Senin, 01 Oktober 2012

BP-4 DALAM SEJARAH


BP-4 DALAM SEJARAH

BP4  adalah badan semi resmi dari Departemen Agama. Kedudukan BP4 di Depag pada awalnya setara dengan P2A dan BKM. BP4 yang semula berakronim Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian, mempunyai cita-cita pokok yaitu “mempertinggi nilai-nilai perkawinan, mencegah perceraian sewenang-wenang, dan berusaha mewujudkan susunan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera”. BP4 berdiri pada tanggal 3 Januari 1960. Dipilihnya tanggal tersebut karena pada tanggal tersebut berlangsung pertemuan pengurus BP4 Se-Jawa yang merupakan embrio BP4 secara nasional.
Pengukuhan secara nasional ini didasari pada kenyataan efektifitas BP4 daerah dalam menekan angka perceraian. Untuk menguatkan kelembagaanya sebagai lembaga semi resmi Departemen Agama, maka pada bulan Oktober 1961 keluarlah SK Menteri Agama No. 85 tahun 1961 yang menetapkan BP4 sebagai satu-satunya badan yang berusaha pada bidang penasehatan perkawinan dan pengurangan kasus perceraian.
Sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan perceraian dilaksanakan dan dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA) membuat peran BP4 begitu sentral. Struktur BP4 yang berjenjang sampai ke desa terbukti mampu menekan perceraian yang tidak perlu. Begitu masyarakat mempunyai masalah biasanya lapor kepada P3N (pembantu pegawai pencatata nikah)  yang nota bene sebagai BP4 Desa. BP4 desa merupakan tokoh agama lokal yang disegani. P3N khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah kebanyakan dirangkap oleh Modin. Kepercayaan masyarakat yang besar terhadap Modin (yang berasal dari kata imam ad-din yang berarti pemimpin agama) tidak lepas dari posisinya yang merupakan kyai kampung yang secara sosiologis merupakan kepanjangan tangan dari Kyai karismatik di daerahnya. Modin itulah yang bertanggungjawab mengurusi semua peristiwa-peristiwa keagamaan, mulai dari pernikahan, kematian, kelahiran bayi, dsb. Oleh karena itu Modin secara kultural dianggap mempunyai otoritas dalam menyelesaikan sengketa-sengketa keagamaan di pedesaan, termasuk pertikaian rumah tangga, waris, dsb.
Jika tidak bisa didamaikan ditingkat desa, Modin membawa masalah tersebut ke BP4 kecamatan yang bertempat di KUA setempat. Jika  tidak bisa didamaikan, baru kemudian dihadapan penghulu perceraian dilangsungkan. Pengetahuan para Modin dan petugas BP4  tentang keluarga pasangan yang bertikai serta kearifan lokal dan kewibawaan yang mereka miliki serta penanganan yang berjenjang tersebut mempersempit ruang gerak manipulasi dan penyalahgunaan perceraian.
BP4 pada waktu itu benar-benar mengakar serta mempunyai wibawa yang besar di masyarakat bawah. Jejak kewibawan BP4 saat ini masih dapat dirasakan, paling tidak di beberapa kecamatan yang penulis pernah bertugas di sana. Walaupun tidak sering, penulis beberapakali memberikan konseling terhadap pasangan suami istri yang mengadukan persoalannya ke KUA untuk menyelesaikan atau mengadukan persoalan rumah tangganya. Tidak hanya itu, remaja yang mempunyai masalah pun beberapa kali minta konsultasi mengenai berbagai hal baik kehamilan yang tidak dikehendaki, pakasaan orang tua untuk meninggalkan pacarnya, dll.  Ketika ke KUA mereka mencari bapak BP4, bukan penghulu. Bahkan Modin pun hingga saat ini masih sering menjadi tempat pasangan suami istri dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.
Setelah keluarnya UU Perkawinan terjadi perubahan tata cara perceraian, yang semula dilaksanakan dan dicatat di KUA kemudian berubah menjadi : perceraian dilaksanakan di Pengadilan Agama dan dicatat di KUA. Walaupun saat itu  Pengadilan Agama masih dalam satu payung dengan Departemen Agama akan tetapi tetap membawa konsekuensi terhadap keberlangsungan BP4.
Salah satu perubahan terpenting dalam tubuh BP4 adalah pembagian peran BP4 di level kabupaten dan kecamatan. BP4 Kabupaten yang secara ex officio dikepalai oleh Kabid Urusan Agama Islam (sekarang menjadi Kepalas Seksi Urusan Agama Islam) berfungsi menjadi mediator pasangan yang akan bercerai dan BP4 Kecamatan yang ex officio dikepalai oleh Kepala KUA bertugas membina pasangan yang akan menikah. Mekanisme kerja BP4 di KUA adalah sebatas Penasehatan pra Nikah atau Kursus Calon Pengantin. Meski tidak seperti Malaysia yang mensyaratkan sertifikat Kursus Calon Pengantin bagi pasangan yang akan menikah, KUA dengan BP4 melakukan pembekalan terhadap calon pengantin dengan materi yang masih terbatas fiqh dan etika pernikahan dalam Islam.
Kemudian pada tahun 1977 dikeluarkan SK Menteri Agama No. 30 Tahun 1977 yang berisi, pertama, BP4 sebagai satu-satunya badan penunjang sebagian tugas Departemen Agama dalam bidang pemberian penasehatan, perkawinan dan perselisihan rumah tangga, kedua, menunjuk Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam untuk melaksanakan bimbingan BP4. Dengan dikeluarkan SK Menteri ini dengan segala kelebihan dan kelemahannya BP4 semakin eksis.
Sejak awal biaya operasional BP4 diambilkan dari biaya pencatatan nikah yang dibayarkan masyarakat ke KUA. Sebelum reformasi Keuangan Negara, biaya pencatatan Nikah sebesar Rp. 30.000,- sesuai dengan UU No. Tahun 1946 ditambah biaya operasional yang ditentukan sendiri oleh KUA yang diperuntukkan untuk lembaga-lembaga seperti BP4, P2A maupun BKM. Maka tidak heran hingga saat ini banyak aset-aset Depag yang beratas nama lembaga-lembaga tersebut yang dibeli dari biaya nikah waktu itu.
Pada tahun 2006n Pengadilan Agama resmi berpisah dengan Departemen Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan struktur ini membawa dampak perubahan tidak hanya pada kinerja BP4 tetapi juga proses perceraian secara umum. Di antaranya, pertama, BP4 tidak lagi menjadi lembaga mediasi, kecuali pasangan PNS atau pegawai BUMN. Warga masyarakat yang hendak bercerai langsung  mengajukan sendiri ke Pengadilan Agama tanpa melalui BP4 desa dan kecamatan setempat. Kedua, tidak adanya kontrol yang ketat terhadap keinginan perceraian. Perceraian yang idealnya adalah bagian dari solusi, justru tidak jarang menjadi bentuk baru kekerasan terhadap pasangan.
Sebagai salah satu gambaran mekanisme kekerasan lewat perceraian yang tidak terkontrol, beberapa waktu lalu datanglah seorang perempuan hamil ke KUA tempat penulis bekerja, dia menanyakan pemberitahuan cerai talak suaminya terhadap dirinya yang biasanya dikirim Pengadilan Agama ke KUA. Singkat cerita, perempuan yang menjadi TKI ke Timur Tengah selama tiga tahun ini telah ditalak suaminya tanpa sepengetahuan dirinya. Satu tahun bekerja di Timur Tengah Sang suami mengajukan talak dan dikabulkan PA. Selama tiga tahun ia bekerja, hasil jerih payahnya selalu dikirim suaminya untuk dijadikan modal jika ia pulang. Setekah kontraknya habis, perempuan tersebut pulang ke Indonesia dengan berjuta harapan. Setiba di tanah air, dia tetap belum tahu bahwa dirinya telah ditalak suaminya, sambutan dan sikap mantan suaminya tetap sebagaimana selayaknya suami. Uang hasil jerih payahnya yang sebenarnya dihabiskan “suaminya” dengan kelicikan dan tipu daya tidak diketahui oleh perempuan tersebut. Kedua pasangan yang secara hukum sudah bukan pasangannya itu pun berkumpul selayaknya suami-istri. Satu bulan kemudian, “sang suami” pamit ke Malaysia untuk bekerja dan diizinkan oleh perempuan tersebut. Dua buan kemudian, perempuan tersebut menghubungi “suaminya” di Malaysia untuk mengabarkan “kabar gembira” karena dia hamil. Kabar yang mustinya dirayakan pasangan suami-istri tersebut justru awal dari penderitaan si perempuan. “Sang suami” bukan menyambut gembira, justru memberi kabar bahwa sebenarnya dia bukan lagi suaminya, sebab sudah dua tahun lalu telah menjatuhkan talak di PA. Bagimana ini bisa terjadi? Mudahnya melakukan rekayasa dan tidak adanya kontrol yang ketat terjadinya perceraian yang selama ini terjadi adalah jawabannya. Kejadian  tersebut akan bisa diminimalisir jika ada peran BP4 di desa dan kecamatan dilibatkan, khususnya seperti BP4 di tahun sebelum 1974. Sejumlah manipulasi yang digunakan untuk perceraian demi kepentingan salah satu pasangan, seperti, manipulasi saksi, materi yang digunakan untuk alasan bercerai, dsb, dapat diminimalisir.
Ketiga,  tidak adanya sinkronisasi antara PA adan KUA. Peraturan perceraian yang menitahkan pelaksanaan dan pencatatan perceraian di PA menimbulkan celah yang bisa digunakan seseorang untuk hal-hal yang menyeleweng.
Reformasi disegala bidang ternyata tidak menyentuh substansi fungsi yang dijalankan BP4 selama ini. Peran-peran yang dijalankan BP4 kalah pamor dengan WCC dan LSM-LSM perempuan yang bermunculan di medio 90-an. BP4 tidak hanya stagnan lebih dari itu mengalami degradasi fungsi dan perannya. Apalagi setalah diatur sistem keuangan Negara, terutama terbitnya UU No. 13 tahun 2003, maka lembaga-lembaga semi resmi seperti BP4, P2A dan BKM otomatis tidak memperoleh biaya operasioanal. Ketiadaan biaya opersional ini semakin memperpuruk kondisi BP4 saat itu, dan tidak berlebihan jika ada yang mengatakan wujuduhu ka adamihi (keberadaanya tidaklah berbeda dengan ketiadaanya).
Menyikapi hal tersebut pada juni 2009, tepatnya pada Munas BP4 Ke-XIV mencoba merevitalisasi lembaga tersebut. Dalam Munas tersebut disepakati memperkuat fungsi, mediasi, fasilitasi dan advokasi dalam memperkokoh ketahanan keluarga sehingga tidak hanya menghindarkan perceraian yang tidak perlu juga meningkatkan kualitas keluarga di Indonesia. Rumusan lain yang dihasilkan adalah perubahan akronim BP4 menjadi Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan.
Dari perjalanan sejarahnya tampak beberapa kelebihan dan kelemahan BP4 dalam menjalankan perannya. Beberapa kelebihannya antara lain : pertama, struktur yang mengakar sampai ke desa membuat BP4 sangat dekat dengan masyarakat.  Kedua, pelibatan tokoh-tokoh lokal dalam kepengurusannya yang nota bene mempunyai pengetahuan yang baik situasi kondisi maupun kultur masyarakat setempat. Kedua kelebihan ini sulit untuk ditandingi bahkan oleh LSM atau lembaga-lembaga lainya. Dengan dua  modal tersebut BP4 mempunyai potensi untuk memberdayakan keluarga secara massif.
Adapun kelemahan dan kekurangan yang dimiliki BP4 saat ini antara lain: pertama, kelembagaan BP4 yang lemah. Tidak hanya sistem organnya yang belum tertata dengan kuat juga tidak jelasnya pada pendanaan operasional BP4. Kedua, visi dan misinya belum terpahami oleh seluruh elemen. Ada kemungkinan hal ini disebabkan lemahnya visi, misi ataupun worldview BP4. Ketiga, struktur kepengurusan  yang diisi oleh para pejabat terkadang tidak mempertimbangkan prinsip profesionalisme. Dampak lain, dibawah, BP4 dijalankan sebagai “sampingan”, sebab tidak menjadi tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dari pejabat itu sendiri.
Kesadaran “birokratis” yang mendominasi watak pejabat bukannya kesadaran “transformative” menjadikan BP4 hanya dimaknai sebagai beban yang tidak perlu bagi para pejabat. Keempat, watak ekslusif BP4 yang menfokuskan diri pada umat Islam. Terkesan ada beban ganda dalam diri BP4 yakni misi “dakwah” dan misi  “negara” dan  tidak jarang teradapat ketegangan-ketegangan yang sulit didamaikan. Kemungkinan ini juga terpengaruh oleh pembedaan pelayanan pernikahan dan perceraian umat Islam dan umat agama lain yang kedepan musti dikaji ulang kembali. Walhasil lengkaplah kelemahan BP4 tidak hanya pada level ideologi gerakannya juga pada manejemen pengorganisasiaannya.
Harus Kemana BP4?
Secara umum baik di tingkat nasional maupun kecamatan BP-4 merupakan lembaga belum mempuyai kejelasan orientasi. Kejelasan orientasi salah satunya dapat dilihat ada tidaknya muwafaqoh (kesesuaian) antara problem yang dihadapi dengan jawaban kelembagaan yang dirumuskan. Musababnya lembaga tersebut berjalan tanpa ideologi dan perspektif yang jelas, akhirnya program yang dijalankan tidak sebanding dengan keinginan dan persoalan yang terjadi di masyarakat. Eksistensi BP4 dalam pandangan penulis masih perlu dipertahankan, akan tetapi perlu perbaikan yang fundamental bahkan radikal.
Perubahan BP4 harus berbarengan dengan mengevaluasi kembali semua aturan yang berkaitan dengan pernikahan dan perceraian di Indonesia, baik UU No. tahun 1975 yang mengatur perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam sebagai rujukan kedua umat Islam dalam persoalan Pernikahan dan perceraian serta UU No. 7 tahun 1989  tentang Peradilan Agama. sebab menurut penulis kedua UU tersebut terdapat celah-celah yang tidak kompatibel dengan semangat UU yang lain seperti UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT dan UU No. 23 tahun 2002 tentang  perlindungan anak. Contoh di atas adalah salah satu bukti pemanfaatan celah tersebut. Contoh lain, tentang batasan usia nikah, dualitas qadhi (hakim), tentang poligami, tata-cara pernikahan dan perceraian, lembaga mediasi, pernikahan perempuan hamil, dsb, yang menurut penilaian penulis masih ada diskriminasi dan mengafirmasi kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Terkait dengan BP4, perlu dipertimbangkan lembaga ini diakomodasi dalam UU sebagai lembaga mediasi, advokasi dan fasilitasi resmi Negara. Penguatan kelembagaan ini harus disertai kejelasan orientasi, penguatan ideologi, kejelasan menejemen organisasi dan SDM dan dukungan pendanaan dari negara.
Saat ini ada beberapa lembaga  yang menjadikan keluarga sebagai sasaran kegiatan, sebut saja BKKBN, PKH (Lintas sektoral 3 kementrian: Kemensos, Kemendiknas dan Kemenkes), Keluarga Sakinah (Kemenag) semuanya terkesan sendiri-sendiri, padahal orientasi kegiatan dan programnya sama, yakni kesejahteraan keluarga. Program Keluarga Harapan (PKH) yang di bawah kebanyakan berkantor di Kantor Pos. PKH yang bertujuan meningkatkan HDI (Human Developmen Index) masyarakat Indonesia dengan meningkatkan taraf ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat patut kita apresiasi dengan baik. PKH ini sama persis dengan Gerakan Keluarga Sakinah yang dipunyai Kementerian Agama, yang berbeda adalah gerakan keluarga sakinah tidak didukung dana yang sebesar PKH. Ada kesan terdapat “ego sektoral” dan kurang sinergis dalam melakukan program. Singkat kata, perlu ada penataan kelembagaan kembali  institusi yang menangani keluarga, tidak hanya aspek ekonomi, pendidikan dan kesehatan akan tetapi kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga untuk mewujudkan keluarga yang harmonis.
Pada titik inilah lembaga BP4 layak untuk dipertimbangkan mengisi ruang kosong tersebut. Dengan segala kelebihan yang dipunyai BP4, jika institusi ini dikuatkan kelembagaanya oleh UU, BP4  dapat berperan sebagai berikut :
  1. Sosialisasi masalah keluarga sejahtera dengan memaparkan, hak dan kewajiban pasangan masing – masing serta anak. Tentu saja hal ini di barengi dengan melakukan edukasi masyarakat tentang masalah kekerasan perempuan dan anak sebagai kelompok rentan dalam rumah tangga.
  2. Meningkatkan mutu perkawinan dengan melakukan pendidikan terhadap calon pengantin khususnya terhadap para remaja, termasuk didalamnya menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja, bahaya pernikahan tanpa perencanaan dan persiapan yang matang serta informasi-informasi lainnya.
  3. Menjadi lembaga resmi yang memediasi perceraian. Pengadilan Agama hanya memproses kasus perceraian jika mendapat rekomendasi dari lembaga ini.
  4. Memperhatikan dan memelihara masalah yang menyangkut kesejahteraan rumah tangga. Dengan melihat indikator – indikatornya antara lain angka kematian ibu dan anak, pendidikan anak, peningkatan ekonomi keluarga, perkawinan usia muda, angka perceraian, kehamilan yang tidak di kehendaki, kekerasan dalam pacaran, kekerasan rumah tangga DII
  5. Membantu keluarga atau korban ( jika ada kekerasan ) dalam menyelesaikan persoalan dengan menyediakan shelter, konsultasi hukum dll. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...