HUKUM-HUKUM SEPUTAR
QURBAN
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum
secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk melengkapi pembahasan
sebelumnya:
1) Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban
dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌ
dengan dua hal:
a. dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan
qurban)
b. dengan tindakan, dan ini dengan dua
cara:
1. Taqlid yaitu
diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah (tempat air yang
menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher hewan. Ini berlaku
untuk unta, sapi dan kambing.
2. Isy’ar yaitu
disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya
berlaku untuk unta dan sapi saja.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, dia berkata:
فَتَلْتُ قَلاَئِدَ بُدْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا
“Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta
Rasulullah dengan kedua tanganku. Lalu beliau isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR.
Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362)
Kedua tindakan ini khusus pada hewan
hadyu, sedangkan qurban cukup dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau
hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai
hewan qurban. Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum bila hewan tersebut
telah di-ta’yin sebagai hewan qurban:
2) Diperbolehkan
menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak
memudaratkannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat seseorang menuntun unta (qurban/hadyu) maka beliau bersabda:
ارْكَبْهَا
“Tunggangi unta itu.” (HR. Al-Bukhari no.
1689 dan Muslim no. 1322/3717)
Juga datang dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu (Al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhuma (HR. Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
ارْكَبْهَا بِالْمَعْرُوْفِ إِذَا
أُلْجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا
“Naikilah unta itu dengan cara yang baik
bila engkau membutuhkannya hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).”
3) Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan
tersebut sebelum/setelah disembelih selain menungganginya, seperti:
a. mencukur bulu hewan
tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya
terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b. Meminum susunya, dengan ketentuan tidak
memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang
hewan.
c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan
sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
d. Memanfaatkan
kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi kemanfaatan yang
lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ
شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu
unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak
padanya.” (Al-Hajj: 36)
4) Tidak diperbolehkan
menjual hewan tersebut atau menghibahkannya kecuali bila ingin menggantinya
dengan hewan yang lebih baik. Begitu pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali
setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya.
5) Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan
tersebut atau apapun yang ada padanya, namun untuk dishadaqahkan atau
dimanfaatkan.
6) Tidak diperbolehkan
memberikan upah dari hewan tersebut apapun bentuknya kepada tukang sembelih.
Namun bila diberi dalam bentuk uang atau sebagian dari hewan tersebut sebagai
shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka diperbolehkan.
Dalil dari beberapa perkara di atas adalah
hadits Ali bin Abi Tahlib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
أَمَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُوْمَهَا
وَجُلُوْدَهَا وَجِلاَلَهَا عَلَى الْمَسَاكِيْنِ وَلاَ أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا
شَيْئًا مِنْهَا
“Nabi memerintahkan aku untuk menangani
(penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya
kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai
(upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)
7) Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah
di-ta’yin (diresmikan sebagai hewan qurban) maka dirinci:
- Bila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, maka disembelih
sebagai shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i.
- Bila cacatnya ringan maka tidak ada masalah.
- Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia
harus mengganti yang semisal atau yang lebih baik
- Bila cacatnya bukan
karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada kewajiban mengganti, sebab hukum
asal berqurban adalah sunnah.
8) Bila hewan tersebut
hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka tidak ada kewajiban
apa-apa atas sang pemilik. Kecuali bila hal itu terjadi karena kesalahannya maka
dia harus menggantinya.
9) Bila hewan yang lari
atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal sang pemilik sudah membeli
gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia hewan ganti tersebut sebagi
qurban. Sedangkan hewan yang ketemu tersebut tidak boleh dijual namun
disembelih, sebab hewan tersebut telah di-ta’yin.
10) Bila hewan tersebut
mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih ibunya untuk menghalalkannya
dan janinnya. Namun bila hewan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih,
maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Sembelihan janin (cukup) dengan
sembelihan ibunya.”
Hadits ini datang dari banyak sahabat,
lihat perinciannya dalam Irwa`ul Ghalil (8/172, no. 2539) dan Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya.
11) Adapun bila hewan
tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk menjualnya,
menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk diambil daging dan
lainnya, layaknya hewan biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar