OLEH MASRIZAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
melihat penetapan hukum islam pada hakikatnya ada pada Tuhan. Karena dia adalah
pencipta umat manusia serta berikut produk-produk hukum yang dihasilkan yang
mengatur kehidupan ini. Juga kita mngetahui bahwa rasulullah saw adalah orang
yang diutus untuk menerangkan norma-norma hukum tersebut terhadap umat manusia.
Sedangkan dilihat dari segi historis perjalan Islam dalam
menetapkan hukum mengacu pada nash. Namun sebagai mana yang kita ketahui bahwa
dalam perjalanan sejarah tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam aliran
pemikiran islam dengan masalah hukum yang menyebabkan perbedaan pandangan
dimasyarakat dan sikap tertutup dari masyarakat untuk menggali hukum. Disinilah
pentingnya filsafat.
Ketika
filsafat dijadikan sebagai alat untuk mendukung jalannya ijtihad,sebagaimana
yang dilakukan Umar bin Khatab terhadap
pelaku pencuruian yang tidak dipotong tangannya oleh sebab masa itu adalah masa
sulit,[1] maka
pemikiran Hukum dalam Islam mulai menapaki era baru atau pencerahan. Melalui
struktur logis yang dibangun dalam tradisi filsafat, para intelektual muslim
berupaya mengembangkan ilmu keislaman menjadi beragam disiplin ilmu seperti
kalam, fiqh, tafsir dan lain-lain.
Quraish Shihab dalam bukunya Menabur Pesan
Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat, menjelaskan bahwa masa
merupakan arus deras dan melaju tanpa dapat dibendung. Perubahan adalah
keniscayaan. Manusia hanya mempunyai dua pilihan, mandek hingga tergilas dan
mati atau maju bersamanya tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya.[2]
Dengan
kata lain, Islam menghendaki terciptanya kemaslahatan seluruh umat manusia tak
terkecuali hanya yang membedakan mungkin dari sisi konsekuensi (balasan) dan
perlakuan terhadap orang-orang di luar Islam.[3]
Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu al
Qayyim bahwasanya syari’ah merupakan keadilan, rahmat, mashlahah dan hikmah
secara universal.[4] Nilai-nilai
Islam yang dimaksudkan adalah terimplementasinya maqâ shid syarî ah
al-khamsah yang merupakan metode filsafat hukum Islam.
Disebabkan semua inilah maka timbulnya dorongan
untuk menjawab permasalah kehidupan umat oleh para tokoh pemikir Islam yang
bermuara pada lahirnya aliran-alirah dalam hukum dan filsafat hukum islam.
B. Rumusan
Masalah
Dari
uraian singkat tersebut yang menjelaskan bahwa pembahasan pada kali ini tentang
“Filsafat Hukum Islam”. Dan untuk pembahasan yang terfokus, maka rumusan pokok
masalah pada tulisan ini sebagai berikut :
1.
Apa pengertian
Filsafat Hukum Islam ?
2.
Bagaimana Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam (Ushul Fiqih) ?
3.
Apa Aliran yang
Berkembang Dalam Filsafat Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Hukum Islam
Filsafat
Hukum Islam terdiri atas 3 kata yaitu Filsafat, Hukum dan Islam. Masing-masing
dari 3 kata tersebut memiliki definisi tersendiri. Maka sebelum mengetahui
pengertian Filsafat Hukum Islam, mari kita ketahui terlebih dahulu
masing-masing arti dari 3 kata tersebut :
1. Pengertian
filsafat
Filsafat
diambil dari bahasa arab “Falsafah”, berasal dari bahasa
yunani “philosophia” kata majemuk yang terdiri dari kata “Philos” yang
artinya cinta atau suka dan kata “Sophia” yang artinya
kebijaksanaan. Dengan demikian, secara etimologi kata filsafat memberikan
pengertian cinta kebijaksanaan. Dan secara terminologi, filsafat mempunyai arti
yang bermacam. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tersebut[5]:
a. Plato
(427 SM-347 SM) ia seorang filsuf yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia
sendiri berguru pada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan
tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.[6]
b.
Aristototeles (381 SM-322 SM). Mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang
meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika.[7]
c.
Al-Farabi (wafat 950 M). seorang filsu muslim mengatakan bahwa filsafat adalah
ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang
sebenarnya[8].
2.
Pengertian Hukum dan Islam
Dalam
filsafat hukum dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hukum,
sumber hukum dan manfaat atau fungsi hukum dalam masyarakat.[9]
Hukum secara etimologis seperti yang dijelaskan oleh Ibn Mandzur, berasal dari
bahasa Arab, al-hukm berarti al-‘ilm wa al-fiqh. Juga berarti al-‘adl. Fi’il
muta’addinya yaitu kata ahkama mempunyai arti atqana (berpegang dengan teguh).
Al-hukm juga berarti al-qada’ (ketetapan) dan al-man’ (pencegahan).
Sedangkan
secara terminology, hukum adalah sekumpulan aturan-aturan, baik berasal dari
aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu
sebagai pengikat bagi anggotanya. Oleh karena itu, hukum Islam menurut Abu
Zahrah adalah titah (khitab) pembuat shara’ yang berkaitan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau penetapan. Definisi
ini lebih mendekati makana shari’ah. Sedang menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy
adalah koleksi daya upaya fuqaha’ dalam menerapkan shari’ah Islam sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Definisi ini lebih mendekati makna fiqh.[10]
Dari
beberapa penjelasan di atas dapat didefinisiskan bahwa filsafat hukum Islam
adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber asal muasal hukum
Islam dan prinsip penerapannya, serta fungsi dan manfaat hukum islam bagi
kehidupan masyarakat yang melaksanakannya. Dengan kata lain kajian ini berupaya
menjawab persoalan-persoalan hukum Islam secara kontemplatif, sistematif, logis
dan radikal. Atau juga filsafat hukum Islam dapat diartikan setiap kaidah, asas
atau mabda’, aturan-aturan pengendalian masyarakat pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah itu dapat
berupa Alqur’an, hadist, pendapat sahabat dan thabiin, ijma’ ulama’ dan fatwa
lembaga keagamaan. Al-jurjani dalam bukunya Hikmah Al-Tasyri wa Falsafatuh juga
menjelaskan bahwa filsafat hukum Islam diistilahkan hikmah at-tasyri’.[11]
Filsafat hukum Islam sendiri dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Falsafah
asy-syari’ah, yang mengungkapkan masalah ibadah, muammalah, jinayah dan ‘uqabah
dari materi hukum Islam. Falsafah syari’ah mencakup asrar al-ahkam, khasha’ilah
al-ahkam, mahasin al-ahkam dan thawabi’ al-ahkam. Falsafah Tasyri’, yaitu
filsafat yang memancarkan hukum islam, menguatkan dan memeliharanya. Falsafah
tasyri’ meliputi ushul al-ahkam, maqasid al-ahkam dan qawa’id al-ahkam. Hikmah
at-Tasyri wa Falsafatuh, yaitu kajian mendalam dan radikal tentang prilaku mukallaf
dalam mengamalkan hukum Islam sebagai undang-undang dan jalan kehidupan yang
lurus.[12]
Jika kita berbicara tentang Hukum, secara sederhana segera terlintas dalam
pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur
tingkah-laku manusia dalam suatu masyarakat. Baik peraturan berupa kenyataan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan yang dibuat dengan
cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa[13].
Tidak
ada pengertian yang sempurna mengenai Hukum. Namun para pakar berusaha
memberikan jawaban yang mendekati kebenaran. Menurut Nasrudin Rozak, Hukum
adalah peraturan-peraturan tentang perbuatan dan tingkah laku manusia didalam
lalu lintas hidup[14].
Islam
secara etimologi berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Jadi Hukum Islam
adalah Hukum yang bersumber dari agama dan menjadi bagian agama Islam[15].
3. Pengertian
Filsafat Hukum Islam
Adapun
pengertian secara terminologi, menurut Azhar Basyir : ia mengatakan bahwa
“Filsafat Hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematik, dapat
dipertanggung jawabkan dan radikal tetang Hukum Islam.” Filsafat Hukum Islam
adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujun Hukum Islam baik yang
menyangkut materinya maupun proses penepatannya. Dan Filsafat yang digunakan
untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara Hukum Islam sehingga sesuai
dengan maksud dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka bumi yaitu untuk
kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Jadi
Filsafat Hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber
asal-muasal hukum islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan manfaat hukum
islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya[16].
Dengan
rumusan lain Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat,
rahasia, dan tujuan Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses
penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, meguatkan, dan
memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT
menetapkannya di muka bumi yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Dengan filsafat ini hukum Islam akan benar-benar “cocok sepanjang masa di
semesta alam”
Apabila
kita mengikuti pendapat al-Jurjawi bahwa yang dihasilkan oleh ahli pikir adalah
filsafat dan yang dihasilkan orang yang mendapat kasyf dari Allah SWT sehingga menemukan kebenaran
adalah hikmah.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Filsafat Hukum Islam (Ushul Fiqih)
Hukum
Islam Mengacu pada pandangan hukum yang berifat teleologis. Artinya hukum Islam itu diciptakan
karena iia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari adanya hukum Islam adalah
terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagian di akhirat. Jadi hukum Islam
Bukan bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana’ dan pendek di dunia semata,
tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak. Inilah
yang membedakannya dengan hukum manusia yang menghendaki kedamaian
di dunnia saja.
1. Pertumbuhan
Filsafat Hukum Islam
Izin
Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad merupakan awal dari lahirnya filsafat
hukum Islam pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu,
pemikiran falsafi yang salah di benarkan oleh wahyu, ketika Rasulullah telah
wafat dan wahyupun telah usai maka akal dengan pemikiran falsafinya berperan
baik dalam perkara yang ada Nashnya maupun yang tidak ada. Pemikiran falsafi
terhadap hukum islam yang ada nashnya bermula pada masa khulafaurasyidin
terutama umar bin khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat
bagi muallaf, dll. Yang dilakukan oleh Umar bedasarkan kesesuaian zaman untukk
menjamin menegakkan keadilan yang menjadi asas hukum islam, merupakan contoh
penerapan hukum berdasarkan hukum manusia. Jadi penerapan hukum harus dapat
meneggakkan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum islam
2.
Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Kegiatan
penelitian terhadap tujuan hukum (Maqasid Al-Syariah)
telah dilakukan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu, Al-Juwaini dapat
diakatakan sebagai ahli Ushul fiqih pertama yang menekankan pentingnya
memahami Maqashid Syariah dalam penetapan Hukum ia
menyatakan bahwa seseoarang tidak dikatakan mampu menetapakan hukum dalam Islam
sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah Menetapkan perintah-perintah dan
larangan-larangan-Nya
Al-juawaini
mengelaborasi lebih lanjut Maqashid Al-Syariah dalam
kaitannya dalam pembahasan illat pada
masalah Qiyas. menurut Pendapatnya, dalam kaitannya dengan Illat, ashl dapat dijadikan 5 kelompok, yaitu
kelompok darruriyat, al-hajjiyyat al-ammat, makramat, sesuatu
yang tidak termasuk kelompok Darruiyat dan Hajjiyat dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga
kelompok sebelumnya. Pada dasarnya Al-Juwaini mengelompok ashl atau tujuan
hukum menjadi 3 kelompok yaitu Darruriyat, Hajjiyat, Makramat yang
terakhir dalam istilah lain disebut Tahsiniyyat.
Pemikiran Al-juwaini dikembangkan oleh muridnya yaitu al-Ghazali, beliau
menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dalam pembahasan al-Mnasabat al-maslahiyyat dalam Qiyas. Sementara
dalam kitab yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan Istishlah. Ia menrincikan maslahat itu menjadi
lima, memlihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ahli
ushul fiqih yang membahas secara khusus aspek utama Maqashid al-syariahadalah Izz al-Din Ibn Abdal-Salam dari kalangan mazhab
Syafii. Dalam kitabnya Qawaid al-ahkam fi mashalih
al-anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat maslahat yang
dijawantahkan dalam bentuk Dar’u al-mafasid wa Jalbu al-manafi (menghindari mafsadat dan menarik
manfaat). Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada kemaslahatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba mengembangkan
prinsip mashlahat yang merupakan inti pembahasan dalam Maqashid al-syariah.
Ahli
Ushul fiqih yang membahas teori Maqashid Al-Syariah secara
khusus, sistematis dan jelas adalah, al-Syahtibi dari
kalangan madzhab Maliki, dalam kitabnya Al-Muwafaqad ia
menghabiskan kurang lebih sepertiga pembahasannya dalam masalah ini, ia secara
tegas bahwa tujuan Allah SWT. Mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat. Karena itu taklik dalam bidang hukum harus
bermuara pada tujuan hukum tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya para
penulis Filsafat Hukum Islam mencoba menonjolkan istilah filsafat hukum Islam
ketimbang menggunakan Istilah Hikmah atau tujuan disyariatkan hukum Islam.
C. Aliran yang Berkembang Dalam Filsafat
Hukum Islam
Dalam istilah Hukum Islam aliran
disebut juga dengan istilah mazhab. Perkataan mazhab berarti jalan yang dilalui atau jalan yang ditempuh.[17]
Dapat juga berarti pokok-pokok pikiran yang diikuti, seperti perkataan Imam asy-Syafi’i;
ﻲﺒھﺬﻣ ﻮﮭﻓ ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺢﺻ اذا
Wahbah
az-zuhaily[18] dalam kitabnya Fiqh Islamy wa adillatuhu, menjelaskan bahwa mazhab adalah hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan kata
lain,
mazhab diartikan dengan jalan
yang
mengantarkan seseorang kepada suatu tujuan tertentu pada kehidupan dunia,
begitu juga
dengan hukum-hukum
dapat mengantarkan seseorang kepada satu
tujuan di akhirat.
Ketika
dilakukan penelusuran terhadap al-Quran dan Sunnah, tidak
ditemukan satu perkataan
pun yang memberikan petunjuk
atau isyarat akan
adanya istilah mazhab,
tidak ditemukan suatu ungkapan yang mengisyaratkan bahwa mazhab tersebut ada dalam ajaran
Islam. Demikian juga pada Rasulullah
SAW,
yang tidak mengajarkan adanya pengkultusan suatu
pendapat. Semua
umat Islam adalah satu, satu pendapat, yaitu mengikuti
pendapat dan ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Tidak jauh berbeda dengan Rasulullah, para
sahabat pun tidak mengenal adanya mazhab, meskipun di antara mereka ada
yang ahli dalam berijtihad, seperti Abu Bakar
Shiddiq,
Umar bin Khatab, Ustman bin ‘Affan, Ali bin muthalib, dan lain-lainnya. Bahkan Rasulullah Saw menegaskan agar umat Islam mengikuti Abu Bakar dan Umar bin Khatab dalam sebuah sabdaNya;
ﺮﻤﻋو ﺮﻜﺑ ﻮﺑا
يﺪﻌﺑ ﻦﻣ ﻦﯨ ﺬﻟﺎﺑ اوﺪﺘﻗا
Artinya:
Ikutilah olehmu sekalian dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan
Umar ibn Khathab
Pada kesempatan
yang lain, Rasulullah memerintahkan
umatnya untuk
mengikuti khalifah
yang empat, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib. Untuk maksud ini, Rasulullah bersabda;
يﺪﻌﺑ ﻦﻣ ﻦﯨﺪﮭﻤﻟا ﻦﯾﺪﺷرا ءﺎﻔﻠﺨﻟا ﺔﻨﺳو ﻲﺜﻨﺴﺑ ﻢﻜﯿﻠﻋ "
Artinya; Hendaklah kamu sekalian
mengikuti Sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk
sesudahku. (HR. Ahmad dan Turmuzi).
Munculnya
istilah mazhab berawal pada zaman
sahabat Rasulullah. Umpamanya adalah
pada masa itu ada mazhab Aisyah, mazhab Abdullah bin Umar, mazhab
Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lainnya.[19] Suksesi pemerintahan, pasca wafatnya
Rasulullah SAW. menggiring para sahabat terjebak dalam ranah politik (siapa
yang layak menjadi kepala Negara), dan ranah teologi ( apakah akal dapat mengetahui wahyu, dan bagaimanakah hubungan akal
dengan wahyu),dan bahkan lebih
jauh dari itu, umat Islam mulai merumuskan
metode penggalian hukum
(dalam persoalan fikih dan
Ushul Fikih). Tren
ini berkembang seiring dengan
berkembang dan meluasnya
pemerintahan Islam. Dengan demikian,
suksesi pemerintahan juga telah ikut
ambil bagian dalam sejarah pembentukan
dan perkembangan hukum
Islam. Keadaan ini
telah membentuk tiga aliran atau
mazhab besar dalam Hukum Islam, yaitu mazhab Zahiriyah, Hambaliyah, Malikiyah
dan Syafi’iyah
a. Mazhab Ahl al-Sunnah
Ketika
pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, para sahabat banyak yang pergi
meninggalkan kota Madinah, menuju kota-kota yang baru dibangun seperti Kufah,
Mekkah, Basrah, Mesir dan Syam. Di ibu kota tersebut mereka mengajarkan fikih,
meriwayatkan hadist, dan mengembangkan
ajaran agama. Umat Islam di
daerah tersebut pun berlomba-lomba untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama
berupa fikih dan Hadist, sehingga banyak melahirkan generasi yang mumpuni. Di
antara mereka adalah Sa’id ibnu Musayyab (13 H-94 H), Ibrahim An-Nakhai
(46 H- 96 H), Amir ibn Surahbi (19 H- 103 H)l, Thaus ibn Kaisan al-Yamani (W 106 H),
Al-Hasan ibn Jasar al-Bhisr i (W 11H), dan Atha’ ibn Abi Rabah (27 H-11 H).[20]
Pada
periode ini, fikih mulai dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri, dan para
ulama pun mulai saling berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang lebih dominan dalam menggunakan wahyu
di samping akal atau ra’yi. Sebahagiannya lagi
mereka lebih dominan menggunakan
ra’yi atau logika ketimbang
wahyu. Untuk itu, para ulama fikih pada masa ini terbagi kepada dua golongan, yaitu; golongan
Ahlur Ra’yi dan golongan Ahlul Hadist.[21]
a.1) Ahlul Hadist.
Ulama golongan ini,
dalam menyelesaikan persoalan fikih,
lebih mengkedepankan atau lebih
dominan menggunakan hadist
ketimbang akal atau rakyi.
Karenanya mereka menjauhi penggunaan
rakyi dan baru akan menggunakannya bila dalam keadaan yang sangat mendesak. Untuk itu
kegiatan mereka banyak dicurahkan untuk menghafal hadist-hadust dan fatwa para
shahabat. Aliran ini berkembang di daerah Hejaz. Di antara tokohnya adalah;
Sa’id ibn Musayyab (W 94 H), Amir bin Syurahel asy-Sya’by (W 104 H), dan
lain-lain.
Adapun
faktor penyebab aliran ini berkembang di Hejaz adalah;
1) Pengahruh
dari para sahabat yang mengajarkan
fikih di
hejaz, yang notabene sebagai ahlul hadist.
Umpamanya ‘Abdullah ibn Abbbas,‘Abdullah ibn Umar.
2) Banyaknya
jumlah sahabat yang berdomisili di daerah Hejaz, serta merta Sunnah dan fatwa
sahabat beredar dengan jumlah yang
besar.
3) Di
daerah Hejaz, jarang sekali terjadi
peristiwa-peristiwa yang tidak di dapati hukumnya di dalam al-Quran dan Hadist,
serta fatwa-fatwa sahabat dikarenakan kehidupan
masyarakat Hejaz pada saat itu hampir tidak berbeda dengan masa
sebelumnya.
a.2) Ahlul Rakyi.
Kelompok yang berorientasi kepada rakyu (pendapat akal) dalam menetapkan hukum dan
meneliti berbagai mashlahat
untuk dijadikan landasan hukum. Aliran
ini muncul disebabkan oleh karena sedikitnya jumlah hadis yang beredar di
tempat fuqaha berada. Keadaan ini mendorong mereka untuk meneliti dan mengkaji
secara mendalam maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum.
Aliran ini
berkembang di daerah Irak. Adapun tokohnya yang termasyhur adalah;
Al-Qamah bin Qeys (W. 62 H), Ibrahim bin Yazid an- Nakha’I (W. 95H).
Adapun
faktor penyebab aliran ini berkembang di Irak adalah:
1) Pengaruh dari sahabat
yang pertama mengajarkan fikih,
umpamanya
2) Abdullah
bin Mas’ud, yang notabene bercorak rakyi.
3) Sedikitnya jumlah hadist dan fatwa sahabat yang beredar
di Irak.
4) Banyaknya
persoalan fikih yang muncul di daerah Irak.
5) Daerah Irak
merupakan pusat kegiatan politik,
dan daerah tempat berkembangnya aliran Khawarij dan Syi’ah,
yang memicu munculnya hadist-hadist palsu
Pada
pemerintahan Bani Abbasiyah, lahirlah imam-imam mujtahid yang professional dari golongan
Ahlul Hadist dan Ahlur Rakyi. Di antaranya yang popular dan masih eksis sampai sekarang
adalah Mazhab Hanafy, Mazhab Malik, Mazhab asy-Syafi’I, Mazhab Hanbali, dan
mazhab Zhahiry.[22]
b. Mazhab
Hanafi.
Mazhab
ini dibangun oleh Imam Abu Hanifah, merupakan ulama besar yang telah
mewarnai dunia dengan khazanah ilmu
pengetahuan, terutama di bidang ilmu fiqih. Keluasan ilmu,
pengalaman, kezuhudan, keberanian seolah
menyatu
dalam diri sang Imam. Nama asli
dari Imam Hanafi adalah Abu
Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Kufah pada tahun 80 Hijriah (699
M).[23]
Pada masa remajanya, beliau telah
menunjukkan kecintaannya kepada ilmu, walaupun beliau anak seorang
saudagar kaya namun beliau menjauhi
hidup.
Gubernur
di Iraq
pada waktu itu adalah Yazid bin
Hurairah Al-Fazzari. Pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua
urusan Baitul mal, tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mau menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gabenor Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap
ditolaknya.
Pada
saat yang lain Yazid menawarkan pangkat Hakim tetapi imam Hanafi
juga menolaknya. Oleh
kerana itu ia diselidiki dan diancam
akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum
dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan
yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.”
Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya. Akhirnya
Imam Hanafi ditangkap oleh gubernur dan dimasukkan ke dalam penjara selama dua
minggu dan lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan,
setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gubernur menawarkan
menjadi kadi, juga ditolaknya. Kemudian
ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera
sebanyak 110 kali. Namun demikian Imam
Hanafi tetap dengan pendiriannya hingga ia dilepaskan kembali.
Madzab
Hanafi disebarluaskan oleh murid-murid beliau dan fatwa-fatwa beliau dituliskan
dalam kitab-kitab fikih oleh para muridnya sehingga tersebar luas dan dikenal
sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah
Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafi’i.
Karya
besar yang ditinggalkan oleh Imam Hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam
dan Musnad Fiqh Akhbar. Dalam menetapkan hukum, Imam Hanafi menggunakan metode berdasarkan Al
Quran, Sunnah Rasul, Fatwa
sahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan ‘Urf. Sedangkan 'Urf maksudnya adalah adat
kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya
dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.[24]
c.
Mazhab Malik.
Mazhab
ini didirikan oleh Imam Malik, merupakan salah satu imam ahli fikih yang masyhur dan termasuk dari 4 Imam
Madzhab. Keluasan ilmu, kedermawanan, keshalehan pada diri beliau banyak
dituliskan dalam kitab-kitab sejarah Islam. Profil biografi imam malik penuh
dengan semangat mencari ilmu yang akan kita bahas secara ringkas dalam artikel
ini.
Imam
malik dilahirkan di kota Madinah al Munawwarah
pada tahun 93 H, dengan nama lengkapnya Abu abdullah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin
al-Haris Dzi Ashbah.[25]
Guru
Imam Malik diantaranya
adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim,
Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar,
Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar,
dan lain-lain.
Sedangkan
murid-murid beliau diantaranya adalah Ibnul Mubarak, Imam Syafi’i, Al Qathan,
Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin
Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin
Uyainah, Abu Hudzaifah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.
Al
Muwaththa' merupakan kitab yang disusun
oleh Imam Malik, yang beliau susun selama 40 tahun, dan telah
ditunjukan kepada 70 ahli fiqh kota Madinah. Kitab Al Muwaththa’ berisi 100.000
hadits, yang diriwayatkan oleh lebih dari seribu orang dan yang paling masyur
adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Imam
malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10
hari setelah itu ia wafat. Sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14
Rabiul awwal 179 H pada usia 87 tahun.
Adapun
metode istimbat hukum mazhab Maliki adalah al-Quran, Sunnah, Ijmak ahli
Madinah, Qiyas, Istishlah atau al-mashalih al-Murshalah.
d.
Mazhab Syafi'i.
Mazhab
ini didirikan oleh Imam asy-Syafi’i [26]
merupakan ulama besar yang memiliki pengetahuan yang
mendalam di berbagai disiplin ilmu terutama di bidang fiqh. Termasyhur bukan
hanya karena kejeniusannya tapi juga karena sifat dermawan, wara’ dan kezuhudan
beliau.[27]
Salah
satu karangannya adalah “Al-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab
“Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’I adalah seorang
mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan
ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak
dan fiqh ahli Hijaz.
Pertemuan Imam
Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal terjadi di Mekah pada tahun
187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i
banyak belajar tentang ilmu
fiqh, ushul madzhab, penjelasan nasikh dan mansukh. Di
Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya. Kemudian beliau pindah ke Mesir tahun 200 H
dan menuliskan madzhab baru.[28] Di
sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Adapun
metode penetapan hukum mazhab asy-Syafi’I adalah al-Quran, Sunnah, Ijmak, Fatwa
sahabat yang disepakati, fatwa sahabat yang diperselisihkan, Qiyas dan
Istidlal.
e.
Mazhab Ahmad bin Hambal
Mazhab
Ahmad bin Hanbal di bangun oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (164 H)[29]
.Riwayat tentang sejarah kehidupan
Imam Ahmad bin Hambal banyak ditulis
oleh banyak 'ulama di berbagai kitab mereka. Keutamaan ilmu, kekuatan hafalan
dan akhlak beliau menyinari perjuangan
Islam di sepanjang sejarah.
Profil biografi Imam Ahmad bin Hambal
merupakan mutiara pelajaran besar yang dapat kita ambil hikmahnya.
Murid
Ahmad bin Hambal banyak dari kalangan 'ulama besar di antaranya Imam Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i, Shalih bin
Imam Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Hambal bin Ishaq dan
lainnya.
Kitab beliau sangat banyak, di antaranya adalah
Kitab Al
Musnad yang berisi lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits, Az-Zuhud,
Fadhail Ahlil Bait, Jawabatul Qur’an,
Al Imaan, Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, Al
Asyribah dan Al Faraidh.
Adapun
sandaran hukum mazhab Hanbali adalah ;
a) An-Nushus. Ia
memberikan fatwa berdasarkan nash, sebagai rujukan utama.
b) Fatwa
sahabat. Ketika tidak ditemukan nash, maka imam Ahmad merujuk kapada fatwa
sahabat, sebatas ia tidak mengetahui bahwa fatwa tersebut ada yang menentangnya
atau masih dalam perselisihan.
c) Fatwa
yang paling dekat dengan nash. Ahmad
lebih memilih pendapat sahabat yang mendekati al-Quran dan Sunnah bila ada
beberapa pendapat yang berlainan dan saling bertentangan tentang suatu hukum.
Kadang ia tidak memberikan fatwa jika
tidak ada yang menguatkan pendapat saahabat tersebut, dan
kadang kala mengambil salah satu pendapat yang masih diperselisihkan tersebut.
d) Hadis mursal
dan dha’if yang dianggapnya
lebih kuat dari
Qiyas. Penggunaan hadist mursal dan dha’if tersebut dipilihnya selama
tidak ada dalil lain yang
menentangnya, seumpama pendapat sahabat
dan ijmak. Adapun hadist dha’if yang diambilnya adalah hadist dha’if
yang tidak sampai pada derajat hasan dan shahih.
e) Qiyas.
Jika keempat dalil di atas tidak dapat diterapkan, barulah dia
mengambil metode qiyas.[30]
f. Mazhab Zhahiri
Pendiri
dari mazhab Zhahiry adalah Daud ibn Ali
al-Ashfahaniy yang dilahirkan
pada tahun 202 H. di Kufah
dan wafat pada tahun 270 H di Baghdad..[31]
Pada
awalnya Daud Zhahiry merupakan
penganut mazhab asy-Syafi’I yang
baik, termasuk ulama yang rajin mendalami dan mempelajari hadist-hadist
Rasulullah.
Inti dari ajaran dan paham yang berkembang dalam
mazhab az-zhahiri berkisar pada
persoalan hukum Islam dan
pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam memahami sumber tersebut. Konsekuensi logis dari pendapat
tersebut adalah adanya perbedaaan pendapat dalam masalah fikihnya.
Seperti
telah disebutkan, Imam Daud
az-Zhahiri menolak al-qias dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami
nash. Dalam cara mempertegas ijtihadnya, Imam Daud az-Zhahiri berkata :
عﺎﻤﺟ ﻹاو ﺔﻨﺴﻟا و بﺎﺘﻜﻟأ : لﻮﺻﻻا نا
“Sumber hukum pokok hanyalah al-Qur’an,
Sunnah, Ijmak.”[32]
Bagi penganut az-Zhahiri keumuman nash
al-Qur’an sudah cukup menjawab
semua tantangan dan masalah. Pendirian tersebut berdasarkan firman Allah dalam
surat an-Nahl: 89:
“(dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan
pada tiap-tiap umat seorang saksi atas
mereka dari mereka
sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh
umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri”.
Bagi
Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah
makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi
mencari ‘illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai
cara ijtihad, seperti Imam ibn
Idris al-Syafi’i. Menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam
tidak boleh diintervensi oleh akal.
Ulama
yang mengakui al-Qias biasanya ingin mengetahui makna tersirat dari suatu
ketentuan al-Qur’an dan sunnah. Dalam rangka mengetahui dalil dibalik teks, ulama melakukan
penelitian, sehingga diketaui
‘illat hukumnya, baik ‘illat yang
terdapat dalam Nash secara tekstual (‘illat manshusah) maupun ‘illat yang
diperoleh setelah melalui penelitian (‘illat mustanbathah). Bagi Imam Daud
az-Zhahiri, tujuan penentuan syari’ah adalah Ta’abbudi (bukan ta’aquli).
Adapaun
al-dalil yang merupakan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam Daud az-Zhahiri dibangun
oleh Ibnu Hazm. Ad-dalil adalah
suatu metode pemahaman suatu nash yang menurut ulama mazhab
az-Zhahiri, pada hahikatnya tidak keluar
dari nas dan atau ijmak itu sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan
pendekatan kepada nash atau ijmak
melalui dilalah (petunjuknya)
secara langsung tanpa harus mengeluarkan
‘illatnya terlebih dahulu. Dengan
demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qias, sebab untuk melakukan qias
diperlukannya kesamaan ‘illat secara kasus asal dan kasus baru. Sedangkan pada
ad-Dalil tidak diperlukan mengetahui ‘illat tersebut.
g.
Mazhab Syia’h
1. Sejarah munculnya
Syi'ah
Mengenai kemunculan
syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu Zahrah,
syi’ah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan kemudian
tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun
menurut Watt, syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan
antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan
ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan
Mu’awiyah. Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok
mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan kelompok mendak sikap Ali (Khawarij).[33]
Kalangan syi’ah
sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengn masalah penganti
(Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab,
dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang
berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah
tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa
hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menya,paikan
dakwah ke kerabatnya, yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib.
Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama
menemui ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang
kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar biasa besar.[34]
Perbedaan pendapat
dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar.
Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam yang
memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh
momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya
setelah Perang Siffin.
Dalam perkembangan
selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan dinasti Ammawiyah
dan Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkitan
dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan
kepada kenabian), Nubuwwah (Percaya kepada kenabian), Ma’ad (kepercyaan akan
adanya hidup diakhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang
merupakan ahl-al bait), dan adl (keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam
Indonesia ditulis bahwa perbedaan antara sunni dan syi’ah terletak pada doktrin
imamah.[35]
Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat
mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejrah, kelompok ini akhirnya
tepecah menjadi beberapa aliran. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah
doktrin imamah. Diantara aliran-aliran syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah,
Sab’iyah. Zaidiyah, dan Ghullat.
2. Pokok-pokok Ajaran Syi'ah
Kaum Syi’ah memiliki
5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya diantaranya yaitu
at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.
a. At tauhid
Kaun Syi’ah juga
meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak
beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di
bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang
merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sedangkan sifat kedua
yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak
mungkin ada pada Allah SWT.[36]
b. Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki
keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan
perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya, bahwa konsep keadilan
Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan
apapun yang buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib
dikerjakanNya.[37]
c. An nubuwwah
Menurut mereka Allah
mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu
memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka yang melakukan amal shaleh dan
memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka yang durhaka dan
mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa jumlah Nabi
dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW
yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi
adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala
bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an
adalah mukjizat Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru),
makhluk (diciptakan) hukian qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas
huruf-huruf dan suara-suara yang dapat di dengar, sedangkan Allah berkata-kata
tidak dengan huruf dan suara.[38]
d. Al-Imamah
Bagi kaun Syi’ah
imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam dunia.Ia
merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had
atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta
ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah
seorang imam dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang
ilegal dan tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya
Rasul (kecuali pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak
sah. Di samping itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga iamam
tidak berdosa serta perintah, larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh
diganggu gugat ataupun dikritik.[39]
e. Al-Ma’ad
Secara harfiah al
ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat. Kaum Syi’ah
percaya sepenuhnya bahwahari akhirat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan
mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan
dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat
itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah
dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan
akan memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan menyiksa orang-orang
yang telah berbuat kemaksiatan.[40]
3.
Aliran dalam Syiah
1) Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab
ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin[41], seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di
jamannya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang
fiqih ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqih Zaidiyah.
Namun ada di antara ulama fiqih yang menyatakan
bahwa buku tersebut bukan tulisan
langsung dari Imam Zaid.
Namun Muhammad
Yusuf Musa (ahli
fiqih Mesir) menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak
didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam
Zaid
di jamannya dikenal sebagai seorang faqih
yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan
apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqih. Kitab al-Majmu’ ini kemudian
disyarah oleh Syarifuddin al- Husein bin Haimi al-Yamani as-San’ani dengan
judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para
pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer
diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya
bin Husein bin Qasim, yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah.
Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan
Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqih. Di antaranya
Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa
al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada yang menyusun buku al-Bahr
az-Zakhkhar al-Jami’ li Mazahib ’Ulama’ al-Amsar.
Pada
dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlusunnah.
Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudhu tidak perlu menyapu
telinga, haram memakan makanan yang disembelih non- muslim, dan haram mengawini
wanita ahlul kitab. Di samping itu,
mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah
mut’ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqih Mazhab Zaidiyah lebih
dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra’yi.
Adapun
pokok-pokok pikiran dari mazhab zaidiyah ini adalah;[42] Sanad hadist yang diutamakan adalah yang
berasal dari Ahlul bait, Khalifah bukanlah jabatan keturunan, tetapi khalifah
yang terbaik adalah khalifah yang diangkat dari golongan Fathimah.Melaksanakan
amar makruf dan nahi mungkar adalah kewajiban setiap muslim. Oleh sebab itulah
dia mengangkat senjata untuk melawan
Yazid pelaku dosa besar diletakkan
antara kufur dan iman, yang dinamakan
fasiq. Manusia mempunyai ikhtiar
dan bertindak sesuai dengan kemampuannya. Para imam tidak
mempunyai mukjizat.
2) Mazhab Syiah Imamiyah
Golongan
Syiah Imamiah disebut juga dengan golongan itsna Asyiriah (imam yang dua
belas), karena menurut mereka hanya ada dua belas imam yang wajib diikuti,
yaitu; Ali bin Abi Thalib, Hasan bin
Ali, Husein bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Musa
bin Ja’far, Ali al-Ridha bin Musa, Muhammad al-Jawad, Al-Hadi, Hasan al-Asy’Ari, dan Muhammad
al-Mahdi.[43]
Menurut
Muhammad Yusuf Musa, fiqih Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqih Mazhab Syafi’i dengan beberapa perbedaan
yang mendasar. Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum
suatu kasus dalam Al-Qur’an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para
imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah
Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah,
Mazhab Syiah Imamiyah tidak
menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
syara’. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal
ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar
dari kesalahan (maksum). Atas dasar
keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam
menetapkan hukum syara’, kecuali ijma’ bersama imam mereka.Untuk itu, yang
menjadi pegangan pokok dalam mazhab ini adalah al- Kitab, As-Sunnhah, Ijmak,
dan Aqal.
Kitab
fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim, diberi judul
al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali
ar-Ridla.
Menurut
Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqih Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad
bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj
al-Qummi. Dasar pemikiran fiqih Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku
karangannya yang berjudul Basya’ir ad-Darajat
fi ’Ulum ’Ali
Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab
Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan
oleh Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq
al-Kulaini melalui kitabnya,
al-Kafi fi ’ilm .
3)
Al-Kaisaniyah
Kaisaniyah ialah nama
aliran Syiah yang meyakini bahwa kepemimpinan setelah Ali bin Abi Thalib
beralih ke anaknya Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat
mengenai pendiri Syiah Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas
budak Ali bin Abi Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar
bin Abi Ubaid yang memiliki nama lain Kaisan.[44]
Diantara ajaran dari
Syiah Kaisaniyah ini ialah, mengkafirkan khalifah yang mendahului Imam Ali r.a
dan mengkafirkan mereka yang terlibat perang Sifin dan Perang Jamal (Unta), dan
Kaisan mengira bahwa Jibril a.s mendatangi Almukhtar dan mengabarkan kepadanya
bahwa Allah Swt menyembunyikan Muhammad bin Hanafiyah.[45]
Aliran Kaisaniyah ini
terbagi menjadi beberapa kelompok, namun kesemuanya kembali kepada dua paham
yang berbeda yaitu: 1. Meyakini bahwa
Muhammad bin Hanafiyah masih hidup. 2. Meyakini bahwa Muhammad bin
Hanafiyah telah tiada, dan jabatan kepemimpinan beralih kepada yang lain.[46]
Pokok-pokok ajaran Syi’ah
al-Kaisaniyah anatara lain:
(1) Mereka
tidak percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali ibn Abi Thalib,
seperti kepercayaan orang-orang Saba’iyah.
(2) Mereka
mempercayai kembalinya imam (raj’ah) setelah meninggalnya. Bahkan kebanyakan
pengikut al-Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah itu tidak
meninggal, tetapi masih hidup bertempat di gunung Radlwa.
(3) Mereka
menganggap bahwa Allah Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut perubahan
ilmu-Nya. Allah Swt. Memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula kebalikannya.
(4) Mereka
mempercayai adanya reinkarnasi (tanasukh al-arwah).
(5) Mereka mempercayai adanya roh.[47]
4). Al-Ghaliyah
Istilah ghulat
berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw yang artinya bertambah dan naik. Ghala bi
ad-din yang artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas.
Syi’ah ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan
atau ekstrim. Lebih jauh Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (ghulat)
adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang
mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Nabi Muhammad.
Gelar ektrem (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini
berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa orang yang secara
khusus dianggap Tuhan dan ada juga beberapa orang yang dianggap sebagai Rasul
setelah Nabi Muhammad. Selain itu mereka juga mengembangkan doktrin-doktrin
ekstrem lainnya tanasukh, hulul, tasbih dan ibaha.
Aliran-aliran yang
terkenal di dalam Syi’ah Ghulat ini adalah Sabahiyah, Kamaliyah, Albaiyah,
Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiyah
dan Nasyisiyahwa Ishaqiyah. Nama-nama aliran tersebut menggunakan nama tokoh
yang membawa atau memimpinnya. Aliran-aliran ini awalnya hanya ada satu, yakni
faham yang dibawa oleh Abdullah Bin Saba’ yang mengajarkan bahwa Ali adalah
Tuhan. Kemudian karena perbedaan prinsip dan ajaran, Syi’ah ghulat terpecah
menjadi beberapa aliran. Meskipun demikian seluruh aliran ini pada prinsipnya
menyepakati tentang hulul dan tanasukh. Faham ini dipengaruhi oleh sistem agama
Babilonia Kuno yang ada di Irak seperti Zoroaster, Yahudi, Manikam dan
Mazdakisme.
Adapun doktrin Ghulat
menurut Syahrastani ada enam yang
membuat mereka ektrem yaitu:
(1) Tanasukh yang merupakan
keluarrnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham
ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh
disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi
pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih
tinggi.[48] Syi’ah
Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang
menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Ja’far bahwa roh
Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
(2) Bada’ yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya
sejalan dengan perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga
sebaliknya.[49]
Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah
Ghulat memiliki bebrapa arti. Bila
berkaitan dengan ilmu, maka artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan
dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan kehendak maka artinya
memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang
diterapkanNya. Bila berkaitan dengan perintah maka artinya yaitumemerintahkan
hal lain yang bertentangan dengan perintah yang sebelumnya.[50] Faham
ini dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan dirinya dengan mengetahui hal-hal
yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya atau melalui
surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu,
lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan, maka itu
dijustifikasikan sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi
sebaliknya, ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’
(3) Raj’ah yang masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat
mempercayai bahwa Imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan
mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh aliran dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda
pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan
kembali itu adalah Ali dan sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali
adalah Ja’far As-Shaddiq, Muhammad bin Al-Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan
Mukhtar ats-Tsaqafi.[51]
(4) Tasbih artinya menyerupakan,
mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam mereka dengan
Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari faham
hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
(5) Hulul
artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada
pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma
dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
(6) Ghayba yang artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan
kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat
dilihat oleh mata biasa. Konssep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar
Ats-Tsaqafi pada tahun 66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin
Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.[52]
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdur Razak
dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, cet ke-2.
2.
Abu Su’ud, As’
Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah, Giza: Maktabah
Nafidah, 2004.
3.
Abdurrahman Kasdi, “Maqashid
Syariah dan Hak Asasi Manusia; Study Komparatif antara HAM Perspektif
Islam dan Perundang-undangan Modern” (makalah tidak diterbitkan)
4.
Hanafi, Ahmad.
Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1977
5.
Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986, cet ke-5.
6.
Jan Hendrik
Rapar, Pengantar Filsafat, Kanisius, Jogjakarta, 1996
7.
Juhaya S.
praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : kencana,
2005, Cet.II
8.
M. Ash Shidiqie
Hasbi, filsafat Hukum Islam, Jakarta : Raja Wali Pers, 2002
9.
M. Daud Ali, Hukum
Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
10.
Moh. Ali
as-Sayis,h.72. Lihat juga Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih
bahasa.Drs. Moh Said dkk. Clarendom Pres.1`977.
11.
Moh. Zahid , “Islam
Kāffah dan Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas nama
Islam)” dalam KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April
2006, Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006
12.
Muhammad Abu
Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam. Terj. Abd. Rahman Dahlan dan
Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1996.
13.
Muhammad Ali
al-Sayis, Tarikh al-Islamy,
Maktabah wa Mathbaah Muhammad Ali Shobih
wa auladuhu
14. Purwosutjipto, Pengertian
Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bogor, Djambatan, 1990.
15.
Quraish Shihab, “Menabur
Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat” Jakarta;
Lentera Hati, 2006
16.
Sya’bah Muhammad
Ismail. Al-Tasyri’a al-Islamy Mashadiruhu
wa Athwaruhu, Mesir:Maktabah an Nadhah
17.
Syekh Muhammad
al-Khudary , Tarekh al-Tasyri’al-Islamy, Indonesia dar al- Kutub
l-Arabiyah,
18.
Tajul Arifin,
“Filsafat Hukum Islam”, Bandung; Pustaka Setia. 2008.
19.
Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam, Semarang:Pustaka Rizki Putra,2001
20. Wahbah az-Zuhaily,
Fiqh Islam wa Adillatuhu, alih bahasa, Abd Hayye al Kattani, Kuala Lumpur:Dar alfikri,2011
[1] Hanafi, Ahmad, Pengantar
dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, 1977, p. 43
[2] Quraish
Shihab, “Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat” Jakarta;
Lentera Hati, 2006, p. 241
[3] Abdurrahman Kasdi, “Maqashid Syariah dan Hak
Asasi Manusia; Study Komparatif antara HAM Perspektif Islam dan
Perundang-undangan Modern” (makalah tidak diterbitkan) p., 3
[4] Ibid.
[6] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Kanisius,
Jogjakarta, 1996, p. 15
[7] Ibid
[9] Tajul Arifin, “Filsafat Hukum Islam” Bandung;
Pustaka Setia. 2008, p. 54
[10] Moh. Zahid , “Islam Kāffah dan
Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas nama Islam)”
dalam KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April 2006, Pamekasan:
STAIN Pamekasan 2006 p. 810
[11] Tajul Arifin, Op., Cit.,
p. 55
[13] M. Daud Ali, Hukum
Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 2006, p.43
[17] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, alih bahasa ( Fiqh
Islam dan Dalil-Dalilnya), Abd Hayye al Kattani, Kuala Lumpur:Dar alfikri,2011, p. 39
[18] Ibid.
[19] Ibid
[20] Muhammad Ali as-Sayis, Tarikh al-Islamy, Maktabah wa Mathbaah
Muhammad Ali Shobih wa auladuhu , p.
72-73
[21] Lihat Muhammad. Ali as-Sayis, Op.,
Cit., p. 72. Lihat juga Joseph Schacht, An Introduction Of Ilsamic Law (Pengantar
Hukum Islam), alih bahasa.Drs. Moh Said dkk. Clarendom Pres.1977. p. 40-50
[22] Lihat Joseph Schacht. p.
51-112. Lihat juga, Moh Ali as-Sayis. p. 91-110. Lihat juga Dr. Sya’bah Muhammad Ismail. Al-Tasyri’a al-Islamy
Mashadiruhu wa Athwaruhu,
Mesir:Maktabah an Nadhah,934. p. 212-348
[23] Lihat al-Syekh Muhammad
al-Khudary , Tarekh al-Tasyri’al-Islamy, Indonesia dar al- Kutub
l-Arabiyah, 1998, p. 229
[24] Lihat Moh. Ali as-Sayis, p. 94 lihat juga
Syekh Muhammad al-Khudhary, p. 231
[25] Syekh Muhammad al-Khudhary, Ibid. p.
239
[26] Nama lengkapnya Abu Abdillahf Muhammad bin Idris al-Syafi’i.
Al-Syafi’I adalah murid dari Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik. Dengan belajar kepada dua tokoh ini asy-Syafi’I
menjadi lebih sempurna keilmuannya, terutama dalam bidang Fikih. Lihat Ahmad
Syailabi. Op., Cit., p.. 154
[27] Ibid
[28] Perbedaan dua qaul (pendapat)
ini disebabkan oleh fakta-fakta baru yang ditemukan oleh asy-Syafi’I ketika
melakukan penelitian, sehingga tidak pelak lagi kalau dia melakukan revisi
ulang terhadap pendapatnya yang lama. Di
samping itu, perbedaan ini juga
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
yang ada baik di daerah Mesir maupun Iraq,
dan juga lebih karena tingkat kebutuhan
masyarakat Mesir maupun
Iraq. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,
Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2001, p. 88-91
[29] Lihat Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Ibid..p.
91-92. Lihat juga Syeckh Muhammad al-Khudhary, op.cit. p. 263-264
[30] Ibid
[31] Lihat DR.
Sya’bah Muhammad Ismail,op.cit..
p. 346. Mazhab Zhahiry, merupakan satu
satunya mazhab hab yang eksistensinya mengambil namanya dari suatu teori hukum.
Prinsip mereka adalah menyadari, meyakini sepenuhnya arti zhahir dari al-Quran
dan Hadist, dan menolak semua yang bertentangan
dengan teks nash, penggunaan opini bebas peribadi yang telah
berkembang sebelum asy-Syafi’I, mupun
penggunaan analogi dan
berfikir sistematis yang dipegang oleh
asy-Syafi’i.Lihat Joseph Schachth, Op., Cit., p. 85-86
[32] Ibid, p. 348
[33]
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam. Terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1996, p. 34
[34]
Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia,
2006, cet ke-2, p.90
[35]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986, cet ke-5, p. 135-136
[36]
Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Op., Cit., p. 92
[37]
Ibid,
[38]
ibid
[39]
Ibid
[40]
Ibid
[41] Lihat Sekh Muhammad
al-Khudhary, Op., Cit., p. 264 Lihat juga Rasyad Hasan Khalil, Tarikh
Tasyri’,Sejarah Legislasi hukum Islam, Jakarta:Amzah, 2009, p, 81-82
[43]
Ibid. p. 83, lihat juga Muhammad Ali As-Sayis, Op.,Cit., p. 64-65
[44]
olah Abu Su’ud, As’ Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah,
Giza: Maktabah Nafidah, 2004, p. 158
[45]
Ibid
[46]
Sahilun A. Nasir, Op., Cit.,, p. 108
[47]
Ibid, p. 108-109
[48]
Abu Zahrah, Op., Cit., p. 106
[49]
Ibid
[50]
Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Op., Cit., p. 107
[51]
Ibid
[52]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar