KONSEP KEPEMILIKAN HARTA DALAM ISLAM
Disusun Oleh: MASRIZAL
Disajikan Pada Kelompok Binaan Perumahan Cikara
Pekanbaru
Jum’at 11 Nopember 2016
A. Latar
Belakang Masalah
Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana
manusia tidak akan bisa terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan
sesuatu yang disukai manusia, seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak
atau barang-barang lain yang termasuk perhiasan dunia.
Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga
eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh
berdiri sebagai penghalang antara dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi
ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara yang
halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus
dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.
Harta yang dimiliki setiap individu selain didapatkan
dan digunakan juga harus dijaga. Menjaga harta berhubungan dengan menjaga jiwa,
karena harta akan menjaga jiwa agar jauh dari bencana dan mengupayakan
kesempurnaan kehormatan jiwa tersebut. Menjaga jiwa menuntut adanya
perlindungan dari segala bentuk penganiayaan, baik pembunuhan, pemotongan
anggota badan atau tindak melukai fisik.
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah
milik Allah SWT. kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk
menguasai harta tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah
memiliki harta tersebut. Adanya pemilikan seseorang atas harta
kepemilikian individu tertentu mencakup juga kegiatan memanfaatkan dan
mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim
yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan
mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta
yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat dengan
ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan
pengembangan harta.
Namun sebaliknya kondisi saat ini khususnya di
Indonesia ada batas-batas kepemilikan harta yang sebenarnya dapat dimiliki
untuk umum. Bahkan banyak intervensi Negara asing yang ingin menguasai
kepemilikan umum menjadi milik pribadi.
Berangkat dari permasalahan diatas, maka tulisan
singkat ini akan menguraikan makna harta dalam pandangan Islam dan konsep
kepemilikan harta dalam Islam, dan maqashid syariah dalam kepemilikan
harta, serta pembagian harta dalam islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
harta dalam pandangan Islam?
2. Jelaskan
kepemilikan harta dalam prospektif Islam!
3. Jelaskan
maqashid syariah kepemilikan harta!
4. Bagaimana
pembagian harta dalam islam?
C. Tujuan
Masalah
Makalah ini di buat selain sebagai bentuk dari
pemenuhan tanggungjawab akan tugas yang telah di amanahkan serta mengetahui
secara lebih terperincih lagi akan harta dan kepemilikikan, dimana kedua hal
ini sangatlah akrab dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dilain sisi terdapat nilai plusnya, yakni sebagai
penambahan wawasan untuk kami pribadi terkhusus dan teman-teman pada umumnya, akan
harta dan kepemilikan dalam sudut pandang islam, cara memelihara harta dan
pembagian harta dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
Harta
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan
manusia, unsur dlaruri yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Dengan harta, manusia bisa memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi
ataupun immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah
hubungan horizontal antar manusia (mu'amalah), karena pada dasarnya
tidak ada manusia yang sempurna dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan
tetapi saling membutuhkan terkait dengan manusia lainnya.
Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai obyek
transaksi, harta bisa dijadikan sebagai obyek dalam transaksi jual beli,
sewa-menyewa, partnership (kontrak kerjasama), atau transaksi
ekonomi lainnya. Selain itu, dilihat dari karakteristik dasarnya (nature),
harta juga bisa dijadikan sebagai obyek kepemilikan, kecuali terdapat faktor
yang menghalanginya.
B. Teori
Kepemilikan
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia
dengan harta yang ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus
untuk melakukan transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan
hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia,
baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat
dipahami pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat dan hak merupakan
kepemilikan, bukan merupakan harta.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas
manusia atas suatu harta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas
terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas
suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan
pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada
halangan syara'.
Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan
jalan yang dibenarkan syara', maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia
memiliki kekhususan untuk mengambil manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang
tidak ada halangan syara' yang mencegahnya, seperti gila, safih ,
anak kecil, dan lainnya. Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk
memanfaatkan atau bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali
terdapat aturan syara' yang memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah.
Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun,
terdapat beberapa kondisi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat
publik (fasiliyas umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai,
laut, museum, perpustakaan umum, dan lainnya. Harta ini tidak dapat
diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap menjadi aset
publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi
oleh publik, maka harta tersebut kembali kepada asalnya, yakni bisa dimiliki
oleh individu. Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimiliki kecuali
dibenarkan oleh syara'. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul
maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-belikan atau dihibahka,
kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal dari pada penghasilan
yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah (pengadilan/pemerintahan) boleh
memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda tersebut. Begitu juga
dengan aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan. Aset ini
tidak boleh diperjualbelikan (privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah
yang dilatarbelakangi adanya darurat atau kemaslahatan yang mendesak. Aset
pemerintah layaknya harta anak yatim yang tidak boleh ditransaksikan kecuali
terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada juga harta yang bisa
dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua harta diatas.
C. Harta
Dalam Sudut Pandang Islam
Harta dalam literatur Islam (Al-Qur’an dan al-Hadits)
dikenal dengan sebutan al-mal, kata jamaknya al-amwal. Dalam al-Qur’an tersebut
24 kali kata mal atau al-mal, satu kali kata maliyah dan 61 kata amwal dalam
puluhan surat dan puluhan ayat.
Secara harfiah, kata al-mal berasal dari kata
mala-yamilu-maylan-wa-mayalanan-wa-maylulatan-wa-mamilan, artinya miring,
condong, cenderung, suka, senang dan simpati. Harta dinamakan al-mal mengingat
semua orang, siapa, kapan dan dimanapun pada dasarnya adalah condong, senang,
mau dan cinta pada harta khususnya uang. Al-Qur’an surah Al-Fajr ayat 20
melukiskan kegemaran manusia terhadap harta di antaranya :
وَتُحِبُّونَ
ٱلۡمَالَ حُبّٗا جَمّٗا ٢٠
20. dan kamu mencintai harta benda dengan
kecintaan yang berlebihan
Oleh karena itu kecintaan manusia terhadap harta ini
harus mendapatkan bimbingan wahyu yang mengarahkannya bahwa harta bukanlah
tujuan hidup ini akan tetapi hanya sebagai wasilah belaka yang nanti di hari
kiamat harus dipertanggung jawabkan.
Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang kehidupan yang dijadikan Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling menukarkannya dan melarang menimbunnya. Oleh karena itu syariat Islam dengan kaidah dan konsepnya akan mengontrol cara untuk mendapatkan harta, menyalurkannya, proses pertukaran dengan barang lain serta pengaturan hak-hak orang lain dalam harta itu.
Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang kehidupan yang dijadikan Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling menukarkannya dan melarang menimbunnya. Oleh karena itu syariat Islam dengan kaidah dan konsepnya akan mengontrol cara untuk mendapatkan harta, menyalurkannya, proses pertukaran dengan barang lain serta pengaturan hak-hak orang lain dalam harta itu.
Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai
segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’
(hukum Islam) seperti jual-beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian.
Maka seluruh apapun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan dunia merupakan
harta. Uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil
perkebunan, hasil perikanan-kelautan dan pakaian termasuk dalam kategori
al-amwal atau harta kekayaan.
Hukum Islam memandang harta mempunyai nilai yang
sangat strategis, karena harta merupakan alat dan sarana untuk memperoleh
berbagai manfaat dan mencapai kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu.
Hubungan manusia dengan harta sangatlah erat. Demikian
eratnya hubungan tersebut sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi
satu dengan naluri mempertahankan hidup manusia itu sendiri. Justru harta
termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan manusia, karena harta termasuk
unsur lima asas yang wajib dilindungi bagi setiap manusia (al-dharuriyyat
al-khomsah) yaitu jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.
Ø Definisi
Harta
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal, 40), secara
linguistik, al-maal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah
upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti; komputer,
kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya. Atau pun berupa manfaat,
seperti, kendaraan, atau pun tempat tinggal. Berdasarkan definisi ini, sesuatu
akan dikatakan sebagai al-maal, jika memenuhi dua kriteria;
·
Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada akhirnya
bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut,
baik bersifat materi atau immateri
·
Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan manusia.
Konsekuensinya, jika tidak bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa dikatakan
sebagai harta. Misalnya, burung yang terbang diangkasa, ikan yang berada di
lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi, dan lainnya.
Pengertian Harta dalam al-Qur’an:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ
مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ
وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ
ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ ١٤
“Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang
baik (surga)”. (QS. Ali Imron 3:14).
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa harta dalam
pandangan al-Qur’an adalah segala sesuatu yang disenangi manusia seperti emas,
perak, kuda pilihan, hewan ternak, sawah ladang dan lain sebagainya yang
kesemuanya itu diperlukan untuk memenuhi hajat hidup. Menurut al-Qur’an, harta
menjadi baik bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, dan sebaliknya akan menjadi
buruk bila penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.
Pengertian Harta menurut al-Sunnah
Rasulullah Shallahu Alaihi Wassallam bersabda:
“Sebaik-sebaiknya harta ialah yang berada pada orang salih”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa mal/harta sebagai
milik pribadi menjadi nikmat bila digunakan untuk kebaikan semisal dengan
kebaikan orang salih yang menggunakan harta tersebut. Namun demikian,
keberadaan harta bukan menjadi tujuan hidup. Karenanya, pemilik harta
diharapkan tidak lupa mengabdi kepada Allah.
Dilihat dari kacamata istilah fiqh, ulama berbeda
pendapat tentang definisi al-maal, perbedaan itu muncul dari makna
atau substansi yang dihadirkan dalam definisi. Perbedaan pandangan tersebut
dapat dikatagorikan dalam dua pendapat. Yakni :
1) Pendapat
Hanafiyah
Menurut Hanafiyah, al-maal adalah
segala sesuatu yang mungkin dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Pendapat ini
mensyaratkan dua unsur yang harus terdapat dalam al-maal;
· Dimungkinkan untuk
dimiliki, disimpan, dengan demikian al-maal harus
bersifat tangible. Sesuatu yang bersifat ingtanguble seperti,
ilmi, kesehatan, kompetisi, prestise, image, dan lainnya tidak bisa
dikatagorikan sebagau al-maal. Selanjutnya, sesuatu itu harus
bisa dikuasai dan disimpan, oksigen (berbeda dengan oksigen yang telah dimasukkan
dalam tabung oksigen), cahaya matahari dan rembulan tidak bisa dikatagorikan
sebagai al-maal.
· Secara lumrah
(wajar), dimungkinkan untuk diambil manfaatkan, seperti ;daging bangkai,
makanan yang sudaj expire, yang telah rusak, maka tidak bisa
dikatakan sebagai al-maal. Dalam kondisi darurat, boleh saja kita
mengkonsumsi barang tersebut dan, mungkin bisa mendatangkan manfaat, namun
demikian, hal tersebut tidak bisa secara langsung megubah barang tersebut
menjadi al-maal, karena hal ini merupakan bentuk pengecualian (istitsna' ).
· Selain itu,
kemanfaatan yang ada pada sesuatu itu haruslah merupakan manfaat yang secara
umum dapat diterima masyarakat. Sebutir nasi atau setetes air tudak dianggap
bisa mendatangkan manfaat, berbeda jika jumlah kuantitasnya besar.
Sifat maaliah (sesuatu yang dianggap
sebagai harta) akan tetap melekat pada sesuatu, sepanjang sesuatu itu masih
dimanfaatkan atau diberdayakan oleh masyarakat atau sebagian dari mereka. Khamr (arak,
miras), anjing, babi, mungkin masih bisa dimanfaatkan oleh non-muslim. Bagi
kaumborjuis, pakaian bekas mungkin sudah tidak memiliki arti, namun bagi orang
yang tinggal dilorong jembatan, pakaian bekas itu masih memiliki arti dan
manfaat bagi kehidupannya. Dengan demikian, dalam konteks ini, pakaian bekas
tersebut masih bisa dikatalan sebagai al-maal. Berbeda jika
pakaian tersebut sudah ditinggalkan oleh seluruh masyarakat, tidak terdapat
sedikitpun yang mau atau bisa memanfaatkannya.
Ibnu Abidin (madzhab Hanafi, Raddul Mukhtar,IV,
hal.3) mengatakan, al-maal adalah segala sesuatu yang
di-preferansi-kan (gandrungi) oleh tabiat manusia, dan dimungkinkan untuk
disimpan hingga saat di butuhkan, baik dapat dipindah (Manqul) ataupun
tidak (gairu manqul).
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV,hal.41), definisi ini
bukanlah pengertian yang komprehensif, sayur-sayuran dan buah-buahan bisa
dikatakan al-maal,walaupun tidak bisa disimpan, karena cepat rusak.
Begitu juga dengan hewan buruan, kayu di hutan tetap bisa dikatakan
sebagai al-maal ,walaupun belum dimiliki atau disimpan.
Obat-obatan juga bisa dimasukkan dalam katagori harta, walupun manusia menolak
untuk mengkonsumsinya.
2) Pendapat
Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama fiqh, al-maal adalah
segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya,
berkewajiban untuk menanggung atau menggantinya. Lebih lanjut Imam Syafii
mengatakan, al-maal dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan
bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi yang merusaknya.
Berdasarkan pengertian ini, al-maal haruslah sesuatu yang
dapat merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan
satuan moneter.
Menanggapi persoalan definisi harta, Mustafa Ahmad
Zarqa (1984, hal289) menegaskan, memang terdapat perbedaan mendasar antara
pandangan syariah dengan qanun (hukum). Menurut beliau,
sesuatu itu dikatakan harta (al-maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu;
· Sesuatu
itu harus berwujud materi dan bisa di raba,
· Biasanya
manusia akan berusaha untuk meraihnya, dan menjaganya agartidak diambil
ataudimiliki orang lain. Dengan demikian harta itu haruslah memiliki nilai
materi.
Berdasarkan persyaratan ini, maka yang dikatakan
sebagi harta adalah segala dzat ('ain) yang dianggap memiliki nilai
materi bagi kalangan masyarakat. Pendapat ini secara otomatis menafikan hak dan
manfaat untuk masuk dalam katagori harta. Jika dilihat, pendapat Mustafa Ahmad
Zarqa ini cenderung dekat dengan pendapat Ulama Hanafiyah.
D. Kepemilikan
Harta Dalam Islam
Kepemilikan adalah hubungan keterikatan antara
seseorang dengan harta yang dikukuhkan dan dilegitimasi keabsahannya oleh
syara’. Kata al-Milku digunakan untuk menunjukkan arti sesuatu yang dimiliki,
seperti perkataan “Hadza milkii,” yang artinya ini adalah sesuatu milikku baik
berupa barang atau kemanfaatan.
Menurut Jati dalam buku Asas-asas ekonomi Islam,
hakikat harta ada tiga, yaitu : Allah adalah pencipta dan pemilik harta yang
hakiki, harta adalah fasilitas bagi kehidupan manusia dan Allah menganugerahkan
pemilikan harta kepada manusia.
Menurut Ibnu Taimiyah seperti dikutip Euis Amalia
dalam buku Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, tiap individu, masyarakat dan
Negara memiliki hak atas pemilikan hak milik sesuai dengan peran yang dimiliki
mereka masing-masing. Hak milik dari ketiga agen kehidupan ini tidak boleh
menjadikannya sebagai sumber konflik antara ketiganya. Hak milik menurutnya
adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariah untuk menggunakan sebuah
objek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk dan jenisnya.
Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu : hak milik pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.
1) Kepemilikan
Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’
yang berlaku bagi dzat ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan
siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta
memperoleh kompensasi jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan dzatnya seperti
dibeli –dari barang tersebut.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji
secara komprehensif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas
harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut
terbatas pada lima sebab berikut ini :
a) Bekerja.
b) Warisan.
c) Kebutuhan
akan harta untuk menyambung hidup.
d) Harta
pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
e) Harta-harta yang diperoleh oleh
seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak
miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya dan melindunginya
dari pemubaziran. Namun pemilik juga terkena sejumlah kewajiban tertentu,
seperti membantu dirinya sendiri dan kerabatnya serta membayar sejumlah
kewajiban.
2) Kepemilikan
Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu
komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang
termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah
dinyatakan oleh Allah Subhana Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahi Alaihi
Wasallam bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka
masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini,
hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang saja.
Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk
dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok ;
a) Benda-benda
yang merupakan fasilitas umum
Bentuk fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap
sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut.
lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallalahu Alaihi Wassalam
bersabda : “Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki
siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Anas r.a meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra.
tersebut dengan menambahkan : Wa tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang
berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
b) Bahan
tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu: Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi,
serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut
diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan
khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak
terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan
tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh
dimiliki secara pribadi.
c) Benda-benda
yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara
perorangan.
Benda yang dapat dikategorikan sebagai kepemilikan
umum yaitu jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umum lainnya. Benda-benda
ini dari merupakan fasilitas umum dan hampir sama dengan kelompok pertama.
Namun meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, tetapi berbeda
dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh
individu.
Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh
individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu
komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika
sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu komunitas maka individu tersebut
dilarang memilikinya. Berbeda dengan jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain
yang memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
3) Kepemilikan
Negara (state property)
Harta-harta yang termasuk milik negara adalah harta
yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang
negara, dimana negara dapat memberikan kepada sebagian warga negara,
sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya
kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai, kharaj,
jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara
pengelolaannya dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk
hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh
diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada
orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik
negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu
tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Harta kekayaan sejatinya adalah milik Allah Subhana Wa
Ta’ala. Sedangkan manusia adalah para hambanya dan kehidupan di dalamnya
manusia bekerja, berkarya dan membangunnya dengan menggunakan harta Allah
Subhana Wa Ta’ala. karena semua itu adalah milik-Nya, maka sudah seharusnya
harta kekayaan meskipun terikat dengan nama orang tertentu dan dimanfaatkan
untuk kepentingan mereka. Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman,
“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di
bumi untuk kamu”
Dengan begitu, berarti harta kekayaan memiliki fungsi
sosial yang tujuannya adalah menyejahterakan masyarakat dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan serta kemaslahatan-kemaslahatannya. Jadi dengan begitu,
kepemilikan individu di dalam pandangan Islam merupakan sebuah fungsi sosial.
Syaikh Abu Zahrah berpandangan, bahwa tidak ada halangan untuk mengatakan
bahwa kepemilikan adalah fungsi sosial. Akan tetapi harus diketahui bahwa
itu harus berdasarkan ketentuan Allah swt bukan ketentuan para hakim, karena
mereka tidaklah selalu orang-orang yang adil.
E. Maqashid
Syariah dalam Kepemilikan Harta
Memelihara harta atau kepemilikan harta secara
individu, umum dan kepemilikan Negara merupakan salah satu dari lima unsur
kemaslahatan dalam maqashid syariah (tujuan syariah). Dilihat dari segi
kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1. Memelihara
harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan
harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah,
apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
2. Memelihara
harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara
salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi
harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
3. Memelihara
harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri
dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah
atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruhi kepada sah tidaknya jual beli
itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat
yang kedua dan pertama.
Menurut penyusun, cara melindungi harta sesuai dengan
kepemilikannya adalah sebagai berikut :
ü Hak
milik individu, dalam mendapatkannya harus sesuai dengan syariat Islam
yaitu dengan cara bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan harta orang
lain dengan cara yang bathil atau memakan hasil riba. Menggunakannya pun harus
sesuai dengan syariat Islam, tidak digunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh
agama dan tidak digunakan untuk hal-hal yang bersifat mubazir atau pemborosan.
Selain itu, harus mengeluarkan zakat dan infaq guna membersihkan harta sesuai
dengan harta yang dimiliki.
ü Hak
milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda-benda ini secara umum
(air, rumput dan api) yang merupakan sumber daya alam manusia yang tidak dapat
dimiliki perorangan kecuali dalam keadaan tertentu, maka cara menjaganya harus
dilestarikan dan tidak digunakan dengan semena-mena. Misalnya, air sungai
dijaga kejernihanya dengan cara tidak membuang sampah atau limbah ke sungai.
Hutan dijaga kelestarian tumbuhannya, tidak boleh ada penebangan liar.
ü Hak
milik Negara, pada dasarnya kekayaan Negara merupakan kekayaan umum,
namun pemerintah diamanahkan untuk mengelolanya dengan baik. Dengan begitu
suatu Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan cara menjaga dan
mengelola sumber daya alam dan sumber pendapatan Negara jangan sampai diambil
alih oleh Negara lain dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi
(korupsi). Dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum juga, seperti
penyelenggaraan pendidikan, regenerasi moral, membangun sarana dan prasarana
umum, dan menyejahterakan masyarakat.
Dengan demikian, walaupun memelihara harta merupakan
urutan terakhir dalam lima unsur kemaslahatan, namun menurut penulis harta
merupakan tonggak utama dalam memelihara kelima tujuan syariah. Dengan memiliki
harta yang cukup akan terpenuhi semua lima maslahat (agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta).
F. Pembagian
Harta Dalam Islam
1. Mutaqawwim
dan Ghair Mutaqawwim
Menurut Wahbah Zuhaili(1989,IV,hal.44), al-maal
al mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan
sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syara' untuk memanfaatkannya, seperti
makanan, pakaian, kebun apel, dan lainnya. al-maal gairu al
mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan suatu
usaha, maksudnya harta tersebut belum sepenuhnya berada dalam genggaman
kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar laut, minyak di perut bumi, dan
lainnya. Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan,
kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim,
harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali
dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal
yang bisa menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan. Bagi non-muslim, minuman
keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama
Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau non-muslim yang
merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk menggantinya.
Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas
tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada
kewajiban untuk menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di
daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa
yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa
yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.
Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim dan ghair
mutaqawwim terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan:
v Sah
atau tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi. Al-maal al
mutaqawwim bisa dijadikan obyek transaksi, dan transaksi yang
dilakukan sah adanya. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, hibah, syirkah, dan
lainnya. Untuk ghair mutaqawwim, tidak bisa dijadikan obyek
transaksi, maka transaksinya rusak atau batal adanya. Al-maal al
mutaqawwim sebagai obyek transaksi, merupakan syarat sahnya sebuah
transaksi.
v Adanya
kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadi kerusakan. Jika harta mutaqawwim dirusak,
maka harus diganti. Jika terdapat padanannya, maka harus dganti semisalnya,
namun tidak bisa diganti sesuai dengan nilainya.
v Jika
harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka
tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang hidup
dalam daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya dibunuh, atau minuman kerasnya
dibakar, maka ada kewajiban untuk menggantinya, karena keduanya merupakan al-maal
al mutaqawwim bagi kehidupan mereka, ini merupakan pandangan ulama
fiqh Hanafiyah
2. 'Iqar
dan Manqul
Menurut Hanafiyah (1989.IV, hal.46), manqul adalah
harta yang memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat
lainnya, baik bentuk fisiknya (dzat atau 'ain) berubah atau tidak,
dengan adanya perpindahan tersebut. Diantaranya adalah uang, harta
perdagangan, hewan, atau apa pun komoditas lain yang dapat ditimbang atau
diukur. Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak
bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan
bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas
tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap
mengikuti atau bersatu dengan tanahnya. Jika tanah yang terdapat bangunannya
dijual, maka tanah dan bangunan tersebut merupakan harta 'iqar. Namun,
jika bangunan atau tanaman dijual secara terpisah dari tanahnya, maka bangunan
tersebut bukan merupakan harta 'iqar. Intinya, menurut Hanafiyah,
harta 'iqar hanya terfokus pada tanah, sedangkan manqul adalah
harta selain tanah. Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderung
memper sempit makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar.
Menurut malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk
dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat ketempat lainnya tanpa adanya
perubahan atas bentuk fisik semula, seperti kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya.
Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara asal tidak mungkin
bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau mungkin dapat dipindah, akan
tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah
akan berubah menjadi lempengan kayu.
Dalam perkembanganya, harta manqul dapat
berubah menjadi harta 'iqar, dan begitu juga sebaliknya. Pintu,
listrik, batu bata, semula merupakan harta manqul, akan tetapi
setelah melekat pada bangunan, maka akan berubah menjadi harta 'iqar. Begitu
juga dengan batu bara, minyak bumi, emas, ataupun barang tambang lainnya,
semula merupakan harta 'iqar, akan tetapi setelah berpisah dari
tanah berubah menjadi harta manqul.
Dengan adanya pembagian harta menjadi 'iqar dan manqul, akan
terdapat beberapa implikasi hokum sebagai berikut;
v Dalam
harta 'iqar terdapat hak syuf'ah, sedangkan
harta manqul tidak terdapat di dalamnya, kecuali hartamanqul tersebut
menempel pada harta 'iqar.
v Menurut
Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di -waqaf-kan
adalah harta 'iqar. Harta manqul diperbolehkan
jika menempel atau ikut terhadap harta 'iqar, seperti me-waqaf-kan
tanah beserta bangunan, perabotan, dan segala sesuatu yang terdapat di atasnya.
Atau harta manqul yang secara umum sudah menjadi obyek waqaf,
seperrti mushaf, kitab-kitab, atau peralatan jenazah. Berbeda dengam jumhur
ulama, menurut mereka. kedua macam harta tersebut dapat dijadikan sebagai
obyek waqaf.
v Seorang
wali tidak boleh menjual harta 'iqar atas orang yang berada
dalam tanggungannya, kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara', seperti
untuk membayar hutang, memenuhi kebutuhan darurat, atau kemaslahatan lain yang
bersifat urgen. Alangkah baiknya jika harta manqul yang lebih
diproritaskan untuk dijual, karena harta 'iqar diyakini
memiliki kemaslahatan lebih besar bagi pemilikinya, jadi tidak mudah untuk
menjualnya.
v Menurut
Abu Hanifah dan Abu Yusuf, harta ;iqar boleh ditransaksikan,
walaupun belum diserahterimakan. Berbeda dengan harta manqul, ia
tidak bisa ditransaksikan sebelum ada serah-terima, karena kemungkinan
terjadinya kerusakan sangat besar.
3. Mitsli
dan Qilmi
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran,
tanpa adaya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau
kesatuannya. Harta mitsli dapat dikatagorikan menjadi empat
bagian;
ü Al
makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandu, terigu, beras.
ü Al
mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti; kapas, besi,
tembaga.
ü Al
'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti; pisang, telor, apel,
begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe,
buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya.
ü Al
dzira'iyat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya)
seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya
(bagian), maka dikatagorikan sebagai harta qimi, seperti tanah.
ü Al
maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran,
atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda, seperti
domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari fisiknya, akan
tetapi stiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya.
Juga termasuk dalam harta qimiadalah durian, semangka yang memilki
kualitas dan bntuk fisik yang berbeda.
Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa
berubah menjadi harta qimi atau sebaliknya;
· Jika
harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi
kelangkaan atau scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi,
· Jika
terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis
yang berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobiltersebut menjadi
harta qimi,
· Jika
harta qimi terdapat anyak padanannya di pasaran, maka secara
otomatis menjadi harta mitsli.
Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi,
memiliki implikasi hukum sebagai berikut;
v Harta mitsli bisa
menjadi tsaman (harga) dalam jual-beli hanya dengan
menyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak
bisa menjadi tsman. Jika harta qimi dikaitkan
dengan hak-hak finansial, maka harus disebutkan secara detail, karena hal itu
akan mempengaruhi nilai yang dicerminkannya, seperti domba Australia, tentunya
akan berbeda nilainya dengan domba Indonesia, walaupun mungkin jenis dan
sifatnya sama.
v Jika
harta mitsli dirusak oleh orang, maka wajib diganti dengan
padanannya yang mendekati nilai ekonomisnya (finansial), atau sama.
v Tapi
jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai dengan
keinginanya, walaupun tanpa izin dari pihak lain. Berbeda dengan
harta qimi walaupun mungkin jenisnya sama, tapi nilainya bisa
berbeda, dengan demikian pengambilan harus atas izin orang-orang yang
berserikat.
v Harta mitsli rentan
dengan riba fadl. Jika terjadi pertukara diantara harta mitsli,
dan tidak terdaat persamaan dalam kualitas, kuantitas, dankadarnya, maka akan
terjebak dalam riba fadl. Berbeda dengan harta qimi yang
relatif resisten terhadap riba. Jika dipertukarkan dan terdapatperbedaan, maka
tidak ada masalah. Diperbolehkan menjual satu domba dengan dua domba.
4. Istikhlaki
dan Isti'mali
Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan
kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan
dan minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika kita ingin memanfaatkan
makanan dan minuman, maka kita harus memakan dan meminumnya sampai bentuk
fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang tersebut tidak akan mendatangkan
manfaat, kecuali dengan merusaknya.
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan
membelanjakanya. Ketika uang tersebut keluar dari saku dan genggaman sang
pemilik, maka uang tersebut dinyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi
milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih
tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah harta yang hanya
bisa dikonsumsi sekali saja.
Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin untuk bisa
dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah
kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istikhlaki,
harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa
kali.
Harta istikhlaki bisa ditransaksikan
dengan tujuan konsumsi, tidak bisa misalnya kita meminjamkan dan atau
menyewakan makanan. Sebaliknya, harta isti'mali bisa digunakan
sebagai obyek iijarah (sewa). Namun demikian kedua harta
tersebut bisa dijadikan sebagaiobyek jual beli atau titipan.
Disamping itu, Mustafa A. Zarqa juga membagi harta
menjadi maal al ashl dan maal al tsamarah. Yang dimaksud
dengan maal al ashl adalah harta benda yang dapat menghasilkan
harta lain. Sedangkan harta maal al tsamarahadalah harta benda yang
tumbuh atau dihasilkan dari maal al ashl tanpa
menyebabkan kerusakan atau kerugian atasnya. Misalnya sebidang kebun menghasilkan
buah-buahan. Maka, kebun merupakan maal al ashl, sedang buah-buahan
merupakan maal al tsamarah (Zarqa,III,HAL.217-218).
Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi Implikasi hukum sebagai berikut;
Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi Implikasi hukum sebagai berikut;
v Pada
prinsipnya, harta wakaf tidk dapat dimiliki atau ditasharrufkan menjadi milik
peorangan, namun hal serupa dapat dilakukan terhadap hasil harta wakaf.
v Harta
yang dipruntukkan bagi kepentingan dan fasilitas umum, seerti jalan dan
pasar,pada prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh erseorangan. Sedangkan
penghasilan dari harta umum ini dapat dimiliki (Mas'adi,2002, hal.27-28)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Teori
Harta
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan
manusia, unsur dlaruri yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Dengan harta, manusia bisa memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi
ataupun immateri.
2. Teori
Kepemilikan
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia
dengan harta yang ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus
untuk melakukan transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan
hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia,
baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat.
3. Harta Dalam
Sudut Pandang Islam
Harta dinamakan al-mal mengingat semua orang, siapa,
kapan dan dimanapun pada dasarnya adalah condong, senang, mau dan cinta pada
harta khususnya uang. Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala
sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum
Islam) seperti jual-beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian.
4. Kepemilikan
Harta Dalam Islam
Kepemilikan harta dalam Islam dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu : kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara.
5. Maqashid
Syariah Dalam Kepemilikan
Maqashid syariah atau memelihara harta dalam
kepemilikan harta adalah sebagai berikut :
ü Hak
milik individu, dalam mendapatkannya harus sesuai dengan syariat Islam yaitu
dengan cara bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan harta orang lain
dengan cara yang bathil atau memakan hasil riba. Menggunakannya pun harus
sesuai dengan syariat Islam, tidak digunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh
agama dan tidak digunakan untuk hal-hal yang bersifat mubazir atau pemborosan.
Selain itu, harus mengeluarkan zakat dan infaq guna membersihkan harta sesuai
dengan harta yang dimiliki.
ü Hak
milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda-benda ini secara umum (air,
rumput dan api) yang merupakan sumber daya alam manusia yang tidak dapat
dimiliki perorangan kecuali dalam keadaan tertentu, maka cara menjaganya harus
dilestarikan dan tidak digunakan dengan semena-mena. Misalnya, air sungai
dijaga kejernihanya dengan cara tidak membuang sampah atau limbah ke sungai. Hutan
dijaga kelestarian tumbuhannya, tidak boleh ada penebangan liar.
ü Hak
milik Negara, pada dasarnya kekayaan Negara merupakan kekayaan umum, namun
pemerintah diamanahkan untuk mengelolanya dengan baik. Dengan begitu suatu
Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan cara menjaga dan mengelola
sumber daya alam dan sumber pendapatan Negara jangan sampai diambil alih oleh
Negara lain dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi (korupsi). Dan
hasilnya digunakan untuk kepentingan umum juga, seperti penyelenggaraan
pendidikan, regenerasi moral, membangun sarana dan prasarana umum, dan
menyejahterakan masyarakat.
6. Pembagian Harta
Dalam Islam
1) Mutaqawwim
dan Ghair Mutaqawwim
Menurut Wahbah Zuhaili(1989,IV,hal.44), al-maal
al mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan
sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syara' untuk memanfaatkannya,
sedangkan al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum
diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum
sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia
2) 'Iqar
dan Manqul
manqul adalah
harta yang memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat
lainnya, baik bentu fisiknya (dzat atau 'ain) berubah atau tidak,
dengan adanya perpindahan tersebut, sedangkan 'iqar adalah
sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat
lainnya, seperti tanah dan bangunan.
3) Mitsli
dan Qilmi
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran,
tanpa adaya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau
kesatuannya, sedangkan Al maal al qimi adalah harta yang tidak
terdapat padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai
tiap satuannya berbeda, seperti domba, tanah, kayu, dan lainnya.
4) Istikhlaki
dan Isti'mali
Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan
kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan
dan minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Sedangkan Al maal al
isti'mali adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkan tanpa
harus merusak bentuk fisiknya.
B. Kritik
Dan Saran
Saran dan masukan melalui diskusi mengenai makalah ini
sangat membantu penulis untuk melengkapi kekurangan-kekurangan dalam materi
ini, karena penulis akui dalam penulisan makalah ini adanya keterbatasan
literatur yang ditemui.
Daftar Pustaka
1. Al-Qur’an dan Terjemahnya
2. Abdullah,
Taufik, dkk. 1999. Ensiklopedi Islam, Jilid 2. Jakarta : PT Ichtiar
Baru Van Hoeve
3. Abdul
Fatah al-Husaini, al-Syaikh, Buhuts fi al-Fiqh al-Islami (universitas al-Azhar,
1971)
4. Afif,
Ahmad Mustafa, “Atsar Nuzhum al-Mudharabah wa al-Musyarakah al Ribhiyyah
al-Masyru’at al-Iqtishadiyyah, “tesis magister Institut Studi Islam, tahun 1984
5. Anto,
Hendrie. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta :
Ekonisia
6. Anshori,
Abdul Ghofur. 2006. Gadai Syariah di Indonesia, Konsep, Implementasi,
dan Institusionalisasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
7. Amalia,
Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok : Gramata Publishing, 2010)
8. Basyir,
Ahmad Azhar. 2000. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam).
Yogyakarta : UII Press
9. Behesti.
1992. Kepemilikan Dalam Islam. Jakarta : Pustaka Hidayah
10. Chapra,
Umer. 2001. Masa Depan Ilmu E0konomi, Sebuah Tinjauan Islami.
Jakarta : Gema Insani Press
11. Dahlan,
Abdul Aziz, dkk. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve
12. Djamil,
Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997)
13. Djazuli.
2007. Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syariah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
14. Hafidhuddin,
Didin, Dakwah Aktual, Jakarta,Gema Insani Press. Keputusan Muktamar
Tarjih XXII,1990, Malang
15. Mas'adi,
Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
16. Nabhani,
Taqyudin, Membangun sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam,
(Surabaya:Risalah gusti.2002)
17. Rahman,
Fazlur, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000)
18. Shiddiqiy,
Muhammad Hasbiy. 1997. Pengantar Fikih Muamalah. Semarang :
Pustaka Rizki Putra
19. Sholahuddin,
Muhammad, Asas-asas Ekonomi Islam,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007)
20. Suma,
Muhammad Amin, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam,
(Jakarta : Kholam Publishing, 2008)
21. Syahatah,
Husain, Usul al-Fikr al-Muhasib al-Islami, Terj Khusnul Fatarib, Pokok-pokok
pikiran Akutansi Akutansi Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana)
22. Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu, Terjemahan Jilid 6, (Jakarta : Gema
Insani, 2011)
23. Zallum, Abdul Qadim, al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Dar al-Ilm li al-malayin, 1988, Terj. Ahmad S dkk, Sistem Keuangan di Negara Khalifah, Pustaka Thariq al-Izzah, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar