalam kebaikan dan taqwa kepada Allah swt, bukan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS. Al Maidah : 2, QS. Al Mujadalah : 9).
8.    Toleransi (tasamuh) yaitu sikap saling menghormati untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian antar sesama manusia (QS. Al Mumtahanah : 8-9).
9.    Musyawarah dalam memecahkan segala masalah dalam kehidupan (QS. Ali Imran : 159, QS. Asy Syura : 38).
10.  Jalan tengah (ausath, wasathan) dalam segala hal (QS. Al Baqarah : 143).
11.  Menghadapkan pembebanan (khitob, taqlid) kepada akal (QS. Al Hasyr : 2, QS. Al Baqarah : 75, QS. Al An’am : 32 dan 118).
Adapun prinsip-prinsip hukum Islam sebagai sebuah ketetapan hukum, di antaranya sebagai berikut :
1.            Tidak menyulitkan (‘adamul kharaj),
Memiliki arti bahwa hukum Islam tidak sempit, sesak, tidak memaksa dan tidak memberatkan. Adapun cara meniadakan kesulitan di antaranya :
a.    Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban dapat ditiadakan, seperti gugurnya kewajiban shalat Jumat dan gugurnya kewajiban puasa di bulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit.
b.    Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dhuhur, ashar dan isya’ yang jumlah raka’atnya 4 menjadi 2 raka’at.
c.    Penukaran, yaitu penukaran suatu kewajiban dengan yang lain, seperti wudlu atau mandi besar ditukar dengan tayammum atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang memiliki halangan untuk berpuasa.
d.   Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir, seperti shalat jama’ taqdim dimana shalat ashar dilaksanakan pada waktu dhuhur atau melaksanakan shalat isya pada waktu maghrib.
e.    Menangguhkan atau menta’khirkan kewajiban, yaitu mengerjakan suatu kewajiban setelah waktunya terlewat, seperti shalat jama’ ta’khir dimana shalat dhuhur dilaksanakan pada waktu ashar atau melaksanakan shalat maghrib pada waktu isya.
f.     Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf karena alasan keamanan atau mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan membayar fidyah.
2.      Tidak memberatkan dan menyedikitkan beban (taqlil at takalif)
Taklif secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara istilah yang dimaksud taklif adalah tuntutan Allah swt untuk berbuat sehingga dipandang taat untuk menjauhi laranganNya.[3]
Dalam mengadakan aturan-aturan untuk manusia selalu diusahakan oleh Tuhannya agar aturan-aturan tersebut mudah dilaksanakan dan tidak merepotkan. Meskipun hal ini berarti tidak harus menghapuskan aturan (perintah) sama sekali. Sebab dengan perintah-perintah itu dimaksudkan agar jiwa manusia terhadap perbuatan yang buruk dapat dibatasi. Jadi maksudnya dengan menyedikitkan hukum Islam ialah yang berlebih-lebihan dan yang menghabiskan kekuatan badan dalam melaksanakannya.[4]
Dasar taqlil at takalif adalah QS. Al Maidah : 101 yang menegaskan bahwa orang-orang beriman dilarang bertanya kepada Rasulullah tentang hal yang bila diwajibkan akan menyulitkan mereka.[5]
Rasulullah melarang para sahabat memperbanyak pertanyaan tentang hukum yang belum ada yang nantinya akan memberatkan mereka sendiri. Rasulullah justru menganjurkan agar mereka memetik dari kaidah-kaidah umum dengan maksud ada kelapangan untuk berijtihad. Dengan demikian hukum Islam tidaklah kaku, keras dan berat bagi umat manusia. Sangkaan-sangkaan tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.[6]
3.      Menegakkan keadilan (tahqiq al ‘adalah)
Keadilan memiliki beberapa arti, secara bahasa adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl al syai’ fi mahalih). Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah memiliki corak yang generalistik, datang untuk semua manusia dan menyatukan urusan dalam ruang lingkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan. Dalam beberapa ayat al Quran dijumpai perintah untuk berlaku adil, salah satunya dalam QS. Al Maidah : 8.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ٨
8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan

4.      Menegakkan maslahat
Maslahat berasal dari kata al shulh atau al islah yang berarti damai dan tentram. Damai berorientasi pada fisik sedangkan tentram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaksud dengan maslahat secara terminologi adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam.[7]
Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat dalam dua bidang, dunia dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam. Tidak ada satu bidang keyakinan atau aktifitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada pembahasannya dalam syariat Islam yang dikaji dengan segala cara panjang yang luas dan mendalam.[8]
Dasar-dasar ini akan semakin terlihat dalam beberapa tempat di antaranya :
a.         Masalah keyakinan (tauhid), yaitu penetapan kewajiban dan beban (taklif)
b.         Menjelaskan hikmah dari diutusnya Rasulullah
c.         Isyarat tentang hikmah dari diciptakannya hidup dan mati
d.        Menjelaskan maslahat dari kewajiban beberapa ibadah
e.         Terkait pensyariatan qisash
Hubungan sesama manusia merupakan manifestasi dari hubungan dengan pencipta. Jika baik hubungan dengan manusia lain maka baik pula hubungan dengan penciptanya. Oleh karena itu hukum Islam sangat menekankan kemanusiaan.
Ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai dengan kepentingan yang baik dari pemeluk-pemeluknya. Maka tidak heran pada suat waktu diadakan aturan-aturan hukum. Kemudian aturan tersebut dibatalkan apabila keadaan menghendaki dan diganti dengan aturan lain. Pembatalan hukum tersebut bukan saja bersifat teori tetapi juga benar terjadi dalam sejarah kehidupan hukum Islam.
Selain prinsip-prinsip tersebut, dalam hukum Islam terdapat kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah hukum Islam (al qawaid al fiqhiyah) adalah kaidah-kaidah umum yang disusun oleh para ulama berdasarkan norma yang terdapat dalam nash (al Quran dan hadits) melalui metode induktif. Kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan pedoman dalam menentukan hukum berbagai peristiwa dan masalah yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Ada lima kaidah pokok dalam hukum Islam yang disebut al qawaid al khams (panca kaidah), yaitu :
a.       Al umuuru bi maqashida (segala urusan menurut niatnya)
b.      Adl dlararu yuzalu (kemadlaratan atau kesulitan itu harus dihilangkan)
c.       Al ‘adatu muhakamah (adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum)
d.      Al yaqiinu laa yuzalu bi syak (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan)
e.       Al masyaqqatu tajlibu at taisir (kesukaran, kesulitan mendatangkan kemudahan)
f.       Aplikasi lima kaidah pokok tersebut, meliputi berbagai hukum, sebagai berikut : [9]
1.      Kaidah pertama berkaitan dengan niat untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan kaidah ini para ulama menetapkan niat merupakan rukun dari suatu perbuatan. Tanpa niat perbuatan tidak sah.
2.      Kaidah kedua berkaitan dengan prinsip dalam Islam bahwa kemadlaratan atau kesulitan harus dihilangkan. Karena itu ketika muncul kesulitan, maka hal yang dilarang boleh dilakukan.
3.      Kaidah ketiga berkaitan dengan penggunaan adat kebiasaan (‘urf) manusia dalambermuamalah untuk memelihara kepentingan manusia dan menghilangkan kesulitan. Adat kebiasaan yang bisa dijadikan dasar hukum adalah adat kebiasaan yang shahih, tidak fasid. Yaitu yang berlaku umum, tidak bertentangan dengan nash, tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram.
4.      Kaidah keempat berkaitan dengan prinsip bahwa sesuatu yang sudah diyakini, tidak bisa dihilangkan dengan keraguan. Hukum pokok ialah tetap yang telah ada atas apa yang telah ada, hingga timbul keyakinan ada perubahan atasnya.
5.      Kaidah kelima berkaitan dengan prinsip dalam Islam bahwa Allah swt menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Oleh karena itu dikala muncul kesulitan, maka muncul kemudahan untuk mengatasinya.

B.   Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam memiliki watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam lintas sejarah menuju ridha Allah swt. Dalam hal ini beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, elastis dan dinamis, universal, sistematis, berangsur-angsur dan bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.
1. Sempurna
Berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja. Sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al Quran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.[10]
2.  Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.[11] Hukum Islam bersifat elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Hukum Islam tidak kaku dan tidak memaksa melainkan hanya memberikan kaidah dan patokan dasar secara umum dan global. Sehingga diharapkan tumbuh dan berkembang proses ijtihad yang mengindikasikan bahwa hukum Islam memang bersifat elastis dan dinamis, dapat diterima di segala situasi dan kondisi.[12]
Ada 2 segi yang dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi mengapa hukum Islam memiliki karakter elastis (harakah), yakni :
a.       Menyangkut masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum (mukallaf).
a.       Penetapan-penetapan hukum bagi para subjek hukum selalu memperhitungkan kondisi-kondisi khusus subjek hukum dalam menjalankan hukum mereka. Setiap diberlakukannya suatu hukum bagi mukallaf (subjek hukum) diberlakukan pula hukum-hukum pengecualian atau keringanan (azimah dan rukhshah). Perhitungan terhadap kondisi-kondisi seperti itu mencakup 3 kategori yaitu :
b.      Kondisi dari subjek hukum sendiri berupa kondisi uzur, seperti perintah shalat tepat waktu (muassa) dapat dikerjakan secara gabungan (jamak takdim atau ta’khir), dan lain sebagainya.
c.       Disebabkan oleh orang lain seperti berlakunya hukum qishas bagi pembunuh dapat diganti dengan hukum diyat bila keluarga korban memaafkan tindakan pidana tesrebut.
d.      Kondisi situasional dimana keadaan sangat luar biasa seperti kelaparan membolehkan ia memakan binatang yang diharamkan selama tidak melampaui batas dan aniaya.
b.      Segi hukum dalam merespons atau menyikapi perkembangan zaman dan perubahan sosial. Ada 2 argumentasi yang dapat dikategorikan keelastisan hukum Islam dalam kondisi yang dimaksud seperti ini, yakni :
a.       Berdiri tegaknya hukum Islam melewati hasil-hasil produk ijtihadiyah demi menanggapi perkembangan zaman dan perubahan sosial.
b.      Kondisi hukum Islam sendiri pada umumnya merespons perkembangan zaman dan perubahan sosial pada masa turunnya Al-Qur’an. Berlakunya hukum talak untuk memperbaiki hukum perceraian pada masa itu.
3.  Ijmali (Universalitas)
Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).[13] Misalnya pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadits) mengenai masalah yang sedang berkembang pada abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu qiyas dan sebagainya kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang telah ada dengan mengambil persamaan illatnya.
Ini berarti hukum Islam itu dapat menjawab segala tantangan zaman. Sebenarnya hukum pada setiap perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam Al-Qur’an dan hanya kita sebagai manusia apakah bisa menggunakan akal kita untuk berijtihad dalam mengambul suatu putusan hukum tersebut.Hukum Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa dan bahasa. Keuniversalan ini tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-7, misalnya). Tetapi untuk semua zaman hukum Islam menghimpun segala sudut dari segi yang berbeda-beda di dalam satu kesatuan dan akan selalu cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi ataupun modern, seperti halnya hukum Islam dapat melayani para ahl ‘aqlahl naql dan ahl ro’yi atau ahl hadits.[14]
Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.[15] Firman Allah SWT ;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya :
Dan Kami (Allah) tidak mengutsu kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba: 28).

Konstitusi Negara Muslim pertama, Madinah, menyetujui dan melindungi kepercayaan non Muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan. Konstitusi ini merupakan kesepakatn antara Muslim dengan Yahudi, serta orang-orang Arab yang bergabung di dalamnya. Non Muslim dibebaskan dari keharusan membela negara dengan membayar jizyah, yang berarti hak hidup dan hak milik mereka dijamin. Istilah zimmi berarti orang non Muslim dilindungi Allah dan Rasul, kepada orang-orang non Muslim itu diberikan hak otonomi yudisial tertentu. Warga negara dan ahli kitab dipersilahkan menyelenggarakan keadilan sesuai dengan apa yang Allah wahyukan. Rasulullah SAW sendiri bersabda : “Aku sendiri yang akan menyanya, pada hari kiamat, orang yang menyakiti orang zimmi atau memebrinya tanggung jawab yang melebihi kemampuannya atau merampok yang menjadi haknya.”[16]
Untuk memperlihatkan keuniversalan hukum Islam minimal dari 3 segi:
a.         Menyangkut pemberlakuan hukum Islam bagi para subjek hukum yang berkesan pada keadilan universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin antara manusia biasa bahkan terhadap seorang Nabi.
b.         Kemanusiaan yang universal
c.         Efektifitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula.[17]
4. Sistematis
Berarti antara satu ajaran dengan ajaran yang lain saling bertautan, bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat al Quran yang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu hukum Islam mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.[18]
5. Berangsur-angsur (tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara tadrij dan didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia selalu mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam berbagai bidang.
6.  Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli
Hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman kepadaNya. Dan segala konsekuensi berupa ibadah yang mengandung sifat ta’abuddi murni yang artinya makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar (ghoiru ma’qula al ma’na) atau irrasional. Hal yang dapat dipahami dari sifat ta’abud ini hanyalah kepatuhan pada perintah Allah swt, merendahkan diri kepada Nya dan mengagungkanNya.
Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na) atau rasional. Maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. Illat dari muamalah yang bersifat ta’aquli dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat atau madlarat yang terkandung di dalamnya. Sesuatu yang dilarang karena ada madlaratnya dan diperintahkan karena ada maslahat di dalamnya.[19]
Kemudian terdapat ciri-ciri kekhususan hukum Islam yang membedakannya dengan hukum lain adalah : [20]
a.       Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah swt, yang terdapat dalam al Quran dan dijelaskan oleh sunnah Rasul-Nya.
b.      Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral).
c.       Hukum Islam bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).
d.      Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak).
e.       Hukum Islam mengarah pada jama’iyah (kebersamaan) yang seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat.
f.       Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
g.      Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.
                   7. Tafshili (Partikularitas)
Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan.”
Dari ayat diatas dipahami bahwa Islam tidak mengajarkan spiritual yang mandul. Dalam hukum Islam manusia dieprintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.
Memahami realitas karakter partikularistik hukum Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan pada pemahaman universal pada hukum Islam. Bila pada keuniversalan hukum Islam berlaku 3 segi, maka dalam karakteristik ini juga berlaku 3 segi pemahaman, yaitu :
a.    Bila ditinjau menyangkut pemberlakuan hukum terhadap para subjek hukum tanpa dibedakan status seseorang, kaya atau miskin dan seterusnya untuk suatu karakter unversalitas hukum, maka atas dasar keadilan pula hukum Islam memberlakukan hukum yang khusus demi kesebandingan penjeratan sanksi hukum atas subjek hukum. Berdasarkan keuniversalan pemberlakuan hukum, seorang pezina siapapun ia dan status bagaimanapun tetap mendapatkan sanksi hukum. Namun, pelaku zina yang telah kawin  sanksi hukumnya adalah rajam sedangkan yang belum pernah kawin, maka sanksi hukumnya adalah didera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Sedang bagi para budak yang melakukan zina, maka sanksinya ½ dari orang yang merdeka. Dengan demikian, hukum Islam memberlakukan secara universal kepada setiap orang, namun dalam pemberlakuannya terjadi penjeratan hukum secara khusus dengan pemberlakuan partikularistik bagi pelaku hukum.
b.    Bila hukum Islam memiliki karakter sesuai dengan perhatian manusia sepanjang sejarah manusia dalam mencipatakan hukum atau yang disebut dengan kemanusiaan yang universal, maka hukum Islam juga memiliki hukum kemanusiaan partikular. Misalnya larangan orang Islam kawin dengan orang bukan islam, berlakunya hukum-hukum ibadah secara rinci, larangan judi dan minum khamar dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini memiliki karakteristik yang partikular karena tidak lazim dalam norma hukum yang berkembang dalam sejarah peradaban hukum manusia. Oleh karenanya ia disebut dengan hukum kemanusiaan yang partikular.
c.    Bila ditinjau dari berlakunya efektivitas hukum secara umum adalah berlaku untuk setiap manusia yang daripadanya terlihat keuniversalannya maka hukum-hukum lainnya tidak lagi melihat subjek hukum sebagai manusia umumnya, tetapi terhadap manusia yang telah dianggap patuh menjalankan hukum Islam. Misalnya hukum perkawinan Islam, maka daripadanya berlaku hukum talak 3 kali, khulu’ bagi isteri terhadap suami, ila’, li’an, zihar, dan lain-lain diberlakukan bagi orang yang telah tunduk menjalankan hukum Islam dimulai sejak akad perkawinannya secara atau berdasarkan hukum Islam. Jadi orang yang status perkawinannya tidak berdasarkan hukum Islam tidak berlaku pula hukum-hukum yang menyangkut perkawinan dalam hukum Islam. Dalam kasus seperti demikian, hukum berkarakter partikular karena hanya menunjuk pada manusia tertentu saja.[21]
8. Akhlak (Etistik)
Dimensi akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut :
a.       Hukum Islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an) yang dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah.
b.      Segala peraturan hukum Islam memproyeksikan pada 2 bagian peraturan yakni pengaturan tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-hukum ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau dengan makhluk lain (lingkungannya).
Lebih jauh lagi, bentuk karakter akhlak pada hukum Islam dapat disarikan dalam beberapa ilustrasi sebagai berikut :
a.    Hukum dalam pembinaan mental spiritual manusia maka diberlakukan hukum-hukum ibadah agar hubungan manusia dengan Tuhannya terbina dengan baik dan diharapkan memiliki efek sosial yang baik bagi lingkungannya.
b.    Pembinaan akhlak untuk memelihara keturunan maka diberlakukan hukum larangan zina.
c.    Pembinaan pada etika pergaulan antara lelaki dan perempuan diberlakukan hukum berpenampilan (tabarruj) antar mereka agar masing-masing mereka menundukkan pandangan.
d.   Pendidikan akhlak agar memelihara harta maka diberlakukan larangan judi.
e.    Pendidikan moral etika ekonomi maka diberlakukan hukum larangan melakukan riba atau perbuatan mengambil harta dengan jalan batils eperti merampok, penipuan ataupun penggelapan.
f.     Pembinaan keluarga harmonis agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan dan kehidupan yang lemah diberlakukan hukum hadhanah dan larangan mengabaikan pendidikannya sehingga ditetapkan hukum perwalian maupun larangan segala bentuk pengabaian kehidupannya sehingga menelantarkannya.
g.    Pembinaan etika – moral kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga diberlakukan hukum kewajiban untuk taat kepada pemimpin, membela negara dengan jihad bila dieprlukan.
h.    Pembinaan etika agar masyarakat takut melanggar hukum diberlakuakn sanksi-sanksi hukum pidana berupa hukum hudud dan ta’zir.
i.      Pembinaan etika untuk tidak menyakiti makhluk lain maka diberlakukan hukum menyangkut adab penyembelihan terhadap binatangs eperti keharusan dengan alat yang tajam ketika menyembelihnya ataupun larangan pembunuhan terhadap binantang tertentu.
j.      Pembinaan etika dalam memelihara apa yang dikonsumsi tubuh manusia maka diberlakukan hukum kewajiban untuk memakan barang yang halal dan tayyibah dan mengharamkan yang buruk sehingga dirincikan binatang yang tidak baik dikonsumsi.[22]
9.  Tahsini (Estetik)
Pengertian yang lazim untuk estetik adalah keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.
Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam, I’tikaf di mesjid, puasa sunnat dan sadaqah.
Karakter hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di antara panca ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat hukum.[23]

BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai karakteristik hukum Islam itu antara lain :
1. Sempurna berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja.
1.  Ijmali (Universalitas) dan dinamis, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Pemahaman keuniversalan hukum Islam juga terletak pada segi efektifitasnya hukum yang diberlakukan, bahwa kewajiban moral hukum yang dicanangkan adalah untuk segenap manusia.
2.  Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
3.  Ijmali (Universalitas) yakni ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).
4.    Menegakkan Maslahat atau  al shulh atau al islah yang berarti damai dan tentram. Damai berorientasi pada fisik sedangkan tentram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaksud dengan maslahat secara terminologi adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam
5.  Berangsur-angsur (tadrij) maknanya hukum Islam dibentuk secara tadrij dan didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia selalu mengalami perubahan.
6.  Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli, hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman kepadaNya. Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na) atau rasional.
            7. Tafshili (Partikularitas), yakni hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan.”
            8.  Akhlak (Etistik), akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada prinsip bahwa hukum yang dating dari Allah adalah tentang aturan moral bagi sekalian manusia.
9.  Tahsini (Estetik) yakni keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.



DAFTAR PUSTAKA

1.             Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2001.

2.             Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1970

3.             Anwar Harjono, Hukum Islam Kekuasaan dan Keagungannya, (Jakarta: Bulan Bintang, tt).

4.             Djamil, Fathurrahman, DR. MA, 1999, Filsafat Hukum Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.

5.             Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 1997.

6.             Harjono, Anwar, Dr, Hukum Islam Kekuasaan dan Keagungannya, Jakarta: Bulan Bintang.

7.             Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975

8.             Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975

9.             Ismail Muhammad Syah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara), 1992.

10.         Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2.

11.         Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, pen. Joko Supomo, (Jogjakarta : Islamika), 2003.

12.         Muhammad Muslehuddin, Philoshopy of Islamic Law and The Orientalis, (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980), cet. II.

13.         Muslehuddin, Muhammad, Dr, 1980, Philoshopy of Islamic Law and The Orientalis, Lahore: Islamic Publication Ltd.

14.         Rasyad Hasan Halil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta : Amzah), 2009.

15.         Salim, Tarikh Tasyri’ (Solo : CV. Rhamadani), 1988.

16.         Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima, 2007).

17.         Sarmadi, A. Sukris, MHi, 2007, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik,Yogyakarta : Pustaka Prima.

18.         Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 2002, cet. 2.

19.         Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, (Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2)






[1] Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975, hal. 98.

[2] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, (Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2) hal. 202
[3] Ibid., hal 230
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1970, hal. 26.
[5] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 11.
[6] Salim, Tarikh Tasyri’ (Solo : CV. Rhamadani), 1988, hal. 41-42.
[7] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 8.
[8] Rasyad Hasan Halil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta : Amzah), 2009, hal. 22.
[9] Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 2002, cet. 2, hal. 71-72.

[10] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 1997, hal. 46.
[11] Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 2002, cet. 2, hal. 64.
[12] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2001, hal. 3.
[13] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 49.
[14] Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975, hal. 105.
[15] Anwar Harjono, Hukum Islam Kekuasaan dan Keagungannya, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), h. 113
[16] Muhammad Muslehuddin, Philoshopy of Islamic Law and The Orientalis, (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980), cet. II, h. 277 – 278
[17] A. Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima, 2007), h. 108 – 109.
[18] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, pen. Joko Supomo, (Jogjakarta : Islamika), 2003, hal. 300.
[19] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2001, hal. 4.
[20] Ismail Muhammad Syah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara), 1992, hal. 113.
[21] Ibid, h. 109 – 111
[22] Ibid, h. 114 – 115
[23] Ibid, h. 117 – 118

1 komentar:

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...