TATA CARA MENYEMBELIH HEWAN QURBAN
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum
dan adab seputar penyembelihan hewan, baik itu qurban ataupun yang lain.
A. Hewan sembelihan dinyatakan sah dan halal
dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut:
a. Membaca basmalah
tatkala hendak menyembelih hewan. Dan ini merupakan syarat yang tidak bisa
gugur baik karena sengaja, lupa, ataupun jahil (tidak tahu). Bila dia sengaja
atau lupa atau tidak tahu sehingga tidak membaca basmalah ketika menyembelih,
maka dianggap tidak sah dan hewan tersebut haram dimakan. Ini adalah pendapat
yang rajih dari perbedaan pendapat yang ada. Dasarnya adalah keumuman firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ
اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”
(Al-An’am: 121)
Syarat ini juga berlaku pada penyembelihan
hewan qurban. Dasarnya adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari
(no. 5565) dan Muslim (no. 1966), bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi
bertanduk:
وَيُسَمِّي وَيُكَبِّرُ
“Beliau membaca basmalah dan bertakbir.”
b. Yang menyembelih
adalah orang yang berakal. Adapun orang gila tidak sah sembelihannya walaupun
membaca basmalah, sebab tidak ada niat dan kehendak pada dirinya, dan dia
termasuk yang diangkat pena takdir darinya.
c. Yang menyembelih
harus muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Untuk muslim,
permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab, dasarnya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
وَطَعَامُ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ
حِلٌّ لَكُمْ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (Al-Ma`idah: 5)
Dan yang dimaksud ‘makanan’ ahli kitab
dalam ayat ini adalah sembelihan mereka, sebagaimana penafsiran sebagian salaf.
Pendapat yang rajih menurut mayoritas
ulama, sembelihan ahli kitab dipersyaratkan harus sesuai dengan tata cara
Islam.
Sebagian ulama menyatakan, terkhusus hewan
qurban, tidak boleh disembelih oleh ahli kitab atau diwakilkan kepada ahli
kitab. Sebab qurban adalah amalan ibadah untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, maka tidak sah kecuali dilakukan oleh seorang muslim. Wallahu a’lam.
d. Terpancarnya
darah
Dan ini akan terwujud dengan dua
ketentuan:
1. Alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu
tajam. Tidak boleh dari kuku, tulang, atau gigi. Disyariatkan untuk mengasahnya
terlebih dahulu sebelum menyembelih. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij
radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ
فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا
الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang memancarkan darah dan
disebut nama Allah padanya maka makanlah. Tidak boleh dari gigi dan kuku.
Adapun gigi, itu adalah tulang. Adapun kuku adalah pisau (alat menyembelih)
orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5498 dan Muslim no. 1968)
Juga perintah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika hendak menyembelih
hewan qurban:
يَا عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ. ثُمَّ
قَالَ: اشْحَذِيْهَا بِحَجَرٍ
“Wahai ‘Aisyah, ambilkanlah alat
sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi: “Asahlah alat itu dengan batu.” (HR.
Muslim no. 1967)
2. Dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal
yang meliputi tenggorokan. Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus
disembelih menurut pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat
tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat kematian hewan tersebut.
Faedah
Pada bagian leher hewan ada 4 hal:
1-2. Al-Wadjan, yaitu dua urat tebal yang
meliputi tenggorokan
3. Al-Hulqum yaitu tempat pernafasan.
4. Al-Mari`, yaitu tempat makanan dan
minuman.
Rincian hukumnya terkait dengan
penyembelihan adalah:
- Bila
terputus semua maka itu lebih afdhal.
- Bila
terputus al-wadjan dan al-hulqum maka sah.
- Bila
terputus al-wadjan dan al-mari` maka sah.
- Bila
terputus al-wadjan saja maka sah.
- Bila terputus al-hulqum dan al-mari`, terjadi perbedaan pendapat.
Yang rajih adalah tidak sah.
- Bila
terputus al-hulqum saja maka tidak sah.
- Bila
terputus al-mari` saja maka tidak sah.
- Bila
terputus salah satu dari al-wadjan saja, maka tidak sah. (Syarh Bulugh,
6/52-53)
B. Merebahkan hewan
tersebut dan meletakkan kaki pada rusuk lehernya, agar hewan tersebut tidak
meronta hebat dan juga lebih menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, tentang tata cara penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا
“Dan beliau meletakkan kakinya pada rusuk
kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ
“Lalu beliau rebahkan kambing tersebut
kemudian menyembelihnya.”
C. Disunnahkan bertakbir ketika hendak menyembelih
qurban, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu di atas, dan
diucapkan setelah basmalah.
D. Bila
dia mengucapkan:
بِسْمِكَ اللَّهُمَّ أَذْبَحُ
“Dengan nama-Mu ya Allah, aku menyembelih”,
maka sah, karena sama dengan basmalah.
E. Bila dia menyebut nama-nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala selain Allah, maka hukumnya dirinci.
a. Bila nama tersebut
khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak boleh untuk makhluk, seperti
Ar-Rahman, Al-Hayyul Qayyum, Al-Khaliq, Ar-Razzaq, maka sah.
b. Bila nama tersebut juga bisa dipakai oleh
makhluk, seperti Al-‘Aziz, Ar-Rahim, Ar-Ra`uf, maka tidak sah.
F. Tidak disyariatkan
bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sebab
tidak ada perintah dan contohnya dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
maupun para sahabatnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/408)
G. Berwudhu sebelum menyembelih qurban adalah
kebid’ahan, sebab tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan salaf.
Namun bila hal tersebut terjadi, maka
sembelihannya sah dan halal dimakan, selama terpenuhi ketentuan-ketentuan di
atas.
H. Diperbolehkan berdoa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala agar sembelihannya diterima oleh-Nya. Sebagaimana tindakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ
مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, terimalah (sembelihan ini) dari
Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” (HR. Muslim no. 1967, dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
I. Tidak diperbolehkan
melafadzkan niat, sebab tempatnya di dalam hati menurut kesepakatan ulama.
Namun dia boleh mengucapkan:
اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ فُلاَنِ
“Ya Allah, sembelihan ini dari Fulan.”
Dan ucapan tersebut tidak termasuk
melafadzkan niat.
J. Yang afdhal adalah men-dzabh (menyembelih)
sapi dan kambing. Adapun unta maka yang afdhal adalah dengan nahr, yaitu
disembelih dalam keadaan berdiri dan terikat tangan unta yang sebelah kiri,
lalu ditusuk di bagian wahdah antara pangkal leher dan dada.
Diriwayatkan dari Ziyad bin Jubair, dia
berkata: Saya pernah melihat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mendatangi
seseorang yang menambatkan untanya untuk disembelih dalam keadaan menderum.
Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata:
ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً، سُنَّةُ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bangkitkan untamu dalam keadaan berdiri
dan terikat, (ini) adalah Sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR.
Al-Bukhari no. 1713 dan Muslim no. 1320/358)
Bila terjadi sebaliknya, yakni me-nahr
kambing dan sapi serta men-dzabh unta, maka sah dan halal dimakan menurut
pendapat jumhur. Sebab tidak keluar dari tempat penyembelihannya.
K. Tidak disyaratkan menghadapkan hewan ke kiblat,
sebab haditsnya mengandung kelemahan.
Dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu
‘Ayyasy Al-Mu’afiri, dia majhul. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.
2795) dan Ibnu Majah (no. 3121).
L. Termasuk kebid’ahan adalah melumuri jidat
dengan darah hewan qurban setelah selesai penyembelihan, karena tidak ada
contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salaf. (Fatwa
Al-Lajnah, 11/432-433, no. fatwa 6667)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar