BP-4 DALAM SEJARAH
BP4 adalah badan semi resmi dari Departemen
Agama. Kedudukan BP4 di Depag pada awalnya setara dengan P2A dan BKM. BP4 yang
semula berakronim Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian,
mempunyai cita-cita pokok yaitu “mempertinggi nilai-nilai perkawinan, mencegah
perceraian sewenang-wenang, dan berusaha mewujudkan susunan rumah tangga yang
bahagia dan sejahtera”. BP4 berdiri pada tanggal 3 Januari 1960. Dipilihnya
tanggal tersebut karena pada tanggal tersebut berlangsung pertemuan pengurus BP4
Se-Jawa yang merupakan embrio BP4 secara nasional.
Pengukuhan secara nasional ini didasari pada
kenyataan efektifitas BP4 daerah dalam menekan angka perceraian. Untuk
menguatkan kelembagaanya sebagai lembaga semi resmi Departemen Agama, maka pada
bulan Oktober 1961 keluarlah SK Menteri Agama No. 85 tahun 1961 yang menetapkan
BP4 sebagai satu-satunya badan yang berusaha pada bidang penasehatan perkawinan
dan pengurangan kasus perceraian.
Sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan perceraian dilaksanakan dan dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
membuat peran BP4 begitu sentral. Struktur BP4 yang berjenjang sampai ke desa
terbukti mampu menekan perceraian yang tidak perlu. Begitu masyarakat mempunyai
masalah biasanya lapor kepada P3N (pembantu pegawai pencatata nikah) yang nota
bene sebagai BP4 Desa. BP4 desa merupakan tokoh agama lokal yang disegani. P3N
khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah kebanyakan dirangkap oleh Modin.
Kepercayaan masyarakat yang besar terhadap Modin (yang berasal dari kata imam
ad-din yang berarti pemimpin agama) tidak lepas dari posisinya yang merupakan
kyai kampung yang secara sosiologis merupakan kepanjangan tangan dari Kyai
karismatik di daerahnya. Modin itulah yang bertanggungjawab mengurusi semua
peristiwa-peristiwa keagamaan, mulai dari pernikahan, kematian, kelahiran bayi,
dsb. Oleh karena itu Modin secara kultural dianggap mempunyai otoritas dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa keagamaan di pedesaan, termasuk pertikaian rumah
tangga, waris, dsb.
Jika tidak bisa didamaikan ditingkat desa,
Modin membawa masalah tersebut ke BP4 kecamatan yang bertempat di KUA setempat.
Jika tidak bisa didamaikan, baru kemudian dihadapan penghulu perceraian
dilangsungkan. Pengetahuan para Modin dan petugas BP4 tentang keluarga pasangan
yang bertikai serta kearifan lokal dan kewibawaan yang mereka miliki serta
penanganan yang berjenjang tersebut mempersempit ruang gerak manipulasi dan
penyalahgunaan perceraian.
BP4 pada waktu itu benar-benar mengakar serta
mempunyai wibawa yang besar di masyarakat bawah. Jejak kewibawan BP4 saat ini
masih dapat dirasakan, paling tidak di beberapa kecamatan yang penulis pernah
bertugas di sana. Walaupun tidak sering, penulis beberapakali memberikan
konseling terhadap pasangan suami istri yang mengadukan persoalannya ke KUA
untuk menyelesaikan atau mengadukan persoalan rumah tangganya. Tidak hanya itu,
remaja yang mempunyai masalah pun beberapa kali minta konsultasi mengenai
berbagai hal baik kehamilan yang tidak dikehendaki, pakasaan orang tua untuk
meninggalkan pacarnya, dll. Ketika ke KUA mereka mencari bapak BP4, bukan
penghulu. Bahkan Modin pun hingga saat ini masih sering menjadi tempat pasangan
suami istri dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.
Setelah keluarnya UU Perkawinan terjadi
perubahan tata cara perceraian, yang semula dilaksanakan dan dicatat di KUA
kemudian berubah menjadi : perceraian dilaksanakan di Pengadilan Agama dan
dicatat di KUA. Walaupun saat itu Pengadilan Agama masih dalam satu payung
dengan Departemen Agama akan tetapi tetap membawa konsekuensi terhadap
keberlangsungan BP4.
Salah satu perubahan terpenting dalam tubuh BP4 adalah pembagian peran BP4 di level kabupaten dan kecamatan. BP4 Kabupaten yang secara ex officio dikepalai oleh Kabid Urusan Agama Islam (sekarang menjadi Kepalas Seksi Urusan Agama Islam) berfungsi menjadi mediator pasangan yang akan bercerai dan BP4 Kecamatan yang ex officio dikepalai oleh Kepala KUA bertugas membina pasangan yang akan menikah. Mekanisme kerja BP4 di KUA adalah sebatas Penasehatan pra Nikah atau Kursus Calon Pengantin. Meski tidak seperti Malaysia yang mensyaratkan sertifikat Kursus Calon Pengantin bagi pasangan yang akan menikah, KUA dengan BP4 melakukan pembekalan terhadap calon pengantin dengan materi yang masih terbatas fiqh dan etika pernikahan dalam Islam.
Kemudian pada tahun 1977 dikeluarkan SK Menteri Agama No. 30 Tahun 1977 yang berisi, pertama, BP4 sebagai satu-satunya badan penunjang sebagian tugas Departemen Agama dalam bidang pemberian penasehatan, perkawinan dan perselisihan rumah tangga, kedua, menunjuk Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam untuk melaksanakan bimbingan BP4. Dengan dikeluarkan SK Menteri ini dengan segala kelebihan dan kelemahannya BP4 semakin eksis.
Salah satu perubahan terpenting dalam tubuh BP4 adalah pembagian peran BP4 di level kabupaten dan kecamatan. BP4 Kabupaten yang secara ex officio dikepalai oleh Kabid Urusan Agama Islam (sekarang menjadi Kepalas Seksi Urusan Agama Islam) berfungsi menjadi mediator pasangan yang akan bercerai dan BP4 Kecamatan yang ex officio dikepalai oleh Kepala KUA bertugas membina pasangan yang akan menikah. Mekanisme kerja BP4 di KUA adalah sebatas Penasehatan pra Nikah atau Kursus Calon Pengantin. Meski tidak seperti Malaysia yang mensyaratkan sertifikat Kursus Calon Pengantin bagi pasangan yang akan menikah, KUA dengan BP4 melakukan pembekalan terhadap calon pengantin dengan materi yang masih terbatas fiqh dan etika pernikahan dalam Islam.
Kemudian pada tahun 1977 dikeluarkan SK Menteri Agama No. 30 Tahun 1977 yang berisi, pertama, BP4 sebagai satu-satunya badan penunjang sebagian tugas Departemen Agama dalam bidang pemberian penasehatan, perkawinan dan perselisihan rumah tangga, kedua, menunjuk Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam untuk melaksanakan bimbingan BP4. Dengan dikeluarkan SK Menteri ini dengan segala kelebihan dan kelemahannya BP4 semakin eksis.
Sejak awal biaya operasional BP4 diambilkan
dari biaya pencatatan nikah yang dibayarkan masyarakat ke KUA. Sebelum reformasi
Keuangan Negara, biaya pencatatan Nikah sebesar Rp. 30.000,- sesuai dengan UU
No. Tahun 1946 ditambah biaya operasional yang ditentukan sendiri oleh KUA yang
diperuntukkan untuk lembaga-lembaga seperti BP4, P2A maupun BKM. Maka tidak
heran hingga saat ini banyak aset-aset Depag yang beratas nama lembaga-lembaga
tersebut yang dibeli dari biaya nikah waktu itu.
Pada tahun 2006n Pengadilan Agama resmi berpisah dengan Departemen Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan struktur ini membawa dampak perubahan tidak hanya pada kinerja BP4 tetapi juga proses perceraian secara umum. Di antaranya, pertama, BP4 tidak lagi menjadi lembaga mediasi, kecuali pasangan PNS atau pegawai BUMN. Warga masyarakat yang hendak bercerai langsung mengajukan sendiri ke Pengadilan Agama tanpa melalui BP4 desa dan kecamatan setempat. Kedua, tidak adanya kontrol yang ketat terhadap keinginan perceraian. Perceraian yang idealnya adalah bagian dari solusi, justru tidak jarang menjadi bentuk baru kekerasan terhadap pasangan.
Pada tahun 2006n Pengadilan Agama resmi berpisah dengan Departemen Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan struktur ini membawa dampak perubahan tidak hanya pada kinerja BP4 tetapi juga proses perceraian secara umum. Di antaranya, pertama, BP4 tidak lagi menjadi lembaga mediasi, kecuali pasangan PNS atau pegawai BUMN. Warga masyarakat yang hendak bercerai langsung mengajukan sendiri ke Pengadilan Agama tanpa melalui BP4 desa dan kecamatan setempat. Kedua, tidak adanya kontrol yang ketat terhadap keinginan perceraian. Perceraian yang idealnya adalah bagian dari solusi, justru tidak jarang menjadi bentuk baru kekerasan terhadap pasangan.
Sebagai salah satu gambaran mekanisme kekerasan
lewat perceraian yang tidak terkontrol, beberapa waktu lalu datanglah seorang
perempuan hamil ke KUA tempat penulis bekerja, dia menanyakan pemberitahuan
cerai talak suaminya terhadap dirinya yang biasanya dikirim Pengadilan Agama ke
KUA. Singkat cerita, perempuan yang menjadi TKI ke Timur Tengah selama tiga
tahun ini telah ditalak suaminya tanpa sepengetahuan dirinya. Satu tahun bekerja
di Timur Tengah Sang suami mengajukan talak dan dikabulkan PA. Selama tiga tahun
ia bekerja, hasil jerih payahnya selalu dikirim suaminya untuk dijadikan modal
jika ia pulang. Setekah kontraknya habis, perempuan tersebut pulang ke Indonesia
dengan berjuta harapan. Setiba di tanah air, dia tetap belum tahu bahwa dirinya
telah ditalak suaminya, sambutan dan sikap mantan suaminya tetap sebagaimana
selayaknya suami. Uang hasil jerih payahnya yang sebenarnya dihabiskan
“suaminya” dengan kelicikan dan tipu daya tidak diketahui oleh perempuan
tersebut. Kedua pasangan yang secara hukum sudah bukan pasangannya itu pun
berkumpul selayaknya suami-istri. Satu bulan kemudian, “sang suami” pamit ke
Malaysia untuk bekerja dan diizinkan oleh perempuan tersebut. Dua buan kemudian,
perempuan tersebut menghubungi “suaminya” di Malaysia untuk mengabarkan “kabar
gembira” karena dia hamil. Kabar yang mustinya dirayakan pasangan suami-istri
tersebut justru awal dari penderitaan si perempuan. “Sang suami” bukan menyambut
gembira, justru memberi kabar bahwa sebenarnya dia bukan lagi suaminya, sebab
sudah dua tahun lalu telah menjatuhkan talak di PA. Bagimana ini bisa terjadi?
Mudahnya melakukan rekayasa dan tidak adanya kontrol yang ketat terjadinya
perceraian yang selama ini terjadi adalah jawabannya. Kejadian tersebut akan
bisa diminimalisir jika ada peran BP4 di desa dan kecamatan dilibatkan,
khususnya seperti BP4 di tahun sebelum 1974. Sejumlah manipulasi yang digunakan
untuk perceraian demi kepentingan salah satu pasangan, seperti, manipulasi
saksi, materi yang digunakan untuk alasan bercerai, dsb, dapat
diminimalisir.
Ketiga, tidak adanya sinkronisasi antara PA
adan KUA. Peraturan perceraian yang menitahkan pelaksanaan dan pencatatan
perceraian di PA menimbulkan celah yang bisa digunakan seseorang untuk hal-hal
yang menyeleweng.
Reformasi disegala bidang ternyata tidak menyentuh substansi fungsi yang dijalankan BP4 selama ini. Peran-peran yang dijalankan BP4 kalah pamor dengan WCC dan LSM-LSM perempuan yang bermunculan di medio 90-an. BP4 tidak hanya stagnan lebih dari itu mengalami degradasi fungsi dan perannya. Apalagi setalah diatur sistem keuangan Negara, terutama terbitnya UU No. 13 tahun 2003, maka lembaga-lembaga semi resmi seperti BP4, P2A dan BKM otomatis tidak memperoleh biaya operasioanal. Ketiadaan biaya opersional ini semakin memperpuruk kondisi BP4 saat itu, dan tidak berlebihan jika ada yang mengatakan wujuduhu ka adamihi (keberadaanya tidaklah berbeda dengan ketiadaanya).
Reformasi disegala bidang ternyata tidak menyentuh substansi fungsi yang dijalankan BP4 selama ini. Peran-peran yang dijalankan BP4 kalah pamor dengan WCC dan LSM-LSM perempuan yang bermunculan di medio 90-an. BP4 tidak hanya stagnan lebih dari itu mengalami degradasi fungsi dan perannya. Apalagi setalah diatur sistem keuangan Negara, terutama terbitnya UU No. 13 tahun 2003, maka lembaga-lembaga semi resmi seperti BP4, P2A dan BKM otomatis tidak memperoleh biaya operasioanal. Ketiadaan biaya opersional ini semakin memperpuruk kondisi BP4 saat itu, dan tidak berlebihan jika ada yang mengatakan wujuduhu ka adamihi (keberadaanya tidaklah berbeda dengan ketiadaanya).
Menyikapi hal tersebut pada juni 2009, tepatnya
pada Munas BP4 Ke-XIV mencoba merevitalisasi lembaga tersebut. Dalam Munas
tersebut disepakati memperkuat fungsi, mediasi, fasilitasi dan advokasi dalam
memperkokoh ketahanan keluarga sehingga tidak hanya menghindarkan perceraian
yang tidak perlu juga meningkatkan kualitas keluarga di Indonesia. Rumusan lain
yang dihasilkan adalah perubahan akronim BP4 menjadi Badan Penasehatan,
Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan.
Dari perjalanan sejarahnya tampak beberapa
kelebihan dan kelemahan BP4 dalam menjalankan perannya. Beberapa kelebihannya
antara lain : pertama, struktur yang mengakar sampai ke desa membuat BP4 sangat
dekat dengan masyarakat. Kedua, pelibatan tokoh-tokoh lokal dalam
kepengurusannya yang nota bene mempunyai pengetahuan yang baik situasi kondisi
maupun kultur masyarakat setempat. Kedua kelebihan ini sulit untuk ditandingi
bahkan oleh LSM atau lembaga-lembaga lainya. Dengan dua modal tersebut BP4
mempunyai potensi untuk memberdayakan keluarga secara massif.
Adapun kelemahan dan kekurangan yang dimiliki
BP4 saat ini antara lain: pertama, kelembagaan BP4 yang lemah. Tidak hanya
sistem organnya yang belum tertata dengan kuat juga tidak jelasnya pada
pendanaan operasional BP4. Kedua, visi dan misinya belum terpahami oleh seluruh
elemen. Ada kemungkinan hal ini disebabkan lemahnya visi, misi ataupun worldview
BP4. Ketiga, struktur kepengurusan yang diisi oleh para pejabat terkadang tidak
mempertimbangkan prinsip profesionalisme. Dampak lain, dibawah, BP4 dijalankan
sebagai “sampingan”, sebab tidak menjadi tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dari
pejabat itu sendiri.
Kesadaran “birokratis” yang mendominasi watak
pejabat bukannya kesadaran “transformative” menjadikan BP4 hanya dimaknai
sebagai beban yang tidak perlu bagi para pejabat. Keempat, watak ekslusif BP4
yang menfokuskan diri pada umat Islam. Terkesan ada beban ganda dalam diri BP4
yakni misi “dakwah” dan misi “negara” dan tidak jarang teradapat
ketegangan-ketegangan yang sulit didamaikan. Kemungkinan ini juga terpengaruh
oleh pembedaan pelayanan pernikahan dan perceraian umat Islam dan umat agama
lain yang kedepan musti dikaji ulang kembali. Walhasil lengkaplah kelemahan BP4
tidak hanya pada level ideologi gerakannya juga pada manejemen
pengorganisasiaannya.
Harus Kemana BP4?
Secara umum baik di tingkat nasional maupun
kecamatan BP-4 merupakan lembaga belum mempuyai kejelasan orientasi. Kejelasan
orientasi salah satunya dapat dilihat ada tidaknya muwafaqoh (kesesuaian) antara
problem yang dihadapi dengan jawaban kelembagaan yang dirumuskan. Musababnya
lembaga tersebut berjalan tanpa ideologi dan perspektif yang jelas, akhirnya
program yang dijalankan tidak sebanding dengan keinginan dan persoalan yang
terjadi di masyarakat. Eksistensi BP4 dalam pandangan penulis masih perlu
dipertahankan, akan tetapi perlu perbaikan yang fundamental bahkan
radikal.
Perubahan BP4 harus berbarengan dengan
mengevaluasi kembali semua aturan yang berkaitan dengan pernikahan dan
perceraian di Indonesia, baik UU No. tahun 1975 yang mengatur perkawinan serta
Kompilasi Hukum Islam sebagai rujukan kedua umat Islam dalam persoalan
Pernikahan dan perceraian serta UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
sebab menurut penulis kedua UU tersebut terdapat celah-celah yang tidak
kompatibel dengan semangat UU yang lain seperti UU No. 23 tahun 2004 tentang
PKDRT dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Contoh di atas adalah
salah satu bukti pemanfaatan celah tersebut. Contoh lain, tentang batasan usia
nikah, dualitas qadhi (hakim), tentang poligami, tata-cara pernikahan dan
perceraian, lembaga mediasi, pernikahan perempuan hamil, dsb, yang menurut
penilaian penulis masih ada diskriminasi dan mengafirmasi kekerasan terhadap
anak dan perempuan.
Terkait dengan BP4, perlu dipertimbangkan
lembaga ini diakomodasi dalam UU sebagai lembaga mediasi, advokasi dan
fasilitasi resmi Negara. Penguatan kelembagaan ini harus disertai kejelasan
orientasi, penguatan ideologi, kejelasan menejemen organisasi dan SDM dan
dukungan pendanaan dari negara.
Saat ini ada beberapa lembaga yang menjadikan
keluarga sebagai sasaran kegiatan, sebut saja BKKBN, PKH (Lintas sektoral 3
kementrian: Kemensos, Kemendiknas dan Kemenkes), Keluarga Sakinah (Kemenag)
semuanya terkesan sendiri-sendiri, padahal orientasi kegiatan dan programnya
sama, yakni kesejahteraan keluarga. Program Keluarga Harapan (PKH) yang di bawah
kebanyakan berkantor di Kantor Pos. PKH yang bertujuan meningkatkan HDI (Human
Developmen Index) masyarakat Indonesia dengan meningkatkan taraf ekonomi,
pendidikan dan kesehatan masyarakat patut kita apresiasi dengan baik. PKH ini
sama persis dengan Gerakan Keluarga Sakinah yang dipunyai Kementerian Agama,
yang berbeda adalah gerakan keluarga sakinah tidak didukung dana yang sebesar
PKH. Ada kesan terdapat “ego sektoral” dan kurang sinergis dalam melakukan
program. Singkat kata, perlu ada penataan kelembagaan kembali institusi yang
menangani keluarga, tidak hanya aspek ekonomi, pendidikan dan kesehatan akan
tetapi kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga untuk
mewujudkan keluarga yang harmonis.
Pada titik inilah lembaga BP4 layak untuk
dipertimbangkan mengisi ruang kosong tersebut. Dengan segala kelebihan yang
dipunyai BP4, jika institusi ini dikuatkan kelembagaanya oleh UU, BP4 dapat
berperan sebagai berikut :
- Sosialisasi masalah keluarga sejahtera dengan memaparkan, hak dan kewajiban pasangan masing – masing serta anak. Tentu saja hal ini di barengi dengan melakukan edukasi masyarakat tentang masalah kekerasan perempuan dan anak sebagai kelompok rentan dalam rumah tangga.
- Meningkatkan mutu perkawinan dengan melakukan pendidikan terhadap calon pengantin khususnya terhadap para remaja, termasuk didalamnya menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja, bahaya pernikahan tanpa perencanaan dan persiapan yang matang serta informasi-informasi lainnya.
- Menjadi lembaga resmi yang memediasi perceraian. Pengadilan Agama hanya memproses kasus perceraian jika mendapat rekomendasi dari lembaga ini.
- Memperhatikan dan memelihara masalah yang menyangkut kesejahteraan rumah tangga. Dengan melihat indikator – indikatornya antara lain angka kematian ibu dan anak, pendidikan anak, peningkatan ekonomi keluarga, perkawinan usia muda, angka perceraian, kehamilan yang tidak di kehendaki, kekerasan dalam pacaran, kekerasan rumah tangga DII
- Membantu keluarga atau korban ( jika ada kekerasan ) dalam menyelesaikan persoalan dengan menyediakan shelter, konsultasi hukum dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar