Rabu, 10 Oktober 2012

HUKUM-HUKUM SEPUTAR QURBAN


HUKUM-HUKUM SEPUTAR QURBAN
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk melengkapi pembahasan sebelumnya:
1)  Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌ dengan dua hal:
a. dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan qurban)
b. dengan tindakan, dan ini dengan dua cara:
1. Taqlid yaitu diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah (tempat air yang menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher hewan. Ini berlaku untuk unta, sapi dan kambing.
2. Isy’ar yaitu disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan sapi saja.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
فَتَلْتُ قَلاَئِدَ بُدْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا
“Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku. Lalu beliau isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362)
Kedua tindakan ini khusus pada hewan hadyu, sedangkan qurban cukup dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban. Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum bila hewan tersebut telah di-ta’yin sebagai hewan qurban:
2)  Diperbolehkan menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak memudaratkannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang menuntun unta (qurban/hadyu) maka beliau bersabda:
ارْكَبْهَا
“Tunggangi unta itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)
Juga datang dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (Al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma (HR. Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
ارْكَبْهَا بِالْمَعْرُوْفِ إِذَا أُلْجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا
“Naikilah unta itu dengan cara yang baik bila engkau membutuhkannya hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).”
3)  Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum/setelah disembelih selain menungganginya, seperti:
a. mencukur bulu hewan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b.  Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan.
c.  Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
d.  Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (Al-Hajj: 36)
4) Tidak diperbolehkan menjual hewan tersebut atau menghibahkannya kecuali bila ingin menggantinya dengan hewan yang lebih baik. Begitu pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya.
5)  Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan.
6) Tidak diperbolehkan memberikan upah dari hewan tersebut apapun bentuknya kepada tukang sembelih. Namun bila diberi dalam bentuk uang atau sebagian dari hewan tersebut sebagai shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka diperbolehkan.
Dalil dari beberapa perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
أَمَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُوْمَهَا وَجُلُوْدَهَا وَجِلاَلَهَا عَلَى الْمَسَاكِيْنِ وَلاَ أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا
“Nabi memerintahkan aku untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai (upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)
7)  Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (diresmikan sebagai hewan qurban) maka dirinci:
-    Bila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i.
-    Bila cacatnya ringan maka tidak ada masalah.
-    Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia harus mengganti yang semisal atau yang lebih baik
- Bila cacatnya bukan karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada kewajiban mengganti, sebab hukum asal berqurban adalah sunnah.
8) Bila hewan tersebut hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka tidak ada kewajiban apa-apa atas sang pemilik. Kecuali bila hal itu terjadi karena kesalahannya maka dia harus menggantinya.
9) Bila hewan yang lari atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal sang pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia hewan ganti tersebut sebagi qurban. Sedangkan hewan yang ketemu tersebut tidak boleh dijual namun disembelih, sebab hewan tersebut telah di-ta’yin.
10) Bila hewan tersebut mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih ibunya untuk menghalalkannya dan janinnya. Namun bila hewan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih, maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.”
Hadits ini datang dari banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul Ghalil (8/172, no. 2539) dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya.
11) Adapun bila hewan tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk menjualnya, menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk diambil daging dan lainnya, layaknya hewan biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...