Senin, 05 Maret 2018

HUKUM PIDANA ISLAM


BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.           Hukum Pidana Islam
1.    Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik   atau   tindak   pidana.   Jinahah   merupakan   bentuk   verbal   noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Fiqh Jinayah  adalah segala ketentuan hukum mengenai  tindak  pidana  atau  perbuatan  kriminal  yang  dilakukan  oleh  orang-orang  mukallaf    sebagai  hasil  dari  pemahaman  atas  dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al Qur’an dan Hadist.[24]

Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syari’at Islam dimaksud secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syari’at yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana, yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.[25]
Pengertian fiqh jinayah (hukum  pidana  islam)  tersebut  di  atas  sejalan  dengan  pengertian  hukum pidana menurut hukum positif (hukum hasil produk manusia). Atau dengan kata  lain  hukum  pidana  itu  adalah  serangkaian  peraturan  yang  mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya.[26]
Adapun jinayah menurut bahasa (etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan  seseorang  yang  buruk  dan  apa  yang  diusahakan.[27]   Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi)  adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh  syara’  baik  perbuatan  tersebut  mengenai  jiwa,  harta  atau  lainnya.[28]
Menurut istilah fiqh, jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang terhadap hak Allah atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang di mana  orang  yang  melakukan  wajib  mendapat  atau  diberi  hukuman  yang sesuai baik dunia maupun di akhirat. Dalam rumusan lain di sebutkan bahwa jinayah  adalah perbuatan  dosa besar atau kejahatan  (pidana atau kriminal) seperti membunuh,  melukai  seseorang,  atau membuat  cacat anggota badan seseorang.[29]
Tujuan  disyariatkannya  adalah  dalam  rangka  untuk  memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti : Pencurian, perzinahan, homoseksual,  menuduh seseorang berbuat zina, minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang dan melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya. Di  kalangan  fukaha,  perkataan  jinayah  berarti  perbuatan-perbuatan  yang terlarang menurut syara’.[30]
Dari  berbagai  pengertian  di  atas,  konsep  jinayah  berkaitan  erat dengan  masalah  larangan  karena  setiap  perbuatan  yang  terangkum  dalam konsep  jinayah  merupakan  perbutan  yang  dilarang  syara’.  Larangan  ini timbul karena perbuatan-perbuatan itu mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara. Memang  ada manusia  yang tidak mau melakukan  larangan  dan tidak mau meninggalkan  kewajiban  bukan  karena  adanya  sanksi,  tetapi  semta-mata karena  ketinggian  moralnya  mereka  orang  yang  akhlaknya  mulia.  Akan tetapi, kenyataan empirik menunjukan  dimana  pun di dunia ini selalu ada orang-orang  yang taat karena adanya sanksi, oleh karena itu jinayah tanpa sanksi tidaklah realistik.
Dari definisi  tersebut  dapatlah  dipahami  bahwa hukuman  adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban  dan  kepentingan  masyarakat,  sekaligus  juga  untuk  melindungi kepentingan individu.[31] Hukuman itu harus mempunyai  dasar, baik dari Al quran,   hadis,   atau   lembaga   legislatif   yang   mempunyai   kewenangan menetapkan  hukuman  untuk  kasus  ta’zīr.  Selain  itu  hukuman  itu  harus bersifat pribadi. Artinya hanya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja.  Hal  ini sesuai  dengan  prinsip  bahwa:  ”Seseorang  tidak  menanggung dosanya orang lain”. Terakhir, hukuman itu harus bersifat umum, maksudnya berlaku bagi semua orang, karena semua manusia sama di hadapan hukum.[32]
2.      Bentuk-bentuk jarimah
Para  ulama  membagi  jarimah  berdasarkan  aspek  berat  dan  ringannya  hukuman  serta ditegaskan  atau  tidaknya  oleh  al-quran  dal  al-hadits,  atas  dasar  ini  mereka  membagi menjadi tiga macam, yaitu :
a.         Jarimah hudud, yang meliputi:
Hudud, jamaknya “had”. Arti menurut bahasa ialah : menahan (menghukum). Menurut istilah hudud berarti: sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan  keduanya,  tergantung  kepada  kesalahan  yang  dilakukan. 
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan syara’ dan menjadi hak Allah (hak martabat).Hudud Allah ini terbagi pada dua kategori, pertama peraturan yang menjelaskan kepada manusia berhubungan dengan makanan, minuman, perkawinan, perceraian dan lain-lain yang dibolehkan dan dilarang.Kedua hukuman-hukuman yang ditetapkan atau diputuskan agar dikenakan kepada seseorang yang melakukan hal yang dilarang.Kedua hukuman yang yang ditetapkam atau diputuskan agar dikenakan kepada seseorang yang melakukan hal yang terlarang untuk dikerjakan.[33]
Hukuman hudud dalam sistem hukum Islam, dikenakan pada tindak pidana yang sudah tercantum dalam al-Quran atau Sunnah Nabi Muhammad SAW, sedangkan hukuman lain ditetapkan dengan pertimbangan qadhi atau penguasa yang disebut ta’zir.Tindak pidana yang dapat dihukum hudud dalam syariat Islam ini merupakan hal yang mempengaruhi masyarakat.Al-Quran telah memerincikannya yaitu pembunuhan (qatl), pembegalan atau perampokan (hirobah), pencurian (Sariqah), perzinahan dan tuduhan zina (qadzaf).[34]
Hukum  had  ini  merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum.
Jarimah hudud ini dalam beberapa kasus di jelaskan dalam al-Qur’an surah An-Nur ayat 2,  surah an-Nur: 4, surah al-Maidah ayat 33, surat al-Maidah ayat 38.
·           Perzinaan
§   Qadzaf (menuduh berbuat zina)
§   Meminum minuman keras
§   Pencurian
§   Perampokan
§   Pemberontakan
§   Murtad
b.        Jarimah qishas/diyat, yang meliputi :
Hukum  qisos  adalah  pembalasan  yang  setimpal  (sama)  atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan  badan. Atau menghilangkan  jiwa,  seperti  dalam  firman  Allah  SWT. Surah al-Maidah : 45, surah al-Baqarah : 178 Diat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang  terkena hukum diad sebab membunuh atau melukai seseorang karena ada pengampunan, keringanan hukuman, dan hal lain. Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan  pembunuhan  dengan  tidak  disengaja  atau  pembunuhan karena kesalahan (khata’). Hal ini dijelaskan dalam al-Quraan surah an-Nisa’ : 92.
§   Pembunuhan sengaja.
§   Pembunuhan semi sengaja.
§   Pembunuhan tersalah.
§   Pelukan sengaja.
§   Pelukan semi sengaja.
§   Jarimah Jarimah ta’zir
Azas Di dalam sistem hukum pidana Islam, dua hal harus diperhatikan berkaitan dengan retributive (pembalasan) ini sebagai gambaran had yaitu kerasnya hukuman dan larangan segala bentuk mediasi terhadap kasus ini, dengan kata lain hukuman ini wajib dijalankan jika kejahatan terbukti. Menurut Muhammad Quthb, kerasnya hukuman itu didasarkan pada pertimbangan psikologis.[35] Dengan maksud untuk memerangi kecenderungan para penjahat dalam melanggar hukum, Islam menentukan hukuman keras yang menggambarkan perhatian terhadap akibat-akibat kejahatan.[36]
c.         Jarimah Ta’zir
Ta’zir menurut bahasa berasal dari kata:(1)‘azzara yang mempunyaipersamaan kata dengan mana’a waradda yang artinya mencegah dan menolak; (2) addaba yang artinya mendidik; (3) azzama wa waqqara yang artinyamengagunkan dan menghormati; dan (4) a’ana wa qawwa wa nasara yang artinya membantunya, menguatkan dan menolong.[37]
Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan adalah pengertian addaba (mendidik) dan mana’a wa radda (mencegah dan menolak)[38] karena ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya untuk mencegah dan menghalangi orang yang berbuat jarimah tersebut untuk tidak mengulangi kejahatannya lagi dan memberikan efek jera.[39]
Hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di tetapkan hukumannya dalam  al-Quran dan Hadist yang bentuknya sebagai  hukuman ringan. menurut hukum islam, pelaksanaan hukum ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya. ta’zir ini dibagi menjadi tiga bagian :
a.         Jarimah  hudud  atau  qishah/diyat  yang  syubhat  atau  tidak  memenuhi  syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga, dan pencurian aliran listrik.
b.        Jarimah-jarimah yang ditentukan al-quran dan al-hadits, namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat dan menghina agama.
c.         Jarimah jarimah yang ditentukan oleh ulul amri  untuk kemashlahatan  umum. Dalam hal ini, nilai ajaran islam di jadikan pertimbangan penentuan  kemashlahatan umum. persyartan  kemaslahatan  ini  secara  terinci  diuraikan  dalm  bidang  studi  Ushul Fiqh, misalnya, pelanggaran atas peraturan lalu-lintas. Sedangkan jarimah berdasarkan niat pelakunya dibagi menjadi menjadi dua, yaitu:
§   Jarimah yang disengaja (al-jarimah al-maqsudah).
§   Jarimah karena kesalahan (al-jarimah ghayr al-maqsudah/jarimah al-khatha’).
3.        Jarimah Ditinjau dari Aspek Niat Pelakunya
a.         Jarimah Sengaja (jara-im maqshudah/ Dolus)
Menurut Muhammad Abu Zahrah, yang dimaksud dengan jarimah sengaja adalah sebagai berikut. Jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh seseorang dengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman.[40]
Dari defenisi tersebut dapatlah diketahui bahwa untuk jarimah sengaja harus dipenuhi tiga unsur:
§   Unsur kesengajaan
§   Unsur kehendak yang bebas dalam melakukannya
§   Unsur pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan.[41]
Begitulah arti umum kesengajaan, meskipun pada jarimah pembunuhan, kesengajaan mempunyai arti khusus, yaitu sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang dan memang akibat dari perbuatan itu dikehendaki pula. Kalau sipembuat dengan sengaja berbuat tetapi tidak menghendaki akibat-akibat perbuatannya itu, maka disebut “pembunuhan semi-sengaja”. Dalam hukum-hukum positif disebut “penganiayaan yang membawa kematian”.[42]
b.         Jarimah Tidak Sengaja (jara-im ghairu maqshudah/ Colpus)
Abdul Qadir Audah mengemukakan pengertian jarimah tidak sengaja sebagai berikut. Jarimah tidak sengaja adalah jarimah dimana pelaku tidak sengaja (berniat) untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya (kesalahannya).
Kekeliruan atau kesalahan ada dua macam:
·                Pelaku sengaja melakukan perbuatan yang akhirnya menjadi jarimah, tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya. Kekeliruan inipun terbagi dua:
1)      Keliru dalam perbuatan ﺨﻂﺄ  ﻓﻰ  ﺍﻠﻔﻌﻞ
Contohnya: seseorang yang menembak binatang buruan, tetapi pelurunya menyimpang mengenai manusia.
2)     Keliru dalam dugaan  ﺨﻂﺄ  ﻓﻰ ﺍﻠﻗﺻﺪ 
Contohnya: seseorang yang menembak orang lain yang disangkanya penjahat yang sedang dikejarnya, tetapi ternyata ia penduduk biasa.
·                Pelaku tidak sengaja berbuat jarimah yang terjadi tidak diniatkannya sama sekali. Disebut “jariyah majral khatha”, contohnya: seseorang yang tidur disamping bayi dalam barak pengungsian dan ia menindih bayi itu sampai mati.
Pentingnya Pembagian Ini Dapat Dilihat dari Dua Sisi:
a.         Dalam jarimah sengaja jelas menunjukkan adanya kesengajaan berbuat jarimah, sedangkan dalam jarimah tidak sengaja kecendrungan untuk berbuat salah tidak ada. Oleh karenanya hukuman untuk jarimah sengaja lebih berat daripada jarimah tidak sengaja.
b.        Dalam jarimah sengaja hukuman hukuman tidak bisa dijatuhkan apabila unsur kesengajaan tidak terbukti. Sedangkan pada jarimah tidak sengaja hukuman dijatuhkan karena kelalaian pelaku atau ketidakhati-hatiannya semata-mata.[43]
4.        Jarimah dari Aspek Motif Pelaku
a.         Jarimah Ditinjau dari Aspek Objek Perbuatan[44]
                                               i.        Jarimah Perseorangan (jara-im dhiddul-afraad)
     Adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi hak perseorangan (individu), walaupun sebenarnya apa yang menyinggung individu, juga berarti menyinggung masyarakat. Jarimah qishash dan diat termasuk kedalam kelompok jarimah perseorangan. Jarimah ta’zir sebagian ada yang masuk jarimah perseorangan, apabila yang dirugikan hak perseorangan, seperti penghinaan, penipuan dan semacamnya.
                                             ii.        Jarimah Masyarakat (jara-im dhiddul-jamaa’ah)
                 Adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, walaupun sebenarnya kadang-kadang apa yang menyinggung masyarakat juga menyinggung perseorangan.
            Jarimah-jarimah hudud termasuk ke dalam jarimah masyarakat, meskipun sebagian daripadanya ada yang mengenai perseorangan, seperti pencurian dan qadzaf. Jarimah ta’zir sebagian ada yang termasuk jarimah masyarakat seperti, penimbunan bahan-bahan pokok, korupsi dan lainnya. Dalam jarimah masyarakat tidak ada pengaruh maaf, karena hukummannya merupakan hak Allah (hak masyarakat).

B.            Unsur dalam Hukum Pidana Islam
Suatu perbuatan dipandang sebagai jarimah dan pelakunya dapat dimintai pertanggung jawaban pidana apabila telah memenuhi unsure-unsur sebagai berikut:
a.         Unsur Formil (Rukun Syar’i) yaitu adanya nash atau peraturan yang menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang dianncam dengan hukuman.
b.        Unsur Materil (Rukun Maddi) yakni adanya pebuatan melawan hukum baik perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat.
c.         Unsur Moril (Rukun Adabi), yakni pelakunya adalah orang-orang mukallaf, berakal, bebas berkehendak, dalam arti mukallaf terlepas dari unsur paksaan dan dalam kesadaran penuh.[45]

C.           Maqassud Syari’ah  Hukum Pidana Islam
Pada dasarnya hukum diciptakan dan diundangkan memiliki tujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan manfaat dan menghindari kemudharatan bagi manusia. Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syari’ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat terwujud jika lima unsur pokok (maqashid al-syari’ah) dapat diwujudkan dan dipelihara.[46]
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid[47]pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah. [48] Ada yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik maslahah atau menolak mafsadah.Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia atau di akhirat.Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusi.[49] Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau menarik kebaikan…".Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum. [50]
Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.)    Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.)    Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah. [51]
Dalam penyelesaian masalah pembakaran hutan atau kita qiyaskan dengan perusakan lingkungan. Penulis mengacu pada metode maqashidas-syari’ah[52] yang menawarkan tiga skala prioritas tetapi saling melengkapi;
1.      al-Dharuruiyyat (primer);
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.
Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid dharûriyât, Maqashid hâjiyat, dan Maqashid tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsiniat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-din); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mal)[53].
1)       Agama
             Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Maidah : 3
.. ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ ٣
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam surat asy-Syura : 13.
۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ مَا تَدۡعُوهُمۡ إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِيٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ ١٣

“Dia telah mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”.

Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah : 256.
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.


2)      Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :
a.         Surat Al-Baqarah ayat 178-179
b.        Surat al-an’am ayat 151
c.         Surat Al-Isra’ ayat 31
d.        Surat Al-Isra’ ayat 33
e.         Surat An-Nisa ayat 92-93
f.          Surat Al-Maidah ayat 32.
Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu surat Al-Isra’ ayat 33
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.






3)      Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal.   
Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
وَإِنَّ لَكُمۡ فِي ٱلۡأَنۡعَٰمِ لَعِبۡرَةٗۖ نُّسۡقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِۦ مِنۢ بَيۡنِ فَرۡثٖ وَدَمٖ لَّبَنًا خَالِصٗا سَآئِغٗا لِّلشَّٰرِبِينَ ٦٦
“66.  Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.

وَمِن ثَمَرَٰتِ ٱلنَّخِيلِ وَٱلۡأَعۡنَٰبِ تَتَّخِذُونَ مِنۡهُ سَكَرٗا وَرِزۡقًا حَسَنًاۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ٦٧

67.  Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.

وَأَوۡحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ أَنِ ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ ٦٨
68.  Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",

ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسۡلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلٗاۚ يَخۡرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٞ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٦٩

69.  Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.

4)      Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.
5)      Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai. [54]
2.       al-Hajiyyat (sekunder);
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yan gdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang lain)
3.       dan al-tahsiniyyat (tersier).[55]Untuk mengidentifikasi maqashidal-syari’ah (maslahah)tersebut, menurut al-Syathibi metode yang paling tepat adalah menggunakan istiqra’ (induksi) yaitu dengan model pengembalian kesimpulan premis umum dari sekumpulan dalil-dalil yang berserakan. Metode ini pada dasarnya memberikan kebebasan pada akal untuk memahami sebuah nash yang kemudian dikontrol oleh maqashidal-syari’ah. Metode di atas dipakai sebagai pisau analisa atau kacamata untuk membaca permasalahan perusakan lingkungan.[56]
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut. [57]

D.                Fiqh Lingkungan
 Selain menggunakan metode maqashid al-syari’ah, penulis juga menggunakan metode analisis terhadap fiqih bi’ah (fiqih lingkungan). [58] Fiqih dalam konteks lingkungan adalah hasil bacaan dan pemahaman manusia terhadap dalil naqli , baik yang maktubah (tertulis), maupun yang kauniyyah (tidak tertulis) yang tersebar di alam jagat raya. Jadi, fiqih lingkungan adalah pemahaman manusia tentang lingkungan hidup melalui pendekatan-pendekatan holy scriptures (teks-teks suci) dan natural signs (tanda-tanda alam) yang pada akhinya akan melahirkan suatu konsep dan sikap mereka terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestariannya. Oleh karena itu, pemahaman ummat terhadap ajaran Islam perlu dikembangkan dan diperdalam agar Islam bisa dipahami secara konfrehensif. 
Kerangka dasar pemahaman fiqih lingkungan tidak dijelaskan secara terperinci  dalam  bab  tersendiri  melainkan  masih  tersebar  dalam  kajian beberapa ilmu fiqih. fiqih lingkungan tidak semata mengkaji masalah pengrusakan alam semesta, akan tetapi lebih cenderung kepada sebuah kriktik terhadap problem lingkungan versus manusia yang menenpati ruang dalam lingkungan tersebut dimana kita melihat adanya perbedaan yang mendasar dalam menafsirkan antara kebutuhan dan melestarikan.
Kecenderungan manusia dalam mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan mereka lupa akan  tugas mereka dimuka bumi sebagai khalifah. Hal tersebut menyebabkan manusia melupakan bahwa ala mini tidak hanya harus memanfaatkan sumber dayanya yang ada, tetapi juga harus dilestarikan agar dapat digunakan secara terus menerus dan berkesinambungan.
Manusia yang memiliki keinginan dan kebutuhan yang tak terbatas membuat mereka melakukan ekspoitassi dan eksplorasi. Eksploitasi dan eksplorasi besar - besaran ditunjukkan dengan pemanfaatan sumber daya alam dengan teknologi yang membuat manusia melakukan pengrusakan terhadap alam. Berawal dari revolusi industry dan teknologi dunia barat yang telah mampu menemukan tegnologi yang dapat digunakan sebagai   alat   untuk   pengolahan   alam,   membuat mereka merasa menguasai alam dengan kemudahan teknologi tersebut, mereka mengenyampingkan persoalan pelestarian alam yang sangat penting untuk kehidupan mendatang. Alasan pemenuhan kebutuhan menjadi ukuran utama dalam perkembangan tegnologi pengolahan hasil sumber daya alam.
Berangkat dari hal itu, fiqih yang memiliki norma - norma yang menjabarkan nilai - nilai Al Alqur’an dan Al Sunnah harus dapatmemberikan sumbangan  yang  bersifat  riil  dalam  membentuk  pola  pikir  manusia  yang mampu mengatur tatanan kehidupan manusia yang mampu mengatur tatanan kehidupannya dalam hal pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Hal ini akan mengangkat tatanan hidup manusia kearah yang lebih baik dan tidak hanya memenntingkan ego manusia dalam eksplorasi alam, namun lebih kepada pemanfaatan yang disertai dengan pelestarian sumber daya alam.
Pengkajian Fiqih Lingkungan berdasarkan pada pemahaman bagaimana manusia mampu menjaga dan melestarikan sumberdaya alam yang ada sebagai peruwujudan manusia dalam mengolah alam semesta. Ada beberapa hal yang terkait oleh fiqih lingkungan dimana manusia sebagai khalifah dibumi perlu menjalankan amanatnya untuk menjaga sebagaibentuk pemeluiharaan lingkungan hidup diantaranya yaitu :
1.   Perlindungan jiwa raga (hifdh al nafs). [59]
Dalam  pandangan  fiqih  lingkungan  setiap  jiwa  dan  ragaa  makhluk hidup adalah hal yang mulia. Oleh sebab itu perlu adanya penjagaan dan perlindungan yang senantiasanya dijalankan pada setiap makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan) tanpa memandang status derajatnya.
2.    Menyelaraskan tujuan kehidupan dunia akhirat. [60]
Dalam fiqih dijelaskan pengatruran kehidupan manusia yang mana fiqih telah mengatur tatanan interaksi manusia baik dengan Alloh SWT. Dengan sesama manusia, dan juga hubungan manusia dengan alam. Menyelaraskan antara tujuan dunia dan akhirat adalah bagaimana manusia dengan alam. Menyelaraskan antara tujuan dunia dan akhirat adalah bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan daslam menjalankan   roda kehidupan namun tidak melupakan tujuan akhirat yaitu mendapatkan ridho Allah SWT.
3.    Kebutuhan akan produksi dan konsumsi harus seimbang. [61]
Fiqih lingkungan mengatur tatanan kebutuhan manusia dalam hal memproduksi atau mengkonsumsi sesuatu harus sesuai dengan kadar kemampuan manusia untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Hal ini didasarkan  pada  larangan  manusiauntuk  berllebih  -  lebihan  dalam segala hal.
4.    Keseimbangan ekosistem harus dijaga. [62]
Tugas manusia untuk mengolah dan melestarikan alam tidak luput dari peran serta manusia dalammenjaga keseimbangan ekosistem. Jika ekosistem terjaga maka manusia akan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhannya.
5.    Semua makhluk adalah mulia (muhtaram). [63]
Selaras  dengan  menjaga  keseimbangan  ekosistem, maka didalamnya manusia   juga harus menjaga setiap makhluk hidup didunia, sebab makhluk   hidup   selain   manusia   dapat   juga   dimanfaatkan   secara seimbang tidak diburu untuk kepunahannya.
6.   Manusia menjalankan tugas kekhalifahannya dalam hal mengolah dan mengelola alam semeta. [64]
Dari  pemikiran  ini  maka fiqih  lingkungan  cenderung pada  tatanan yang mengatur kehidupan manusia dengan alam semesta, baik dalam hal pemanfaatan  dan  juga  pelestariannya.  Hal  ini  yang  akan  menunjukkan eksistensi manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang berdasarkan Al Qur’an dan  Al  Sunnah.  Sebab  Islam  berbicara  tentang  alam  mulai  dari pembentukannya yang tidak memiliki kekurangan apapun dalam pemanfaatannya sampai pada hari akhir sebagai bentuk kerusakan bagi umat manusia.
Dari kesekian penjelasan tentang prisip dasar fiqih lingkungan semua berkaitan dengan tugaas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebab manusia yang mempunyai akal fikiran yang dapat digunakan untuk mengolah dan mengelola alam semesta.




[24] Abdul Wahab Khallaf, Uṣūl al-Fiqh, (Beirut: Dār al-Kuwaitiyah.1968), hal. 12. Lihat juga Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga Study Islam dan Kemasyarakatan, 1992), hal.86.
[25] Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.1.
[26] Musthafa Abdullah, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 9-10.
[27] Ahmad  Wardi  Muslich,  Pengantar  dan Asas  Hukum  Pidana  Islam”Fiqh  Jinayah,  (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), hal 1.
[28] Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islāmī,  (Beirut: Dār Al Kitāb al-Araby,), hal. 67.
[29] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, hal. 527.
[30] Jazuli, Fiqh Jinayah . (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 27.
[31] Muslich,  Ahmad  Wardi,  Opcit, hjal.  136-137.
[32] Dzajuli, Opcit, hal. 25-26.
[33] Abdurrahman I Do’i, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1992), hal. 6
[34] Ibid., hal. 7
[35] Muhammad Qutb, Manhaj al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Beirut: tp., 1967) hal. 231-234
[36] Muhammad Salim al Awwa, The Basis of Islamic Penal Legislation, dalam M Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal Justice System, (Oceana Publication, London-Paris-New York, 1982)., hal. 25-25
[37] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 248.
[38] Ibid, hal. 276
[39] Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1997), hal. 165.
[40] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam-Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 22
[41] Ibid.
[42]  Ahmad Hanafi, MA., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), hal. 13
[43] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hal. 23
[44] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 19970), hal. 23-25
[45]Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 16. Lihat juga Abdul Qodir Audah, op. cit, hal. 110-111.
[46] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/ 1988 M), juz. 2, hal. 72.
[47] Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, (Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992M), hal. 131
[48] Muhammad Fathi al-Duraini, al-Manahij al-usuliyyah, (Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997M), hal.48
[49] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996M), jil.3, hal. 37
[50] Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar , 1998M , m.s.50
[51] Kahairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II,( Pustaka Setia, Bandung, 2001), hal 125-126
[52] Secara bahasa maqashid syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:
هذه الشريعة...وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا
“ Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.” Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi
الآحكام مشروعة لمصالحالعباد
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba." Lihat Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo, I,) hal. 21, Ibnu Mandzur, Lisaan Al-‘Arab Jilid I,( Kairo: Darul Ma’arif, tt) hal. 3642. Dan Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. 14, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), hal. 712
[53] Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), jilid II, hAL. 2-5.
[54] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Bumi aksara, Jakarta, 1992), hal 67-101 Lihat Juuga Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi ( Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997), hal.. 71.
[55] Abu Ishaq al-Syathibi,Op. Cit, hal. 73-74.
[56] Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih Versus Hermeneutika; Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2007), hal. 48.
[57] YuAbdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 333-343
[58] Fiqh al-Bi’ah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata (kalimat majemuk; mudhaf dan mudhaf ilaih), yaitu kata fiqh dan al-bi`ah. Secara bahasa “fiqh” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu), al-fahmu (pemahaman) Sedangkan secara istilah, fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil daridalil-dalil tafshili (terperinci). Adapun kata “al-bi`ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lihat Sukarni, Fikih Lingkungan Hidup (Banjarmasin: Antasari Press, 2011) hlm. 45
[59]Alie Yafie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, (Jakarta:Tama Printing 2006), 163.
[60] Ibid, 167.
[61] Ibid, 170.
[62] Ibid, 173.
[63] Ibid, 180.
[64] Ibid, 185.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...