Bolehkah
Menjual Kulit Hewan Qurban?
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ
الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah."
(QS. Al-Kautsar: 1-2)
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, berkata:
"NabiShallallahu
'Alaihi Wasallam menyembelih
dua ekor kambing kibas yang gemuk dan bertanduk, beliau membaca basmalah dan
bertakbir serta meletakkan kakinya di samping leher dua kibasnya itu."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Menyambut datangnya hari raya
qurban, biasanya, masjid-masjid membentuk panitia penyembelihan dan penyaluran
hewan qurban. Tujuannya, untuk membantu jama'ah dalam menjalankan penyembelihan
hewan qurbannya.
Dalam hal ini, panitia sebagai
wakil dari para mudhihhiin
(orang-orang yang berqurban). Karenanya mereka memiliki kewenangan untuk
memutuskan pembagian dari hewan qurban, di antaranya kulitnya. Sulitnya
mengurusi dan memperlakukan kulit, ada sebagian panitia yang memutuskan untuk
menjual kulit. Hasil penjualannya diserahkan kepada masjid sebagai uang kas
untuk kebutuhan masjid. Bagaimana hukum menjual kulit hewan qurban untuk
kepentingan masjid seperti ini?
Persoalan menjual kulit sudah
muncul sejak zaman dahulu, sehingga Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam memberikan
larangan dan ancaman yang keras,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ
فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ
"Siapa yang menjual kulit hewan qurbannya, maka
tidak ada qurban untuknya (tidak diterima)." (HR. Al-Hakim dan
al-Baihaqi, dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih al-jami', no. 6118)
Hal ini seolah menggambarkan,
memberikan kulit kepada tukang jagal sebagai bayaran atau bagian dari bayaran
sudah biasa sejak zaman Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam,karenanya beliau melarang untuk memberikannya
kepada tukang jagal sebagai bayaran. Dari Ali bin Abi ThalibRadhiyallahu
'Anhu, berkata:
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا
وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan
kepadaku untuk mengurus hewan qurbannya, dan agar aku menyedekahkan dagingnya,
kulitnya, dan bulunya serta tidak memberikan kepada tukang jagal darinya."
(Muttafaq 'alaih dengan lafadz milik Muslim)
Kemudian Ali berkata,
نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
"Kami memberinya upah dari harta kami."
(HR. Muslim)
Al-Shan'ani dalam Subul al-Salam
berkata, "Hadits itu menunjukkan untuk disedekahkan kulit dan bulunya
sebagaimana disedekahkan dagingnya. Tukang jagal tidak boleh diberi sedikitpun
darinya sebagai upah karena hal itu sama hukumnya dengan menjual, karena ia
berhak mendapat upah. Dan hukum qurban sama dengan hukum hadyu, karenanya tidak
boleh dijual dagingnya dan kulitnya serta tidak boleh sedikitpun diberikan
kepada tukang jagal."
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang larangan
memberikan bagian hewan qurban kepada tukang jagal, "Karena memberikan
kepadanya adalah sebagai ganti (barter) dari kerjanya, maka ia semakna dengan
menjual bagian darinya, dan itu tidak boleh. . . dan mazhab kami, tidak boleh
mejual kulit hadyu dan hewan qurban, dan tidak boleh juga menjual sedikitpun
dari keduanya."
Perbedaan Pendapat di Kalangan
Ulama
Para ulama madzhab berbeda pendapat
tentang hukum menjual bagian dari hewan qurban, di antaranya kulitnya. Dan pendapat
yang paling kuat dan selaras dengan zahir nash adalah pendapat yang mengatakan,
tidak boleh menjual apapun dari hewan qurban, baik kulit, wol, bulu, tulang,
atau yang lainnya. Ini adalah mazhab Imam Malik, al-Syafi'i, Ahmad, dan Abu
Yusuf rahimahumullah. Hal ini didasarkan
kepada hadits Ali bin Abi Thalib di atas, "RasulullahShallallahu
'Alaihi Wasallam memerintahkan
kepadaku untuk mengurus hewan qurbannya, dan agar aku menyedekahkan dagingnya,
kulitnya, dan bulunya serta tidak memberikan kepada tukang jagal darinya. Kami
memberinya upah dari kantong kami." (HR. Muslim)
Dan juga karena menyembelih hewan
qurban itu dijadikan sebagai qurbah (mendekatkan diri) kepada Allah Ta'ala.
Sedangkan amal-amal qurubaat tidak menerima penukaran dengan harga, maka tidak
boleh dijual sebagaimana harta wakaf. (Dinukil dari Kitab Ahkam al-Udhiyah fi
al-Fiqh al-Islami, DR. Walid Khalid al-Rabi')
Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih
Sunnah (3/543), -sesudah menjelaskan alasan tidak bolehnya menjual sesuatu dari
anggota badan hewan qurban- mengatakan: "Ini adalah pendapat Imam
al-Syafi'i dan Ahmad. Sementara Abu Hanifah berpendapat, ia boleh menjualnya
sesukanya dari daging hewan qurban tersebut dan menyedekahkan harganya. Namun
yang paling jelas itu tidak dibolehkan."
Hikmahnya
Berqurban adalah bentuk mendekatkan
diri kepada Allah dengan mengalirkan darah hewan qurban. Hukum asalnya, tidak
boleh mengambil sedikitpun darinya. Hanya saja Allah mengembalikan kepada orang
yang berqurban sebagai hadiah untuk ia makan sebagiannya, menyedekahkan
sebagiannya, dan menghadiahkan jika masih ada. Dan harta yang diperuntukkan
mendekatkan diri (taqarrub) tidak boleh dijual oleh yang mengeluarkannya,
seperti zakat dan kafarat.
Maka bagi orang yang berqurban dan
panitia yang menjadi wakil dari orang yang berkurban dalam menjalankan
penyembelihan hendaknya mendistribusikan dari hewan qurban pada sesuatu yang
dibolehkan oleh Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam berupa
menikmatinya dan memanfaatkannya seperti dijadikan sandal, sepatu, tas, tempat
minum, dan lainnya. Maka jika kulit-kulit hewan kurban dijadikan sesuatu yang
bisa dinikmati secara umum di masjid maka tidak mengapa.
Sesungguhnya tujuan baik untuk
memenuhi kebutuhan masjid tidak bisa menghalalkan segala sesuatu, di antaranya
menjual kulit hewan kurban untuk kepentingan masjid. Karena disebutkan dalam
satu kaidah, "al-Ghayah laa Tubarriru al-Wasiilah" (Tujuan baik tidak
lantas menjadikan sarana itu menjadi baik). Karena sarana di sini memiliki
hukum tersendiri dalam syariat Islam.
. . . tujuan baik untuk memenuhi kebutuhan
masjid tidak bisa menghalalkan segala sesuatu, di antaranya menjual kulit hewan
kurban untuk kepentingan masjid. . .
Kesimpulan
Keputusan panitia penyembelihan
hewan kurban menjual kulit hewan qurban yang hasilnya sebagai kas masjid
termasuk bentuk hakiki dari menjual kulit hewan qurban yang tidak dibenarkan
dengan alasan-alasan yang sudah disebutkan di atas. Karena panitia berkedudukan
sebagai wakil dari orang-orang kaya yang berkurban bukan sebagai wakil dari
para penerima sedekahnya. Sementara penyaluran yang dilakukan wakil orang yang
berkurban itu seperti penyalurannya dia sendiri, yang berarti orang-orang yang
berkurban telah mejual kulit hewan qurbannya untuk disedekahkan harganya. Dan
ini terancam dengan sabda Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam, ""Siapa yang menjual kulit hewan qurbannya, maka
tidak ada qurban untuknya (tidak diterima)." (HR. Al-Hakim dan
al-Baihaqi, dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih al-jami', no. 6118)
. . . Keputusan panitia penyembelihan hewan
kurban menjual kulit hewan qurban yang hasilnya sebagai kas masjid termasuk
bentuk hakiki dari menjual kulit hewan qurban yang tidak dibenarkan dengan
alasan-alasan yang sudah disebutkan di atas. . .
Dan ini lebih kuat tidak dibolehkan
karena masjid bukan hanya milik orang-orang miskin yang dianggap berhak
menerima sedekah. Dan kalau kulit itu diposisikan sebagai wakaf, maka wakaf itu
harus dipakai hingga rusak dan bukan diperjual belikan. Dan sebagaimana biasa, penjualan
kulit untuk kas masjid itu bukan sebagai wakaf bagi masjid. Karena ia tidak
keluar dari kekuasaan orang yang berkurban kecuali sesudah dijualkan oleh
panitia, maka ini tidak boleh
Orang yang menyembelih binatang
kurban, boleh memanfaatkannya untuk memakan sebagian daging darinya,
menshadaqahkan sebagian darinya kepada orang-orang miskin, menyimpan sebagian
dagingnya, dan memanfaatkan yang dapat dimanfaatkan, misalnya ; kulitnya untuk
qirbah (wadah air) dan sebagainya.
Dalil hal-hal di atas adalah
hadits-hadits dibawah ini.
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَع قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ
يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ فَلَمَّا كَانَ
الْعَامُالْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّه نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ
الْمَاضِي قَالَ كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّ خِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ
بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْتُعِينُوا فِيهَا
“Artinya : Dari Salamah
bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Barangsiapa di antara kamu menyembelih kurban, maka
janganlah ada daging kurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari
ketiga”. Tatkala pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya : “Wahai,
Rasulullah! Apakah kita akan melakukan sebagaimana yang telah kita lakukan pada
tahun lalu?” Beliau menjawab : “Makanlah, berilah makan, dan simpanlah,. Karena
sesungguhnya tahun yang lalu, menusia tertimpa kesusahan (paceklik), maka aku
menghendaki agar kamu menolong (mereka) padanya (kesusahan itu). [HR Bukhari
no. 569, Muslim, no, 1974]
Hadits Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ عَلِيِّ رضي اللّه عنْه أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ علَى بًدْنِهِ
وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُو مَهَا وَجُلُو دَهَا وَجِلاَلَهَا (فِي
الْمَسَا كِيْنِ) وَلاَ يُغْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئًا
“Artinya : Dari Ali Radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar dia
mengurusi budn (onta-onta hadyu) Beliau [3], membagi semuanya, dan jilalnya [4]
(pada orang-orang miskin). Dan dia tidak boleh memberikan sesuatupun (dari
kurban itu) kepada penjagalnya”. [HR Bukhari no. 1717, tambahan dalam kurung
riwayat Muslim no. 439/1317]
Pada riwayat lain disebutkan, Ali
Radhiyallahu ‘anhu berkata.
أَمَرَ نِي رَسُولُ اللّه صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا
وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ
نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Artinya : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar aku mengurusi onta-onta kurban Beliau,
menshadaqahkan dagingnya, kulitnya dan jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan
sesuatupun (dari kurban itu) kepada tukang jagalnya. Dan Beliau bersabda :
“Kami akan memberikan (upah) kepada tukang jagalnya dari kami” [HR Muslim no.
348, 1317]
Hadits ini secara jelas
menunjukkan, bahwa Ali diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menshadaqahkan daging hadyu, kulitnya, bahkan jilalnya. Dan tidak boleh
mengambil sebagian dari binatang kurban itu untuk diberikan kepada tukang
jagalnya sebagai upah, karena hal ini termasuk jaul beli. Dari hadits ini
banyak ulama mengambil dalil tentang terlarangnya menjual sesuatu dari binatang
kurban, termasuk menjual kulitnya.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رضسُو لَ
اللّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ باعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ
فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Artinya : Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :”Barangsiapa menjual kulit binatang kurbannya, maka tidak ada kurban
baginya”.
Syaikh Abul Hasan
As-Sulaimani menjelaskan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim (2/389-390) dan
Al-Baihaqi (99/294) dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih
Al-Jami’ush Shagir, no. 6118. Namun di dalam sanadnya terdapat perawi bernama
Abdullah bin Ayyasy, dan dia seorang yang jujur namun berbuat keliru, perawi
yang tidak dijadikan hujjah. [5]
3. Hadits Abi Sa’id
Al-khudri Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
(...وَلاَ تَبِيْعُوْا
لُحُوْمَ الْهَدْيِ وَاْلأَضَا حِي فَكُلُوْا وتَصَدَّقُوْا وَاستَمْتِعُوْا
بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيْعُو هَا....)
“Artinya : Janganlah
kamu menjual daging hadyu dan kurban. Tetapi makanlah, bershadaqahlah, dan
gunakanlah kesenangan dengan kulitnya, namun janganlah kamu menjualnya” [Hadits
dha’if, riwayat Ahmad 4/15] [6]
PERKATAAN PARA ULAMA
1. Imama Asy-Syafi’i
rahimahullah berkata : “Jika seseorang telah menetapkan binatang kurban, wolnya
tidak dicukur. Adapun binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai
kurban, dia boleh mencukur wolnya. Binatang kurban termasuk nusuk (binatang
yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya,
memberikan makan (kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap
seluruh (bagian) binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual
sesuatu darinya. Menukarkannya merupakan jual beli”.
Beliau juga mengatakan :
“Aku tidak mengetahui perselisihan di antara manusia tentang ini, yaitu :
Barangsiapa telah menjual sesuatu dari binatang kurbannya, baik kulit atau
lainnya, dia (harus) mengembalikan harganya –atau nilai apa yang telah dia jual,
jika nilainya labih banyak dari harganya- untuk apa yang binatang kurban
dibolehkan untuknya. Sedangkan jika dia menshadaqahkannya, (maka) lebih aku
sukai, sebagaimana bershadaqah dengan daging binatang kurban lebih aku sukai”
[7]
2. Imam Nawawi rahimahullah
berkata : “Dan madzhab (pendapat) kami (Syafi’iyah), tidak boleh menjual kulit
hadyu atau kurban, dan tidak boleh pula (menjual) sesuatu dari
bagian-bagiannya. Inilah madzhab kami. Dan ini pula pendapat Atho, An-Nakha’i,
Malik, Ahmad dan Ishaq. Namun Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Ibnu Umar,
Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak mengapa menjual kulit hadyu dan menshadaqahkan
harga (uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di dalam menjualnya. An-Nakha’i
dan Al-Auza’i berkata : ‘Tidak mengapa membeli ; ayakan, saringan, kapak,
timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan kulitnya, -pent), Al-Hasan
Al-Bashri mengatakan ; “Kulitnya boleh diberikan kepada tukang jagalnya’.
Tetapi (perkataannya) ini membuang sunnah, wallahu a’lam. [Lihat Syarah Muslim
5/74-75, Penerbit Darul Hadits Cairo]
3. Imam Ash-Shan’ani
rahimahullah berkata : “Ini (hadits Ali di atas) menunjukkan bahwa dia (Ali)
bershadaqah dengan kulit dan jilal (pakaian onta) sebagaimana dia bershadaqah
dengan daging. Dan Ali tidak sedikitpun mengambil dari hewan sembelihan itu
sebagai upah kepada tukang jagal, karena hal itu termasuk hukum jual-beli,
karena dia (tukang jagal) berhak mendapatkan upah. Sedangkan hukum kurban sama
dengan hukum hadyu, yaitu tidak boleh diberikan kepada tukang jagalnya sesuatupun
dari binatang sembelihan itu (sebagai upah). Penulis Nihayatul Mujtahid berkata
: “Yang aku ketahui, para ulama sepakat tidak boleh menjual dagingnya”. Tetapi
mereka berselisih tentang kulit dan bulunya yang dapat dimanfaatkan. Jumhur
(mayoritas) ulama mengatakan tidak boleh. Abu Hanifah mengatakan boleh
menjualnya dengan selain dinar dan dirham. Yakni (ditukar) dengan
barang-barang. Atha’ berkata, boleh dengan semuanya, dirham atau lainnya” [8]
Abu Hanifah membedakan antara uang dengan lainnya, hanya karena beliau
memandang bahwa menukar dengan barang-barang termasuk kategori memanfaatkan
(binatang sembelihan), karena ulama sepakat tentang bolehnya memanfaatkan
dengannya’. [Lihat Subulus Salam 4/95, Syarah Hadits Ali]
4. Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman Al-Bassam mengatakan : “Di antara faidah hadits ini menunjukkan,
bahwa kulit binatang kurban tidak dijual. Bahkan penggunaan kulitnya adalah
seperti dagingnya. Pemilik boleh memanfaatkannya, menghadiahkannya atau
menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin. [Lihat Taudhihul Ahkam
Min Bulughul Maram 6/70]
Beliau juga berkata :
“Para ulama sepakat tidak boleh menjual daging kurban atau hadyu (hewan yang
disembelih oleh orang yang haji). Jumhur (mayoritas) ulama juga berpendapat
tidak boleh menjual kulit binatang kurban, wolnya (bulu kambing), wabar (rambut
onta) dan rambut binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan menjual
kulitnya, rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar) barang-barang, bukan dengan
uang, karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata” [Lihat
Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/71]
KESIMPULAN
Dari perkataan para
ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Orang yang berkurban
boleh memanfaatkan kurbannya dengan memakan sebagiannya, menshadaqahkan
sebagiannya, memberi makan orang lain dan memanfaatkan apa yang dapat
dimanfaatkan.
2. Para ulama sepakat,
orang yang berkurban dilarang menjual dagingnya.
3. Tentang menjual kulit
kurban, para ulama berbeda pendapat.
a). Tidak boleh. Ini
pendapat mayoritas ulama. Dan ini yang paling selamat, insya Allah
b). Boleh asal dengan
barang, bukan dengan uang. Ini pendapat Abu Hanifah, Tetapi Asy-Syafi’i
menyatakan, bahwa menukar dengan barang juga merupakan jual-beli.
c). Boleh. Ini pendapat
Abu Tsaur. Tetapi pendapat ini menyelisihi hadits-hadits diatas.
4. Jika kulit dijual,
maka –yang paling selamat- uangnya (hasil penjualan) dishadaqahkan.
Pengelola penyembelihan
binatang kurban tidak boleh gegabah dan serampangan mengambil kesimpulan hukum
tentang kulit. Misalnya mengambil inisiatif menjual kulit yang hasilnya untuk
kepentingan masjid atau diluar lingkup ketentuan yang diperbolehkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar