IJTIHAD ISTISHLAHI DALAM CATATAN SEJARAH
Oleh: MASRIZAL
A.
Latar Belakang Masalah
Semua umat Islam sepakat bahwa sumber hukum Islam yang pertama
adalah al-Qur’an. Adapun sumber hukum yang kedua adalah al-sunnah yang
merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat dari kehidupan Rasulullah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam
al-Qur’an adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya.
Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam menjadi suatu
kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Nabi
kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu.
Dalam melakukan ijtihad, para sahabat waktu itu tidak mengalami problem
metodologis apapun karena bila mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum,
mereka dapat langsung berkonsultasi dengan Nabi. Pada masa ini ijtihad masih
sangat terbatas terutama pada masalah-masalah keperdataan.
Keadaan demikian tiba-tiba berubah setelah Rasulullah wafat. Sejak
itu para sahabat mulai dihadapkan pada masalah-masalah baru dan krusial
terutama tentang siapa yang pantas menggantikan Nabi untuk memimpin umat dan
kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara’. Satu-satunya pilihan
bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada al-Quran,
hadis, dan tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka saksikan.
Setelah periode tersebut, muncullah sejumlah mazhab hukum yang
memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan
politik tempat mazhab hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Wahyu Allah yang
salah satunya berisi tentang hukum Islam telah berhenti sejak empat belas abad
yang lalu. Wahyu tersebut telah final dan berhasil diabadikan hingga sekarang
dalam bentuk mushaf al-Qur’an dan kitab-kitab hadis. Namun demikian,
peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di masyarakat tidak pernah berhenti.
Untuk menggali hukum dari peristiwa yang baru muncul pada setiap zaman tersebut
dibutuhkan sebuah ijtihad. Ijtihad pada periode klasik dimulai pada akhir masa
shahabat dan dilanjutkan pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in. Hanya saja,
ijtihad pada periode sahabat belum dapat dikatakan sebagai alat penggali hukum
karena keputusan masih di tangan Rasulullah.
B.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya
bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam al-Qur’an ataupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangaaun pada perkembangan
selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan oleh para ahli
agama Islam.
Secara bahasa, kata ijtihad memiliki beberapa makna. Menurut Louis
Makhluf, ijtihad berasal dari kata kerja (fi’il) jahada, yajhadu,
dan bentuk mashdar-nya jahdan yang berarti pengerahan segala
kasanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Atau bisa juga bermakna
bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan. [1]
Ada juga yang berpendapat bahwa ijtihad berakar dari kata al-juhd,
yang berarti thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata
al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari situ,
ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna pengerahan daya dan kekuatan
atau pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas-aktivitas yang
berat dan sukar.[2]
Adapun ijtihad secara istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh
ahli Ushul Fiqih adalah pengerahan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqih
atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi ijtihad ialah untuk mengeluarkan hukum syara’ dan ia tidak
berlaku dalam bidang teologi dan akhlak.[3]
Al-Syaukani merumuskan bahwa ijtihad adalah mengerahkan segenap
kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan metode
istinbath.[4]
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ijtihad ialah mencurahkan daya kekuatan
untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci.[5]
Dengan demikian, adapun pengertian ijtihad menurut istilah hukum
Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama
(syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu.
Walaupun definisi ijtihad di atas redaksinya berbeda-beda, namun
pada prinsipnya mereka sepakat bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang
membutuhkan energi yang banyak. Sejak terkodifikasinya ilmu Ushul Fiqih oleh
Imam al-Syafi’i, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fiqih
dan Ushul Fiqih, padahal istilah ijtihad pada masa Rasulullah dan sahabatnya,
dipergunakan pada hampir semua aspek ilmu pengetahuan. Meskipun pada masa itu
istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga, namun pada
masa tabi’in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari qiyas,
istishlah, istihsan, maslahah mursalah dan sebagainya.[6]
C. Sejarah Perkembangan Pada Masa Nabi,
Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mazhab
1.
Ijtihad Pada Masa Nabi
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah boleh bagi
Nabi Saw menetapkan hukum dengan ijtihad dalam kasus perkara yang tidak ada
nashnya, atau sebaliknya? Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila dihadapkan
pada suatu peristiwa hukum, Nabi Saw diperintah untuk menunggu wahyu, kecuali
bila dikhawatirkan momen peristiwa hukum itu berlalu, dan diperintahkan ijtihad
apabila Nabi tidak diberi wahyu.[7]
Ijtihad yang dilakukan Nabi Saw terbatas pada proses qiyas.
Apabila beliau menetapkan ijtihadnya, maka hal itu merupakan dalil yang sudah
pasti keabsahannya karena beliau tidak akan menetapkan kesalahan, dan oleh
karena itu tidak boleh berbeda dengannya sebagaimana diperbolehkan berbeda
dengan para mujtahid lainnya. Ulama Hanafiyah menganggap bahwa ijtihad Nabi ini
merupakan salah satu bentuk wahyu dan mereka menyebutnya sebagai wahyu batin.
Kebanyakan ahli ushul berpendapat bahwa Nabi Saw diperintahkan berijtihad
secara mutlak dengan tanpa terikat menunggu wahyu. Ulama Asy’ariyah, kebanyakan
ulama Mu’tazilah, dan ulama Mutakallimin (ahli teologi) berpendapat bahwa
Rasulullah Saw tidak melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum-hukum syariat.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa beliau berijtihad dalam menentukan
strategi dan hal-hal yang berhubungan dengan peperangan saja.[8]
Dalil mazhab yang dipilih adalah bahwa ijtihad
Rasulullah terjadi dalam hal-hal yang berhubungan dengan penentuan hukum
syariat dan dalam hal-hal yang berkaitan dengan peperangan. Adapun ijtihad yang
berkaitan dengan hal-hal dalam peperangan ditunjukkan oleh firman Allah Swt:
$xÿtã
ª!$#
Ztã
zNÏ9
|MRÏr&
óOßgs9
4Ó®Lym
tû¨üt6tGt
s9
úïÏ%©!$#
(#qè%y|¹
zMn=֏s?ur
úüÎ/É»s3ø9$#
ÇÍÌÈ
Artinya:
Semoga Allah mema’afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka
(untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar
(dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (Q.S
Al-Taubah [9]: 43).
Firman itu adalah teguran kepada
beliau atas izinnya kepada sekelompok orang-orang munafik untuk tidak ikut
dalam perang Tabuk. Secara pasti izin ini tentu tidak berasal dari nash, sebab
jika izinnya didasarkan pada nash, maka Nabi tidak ditegur, tetapi berasal
ijtihad.
Firman
Allah yang lain:
wöq©9
Ò=»tGÏ.
z`ÏiB
«!$# t,t7y
öNä3¡¡yJs9 !$yJÏù öNè?õs{r&
ë>#xtã
×LìÏàtã
ÇÏÑÈ
Artinya:
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah,
niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar Karena tebusan yang kamu ambil. (QS.
Al-Anfal [8]: 68).
Firman ini turun sebagai teguran
atas persetujuan beliau terhadap pendapat Abu Bakar dan sahabat lainnya dalam
penerimaan tebusan dari tawanan-tawanan perang Badar.
Adapun ijitihad Nabi dalam
hukum-hukum syara’, maka (keberadaannya) ditetapkan oleh sabda beliau Saw. Di waktu
haji wada’ (haji perpisahan):
لَوِاسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِى مَا
اسْتَدْبَرْتُ مَا أُهْدِيْتُ، وَلَوْ لاَ أَنَّ مَعِي الْهَدْيَ لأَحْلَلْتُ.[9]
Artinya:
Kalau terjadi
lagi masalahku ini yang sudah lewat, aku tidak membawa hewan Sembelihan (di
waktu ihram) dan kalau aku tidak membawa hewan sembelihan ini tentu aku telah
bertahallul. (HR. Tirmidzi).
Menggiring
hewan sembelihan termasuk amalan-amalan haji dan Nabi telah melakukannya dengan
ijtihad yang tidak ada nashnya, sebab kalau tidak, maka tidak ada artinya bagi
penyesalan atas perbuatannya.
Diriwayatkan dari Ummi Salamah,
beliau berkata: “Dua orang Anshar telah datang kepada Nabi Saw dalam perkara
warisan yang sudah lama (diperebutkan oleh) keduanya. Maka Nabi bersabda:
إنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَ إِنَّكُمْ
تَخْتَصِمُوْنَ إِلي وَ إِنَّمَا أَقْضِى بِرَأْيِي فِيْمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَيَّ
فِيْهِ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّ أَخِيْهِ فَلاَ يَأْخُذْهُ،
فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ يَأْتِى بِهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ عَلَى عُنُقِهِ.[10]
Artinya:
Sesungguhnya
aku adalah manusia biasa dan kamu mengadu kepadaku. Hanyasaja aku akan
memutuskan hal-hal yang wahyu belum turun kepadaku dengan pendapatku
(sendiri), maka barangsiapa yang aku tetapkan baginya dengan sesuatu dari hak
saudaranya kemudian orang itu tidak mengambilnya, maka aku memberinya sepotong api
yang kelak di hari kiamat dia akan membawanya di atas lehernya. (HR.
Al-Tirmidzi).
Adapun orang-orang yang menolak
bahwa Nabi melakukan ijtihad mengemukakan dalil, firman Allah:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã
#uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ)
uqèd wÎ)
ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Artinya:
Dan tiadalah
yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. Al-Najm [53]: 3-4)
Mengenai diperbolehkannya ijtihad bagi
selain Rasulullah
pada masa
beliau masih hidup, para ahli ushul berselisih pendapat pendapat yang kuat
menyebutkan bahwa hal itu diperbolehkan. Dalil yang menunjukkannya adalah
terjadinya praktek ijtihad sebagaimana terdapat dalam hadis Muadz yang popular
dikalangan umat dan mereka dapat menerimanya. Pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, segala persoalan
hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban
hukum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak
ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui
penetapan beliau yang disebut hadis atau sunnah. Begitu pula selanjutnya
setelah masa Nabi, apabila para sahabat menemukan kejadian yang timbul dalam
kehidupan mereka, dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka mencari jawabannya
dalam al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam
al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadist Nabi, dan apabila
mereka belum menemukan juga jawabannya dari kedua sumber tersebut, maka mereka
menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka
mencari titik kesamaam dari suatu kejadian yang dihadapi dengan apa-apa yang
telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadis. Mereka selalu mendasarkan
pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan ummat” yang menjadi dasar
penetapan hukum syara’.[11]
Dengan
cara seperti itulah Muadz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog
di antara keduannya sewaktu Muadz diutus oleh Nabi ke Yaman untuk menduduki
jabatan qadhi. Nabi berkata: “Bagaimana cara anda menetapkan hukum bila kepada
anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?” Muadz menjawab: “Aku
menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah.” Kemudian Rasullah bertanya lagi:
“Bila anda tidak menemukan jawabannya dalam kitab Allah? Muadz pun menjawab: “Aku
menetapkan hukum dengan sunnah Nabi.” Rasulullah kembali bertanya: “Bila dalam
sunnah tidak ditemukan juga?” Muadz menjawab: “Aku melakukan ijtihad dan aku
tidak akan gegabah dalam ijtihadku”. Jawaban muadz dengan urut-urut seperti itu
mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad Saw. Ini berarti konsep ijtihad boleh
dilakukan ketika kedua sumber hukum tersebut yakni al-Qur’an dan al-hadis tidak
ditemukan hukum secara rinci menjelaskan jawaban terhadap suatu masalah.[12]
2.
Ijtihad Pada Masa Sahabat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
para shahabat telah melakukan ijtihad pada waktu Rasulullah hidup. Walaupun,
nantinya ijtihad shahabat tersebut harus mendapatkan legitimasi dari
Rasulullah. Contohnya ialah yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab dan Ammar
ketika berhadas besar dalam suatu perjalanan. Keduanya tidak menemukan air,
sementara waktu shalat sudah tiba. Lalu, Ammar melumuri badannya dengan tanah
sebagai ganti air untuk menghilangkan hadas besar. Adapun Umar ibn Khatab ia
menunda shalatnya sampai ia memperoleh air karena menurutnya tayamum hanya
digunakan untuk menghilangkan hadas kecil. Ketika kedua shahabat ini melaporkan
apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa kedua pendapat itu
adalah keliru. Pendapat Ammar bertentangan dengan cara penggunaan tanah
(tayamum) yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 6, yaitu:
bÎ)ur…. öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D
÷rr&
4n?tã @xÿy ÷rr&
uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr&
ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$#
öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB
(#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ
(#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur
çm÷YÏiB 4 ….
Artinya:
….Dan
jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…. (QS. Al-Maidah [5]: 6).
Rasulullah
menjelaskan kepada Umar bahwa tayamum tidak hanya digunakan untuk menghilangkan
hadas kecil, tetapi juga dapat digunakan untuk menghilangkan hadas besar,
sesuai dengan ayat di atas.[13]
Singkatnya,
ijtihad shahabat pada masa Rasulullah belum dapat dianggap sebagai alat
penggali hukum karena ketentuan akhir masih ada di tangan Rasulullah. Tetapi,
setelah beliau wafat, ijtihad shahabat sudah dapat dijadikan alat penggali
hukum karena tidak lagi menunggu keputusan Rasulullah.
3.
Ijtihad Pada Masa Tabi’in
Periode ini terjadi kurang lebih
pada abad II H hingga pertengahan abad IV H. Setelah berakhir masa shahabat,
muncul masa tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas murid-murid para
shahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada perndapat para shahabat.
Secara garis besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:[14]
a. Mereka mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pendapat sahabat
yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat
seorang sahabat. Hal itu jika pendapat yang diutamakannya itu menurut
ijtihadnya lebih dekat dengan al-Qur’an dan sunnah.
b. Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa
pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada periode
tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa
ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan menyebutnya dengan periode ijtihad
dan masa keemasan fiqih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi
panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang
bersangkutan. Di Makah muncul tokoh seperti Atha ibnu Abi Rabah, di Madinah
muncul Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin
Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.[15]
Jumhur dalam menetapkan hukum
terbagi atas dua golongan:[16]
a.
Ahlul
Hadis
Golongan ini berkembang di Hijaz.
Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama sangat terikat kepada
teks-teks al-Qur’an dan sunnah. Jika dalam menetapkan suatu masalah tidak
terdapat dalil dalam keduanya, mereka berpaling kepada praktik dan pendapat sahabat.
Mereka menggunakan ra’yu hanya dalam keadaaan sangat terpaksa. Namun
jika tidak didapatkan dalil dari ketiganya, mereka sepakat untuk menggunakan
ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tokoh-tokoh golongan ini yang
terkenal ialah Sa’id bin Musayyab kemudian diikuti oleh al-Zuhri, al-Tausri,
Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan Daud al-Zhahiri.
b.
Ahlul
Ra’yi
Golongan ini berkembang di Kufah
(Irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini berlandaskan pada beberapa asumsi
dasar, antara lain: pertama, nash-nash syariah sifatnya terbatas, sedangkan
peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh karena
itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan
kepada ra’yu, sebagaimana ucapan Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman.
Kedua, setiap hukum syara’ dikaitkan dengan ‘illat tertentu dan
ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang faqih ialah menemukan ‘illat
ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan
kasus lain karena ‘illlat-nya, atau membatalkan berlakunya satu hukum
karena diduga tidak ada ‘illat-nya. Dalam periode ini pula tampil
tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam perkembangan fiqih
selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam mazhab ialah:
Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Keempat
tokoh tersebut dikenal dengan sebutan A’immah al-Arba’ah (para imam yang
empat) dari kalangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
4.
Ijtihad Pada Masa Imam Mazhab
Periode ini terjadi pada pertengahan
abad IV H- akhir abad XIII H. Pada periode ini ijtihad mengalami kemunduran,
bahkan bisa dikatakan menjadi beku. Dalam memecahkan masalah-masalah ijtihadiyyah,
umumnya para mujtahid enggan meng-istinbath hukum dengan secara langsung
merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah melalui metode ijtihad seperti yang
dilakukan oleh mujtahid pendahulu mereka. Mereka lebih cenderung untuk mencari
dan menerapkan produk-produk ijtihad para mujtahid sebelumnya. [17]
Para sejarawan menjuluki masa-masa
kemunduran ijtitihad ini dengan periode taqlid dan pemutupan pintu
ijtihad. Hal itu karena paham dan sikap mengikuti pendapat-pendapat para ulama
mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang tepat. Bahkan lebih dari
itu, diberitakan bahwa sebagian fuqaha’ ada yang merasa tidak keberatan
dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat.[18]
Berdasarkan fakta sejarah, ijtihad
pada dasarnya telah tumbuh sejak awal Islam, yaitu pada masa sahabat dan
perkembangnannya bertambah pesat pada masa tabi’in serta generasi selanjutnya
hingga kini. Dalam perjalanan yang panjang tersebut, tentu perkembangannya
mengalami pasang-surut dengan ciri khas masing-masing pada setiap periode.
Para ulama telah menyusun
seperangkat metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadis dalam upaya lebih
mendekatkan pada maksud-maksud pensyariatan hukum di satu pihak dan mendekatkan
hasil penalaan dengan kenyataan yang ada di tengah masyarakat di pihak lain.
Kerangka sistematis kaidah-kaidah tersebut, mula-mula diperkenalkan oleh Imam al-Syafi’i
(150-204 H). Secara umum metode penalaran tersebut dapat dibagi ke dalam tiga
pola, yaitu pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili
(penentuan ‘illat), dan pola istishlahi (pertimbangan kemaslahatan
berdasar nash umum).
a.
Pola
Bayani
Ke dalam pola pertama ini dimasukkan
semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik); kapan suatu
lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari
lafaz musytarak (anbigu), mana lafaz yang umum yang diterangkan (‘am-mubayyan),
dan mana pula yang khusus yang menerangkan, mana ayat yang qath’i dan
mana pula yang zhanni, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan
pula sunnah, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh, dan seterusnya.[19]
Sebagai contoh di dalam hadis ada
perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam al-Qur’an ada perintah
mempersaksikan ruju’ (QS. Al-Thalaq ayat 2). Ulama memahami kesaksian nikah
sebagai wajib, sedang kesaksian ruju’ oleh sebagian ulama dianggap sunnah.
Ulama sepakat bahwa masa ‘iddah perempuan yang telah digauli dan masih
kedatangan haid adalah tiga quru’. Adanya masa ‘iddah ini
dianggap qath’i. Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang arti quru’
tersebut. Ada yang menyatakannya masa suci dan ada yang menyatakannya masa
haid. Pemilihan salah satu arti tersebut dianggap zhanni.[20]
b.
Pola
Qiyasi (Ta’lili)
Ke dalam pola ini dimasukkan semua
penalaran yang menjadikan ‘illat (keadaan atau sifat yang menjadi
tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Di sini dibahas cara-cara menemukan ‘illat
di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya
ditemukan ‘illat baru (sebagai pengganti yang lama). Sebagai contoh di
dalam hadis ada perintah mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu
gandum, kurma (kering), dan anggur (kismis). Sebagian ulama kelompok zhahiriyah
memahami hadis ini melalui pola bayani, hanya memegangi arti zhahirnya.
Jadi produk pertanian yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman
tersebut. Namun, sebagian besar ulama berupaya mencari ‘illat dari jenis
tanaman tersebut dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang mempunyai ‘illat
sejenis. Ada yang mengatakan, “mengenyangkan (makanan pokok)”, ada yang
menyatakan jenis biji-bijian, ada yang menyatakan ditanam bukan tumbuh sendiri,
dan ada yang menyatakan dibudidaya sebagai ‘illat-nya. Karena perbedaan
ini terjadi perbedaan pendapat tentang zakat cengkeh, kopi, sayuran, rotan, dan
sebagainya. Ada yang menyatakan terkena zakat dan ada yang menyatakan tidak,
sesuai dengan ‘illat-nya yang dipilih tadi. Biasanya pola ini digunakan
apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk
memperkuat argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya pada kesimpulan
lain agar terasa lebih logis dan lebih berhasil guna.[21]
c.
Pola
Istishlahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum
dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsisp umum yang digunakan untuk
melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun
menjadi tiga tingkatan dharuriyat (kebutuhan esensial), hajiyat
(kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum
ini didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya
tranplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas kendaraan
bermotor. Masalah-masalah ini tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan.
Karena itu untuk menentukan hukumnya, digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik
dari ayat-ayat, seperti tidak boleh mencelakan diri sendiri dan orang lain,
menolong orang lain adalah kebajikan, dan lain-lain.[22]
Melalui pendeduksian dan pertimbangan
tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan sebagai hukum dasar
tranplantasi, boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami istri itu
sendiri, sedang pelanggran lalu lintas dianggap sebagai ta’zir. Pola istishlahi
sesuai keadaannya, baru digunakan ketika tidak ada dalil khusus, hanya
berhubungan dengan persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena
penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di dalam Ushul Fiqih, pola
yang terakhir ini sangat sedikit mendapat perhatian.[23]
D.
Urgensi Ijtihad Istishlahi Pada Masa Sekarang
Ijtihad dipandang dari cakupannya
digolongkan atas dua macam, yakni ijtihad muhtlaq dan ijtihad juz’i.
Ijtihad muthlaq dimaksudkan adalah adanya kemampuan yang memungkinkan
dari upaya yang dilakukan dalam semua hukum-hukum fiqih. Sedangkan ijtihad juz’i
yang mana kemampuannya hanya terbatas pada sebagian hukum-hukum fiqih saja.[24]
Metode ijtihad dengan corak
penalaran istishlahi adalah bagian dari keduanya, di mana kalangan ulama
dengan kategori ijtihad muthlaq merumuskan metode terbarunya, sedangkan
kalangan ulama yang termasuk dalam kategori ijtihad juz’i menekankan
maupun mempertegas metode dengan penalaran yang bertumpu pada kemampuan
individu serta mempertajam analisisnya dari metode yang dirumuskan pada ulama
sebelumnya. Ijtihad istishlahi dianggap sebagai upaya untuk menggali
hukum dengan bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan pada
al-Qur’an dan hadis. Hal ini berarti bahwa kemaslahatan yang dimaksudkan tidak
lain adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum
tersebut. Dalam arti lain, kemaslahatan yang ada tidak dapat dikembalikan
kepada suatu ayat atau hadis secara langsung, baik melalui proses penalaran
yang sifatnya bayani maupun yang sifatnya ta’lili melainkan harus
dikembalikan kepada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash.[25]
Namun selain dari corak penalaran istishlahi,
ada penalaran ta’lili dan bayani. Dari ketiga corak penalaran
tersebut hanya penalaran ta’lili dan istishlahi saja yang dalam
metode-metode ijtihad perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Hal dikarena
corak penalaran ta’lili mempunyai fungsi yang sama dengan adanya upaya
di dalamnya untuk menggali hukum yang bertumpu pada penentuan ‘illat-‘illat
hukum yang terdapat dalam suatu nash. Pengembangan corak penalaran ta’lili
haruslah didukung dengan kenyataan bahwa nash al-Qur’an dan sunnah dalam
penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian diiringi dengan cara
menyebutkan ‘illai-‘illat hukum yang terdapat di dalamnya.
Adapun penalaran istishlahi
dalam perkembangan pemikiran Usul Fiqih, corak ini tampak dalam metode al-mashalih
al-mursalah dan al-zari’ah. Dalam pemaparan perlu kiranya ditelaah urgensi
dan keterkaitannya dengan konsep maqasid al-syari’ah dalam filsafat
hukum Islam.
Mempertimbangkan maqasid al-syari’ah tentu dianggap penting
dengan keberadaan metode ijtihad istishlahi. Corak penalaran istishlahi
adalah bagian dari lapangan ijtihad yang harus selalu dikembangkan yang
nantinya akan menunjukkan urgensi pertimbangan maqasid al-syari’ah dalam
metode tersebut. Corak ijtihad istishlahi diantaranya adalah mashlahah, dalam
pengertian istilahnya adalah manfaat yang dikemukakan oleh syara’ dalam
menetapkan hukum untuk hambanya dalam upaya pemeliharaan agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Sedangkan definisi mashlahah dalam pandangan Sedangkan
kalangan ulama ushul menyatakan bahwa mashlahah adalah bentuk apresiasi
dari ketertiban hukum dalam rangka merealisasikan terwujudnya manfaat yang akan
diraih atau menghindarkan diri dari kerusakan.[26]
Seluruh hukum yang ditetapkan Allah Swt atas hamba-hambaNya, baik
dalam bentuk suruhan atau larangan adalah mengandung maslahah. Tidak ada hukum
syara’ yang sepi dari maslahah. Keseluruhan suruhan atau perintah Allah bagi
manusia untuk melakukan manfaat untuk dirinya baik secara langsung atau tidak.
Manfaat itu ada yang bisa dirasakannya pada waktu itu juga dan ada pula yang
dirasakannya sesudahnya. Misalnya, ketika Allah Swt menyuruh mendirikan shalat
yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan
kebersihan jasmani.[27]
Begitupun dengan semua larangan
Allah untuk dijauhi manusia, tentunya di balik semua larangan terkandung mashlahah
yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. Misalnya, larangan
minum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari rasa mabuk yang
dapat memberi kerusakan pada anggota tubuh, kerusakan pada kesehatan mental dan
akal. Semua ulama sependapat tentang adanya kemaslahatan dalam semua hukum yang
ditetapkan Allah. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang perwujudan mashlahah,
sehingga Allah menetapkan hukum syara’ atau mashlahah itu yang mendorong
Allah dalam menetapkan hukum ataupun ada sebab lainnya. Meskipun ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama mengenai masalah itu tetapi perbedaan pendapat itu
dianggap tidak memberi pengaruh apa-apa secara praktis dalam hukum. Terlepas
dari perbedaan pendapat, secara jelas dalam setiap perbuatan yang mengandung
kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat
hukum syara’ dalam bentuk suruhan dan demikian pula sebaliknya.[28]
Intinya setiap hukum syara’ selalu
sejalan dengan akal manusia dan akal manusia selalu sejalan dengan hukum
syara’. Hal ini menunjukkan bahwa maslahhah dapat diperhitungkan oleh
mujtahid dalam menggali hukum serta menetapkan hukum suatu masalah yang tidak
ditemukan hukumnya baik dalam al-Qur’an, sunnah Nabi maupun dalam ijma’. Hanya
saja dalam perkembangan ilmu Ushul Fiqih dengan metode ijtihad istishlahi
dalam pola mashlahah biasanya yang dipermasalahkan adalah adanya
kekuatan hukum atau ketiadaan kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya. Urgensi
kemaslahatan terdapat pada semua bentuk hukum, baik itu hukum-hukum yang
didasarkan atas wahyu seperti hukum Islam maupun hukum-hukum yang didasarkan
bukan dari wahyu walapun penekanan dari masing-masing hukum tersebut berbeda.
Tentunya dengan adanya perbedaan tersebut adalah suatu keistimewaan dalam hukum
Islam itu sendiri. Perbedaan dari keistimewaan itu di antaranya adalah:[29]
1. Pengaruh kemaslahatan dalam hukum
Islam tidak terbatas di dunia tetapi juga berpengaruh dalam kehidupan akhirat,
tentunya ini dikaitkan karena syariat Islam diciptakan untuk kebahagiaan dunia
dan akhirat.
2. Dimensi hukum Islam dengan kemaslahatannya
bersifat materi dan juga immateri (ruhi) terhadap kehidupan manusia. Berbeda
dengan hukum yang tidak didasarkan atas wahyu biasanya bersifat materi saja.
3. Kemaslahatan yang terkandung dalam
hukum Islam merupakan dasar bagi kemaslahatan-kemaslahatan lain. Hal ini
menandakan jika ada pertentangan antara kemaslahatan lain dengan kemaslahatan
agama, maka kemaslahatan agama tidak boleh dikorbankan.
Orientasi
dunia dan ukhrawi memang selalu terkait dalam kemaslahatan agama. Sebagaimana
yang dikatakan al-Syathibi bahwasanya kemashlahatan harus diwujudkan dan
kerusakan yang semestinya harus dihapuskan, menurut ketentuan syariat harus
ditegakkan pada tegaknya kehidupan dunia dan akhirat.[30]
Uraian ini menggambarkan adanya kemaslahatan secara substansial hanya saja
permasalahan akan timbul dalam hal legalitas yang menunjukkan bahwa sesuatu itu
dianggap sebagai sesuatu mashlahah.
Dalam
perspektif kesejarahan hukum Islam, kategori maslahah ini selalu
dikedepankan semacam pemberlakuan pajak terhadap pemilik tanah pertanian dan
pajak penghasilan, pemberlakuan adanya penjara dalam kasus kriminal dan
pencetakan mata uang. Contoh lain yang lebih populer yang pernah terjadi pada
masa khalifah Usman bin Affan yaitu pembukuan mushaf al-Qur’an.[31]
Pemberlakuan
metode maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum mengundang
polemik di kalangan ulama sehingga menimbulkan perbedaan antara yang
menganggapnya sebagai kekuatan hukum atau hujjah dan sebagian ulama yang
menolak penggunaannya sebagai dasar penetapan hukum. Imam al-Syafi’i termasuk
sebagai kelompok yang menolak metode tersebut sebab penggunannya sama dengan
menganggap bahwa Tuhan luput dari membicarakan sebagian dari kemaslahatan
makhlukNya ketika menetapkan hukum.[32]
Sedangkan
Imam Malik, guru Imam al-Syafi’i berbeda dengan pendapat muridnya yang
mempergunakan mashlahah mursalah dalam menetapkan hukum. Imam Malik
berpendapat bahwa metode ini dianggap tidak keluar dari cakupan ketentuan nash
meskipun tidak ada petunjuk nashnya secara khusus, namun sesuai dengan tindakan
syara’ yang dasar hukumnya disimpulkan dari sejumlah nash yang menunjukkan pada
prinsip-prinsip umum dan inilah dalil yang kuat. Imam Malik menetapkan ada tiga
syarat yang harus dipenuhi. Pertama, persesuain antara mashlahah dengan maqasid
al-syari’ah serta tidak ada pertentangan dengan dasar hukum lain. Kedua,
substansinya dari mashlahah itu adalah logis. Ketiga, penggunaan mashlahah
haruslah bertujuan untuk menghilangkan kesempitan dalam kehidupan manusia serta
tidak menyusahkan.[33]
Kedudukan
mashlahah mursalah haruslah selalu dikaitkan dengan maqasid syari’ah
sebab dari analisa antara keduanya dapat melahirkan dampak positif. Di antara
dampaknya ada titik temu perbedaan pendapat ulama, sebab al-Ghazali sebagai
ulama yang bermazhab al-Syafi’i menerima mashlahah mursalah jika di
dalamnya ada pemeliharaan perwujudan tujuan syara’ serta bisa dijadikan hujjah,
maka dalam hal ini tidak perlu diperselisihkan. Apalagi kemaslahatan dalam
pandangan al-Ghazali telah tercakup dalam al-Qur’an dan didasarkan atas
kecenderungan manusia untuk mencari kemaslahatan atas dasar hawa nafsu yang
dalam istilah al-Syafi’i disebut dengan talazzuz (mencari enaknya saja).[34]
Teori
mengenai al-mashlahah al-mursalah bisa diperluas dengan adanya keterkaitan
dengan konsep syariat yang ditujukan pada kepentingan masyarakat dan berfungsi
memberikan kemanfaatan dan menghilangkan kemudaratan. Penegasan akan adanya
keterkaitan dengan maqasid al-syari’ah ini diwujudkan dalam setiap mashlahah
yang tidak ditunjukkan oleh nash secara khusus, akan tetapi hal tersebut bisa
disesuaikan dengan tindakan syara’, maka mashlahah dalam formatnya bisa
dijadikan sebagai dasar hukum. Hanya saja beberapa ulama seperti al-Syatibi,
memberikan batasan peranan al-maslahah al-mursalah dalam mengembangkan
hukum yang sebagian besar terdapat dalam bidang muamalah.[35]
Urgensi
pertimbangan maqasid al-syari’ah akan menjadi jelas dengan penajaman
metode ijtihad al-maslahah al-mursalah sebagai corak dari penalaran istishlahi
dapat dilakukan dengan pemahaman
komprehensif maqasid al-syari’ah itu sendiri.[36]
Metode
lain yang dikembangkan adalah al-zari’ah yang secara etimologi berarti al-wasilah.
Secara terminologi adalah jalan yang menyampaikan kepada sesuatu atau jalan
yang menyampaikan atau membawa kepada keharusan atau kehalalan. Adanya
keterbatasan dalam pendefinisian ini sehingga kalangan ulama ushul merumuskan
dalam bentuk fath al-zari’ah yakni membuka jalan atau media yang kiranya
dapat membawa kepada kemaslahatan dan sad al-zari’ah yaitu menutup dan
menghalangi jalan dan wadahnya yang diduga dapat menimbulkan dan membawa
kerusakan atau mafsadah.
Kalangan
ulama seperti Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah dianggap banyak mempopulerkan metode al-zari’ah
dan hampir ada seratus ayat al-Qur’an dan hadist yang berhubungan dengan
urgensi al-zari’ah untuk dipertimbangkan dalam maqasid al-syari’ah.
Dalam keseluruhan nash dari al-Qur’an dan hadist tidak hanya digunakan oleh
hampir semua ulama dalam berbagai mazhab tetapi lebih dari itu metode
al-zari’ah memiliki landasan-landasan dari dua sumber hukum Islam yaitu
al-Qur’an dan hadis. Metode al-zari’ah mempunyai posisi yang sama dengan
al-mashlahah al-mursalah yang mana perlu dipertajam dan dikaitkan dengan
pemahaman maqasid al-syari’ah sebagai suatu metode penelitian ‘illat
perintah dan ‘illat larangan serta harus dikemukakan lebih mendasar. Al-zari’ah
perlu diberikan penekanan pada dampak suatu tindakan, sabab (kausa) dan dampak
yang ditimbulkannya terhadap musabbab (efek). Tergantung efek tersebut
dikehendaki oleh yang melakukan tindakan kausa ataupun tidak. Kedudukan antara
kausa dan efek adalah sama karena suatu efek timbul dari suatu kausa. Orang
yang melakukan kausa dianggap melakukan efek. Pada dasarnya sabab (kausa) dalam
suatu metode ijtihad atau pengembangan hukum membahas upaya preventif
(pencegahan) dan rekayasa dari suatu sistem dalam mewujudkan maqasid
al-syari’ah. Sebaliknya pertimbangan maqasid al-syari’ah secara
subtansial dan metode dipertajam analisis metode al-zari’ah sebagai
bagian dari corak penalaran istishlahi. Pengembangan lanjut
metode-metode ijtihad dari kalangan ulama yang memproduksi metode ini sebagai
bagian dari corak penalaran istishlahi (al-maslahah al-mursalah
dan al-zari’ah) sangat dimungkinkan dapat berperan besar dalam
memberikan adanya solusi terhadap berbagai masalah-masalah hukum yang
bermunculan dewasa ini apabila diberikan muatan dan pendekatan maqasid
al-syari’ah dalam setiap pembahasannya.
E.
Kesimpulan
Sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Allah. Dalam pandangan
syariah semua orang wajib tunduk pada hukum Allah yang berasal dari wahyu
samawi. Jadi, perumusan hukum Islam tidak lain ialah usaha menemukan kehendak
Allah. Sumber untuk mengetahui kehendak Allah itu adalah al-Quran dan sunnah.
Tujuan utama kedua sumber ajaran itu adalah meletakkan sebuah way of life
yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan sesamanya dan dalam hubungan
dengan Allah. Dengan demikian, adalah tugas kaum Muslimin melalui pemanfaatan
akalnya untuk merealisasikan pedoman-pedoman pokok itu dalam wujud
ketetapan-ketetapan hukum dalam konteks yang berbeda-beda.
Kesimpulan dalam kajian ini, urgensi ijtihad istishlahi dalam
konteks kekinian adalah, bahwa ijtihad istishlahi ini dianggap lebih bisa
menjawab persoalan ummat kontemporer. Alasannya adalah karena ijtihad
istishlahi ini bersentuhan dengan realitas empiris masyarakat, bukan hanya
sekedar mengkaji maksud teks semata.
F.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Abu
Hamid, al-Mustahasfa min ‘Ilmi al-Ushul, Kairo: Dar al-Kutub, 1407 H/
1987 M.
Al-Rabi’ah,
Abdul Aziz ibn Abdurrahman ibn Ali, Adillat al-Tasyri’ al-Mukhatalaf Fi
al-Ihtijaj Biha, Kairo: Mu’assasat al-Risalat, 1399 H/ 1979 M.
Al-Syathibi,
Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1408
H/ 1988 M.
Al-Syaukani, Nail
al-Authar, Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1409 H/ 1989 M.
Al-Tirmidzi,
Muhammad ibn Isa Abu Isa, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Fikr, 1408
H/ 1988 M.
Azhar, Ahmad, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1996.
Baqir,
Haidar (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan, 2005.
Basyir, Ahmad
Azhar, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, Yogyakarta, UII Pres,
1984.
Djamil,
Fathurrahman, Filsafat Hukum dalam Islam, Jakarta: Logos, 1997.
Hamidi, Jazim, Hermeneutika
Hukum; Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interprestasi Teks, Yogyakata: UII
Pres, 2004.
Hanafi, Ahmad, Pengantar
dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989 H.
Khallaf, Abdul
Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Kutub, 1409 H/ 1989 M.
Makhluf, Louis,
al-Munjid, Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H/ 1987 M..
Mu’alim, Amir, dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim
Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2005.
Mubarok, Jaih, Metodologi
Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002.
Munawwir, Ahmad
Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif,
2002.
Salam, Zarkasi
Abdul, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, Yogyakarta: Liberty, 1996.
[2] Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), hal. 348.
[7] Amir Mu’alim
dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII
Press, 2005), hal. 47.
[9] Muhammad ibn
Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1408
H/ 1988 M), juz. 3, hal. 111.
[13] Ahmad Azhar
Basyir, “Pokok-pokok Ijtihad dalam Hukum Islam,” dalam Haidar Baqir
(ed), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2005), hal. 71.
[24] Jazim Hamidi, Hermeneutika
Hukum; Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interprestasi Teks, (Yogyakata: UII
Pres, 2004), hal. 51.
[29] Ahmad Azhar
Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta, UII
Pres, 1984), hal. 32.
[30] Abu Ishaq
al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/
1988 M), juz. 2, hal. 218.
[32] Abdul Aziz ibn Abdurrahman
ibn Ali al-Rabi’ah, Adillat al-Tasyri’ al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha,
(Kairo: Mu’assasat al-Risalat, 1399 H/ 1979 M), hal. 221.
[34] Abu Hamid al-Ghazali,
al-Mustahasfa min ‘Ilmi al-Ushul, (Kairo: Dar al-Kutub, 1407 H/ 1987 M),
hal. 364-367.
[36] Ibid,
hal. 42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar