OLEH MASRIZAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latra Belakang
Sebagaimana diketahui
bahwa dunia Islam di masa lalu banyak menghasilkan tokoh dan pemikir-pemikir
besar yang nama dan karyanya sampai sekarang masih dipakai dan dijadikan
rujukan dalam menghadapi berbagai situasi dan persoalan yang terjadi dalam
konteks kehidupan umat Islam. Salah satunya ialah al-Mawardi. Ia adalah seorang
ahli fiqh khususnya berkaitan dengan fiqh siyasi dan termasuk salah seorang
tokoh yang berpengaruh besar terhadap pemikiran politik Islam. Dalam kitabnya
yang terkenal al-Ahkam as-Sulthaniyah ia banyak memberikan teori-teori politik
yang sampai saat ini masih relevan dan dipakai oleh sebagian umat Islam dalam
mengatur berbagai masalah yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan.
Al-Ahkam
as-Sulthaniyyah demikian terkenalnya dan seringkali dianggap sebagai penjabaran
paling benar dari teori politik Islam khususnya dari kalangan Sunni. Dalam sejarah
Islam kitab ini merupakan risalah pertama yang ditulis dalam bidang ilmu
politik dan administrasi negara secara terperinci. Namun jarang sekali
dilakukan pengkajian yang mendalam tentang buku itu, kenapa buku itu ditulis,
sumber yang digunakan dalam menulis buku itu, serta pengaruhnya terhadap
masanya dan masa berikutnya, adalah hal yang jarang dilihat dan
dipermasalahkan.
Melalui makalah ini
nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan al-Mawardi, baik
tentang riwayat hidupnya, kondisi sosial politik pada masa kehidupannya dan
yang terpenting adalah teori-teori politik dan tata negara yang
dikembangkannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan
yang baik terhadap pemikiran politik al-Mawardi.
B.
Batasan
Masalah.
Oleh karena pemikiran
Al-Mawardi sangat banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran Islam, baik
masalah hukum, social maupun politik, maka pada makalah ini masalah yang
dibahas adalah terbatas pada pemikiran politik Al-Marwadi.
C.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
Riwayat Hidup Al-Mawardi?
2.
Apa sajakah
Karya-karya Al-Mawardi?
3.
Bagaimanakah
Konsep pemikiran Politik Al-Mawardi Tentang Ahlul Ikhtiar dalam Memilih Kepala
Negara?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat
Hidup Al-Mawardi
Nama lengkap
al-Mawardi adalah Abu
Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri.[1] Mawardi dilahirkan di Bashrah pada tahun 364
H. atau 975 M. Panggilan al-Mawardi diberikan kepadanya karena
kecerdasan dan kepandaiannya dalam
berorasi, berdebat,
berargumen dan memiliki ketajaman
analisis terhadap setiap masalah
yang dihadapinya.[2] Sedangkan
julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahirannya. Masa
kecil Mawardi dihabiskan di Baghdad hingga
tumbuh dewasa. Mawardi
merupakan seorang pemikir
Islam yang terkenal pada masanya. Ia juga dikenal sebagai tokoh
terkemuka madzhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada
dinasti Abbasiyah.
Selain sebagai
pemikir dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal sebagai penulis yang sangat
produktif. Banyak karya-karyanya dari berbagai
bidang ilmu seperti
ilmu bahasa, sastra,
tafsir, dan politik. Bahkan ia dikenal sebagai tokoh
Islam pertama yang menggagas tentang teori politik bernegara dalam bingkai
Islam dan orang pertama yang menulis
tentang politik dan
administrasi negara[3] lewat
buku karangannya dalam bidang politik yang sangat prestisius yang
berjudul “Al-Ahkam al-Sulthaniyah”..
Al-Mawardi pada
awalnya menuntut ilmu di Basrah. Ketika itu Basrah termasuk salah satu pusat
pendidikan dan ilmu pengetahuan di wilayah Islam. Namun al-Mawardi masih belum
puas dengan ilmu yang dimilikinya, hingga akhirnya ia melanjutkan studinya di
Baghdad di Universitas al-Za’farani. Selanjutnya ia mengembara ke berbagai
daerah, tetapi pada akhirnya kota Baghdad dipilihnya sebagai tempat tinggal dan
mengajar di sana beberapa tahun. Di kota ini pula ia menghabiskan waktunya
untuk menulis sejumlah buku dalam berbagai bidang.
Selain mendapat
pendidikan di perguruan tinggi, ia masih belum merasa puas dengan ilmu yang
dimilikinya. Ia kemudian mempelajari berbagai disiplin keilmuan dari beberapa
ulama terkemuka di Baghdad khususnya berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Di
antara gurunya ialah al-Hasan ibn Ali al-Hambali, Ja’far ibn Muhammad ibn al-Fadhl
al-Baghdadi, dan Abu Hamid al-Isfirayini. Gurunya yang disebut terakhir ini
amat berpengaruh pada diri al-Mawardi dan padanya ia mendalami mazhab Syafi’i
dalam kuliah rutin yang diadakan di sebuah masjid yang terkenal dengan nama
Masjid Abdullah ibn al-Mubarak di Baghdad. Sedangkan teologi yang dianut
al-Mawardi adalah teologi Sunni. Karena gurunya kebanyakan dari golongan Sunni,
maka corak pemikirannya mengarah ke Sunni.
Al-Mawardi belajar
fiqh dari ulama terkemuka di Basrah yaitu Syekh ash-Shaimiri dan Syekh Abu
Hamid (keduanya ahli hukum Islam). Sejak kecil ia sangat senang mendalami fiqh
khususnya yang berkaitan dengan fiqh siyasi (tata negara dan pemerintahan
Islam),[4] setelah dewasa ia menjadi
Kadi yang terkenal (karena sering berpindah-pindah) pada masa pemerintahan
Abbasiyah, al-Qadir (berkuasa 381 H/991 M-423 H/1031 M1). Karir al-Mawardi
meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu menjadi hakim agung
(Qadi al-Qudat), penasehat raja atau khalifah di bidang agama (hukum Islam) dan
pemerintahan.
Pada masa
pemerintahan khalifah al-Qadir, ia diberi kehormatan dan diangkat menjadi duta
keliling yang diutus dalam berbagai misi diplomatik ke negara-negara tetangga.
Ia memiliki pengaruh besar dalam menjaga dan memelihara wibawa khalifah al-Qadir
di Baghdad yang merosot di tengah-tengah para raja dari Bani Saljuk dan Bani
Buwaihi yang ketika itu hampir sepenuhnya berdiri sendiri.
Al-Mawardi di
kemudian hari terkenal dengan karena pemikiran politik melalui bukunya yang
berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyyah yang dianggap sebagai buku pertama yang
disusun khusus tentang pemikiran politik Islam. Karya ini antara lain telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis. Selain dari al-Ahkam
as-Sulthaniyyah, terdapat beberapa karyanya tentang politik Islam, antara lain:
Qawanin al-Wizarah (Ketentuan-Ketentuan Kewaziran/Kementerian), Siyasah al-Mulk
(Strategi Kepemimpinan Raja), Adab ad-Dunya wa ad-Din (Tata Krama Kehidupan
Politik/Duniawi dan Agamawi), Kitab al-Hawi (Yang Terhimpun), dan al-Iqna’ (Keikhlasan)
Berkaitan dengan sumber dan keterbatasan dalam menemukan buku-buku politik
al-Mawardi lainnya, maka dalam makalah ini hanya akan mengungkapkan
pemikiran-pemikiran politik al-Mawardi yang terdapat dalam kitab
al-Ahkamas-Sulthaniyyah.
B.
Karir politik al-Mawardi
Al-Mawardi hidup
ketika kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah sedang mengalami berbagai
gejolak dan disintegrasi. Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu,
khalifah-khalifah Abbasiyah benar-benar dalam keadaan lemah dan tidak berdaya.[5] Kekuasaannya hanya
merupakan formalitas, sedangkan kekuasaan riil berada di tangan Bani Buwaihi
dan orang-orang Turki. Awal kemunduran dari politik Bani Abbas adalah ketika
al-Mutawakkil berkuasa. Al-Mutawakkil adalah khalifah yang lemah. Pada masa
pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaannya dengan cepat.
Setelah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah.
Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun
mereka tetap memegang jabatan khalifah.
Situasi politik di
dunia Islam pada masa Al-Mawardi, yakni menjelang akhir abad X sampai
pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari masa al-Farabi, dan bahkan lebih
parah. Kedudukan khalifah mulai melemah dan dia harus membagi kekuasaannya
dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia. Mulai tampak
pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang demikian luas wilayahnya
harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada waktu itu khalifah di
Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan formal saja,
sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana pemerintahan adalah
pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima berkebangsaan Turki atau Persia,
serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama kekuasaan para pejabat
tinggi dan panglima non-Arab itu makin meningkat, sampai waktu itu belum tampak
adanya usaha di pihak mereka untuk mengganti khalifah Arab itu dengan Khalifah
yang berkebangsaan Turki atau Persia.
Namun demikian mulai
terdengar tuntutan dari sementara golongan agar jabatan itu dapat diisi oleh
orang non-Arab dan tidak suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana dapat
diperkirakan menimbulkan reaksi dari golongan lain, khususnya dari golongan
Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan
kepala negara, serta syarat kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat
wazir atau tawfidh atau penasehat dan pembantu utama khalifah dalam menyusun
kebijaksanaan. Mawardi adalah salah satu tokoh utama dari golongan terakhir
ini.
Apabila diperhatikan
pendahuluan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karangan al-Mawardi, terlihat bahwa
karya itu ditulis atas permintaan seorang yang berkuasa. Besar kemungkinan
orang yang memintanya itu adalah khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu.
Motifnya barangkali adalah untuk mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah
yang berada di tangan golongan Sunni, yaitu kekuasaan Bani Abbas. Maka tidak
mengherankan bila al-Mawardi tidak dapat menerima adanya dua orang kepala
pemerintahan yang berkuasa dalam satu waktu di dunia Islam. Motif penolakan ini
secara implisit untuk menentang pemerintahan bani Fathimiyah yang pada saat itu
berkuasa di Mesir. Ia menilainya sebagai kekuatan politik yang berbahaya
terhadap kekuasaan bani Abbasiyah di Baghdad.
Sebagai reaksi
terhadap situasi politik pada zamannya maka al-Mawardi mendasarkan teori
politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan
saran-saran perbaikan atau reformasi misalnya dengan mempertahankan status quo.
Dia menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy,
bahwa wazir tafwidh (pembantu utama khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan)
harus berbangsa Arab, dan perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan
kepala negara serta jabatan-jabatan pembantunya yang penting. Alasan utamanya
tak lain adalah mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah Abbasiyah.
Untuk mensiasati
masa-masa sulit yang penuh dengan kekacauan ini, pada tahun 429 H. khalifah
al-Qadir mengumpulkan empat orang ahli hukum yang mewakili empat madzhab fiqih
untuk menyusun ikhtisar. Di
antaranya, Mawardi yang
dipilih untuk mewakili madzhab
Syafi’i dan menulis
kitab al-Iqna’. Al-Quduri dipilih untuk mewakili Madzhab
Hanafi dan menulis kitab al- Mukhtasyar, sedangkan dua kitab lainnya tidak
begitu penting, dan Mawardi
mendapat pengakuan dari
khalifah atas karyanya
yang terbaik. Untuk menghargai
jasanya itu, Mawardi diangkat
sebagai Aqdi al-Quddah (Hakim Agung) setelah menjadi hakim di beberapa
daerah.[6] Pengangkatan tersebut mendapat kritikan dan memunculkan keberatan oleh beberapa
ahli hukum terkemuka seperti at-Thayib al-Thabari dan al-Sinsari yang
menyatakan, bahwa tak seorangpun
berhak atas posisi itu kecuali
Allah. Namun Mawardi tidak menghiraukan keberatan itu dan
tetap mempertahankan pengangkatannya sebagai Aqdi al-Quddah dengan alasan bahwa
para ahli hukum yang sama sebelumnya
telah mengakui gelar al-Muluk al-A'zam
(Raja Agung) bagi
Jalal ad-Daulah, seorang
pemimpin kaum Buwaiyah, meskipun Mawardi sendiri tidak mengakui secara positif
kemegahan gelar tersebut.[7]
Selain faktor suhu
politik dan kondisi sosial, karakter pemikiran Mawardi juga
terinspirasi oleh tokoh-tokoh
klasik abad sebelum
masehi, seperti Plato dan
Aristoteles serta periode
Islam klasik seperti
ibnu Abi Rabi. Hal
ini terungkap dalam
teori proses terbentuknya negara. Sebagaimana plato,
Aristoteles juga mengatakan,
“the people is
zoon
politicon” artinya manusai
sebagai makhluk politik yang mempunyai kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya. Sedangkan
Abi Rabi berpendapat, bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa
hidup tanpa bantuan orang lain,
sehingga mereka saling
memerlukan, membantu, berkumpul dan
menetap di suatu
tempat.[8] Begitu
juga Mawardi yang berpendapat, untuk memenuhi kebutuhan
sosial, menciptakan ketenteraman dan keseimbangan dalam kehidupan, maka manusia
atau masyarakat harus mendirikan negara dan mengangkat seorang kepala negara.
Namun Mawardi memasukkan
nilai-nilai syari’at dalam
teorinya tersebut.[9] Di
antara beberapa pengaruh tersebut,
yang paling besar adalah situasi dan kondisi pada masa itu.
C. Karya-karya
Al-Mawardi
Al-Mawardi merupakan
penulis yang sangat produktif. Kesibukannya sebagai hakim tidak menyurutkan
produktifitasnya untuk berkarya. Bahkan disela-sela tugasnya sebagai hakim yang
harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia masih bisa mengajar
dan membimbing para muridnya di samping menulis buku. Menurut sejarah, masih
banyak buku karangannya yang belum ditemukan yang ia simpan dan hanya beberapa
buku saja yang ditemukan oleh muridnya dari
buku-buku yang ia sebutkan.[10]
Adapun karya-karyanya yang
ditemukan dari berbagai
cabang ilmu dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain:
a.
Al-Hawi
al-Kabir[11]
b.
An-Nukat wa
al-Uyuni[12]
c.
Adab al-Qadi
d.
An-Nawawi
e.
Al-Amtsal wa
al-Din f. A’lam an-Nubuwah g. Qunun al-Wizarat
f.
Siyasat
al-Malik
g.
Adab ad-Dunya
wa al-Din[13]
h.
Al-Iqna
i.
Dan al-Ahkam
al-Sulthaniyah[14]
D. Konsep pemikiran
Politik Al-Mawardi.
1. KonsepAl-Mawardi
tentang Imamah (Pemimpin)
Mayoritas ulama abad
pertengahan dan pakar politik Islam
sepakat bahwa mengangkat kepala negara merupakan kewajiban bagi umat Islam
dalam komunitasnya. Secara implisit Allah banyak menyinggung dalam beberapa
ayat al-Qur’an tentang pentingnya
mengangkat seorang pemimpin. Meskipun demikian Islam tidak
memberikan aturan baku bagaimana proses pemilihan dan pengangkatan seorang
kepala negara, dan Nabipun tidak memberikan rambu-rambu yang jelas tentang
kepemimpinan bagi generasisesudahnya.
Akan tetapi beliau menyerahkan kepada umatnya secara musyawarah untuk memilih
orang yang mereka kehendaki.[15]
Fakta sejarah
politik Islam membuktikan,
proses pengangkatan kepala negara
setelah wafatnya Nabi Muhammad, yang dimulai dari Abu Bakar sebagai khalifah
pertama mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini
dapat dilihat dari
proses pemilihan dan
pembaiatan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad melalui
musyawarah, meskipun terjadi perdebatan yang sengit antara kelompok Muhajirin
dan kelompok Ansor.[16]
Kemudian terpilihnya
Umar Ibn Khaththab sebagai amirul mukminin setelah Abu Bakar melalui mandat
yang diberikan oleh Abu Bakar kepada Umar Ibn Khaththab. Sedangkan pemilihan
Usman Ibn Affan sebagai pengganti Umar Ibn Khaththab melalui
musyawarah ahlul halli wal aqdi
(dewan pemilih) yang ditunjuk oleh Umar.[17] Sementara Ali Ibn Abi
Thallib diangkat menjadi khalifah atas desakan para pengikutnya setelah melalui
pertikaian dan perebutan kekuasaan dengan Muawiyyah. Adapun kekhalifahan
Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan,
tipu daya dan
pemberontakan.[18] Kemudian ketika Muawiyyah akan turun tahta,
ia mengumumkan penggantinya kepada putaranya
(Yazid).[19] Sejak
itu pula sistem
pengangkatan kepala Negara dilakukan secara
turun temurun (memberikan
mandat kepada putra mahkota).
Imamah (Kepemimpinan)
Pada bagian awal dari kitabnya al-Mawardi menyebutkan bahwa imamah/
kekhilafahan dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan
agama dan mengatur kehidupan dunia. Yang di maksudkan oleh al-Mawardi dengan
Imam adalah khalifah, raja, sulthan atau kepala negara. Dalam hal ini Mawardi
memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju
politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai
pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat
politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan
di lain pihak pemimpin politik. Dalam teorinya al-Mawardi tidak mendikotomikan
antara pemimpin politik dan pemimpin agama. Sejarah juga telah menunjukkan
bahwa Rasulullah saw ketika memimpin negara Madinah selain sebagai pembawa
ajaran Tuhan, juga sebagai pemimpin negara.
Dari sini
Mawardi mencoba memberikan
solusi untuk mengurangi otoritas
kepala negara dan upaya menciptakan nuansa politik yang lebih demokratis dengan
menciptakan blue print tentang prosedur
pengangkatan kepala negara. Menurut
Mawardi, untuk memilih
dan mengangkat kepala negara
dapat dilakukan denga dua cara, yaitu; pertama, denga cara dipilih oleh
ahlul-halli wal-aqdi, kedua,
dengan pemberian (penyerahan)
mandat dari kepala negara terdahulu (sebelumnya).
2. Persidangan Ahlul Halli wal Aqdi Untuk
Memilih dan Mengangkat Kepala Negara
a. Pengertian ahlul halli wal aqdi
Secara fungsianoal,
dewan perwakilan umat yang pada gilirannya disebut ahlul halli wal aqdi, telah
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad ketika memimpin pemerintahan di Madinah. Nabi
Muhammad telah meletakkan landasan filosofis sistem pemerintahan yang memiliki
corak demokratis. Hal ini tampak ketika Muhammad dalam memimpin
negara Madinah, menghadapi
persoalan yang bersifat duniawi
dan menyangkut kepentingan umat yang mengharuskan melibatkan
para sahabat untuk
memecahkan persoalan
tersebut. Meskipun secara
kelembagaan dewan tersebut tidak terornagisir
dan tidak terstruktur, namun
keberadaan mereka sangat penting
dalam pemerintahan Islam yang selalu diajak bermusyawarah oleh Nabi ketika beliau menghadapi masalah yang tidak ada
petunjukanya dalam al-Qur'an.
Sedangkan keanggotaan mereka
tidak melalui pemilihan secara seremonial, tetapi melalui seleksi alam. Mereka
adalah para sahabat yang dipercaya oleh umat sebagai wakil mereka yang selalu
diajak untuk bermusyawarah oleh Muhammad.
Karena Islam
merupakan gerakan ideologis, maka fenomena yang melekat pada gerakan tersebut
adalah bahwa orang-orang yang pertama ikut dalam gerakan tersebut dan
orang-orang yang berjasa atas gerakan yang dilancarkan oleh Muhammad
untuk ekspan dan menyebarkan ajaran Islam, dianggap sebagai sahabat
sejati dan sekaligus sebagai penasehat Muhammad. Oleh karena itu, pemilihan ini
tidak melalui pemilihan secara formal atau melalui pemungutan suara, tetapi
secara alami melalui ujian praktek dan pengorbanan mereka terhadap
gerakan Islam. Dengan
demikian, dewan perwakilan umat
tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok orang-orang yang pertama
masuk Islam yang setia mendampingi Muhammad,
dan kelompok orang-orang yang
memiliki jasa besar dengan wawasan
dan kemampuan mereka.[20] Inilah fenomena yang diyakini oleh para
politikus Islam sebagai embrio lahirnya dewan perwakilan rakyat
atau ahlul halli
wal aqdi dalam
pemerintahan Islam. Istilah ahlul halli wal aqdi barasal dari tiga suku
kata, yaitu ahlun, hallun dan
aqdun. Dalam kamus
bahasa arab kata mempunyai arti
ahli atau keluarga,
sedangkan kata ﱠﻞﺣَ berarti membuka atau menguraikan,[21] sedangkan َﺪَﻗَا
memiliki
arti mengikat atau
ٌﺪﻗْ اَ berarti kesepakatan.[22] Dari ketiga suku kata tersebut dapat dirangkai
menjadi sebuah kata (istilah) yang mempunyai arti "orang- orang yang
mempunyai wewenang melonggarkan dan mengikat."[23]
Dalam terminologi
politik ahlul halli wal aqdi adalah dewan perwakilan (lembaga legislatif)
sebagai representasi dari seluruh masyarakat (rakyat) yang akan memilih kepala
negara serta menampung dan melaksanakan aspirasi rakyat.
Dalam hal ini,
Mawardi mendefinisikan ahlul halli wal aqdi sebagai kelompok
orang yang dipilih
oleh kepala negara
untuk memilih kepala negara yang akan menggantikan kepala negara yang
lama.[24] Namun Mawardi tidak menjelaskan tentang
unsur-unsur dari ahlul halli wal aqdi.
Abdul Karim Zaidan
berpendapat, ahlul halli wal aqdi adalah orang orang yang berkecimpung langsung
dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada
mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakilnya karena
ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan kejernihan pikiran serta kegigihan mereka di
dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.[25]
Sedangkan menurut Imam an-Nawawi, ahlul halli wal aqdi ialah para
ulama, pemimpin, pemuka
rakyat yang mudah dikumpulkan untuk memimpin umat dan
mewakili kepentingan- kepentingannya.[26] Beberapa
ulama yang lain
memberikan istilah ahlul halli
wal aqdi dengan sebutan ahlul ikhtiyar, yaitu orang-orang yang memiliki
kompetensi untuk memilih.[27]
Muhammad Abduh
berpendapat, bahwa ahlul halli wal aqdi sama dengan ulil amri,[28] Lebih lanjut Abduh
menjelaskan dengan lebih rinci beserta
unsur-unsurnya dengan mengatakan, "Ahlul halli wal aqdi terdiri dari
para amir, para
hakim, para ulama,
para pemimpin militer,
dan semua pimpinan yang
dijadikan rujukan oleh umat dalam
masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik."[29]
Pendapat yang sama di
sampaikan oleh Rasyid Ridha, ia mengatakan bahwa ulil amri adalah ahlul halli
wal awdi yang terdiri dari para ulama, para pimpinan militer, para pemimpin
pekerja untuk kemaslahatan publik seperti
pedagang, tukang, petani,
para tokoh wartawan.[30] Al-Razi juga menyamakan
pengertian ahlul halli wal aqdi dengan ulil amri. Demikian juga al-Maraghi yang
berpendapat sama dengan Abduh dan Ridha.[31]
3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
anggota ahlul halli wal aqdi
Cara Pemilihan atau
Seleksi Imam Al-Mawardi mengemukakan pendapatnya tentang pemerintahan terbentuk
melalui dua kelompok. Pertama ahl al-ikhtiyar yaitu mereka yang berwenang untuk
memilih imam bagi umat. Dan kedua, ahl al-imamah yaitu mereka yang berhak
memangku jabatan kepala pemerintahan. Bagi ahl al-ikhtiyar padanya harus
memiliki tiga syarat:
a)
memiliki sikap
adil
b)
Memiliki ilmu
pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat
untuk diangkat menjadi imam.
c)
Bijaksana dan
idealis dalam menentukan pilihannya, siapa yang lebih pantas dan terbilang
jujur dalam memimpin umat Islam. Namun siapa yang berhak menjadi anggota ahl
al-ikhtiyar dan bagaimana cara rekrutmen anggota tersebut tidak dijelaskan
lebih jauh oleh Mawardi.[32]
Dalam perkembangan
sejarah selanjutnya, ahl al-ikhtiyar atau ahl al-hall wa al-‘aqd bahkan berada
dibawah pengaruh kepala negara, karena kepala negaralah yang mengangkat mereka.
Oleh karenanya, mereka cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan. ahl
al-hall wa al-‘aqd tidak lebih hanya sekedar alat legitimasi ambisi politik penguasa
atas tindak tanduknya. Karena dipilih oleh penguasa, ahl al-hall wa al-‘aqd
tidak mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Keberadaannya tidak banyak
membawa perubahan kembali ke tradisi syura yang efektif berjalan hanya selama
masa al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Ahl al-imamah sebagai
orang yang berhak menjadi pemimpin, menurut Mawardi harus memiliki tujuh
syarat:
a)
Sikap adil
dengan segala persyaratannya
b)
Memiliki ilmu
pengetahuan yang memadai untuk berijtihad
c)
Sehat
pendengaran, pengelihatan, dan lisannya
d)
Utuh
anggota-anggota tubuhnya
e)
memiliki
wawasan yang baik untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan
umum
f)
Keberanian
yang memadai untuk melindungi rakyat dan menghadapi musuh
g)
Keturunan
Quraisy. [33]
Dalam mengangkat
kepala pemerintahan terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan yang dilakukan
oleh sekelompok orang yang duduk dalam ahl al-halli wa al-‘aqdi atau ahl
al-ikhtiyar yakni para ulama cendikiawan dan pemuka masyarakat. Kedua, dengan
cara penunjukkan atau wasiat oleh kepala pemerintahan yang sedang berkuasa.
Kalau pengangkatan melalui pemilihan, terdapat perbedaan pendapat antara para
ulama tentang jumlah peserta dalam pemilihan itu.
Metode untuk
mengankat khalifah adalah baiat. Adapun tata cara praktis untuk mengangkat dan
membaiat khalifah adalah sebagai berikut:
a)
Mahkamah
Mazhalim mengumumkan kekosongan jabatan khalifah.
b)
Amir sementara
melaksanakan tugasnya dan mengumumkan dibukanya pintu pencalonan seketika itu.
c)
Penerimaan
pencalonan para calon yang memenuhi syara-syarat in’iqad dan penolakan
pencalonan mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat in’iqad ditetapkan oleh
Mahkamah Mazhalim.
d)
Para calon
yang pencalonan nya diterima oleh Mahkamah Mazhalim dilakukan pembatasan oleh
anggota Majelis Umah yang Muslim dalam dua kali pembatasan. Pertama dipilih
enam yang Muslim dari para calon menurut suara terbanyak. Kedua, dipilih dua
orang dari enam calon itu dengan suara terbanyak.
e)
Nama kedua
calon tersebut diumumkan. Kaum Muslim diminta untuk memilih satu dari kedua
nya.
f)
Hasil
pemilihan diumumkan dan kaum Muslim diberitahu siapa calon yang mendapatkan
suara terbanyak.
g)
Kaum Muslim
langsung membaiat calon yang mendapat suara terbanyak sebagai Khalifah bagi
kaum Muslim untuk melaksanakan Kitabullah dan Sunah Rasulnya.
h)
Setelah proses
baiat selesai, khalifah kaum Muslim diumumkan keseluruh penjuru sehingga sampai
kepada umat seluruhnya. Pengumuman itu disertai penyebutan nama khalifah dan
bahwa ia memenuhi sifat-sifat yang menjadikannya berhak untuk menjabat
khilafah.
i)
Setelah proses
pengangkatan khalifah yang baru selesai, masa sementara amir berakhir.[34]
Menurut Mawardi,
mengapa pengangkatan imam atau khalifah dapat dilakukan dengan penunjukan atau
wasiat oleh imam yang sebelumnya, dasarnya yang pertama adalah karena Umar bin
Khattab menjadi khalifah melalui penunjukkan oleh pendahulunya, yaitu Abu
Bakar. Demikian pula halnya Usman. Enam anggota “dewan formatur” yang
memilihnya sebagai khalifah adalah ditunjuk oleh pendahulunya, Umar bin
Khattab. Dalam hal pengangkatan imam melalui penunjukkan atau wasiat oleh imam
yang berkuasa, al-Mawardi menyatakan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya,
seorang imam harus berusaha agar yang ditunjuknya itu benar-benar berhak untuk
mendapatkan kepercayaan dan kehormatan yang tinggi dan orang yang betul-betul
paling memenuhi syarat.
Kalau yang ditunjuk
sebagai calon pengganti itu bukan anak atau ayah sendiri, maka terdapat
perbedaan pendapat, yaitu apakah imam boleh melaksanakan bai’at sendiri atau
tidak. Sekelompok ulama berpendapat tidak boleh tidak dibenarkan imam seorang
diri melaksanakan bai’at anak atau ayahnya sendiri. Dia harus bermusyawarah
dengan ahl al-ikhtiyar dan mengikuti nasehat mereka. Kelompok ulama kedua
mengemukakan bahwa imam seorang diri berhak melaksanakan bai’at kepada anak
atau ayahnya sendiri sebagai putra mahkota. Bukankah dia waktu itu pemimpin
umat. Sedangkan kelompok yang ketiga berpendapat bahwa kalau yang ditunjuk
sebagai putra mahkota itu ayahnya, imam dapat melaksanakan bai’at seorang diri.
Tetapi tidak demikian halnya kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu
anaknya.
Dari uraian tentang beberapa cara
pengangkatan imam, baik yang melalui pemilihan maupun penunjukkan, al-Mawardi
hanya mengemukakan berbagai pendapat tanpa memberikan preferensi atau pilihannya.
Sikap kehati-hatiannya tersebut didasarkan pada fakta sejarah yang menunjukkan
tidak ditemukannya suatu sistem yang baku tentang pengangkatan kepala negara
yang dapat dikatakan pasti bahwa itulah sistem Islami.
4.
Tentang Wazir.
Al-Mawardi membagi
wazir menjadi dua bentuk, pertama wazir tafwidh, yaitu wazir yang memiliki
kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan
koordinator kepala-kepala departeman. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana
Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki
jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah. Kedua, wazir tanfidz,
yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan
oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri.
Pada masa
pemerintahan al-Mu’tashim, ketika khalifah tidak begitu berkuasa lagi,
wazir-wazir berubah fungsi menjadi tentara pengawal yang terdiri dari
orang-orang Turki. Begitu kuatnya kekuasaan mereka di pusat pemerintahan (Baghdad),
sehingga khalifah hanya menjadi boneka
Mereka dapat
mengangkat dan menjatuhkan khalifah sekehendak hatinya. Panglima tentara
pengawal yang bergelar Amir al-Umara’ atau Sulthan inilah pada dasarnya yang
berkuasa di ibukota pemerintahan. Khalifah-khalifah tunduk pada kemauan mereka
dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun yang menarik, panglima tersebut tidak
berani mengadakan kudeta merebut kursi kekhalifahan dari keluarga Abbasiyyah,
meskipun khalifah sudah lemah dan tidak berdaya. Padahal kesempatan dan
kemampuan untuk itu mereka miliki. Barangkali pandangan Sunni tentang al-Aimmah
min Quraisy (kepemimpinan umat dipegang oleh suku Quraisy) tetap mereka pegang
teguh. Mereka merasa tidak syar’i kalau menjadi khalifah karena bukan termasuk
keturunan Quraisy. Kalau mereka melakukan kudeta merebut kekuasaan, tentu akan
menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka merasa lebih aman
berperan di belakang layar mengendalikan khalifah.
5.
Teori Kontrak
Sosial
Suatu hal yang
menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi adalah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi
wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu merupakan
hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar
sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi
kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karenanya maka imam, selain
berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas penuh dari
mereka, ia sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap
rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola
kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Al-Mawardi
mengemukakan teori kontraknya itu pada abad XI, sedangkan di Eropa teori
kontrak sosial baru muncul untuk pertama kalinya pada abad XVI.
Dalam hal ini
al-Mawardi mengatakan bahwa apabila imam atau kepala negara telah melaksanakan
kewajiban-kewajiban kepada umat, berarti ia telah menunaikan hak Allah
berkenaan dengan hak dan tanggung jawab ummat. Dan saat yang demikian imam
mempunyai dua macam hak terhadap ummat, yaitu hak untuk ditaati dan hak dibela
selama imam tidak menyimpang dari dari garis yang telah ditetapkan.
Sumber kekuasaan
kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara kepala negara dengan
rakyatnya (kontrak sosial). Dari perjanjian itu lahirlah hak dan kewajiban
secara timbal balik antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, rakyat yang
telah memberikan kekuasaan dan sebagian haknya kepada kepala negara berhak
menurunkan kepala negara, bila ia dipandang tidak mampu lagi menjalankan
pemerintahan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Sesuai
dengan teorinya ini, Mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala negara sebagai
sesuatu yang suci. Namun demikian, Mawardi juga menekankan kepatuhan terhadap
kepala negara yang telah dipilih. Kepatuhan ini tidak hanya terhadap kepala
negara yang adil, tetapi juga yang jahat (fajir). Untuk mendukung pernyataan
ini, mawardi mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
Akan ada kelak
pemimpin-pemimpin kamu sesudahku. Di antara mereka ada yang baik dan memimpinmu
dengan kebaikan. Tapi ada juga yang jahat dan memimpinmu dengan kejahatannya.
Dengarkanlah dan patuhilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat
baik, maka kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi kalau mereka berbuat
jahat, maka (akibat baiknya) untuk kamu dan kejahatannya kembali kepada mereka.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pemaparan diatas dapat kita lihat bahwa boleh dikatakan al-Mawardi adalah
seorang yang ahli dalam tata pemerintahan dan merupakan negarawan yang
cemerlang dizamannya. Bahkan idenya banyak dipakai pada abad sekarang oleh
negeri Arab.
Mawardi mencoba
memberikan solusi untuk mengurangi otoritas kepala negara dan upaya
menciptakan nuansa politik yang lebih demokratis dengan menciptakan blue print tentang prosedur pengangkatan
kepala negara. Menurut Mawardi, untuk
memilih dan mengangkat kepala negara dapat dilakukan denga dua cara,
yaitu; pertama, denga cara dipilih oleh ahlul-halli wal-aqdi,
kedua, dengan pemberian
(penyerahan) mandat dari kepala negara
terdahulu (sebelumnya).
Gagasan
ketatanegaraan Mawardi yang sekarang dipakai oleh masyarakat modern adalah ide
tentang kontrak social, yakni hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl
al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak
peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau
persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar
timbal balik. Oleh karenanya maka imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat
dan untuk menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, seperti memberikan
perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan
penuh rasa tanggung jawab.
Demikain makalah ini
di tulis dengan segala keterbatasan, semoga bermanfaat dan kritik serta saran
amat dibutuhkan dalam penyempurnaan tulisn ini sehingga dapat dikonsumsi oleh
khalayak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abul A’la
al-Maududi, The Islamic Law
and Constitutional.
Terj. Asep Hikmat “Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik
Islam”, Bandung: Mizan, Cet. ke-1, 1990.
2. Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2000
3. Dhiauddin
Rais, An-Nazhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj. Abdul Hayyie al-
Kattani “Teori Politik Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1,
2001
4. Hasan
Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami: al-Siyasy wa al-Diny wa al-Tsaqafi wa al-
Ijtima’i,Juz I, Beitur: Dar al-Fikr, 1964
5. Imam
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah. Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, “Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani, 2000.
6. Imam
al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Cet.
ke-1, 1994.
7. J.
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, Cet. ke-5, 2002
8. Khalil
Abdul Karim, Quraisy min al-Qabilah ila ad-Din al-Markaziyyah. Terj. M.
Faisol Fatawi "Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan",
Yogyakarta: LKiS, Cet. ke-1, 2002
9. Mahmud
Yunus, Qamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973.
10. Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarata: UI Press, 1990.
11. Qamaruddin
Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State. Terj. Imron Rosyidi “Kekuasaan,
Pengkhianatan dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori Al-Mawardi Tentang Negara”,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000.
12. Taqiyyuddin
An-Nabhani, Daulah Islam Edisi Mu’tamadah, diterjemahkan oleh Umar
Faruq, (Jakarta: HTI Press, 2002),h.342-348.
[1]
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarata: UI Press, 1990, hlm. 58.
[2]
Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Cet. ke-1,
1994,
hlm. 55.
[3]
Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State. Terj. Imron Rosyidi
“Kekuasaan, Pengkhianatan dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori Al-Mawardi
Tentang Negara”, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000, hlm. 37.
[4]
Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, op. cit., hlm. 57.
[5]
Munawir Sjadzali, loc. cit.
[6]
Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, op. cit., hlm. 36.
[7]
Ibid.
[8]
Munawir Sjadzali, op. cit., hlm. 61
[9]
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah. Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan
dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm. 15.
[10]
Tim penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, loc. cit.
[11]
Al-Hawi al-Kabir merupakan kitab yang terkenal sebagai kitab fiqh paling
lengkap dalam madzhab Imam
Syafi'i. Kitab ini berisi tentang
fiqh yang mencakup
seluruh sendi
[12]
Dalam kitab ini Mawardi melakukan elaborasi, sebuah studi komparatif tafsir
dari beberapa ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an
[13]
Ini adalah kitab monumental yang ditulis oleh Imam al-Mawardi yang bernuansa
tasawuf. Kitab ini berisi tentang manajemen, moralitas dan etika dalam
kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan
dengan agama yang terdiri dari etika dalam bergaul dan hidup bermasyarakat,
etika dalam mencari dan memanfaatkan ilmu, etika dalam agama, tentang akhlaqul
karimah, kejujuran, kearifan, kesabaran, sopan santun, musyawarah dan
lain-lain.
[14]
Al-Ahkam al-Sulthaniyah merupakan kitab prestisius karya al-Mawardi dalam
bidang politik. Kitab ini berisi tentang berbagai persoalan politik dan tata
negara dalam bingkai Islam, di antaranya tentang pengangkatan kepala negara,
pengangkatan menteri, pengangkatan gubernur,pengangkatan pimpinan jihad, kepolisian, kehakiman, imam shalat, pemungutan zakat, harta rampasan perang, jizyah dan kharaj,
hukum dalam otonomi daerah, tanah dan eksplorasi air, tanah yang dilindungi dan
fasilitas umum, hukum iqtha’, administrasi negara, dan tentang
ketentuankriminalitas. Kitab ini yang membuat Mawardi terkenal sebagai political
scientist baik dalam dunia politik maupun akademik. Buku ini mendapat perhatian
besar di dunia barat dan non muslim bahkan sampai ke penjuru dunia hingga saat
ini.
[15]
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami: al-Siyasy wa al-Diny wa al-Tsaqafi wa
al- Ijtima’i,Juz I, Beitur: Dar al-Fikr, 1964, hlm. 428.
[16]
Pengantar Abd. Salam Arief dalam Manouchehr Paydar, loc. cit.
[17]
Ibid., hlm. ix
[18]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2000,
hlm. 42.
[19]
Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, op. cit., hlm. 15.
[20]
Abul A’la al-Maududi, The Islamic
Law and Constitutional. Terj. Asep
Hikmat “Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam”, Bandung: Mizan,
Cet. ke-1, 1990, hlm. 260
[21]
Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973, hlm. 53.
[22]
Ibid., hlm. 275.
[23]
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cet. ke-5, 2002, hlm. 66.
[24]
Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973, hlm. 53.
[25]
J. Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 67.
[26]
Dhiauddin Rais, An-Nazhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj. Abdul Hayyie al-
Kattani “Teori Politik Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2001,
hlm. 178.
[27]
Ibid., hlm. 176
[28]
J. Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 68.
[29]
J. Suyuthi Pulungan, loc. cit.
[30]
Ibid., hlm. 69
[31]
Ibid.,
[32]
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, op. cit.,
hlm. 18
[33]
Ibid., Lihat Juga, Khalil Abdul Karim, Quraisy min al-Qabilah ila ad-Din
al-Markaziyyah. Terj. M. Faisol Fatawi "Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya
dan Kekuasaan", Yogyakarta: LKiS, Cet. ke-1, 2002, hlm. 15
[34]
Taqiyyuddin An-Nabhani, Daulah Islam Edisi Mu’tamadah, diterjemahkan oleh Umar
Faruq, (Jakarta: HTI Press, 2002),h.342-348.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar