SISTIM
PERADILAN DALAM KITAB-KITAB MELAYU
A.
Pendahuluan
Hukum
Islam senantiasa berintegrasi dengan situasi dan lingkungan yang mengitarinya.
Perbedaan lingkungan budaya dan struktur masyarakat serta sosio-historis
menyebabkan hukum Islam menampilkan ciri dan karakternya di masing-masing
wilayah budaya dan setiap offshoot sejarah yang ia lalui, seperti dalam konteks
Indonesia dikenal dengan Fikih Indonesia.
Ide
Hasbi Ash Shiddieqy tentang Fikih Indonesia atau dalam istilah yang
diberikannya sendiri disebut “Fikih yang berkepribadian Indonesia” telah
dirintisnya sejak tahun 1940 adalah berlandaskan pada konsep bahwa fikih yang
diberlakukan terhadap Muslim Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi
kebutuhan mereka. Di samping itu, adat kebiasaan di luar Indonesia yang tidak
cocok dengan kultur masyarakat Indonesia tidak perlu terus dipertahankan
sebagai fikih yang wajib ditaati oleh muslimin Indonesia (Shiddiqi, 1997: 236).
Atas pertimbangan ini menjadi penting dan signifikan untuk menguraikan
keberadaan fikih Melayu era pra kolonial di Indonesia.
B.
Masa Kesultanan Kerajaan Peureulak
Islam
mulai bertapak di bumi Aceh pada akhir abad pertama Hijriyah. Keberadaan Islam
di Aceh akhirnya membentuk kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yang
terletak di Bandara Khalifah-Peureulak, Aceh Timur. Kerajaan Islam ini
didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H
Konon
silsilah raja pertama hingga ke sahabat dan menantu Rasulullah Ali bin Abi
Thalib) yang beraliran Syi’ah. Kemudian pada masa sultan yang keempat, yaitu
sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Kadir Syah Jihan Berdaulat (306-310H) aliran
Syi’ah ini (adanya bubur Syura dan peringatan 10 syura, adanya Tabut Syura
tentang Hasan dan Husein di Bengkulu, menurut Yahya Harun). Eksistensi mazhab
Syi’ah tidak bertahan lama di aceh. Aliran ini pudar sejak runtuhnya kerajaan
Peureulak diganti dengan Ahlusunnah waljama’ah yang dalam pengamalan syari’ah
ditetapkan mazhab Imam Syafi’i sebagai pegangngan utama (Syaukani, 2006: 68).
Sebelumnya,
kerajaan Peureulak didirikan oleh dinasti Sayid Azizah. Perlak asal katanya
Peureulak, yaitu sebutan selama dinasti itu berkuasa. Raja yang pertama adalah
Alaidin Sayyid Maulana Aziz Syah. Dinasti ini mempunyai lima generasi yang
menguasai daerah Peureulak. Rajanya yang terakhir adalah Sultan Abdul Kadir
Syah Johan, berkuasa pada tahun 918-922 M
Pada
waktu itu terjadi perebutan kekuasaan antara dinasti Azizah dengan dinasti
Meurah (Makrat). Dinasti Makrat adalah dinasti Aceh asli yang sudah memeluk
Islam yang kemudian mendirikan kerajaan Peureulak baru yang beribukota di
Tonang, yaitu daerah di hulu sungai Tuwon yang terkenal subur. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 922M.
Setelah
itu, kerajaan Peureulak yang semakin kecil itu tidak lagi disebut sebagai
kerajaan dan pengaruhnya pun semakin pudar. Baru pada tahun 1225-1263 M, raja
Muhammad Amir Syah mengawinkan puterinya yang bernama Ganggang Sari dengan
Marah Silu (Malik Saleh) kemudian Marah Silu mendirikan kerajaan baru yang
bernama Samudera Pasai di Teluk Lhokseumawe (Harun, 1995: 6).
C.
Kerajaan Samudera Pasai
Sultan
yang pertama yaitu Al Malik as Shaleh atau menantu raja Peureulak. Dalam
kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini, tidak mempunyai basis agraris.
Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Tome Pires
menceritakan, di Pasai ada mata uang dirham.
Setiap
kapal yang membawa barang-barang dikenakan pajak 6%. Adanya mata uang ini
membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Selain
itu, mata uang tersebut menggunakan nama-nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik
al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun 1073 ditemukan lagi 11 mata
uang dirham diantaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik az Zahir, Sultan
Ahmad, Sultan Abdullah, semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke
14 M dan 15 M.
Atas
dasar mata uang emas itu, dapat diketahui nama-nama raja dan urutan-urutannya
sebagai berikut; Sultan Malik as Saleh yang memerintah sampai tahun 1207 M,
Muhammad Malik az Zahir (1297-1326), Mahmud Malik az Zahir (1326-1345), Manshur
Malik az Zahir (1345-1346), Ahmad Malik az Zahir (1346-1383), Zain al-Abidin
Malik az Zahir (1383-
1405),
Nahrasiyah (1402-?), Abu Zaid Malik az Zahir (?-1455), Mahmu Malik az
Zahir(1455-1477), Zain al-Abidin (1477-1500), Abdullah Malik az Zahir
(1501-1513), dan sultan yang terakhir Zain al-Abidin (1513-1524) (Harun, 1995:
7).
Pada
akhirnya, kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521
M, kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun,
kemudian tahun 1524 M disatukan oleh raja Aceh, Ali Mughayat Syah. Selanjutnya
kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat
di Bandar Aceh Darussalam (Yatim, 2004: 224).
D.
Kerajaan Aceh Darussalam
Berdirinya
kerajaan ini pada tanggal 12 DzulQa’idah 916 H/1511 M dan pada saat itu juga
Malaka jatuh ke tangan Portugis. Raja pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat
Syah yang memerintah selama empat belas tahun (1516-1530 M) telah mampu
mempersatukan Kerajaan Islam Aceh Darussalam lebih kurang dari Kutaraja (Banda
aceh sekarang) sampai ke Tamiang. Ketika kerajaan Islam Aceh Darussalam
dipimpin oleh Sulthan Alaidin Ri’ayat Syah AL- Qahar (1537-1568 M), kerajaan
Aceh telah meluas sampai ke Sumatera Barat.
Dalam
kerajaan Aceh Darussalam terdapat lembaga ilmu pengetahuan seperti;
a)
Balai Sertia Ulama (jawatan pendidikan),
b)
Balai Jama’ah Himpunan Ulama’,
c)
Balai Sertia Hukama’ (lembaga pengembangan ilmu pengetahuan).
Di
samping itu, ada juga lembaga pendidikan dalam tingkat;
a)
Meunasah (ibtida’iyah),
b)
Rangkang (Tsanawiyah),
c) Daya (Aliyah), tingkat ini
berpusat di Mesjid besar dan di sekitarnya terdapat balai-balai tempat para
santri,
d)
Daya Teuku cik (perguruan tinggi).
Mengenai
Mazhab Syafi’i juga diterapkan di kerajaan Samudera Pasai, dan beberapa
kerajaan Islam lainnya yang berada di tanah Aceh. Setelah kerajaan-kerajaan itu
dipersatukan Ali Mughayatsyah, dan menjadi kerajaan Islam Aceh, yang ibu
kotanya Bandar Aceh Darussalam pada tahun 1511 M.
Pada
masa sultan Iskandar Muda (1607-1636) hukum Islam dengan mazhab Syafi’i
diterapkan secara kaffah, yang meliputi bidang ibadah, ahwal syakhsiyah,
mu’amalah maliyah, jinayah, ‘uqubah, murafa’ah, iqtishadiyah, dusturiyah,
akhlaqiyah dan ‘alaqah dauliyah, yang akhirnya dikodifiksikan menjadi Qanun
al-Ashyi (adat meukuta alam) yang ditulis dalam huruf Arab Melayu. Qanun ini
ditetapkan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan (Tim,
2003: 25).
Pada
saat itu di Aceh terdapat ulama-ulama yang terkenal antara lain; Syekh Hamzah
Fansuri, Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani (w.1040/1630), Syekh Nuruddin ar Raniri
(w.1068), Syekh Abdurrauf (w.1105/1693), Syekh Bukhori al-Jauhari (Yahya, 1995:
8).
Dari
uraian di atas, dapat diambil empat tema pokok awal kedatangan Islam ke
Nusantara. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia. Kedua, Islam
diperkenalkan oleh para guru dan penyiar “profesional”-yaitu mereka yang memang
khusus bermaksud menyebarkan Islam. Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah
para penguasa, dan ke empat kebanyakan para penyebar Islam datang ke Nusantara
pada abad pertama Hijrah atau 7 Masehi dengan adanya naskah-naskah tua, Idharul
H{aqq fi Mamlakat Ferlak karangan Abu Ishak Makarani, Tazkirah Ta{ baqat Salati} >n karangan Syekh Syamsul
Bahri Abdullah al-Asyi yang disalin kembali oleh Said Abdullh Ibn Said Habib
Safuddin dalam tahun 1275H, atas titah Sulthan Alaidin Mansyur Syah. Keurukon
Katibu Muluk (sekretaris negara) dari kerajaan Darussalam.
E.
Kitab-kitab Fiqh berbahasa Melayu
Satu
hal yang berbeda nyata antara ulama di zaman kesultanan dengan ulama Aceh masa-
masa terakhir, adalah dalam hal keaktifan tulis menulis. Ulama Aceh masa
kesultanan begitu gemar dan memiliki hasrat yang tinggi untuk menghasilkan
karya tulis. Mereka seolah belum sempurna hidup dalam tugas keulamaannya
sebelum menghasilkan sejumlah karya tulis untuk menjadikan warisan intelektual
yang akan ditinggalkan bagi generasi mendatang (Muchsin, 2007: 45).
Lebih
lanjut mengenai doktrin-doktrin mazhab Syafi’i, bagi kaum Muslim Indonesia,
dikenal dengan bahasa Arab melalui pelbagai penjelasan abad ke -16 tentang
fikih, khususnya yang dibuat oleh Ar Ramli (Nihayah) dan Ibn Hajar (Tuhfah). Karya-karya
tersebut dan yang lainnya juga telah banyak diterjemahkan, baik secara
keseluruhan ataupun sebagian. Lebih jauh dan sekali lagi merujuk kepada teks,
orang-orang Melayu dan Jawa abad ke-17 membuat teks-teks cangkokan yang di
dalamnya unsur-unsur fikih bercampur baur dengan aturan- aturan lokal.
Teks-teks undang-undang ini begitu kompleks dan mengekspresikan definisi orang
Indonesia mengenai masalah abstrak seperti ini sebagai “kewajiban”, “aturan”,
“kekuasaan”, dan “otoritas”. Karya-karya ini merupakan adaptasi atau salinan
dari bahasa Arab, tetapi merupakan karya orisinil yang mengekspresikan
pemahaman lokal mengenai Islam. Teks-teks tersebut, yang kemunculannya berkisar
dari pertengahan sampai akhir abad ke 17, adalah bagian dari tatanan baru keadaan
kaum muslim dan muncul, pada saat yang sama, sebagai karya teologis, dan
filsafat yang rumit. Pelajaran dari kita adalah, bahkan dalam aspek-aspek
paling teknis dari gambaran karya-karya Indonesia itu, tidaklah menunjukkan
sekedar salinan dari sumber-sumber asli berbahasa Arab. Keseimbangan antara
yang asli dan ekspresi pandangan Indonesia yang baru berbeda dari waktu ke
waktu dan tempat ke tempat. Bagaimana hal ini berkembang pada akhirnya, tidak
pernah diketahui. Kedatangan Belanda secara efektif menghentikan perkembangan
tersebut sejak akhir abad ke-18 dan seterusnya (Hooker, 2003: 31).
Terkait
dengan buku fikih berbahasa melayu, ulama-ulama Acehlah yang mula-mula menulis
kitab fikih dengan huruf Arab-Melayu. Ulama-ulama itu sebagai berikut:
1. Nuruddin Al-Raniry dengan judul bukunya
Al-SHirath al-Mustaqim, Jawahir al-‘Ulum fi Kashf al Ma’lum berisi perpaduan
antara fikih dan tasauf, Kaifiyah al-Salah dan Tanbih al-Sunnah.
2. Karya Syekh Abdurrauf berjumlah dua puluh satu
buah. Ada yang mengatakan 23 kitab (menurut Wan Mohd Saghir Abdullah). Hasil
penelitian ada 36 buah (Al-Yasa Abubakar). Menurut Vooorhoeve ketika
Abdurrauf Singkil pulang ke Aceh ia
langsung menuju Bandar Aceh Darussalam. Pada waktu diperintah oleh seorang
wanita yaitu Sultan Tajul
Alam
Safiyatuddin Syah, didampingi oleh Syaiful Rijal, seorang ulama asal
Minangkabau yang mendapat kepercayaan menduduki jabatan mufti (Qadi Malik
al-‘Adil). Sebagai ulama yang baru datang Abdurrauf mendapat penghargaan yang
layak, namun ia mendapat ujian sebagai kealimannya. Telah datang kepadanya
seorang utusan sultanah Katib Seri Raja bin Hamzah al-Ashiy, ia datang dengan
kitab berbahasa melayu, dan menanyakan kepada Syeikh Abdul Rauf tentang keadaan
seseorang ketika menghadapi sakaratul maut seperti yang diceritakan dalam kitab
tersebut.
Untuk
itu, dalam menghadapi ujian ini Abdurrauf cukup hati-hati dalam memberikan
jawaban. Abdurrauf memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini bahwa isi buku
tersebut tidak ia temukan dalam kitab-kitab hadis ataupun tulisan ahli sufi.
Sebagai koreksi terhadap buku yang dianggapnya tidak betul ia menyusun tiga
risalah.
Setelah
itu, Sultanah meminta Syeikh Abdurrauf untuk menulis kitab fikih dalam bidang
muamalat, guna melengkapi kitab fikih ibadah yang telah disusun oleh Nuruddin
Al-Raniry yang berjudul Sirath al-Mustaqim. Syeikh Abdurrauf pada mulanya agak
keberatan memenuhi permintaan Sultanah karena bahasa Melayu Pasai yang akan
digunakan untuk menulis kitab tersebut tidak lagi dikuasai Abdurrauf dengan baik.
Mendengar keluhan ini Sultanah menunjuk Katib Seri Raja (sekretaris sultan) dan
Faqih Indera Shalih untuk membimbing Abdurrauf dalam bahasa Melayu. Dengan
usaha tersebut lahirlah kitab fikih dengan judul Mir’at Tulab fi Tashil
Ma’rifat al-Ahkam al-Shari’at li al-Malik al-Wahhab.
Syekh
Aburrauf Syi’ah Kuala menyebutkan bahwa bahasa yang dipakainya untuk menulis
kitab ini ialah bahasa Jawi Pasai. Pengucapan dan penulisan Aceh di lakukan
dalam dua bahasa, yaitu bahasa Aceh dan bahasa Melayu, karena dalam kerajaan
Aceh Darussalam kedua bahasa itu adalah bahasa resmi, di samping bahasa Arab
yang juga dipelajari secara umum sebagai bahasa agama, sehingga dalam
karangan-karangan karya sastra dan karya ilmiah ketiga bahasa itu telah
bercampur baur menjadi satu (Soelaiman, 2003: xii).
Pada
dasarnya, pendapat yang penting dalam kitab ini adalah dibolehkannya wanita
menjadi hakim, hal ini berbeda dengan kitab fikih Syafi’i lainnya yang tidak
membolehkan wanita menjadi hakim. Syeikh Abdurrauf tidak mencantumkan laki-laki
sebagai salah satu syarat untuk menjadi hakim. Ia tidak menterjemahkan kata
zakarun (laki-laki) ke dalam kitab
Mir’at al-Thullab. Padahal mengenai syarat-syarat hakim, Abdurrauf mengutip
dari kitab Fath al-Wahhab yang di dalamnya tercantum ketentuan laki-laki
sebagai salah satu syarat hakim.
Oleh
sebab itu, berdasarkan fakta ini dapat dianalisa bahwa tindakan atau pendapat
Abdurrauf paling tidak agaknya akan menimbulkan dua macam penafsiran. Pertama
mungkin tindakannya dapat ditafsirkan hanyalah untuk memuaskan penguasa yang
ketika itu adalah seorang wanita. Kedua, mungkin sebaliknya, pendapat dan
tindakannya ini karena Abdurrauf
menghargai wanita lebih ting gi dari umumnya kitab fikih yang bermazhab
Syafi’i, sehingga mengizinkan mereka menjadi hakim. Dugaan sementara dalam hal
ini menurut penulis lebih cenderung untuk memilih yang terakhir, karena fakta
sebenarnya ketika Abdurrauf menjadi mufti kerajaan dia memiliki sikap toleran
dan juga tentunya tidak terlepas dari kondisi sosial saat itu.
Karyanya
yang lain adalah Hidayat al-Balighah, kitab yang isinya mengenai pembuktian dalam
peradilan, kesaksian dan sumpah. Kitab ini ditulis untuk memberi bimbingan
praktis kepada hakim-hakim.
F. Karya-karyanya
yang lain adalah;
a) Al-Faraidh, merupakan risalah tentang hukum
kewarisan Islam,
b) Bayan Tajalli, yang berisi
penjelasan Abdurrauf tentang zikir yang utama dibaca ketika sakaratul maut,
c) Bayan al
Arkan, merupakan pedoman dalam melaksanakan ibadah, terutama shalat,
d) Risalah
Mukhtasarah fi Bayan al-Syaikh wa al-Murid. Ke dua karangan ini berisi
kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka. Terutama dalam metode zikir
tarekat Syatariyah,
e) Lubb al-Kashf wa al-Bayan li ma Yarahu al-Muntaqar bi
al-‘Aiyan, isinya menjelaskan tentang sakarat al maut. Kitab ini ditulis
Abdurrauf dalam bahasa Arab, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh
Katib Seri Raja. Ia menyatakan bahwa zikir yang paling utama pada saat sakarat
al maut adalah la ilaha illa Allah,
f) Sabil
al-Muhtadin. Buku ini menjadi pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara
umaat Islam di daerah kesultanan Banjar.
3. Syaikh Yusuf al Makasari dengan judul bukunya
Asrar al-Shalah dan Safinat al-Najah yang
juga menghukum orang yang menggunakan opium.
4. Al-Nawawi al-Bantani (1813-1897
M) mengarang buku dalam bidang fikih sekitar sepuluh buah; al-Tausiyah ibn
Qasim, Sulaim al-Munajat, Niihayah al-Zain, Mirqat al-Shu’ud al-Tashdiq, Suluk
al-Jadah, Al-‘Aqd al-Thamin, Fath al-Majid, Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq
al-Zaujain, Qutul Habib al-Gharib, Kasifat al-Shaja.
5.
Sayyid Usman, yang mengarang banyak buku, sebagian tulisannya juga untuk
menjawab persoalan konkret yang dihadapi umat Islam (Sunanto, 2005: 163).
Pada
hakikatnya dari uraian di atas, terlihat bahwa fikih Melayu telah berkembang, dimana
buku-buku tersebut dikarang untuk menjawab persoalan yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Tambahan lagi karangan ulama dahulu (buku-bukunya) tentu saja tidak
terbatas pada persoalan fikih.
G. Ijtihad
khas Melayu Nusantara
Ada
tiga cara bagaimana untuk mengetahui Islam di Indonesia. Pertama, pelbagai
metode pengambilan hukum, yakni bagaimana fatwa-dengan otoritasnya mencapai
suatu keputusan. Fatwa di sini maksudnya sebagai metode; metode merupakan
hal utama, karena melalui inilah
diketahui logika internal. Kedua, untuk mengetahui Islam dari doktrin-doktrin
tertulis. Fatwa memperlihatkan bagaimana problematisnya batas-batas antara
“Islam” dan “bukan Islam”. Jika individu (kepada Tuhan) merupakan teori, maka
secara praktik adalah masalah lain. Ketiga, representasi dalam Islam sangat
penting untuk mengetahui bagaimana orang memandang, mengenali, dan memahami
agama. Larangan terhadap patung dan pembuatan patung merupakan contoh pembuatan
representasi yang paling sensitif dari segi doktrin (M.B. Hooker, 2003: 77).
Dalam hal ini penulis hanya mengemukakan dua contoh ulama serta fatwa/kebijakan
yang diambil;
1. Al-Raniry
Tidak
ada informasi kapan Al-Raniry mengadakan perjalanan untuk pertama kalinya ke,
dan menetap di, wilayah Melayu. Tetapi ada kemungkinan, selama masa antara
selesainya dia menjalankan ibadah haji pada 1029/1621 dan 1047/1637, dia
tinggal selama beberapa tahun di kepulauan Nusantara, barangkali di Aceh atau
Pahang di jazirah Melayu atau kedua- duanya. Kenaikannya secara mendadak ke
jabatan Syaikh al Islam di Kesultanan Aceh pada 1047/1637 mengisyaratkan bahwa
dia dikenal sebelumnya di lingkungan elit politik Melayu, terutama dari
Kesultanan Pahang.
Setelah
mendapatkan pijakan kuat di istana Sultan Aceh, Al-Raniry mulai melancarkan
pembaharuan Islamnya di Aceh. Menurut pendapatnya, Islam di wilayah ini telah
dikacaukan kesalahpahaman atas doktrin sufi. Al-Raniry hidup selama tujuh tahun
di Aceh sebagai seorang alim, mufti dan penulis produktif, yang mencurahkan
banyak tenaga untuk menentang doktrin wujudiyah. Beliau mengeluarkan fatwa yang
keras, antara lain; perburuan terhadap orang- orang sesat; membunuh orang-orang
yang menolak melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktek-praktek sesat, dan
membakar hingga jadi abu seluruh buku mereka. Dia berhasil mempertahankan
kedudukannya di istana sampai 1054/1644. Al-Raniry meninggalkan pengaruh
penting di Nusantara ini, dengan karya-karyanya.
2. Abdurrauf Singkil (w.1690)
Al-Singkili
dikenal dengan julukan Syaikh Kuala lahir di Singkil diperkirakan sekitar tahun
1615-1693. Ayahnya seorang ulama yang memiliki dayah sendiri. Setelah
menamatkan sekolah di dayah ayahnya ia melanjutkan ke dayah tinggi di Barus
yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Selanjutnya belajar kepada Syeikh Syamsuddin
Al-Sumatrani diperkirakan dayahnya di wilayah Pase. Kemudian belajar di Timur
Tengah, meliputi; Dhuha (Doha), Qatar, Yaman, Jeddah dan akhirnya Mekah dan
Madinah, selama 19 tahun. Ada 19 orang guru yang ia belajar langsung dalam
bermacam disiplin ilmu. Selain itu juga mempunyai hubungan pribadi dengan ulama
lain yang merupakan teman diskusi dalam ilmu-ilmu tertentu.
Beberapa
guru yang disebutkan al-Sinkili adalah Abd Al-qadir Al-Mawrir (Qatar). Ibrahim
bin Abdullah bin Jaman Qhadi Ishaq ahli
hadis dan fikih (Yaman). Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Kurani (Amiruddin,
2004: 29), Syeikh Hayya al Sindi dan Shah Waliyullah tokoh pembaru terkemuka
dari anak benua India. Sehingga bias dilihat bahwa al-singkili mempunyai
jaringan keilmuwan yang luas baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga
menunjang pengembangan Islam dan gagasan-gagasan mereka sendiri (Azra, 2000:
33). Adapun mu- rid-murid Abdurrauf antara lain; Burhan al Din asal
Minangkabau, Abd al Muhyi asal Jawa Baratabd al Malik bin Abdullah dari
Trengganu.
Al-Singkili
meninggal dunia tahun 1693 dan dikuburkan di dekat kuala atau mulut sungai Aceh.
Tempat itu juga menjadi kuburan untuk isteri-isterinya. Dawud al jawi al Rumi,
dan murid-murid lainnya. Karena tempat ia dikuburkan itulah, maka Al-Singkili
di kemudian hari dikenal dengan Syeikh
di Kuala (Azra, 2004: 259).
Ada
fenomena menarik dalam silsilah para sultan Aceh setelah wafatnya Iskandar
Muda. Pada paruhan kedua abad ke 17 (1641-1699), berkuasa empat raja wanita di
Aceh, yaitu Taj al-Alam Safiyyat al-Din Syah (1675-1678), Nur al-Alam Naqiyyat
al-Din Syah (1675-1678), Inayat Syah Zakiyyat al-Din Syah (1678-1688), dan
Keumalat Syah (1688-1699). Lantaran masalah politis, yakni keuntungan yang
dituai para Uleebalang lewat peningkatan otoritas mereka di masa kekuasaan para
raja perempuan itu, pada 1699 Sayyid Ibrahim Habib mengupayakan suatu fatwa
dari Makkah yang menegaskan bahwa pemerintahan wanita tidak dibolehkan oleh
Islam. Ia memakzulkan Ratu Kamalat Syah dengan cara mengawini dan mengambil
alih kekuasaannya (Amiruddin, 2007: 11).
Semasa
berkuasa keempat sultanah Aceh tersebut, yang menjabat sebagai mufti dan qadli
malik al-adil adalah Syekh Abd al-Rauf Singkel (w.1690), salah satu ulama besar
Aceh yang berasal dari Singkel. Sekalipun terjadi perdebatan tentang kepemimpinan
politik wanita ketika itu, Singkel berhasil meredamnya. Ia, meski tidak secara
tertulis, tampaknya menjustifikasi kepemimpinan wanita. Lantaran kharisma serta
pengaruhnya yang luar biasa, tidak satupun kelompok oposan di Aceh yang mampu
menyingkirkan sultanah semasa hidupnya. Baru beberapa saat setelah meninggalnya
singkel (w.1690), upaya pendongkelan kepemimpinan wanita di Aceh berhasil
dilakukan (Amal dan Panggabean, 2004: 16).
Setelah
membaca dan memahami pertentangan ide dan kondisi politik Aceh ketika itu,
akhirnya Abdurrauf dapat mengendalikan dan merendam pergolakan yang terjadi
dengan jalan mengkompromikan kedua belah pihak. Syeikh Abdurrauf tetap
berpendapat bahwa Tajul Alam Safiyatuddin dapat diangkat menjadi Sultanah,
sebagai ganti suaminya Iskandar Tsani, namun pengangkatan tersebut harus
dibatasi dengan syarat: urusan nikah, fasakh dan hal-hal yang berhubungan
dengan hukum agama tetap dipegang oleh ulama yang bergelar Qadi Malik al ‘Adil
(Syahrizal,: 40).
Setidaknya
ada dua kasus internal dalam kerajaan Aceh. Pertama, mengenai konflik aliran
agama di mana Nuruddin Ar-raniry memberikan fatwa sesat terhadap ajaran
wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumtrani. Karena itu ajaran ini
dilarang dan pengikutnya yang tidak mau taubat dibunuh, kitab-kitab karangan
Hamzah Fansuri di bakar di depan mesjid Baiturrahman. Konflik ini termasuk
berat karena tidak hanya pada tingkat saling curiga dan saling benci tetapi
juga sampai pada tingkat pembunuhan. Al-Singkili menjawab atas pertanyaan sultanah
dengan sangat bijaksana bahwa dia sebenarnya tidak banyak tahu dengan ilmu
tersebut, tetapi dia dapat bertanya kepada gurunya yang lebih ahli yaitu Syeikh
Ibrahim al Qurani. Setelah mendapat balasan Al-Singkili menjawab bahwa umat
Islam dilarang mengkafirkan orang lain karena akibatnya bila orang lain tidak
kafir maka orang tersebut sendiri akan menjadi kafir. Kedua, kebolehan wanita
sebagai pemimpin menurut hukum Islam, pendapatnya ini dilihat dari kitabnya
Mir’ah Thulab, ketika membahas syarat-syarat untuk menjadi hakim (yang di
dalamnya ada pengertian penguasa) dengan mencantumkan syarat laki-laki.
Azyumardi Azra (dalam Amiruddin, 2007) menafsirkannya sebagai indikasi lebih
jauh dari toleransi pribadi al-Singkili.
Abdurrauf
sama sekali tidak melihat keganjilan wanita menjadi sultan, dan menempatkan-
nya sebagai “ulil amri” yang harus dipatuhi perintahnya. Untuk jelasnya dikuti
kalimatnya, “Setelah lebih dulu menyusun panjang puji-pujiian kepada Allah SWT,
Nabi Besar Muhammad SAW, dan segala sahabat beliau, demikian juga para amirul
mukminin yang merampungkan tugasnya sebagai khalifah sesuai dengan hukum-hukum”
(Said, 1981: 416).
Al-Singkili
adalah seorang evolusioner, bukan radikal. Lebih suka mendamaikan
pandangan-pandangan yang saling bertentangan dari pada menolak salah satu dari
padanya. mengingat kelembutan sikap dan tolerasinya Johns dengan tempat
menyimpulkan dia merupakan cerminan citra gurunya Ibrahim al Kurani (Azra,
2004: 225).
H. Melayu
Lingga Raja Ali Haji
Lembaga
peradilan telah dikenal semenjak zaman purba, jauh sebelum bangsa Yunani
membuat sistem peradilan yang banyak dirujuk hingga masa kini. Bentuk lembaga
peradilan berbeda pula ragam dan aturannya. Di berbagai zaman dan peradaban
bangsa, lembaga peradilan bersulih rupa seiring masa.
Di
alam Melayu, misalnya, semenjak berdirinya Kerajaan Johor-Riau-Lingga telah
berdiri pula suatu lembaga peradilan yang menggunakan pandangan sistem hukum
syarak (syariah) yang tetap menunjung hukum adat lokal. Tujuan peradilan ¡tu
ialah menerapkan hukumjlnayah (pidana Islam) agartercipta keadilan di Kerajaan
Johor-Riau-Lingga kala ¡tu.
Tsamarat
Al Muhimmah, merupakan sebuah kitab buah tangan Raja Ali Haji, sarjana era
l800an, tentang lembaga peradilan dan sistem kenegaraan. Adalah Drs Mahdini.MA,
sarjana era masa kini yang menulis ulang dan mengkaji pemikiran Raja Ali Haji
khusus masalah sistem peradilan. Tsamarat AI Muhlmmah dikaji mendalam oleh
Mahdini, kemudian hasil karya tersebut dipublikasikan pada tahun 1999 oleh Yayasan
Pusaka Riau dengan judul Tsamarat AI Muhimmah, Pemikiran Raja All Haji Tentang
Peradilan. Buku tersebut berisi dua bagian utama, satu bagian penutup dan dua
bagian tentang bagaimana latar belakang teks ash Tsamarat Al Muhimmah karya
Raja Ah Haji. Tata cara pemakzulan dan pemberhentian raja serta pejabat
kerajaan diterangkan pada bagian pertama buku karya Mahdini. Semua mekanisme
administratif dan legal kerajaan itu dilandaskan pada prinsip-prinsip hukum
syarak dan hukum adat. Dalam hal pengangkatan raja dilakukan melalui tiga cara.
Pertama, melalui pemilihan oleh badan Ahlul Hal!i wa! Aqd!, kedua melalui
penunjukkan oleh pendahulunya, disebut istikh!af. Ketiga melalui pengambilan
atau perebutan kekuasaan (hal 3). Bab kedua, membahas Tertib Kerajaan dan
Aturan Mahkamah atau struktur lembaga negara dan badan peradilan. Lembaga
peradilan diletakkan sebagai syarat utama sebuah negara. Karena peran lembaga
ini strategis, maka harus ada pengaturan dan aturan tentang cara beroperasinya
lembaga ini. Maka persoalan kode etik para qadli peradilan dan segala macam
syarat-aturan yang diterapkan dalarn sebuah lembaga peradilan dijelaskan secara
khusus dan terperinci. Raja Ahi Haji melalui Tsamarat Al Muhimmah menyajikan
persoalan-persoalan aturan peradilan secara terperinci yang mehiputi: makna peradilan,
syarat menjadi qadil, dan tata cara melangsungkan perkara di peradilan. Mahdini
tidak ketinggalan membahas wewenang dan struktur peradilan yang ideal menurut
pandangan Raja Ahi Haji. Struktur yang ideal terdiri dan dua lapis yakni
mahkamah kecil yang berada di tingkat daerah dipimpin oheh Qadli dan mahkamah
peradihan yang berada di ibukota negara dipimpin oheh Qadli al Qudlah (hal
136). Meski vital, peranan hembaga peradilan tidak lepas dan institusi agama.
Para uhama dihetakkan untuk membantu kehancaran kerja para qadli. Sedangkan
Syekh a! Islam atau pimpinan negara bertanggungjawab pada kehangsungan proses
peradihan yang adil. Selain mengehuarkan fatwa-fatwa, Syekh a! Islam juga
mehakukan amanat pengawasan hembaga kehakiman (hal 135).
Sedangkan
pelaksanaan tugas kenegaraan diemban oleh Wazir al adhim, pernbantu utama Syekh
al Islam. Wazir ini lah yang bertanggungjawab penuh pada pelaksanaan roda
pemerintahan. Peradilan berada di bawah pengawasan Syekh Al Islam disebabkan
fungsi peradilan (mahkamah) sebagai “tempat mendirikan hukum atas segala hamba
Allah Ta’ala’(hal 118).
Menurut
tafsiran Mahdini, mahkamah peradilan versi Tsamarat diselenggarakan berdasarkan
pembidangan hukum yang lazim dipakai dalam yuridiksi peradilan Islam, yaltu
bidang Jinayah, Mu’amalah dan Munakahat. Para qadli yang diangkat mencerminkan
pada penguasaan masing-masing bidang hukum tersebut, karena ¡tu terdapat qadli
khusus yang menangani munakahat, jinayah dan mu’amalah. Para qadli diangkat
dalam jabatannya sebagai qadli al qudah (menteri kehakiman). Para qadli
bertanggungjawab dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang diajukan
kepadanya. Jadi bukan hakim yang memutuskan perkara.
Cara
kerja lembaga peradilan dan sistem kenegaraan yang disampaikan Raja All Haji
dalam Tsamarat Al Muhimmah dipengaruhi oleh karya-karya Islam klasik seperti
Ihya u!umuddin (karya al Ghazali) dan Al Ahkam al Sulthaniyah (karya Al
Mawardi) dan beberapa hipogram lain.
Memang,
teks Tsamarat Al Muhimmah memfokuskan din tentang kenegaraan dan kerangka dasar
lembaga-lembaga negara di bawah raja. Lantaran fungsi dan kedudukan Raja All
Haji sebagai ulama dan penasehat keagamaan Kerajaan Riau Lingga, maka Raja Ali
Haji berkepentingan untuk menelurkan aturan-aturan kenegaraan yang beilandaskan
hukum Islam.
Karya
Tsamarat ¡tu ditujukan pada raja, para pem besar kerajaan dan pegawai pelaksana
hukum (qadli) secara umum. Untuk menegakkan keadilan, Tsamarat, menurut Mahdini
membedakan istilah “hakim” dan “qadli”. Qadli dipergunakan untuk menyatakan
kewenangan orang yang memutuskan suatu perkara berlandaskan hukum Allah.
Istilah “hakim” dipergunakan untuk menyatakan orang yang bertugas membantu
wazir (menteri urusan dunia) menjalankan pemerintahan dan tidak menangani
masalah hukum.[1]
I. Babul
Al-Qawaid Kitab Hukum Peradilan Kerajaan Siak
Babul
Qawa’id merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri Indrapura yang
ditulis oleh Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif
Hasirn Abdul Jalil Syarifuddin. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan
tentang hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang
berhubungan dengan orang Melayu. Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005)
dijelaskan bahwa bagian pertama Babu! Qawa’id merupakan bagian pembukaan yang
terdiri dan dua pasal dan menjelaskan tentang motivasi, atar belakang, nama dan
naskah ini, dan menyebutkan bahwa isinya tidak beriaku sebagai hokum bagi
penduduk bukan Melayu atau Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia
Belanda, kecuali yang terhibat perkara dengan orang Melayu. Pengadilan untuk
kasus ini akan mehibatkan pejabat Kesultanan Siak Sri Indrapura dan pejabat
Pemerintah Hindia Belanda.[2]
Pengadilan Tinggi berada di ibukota
Kerajaan yang disebut Kerapatan Qodhi yang diketuai oleh Sultan, sedangkan
hakim Anggota adalah datuk-datuk dari setiap suku, Qodhi dan Controleur
yaitu :
1. Datuk Sri Pekermaja (Kepala Suku Tanah Datar)
2. Datuk Sri Bijuangsa (Kepala Suku Lima Puluh)
3. Datuk Sri Dewaraja (Kepala Suku Pesisir)
4. Datuk Amir Pahlawan (Kepala Suku Kampar)
5. Qodhi
6. Controleur
Balai Kerapatan Qodhi diberi nama
Balairung, yakni tempat diselenggarakannya aktifitas peradilan, yang berkenaan
dengan soal agama seperti Muamalat (perdata) maupun Jinayat (pidana) berupa
Jarimah seperti Hudud, Qisas Diat dan Ta’zir .[3]
Pada bagian utama Babul Qawa’id terdiri dan 22
bab yang mencakup 154 pasal. Bab pertama merinci pembagian negeri ke dalam 10
provinsi dan batas-batasnya. Selanjutnya tertulis pula bab-bab yang mengatur,
antara lain:
1. Gelar
yang Berkuasa di Kerapatan Tínggi,
2. Besaran
Hukuman yang Akan Disidang di Kerapatan Tinggi,
3. Perkara
yang Akan Disidang di Hadapan Hakim Polisi,
4. Tugas
Hakim Polisi Kesultanan dan Provinsi Jajahan,
Selain Babul Qawa’id, perubahan sistem
pemeritahan juga terlihat pada lembaga pemerintahan di
Kesultanan
Siak Sri Indrapura. Di dalam buku Sefintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura
dan Peninggalannya (1999/2000), disebutkan bahwa di dalam menjalankan
pemerintahan, sultan dibantu oleh para pejabat kesultanan yang memimpin
lembaga, baik di pusat maupun di daerah yang terdiri dari:
1. Sultan
merupakan kepala pemerintahan, pemegang kedaulatan dan administratur tertinggi.
2. Dewan
Menteri (Dewan Kesultanan) yang bertugas memilih dan mengangkat sultan. Dewan
ini bersama dengan sultan membuat undang-undang dan peraturan.
3. Hakirn
Kerapatan Tingqi yang bertugas dalam pelaksanaan pengadilan umum.
a. Sedang
Balai Kerapatan Tinggi adalah tempat untuk menyelesaikan kasus-kasus yang
terjadi pada rakyat Siak. Kepala dan
b. Kerapatan
Tinggi adalah sultan dan didampingi oleh para Datuk. Kadi negeri Siak dan
Controleur Siak berfungsi sebagai anggota.
4. Hakirn Polisi merupakan kepala pemerintahan di
tingkat provinsi sebagai wakil sultan. Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura
terdiri dan 10 provinsi. Yakni:
a. Propinsi
Siak bergelar Tengku Besar
b. Propinsi
Tebing Tinggi bergelar Tengku Temenggung Muda
c. Propinsi
Merbau Bergelar Orang Kaya Setia Indera
d. Propinsi
Bukit Batu Bergelar datuk Laksamana Setia Diraja
e. Propinsi
Bangko bergelar Datuk Dewa Pahlawan
f. Propinsi
Kubu bergelar Datuk Jaya Perkasa
g. Propinsi
Pekanbaru bergelar datuk Syahbandar
h. Propinsi
Tapung Kiri bergelar Syarif Bendahara
i.
Propinsi Tapung Kanan bergelar Datuk Bendahara
j.
2 Komisaris Negara Pangeran wira Negara dan
Pangeran Wira Kesuma
5. Hakim syariah yang terbagi menjadi dua,
pertama berkedudukan di Negeri Siak Sri Indrapura bergelar Kadi Siak. Tugas dan
Kadi Siak menangani pengadilan tentang harta pusaka atau warisan dan masalah
hukum adat. Kedua berkedudukan di daerah provinsi yang bergelar Imam Jajahan.
Tugas Imam jajahan adalah membantu Kadi Siak.
6. Hakirn
Kepala Suku/Hinduk merupakan pemerintahan yang terendah menurut hierarki
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Hakim Kepala Suku/Hinduk bertu gas melaksanakan
pemerintahan dan men gatur kehidu pan bermasyarakat, beragama, dan
berkesultanan pada sukunya masing-masing. Hakim Kepala Suku/Hinduk tunduk pada
Hakim Polis. Provins.i [5]
I.
Kelembagaan Peradilan Ketika Islam Masuk ke Nusantara.
Dengan
masuknya agama Islam di Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami
perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan
hukum Hindu yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga memasukkan
pengaruhnya ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun
hukum asli masih menunjukkan keberadaannya, tetapi hukum Islam telah merembes
di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal itu mempengaruhi
terhadap proses pembentukan dan pengembangan peradilan agama di Indonesia.[6]
Dalam Islam sendiri adanya istilah ahkamul kahmsah yang mengatur semua tingkah
laku manusia muslim dalam berbagai masyarakat. Kaidah-kaidah Haram (larangan),
Fard (kewajiban), Makruh (celaan) dan Sunat (anjuran) jauh lebih sempit ruang
lingkupnya kalau dibandingkan dengan kaidah jaiz dan mubah. Kedalam katagori kedua
terakhir inilah adat dan bagian-bagian hukum adat dapat dimasukkan baik adat
yang telah ada sebelum Islam itu atau sesudah Islam itu sampai ke Nusantara
selama adat tersebut tidak berlawanan dengan keyakinan masyarakat muslim itu
sendiri.[7]
Disebutkan
juga bahwa hukum Islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam
sejarah hukum Islam di Indonesia. Karena dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam
di Indonesia yang menggantikan kerajaan Hindu/Budha berarti untuk pertama
kalinya hukum Islam berada di Indonesia sebagai hukum positif. Dan para
penguasa pada masa itu menjadikan hukum Islam menjadi hukum Negara.
Pertumbuhan
dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan Islam bercorak majemuk.
Kemajemukan itu amat bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh
pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi
antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumya.
Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang
berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing. Selain itu, terlihat dalam
susunan pengadilan dan hierarkinya, kekuasaan pengadilan dalam kaitannya dengan
kekuasaan pemerintahan secara umum, dan sumber pengambilan hukum dalam
penerimaan dan penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya.[8]
Keadaan
ini mulai berjalan semenjak Islam ditetapkan sebagai agama resmi pada
kerajaan-kerajan Islam yang muncul di beberapa belahan daerah Nusantara seperti
kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara sekitar tahun 1345 Hijriyah. Ibnu Batutah
pelancong muslim dari Maroko mempunyai catatan unik kaitannya dengan
pemberlakuan hukum Islam dalam pemerintahan Malik al-Zahir di Samudera Pasai.
Beliau mengagumi kemampuan sang Sultan dalam berdiskusi tentang berbagai
masalah Islam dan ilmu hukum Islam. Hukum yang digunakan sebagai rujukan dalam
menentukan ketetapan hukum pun masih terbatas pada hukum fiqih yang
dikodifikasikan oleh ulama-ulama Timur Tengah karya ulama-ulama Mazhab. Menurut
sejarah, dari Pasailah hukum Islam Mazhab fiqih Syafi’i diperkenalkan dan
disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di tanah air.[9]
Hukum
islam nusantara sangat tergantung kepada mazhab yang dipegang oleh para sultan
itu sendiri, hal ini tentulah untuk menjalankan hukum Islam itu secara serasi
tanpa adanya perbedaan antara keduanya. Misalnya dapat dicontohkan, mazhab
Syiah pernah menjadi mazhab resmi kerajaan pereulak yang didirikan pada 1
muharam 225 H/ 806 M, dengan rajanya ketika itu Sayyid Abd Aziz Syah. Tetapi
mazhab tersebut tidak bertahan lama di
Aceh ketika runtuhnya kerajaan perlak. Dan setelah itu mazhab syafi’i berkembang
pada masa kerajaan Pasai.[10]
Batasan
wewenang pengadilan agama pada masa itu meliputi bidang hukum keluarga, yaitu
perkawinan dan kewarisan. Dengan wewenang demikian, proses pertumbuhan dan
perkembangan pengadilan pada berbagai kesultan-an memiliki keunikan
masing-masing. Pengintegrasian, atau hidup berdampingan antara adat dan syara’,
merupakan penyelesaian konflik yang terjadi secara laten bahkan manifest,
sebagaimana terjadi di Aceh, Minangkabau, dan di beberapa tempat di Sulawesi
Selatan. Kedudukan sultan sebagai penguasa tertinggi, dalam berbagai hal,
berfungsi sebagai pendamai apabila terjadi perselisihan hukum.[11]
Dalam
hubungan ini perlu dicatat bahwa pada masa-masa awal Peradilan Islam itu,
wewenangnya sangat luas dan tidak terbatas hanya pada urusan ahwal
al-syakhsiyah saja, seperti nikah, talak rujuk, waris, hadanah, tetapi juga
mencakup hukum pidana (jinayah), sehingga Peradilan Islam ketika itu
betul-betul merupakan peradilan umum bagi umat Islam.[12]
Hukum Islam pada saat itu masih tidak tertulis seperti halnya hukum adat.
Artinya, tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan. Hukum Islam yang
berlaku pada saat itu adalah hukum fiqih hasil ijtihad para ulama yang
dilakukan secara patuh oleh masyarakat Islam karena kesadaran dan keyakinan
mereka bahwa hukum Islam adalah hukum yang benar.[13]
Pola
Tahkim kemudian berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Muslim.
Ketika kerajaan-kerajaan Islam telah terbentuk, maka pola ini berkembang
menjadi pelimpahan wewenang oleh ahlul halli wa al-aqdi. Selanjutnya berkembang
menjadi tauliyah dari Imam atau delegation of authority. Pada era ini, hakim
sudah diangkat oleh sultan atau raja.[14]
ahlil halli wa al-qadi yakni kelompok-kelompok yang terkemuka dalam masyarakat
yang sekaligus merupakan sesepuh adat.
B. Jenis dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
di Masjid
Dalam
perkembangan berikutnya Peradilan Pradata diubah menjadi Pengadilan Surambi
yang tidak lagi dipimpin oleh raja, tetapi dipimpin oleh penghulu yang
didampingi oleh alim ulama sebagai anggota majelis. Walaupun telah terjadi
perubahan nama, namun tugas dan wewenang kekuasaanya tetap tidak berbeda dengan
Pengadilan Pradata.[15]
Penghulu, sebagai kepala kemasjidan juga menjadi ketua pengadilan agama yang
diangkat oleh seorang raja dan priyayi setempat.[16]
Perubahan
itu terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram
(1613-1645 M), pengadilan pradata menjadi pengadilan serambi, yang dilaksanan
di serambi mesjid. Pemimpin pengadilan, meskipun prinsipnya masih tetap di
tangan Sultan, telah beralih ke tangan penghulu yang didampingi bebarapa orang
ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majlis. Keputusan pengadilan
serambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam mengambil keputusan yang
bertentangan dengan nasihat pengadilan serambi.
di
kerajaan mataram, pelaksanaan hukum islam di bawah sultan agung dibagi menjadi
peradilan serambi yang menangani perkara-perkara kejahatan pidana (qishahs).
Pimpinan peradilan ini secacara de jure berada di tangan Sultan dan secara de
facto berada di tangan penghulu dengan dibantu oleh beberapa ulama sebagai
anggota. Sementara di minangkabau, perkara agama diadili pada rapat nagari dan
kepala-kepala nagari, pegawai-pegawai mesjid dan ulama-ulama dan dilakukan pada
hari jumat, sehingga rapat tersebut dinamakan sidang jumat.[17]
Ketika
Islam semakin Kuat dibuktikan dengan adanya kerajaan atau kesultanan Islam.
Maka kebijakan dari Sultan dalam
implementasi hukum dilimpahkan kepada pembantu urusan agama, seperti para hakim
atau ulama yang telah diangkat. Pada tingkat
desa jabatan agama disebut Kaum, Kayim, Modin dan Amil. Di tingkat
kecamatan disebut Penghulu Seda dan tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung
yang berfungsi sebagai hakim atau qadhi yang dibantu beberapa penasihat yang
kemudian disebut pengadilan serambi.[18]
Dalam
menangani dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan
serambi, Sultan Agung memisahkan antara perkara-perkara yang akan diselesaikan
menurut hukum Islam semata dan yang akan diselesaikan menurut hukum adat dan
tradisi Jawa. Terhadap perkara-perkara, seperti perkawinan, perceraian,
warisan, dan lain sebagainya tidak diajukan dan diselesaikan dalam majelis
pengadilan serambi, tetapi cukup diajukan kepada penghulu yang memriksa dan memutuskan perkara itu di
tempat pengadilan. Dalam pemutusan perkara tersebut penghulu dibantu oleh tiga
majlis serambi seagai penasihat. Karena persamaan tempat dan personalia dalam
memutuskan perkara tersebut diadili oleh majelis.[19]
Pengadilan
Surambi yang diciptakan oleh Sultan Agung ini berbanding terbalik dengan
pimpinan sebelumnya yang pernah ada, bahwasannya Pengadilan Surambi ini adalah
suatu Pengadilan yang dalam menyelesaikan perkara-perkaranya itu mengambil
keputusan dari hasil musyawarah.
Ketika
Amangkurat I tidak menjadikan Pengadilan Surambi tersingkir, dalam perkembangan
berikutnya Pengadilan Surambi masih menunjukan keberadaannya sampai masa
penjajahan Belanda, meskipun dengan kewenangan yang terbatas. Menurut Snouck
Hurgronje (1973: 21), sebagaimana dikutip Cik Hasan Bisri, pengadilan tersebut
berwenang menyelesaiakn perselisihan dan persengketaan yang berhubungan dengan
hukum kekeluargaan, yaitu perkawinan dan kewarisan.[20]
Yang
dimana Pengadilan Surambi mempunyai wewenang untuk:
a. Melaksanakan tugas sebagai sebuah
lembaga pengadilan untuk memriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan
masalah perkawinan, perceraian dan segala akibat serta masalah kewariasn.
b. Pengadilan surambi difungsikan
sebagai lembaga pemberi nasehat atau sebuah majelis pertimbangan kepada sultan
menurut Hukum Islam. Jika sesuatu keputusan sultan yang belum mendapat
pertimbangan dari Pengadilan Surambi, maka keputusan belum dapat dilaksanakan.[21]
J.
Hukum materil dan hukum formil
Setelah
agama Islam berakar dalam masyarakat, peran saudagar dalam menyebarkan agama
islam digantikan oleh para guru, khatib dan pengawal hukum Islam. Perkembangan
agama Islam di Nusantara berjalan dalam dinamika yang cukup pesat. Terkait
dengan perkembangan tersebut, sejumlah kitab fikih (hukum Islam) berbahasa
Melayu mulai ditulis oleh para ulama-ulama di Nusantara. Seorang Ulama yaitu
Syekh Nuruddin Ar-Raniry menghasilkan Karyanya yang membahas tentang hukum
Islam adalah kitab hukum Islam pertama yang disebarkan keseluruh Nusantara.
Kitab tersebut berjudul Shirathal Mustaqiim (1628 M) dan syarahnya adalah Kitab
Sabilul Muhtadiin karya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang menjadi rujukan
hukum di daerah Banjar dan daerah lainnya. Sedangkan di daerah Banten dan
Palembang juga merujuk kepada kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh
Abdussamad.[22]selain
itu, karya para pujangga yang ada pada waktu itu, antara lain adalah Sajinatul
Hukum.[23] Dan
menjadi hukum materiil dalam menyelesaikan perkara di antara orang Islam di
Kesultanan Banjar, akan tetapi karya-karya hukum Islam tersebut masih ditulis
dengan mengikuti sistematika fiqh klasik.
Selain
dari kitab tersebut ada juga berbagai kitab yang menjadi rujukan dalam
kesultanan islam seperti kitab Miratul thulab fi tasyi al-ma’rifah al-ahkam al-syar’iyyah li
al-malik al-wahab karya Syekh Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105) atas permintaan
Sayyidat al-din.[24]
Menarik
untuk dicermati, bahwa pada masa-masa menjelang abad XVII, XVIII, XIX, hukum
Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan
sempurna, mencakup masalah Mu’amalah, al-Ahwal al-Syakhsiyah (Perkawinan,
Perceraian, dan Warisan), Peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Tidak
itu saja, hukum Islam juga menjadi system hukum mandiri yang digunakan di
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara.
Produk
pemikiran fuqaha yang bersifat normatif tersebut disebarluaskan melalui kitab
fikih dan disosialisasikan ke dalam bentuk pengajaran dan ditranformasikan ke dalam peraturan perundang undangan (takhrij
al-ahkam fi al-nash al-qanun). Sosialisasi dalam bentuk pengajaran dilakukan
melalui pesantren dan perguruan tinggi agama islam, sedangkan tranformasi hukum
dilakukan melalui produk kekuasaan negara, terutama untuk memnuhi kebutuhan
hukum materil dalam bidang perkawinan , kewarisan, perwakafan, dan hukum formal
(acara).[25]
Para
hakim di peradilan agama pada umumnya sudah menjadikan kitab-kitab fiqih
sebagai landasan hukum. kitab-kitab fiqih sudah berubah fungsinya , kalau
semula merupakan literatur pengkajian ilmu hukum Islam, tetapi para hakim
peradilan agama telah menjadikan nya kitab hukum.
Hukum
Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan
sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.[26]
K. Hakim
dan Otoritasnya
Peradilan
atau qadha merupakan fardhu kifayah dan dapat dilakukan dalam keadaan apapun
juga. Dalam keadaan tidak ada qadhi atau penguasa dapat dilakukan secara tahkim
kepada seorang muhakkam, yakni penyerahan hukum , seperti tahkim seorang wanita
kepada seseorang untuk bertindak wali, ataupun penyerahan dua belah pihak yang
berselisih kepada pihak ketiga untuk memutus perkara. Dalam suatu kelompok
masyarakat yang sudah diatur, jabatan hakim dan qadhi dapat dilakukan secara
pemilihan dan baiat oleh ahlul hilli walaqdi yang pengangkatan atas seseorang
yang dipercaya oleh majlis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam
masyarakat.[27]
Pada masa itu, kalangan santri atau pesantren menjadi sangat penting bagi
masyarakat Islam. Karena para santri mempelajari berbagai kitab-kitab karang
fuqaha yang ketika itu menjadi pedoman bagi peradilan masyarakat Islam
Nusantara. Meraka memiliki berbagai jabatan dalam pemerintahan seperti,
penghulu yang merupakan cikal bakal dalam pengembangan tradisi peradilan Islam
di Nusantara.[28]
Pejabat
agama diangkat oleh pemegang kekuasaan negara atau kekuasaan tradisional untuk
jangka waktu tertentu, ruang lingkup kekuasaannya dibatasi oleh teritorial
tertentu. Pada masa kesultanan Islam dan penjajahan, pejabat agama adalah
penghulu, yang merupakan cikal bakal hakim (qadhi) dalam lingkungan peradilan
agama. Pengangkatan seorang hakim dalam daerah tertentu dipilih oleh penguasa,
hal tersebut terjadi di seperti di Aceh, Jambi, Kalimantan Selatan dan Timur
serta sulaweasi. Sementara di daerah-daerah seperti Sulaweasi Utara ,Gayo,
Alas, Tapanuli di Sumatara bagian utara dan Sumatara Selatan tidak ada bentuk
pengadilan agama secara khusus. Meskipun di daerah-daerah tersebut pemimpin agama meyelesaikan
masalah-masalah agama dan tugas-tugas peradilan.[29]
Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan
pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang. Tingkat pertama dilaksanakan
oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu
hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama
dapat mengajukan banding kepada ulee balang (pengadilan tingkat kedua).
Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas Malikul Adil,
Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih (ulama)[30]
Di
beberapa tempat, menurut Lev (1972:10), seperti di Kalimantan Selatan dan
Timur, Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lain, para hakim agama biasanya
diangkat oleh penguasa setempat. Di daerah-daerah lain. Seperti di Sulawesi
Utara, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan tidak ada kedudukan tersendiri bagi
pengadilan agama. Tetapi para pejabat agama langsung melaksanakan tugas-tugas
peradilan. Pengintegrasian, atau hidup berdampingan antara adat dan syara,’
merupakan penyelesaian konflik yang terjadi secara laten bahkan manifest,
sebagaimana terjadi di Aceh, Minangkabau dan di beberapa tempat di Sulawesi
Selatan. Kedudukan Sultan sebagai penguasa tertinggi, dalam berbagai hal, berfungsi
sebagai pendamai apabila terjadi persilisihan hukum.[31]
Pada
masa Sultan Hasanudin hanya ada satu Pengadilan yang dipimpin oleh Kadhi
sebagai Hakim tunggal. Sedangkan di Aceh, Hakim terdiri dari Malikul Adil,
Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Fakih (ulama).[32]
KESIMPULAM
Pada
pemaparan makalah diatas, dapat kita lihat bahwa hukum Islam sangat mewarnai
sistim peradilan dalam dunia Melayu. Ada cukup banyak kitab-kitab hukum melayu
yang ditulis dan menjadi panduan hukum pada masyarakat Melayu Nusantara.
Diantara
kitab-kitab tersebut adalah;
1.
Qanun
al-Ashyi (adat meukuta alam) yang ditulis dalam huruf Arab Melayu. Qanun ini
ditetapkan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh.
2.
Tsamarat
Al Muhimmah, merupakan sebuah kitab buah tangan Raja Ali Haji, sarjana era
l800an, tentang lembaga peradilan dan sistem kenegaraan di kerajaan Melayu
Lingga.
3.
Babul
Qawa’id merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri Indrapura yang
ditulis oleh Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif
Hasirn Abdul Jalil Syarifuddin. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan
tentang hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang
berhubungan dengan orang Melayu.
4.
Al-SHirath
al-Mustaqim, Jawahir al-‘Ulum fi Kashf al Ma’lum berisi perpaduan antara fikih
dan tasauf, Kaifiyah al-Salah dan Tanbih al-Sunnah yang ditulis oleh Nuruddin
Al-Raniry .
5.
Mir’at
Tulab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Shari’at li al-Malik al-Wahhab Karya Syekh
Abdurrauf berjumlah dua puluh satu buah. Ada yang mengatakan 23 kitab (menurut
Wan Mohd Saghir Abdullah).
Demikian
diantara kitab-kitab hukum peradilan pada masyarakat Melayu. Dengan
keterbatasan ini semoga informasi yang tertuang dalam makalah ini dapat
menambah khazanah keilmuan kita.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Abdul halim,
Politik Hukum Islam Di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005).
2.
Andaya, L.Y.,
Raja Kechil and the Minangkabau conquest of Johor in 1718, JMBRAS 1972.
3.
Barnard, T.P.,
Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity
in theEighteenth Century, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No.
3 2001.
4.
Basiq Jalil,
Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006)
5.
Cik Hasan
Bisri, Peradilan Agama di Indonesia; (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2003).
6.
Cik Hasan
Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000).
7.
Collins, James
T. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV bekerja sama
dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia.2005.
8.
Imam Syaukani,
Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada: 2006),
9.
Lutfi,
Amir, Unsur Islam Dalam Sistem Peradilan
Kesultanan Siak Sri Inderapura 1915-1945, Pekanbaru, IAIN Susqa Press.
10. Luthfi, A., , Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan
hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press, 1991.
11. M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di
Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
12. Mahdini, Tsarnarat Al Muhimrnah, Pernikiran Raja Ai Haji Tentang
Peradilan, Penerbit Yayasan Pusaka Ria Cetakan dakan pertarna, Desember 1990.
13. Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo, 1996).
14. Norm a Dewi et .al.. Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura
dan Peninggalannya. Bapeda Riau 2000.
15. Samin, S. M., Sultan Syarif Kasim II: pahlawan nasional dari Riau,
Yayasan Pusaka Riau 2002.
16. Sulaikin Lubis, Wismar ’Ain Marjuki, Gemala Dewi, “Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama di Indonesia”. (Jakarta: Kencana, 2006).
17. Suwarno, Swardila, et.al.. Siak Sri Indrapura. Jakarta:
Amanah-Lontar, 2005.
18. The Edinburgh Gazetteer, Or Geographical Dictionary, A. Constable
and Company, 1822.
19. Yuli S. Setyowati (ed.).. Sejarah Riau. Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa, 2004.
20. Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan. Sejarah Singkat Pengadilan
Agama Islam Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983).
[1]
Mahdini, Tsarnarat Al Muhimrnah, Pernikiran Raja Ai Haji Tentang Peradilan,
Penerbit Yayasan Pusaka Ria Cetakan dakan pertarna, Desember 1990. 163 hal
[2]
Suwarno, Adila, Op., Cit., p 88
[3]
Ibid
[4]
Ibid
[5]
Dewi, Norma, Op., Cit., p. 7-8
[6] Cik
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia; (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2003), hal. 113.
[7] Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam.., hal. 207
[8] Cik
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2003), hal. 113.
[9] Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam,Peradilan Agama dan Masalahnya, Dalam Tjun
[10] Imam
Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada: 2006), hal. 68.
[11] Cik
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia..., hal. 116
[12] M.
Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta:
Bulan Bintang, 1983), hal. 9.
[13] Daud
Ali,Hukum Islam.., hal. 211.
[14] Daniel
S. Lev,Peradilan Agama Islam di Nusantara..., hal. 1-3.
[15] Basiq
Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 35.
[16] Daniel
S. Lev,Peradilan Agama Islam di Nusantara..., hal. 27.
[17] Muhammad
Iqal. Hukum Islam Indonesia Modern, (tanggerang: 2009, Gaya media pratama),
hal. 39.
[18] Abdul
halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hal.
48.
[19] Basiq,
Peradilan Agama di Indonesia..., hal. 35-36.
[20] Cik
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 114.
[21] Sulaikin
Lubis, Wismar ’Ain Marjuki, Gemala Dewi, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
di Indonesia”. (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 23-24.
[22] Daud
Ali, Hukum Islam..., hal. 191.
[23] Abdul
halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hal.
47.
[24] Imam
Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia..., hal. 72.
[25] Cik
Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 101-102.
[26] Basiq
Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 147.
[27] Zaini
Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam
Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hal. 29.
[28] Cik
Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000), hal 106
[29] Cik
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), hal. 109.
[30]Muhammad
Iqal. Hukum Islam Indonesia Modern .
[31] Ibid...,
hal. 115-116.
[32] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar