BAB
IV
PEMBAKAR
HUTAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
A.
Penyebab Kebakaran Hutan
Hutan merupakan kawasan
yang
ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan
dan tumbuhan lainnya. Kawasan ini banyak terdapat di wilayah-wilayah yang luas
di dunia. Hutan memiliki fungsi sebagai
penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah. Hutan merupakan salah satu aspek biosfera bumi[75] yang
paling penting dalam menjaga
kestabilan alam dan lingkungan tempat kita hidup didalamnya.
Selama
ini perhatian khusus terhadap nilai pentingnya keberadaan hutan bagi masyarakat
sangat kurang. Hutan selalu identik dengan bank-hidup yang mampu memberikan
keuntungan dan kepuasan ekonomidiantaranya dalam bentuk uang tunai. Hal ini
sangat mencolok dalam perubahan polakehidupan masyarakat sekitar hutan.[76]
Sekarang luas hutan dunia merosot tajam.tahun demi tahun
luasnya berkurang akibat dari berbagai peristiwa, baik oleh alam maupun oleh
ulah manusia. Disamping usaha eksploitasi hutan dan merubah hutan menjadi lahan
pertanian, penyusutan luas hutan yang paling berpengaruh adalah akibat
kebakaran baik sengaja maupun tidak sengaja.
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia
untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan
hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia
mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar
bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan,
meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa
liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya.[77]
Inilah alasan utama mengapa api menjadi alat yang paling efektif dalam membuka
lahan dengan membakar hutan.
Salah
satu akibat yang paling nampak dari salah urus pengelolaan hutan selama 30
tahun adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan dan lahan,
khususnya di Kalimantan dan Sumatera. Hutan-hutan tropis basah yang belum
ditebang (belum terganggu) umumnya benar-benar tahan terhadap kebakaran dan
hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya,
hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak
belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran.[78]
Bukti
ilmiah berdasarkan pendataan karbon radioaktif dari endapan kayu arang di
Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan hutan dataran rendah telah berulang
kali terbakar paling sedikit sejak 17.500 tahun yang lalu,[79]
selama beberapa periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama
periode Glasial Kuarter.[80]
Kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi kemungkinan
manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran di milenium terakhir ini, pertama
untuk memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk membuka petak-petak pertanian
di dalam hutan. Meskipun kebakaran telah menjadi suatu ciri hutan-hutan di
Indonesia selama beribu-ribu tahun, kebakaran yang terjadi mula-mula pasti
lebih kecil dan lebih tersebar dari segi frekuensi dan waktunya dibandingkan
dua dekade belakangan ini. Oleh karena itu, kebakaran yang terjadi mula-mula
ini bukan merupakan penyebab deforestasi yang signifikan. Hal ini terlihat
jelas dari kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Kalimantan, misalnya, dari
dulu berhutan, dan baru pada waktu belakangan ini mengalami deforestasi yang
sangat tinggi.[81]
Berbagai
proses degradasi hutan dan deforestasi mengubah kawasan hutan yang luas di
Indonesia dari suatu ekosistem tahan kebakaran menjadi ekosistem yang rentan
terhadap kebakaran. Perubahan yang mendasar ini, ditambah dengan terjadinya
fenomena iklim El Niño, telah
menyebabkan peledakan kebakaran hebat yang terjadi selama 20 tahun terakhir
ini.
Indonesia
juga memiliki beragam undang-undang lingkungan dan peraturan lainnya yang
menghukum pelaku pembakaran yang dilakukan secara sengaja, baik di tingkat
nasional dan di tingkat propinsi. Namun demikian berbagai undang-undang ini
jarang ditegakkan. Bahkan akibat kebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada
tindakan resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat
dalam pembakaran, dan pada saat penulisan laporan, tidak ada hukuman resmi
penting yang dijatuhkan.[82]
Laporan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP menyimpulkan bahwa "Indonesia
tidak memiliki suatu organisasi pengelolaan kebakaran yang profesional.
Berbagai usaha pemadaman kebakaran dilakukan berdasarkan koordinasi di antara
beberapa lembaga yang terkait. Berbagai lembaga yang terlibat dalam pengelolaan
kebakaran tidak memiliki mandat yang memadai, tingkat kemampuan dan peralatan
yang tidak memadai untuk melakukan tugas-tugas mereka". Departemen
Kehutanan merupakan satu-satunya lembaga pemerintah dengan tugas khusus untuk
pencegahan dan pengendalian kebakaran. Direktorat untuk menanggulangi kebakaran
hutan berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (PHKA).
Kelemahan
pokok dalam hal pemadaman kebakaran di Indonesia yang diidentifikasi oleh
kajian Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP meliputi: tumpang tindihnya
fungsi di antara berbagai lembaga yang berbeda; wewenang dan tanggung jawab
kelembagaan yang tidak jelas; mandat yang tidak memadai; dan berbagai kemampuan
kelembagaan lokal yang lemah.[83]
Penerapan
peraturan yang gagal, menurut kajian, merupakan akibat dari: kurangnya kemauan
politik di pihak lembaga penegak hukum; lemahnya akses terhadap data kebakaran
bagi para pejabat penegak hukum; keterbatasan fasilitas dan peralatan untuk
mendukung berbagai penyidikan di lapangan; berbagai persepsi yang berbeda di
antara berbagai lembaga tentang mana yang merupakan bukti resmi yang memadai
dari pembakaran yang disengaja; kurangnya pemahaman tentang berbagai peraturan
resmi mengenai kejahatan perusahaan yang memberikan peluang bagi perusahaan,
daripada para individu pekerja, untuk dituntut; "lemahnya integritas"
di pihak para penegak hukum; dan "berbagai konflik kepentingan"
antara berbagai lembaga, sebagian di antaranya ditugaskan untuk konservasi dan
pemadaman kebakaran, sementara yang lainnya bertugas untuk mengembangkan
perkebunan dan meningkatkan berbagai hasil pertanian.[84]
Kebakaran
dapat menimbulkan bahaya atau mendatangkan bencana. Kebakaran bisa terjadi, karena pembakaran
yang
tidak terkendali, karena proses alami atau karena kelalaian manusia. Sumber api alami antara
lain
adalah kilat, yang menyambar pohon atau
bangunan, letusan gunung berapi yang menyebaran bongkahan barapi dan bergesekan antara ranting tumbuhan kering, karena goyangan
angin yang
menimbulkan panas
atau percikan api. Sedangkan pembakaran adalah
tindakan membakar sesuatu
untuk tujuan tertentu.
Indonesia memiliki hutan tropis
terbesar
di dunia, yang keluaasanya
menempati urutan ke tiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo.[85]
Dengan demikian Indonesia memiliki potensi
sumber daya hutan sangat
besar. Selama 32 tahun pemerintah orde baru menempatkan sector
kehutanana sebagai
andalan perolehan devisa negara ke dua setelah sector migas. Sektor kehutanan juga menyerap bangak tenaga kerja
dan mampu
mendorong terbentuknya sentra-sentar ekonomi dan
membuka keterlisolasian
di beberapa daerah terpencil. Namun, bersamaan dengan itu pula sebagai dampak negatif atas pengelolaan hutan yang eksplitatif
dan
tidak
berpihak pada kepentingan rakyat,
pada akhirnya menyisakan persoalan,
di antaranya kerusakan
hutan yang sangat menghawatirkan.
Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72
% menurut World Resource
Institute. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali
selama
puluhan tahun
dan
menyebabkan
terjadinya penyusutan
hutan
tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan
periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode
1997-2000 menjadi 3,8 juta
hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan
tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil
penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan
rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. (badan
Planologi Dephut, 2003). [86]
Setelah
bencana El Nino pada tahun 1997/98 yang menghanguskan 25 juta ektar hutan diseluruh dunia. Kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia pada tahun yang sama bahkan disebutkan sebagai bencana
terburuk tahun 1997 karena dampaknya bagi hutan dan emisi karbon yang
dilepaskan ke udara. Lebih dari 2.67 juta ton karbon dioxide dilepaskan keudara
oleh pembakaran tersebut. Nilainya setara dengan 40 persen dari seluruh
emisi yang ditimbulkan
dari pembakaran bahan bakar
fosil di Indonesia selama setahun.
Bapenas memperkirakan kerugian dari kebakaran
4,5 juta hektar
hutan dan lahan
pada tahun 1997/1998 mencapai angka US$ 9,72 milyar.[87]
Kebakaran
hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi.
Di akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998, saat api membinasakan berjuta-juta hektar
hutan tropika di
Indonesia. Peristiwa kebakaran
yang merusak tersebut mengakibatkan terjadinya lintasan panjang di Pulau
Sumatera dan Kalimantan, berbentuk selimut asap yang tebal dan secara serius
membahayakan kesehatan manusia. Kebakaran ini juga membahayakan keamanan
perjalanan udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di
seluruh kawasan dan menimbulkan banyak keluhan dari Negara tetangga.[88]
Rekor ini
kembali dipecahkan dengan angka yang lebih fantastis, dimana di beberapa
wilayah Indonesia pada 1997/1998 api melalap 11,7 juta hektar hutan yang
menghasilkan selimut tebal asap di Asia Tenggara. Angka ini
pada tahun-tahun berikutnya
menurun walaupun cenderung tidak
terdokumentasi dengan baik, namun
dominasi Indonesia tetap tak tertandingi.[89]
Kebakaran
hutan dan lahan merupakan bukan hal baru terjadi disejumlah daerah di
Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database yang seharusnya
menjadi acuan guna dijadikan pola dalam menganalisa upaya pencegahan yang
dilakukan pada masa mendatang.[90]
Hal tersebut dimaknai sebagai salah satu kapabilitas yang
dijalankan oleh pemerintah,
pola menganalisa merupakan metode untuk mengukur pekerjaan
mereka serta beragam pencegahan yang efektif dibantu track record tersebut.
Database dijadikan pola analisa sekaligus menjadi catatan terhadap kapabilitas
atau kemampuan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah di pusat maupun di daerah
melaksanakan tugasnya, didukung dengan pembagian tugas yang semakin jelas dan
baik
Dalam kertas
posisi yang telah
disampaikan oleh wahana lingkungan hidup (WALHI)
menyebutkan bahwa penyebab kebakaran hutan
yang berakibat pada pencemaran asap dan meningkatnya emisi
karbon disebabkan oleh kebakaran yang dilakukan secara sengaja dan rambatan api
di kawasan/lahan gambut dengan total luas hutan dan lahan yang terbakar dalam
kurun waktu 6 tahun terakhir mencapai
27,612 juta hektar.
Data yang dimiliki
oleh WALHI menunjukkan bahwa tindakan
kesengajaan secara khusus di wilayah Sumatera
dan Kalimantan dipicu
oleh pembakaran lahan
untuk perkebunan sawit dan
HTI oleh perusahaan
dan proyek lahan
sejuta hektar yang berbuntut ekspor asap ke wilayah negara lain, antara
lain Malaysia dan Singapura.[91]
Kebakaran
hutan dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari
masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. Hutan Indonesia sebenarnya masuk dalam
kategori hutan hujan basah yang sebenarnya kecil kemungkinan terjadi kebakaran
dengan sendirinya atau yang
disebabkan karena faktor
alam. Faktanya, kawasan
yang terbakar adalah kawasan yang
telah telah dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu
persiapan pembangunan kawasan perkebunan. Artinya, kebakaran hutan secara nyata
dipicu oleh api yang sengaja dimunculkan.[92]
Pertanyaan
publik nasional dan internasional mengenai keseriusan penegakan hukum baik yang
bersumber pada peraturan perundang- undangan yang ada maupun instrumen
internasional yang telah disepakati oleh Indonesia menjadi pertanyaan serius,
terutama untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, kepentingan menjaga
lingkungan, dan penerapan prinsip zero burning.
Kapabilitas
Pemerintah Daerah Provinsi Riau selama ini tidak luput dari perhatian nasional
maupun negara tetangga, terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
yang menimbulkan dampak kabut asap, yang asapnya dirasakan hingga wilayah negara tetangga (Singapura dan Malaysia)
menimbulkan isu keamanan lingkungan bersifat
lintas batas, serta
dampak asap sampai
pada provinsi tetangga (Kepulauan
Riau, Sumatera Barat
serta Jambi), hal
ini disebabkan oleh faktor dari letak geografis Riau.
Frekuensi
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau hampir setiap tahun, jelas
meresahkan masyarakat karena beragam kerugian dampak dari kabut asap, dari sisi
pemerintahan pada tingkat daerah sudah dalam dua tahun terakhir menyatakan
ketidak mampuan dalam menanggulangi kebakaran, dengan menetapkan status darurat
kabut asap dan memintah bantuan dari Pemerintah Pusat. Kerugian ekonomi,
ekologis serta sosial pun terjadi begitu besar akibat kebakaran karena
menciptakan kabut asap. Pengembangan usaha perkebunan terutama perkebunan
kelapa sawit merupakan
faktor penting dalam
konversi hutan yang berpengaruh pada kebakaran.[93]
Kebakaran
hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi kemungkinan manusia mempunyai
peran dalam memulai kebakaran di milenium terakhir ini, perburuan dan selanjutnya untuk membuka
petak- petak pertanian di dalam hutan. Meskipun kebakaran telah menjadi suatu
ciri hutan-hutan di Indonesia selama beribu-ribu tahun, kebakaran yang terjadi
mula-mula pasti lebih kecil dan lebih tersebar dari segi frekuensi dan waktunya
dibandingkan dua dekade belakangan ini. Oleh karena itu, kebakaran yang
terjadi mula-mula ini
bukan merupakan penyebab deforestasi yang signifikan.
Terlihat
jelas dari kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia adalah hutan, dan
baru pada waktu belakangan ini mengalami deforestasi yang sangat tinggi.
Berbagai proses degradasi hutan dan deforestasi mengubah kawasan hutan yang
luas di Indonesia dari suatu ekosistem yang tahan kebakaran menjadi ekosistem yang
rentan terhadap kebakaran.
Besar kerugian
materil sudah tak terhitung jumlahnya
akibat kebakaran hutan dan asap ini. Mulai dari nilai hutannya sendiri (kayu,
margasatwa dan lingkungan), kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan
prasarana serta harta penduduk yang terkadang ikut terbakar, sampai kepada
biaya yang terjadi karena gangguan
pada trasportasi. Gangguan
transportasi dapat berupa
penundaan penerbangan, keterlambatan karena jarak pandang yang terbatas, atas
lebih celaka lagi kalau terjadi musibah kecelakaan gara-gara asap.
Musibah
dengan meningkatnya emisi rumah kaca Namun berbagai aktivitas manusia, terutama
proses industri dan transportasi, menyebabkan Gas Rumah Kaca GRK) yang
diemisikan ke atmosfer di perparah dengan kebakaran hutan dan lahan yang tidak
terkendali. Alhasil, terjadilah perubahan komposisi GRK diatmosfer. Hal ini
kemudian menyebabkan radiasi yang dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke
luar angkasa terhambat.[94]
Akibatnya,suhu rata-rata diseluruh permukaan bumi meningkat. Peristiwa ini
disebut Pemanasan Global. Jadi perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor
alami, seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi, tidak
diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim.[95]
Musibah
ini tidak hanya menimpa negeri yang punya hutan dan asap tersebut, melainkan
juga merambat ke negeri tetangga seperti
Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Sehingga selain negara-negara
tersebut menyumbangkan tenaga dan dana bagi penaggulangan kebakaran hutan dan
asap, mereka juga menyampaikan kritikan pedas bagi
Indonesia.
1.
Faktor Penyebab Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan terjadi karena beberapa factor, yakni oleh
ulah manusia dan faktor alam itu sendiri. Faktor alam biasa terjadi pada musim kemarau ketika cuaca sangat
panas. Namun, sebab utama dari
kebakaran
adalah pembukaan lahan
yang
meliputi ;[96]
a.
Pembakaran lahan yang tidak terkendali sehingga merembet ke lahan lain Pembukaan lahan
tersebut dilaksanakan
baik
oleh masyarakat
maupun perusahaan. Namun bila pembukaan lahan dilaksanakan
dengan
pembakaran dalam
skala besar, kebakaran tersebut sulit terkendali. Pembukaan lahan
dilaksanakan untuk
usaha perkebunan, HTI, pertanian lahan kering,
sonor dan mencari ikan. pembukaan lahan yang paling berbahaya adalah di daerah rawa/gambut.
b.
Penggunaan lahan
yang menjadikan lahan
rawan
kebakaran,
misalnya di
lahan bekas HPH dan
di daerah yang beralang-alang.
c.
Konflik antara pihak pemerintah, perusahaan
dan masyarakat karena status lahan sengketa Perusahaan-perusahaan kelapa sawit
kemudian menyewa
tenaga
kerja dari
luar
untuk
bekerja
dan membakar lahan masyarakat lokal yang
lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan, untuk mengusir masyarakat.
Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi
terdegradasi, dan dengan demikian perusahaan akan lebih mudah dapat mengambil
alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk
asli.
d.
Dalam beberapa kasus,
penduduk lokal juga
melakukan pembakaran untuk memprotes pengambil-alihan lahan mereka oleh
perusahaan kelapa sawit.
e.
Tingkat pendapatan masyarakat
yang relatif rendah,
sehingga terpaksa memilih alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk
pembukaan lahan.
f.
Kurangnya penegakan hukum
terhadap perusahaan yang melanggar peraturan pembukaan lahan
g.
Pembukaan lahan secara liar baik oleh perorangan dan perusahaan.
2.
Penyebab kebakaran lain, antara lain:
a.
Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang
panjang.
b.
Kecerobohan manusia antara
lain membuang puntung
rokok secara sembarangan dan lupa mematikan api di perkemahan.
c.
Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari
letusan gunung berapi.
d.
Kebakaran di bawah
tanah/ground fire pada
daerah tanah gambut yang dapat
menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau
e.
Hutan-hutan tropis basah yang belum terganggu umumnya benar- benar
tahan terhadap kebakaran dan hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang
berkepanjangan. Sebaliknya, hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami
degradasi, dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran.
B. Dampak Kebakaran
Hutan
1.
Bencana Ekonomis
Menurut pemerintah, 2,6 juta
hektar lahan dan
hutan telah terbakar antara
bulan Juni dan Oktober
2015,[97]
setara dengan ukuran empat setengah kali
lipat Pulau Bali. Kebakaran yang diakibatkan ulah manusia
tersebut – lebih dari 100.000 kebakaran[98]–
dilakukan untuk mempersiapkan lahan
pertanian dan untuk memperoleh
tanah secara murah.
Dengan tidak diterapkannya pola pembakaran
yang terkendali maupun
penegakan hukum yang memadai,
kebakaran menjadi tidak terkendali, didorong oleh kekeringan dan
diperburuk dengan pengaruh El Niño.
Kerugian
ekonomi dan lingkungan yang luas ini berulang setiap tahun. Hanya beberapa
ratus bisnis dan beberapa ribu petani saja yang memperoleh keuntungan dari praktik-praktik spekulasi tanah dan
perkebunan. Sementara puluhan juta rakyat Indonesia yang lain menderita
kerugian dengan adanya pengeluaran biaya kesehatan dan gangguan ekonomi. Pada
tahun 2015, kerugian bagi negara Indonesia akibat kebakaran diperkirakan
mencapai Rp 221 triliun (16,1 miliar dolar AS).[99]
Biaya tersebut secara regional dan global akan jauh lebih tinggi. Pemerintah
telah berjanji untuk
memprioritaskan pengendalian kebakaran dan Presiden telah menyerukan pengambilan tindakan. Sekarang adalah
waktunya bagi Indonesia untuk mengatasi pendorong utama kebakaran akibat ulah
manusia, menegakkan hukum, dan mengubah kebijakan guna mengurangi risiko
berulangnya bencana ekonomi ini.
Hingga
bulan Oktober tahun 2015,
masing-masing dari delapan provinsi
mencatat kebakaran dengan luas
melebihi 100.000 hektar.[100] Pulau Sumatera dan Kalimantan – dimana sebagian besar lahan gambut yang rawan di negeri ini
berada – – adalah wilayah yang paling menderita. Provinsi Sumatera Selatan dan
Kalimantan Tengah masing- masing mewakili 23 persen dan 16 persen dari jumlah
luas lahan yang terbakar. Tidak seperti tahun-tahun yang lalu, kebakaran di
Papua meluas hingga 10 persen dari jumlah luas lahan yang terbakar secara
nasional. Ini perkembangan yang sangat menyayangkan karena dibanding propinsi
lain, lahan gambut di Papua masih utuh terjaga di Indonesia. Pengeringan dan
konversi lahan gambut,
yang terutama didorong oleh
produksi minyak kelapa sawit, berkontribusi terhadap peningkatan intensitas kabut asap
dari kebakaran.
Badan
Restorasi Gambut (BRG) melaporkan sekitar
33 persen dari jumlah lahan yang
terbakar merupakan lahan gambut,[101]
yang menyebabkan kabut asap berbahaya yang menyelimuti wilayah Indonesia dan
kawasan sekitarnya, mengganggu perhubungan,
perdagangan, dan pariwisata,
memaksa penutupan sekolah-sekolah, dan
memperburuk kesehatan warga setempat. Kebakaran tahun 2015 itu juga
berkontribusi secara signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) di
Indonesia.[102]
Pembakaran
telah lama menjadi
alat pertanian di Indonesia.
Secara tidak resmi, proses pembakaran juga berperan penting dalam pembukaan lahan. Sehingga sementara banyak yang dirugikan akibat meluasnya
kebakaran dan kabut asap, sejumlah pihak
memperoleh keuntungan besar.
Artikel ini menjelaskan, siapa yang untung dan rugi, memperkirakan
kerugian ekonomi dan kerusakan yang
terkait dengan kebakaran dari delapan
provinsi, serta menghubungkannya dengan keuntungan yang diperoleh dari
salah satu sektor pertanian – yaitu kelapa sawit.[103]
Bank
Dunia memperkirakan bahwa kebakaran di
Indonesia di tahun 2015 menelan biaya setidaknya Rp 221 triliun (16,1 dolar AS)
atau setara dengan 1,9 persen dari PDB tahun 2015. Angka ini lebih dari dua
kali lipat biaya rekonstruksi pasca tsunami Aceh.[104]
Analisis
ini memperkirakan dampak terhadap pertanian, kehutanan, perdagangan, pariwisata, dan perhubungan. Efek jangka pendek dari paparan kabut asap
terhadap kesehatan dan penutupan sekolah juga disertakan. Biaya lainnya yang
diketahui mencakup biaya terkait lingkungan hidup, tanggap darurat, dan pemadaman kebakaran. Namun, perkiraan ini belum
sepenuhnya mengidentifikasi dampak kesehatan jangka panjang akibat keterpaparan
yang berkelanjutan terhadap kabut asap, maupun hilangnya semua layanan
ekosistem. Selain itu, perkiraan tersebut
tidak menyertakan kerugian secara regional maupun global.[105]
2.
Bencana Lingkungan Hidup
a.
Emisi Rumah Kaca
Menghitung emisi
gas rumah kaca
dari kebakaran di Indonesia
tidak mudah dan
bergantung pada pengukuran jumlah dan kedalaman lahan gambut yang terbakar. Sementara semua
kebakaran menghasilkan emisi gas rumah kaca, emisi CO2 dari kebakaran biasanya
diimbangi oleh pertumbuhan kembali tanaman pasca kebakaran. Hal ini tidak
terjadi dalam kasus kebakaran lahan gambut, karena api membakar karbon yang
telah tersimpan selama ribuan tahun dan tidak dapat diganti. Lahan gambut telah
lama menjadi sasaran konversi lahan –
mengeringkan lahan rawa yang tampaknya
tidak produktif dan kemudian membersihkannya dengan dibakar untuk lahan
pertanian. Lahan gambut yang sudah kering akan cepat terbakar dan sulit untuk
dipadamkan. [106]
Karena
material organik pembentuknya, gambut menjadi unik. Layaknya spons, gambut
memiliki kemampuan menyimpan air. Kubah gambut (peat dome), yang ada di
pulau-pulau seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua dapat diibaratkan waduk yang
dapat menyimpan jutaan kubik air berasal dari air hujan.
Air
tersebut yang kemudian mengalir sepanjang tahun untuk mendukung kehidupan
ekologis, termasuk manusia.[107]
Gambut juga mengatur tata air, rantai air, menjaga kualitas air dan pengendali
banjir.
Eksploitasi
gambut berarti mengubah bentang alami yang ada. Gambut dikeringkan, dengan cara
membuat kanal-kanal salurah air yang akan mengeluarkan air di lahan gambut. Kanalisasi
lahan gambut membuat gambut menjadi kering.[108]
Keberadaan kanal menyebabkan kadar air gambut menurun, akibatnya di bagian atas
permukaan gambut dapat ditanami oleh spesies introduksi pertanian, perkebunanan
dan kehutanan yang sistem perakarannya harus berada di lahan kering.
Akibatnya,
ketebalan vertikal area yang dikeringkan tergantung kepada peruntukan tanaman.
Umumnya permukaan lahan gambut yang dikeringkan antara 40-100 cm. Menurut Kementerian
Pertanian, di Indonesia diperkirakan terdapat 4-6 juta hektar lahan gambut yang
dapat digunakan untuk budidaya lahan perkebunan, umumnya berada di wilayah
gambut dangkal.
Akan
tetapi, ketidak hati-hatian dalam pembukaan lahan dan pembuatan kanal yang
tidak memperhitungkan ketebalan gambut, menyebabkan kubah gambut terbelah oleh
kanal. Alhasil sistem ekologis yang telah ada selama ribuan tahun berubah.
Bahan organik yang ada di dalam gambut menjadi kering dan mudah terbakar pada
saat musim kering.
Secara
ilmiah jika dihitung, emisi lahan gambut yang berasal dari kebakaran lahan (46
persen) yang diikuti oleh oksidasi gambut (25 persen) dan penghapusan biomassa
(mencapai 24 persen) dari deforestasi dan degradasi hutan. Lahan gambut
menyumbang 50 persen emisi gas rumah kaca Indonesia.[109]
Kebanyakan
lahan gambut ditemukan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, tetapi tidak ada
peta dasar (baseline) daerah lahan
gambut yang lengkap dan disepakati.
Dengan mengizinkan pengeringan dan pembakaran lahan gambut,
hal tersebut memiliki konsekuensi perubahan iklim yang signifikan, bahkan
global, serta konsekuensi terhadap kesehatan
dan perekonomian di Indonesia dan
kawasan sekitarnya. Selain berkontribusi secara signifikan terhadap emisi gas
rumah kaca, kebakaran lahan gambut juga memproduksi kabut asap, karena memiliki
kandungan aerosol yang tinggi.
Basis
Data Emisi Kebakaran Global versi 4 (Global Fire Emissions Database
version 4, GFED4)
memberikan suatu perkiraan terbaik
dampak emisi gas
rumah kaca, walaupun belum terlalu akurat, akan dampak kebakaran tahun 2015.
Metode ini memperluas perkiraan dari
tahun-tahun sebelumnya berdasarkan pemetaan citra satelit daerah
terbakar dan konsumsi
bahan bakar dan deteksi
kebakaran yang sedang terjadi (aktif).[110]
GFED memperkirakan bahwa pada tahun 2015, kebakaran hutan di Indonesia
menyumbang sekitar 1.750 juta metrik ton setara karbon dioksida (MtCO2e)
terhadap emisi global pada tahun
2015. Sebagai perbandingan, berdasarkan
Komunikasi Nasional ke-2 dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change), Indonesia memperkirakan emisinya secara
nasional tahunan adalah sebesar 1.800
MtCO2e. Indonesia telah berjanji untuk mengurangi emisi sebesar
29 persen (atau 41 persen dengan dukungan keuangan internasional)
dibandingkan dengan skenario seperti
biasanya (business as usual) pada
tahun 2030 sebagai bagian dari kontribusinya untuk menjaga agar peningkatan
suhu global tidak melebihi 2 derajat Celsius. Kebakaran seperti yang terjadi
pada tahun 2015 akan membuat sasaran ini tidak mungkin tercapai. [111]
b.
Dampak Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Kebakaran
hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang terbakar
berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan.[112]
Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi,
dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering
muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya
terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
Hutan
alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang
rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu sama lain.
Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan
tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung
sebagian kecil spesies asli yang telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan
tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat
digantikan dengan cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga
tidak mudah digantikan bila rusak.
Luas
hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi,
tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia.[113]
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat
keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika
yang relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat perhatian
dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi
memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis
tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis
reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di
seluruh dunia.[114]
Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam
hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan
hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total daratan
yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan, baik di
dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non hutan
83,26 juta ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di dalam
kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah
sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %)
dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). [115]
Kebakaran
hutan Indonesia pada tahun 1997/98 saja telah menghanguskan seluas 11,7 juta
hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar
8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa
masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu
hektar (Tacconi, 2003).
Kebakaran
hutan setiap tahunnya telah memberikan dampak negatif bagi keanekaragaman
hayati. Berbagai jenis kayu kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros
ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus
bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh
dari beberapa jenis kayu yang sudah sulit ditemukan di alam. Selain itu,
puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini
mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti
nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.
Setiap
species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang tergolong fast
growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi ada yang termasuk
dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis
pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis,
Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan kegiatan konservasi
keanekaragaman hayati. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan
dalam jenis tertentu akibat kebakaran ataupun pembakaran hutan.
Jenis-jenis
pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari suksesi hutan,
karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi yang rapat.
Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran rendah
sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku
Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang paling berharga di
dunia.[116]
Selama
beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia sering mengalami
kebakaran baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang berdampak
langsung dengan hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna tertentu.
Kehilangan
keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies yang memiliki
potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya
obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar
mungkin hilang untuk selamanya.[117]
Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan
kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan
dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting.
Dan kini kekayaan tersebut berangsur-angsur hilang akibat ulah lahan gambut
yang terbakar maupun lahan gambut yang berubah fungsi dari wilayah resapan air
menjadi lahan perkebunan.
c.
Dampak Bencana Alam
Dampak
utama dari penebangan hutan secara liar adalah banjir dan tanah longsor. Tanah
longsor sering terjadi di Indonesia, diakibatkan penggundulan hutan
bertahun-tahun. Pegiat lingkungan hidup memperingatkan tanah longsor disebabkan
penebangan hutan secara secara eksesif dan gagalnya penanaman kembali hutan.
Ada
dua faktor perubahan kenapa banjir terjadi. Pertama itu perubahan lingkungan
dimana didalamnya ada perubahan iklim, perubahan geomorfologi, perubahan
geologi dan perubahan tata ruang. Dan kedua adalah faktor dari masyarakat
sendiri.
Terjadinya
bencana banjir dan tanah longsor menunjukkan peristiwa yang berkaitan dengan
masalah tanah. Hujan dan banjir telah menyebabkan pengikisan lapisan tanah oleh
aliran air yang disebut erosi yang berdampak pada hilangnya kesuburan tanah
serta terkikisnya lapisan tanah dari permukaan bumi.[118]
Banjir akan bisa menjadi lebih besar jika penyimpan air tidak bisa menahan air
limpasan. Hal ini bisa terjadi ketika hutan yang berfungsi sebagai daya simpan
air tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Hutan dapat mengatur fluktuasi aliaran
sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi. Kejadian
banjir ini akan menjadi kejadian tahuanan daerah hilir yang rawan bencana
apabila pengelolaan bagian hulu tidak diperbaiki segera, baik melalui reboisasi
/ penghijauan dan upaya konservasi tanah.[119]
Akibat
penebangan hutan yang luas, jumlah air yang tersedia menjadi besar karena
evapotranspirasi dari tumbuhan menjadi kecil. Namun, ketika turun hujan,
biasanya sebagian besar air hujan akan mengalir di atas permukaan tanah.
Akibatnya, nilai aliran permukaan tanah sangat besar dan mubazir karena air
berlebihan langsung masuk ke sungai dan menimbulkan banjir, terutama apabila
sungainya dangkal akibat pelumpuran dari erosi tanah. Namun, permukaan air
tanah dapat menurun dan pengisian kembali air ke dalam tanah oleh air hujan
sangat sedikit. Karena itu, banyak mata air kering, permukaan air sumur
menurun, dan terjadi kekurangan air terutama pada musim kemarau.
Jika
penggundulan hutan dibiarkan terus berlangsung. Banjir dan tanah longsor akan
terjadi silih berganti. Upaya pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan
cara menggalakkan kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali terhadap
tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan atau pegunungan yang posisi
tanahnya miring perlu dibangun tersering atau sengkedan, sehingga mampu
menghambat laju aliran air hujan. Perlu adanya bimbingan dan penyuluhan kepada
penduduk setempat tentang betapa pentingnya keberadaan hutan bagi kehidupan
makhluk hidup. Juga melakukan pembenahan terhadap sistem hukum yang mengatur
tentang pengelolaan hutan menuju sistem hukum yang responsif.
Bencana
tanah longsor terjadi disebabkan tidak ada lagi usur yang menahan lapisan tanah
pada tempatnya sehingga menimbulkan kerusakan. Jika penggundulan hutan
dibiarkan terus berlangsung. Banjir dan tanah longsor akan terjadi silih
berganti. Upaya pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan cara menggalakkan
kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali terhadap tanah yang semula
gundul. Untuk daerah perbukitan atau pegunungan yang posisi tanahnya miring
perlu dibangun tersering atau sengkedan, sehingga mampu menghambat laju aliran
air hujan.
Pada
hakekatnya manusia merupakan bagian dari alam. Dalam melangsungkan kegiatan
kehidupan, manusia secara otomatis tidak dapat melepaskan diri dari
ketergantungannya pada lingkungan alam. Dalam hukum ekologis, setiap gangguan
ekosistem akan selalu mengarah pada proses keseimbangan kembali. Adanya
hubungan-hubungan timbal balik antara manusia sebagai komponen biotik dengan
komponen abiotik yang saling berinteraksi dan saling mempegaruhi akan membentuk
sebuah keseimbangan.
Fenomena
yang terjadi sekarang ini, kelihatannya pendekatan lingkungan menjadi semakin
terbelakang di tengah derasnya arus pembangunan yang bergeser kea rah globalisasi.
Akibatnya sejumlah dampak yang merugikan muncul berkaitan dengan system ekonomi
yang berlandaskan pada prinsip-prinsip global dan sudah pasti, secara
keseluruhan korban utama adalah kerusakan lingkungan melalui eksploitasi sumber
daya alam.
Banjir
dan tanah longsor akibat dari menurunnya kualitas ekosistem hanyalah akibat
dari perilaku dan hasil kerja manusia dalam memberlakukan dan mengelolah sumber
daya alam dan lingkungan. Banyak perilaku manusia yang hanya mementingkan diri
sendiri untuk memenuhi nafsu perut dan kekuasaan, tanpa mencoba mengembangkan
nalar empati kepada lingkungannya.
d.
Dampak terhadap Harta dan Nyawa Manusia
Kerugian
terhadap harta benda dan nyawa manusia dari peristiwa bencana alam akibat
rusaknya hutan di negeri kita sudah sangat memprihatinkan. Kita lihat beberapa
peristiwa bencana dan kerugian yang dialami baik dari segi harta benda dan
nyawa.[120]
Bencana
berskala dahsyat yang melanda Indonesia tak hanya berkutat pada tiga tersangka
utama saja: gempa bumi, tsunami, ataupun gunung meletus. Selain tiga ancaman
tersebut, masih ada satu fenomena alam lain yang jika dibiarkan dan tak
mendapat intervensi menyeluruh akan membawa dampak yang mematikan pula, yaitu
ancaman bencana alam tanah longsor dan kabut asap.
1. Banjir
dan tanah longsor akibat kerusakan hutan:
·
Tanah Longsor Situ Gintung, Tangerang
Jumat,
27 Maret 2009, tragedi mencekam menyeruak di wilayah pinggiran kota Jakarta.
Situ Gintung yang terletak di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Kabupaten
Tangerang, Provinsi Banten tiba-tiba Jebol di waktu subuh. Bencana tersebut menewaskan
kurang lebih sekitar 32 orang dan menenggelamkan ratusan rumah yang berada di
sekitarnya. Hasil investigasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVG) menjelaskan bahwa bencana terjadi karena jebolnya tanggil selebar ± 65
meter, yang diikuti oleh gerakan tanah longsoran pada tanggul dengan panjang
antara 3-7 meter, dan lebar antara 3-8 meter. Penyebab jebolnya tanggul secara
keseluruhan terjadi karena curah hujan yang tinggi kala itu, kemudian adanya
retakan pada tanggul serta limpahan air yang melebihi kapasitas. Apalagi
ditambah kontur tanah di sekitar kawasan tersebut yang sangat curam.[121]
·
Tanah longsor Bahorok, Sumatera Utara
Senin, 3 November 2003 silam. Bukit curam yang berada di sekitar Desa
Bukit Selawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara tersapu
oleh longsoran tanah yang membawa air bah limpahan sungai Bahorok. Akibat
kejadian ini 90 orang dilaporkan tewas dan ratusan orang lainnya menderita luka
dan hilang terbawa arus banjir. Berdasarkan catatan kebencanaan dari Walhi,
longsor dan banjir bandang Bahorok terjadi akibat kerusakan hutan karena
penebangan liar yang tak terkendali. Kala itu, 170 ribu hektar taman nasional
Gunung Leuser dari luas total 788 ribu hektar rusak parah akibat penebangan
hutan.[122]
·
Tanah Longsor Banjarnegara
` Belum hilang dalam ingatan,
bagaimana pertengahan Desember 2026, peristiwa tanah longsor dahsyat menghantam
Dusun Jemblung, Desa Sampang, Banjarnegara. Jumat sore (12/12) menjelang maghrib,
hujan belum sempat menampakkan redanya. Dalam waktu kurang dari lima menit,
tanah longsor mematikan menimbun 105 rumah warga di tiga desa sekaligus.
Akibatnya fatal, seratus lebih korban jiwa melayang tertimbun longsoran tanah.
Tebing setinggi 100 meter di Desa Sampang, Karangkobar, Banjarnegara tersebut
memang mulanya diklasifikasikan sebagai daerah longsor berpotensi sedang dan
tinggi. Catatan penulis menunjukkan bahwa tanah longsor Banjarnegara terjadi
akibat material penyusun bukit Tegallele yang merupakan endapan vulkanik tua
dan lapuk. Ditambah hujan deras yang tak berhenti mengguyur sejak dua hari
sebelumnya menyebabkan tanah jenuh terhadap air. (IJL)[123]
C.
Banjir Kabupaten Garut Jawa barat
Banjir
menerjang tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, Jawa Barat 22 September 2016.
Bencana yang menewaskan sedikitnya 23 orang itu meluluhlantakkan ratusan rumah
dan fasilitas umum, Selasa (20/9). Selain akibat faktor cuaca, banjir terjadi
karena maraknya penggundulan hutan. [124]
D.
Bencana banjir Aceh
Bencana
banjir bandang yang terjadi sehari menjelang hari raya Idulfitri 1433 H itu
mengakibatkan 6 orang meninggal dunia, 4 hilang, 37 unit rumah warga rusak
parah dan tiga rusak ringan, 7 jembatan hancur serta 3 kilometer jalan
mengalami rusak berat akibat longsor. Kapolda dengan tegas menyatakan, praktik
pembalakan liar telah berdampak besar terhadap kesengsaraan masyarakat
setempat, sehingga kepolisian tidak bisa mentoleransinya lagi. “Tidak ada
toleransi, siapapun pelakunya akan kita tindak tegas,” ujar Kapolda. [125]
2. Bahaya
Kabut Asap
Kabut asap menjadi masalah bagi banyak kota
di dunia dan terus mengancam lingkungan. Menurut EPA U.S., udara dalam status
bahaya karena problem kabut jika telah melewati batas 80 bagian persejuta
(parts per billion) (ppb) atau 0.5 ppm ozone (komponen utama asbut) , melebihi
dari 53 ppb nitrogen dioksida atau 80 ppb partikel. Kabut asap dalam keadaan
berat merusak dan bahkan menyebabkan masalah pernapasan bagi manusia, termasuk
penyakit emphysema, bronchitis, dan asma. Kejadian klinis sering terjadi saat
konsentrasi ozone levels sedang tinggi.[126]
Zat-zat yang terkandung dalam asap kabut
ini antara lain:
a. Sulfur Dioksida
Pencemaran oleh sulfur dioksida terutama
disebabkan oleh dua komponen sulfur bentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur
dioksida(SO2) dan Sulfur Trioksida (SO3), dan keduanya disebut Sulfur Oksida
(SOx)[127]
Sumber dan distribusi dari Sulfur Dioksida
ini adalah berasal dari pembakaran arang,minyak bakar gas,kayu dan sebagainya.
Sumber yang lainnya adalah dari proses-proses industri seperti pemurnian
petroleum,industri asam sulfat, industri peleburan baja, dan sebagainya.
Pengaruh utama polutan Sox terhadap manusia
adalah iritasi sistem pernafasan terutama pada tenggorokan yang terjadi pada
beberapa individu yang sensitif iritasi. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya
bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami
penyakit kronis pada sistem pernafasan kadiovaskular.
b. Carbon
Monoksida (CO)
Karbon dan Oksigen dapat bergabung
membentuk senyawa karbon monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak
sempurna dan karbondioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon
monoksida di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah, tetapi sumber utamanya
adalah dari kegiatan manusia, Karbon monoksida yang berasal dari alam termasuk
dari larutan, oksida metal dari atmosfer, pegunungan, kebakaran hutan, dan
badai listrik alam.
Dampak karbon monoksida bagi kesehatan
adalah penguraian HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja
molekul sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa oksigen ke seluruh tubuh.
Kondisi seperti ini dapat berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat
menyebabkan keracunan. Dampak keracunan CO berbhaya bagi orang yang telah
menderita gangguan otot jantung.
Karbon monoksida (CO) beredar melalui
aliran darah dan paru, mengurangi pengiriman oksigen ke jaringan tubuh (anoksia)
menimbulkan gejala sesak napas, kebingungan, dan dada terasa berat.[128] Konsentrasi CO
pada penduduk tertentu yang terpajan asap api tidak menimbulkan bahaya bermakna
kecuali pada individu yang sensitif; mereka yang memiliki penyakit jantung
mengalami nyeri dada dan aritmia. Pada tingkat pajanan lebih tinggi CO dapat
menyebabkan sakit kepala, lemah, pusing kebingungan, disorientasi, gangguan
penglihatan, koma dan kematian.
c. Nitrogen Dioksida
Oksigen Nitrogen (NOx) adalah kelompok gas
yang terdapat di atmosfer yang terdiri dari Nitrogen monoksida (NO) dan
Nitrogen Dioksida (NO2).
Sumber utama Nox yang diproduksi oleh
manusia adalah dari pembakaran dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh
kendaraan bermotor, produksi energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi
NOx buatan manusia berasal dari pembakaran arang, minyak, gas dan bensin.
Dampak Nitrogen Dioksida terhadap kesehatan
adalah NO2 bersifat racun terutama terhadap paru-paru. Kadar NO2 yang lebih
tinggi dari 100 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang dan 90% dari
kematian tersebut disebabkan oleh gejala pembengkakan paru-paru (edema
pulmonari).
d. Oksidan
Oksidan (O3) merupakan senyawa di udara
selain oksigen yang memiliki sifat sebagai pengoksidasi. Oksidasi adalah
komponen atmosfer yang diproses oleh proses fotokimia, yaitu suatu proses kimia
yang membutuhkan sinar matahari mengoksidasi komponen-komponen yang tak segera
dioksidasi oleh oksigen.
Oksidan terdiri dari Ozon,
Peroksiasetilnitrat, dan Hidrogen Peroksida. Dampak dari O3 bagi kesehatan
adalah Beberapa gejala yang dapat diamati pada manusia yang diberi perlakuan
kontak dengan ozon, sampai dengan kadar 0,2 ppm tidak ditemukan pengaruh apapun,
pada kadar 0,3 ppm mulai terjadi iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak
dengan Ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif
dapat mengakibatkan pusing berat dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan
orang, kontak dengan ozon dengan kadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan
mengakibatkan edema pulmonari.
Pada kadar di udara ambien yang normal,
peroksiasetilnitrat (PAN) dan Peroksiabenzoilnitrat (PbzN) mungkin
menyebabkaniritasi mata tetapi tidak berbahaya bagi kesehatan.
Peroksibenzoilnitrat (PbzN) lebih cepat menyebabkan iritasi mata.
e. Hidrokarbon
Hidrokarbon adalah bahan pencemar udara
yang dapat berbentuk gas, cairan maupun padatan. Semakin tinggi jumlah atom
karbon, unsur ini akan cenderung berbentuk padatan. Sebagai bahan pencemar
udara, Hidrokarbon dapat berasal dari proses industri yang diemisikan ke udara
dan kemudian merupakan sumber fotokimia dari ozon. Kegiatan industri yang
berpotensi menimbulkan cemaran dalam bentuk HC adalah industri plastik, resin,
pigmen, zat warna, pestisida dan pemrosesan karet. Diperkirakan emisi industri
sebesar 10 % berupa HC.
Tabel
pengaruh hidrokarbon pada kesehatan manusia
Jenis Hidrokarbon
|
Kosentrasi (ppm)
|
Dampak Kesehatan
|
Benzene
(C6H6)
|
100
|
Iritasi
membran mukosa
|
3.000
|
Lemas
setelah setengah sampai satu jam
|
|
7.500
|
Pengaruh
sangat brbahaya setelah pemaparan satu jam
|
|
20.000
|
Kematian
setelah pemaparan 5-10 menit
|
|
Toluena
(C7H8)
|
200
|
Pusing,
lemah , dan bekunang-kunang setelahpemaparan 8 jam
|
600
|
Kehiulangan
koordinasi bola mata terbalik setelah pemaparan 8 jam
|
Gas Khlorin (Cl2) adalah gas berwarna hijau
dengan bau sangat menyengat. Berat jenis gas khlorin 2,47 kali berat udara dan
20 kali berat gas hidrogen khlorida yang toksik. Gas khlorin sangat terkenal
sebagai gas beracun yang digunakan pada perang dunia ke-1.
Karena banyaknya penggunaan senyawa khlor
di lapangan atau dalam industri dalam dosis berlebihan seringkali terjadi
pelepasan gas khlorin akibat penggunaan yang kurang efektif. Hal ini dapat
menyebabkan terdapatnya gas pencemar khlorin dalam kadar tinggi di udara.
Selain bau yang menyengat gas khlorin dapat
menyebabkan iritasi pada mata saluran pernafasan. Apabila gas khlorin masuk
dalam jaringan paru-paru dan bereaksi dengan ion hidrogen akan dapat membentuk
asam khlorida yang bersifat sangat korosif dan menyebabkan iritasi dan
peradangan.
f. Partikel Debu
Partikulat debu melayang (Suspended
Particulate Matter/SPM) merupakan campuran yang sangat rumit dari berbagai
senyawa organik dan anorganik yang terbesar di udara dengan diameter yang
sangat kecil, mulai dari dampak partikel debu terhadap kesehatan dapat
mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Selain dapat
berpengaruh negatif terhadap kesehatan, partikel debu juga dapat mengganggu daya
tembus pandang mata dan juga mengadakan berbagai reaksi kimia di udara.
g. Timah
Hitam
Timah hitam ( Pb ) merupakan logam lunak
yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada
327,5°C dan titik didih 1.740°C pada tekanan atmosfer.Gangguan kesehatan adalah
akibat bereaksinya Pb dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan
pengendapan protein dan menghambat pembuatan haemoglobin, Gejala keracunan akut
didapati bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut
muntah atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu
makan, konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, Kejang
dan gangguan penglihatan.Dampak
kabut asap sangat berbahaya bagi kita semua, karena dapat mengganggu sistem
pernapasan dan jantung kronis. [129]
Selain
itu kabut asap juga sangat berbahaya bagi lalu lintas. Baik lalu lintas darat,
sungai maupun udara. Karena tebalnya kabut asap membuat jarak pandang hanya
beberapa meter saja.
Hal
ini bisa saja dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Contohnya sudah banyak
sekali kapal-kapal laut yang bertabrakan, bahkan pesawat membatalkan
penerbangan dan membatalkan lepas landas.[130]
Namun
proses pembentukannya tergantung pada cukup tidaknya inti kondensasi yang tersedia.
Kabut asap juga dapat disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan karena campur
tangan manusia di dalamnya.
Ditambah
lagi dengan belum turunnya hujan yang membuat keadaan semakin parah. bahkan
sekolah-sekolah pun banyak yang diliburkan. Sedangkan ketika tidak terlalu
parah anak-anak mulai masuk sekolah kembali akan tetapi jam masuk anak sekolah
di mundurkan satu jam. Ketika di pagi hari kabut asap menjadi sangat tebal
sekali.
Banyak
upaya yang dilakukan tapi, masih belum berhasil. Upaya yang dilakukan yaitu
berupa menyiram dengan air dan membuat hujan buatan.
Jadi,
pengertian kabut asap adalah Halimun butir-butir air nya lebih besar dari 0,1
milimeter. Kabut asap terbentuk karena kelembaban relatif udara mencapai 100
persen dan perkembangannya tergantung dengan inti kondensasi yang tersedia.
Menteri
Sosial Khofifah Indar Parawansa mengakui bahwa jumlah korban jiwa dalam musibah
kabut asap yang menyelimuti Indonesia telah meningkat menjadi 19 orang. Lima
korban berasal dari Sumatera Selatan, lima dari Kalimantan Tengah, lima orang
dari Jambi, tiga dari Kalimantan Selatan dan satu orang dari Riau.[131]
Sebelumnya,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengumumkan bahwa terdapat sepuluh orang
korban jiwa akibat menghirup asap. Namun jumlah korban jiwa terus meningkat.
DIperkirakan
sebanyak setengah juta orang telah menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut
sejak pertama kali munculnya kebakaran hutan pada bulan Juli lalu.
Para
korban berasal dari Sumatera dan Kalimantan, di mana diduga banyak lahan yang
sengaja dibakar untuk mengosongkan area tersebut dengan biaya yang murah. Para
ahli menilai bahwa bencana kabut asap tahun ini merupakan yang terburuk dalam
sejarah, diperparah dengan adanya fenomena El Nino yang membawa angin panas.[132]
Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Riau Andra Sjafril mengatakan sebanyak 66.234 jiwa
diantaranya terkena penyakit indeks saluran pernafasan akut (ISPA), 1.076 jiwa
terjangkit pneunomoa, 3.073 terjangkit asma, 3.693 jiwa terkena penyakit mata
dan 4.857 jiwa terkena penyakit kulit.[133]
Tabel 1. Berbagai dampak kesehatan
akibat terpajan kabut yang terkait dengan kebakaran
hutan di 8 Provinsi di Indonesia, September - November 1997[134]
|
Dampak kesehatan
|
jumlah kasus
|
Kematian Asma Bronkitis
Infeksi saluran napas akut
Kendala melakukan kegiatan setiap hari Peningkatan perawatan pasien rawat jalan Peningkatan perawatan pasien rawat inap Kehilangan hari kerja
|
527
298.125
58.095
1.446.120
4.758.600
36.462
15.822
2.446.352
|
Tabel 2. Pengaruh polutan asap kebakaran pada sistem pernapasan dan organ lain[135]
polutan
|
Mekanisme
|
Efek potensial pada kesehatan
|
Partikulat (partikel kecil
< 10 μ, diameter aero dinamik <
2.5 μ
|
•
Akut: iritasi bronkus, inflamasi
dan reaktivitas meningkat
• Berkurangnya bersihan mukosilier
•
Mengurangi respons makrofag dan imunitas lokal
• Reaksi fibrotik
|
• Mengi, asma eksaserbasi
• Infeksi saluran napas
• Bronkitis
kronik dan PPOK
• PPOK
eksaserbasi
|
Karbon monoksida
|
•
Berikatan dengan hemoglobin menghasilkan karboksi hemoglo- bin yang dapat mengurangi trans- port oksigen ke organ vital dan menyebabkan gangguan janin
|
• Berat badan
bayi lahir rendah
•
Meningkatnya kasus
kematian perinatal
|
Hidrokarbon aromatik
polisiklik
(benzo-alpyrene)
|
Karsinogenik
|
• Kanker paru
• Kanker mulut, nasofaring dan laring
|
Nitrogen dioksida
|
•
Pajanan akut menyebabkan reaktivitas bronkus
•
Pajanan kronik dapat mening-
katkan kerentanan
infeksi bakteri dan virus
|
• Mengi, asma eksaserbasi
• Infeksi saluran napas
• Berkurangnya fungsi
paru anak
|
Sulfur dioksida
|
•
Pajanan akut menyebabkan reaktivitas bronkus
•
Pajanan kronik sulit untuk
memis- ahkan efek partikel
|
• Mengi, asma eksaserbasi
• PPOK
eksaserbasi
• Penyakit kardiovaskuler
|
Kondesat asap biomass, termasuk hidrokarbon aromatik polisiklik dan ion metal
|
•
Absorpsi racun ke dalam lensa
se- hingga terjadi
perubahan oksidatif
|
• Katarak
|
Kebanyakan
orang dewasa sehat dan anak- anak akan sembuh dengan cepat dari pa- janan asap
dan tidak akan mendapat efek jangka panjang. Namun, populasi sensitif
tertentu dapat mengalami gejala kronik yang lebih berat.
Bahan yang terkandung dalam asap kebakaran hutan dapat meng- iritasi mukosa
serta mencetuskan gang- guan pernapasan
akut dan kronik seperti asma, bronkitis, penurunan faal paru, kan- ker sampai
kematian. Gangguan fungsi makrofag, peningkatan
kadar albumin dan laktosa dehidrogenase yang menunjukkan kerusakan membran sel
serta kerusakan sel epitel dapat ditemukan akibat pajanan asap kebakaran hutan.
Bahkan kondisi kronik terpajan polusi
udara beracun de- ngan konsentrasi tinggi sedikit meningkat- kan risiko kanker.[136]
C.
Apresiasi Islam terhadap Memproduktifkan Hutan dan lahan (Ihya’
al-Mawat)
1.
Pengertian Ihya’ al-Mawat
Ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata, bila diterjemahkan secara
literer ihya’ berarti menghidupkan dan mawat berasal dari maut
berarti mati atau wafat. Ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan
menghidupkan sesuatu yang mati. "Bringing to Life" means putting a piece
of land to use by an individual and acquiring proprietary rights over it[137].
Dengan kata
lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun, yang
bisa menjadikan tanah tersebut hidup[138] yakni
dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang
tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.[139]
The Majelle
mendefinisikan al-mawat sebagai "Those lands which are not mulk
property of anyone... the localities (of which)... are far from the distant
parts of the village or town, that the sound of a person who has a loud voice
cannot be heard from the houses which are in the extreme limit of the town or
village.” [140]
Secara terminologi, ada beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama’
fiqh tentang ihya’ al-mawat :
a.
Menurut Ulama’ Hanafiyah adalah
اصلاح الارض لايملكها ولاينفع بها احد وتعذر زرعها
لانقطاع الماء عنها من العامر
Artinya: Penggarapan lahan yang belun dimiliki dan digarap
orang lain karena ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman.[141]
b. Menurut ulama’ Malikiyah
adalah:
ما سلم عن
اختصاص باحياء (اى بسبب احياء ه بشيئ) او بسبب كونه حريم عمارة كمحتطب او مرعى
لبلد
Artinya: Tanah atau lahan yang selamat dari pengelolahan (sebab
mengelola lahan itu dengan sesuatu), atau sebab adanya penghalang untuk
mengelola lahan tersebut.
c. Menurut ulama’
Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض
ما لم يكون عامرا ولا حريما لعامر قريب من العامراو بعد
Artinya: Penggarapan tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan
lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat. [142]
d. Menurut ulama’
Hanabilah adalah:
الارض التى ليس لها مالك ولابها
ماء ولا عمارة ولا ينفع بها
Aritnya: Lahan atau tanah yang tidak ada pemiliknya, tidak ada airnya
(gersang), tidak dikelola, serta tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
احياء الموات معناه إعداد الأرض الميتة التى لم يسبق
تعميرها و ﺗﻬﯿﺌﲥﺎ و جعلها صالحة للإنتفاع بها فى السكنى
و الزرع و نحو ذلك.
Dari pengertian di atas jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’
al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum
dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan
pertanian maupun mendirikan bangunan. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa
yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki sebidang tanah, manakala tanah
itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki seseorang.[144]
Al-Quran tidak memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara
jelas dan rinci. Secara umum al-Quran menganjurkan setiap muslim untuk
bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka menunaikan shalat.
Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai dengan keahlian dan
profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani maka bercocok tanam di
lahannya. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Jummu’ah:
فَإِذَا
قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
١٠ [145]
Artinya:
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Dalam hal menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam
karena menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat
semakin meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat diatas menganjurkan untuk memberdayakan diri dan
lingkungan tentunya ini termasuk pada aktifitas pemberdayaan sumberdaya alam
dengan menghidupkan lahan kosong.
2. Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu
mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa
menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.[146]
Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz
(boleh) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan
tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain[147].
Hadits yang berkenaan dengan ihya’ al-mawat adalah
حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ دَاوُدَ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ
لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا (رواه البخارى) [148]
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musa bin Daud, dia berkata:
telah mengabarkan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Abi Al-Aswad dari 'Urwah dari
Aisyah berkata: Rasulullah Shallalahu'alaihiwasallam pernah bersabda:
"Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang belum ada seorangpun yang
memilikinya maka dia lebih berhak dengan kepemilikannya." (H.R Bukhari)
Pada riwayat yang lain dinyatakan bahwa siapa saja yang mengolah lahan mati
dan terbengkalai maka lahat tersebut menjadi miliknya. Sebagaimana yang diriwayatkan
oelh Jabir:
عن جابر رضى
الله, ان النبي صلى الله عليه وسلم, قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد
والترمذى) [149]
Artinya: Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : Barang
siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi
miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)
Wahbah menjelaskan bahwa hadits di atas menunjukkan kebolehan menghidupkan
tanah mati yang tidak ada pemiliknya, dan tidak sedang dimanfaatkan orang lain.
Dengan demikian siapapun boleh menghidupkannya dengan menyiram, mengolah, dan
menanamnya, atau mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat pagar di sekitar
tanah tersebut. Hadits ini juga menjelaskan bahwa syara’ mendorong untuk
menghidupkan lahan tidur karena manusia sangat membutuhkannya. Hal tersebut
untuk pertanian, perindustrian, dan lapangan perekonomian lainnya[150].
Dalam hadits
tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal apa
saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk dihidupkan,
dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam untuk
menjadikan lahan kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang
diturunkan Allah SWT. dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan
dan kemaslahatan umat manusia[151]
Dalam hal ini tidak ada bedanya seorang Muslim dengan kafir dzimmi (kafir
yang tunduk kepada pemerintahan Islam) karena hadits-hadits tersebut bersifat
mutlak. Lagi pula, harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi menjadi miliknya
dan tidak bisa dicabut darinya. Ketentuan ini berlaku umum. Hanya saja,
kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama
tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan cara
digarap/dimanfaatkan. Abu Yusuf dalam al-Kharaj menuturkan riwayat dari
Said bin al-Musayyab. Disebutkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah
berkata:
و ليس لمحتجر حق بعد ثلاث سنين
”Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan
begitu saja tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.”
[152]
3. Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
Menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah
mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan
bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan
masyarakat. Adapun cara ihya’ al-mawat adalah sebagai berikut[153]:
a.
Menyuburkan, cara ini digunakan
untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka
tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang
sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai dengan
yang diharapkan;
b.
Menanam, cara ini dilakukan untuk
didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia,
maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang
memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan
pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon
jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c.
Menggarisi atau membuat pagar, hal
ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk
dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat
pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d.
Menggali parit, yaitu membuat parit
di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang mengetahui
bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup jalan bagi
orang lain untuk menguasainya.
4. Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun obyek yang berkaitan dengan ihya al-mawat ialah hanya berlaku
untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati,
tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh
imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang,
namun hanya mubah bagi imam. "Nothing
is lawful to any person but what is permitted by the Imam.” [154]
Itulah yang
kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara.
Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah
dengan cuma-cuma kepada Rasulullah SAW, di mana dia tidak bisa memilikinya
hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia
bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah
memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah
tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul SAW.
agar memberikannya[155].
Tidak semua lahan kosong yang boleh dijadikan obyek ihya’ al-mawat.
Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama,
lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi
orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah
yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin
sudah wafat dan lain sebagainya[156].
5. Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat
(menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu:
[157]
a.
Bahwa yang menghidupkan itu orang
Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka)
mengizinkan atau tidak.
b.
Bumi yang mati itu
jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang memilikinya dan menurut
keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.
Hafidz Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat
barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah
kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki
tanah kosong dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh
memilikinya di negara musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya
bekas-bekas pemilikan dan tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh
dimiliki dengan menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya
bekas-bekas pemilikan, tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada
di negeri Islam maka tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan
kalau ia berada di negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada
pula yang mengatakan tidak boleh[158].
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan
kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah[159]:
a.
Pemilikan lahan itu.
Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika
seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu
sebagai pemilik lahan, Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi
menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak
guna tanah, bukan hak milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk
di atas tempat yang dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan
memiliknya.
b. Hubungan
pemerintah dengan lahan itu.
Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak
boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang
muslim. Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh
mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila yang menggarap lahan
itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10% dari hasil
lahan garapan itu.
c. Seorang telah
menggarap sebidang lahan
Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan
itu untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya
untuk keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum
boleh.
6. Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup
tiga hal, yaitu[160] : orang
yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
a.
Syarat yang terkait dengan orang yang
menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi
tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak
penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang Islam itu
berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau
orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir
menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang
muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah
berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara
Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang
yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka
menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap
sebidang lahan yang kosong. Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan
bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab
itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim. Ketentuan ini berlaku
umum, mencakup semua bentuk tanah, baik tanah darul Islam[161],
atau tanah darul kufur[162],
hanya saja agar menjadi hak miliknya, tanah tersebut dibuka dan terus-menerus
dihidupkan dengan baik agar dapat berproduksi. Bahwasanya kepemilikan hanyalah
hak untuk mengembangkan tanah. Jika seseorang gagal mengembangkan tanah
tersebut dalam jangka waktu tertentu, klaimnya atas tanah tersebut hilang dan
lenyap.[163]
b.
Syarat yang terkait dengan lahan
yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan
tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada
di negara islam maupun bukan, bukan lahan yang dimilki seseorang, baik
muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu
perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak
warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
c.
Syarat yang terkait dengan
penggarapan lahan
Menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah,[164]
apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung
menggarap lahan itu, menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan
pemukiman, maka menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika
lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah, menurut ulama
Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya
pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek ihya’
al-mawat jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari
pemerintah,[165] karena
harta seperti itu adalah harta yang boleh dimilki setiap orang, dan
hadis-hadis Rasulullah SAW, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak
pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari
pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.
7. Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab
pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka
lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi
kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya
apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut[166]. Imam Abu
Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan
tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan
sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa
itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah
konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana
tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah
dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian
kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami,
para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati
tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik
membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang
jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin
penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin
penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.[167]
Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan
anjurannya siapa yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi
miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati
dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang
mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin
dari imam (penguasa). Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari
Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara,
namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi
ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah
pemiliknya. Yahya meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Hak kepemilikan
pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi,
orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”
[168]. Ini
menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan keuangan Islam
awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang
membuat kepemilikan individu atas tanah tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan,
orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak kepemilikan atasnya dan
dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami, menggali saluran di
dalamnya atau membangunnya untuk kepentingannya[169].
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada
individu untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan
membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah
menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak
pendapatan melalui pajak tanah.
Di Indonesia kewenangan untuk membuka lahan tidur diberikan kepada setiap
individu atau badan hukum selama pembukaan lahan tersebut mendapatkan izin dari
penguasa setempat baik dari camat, bupati, atau gubernur ditingkat propinsi.
Untuk tanah yang berukuran luas, maka harus mendapatkan izin langsung dari
Badan pertanahan Nasional. Untuk lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak dan
kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut, maka dalam hukum
Islam lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan untuk dimiliki.
Hal yang sama juga dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang
berfungsi sosial tidak dapat dimiliki oleh siapa pun selama tanah itu
masih difungsikan untuk kebutuhan sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak
mengenal kepemilikan tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam
masyarakat adat yang disebut dengan hak ulayat[170].
Kepemilikan tanah dalam Islam lebih cenderung bersifat individual. UUPA
sebenarnya lebih cenderung mengarahkan kepemilikan tanah yang bersifat kolektif
tersebut semakin dikurangi, oleh karena itulah pemerintah menganjurkan
pemerintah lokal untuk tidak menghidup-hidupkan kembali kepemilikan tanah
bersifat kolektif tersebut (tanah ulayat).
Untuk pembukaan lahan baru yang belum pernah dimiliki seseorang atau badan
hukum, maka kewenangan untuk membuka lahan baru tersebut tidak bisa dilakukan
begitu saja akan tetapi harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat yaitu
kepada Gubernur untuk tingkat propinsi, Walikota/Bupati untuk tingkat Kota/Kabupaten,
dan Camat Kepala Wilayah untuk tingkat kecamatan[171].
8. Ihya’
Al-Mawat
Dalam Masalah Pertanian
Dalam bidang
pertanian, Islam tidak menyinggung masalah bagaimana tatacara memproduksi
kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan kekayaan. Telah
diriwayatkan, bahwa Nabi SAW. pernah bersabda adalah masalah penyerbukan kurma,
“Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan) dunia kalian.”[172]
Pilihan
tatacara pengadaan dan peningkatan produksi pertanian merupakan hal yang mubah
untuk ditempuh. Hanya saja, pilihan cara peningkatan produksi itu harus
dijaga dari unsur dominasi, serta pilihan yang mempertimbangkan kelestarian
lingkungan ke depan. Untuk itu peningkatan produksi dalam pertanian
biasanya menempuh dua jalan, intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi
pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia.
Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan
teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu petani dalam hal
pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk serta sarana produksi
pertanian lainnya. Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana
produksi pertanian yang digunakan berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas
kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu intervensi dalam
pengelolaan pertanian negara oleh pihak asing dapat dihindarkan.
Beda dengan
intensifikasi, ekstensifikasi pertanian dicapai dengan[173]:
a.
Mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan
tanah mati. Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan
pasang surut dan sebagainya, sesuai dengan pengaturan negara. Tanah mati adalah
tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang serta tidak tampak ada
bekas-bekas apa pun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain.
Menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) artinya mengelola tanah atau
menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah mati, jika
telah telah dihidupkan oleh seseorang, menjadi milik yang bersangkutan. Syariah
telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya.
b.
Setiap orang yang memiliki tanah diperintahkan untuk
mengelola tanahnya secara optimal. Siapa saja yang membutuhkan (biaya
perawatan) akan diberi modal dari Baitul Mal sehingga orang yang bersangkutan
bisa mengelola tanahnya secara optimal. Namun, apabila orang yang
bersangkutan mengabaikan tanahnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan
diambil dan diberikan kepada yang lain.
Kebijakan
Islam dalam distribusi lahan pertanian tentu amat erat kaitannya dengan tanah.
Tanah merupakan faktor produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling
serius para ahli ekonomi, karena sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh
faktor produksi lainnya. Sifat itu antara lain tanah dapat memenuhi
kebutuhan pokok dan permanen manusia, tanah kuantitasnya terbatas dan tanah
bersifat tetap. sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh faktor
produksi lainnya, tidak hanya memiliki aspek ekonomi namun juga aspek politik, hukum
dan sosial.[174]
Sifat itu antara lain tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen
manusia, tanah kuantitasnya terbatas dan tanah bersifat tetap,[175]
disamping bernilai ekonomis juga bermakna religio-kosmis dan bahkan idiologis.[176]
Permasalahan tanah juga telah menjadi penyebab pertentangan, pertikaian dan
pertumpahan darah. Tanah juga memberikan andil besar dalam perubahan struktur
dan sistem masyarakat. Sistem ekonomi Kapitalisme maupun Sosialisme dalam hal
ini sedikit banyak dipicu karena kecemburuan sosial terhadap orang-orang yang
memiliki tanah karena hak-hak istimewa dan menjadikannya sebagai alat
eksploitasi masyarakat.
Dari sudut
sejarah, status kepemilikan tanah terus berkembang mengikuti kompleksitas
masyarakat. Ketika masyarakat mulai memasuki tahap awal dunia pertanian,
kepemilikan atas tanah mulai melembaga. Namun, tipe perladangan berpindah yang
diterapkan masyarakat primitif waktu itu belum menimbulkan masalah dalam
kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah saat itu dianggap sebagai kepemilkan
sementara karena mereka meninggalkan tanahnya setelah selesai dipergunakan.[177]
Baru pada tahap pertanian menetap dan populasi masyarakat semakin bertambah,
masyarakat mulai mencintai tanah dan berusaha menguasai tanah secara permanen.
Pada periode ini, meski masih dianggap sebagai milik masyarakat, tanah dibagi
sama rata pada kepala keluarga dan berlaku untuk jangka waktu tertentu. Lalu
datanglah suatu masa ketika pembagian secara periodik tidak dipakai lagi.
Mereka yang telah mengolah tanahnya tidak mau tunduk lagi pada tujuan
komunitas. Mereka mempertahankan tanah garapannya dan memunculkan lembaga
kepemilikan keluarga. Sistem ini terus berkembang menjadi kepemilikan bebas.
Tidak hanya bebas untuk memiliki, namun juga bebas untuk memindahtangankan
kepemilikan kepada pihak lain.
Pemilikan
tanah dianggap suatu tipe kepemilikan yang par excellence (paling
istimewa) di negara-negara kapitalis. Tanah boleh dimiliki oleh individu
seluas-luasnya, bahkan menyewakannya kepada masyarakat dengan harga sewa dan
harga jual yang dilakukan sewenang-wenang. Akibatnya cukup serius, harga bahan
pokok naik dan inflasi terjadi. Bagi negara, tanah menjadi lahan subur bagi perolehan
pajak.
Konsekuensinya,
dalam sistem kapitalis, penyewaan tanah akan memberikan nilai tambah dan karena
itu dapat dikenakan pajak tinggi. Namun, pemilikan atas secara individual
justru tidak diakui dalam masyarakat sosialis. Para petani dan kaum buruh
dilarang mengambil nilai tambah dari hasil kerjanya. Status mereka pun
semata-mata sebagai buruh tani. Sistem ini secara faktual menimbulkan
ketimpangan ekonomi dan menjadikan negara-negara sosialis gagal mencapai
swasembada pangan pada pertengahan abad kedua puluh. Mereka masih bergantung
pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Hingga kini
persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama
perekonomian. Persoalan tentang kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab
oleh ekonomi kapitalis dan sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu
dijawab oleh sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan
tanah harus diatur sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi.
Islam secara tegas menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di
antara seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform.
Prinsip
kepemilikan harta tanah dalam Islam adalah pemanfaatan atas tanah secara
maksiamal, bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar
pemanfaatanya. Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan
bukan pada penguasaan.[178]
Islam juga tidak mengizinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di
luar kemampuan untuk mengelolanya. Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk
dalam kategori kepemilikan individu apabila tidak ada unsur-unsur yang
menghalanginya, seperti terdapat kandungan bahan tambang atau dikuasai oleh
negara. Ketika kepemilikan ini dianggap absah secara syariah, maka pemilik tanah
memiliki hak untuk mengelola tanahnya maupun memindahtangankan tanahnya melalui
pewarisan, jual-beli, hibah, wakaf, ihya’ al-mawat, tahjir,
dan iqtha’.
Salah satu
masalah dalam pertanian di Indonesia adalah masalah lahan pertanian. Menurut
Anton Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia. Dua diantaranya
adalah luas kepemilikan lahan petani sempit sehingga sulit menyangga kehidupan
keluarga petani, dan masih banyaknya lahan tidur (idle land). Sebagai contoh,
data menunjukkan umumnya para petani Indonesia tergolong petani gurem dengan
luas garapan kurang dari 1 ha. Menurut hasil sensus 1983, petani Indonesia
rata-rata memiliki lahan 0,98 ha/petani. Namun, menurut sensus 2003 petani
Indonesia hanya memiliki 0,7 ha/petani. Bahkan di Pulau Jawa petani hanya
memiliki 0,3 ha dan luar Jawa memiliki 0,8 ha/petani (Sinar Harapan, 15
Juli 2011). Solusinya? Ada yang menggagas, agroindustri pedesaan harus dibangun
untuk merasionalisasi (mengurangi) jumlah petani yang memiliki lahan sempit.
Ini artinya, petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah
mendasarnya sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit.
Solusi ini juga jelas tidak menggunakan syariah Islam yang sebenarnya telah
mengatur bagaimana seseorang dapat memiliki lahan. Contoh lain, masalah lahan tidur.
Solusinya kadang hanya dijelaskan secara global saja, misalnya dengan
memanfaatkan lahan tidur untuk memberdayakan masyarakat. Padahal syariah Islam punya solusi
untuk mengatasi lahan-lahan tidur yang ditelantarkan oleh pemiliknya.
Jika
hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian diterapkan, masalah-masalah
lahan di Indonesia kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan
yang sempit, dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum ihya’ al-mawat.
Seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim akan mendapat kesempatan memiliki
tanah dengan mekanisme ihya’ al-mawat. Dengan kata lain, sistem ekonomi
Islam telah menetapkan mekanisme lainnya dalam penguasaan tanah secara khusus,
yaitu menghidupkan tanah mati dan pemberian oleh negara. Karena itu,
hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan Islam memiliki karakteristik yang
khas dan berbeda dengan sistem ekonomi lainnya.
D. Tinjauan
Fiqh Lingkungan bagi Pelaku Pembakaran Hutan
a.
Fiqh Lingkungan (Fiqh Bi’ah)
Rusaknya alam yang di akibatkan
bencana semakian hari semakin dekat
mengancam jiwa manusia. Secara nasional, gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, tanah longsor, kekeringan dan bayaknya virus dan penyakit merupakan
fenomena yang akrab dengan penduduk bangsa Indonesia. Sementara itu, secara
global telah terjadi perubahan drastis wilayah lingkungan hidup, mulai dari
kerusakan ozon (lubang ozon) pemanasan global, efek rumah kaca, perubahan
ekologi, dan sebagainya. Belakangan ditemukan pula banyaknya kasus daratan
pulau yang lenyap dari peta dunia karena naiknya permukaan laut serta kasus
kepunahan spesies binatang tertentu, seperti punahnya harimau jawa.[179] Krisis lingkungan ini pada gilirannya akan mengancam eksistensi bumi
sebagai tempat tinggal manusia dan makhluk lain.Umat Islam yang umumnya tinggal
di negara-negara yang berkembang tidak luput dari ancaman krisis lingkungan
ini, bahkan persoalan cenderung lebih kompleks.
Pasca kolonialisme dan imperialisme Barat negara-negara muslim berusaha
bangkit menemukan identitas mereka. Masalahnya, sebagai negara berkembang yang
baru saja ingin bangkit, negara-negara muslim harus berhadapan pada dualisme
keadaan antara pembangunan ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi kekayaan
sumber daya alam dan industrialisasi yang sangat tidak terkendali, dan keadaan
lingkungan yang telah sangat cepat berubah sehingga dikhawatirkan menimbulkan
bencana yang akan menimpa.[180]
Jika diamati secara lebih cermat, menurut sebagian pakar hukum Islam yang peduli terhadap issue lingkungan setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan lahirnya kriris lingkungan ini.
Pertama, permasalahan fundamental-filosofis. Permasalahan ini
berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan posisi
manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang mengganggap
dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik terhadap
inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap
sumber daya alam. Paham ini ditunjang dengan paham materialisme, kapitalisme,
dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah mempercepat dan
memperburuk kerusakan lingkungan.[181]
Kedua, permasalahan politik
ekonomi global. Sebagai imbas paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme,
negara-negara maju (Barat) telah mendirikan pabrik-pabrik industri yang telah
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Permasalahan kemudian muncul
ketika negara-negara Barat menuntut negara-negara dunia ketiga untuk mengambil
peran positif dalam memelihara lingkungan ini, terutama menetralisir kasus
kebakaran hutan, sementara negara-negara miskin dan berkembang memandang Barat
sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap krisis lingkungan global.
Ketiga, permasalahan- pemahaman keagamaan. Di kalangan umat Islam, masih
terdapat golongan yang menganut pagam teologi yang bercorak teosentrik.
Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir
dan sebagainya sebagai taqdir Tuhan, dan tidak memandang krisis ekologis
ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial serta
kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah).
Menurut WHO (World Health Organization) kesehatan di artikan suatu
keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat
menjamin keadaan sehat dari manusia. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
tidak pernah lepas dari lingkungan. Aktivitas manusia dipengaruhi oleh
lingkungan sebagai penunjang kehidupan, baik lingkungan fisik, biologis,
ataupun lingkungan sosial. Hubungan interaksi antara manusia dan lingkungan
jika tidak berjalan dengan baik dan seimbang akan menimbulkan bahaya lingkungan
yang selanjutnya menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan kesehatan
lingkungan. Pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan sangat penting
agar dapat menanggulangi permasalahan lingkungan secara tuntas. Interaksi
manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana
sejak manusia itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Perkembangan kota yang
cepat membawa dampak pada masalah lingkungan. Perilaku manusia terhadap
lingkungan akan menentukan wajah kota, sebaliknya lingkungan juga akan
mempengaruhi perilaku manusia. Lingkungan yang bersih akan meningkatkan
kualitas hidup. Perkembangan kota akan diikuti dengan pertambahan jumlah
penduduk, yang juga akan berakibat pada masalah-masalah sosial dan lingkungan.[182]
Dalam bidang fikih, watak teosentrik tampak pada segolongan orang yang
memahami fikih hanya sebatas ibadah mahdloh seperti salat, saum, zakat,
dan haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan fenoeman sosial, seperti
fikih lingkungan masih terabaikan. Padahal dalam
konteks krisis ekologis saat ini, fikih lingkungan menjadi sangat urgen.
Melalui fikih lingkungan, perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan
bahwa membuang sehelai sampah ke tempatnya atau menyingkirkan duri dari jalanan
itu adalah ibadah. Melalui fikih lingkungan, juga perlu ditanamkan kepada masyarakat
sebuah keyakinan bahwa berjualan di atas trotoar itu termasuk mengambil hak
para pejalan kaki yang diharamkan agama dan sebagainya.[183] Agama selama ini dipandang hanya berkutat pada ranah ritus dan simbol
belaka dan cenderung mengabaikan realitas sosial yang tengah berkembang.[184] Ketika kemudian Islam dihubung-hubungkan dengan upaya pmeliharaan
lingkungan, sebagian orang memandang sebelah mata. Padahal umat Islam
(ulâma) memiliki peranan penting dalam membangun kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya konservasi lingkungan hidup, antara lain dengan menggunakan
pendekatan fikih.[185]
Masalah lingkungan telah ada di hadapan kita, berkembang
sedemikian cepatnya, baik di tingkat nasional maupun internasional (global dan
regional) sehingga tidak ada suatu negara pun dapat terhindar daripadanya.[186]
Masalah ini bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan
sosial-budaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai
perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif fikih lingkungan (fiqh
al-bîah)[187], karena
persoalan ekologi berkaitan dengan problem kemanusiaan secara keseluruhan.
Fikih lingkungan (fiqh al-bîah) merupakan terobosan baru bagi upaya
konservasi dan restorasi lingkungan hidup dengan
perspektif keagamaan.
Perspektif ini
sekaligus menegaskan akan pentingnya pendekatan agama, termasuk produk hukumnya, dalam rangka konservasi dan restorasi lingkungan
sebagai suplement bagi pendekatan disiplin ilmu lain yang telah ada.
Selanjutnya kata "lingkungan", sebagi terjemahan dari kata al-bîah
dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata "fiqh" yang secara
istilah berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at Islam mengenai
perbuatan-perbuatan manusia, yang mana pengetahuan tersebut diambil dari
dali-dalil yang bersifat at-tafshiliyyah.[188] Oleh
karenanya, fikih lingkungan yang dimaksud adalah pengetahuan atau tuntutan syar'i
yang konsen terhadap masalah-masalah ekologi atau tuntutan syar'i
yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap perilaku manusia yang cenderung
memperlakukan lingkungan secara destruktif dan eksploitatif. Di sini fikih lingkungan harus mengatur tentang kaidah baik-buruk atau
halal-haram yang akan menjadi patokan penilaian bahwa sebuah aksi itu baik atau
buruk. Dengan cara ini, umat Islam akan mampu menghadirkan sebuah pendekatan
religius yang mendasarkan diri pada Qur’an dan Hadits dalam memandang persoalan lingkungan hidup. Umat Islam
sekaligus dapat meyakinkan dunia bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan dan
terorisme dan tidak apatis terhadap persoalan lingkungan, tetapi ia memiliki view
point yang berbasis al-Qur’an-al hadist mapun fikih untuk menyelesaikan
persoalan lingkungan hidup.[189]
Pencemaran alam dapat menjadi faktor pembatas pada populasi manusia.
Pencemaran alam berpengaruh pada pencemaran udara, kesehatan, dan pertumbuhan
tanaman yang juga akan menghambat perkembangan populasi manusia. Permasalahan
ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan
posisi manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang
mengganggap dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik
terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat
konsumtif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Paham ini ditunjang
dengan paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains
dan teknologi telah mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan.[190]
Di samping itu problematika pemahaman keagamaan menjadi faktor pendorong akan
minimnya kesadaran manusia tentang menjaga ekosistem. Dikalangan umat Islam,
masih terdapat golongan yang menganut faham teologi yang bercorak teosentrik.
Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir
dan kerusakan lingkungan sebagai taqdir Tuhan, dan tidak memandang krisis
ekologis ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial
serta kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah). Padahal Tuhan
sendiri menyuruh manusia untuk memahami fenomena alam dan fenomena sosial
berdasarkan informasi ilmu pengetahuan serta hidup berdampingan secara harmoni
bersama alam dengan jalan menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya.
Dalam bidang fikih, watak teosentrik ini juga tampak pada segolongan orang yang
memahami fikih hanya sebatas ibadah mahdloh seperti salat, saum, zakat, dan
haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan fenomana sosial, seperti fikih
lingkungan masih terabaikan.
Diantara sumber-sumber metodologi pengembangan hukum Islam, mashlahah
merupakan salah satu alat metodologis yang dapat dijadikan pegangan dalam
mengembangkan fikih lingkungan. Konsep mashlahah ini pada mulanya dijadikan
dasar bagi para fuqaha untuk merumuskan konsep maqâshid asy-syarî‘ah yang akan
menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Berbeda dengan pendekatan
kebahasaan terhadap sumber hukum Islam yang menitikberatkan kepada pendalaman
sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari
teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui maqâshid asy-syarî‘ah kajian
lebih menitikberatkan pada upaya melihat nilai-nilai yang berupa kemashlahatan
manusia dalam setiap taklîf yang diturunkan Allah.[191]
Berdasarkan pemahaman al-Syatibi terhadap ayat-ayat al-Quran, ia
menyimpulkan bahwa maqâshid asy-syarî‘ah dalam arti kemashlahatan dapat
ditemukan dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan artinya apabila terdapat
permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas dimensi kemashlahatannya maka
ia dapat dianalisis melalui maqâshid asy-syarî‘ah yang dapat dilihat dari ruh
syarî‘ah dan tujuan umum dari pewahyuan agama Islam. Menurut al-Syatibi,
hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syarî‘ah adalah mewujudkan dan memelihara
lima unsur pokok; agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl), akal (al-
’aql), dan harta (al-mâl)
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok tersebut, al-Syatibi
membagi tingkat maqâshid atau tujuan syari‘ah kepada maqâshid ad-dharûriyat,
maqâshid al-hâjiyyat dan maqâshid at-tahsîniyyat. Maqâshid ad-dharûriyyat
dimaksudkan untuk memelihara lima unsur dalam kehidupan manusia. Apabila hal ini
tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan
kehidupan.[192] seperti makan, minum, shalat, shaum dan
ibadah-ibadah lainnya.
Namun demikian, baik al-Syathibi tidak menyinggung hifzh al-bi’ah atau
hifzh al-‘alam (memilihara lingkungan) sebagai bagian dari maqashid
asy-syari’ah. Syariat memang tidak membahas secara langsung isu-isu tentang
pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan, sementara fikih sendiri merupakan ilmu
pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana keputusan manusia
yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat dibenarkan dan mana yang
tidak. Fikih mempertimbangkan kepentingan umat manusia (mashalih) yang terdiri
atas lima hal: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl), akal
(al-‘aql), dan harta (al-mal).[193]
Secara tematik (maudlu’i) ayat-ayat
al-Quran serta hadits-hadits secara langsung atau tidak langsung, eksplisit
atau implisit, memberikan hak kepada manusia sebagai khalifah Allah untuk
memanfaatkan alam demi memenuhi kebutuhan hidupnya, dan pada saat yang sama
memerintahkan manusia untuk memeliharan dan menjaga keseimbangan alam. Karena
itu, memelihara alam semesta (hifzh al-’alam) merupakan pesan moral yang
bersifat universal yang telah di sampaikan Allah kepada manusia, bahkan
memelihara lingkungan hidup merupakan bagian integral dari tingkat keimanan
seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang perlu di
sampaikan mengenai pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) Pertama,
pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) dipandang sebagai bagian dari
maqâshid asy-syarî‘ah, di samping memelihara agama (ad-dîn), jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl), akal (al-’aql), dan harta (al-mâl). Dengan demikian, kebutuhan
dasar manusia tidak lagi terdiri dari lima hal pokok (al-kulliyyat al-khamsah)
melainkan enam (al-kulliyyat al-sittah) Kedua, tanpa merubah struktur
(al-kulliyyat al-khamsah) sebagaimana digagas al-Syathibi, namun dapat
digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihî
fahua wâjib” (sesuatu yang menjadi mediator pelaksaan sesuatu yang wajib maka
ia termasuk wajib).[194]
Dengan argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam
semesta (hifzh al-’alam) tidak termasuk dalam kategori al-kulliyyat al-khamsah,
tetapi al-kulliyyat al-khamsah itu sendiri tidak mungkin terlaksana dengan baik
apabila pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) diabaikan. Sebagai contoh
upaya memelihara jiwa (an-nafs) tidak akan berhasil dengan baik apabila kita
mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam), upaya memelihara
keluarga (an-nasl) tidak berhasil dengan sempurna apabila kita mengabaikan
pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) dan seterusnya.
Fikih lingkungan tumbuh dengan kompleksitas problem ekologi secara
multidisipliner. Berbeda dengan fiqh al-zakâh dan fiqh al-hajji misalnya, fikih
lingkungan dapat menjadi disiplin ilmu keislaman yang “mengekspansi” seluruh
bidang-bidang kehidupan manusia dengan alam. Menurut Yusuf Qaradhawi, menjaga
lingkungan (hifzh al-bi`ah) sama dengan menjaga agama (din), jiwa (nafs), akal
(aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Rasionalitasnya adalah bahwa jika
aspek-aspek agama, jiwa, akal, keturunan dan harta rusak, maka eksistensi
manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda.[195]
Oleh sebab itu, dislokasi fikih lingkungan atau fiqh al-bîah bisa menjadi
oportunitas yang konfrontatif jika diikuti oleh paradigma epistemologi yang
komprehensip dan konseptualisasi yang bisa dipertanggung jawabkan.
Fiqh al-bî’ah adalah fikih ling-
kungan yang merupakan bagian dari persoalan fikih kontemporer yang
diorientasikan untuk menyikapi berbagai isu lingkungan dari perspektif yang
lebih praktis dengan memberikan patokan-patokan hukum dan regulasi yang
berkaitan dengan lingkungan. Pendekatan
fikih lingkungan memiliki ke- unggulan dibanding pendekatan-pendekatan
lain, semisal filsafat
lingkungan,[196] karena umat Islam memerlukan aturan yang
lebih praktis dengan bukti pola pikir bayâni (seperti kecenderungan nalar
fikih) yang basisnya teks (nashsh) lebih dominan daripada pola-pola pikir lain
(‘irfânî dan burhânî).[197] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fiqih
al- bî’ah adalah kerangka berpikir
konstruktif hukum Islam dalam memahami lingkungan alam makrokosmos
maupun mikrokosmos sebagai tempat hidup dan kehidupan manusia.
Sayyed Hossein Nasr memandang
krisis lingkungan atau ekologi sebagai akibat dari krisis spiritual manusia
modern. Manusia modern telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa
disadari integritas kemanusiaannya telah tereduksi dan ter- perangkap pada
jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi. Nasr
menggunakan dua istilah pokok yaitu axis dan rim atau center dan periphery.
Menurutnya, manusia modern telah berada dipinggiran (rim/periphery)
eksistensinya dan bergerak menjauhi pusat (center/axis) eksistensinya.[198]
Alquran menginformasikan kepada
manusia bahwa bencana-bencana alam seringkali diawali dengan terjadinya
penyimpangan perilaku manusia di dalam masyarakat. Dengan kata lain, menurut
Nasaruddin Umar, bahwa perilaku makrokosmos seringkali berbanding lurus dengan
perilaku mikrokosmos.[199]
Lebih lanjut Nasarudin
mengidentifikasi beberapa contoh bencana alam yang di- informasikan dalam
Alquran, seperti umat Nabi Nuh yang keras kepala dan diwarnai berbagai
kezhaliman (Q.s. al-Najm [53]: 52), dihancurkan dengan banjir besar (Q.s. Hûd
[11]: 40). Umat Nabi Syu’aib yang penuh dengan korupsi dan kecurangan (Q.s.
al-A’râf [7]: 85, Hûd [11]: 84-85) dihancurkan dengan gempa yang menggelegar
dan mematikan (Q.s. Hûd [11]: 94). Umat Nabi Shaleh yang kufur dan dilanda
hedonisme dan cinta dunia yang berlebihan (Q.s. al-Syu’âra’ [26]: 146-149)
dimusnahkan dengan keganasan virus yang mewabah dan gempa (Q.s. Hûd [11]:
67-68). Umat Nabi Luth yang dilanda kemaksiatan dan penyimpangan seksual (Q.s.
Hûd [11]: 78-79) dihancurkan dengan gempa bumi dahsyat (Q.s. Hûd [11]: 82).
Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang berambisi mengambil alih Ka’bah sebagai
bagian dari ambisinya untuk memonopoli segala sumber ekonomi, juga dihancurkan
dengan cara mengenaskan sebagaimana di- lukiskan dalam surah al-Fil [105]: 1-5.
Kondisi inilah yang disinyalir
Alquran sebagai penyebab krisis lingkungan, karena egoisme dan egosentrisme
manusia acapkali menjadi penyebab terjadinya kerusakan alam, sebagaimana
diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
Andaikata kebenaran itu menuruti
hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka
tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.s. al-Mu’minûn [23]: 71).
Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.s. al-Rûm [30]: 41).
Munculnya kesadaran mengenai urgensitas fiqh al-bî’ah ini merupakan buah
dari ajaran Islam yang sangat peduli terhadap lingkungan hidup. Sejak awal
Islam telah menganjurkan pemeluknya untuk melakukan dua pola relasi- interaksi
yang adil dan berimbang, antara pola interaksi manusia dengan Tuhan (hablun
min Allah) dan manusia
dengan manusia dan alam
(hablun min al-nâs). Pola yang pertama
dibingkai oleh fiqh al-ibâdât, se- dangkan pola
yang kedua diwadahi
oleh fiqh al-mu`âmalat dengan memasukkan kajian baru seperti fiqh
al-bî’ah, fiqh al-siyâsah dan lainnya.
Jika dikaji lebih lanjut, pola interaksi tersebut sesungguhnya terbangun
atas dasar konsep tawhîd. Secara harfiah, tawhîd berarti kesatuan (unitas) yang
secara absolut berarti mengesakan Allah dan sekaligus membedakannya dari
makhluk. Akan tetapi tawhîd juga dapat diartikan secara luas sebagai kesatuan
(unitas) seluruh ciptaan- baik manusia maupun alam-dalam relasi- relasi
kehidupan. Dengan kata lain, tawhîd mengandung pengertian tentang kesatuan
antara Tuhan, manusia dan alam.[200]
Dalam buku Major Themes
of The Quran, Rahman menjelaskan
pandangan dunia (world view)
Alquran mengenai relasi
Tuhan-manusia-alam dalam tiga gagasan utama. Pertama, Tuhan merupakan satu-
satunya eksistensi yang menciptakan alam dan manusia. Kedua, Tuhan menciptakan
alam sebagai sebuah kosmos atau tatanan yang teratur yang tidak statis,
melainkan berkembang secara dinamis. Ketiga, alam bukan suatu permainan yang
sia-sia, tetapi ia memiliki tujuan dan manusia harus mempelajari hukum-hukum
alam ini yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan (sunnatullah) dan menjadikannya sebagai panggung aktivitas
manusia.[201]
Demikian hubungan integratif antara Tuhan-manusia-alam dalam pandangan
Islam. Hubungan integratif ini selanjutnya akan menjadi basis ontologis
permusan paradigma fiqh al-bî’ah berbasis kecerdasan naturalis. Dalam hubungan
ini, manusia dan alam sama-sama menempati posisi yang sejajar. Manusia diberi
hak mengelola alam, tetapi pada saat yang sama Allah memerintahkan manusia
untuk memelihara keseimbangan alam dengan sebaik-baiknya.
b.
Kerangka Metodologis Fiqh al-Biah
Dalam kajian fikih dijelaskan bahwa terdapat empat sumber hukum Islam yang
disepakati para ulama meliputi Alquran, sunnah, ijma’ (konsensus) dan qiyâs (penalaran analogis). Logika syariah
sebagai suatu sistem per- undang-undangan agama menunjukkan secara jelas
bahwa ia adalah
perundang- undangan yang
dijabarkan pertama kali secara langsung dari Alquran dan sunnah Nabi serta dari
tindakan individu dan ma- syarakat
yang hidup sesuai
dengan wahyu dan tradisi Nabi.
Menurut Abdillahi Ahmed al-Na’im,
ijmâ’ dan qiyâs tidak
disebutkan secara jelas dalam Alquran dan sunnah sebagai sumber hukum
Islam.[202]
Namun demikian, kesimpulan para ulama tentang empat sumber hukum Islam
tersebut dapat dilacak dari penfsiran mereka terhadap firman Allah Q.s. al-Nisa
[4]: 59 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatillah Rasulnya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. “Perintah
mentaati Allah dan RasulNya” sebagaimana tercantum dalam ayat tersebut dapat
diartikan sebagai perintah mengikuti Alquran dan sunnah, sedangkan perintah
mentaati ûlil amri diartikan sebagai perintah mengikuti hukum-hukum yang telah
disepakati mujtahidîn, karena mereka itulah ûlil amri ummat Islam dalam
pembentukan hukum Islam. Kemudian perintah mengembalikan kejadian yang
dipertentangkan antara umat Islam kepada Allah dan Rasulnya diartikan
sebagai perintah mengikuti
qiyâs ketika tidak terdapat nash atau
ijmâ’. Pengertian taat dan
mengembalikan masalah ini adalah mengembalikan masalah yang dipertentangkan
kepada Allah dan Rasulnya karena qiyâs adalah melakukan penyesuaian antara
kejadian yang tidak terdapat hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan ‘illat
hukum antara dua jenis kejadian tersebut. Jadi ayat tersebut, merupakan dalil
untuk mengikuti empat sumber hukum Islam yang selama ini diakui umat Islam.[203]
Di samping empat sumber hukum primer tersebut, terdapat sumber-sumber hukum
lain yang bersifat
sekunder, antara lain; pertama, istihsân yang didefinisikan
sebagai upaya berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyâs jali (nyata)
kepada qiyâs khâfî (tersembunyi) atau dari hukum kulli (umum) ke hukum
pengecualian karena ada dalil atau indikator yang menunjukkan perpindahan ini.[204]
Kedua, mashlahah mursalah (kesejahteraan umum) merupakan mashlahah yang tidak
disyari’atkan oleh al-Syâri’ untuk mewujudkan mashlahah itu serta tidak
terdapat dalil yang menunjukkan pengakuan dan pembatalannya, seperti keputusan
menciptakan system penjara bagi pelaku kriminal atau mencetak uang sebagai alat
tukar.[205]
Menurut Ahmed An- Na’im, konsep mashlahah ini sangat mirip dengan ide tentang
“kebijakan umum” (public policy) atau “kebijakan hukum” (the policy of the law)
dalam tradisi Barat.[206]
Di antara sumber-sumber metodologi pengembangan hukum Islam, maslahah
merupakan salah satu
alat metodologis yang dapat
dijadikan pegangan dalam mengembangkan
paradigma fiqh al-bî’ah. Konsep
maslahah ini pada mulanya dijadikan dasar bagi para fuqaha untuk merumuskan
konsep maqâshid al-syarî‘ah yang akan menjadi landasan dalam penetapan hukum
Islam. Berbeda dengan pendekatan ke- bahasaan terhadap sumber hukum Islam yang
menitikberatkan kepada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan
suatu makna tertentu dari teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui maqâshid al-syarî‘ah kajian
lebih menitikberatkan pada upaya melihat nilai- nilai yang berupa
kemashlahatan manusia dalam setiap taklîf yang diturunkan Allah.[207]
Konsep maqâshid al-syarî‘ah ini
diartikan sebagai maksud atau tujuan atau prinsip disyari‘atkannya hukum
dalam Islam, karena itu yang menjadi bahasan utama adalah mengenai masalah
hikmah dan ‘illat al-hukm.[208]
Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa semua kewajiban (taklîf)
diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat,[209] dan
bahwa semua kewajiban (taklîf) yang diemban oleh setiap manusia tidak
dapat dipisahkan dari aspek kemaslahatan baik secara eksplisit maupun secara
implisit. Dalam pandangan al-Syâthibî, hukum yang tidak mempunyai tujuan
kemaslahatan akan menyebabkan hukum tersebut kehilangan legitimasi sosial di
tengah masyarakat manusia, dan ini suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada
hukum Tuhan.[210]
Berdasarkan pemahaman al-Syâthibî terhadap ayat-ayat Alquran, ia menyimpulkan bahwa maqâshid al-syarî‘ah dalam arti kemaslahatan dapat ditemukan dalam
aspek- aspek hukum secara keseluruhan,[211]
artinya apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas
dimensi ke- maslahatannya, maka ia dapat dianalisis melalui maqâshid
al-syarî‘ah yang dapat dilihat dari ruh syariah dan tujuan umum dari pewahyuan
agama Islam. Menurut al-Syâthibî, hakikat atau tujuan awal pemberlakuan
syarî‘ah adalah mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok; agama (al-dîn),
jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl), akal (al-aql), dan harta (al-mâl).
Sementara Ibn‘Asyûr menyatakan, bahwa mashlahah adalah sifat perbuatan yang
menghasilkan sebuah kemanfaatan yang berlangsung terus menerus dan ditetapkan
berdasarkan pendapat mayoritas ulama”.[212]
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
mashlahah memiliki relasi yang signifikan dengan syariah dalam beberapa
rumusan di antaranya: Pertama, syariah dibangun atas dasar kemaslahatan
dan menolak adanya
kerusakan di dunia dan akhirat, Allah memberi perintah dan
larangan dengan alasan kemaslahatan; Kedua, syariah selalu
berhubungan dengan kemaslahatan,
sehingga Rasulullah Saw. men- dorong umatnya untuk melakukan kebaikan dan
menjauhi kerusakan; Ketiga, tidak ada
kemungkinan adanya pertentangan antara syariah dan kemaslahatan; dan Keempat,
syariah selalu menunjukkan pada kemaslahatan meskipun tidak diketahui
keberadaan letak kemaslahatannya, dan Allah memberi kepastian bahwa semua
kemaslahatan yang ada dalam syariah tidak akan menimbulkan kerusakan.[213]
Dapat dirumuskan bahwa
memelihara alam semesta
(hifdz al-’âlam) merupakan
pesan moral yang bersifat universal yang telah
disampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup merupakan
kewajiban dan menjadi bagian integral keimanan seseorang. Prinsip yang
mendasari pertimbangan terakhir adalah kemaslahatan manusia. Dalam mazhab
Maliki, suatu hal yang meski tidak ditetapkan oleh nash secara eksplisit,
tetapi memiliki kemanfaatan adalah dianjurkan, bahkan wajib,
karena dasar tujuannya yang tepat
(al-muhdatsat al-mahmûdah fî al-ma’nâ). Apalagi, jika pemeliharaan
lingkungan terkait dengan pelaksanaan kewajiban, maka memelihara lingkungan
menjadi wajib, karena ada kaidah:
بجاو وهف هبلاا بجاولا متيلاام
“Sesuatu yang
bisa menentukan kesempurnaan pelaksanaan
suatu kewajiban akan menjadi wajib pula”.
Dan ada
kaidah lain yang menyebutkan:
لئاسولل دصاقلما مكح
“Sarana
memiliki status hukum yang sama dengan
perbuatan yang menjadi tujuan”.
Kedua kaidah ini adalah tepat atas dasar anggapan jika pemeliharaan
lingkungan hanya menjadi pelengkap dari sudut pandangan fikih ibadah.
Sebaliknya, jika pemeliharaan lingkungan menjadi isu krusial, maka status
hukumnya bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai tujuan yang memiliki
dasar-dasar nash, sebagaimana halnya juga ibadah yang hukumnya wajib.[214]
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang perlu di sampaikan mengenai
pemeliharaan alam semesta (hifdz
al-’âlam).
Pertama, pemeliharaan alam semesta
(hifdz al-’âlam) dipandang sebagai bagian dari maqâshid al-syarî‘ah, di
samping memelihara agama
(al-dîn), jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl), akal (al-aql), dan harta
(al-mâl).
Kedua, tanpa merubah
struktur (al-kulliyyât al-khamsah), sebagaimana digagas al-Syâthibî, namun
dapat digunakan kaidah ushul fikih yang mengatakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib illa
bihi fahua wâjib” (sesuatu yang menjadi mediator pelaksaan sesuatu yang wajib
maka ia termasuk wajib).
Dengan argumentasi
ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’
âlam) tidak termasuk dalam kategori al- kulliyyat al-khamsah, tetapi
al-kulliyyat al- khamsah
itu sendiri tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam
semesta (hifdz al-’âlam) diabaikan. Sebagai contoh upaya memelihara jiwa
(al-nafs) tidak akan berhasil dengan baik, jika seseorang mengabaikan
pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’ âlam). Upaya memelihara keluarga (al-nasl)
tidak berhasil dengan sempurna, jika sesorang mengabaikan pemeliharaan alam
semesta (hifdz al-’âlam) dan
seterusnya.
Fiqh al-bî’ah adalah
regulasi norma-norma hukum Islam yang mengatur perilaku dan tindakan manusia
yang berhubungan dengan konservasi lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui, bahwa
krisis ekologis sebagian besar dilatarbelakangi tindakan manusia. Dalam konteks
inilah letak signifikansi merumuskan paradigma fiqh al-bî’ah berbasis
kecerdasan naturalis untuk mengatur kaidah baik-buruk atau halal-haram yang
akan menjadi patokan penilaian tindakan manusia terhadap lingkungan, sehingga
dengan cara ini, umat Islam akan mampu menghadirkan sebuah pendekatan religius
yang mendasarkan diri pada Alquran, Hadits dan ijtihad dalam memandang
persoalan lingkungan hidup.
Secara
ontologis, fiqh al-bî’ah dibangun atas landasan teologis yang memandang
Tuhan, manusia dan alam sebagai aspek yang memiliki hubungan yang bersifat
integratif. Dalam pola hubungan ini, manusia dan alam sama-sama menempati
posisi yang sejajar. Dalam hal ini, manusia sebagai khalifah diberi hak
mengelola alam, tetapi pada saat yang sama Allah me- merintahkan manusia untuk
memelihara keseimbangan alam dengan sebaik-baiknya.
Secara epistemologis, fikih lingkungan dibangun atas dasar konsep
maslahah. Konsep ini pada mulanya dijadikan dasar untuk merumuskan konsep
maqâshid al-syarî‘ah yang akan menjadi landasan dalam penetapan
hukum Islam. Meskipun al-Syâthibî dan Rahman sama-sama tidak menyinggung hifdz al-‘âlam (memilihara lingkungan)
sebagai bagian dari maqâshid al-syarî’ah, namun terdapat beberapa penjelasan Alquran
maupun hadits yang menerangkan mengenai urgensitas pemeliharaan alam. Karena
itu, hifdz al-‘âlam (memilihara
lingkungan) dapat dijadikan sebagai mediator utama bagi terlaksananya
al-kulliyyat al-khamsah tersebut.
Sementara itu,
secara aksiologis. fiqh al-bî’ah berisi norma-norma yang
mengatur dan mengontrol pemeliharaan alam semesta melalui dua instrumen; yaitu
halal dan haram. Konsep halal dan haram sebagaimana yang digagas fiqh al-bî’ah
ini dibangun atas dasar konsep tauhid, khilafah dan amanah serta prinsip
keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan umat, sehingga kerangka
etika lingkungan dalam perspektif Islam dapat disusun secara lengkap dan
komprehensif.[215]
Islam
memproyeksikan bahwa manusia mempunyai peranan penting dalam menjaga
kelestarian alam (lingkungan hidup). Islam merupakan agama yang memandang
lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan seseorang
terhadap Tuhan. Manifestasi dari keimanan seseorang dapat dilihat dari perilaku
manusia, sebagai khalifah terhadap lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang
sangat detail terkait pemeliharaan dan kelestarian alam.
Manusia
diciptakan oleh Allah sebagai makhluk dan hamba Tuhan, sekaligus sebagai wakil
(khalifah) Tuhan di muka bumi. Manusia mempunyai tugas untuk mengabdi,
menghamba (beribadah) kepada Sang Pencipta. Tauhid merupakan sumber nilai
sekaligus etika yang pertama dan utama dalam teologi pengelolaan lingkungan. [216]
Al-Qur'an
al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat menguraikan berbagai persoalan hidup dan
kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian
sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kauniyyah, dan tidak kurang
dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal tersebut. Jumlah ini tidak
termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.[217]
Menurut
Quraish Shihab, meskipun terdapat sekian banyak ayat-ayat tersebut, tidak
menjadi jaminan bahwa al-Qur’an sama dengan kitab ilmu pengetahuan atau
bertujuan menguraikan hakekat-hakekat ilmiah. Ketika al-Qur’an memperkenalkan
diri sebagai tibyanan likulli syay’i (QS/16: 89) bukan dimaksudkan untuk
mengklaim bahwa dia menjelaskan segala sesuatu, tetapi lebih menggam¬barkan
bahwa dalam al-Qur’an terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat.[218]
Masalah
kehidupan di dunia (العالم), disebutkan dalam
al-Qur'an sebanyak 112 kali.[219]
Dunia dalam bahasa Arab artinya dekat,[220]
adapula yang mengartikan hina.[221]
Dikatakan “dekat” karena umur dunia ini tidak lama. Dikatakan “hina” karena
dunia ini tempat kehinaan dan kesengsaraan, penyebab dari segala malapetaka.
Karena
kehidupan di dunia sifatnya sementara, maka Islam dengan segala bimbingan dan
arahannya mengaharapkan adanya keseimbangan jasmani dan rohani. Itu disebabkan
karena kehidupan di dunia merupakan jembatan atau kendaraan menuju akhirat
sebagai kehidupan yang abadi.[222]
Dalam QS al-Ra’d/13: 26 Allah swt. ber-firman :
اَللهُ يَبْسُطُ الرِزْقَ لِمَنْ
يَشَاءُ، وَفَرِحُواْ بِالحَيَوةِ الدُنْيَا وَمَا اْلحَيَاةُ الدُّنْيَا فِى
الآخِرَةِ اِلاَّ مَتَاعٌ.
Terjemahnya
:
Allah
melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka
bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding
dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).’[223]
Eksistensi
kehidupan di dunia sebagaimana dalam ayat di atas, tentu akan mendorong manusia
untuk menyediakan bekal (beramal), mengerjakan perbuatan baik yang akan
diterima pahalanya di akhirat kelak yang sifatnya abadi. Jadi, hidup ini amat
baik dan berharga untuk dipergunakan dengan baik-baiknya dalam arti; jangan
disia-siakan dan terbuang percuma.
Al-Qur'an
tidak melarang manusia untuk merasakan keuntungan dan kebahagiaan di dunia.
Hanya saja, diingatkan jangan sampai me-lampaui batas sehingga merugikan diri
sendiri atau orang lain. Pem-batasan ini perlu, manusia jangan sampai salah
menpergunakan kekayaan, kekuasaan dan pengetahuan di dunia ini, dengan wahana
yang telah berlumur dosa dan maksiat bisa membawa kepada ke-runtuhan,
kehancuran dan kekacauan bagi mereka sendiri.
Mata
pencaharian dan pekerjaan duniawi bukan sekedar masalah yang mubah, tetapi
dituntut juga wajib, tergantung kepada masyarakat. Mencari pencaharian di dunia
dengan berbagai macam ragamnya, ada yang mubah di satu sisi dan ada pula yang
wajib di sisi lain. Umpamanya; siapa yang memanfaatkan kerja orang lain dalam
masalah makan, pakaian dan tempat tinggalnya maka dia harus berbuat pula bagi
orang lain itu dengan kadar yang sama (seimbang dalam menerima dan memberi).
Jika tidak dilakukannya seperti itu, berarti dia adalah orang zalim.” Siapa
yang ridha terhadap sesuatu ynag sedikit dari pekerjaannya, maka dia tidak
menerima keduniaan kecuali hanya sedikit pula.
Oleh karena
itu, apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan firman Allah swt. maka
ditemukan korelasinya dalam QS Al-Baqarah/2: 22 sebagai berikut;
ٱلَّذِي
جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فِرَٰشٗا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءٗ وَأَنزَلَ مِنَ
ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ رِزۡقٗا لَّكُمۡۖ فَلَا
تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ أَندَادٗا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٢
Terjemahnya:
‘Dialah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan dia
menjadikan air hujan dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu meng-adakan
sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui’.[224]
Kata lakum (لكم) dalam ayat di atas, menunjukkan arti
manfaat. Maksudnya, untuk dimanfaatkan bagi setiap orang. Antara lain
pemanfaatan itu, ada yang berhubungan dengan masalah makan dan ada pula yang
berhubungan dengan masalah keperluan sehari-hari seperti pakaian, perumahan dan
sebagainya.[225]
Lebih lanjut al-Marâgiy me-nyatakan bahwa adanya hujan yang diturunkan Allah
swt. mengakibat-kan hidupnya tumbuh-tumbuhan di tanah (sawah) tersebut. Dari
tumbuh-tumbuhan yang hidup itu, membuahkan hasil yang sangat bermanfaat bagi
manusia.[226]
Adapun
penjelasan dari iman al-Syaukani, beliau menyatakan bahwa; yang dimaksud
pemanfaatan pada ayat di atas, bukan satu macam pemanfaatan saja, misalnya
makan bahkan termasuk semua yang layak untuk dimanfaatkan dari segala seginya.
Umpamanya, sekalipun menurut sunnah tanah itu haram dimakan, namun juga
bermanfaat untuk hal-hal yang lain. Dan sebagai bekal pemanfaatan ini, manusia
dibumi ini dan kekuatan yang dimilikinya serta pemanfaatan hasil bumi itu,
selalu memerlukan penjagaan hidupnya, kekuatannya dan keaktifannya dengan
makanan, obat-obatan, pakaian tempat tidur dan perumahan, juga perlu sarana,
alat dan sebagainya.[227]
Oleh karena
itu, manusia berhak menguasai sebagian tanah untuk ditanami tumbuh-tumbuhan,
mereka berhak menguasai pohon-pohonan, memproduksi tambang-tambangnya seperti
minyak dan sebagainya. Atau mendirikan rumah, gedung, pertokoan, pabrik dan
lain-lain. Yang demikian itu, karena Allahlah yang menciptakan langit dan bumi
serta seluruh isinya adalah untuk kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Bumi Allah
itu luas maka apa yang diberikan oleh-Nya hendaknya dimanfaatkan. Dalam QS
al-Nisa/4: 97.
.. قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ
أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ
Terjemahnya :
Para malaikat berkata; “Bukankah
bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?[228]
Ayat di
atas, memberikan pemahaman bahwa bumi ini sangat luas dan bagi manusia adalah
tempat mereka berhijrah dalam arti mereka dapat berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat yang lain untuk melangsungkan hidupnya.[229]
Jadi, dengan informasi bahwa bumi ini sangat luas maka tentu manusia secara
bebas berdiam dan beraktifitas di dalamnya.
Menurut
Nurcholish Madjid, dengan berdiamnya manusia di bumi ini mereka digugat untuk
tidak hanya menetap di satu atau di satu wilayah saja, melainkan mereka harus
berpindah-pindah (transmigrasi) untuk berbuat sesuatu yang bakal mengangkat
harkat dan martabatnya yang diperoleh dari iman dan bakti kepada Tuhan yang
Maha Esa.[230]
Dapat
diketahui bahwa pada dasarnya seluruh yang ada di bumi ini boleh dimanfaatkan.
Tidak ada yang berhak untuk menghalanginya kecuali atas izin Allah swt. Dalam
hal pemanfaatan itu, manusialah yang diberi hak otoritas disebabkan mereka
menyandang predikat khalîfah.
Menurut M.
Quraish Shihab, khalifah berarti berarti “peng-ganti”. Pada awalnya diartikan
sebagai “di belakang”, kemudian se-suatu yang berada di belakang adalah
pengganti. Selanjutnya khalifah diasosiasikan dengan pemimpin yang datang
sesudah Rasulullah saw. wafat. Khalifah yang dimaksud adalah khulafaur
rasyidin.[231]
Tetapi menurut Abd. Muin Salim, khalifah yang dimaksud di sini adalah semua
manusia yang telah dikodrati untuk mengurus bumi ini.[232]
Secara tegas dinyatakan bahwa wilayah kekhalifahan manusia adalah bumi.[233]
Seluruh
makhluk hidup termasuk hewan-hewan dapat berdiam di atasnya. Di atas permukaan
bumi ini lah Allah swt. menumbuhkan berbagai tumbuhan untuk bahan makanannya.
Jadilah bumi ini tempat tinggal yang melindunginya dari hawa panas atau dingin
atau sebagai tempat menguburkan bangkai-bangkai tubuh manusia itu sendiri.
Dengan beraktifitasnya
semua makhluk, khususnya manusia, maka eksistensi bumi inilah dapat dijadikan
sebagai tempat isterahat yang nyaman, tidur dan pindah tempat untuk
mengusahakan pekerjaan serta kehidupan yang lebih baik.
Seandainya
bumi ini dalam keadaan kering, maka batu-batu semakin keras, tanam-tanaman yang
tidak tumbuh yang mengakibatkan tidak menbawa manfaat bagi manusia. Oleh karena
itu, penciptaan bumi ini telah dilengkapi dengan segala fasilitas dan daur
kosmologi yang tertata baik memang Allah swt. peruntukkan kepada manusia.[234]
Akan tetapi
ketika manusia mulai melakukan aktifitas pemenuhan kebutuhan hidupnya di bumi
ini, mereka mulai melampaui batas. Dalam memenuhi kebutuhan yang tak terbatas
ini manusia mulai melakukan ekspoitasi terhadap alam secara sangat luar biasa.
Proses eksploitasi ini berkembang semakin jauh seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan manusia..
Alam seakan
akan tidak lagi bias memenuhi kebutuhan dan keinginaan manusia. Sehingga dalam
upaya pemenuhan kebutuhan tersebut manusia mengabaikan banyak hal. Mereka abai
terhadap pentingnya menjaga kelestarian ekosistim yang ada. Sebab mereka tak
menyadari bahwa merusak ekosisitim berarti secara tidak langsung kita sudah
merusak pola hubungan simbiosis mutualisme antara manusia dana lam. Bias di
pastikan ini akan menjejaskan manusia itu sendiri.
Atas
keprihatinian inilah maka muncul pembahasan tentang fiqh lingkungan dalam
persoalan kehidupan manusia. Bagaimana upaya fiqh lingkungan dalam
memformulasikan hokum-hukum seputar lingkungan hidup yang di ambil dari
nash-nash al-Quran dan hadits Rasulullah SAW.
E. Tinjauan Hukum Pidana Islam bagi Pembakaran Hutan dan Lahan.
Dari uraian di
atas, maka sangat wajar jika dalam semua tradisi hukum pidana, perhatian yang
paling utama adalah pada “bentuk hukuman” yang akan dibebankan kepada setiap
pelanggar hukum. Dengan demikian, studi yang dilakukan terhadap teori hukuman
ini sesungguhnya merupakan langkah esensial untuk memahami suatu sistem hukum
pidana Islam.
Kejahatan
di bidang kehutanan di Indonesia sudah terjadi sejaka lama, sehingga
mengakibatkan kerusakan hutan. Berbagai bentuk kejahatan di bidang kehutanan
telah terjadi, baik dilakukan oleh perorangan maupun korporasi. Di sisi lain,
aparat penegak hukum tidak berdaya menghadapi pelaku kejahatan di bidang
kehutanan, karena mereka biasanya menggunakan teknologi canggih, bahkan tidak
sedikit di antaranya yang memiliki back up atau pelindung yang kuat,
sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan sering kali tidak
berjalan sesuai harapan.
Salah
satu bentuk kejahatan di bidang kehutanan adalah pembakarn hutan yang
akhir-akhir ini sering terjadi. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang
kehutanan telah mengatur tindak pidana di bidang kehutanan, termasuk pembakaran
hutan. Hanya saja pengaturan mengenai pembakaran hutan sebagai salah satu
bentuk kejahatan kehutanan masih terdapat beberapa kelemahan, sehingga
berakibat pada lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan pembakaran hutan
tersebut. Tidak mengherankan jika hingga kini seringkali diberitakan terjadinya
kejahatan kehutanan yang menimbulkan kerugian materiil dan kerusakan hutan,
kejahatan pembakaran hutan ini tidak bisa dibiarkan terus berkembang yang
akhirnya dapat merusak kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Dalam
mengatasi kejahatan pembakaran hutan ini, pemerintah telah mengeluarkan
berbagai peraturan, salah satunya adalah Undang-undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang di dalamnya memuat sanksi bagi para pelanggarnya.
Terhadap pelaku kejahatan hutan, undang-undang ini menetapkan tiga sanksi;
sanksi pidana, sanksi ganti rugi, dan sanksi administratif. Ketentuan sanksi
pidana yang diatur dalam pasal 78, memuat pidana penjara, denda, dan perampasan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Namun
ketentuan-ketentuan sanksi tersebut dianggap masih belum efektif, sebab belum
memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan hutan. Hal ini terbukti dengan
masih maraknya perbuatan pembakaran hutan dan lahan, disamping itu banyaknya
pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum. Wajar saja, di dalam Undang-undang
Kehutanan ini ketentuan sanksi tertinggi hanya 15 tahun penjara dengan
ketentuan denda tertinggi Rp. 5.000.000.000, 00 (lima miliar Rupiah).
Adapun
kejahatan dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah jarimah[235]yang ditafsirkan menurut Abdul Qadir‘Audah yaitu sebagai suatu
larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan had atas ta’zir.[236] Sedang ancaman hukumannya dapat disebut dengan ‘Uqubah,
yaitu membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya, atau balasan dalam bentuk
ancaman hukuman yang jenisnya ditetapkan oleh syara’.[237]Perbuatan larangan tersebut ada kalanya berupa mengerjakan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dalam
pengertian lain disebutkan bahwa kejahatan sebagai perbuatan atau tindak anti
sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan di dalam masyarakat, Negara
harus menjatuhkan sanksi kepada pelaku kejahatan.[238]
Hukum pidana
Islam mengenal hukuman terhadap perbuatan-perbuatan kriminal yang masuk dalam
kategori hudud adalah minum-minuman keras/memabukkan, mencuri, perampokan,
berzina, menuduh orang lain berzina, dan murtad, merupakan bentuk hukuman yang
secara teoritis disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad.Selain dari qisas, yang merupakan hukuman untuk perbuatan pembunuhan
atau melukai seseorang, semua pelanggaran pidana yang lainnya masuk dalam
kategori ta’zir.
Walaupun
mayoritas ulama sepakat dengan pembagian seperti ini namun tidak berarti tidak
ada ulama-ulama minoritas yang berpendapat lain. Perbedaan ini tampaknya
terfokus pada jenis perbuatan apa yang masuk dalam kategori hudud, apakah lebih
dari enam perbuatan sebagaimana yang disebutkan di atas atau kurang dari enam,
sebagai akibat dari pemahaman mereka yang berbedabeda terhadap sumber tekstual
ayat maupun hadits.Hukum Islam mendasarkan rumusan hukuman dalam pelanggaran
pidana pada dua aspek dasar, yaitu: ganti rugi/balasan (retribution) dan
penjeraan (deterrence).
Dalam kasus
pengrusakan lingkungan melalui tindakan pembakaran hutan pun mestinya tidak
luput dari konteks pidana Islam. Pembakaran hutan yang terjadi yang telah
mengakibatkan rusaknya lingkungan, hilangnya harta benda, membahayakan hidup
manusia bahkan sampai pada level menghilangkan nyawa manusia. Bukan hanya itu,
secara myata bahwa tindakan tersebut dapat membahayakan manusia dan
kelangsungan hidup baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan alam
dan ekosistim pada akhirnya menjejaskan keberlangsungan hidup bagi setiap
mahluk yang ada tak terkecuali manusia.
Manusia sebagai
puncak dari rantai ekosistim dan siklus kehidupan menjadi terancam. Asap dari
akibat kebakaran dapat mempengaruhi emisi rumah kaca yang berakibat pemanasan
global (Global Warming). Suhu udara meningkat, es di kutub selatan dan utara mencair
sehingga permukaan air laut menjadi naik. Efek domino dari itu tentunya daratan
menjadi berkurang karna tenggelam oleh permukaan laut yang naik tersebut.
Pembakaran yang mengakibatkan reaksi kimia ternyata dapat juga mendatangkan
bahaya kangker dan berbagai penyakit bagi masyarakat yang terpapar asap secara
terus-menerus dalam jangka panjang.
Bencana tanah
longsor dan banjir bandang juga merupakan dampak dari berkurangnya sistem
penahan air pada tanah yang selama ini peran tersebut dilakukan oleh hutan. Ketiadaan
hutan membuat kondisi tanah menjadi labil. Korban jiwa dan harta akibat
kejadian banjir dan tanah longsor sudah tak dapat kita hitung jumlahnya.
Motif
pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan dapat berupa tindakan yang
disenganja. Tindakan dengan tujuan untuk upaya merusak lahan orang lain. Atau
mungkin motifnya memang sekedar untuk membuka lahan baru, akan tetapi kebakaran
yang tidak terkendali dapat dengan tidak sengaja merusak lingkungan hutan dan
lahan yang ada disekitarnya. Tentunya motif dari pembakaran tersebut perlu
untuk di buktikan secara teliti agar penetapan hukum tidak keliru.
Sebagaimana
yang telah dibahas sebelumnya bahwa menjaga hatra dan keselamatan diri
merupakan sebuah kewajiban dalam konsep hukum Islam. Alam sebagai tempat kita
bergantung hidup tentunya juga perlu dijaga. Ketidak stabilan alam dapat
membahayakan harta benda dan nyawa manusia. Ketergantungan antara manusia dan
alam ada dalam bentuk hubungan simbiosis mutualisme. Saling terkait.
Kelestarian alam tergantung pada sikap manuais terhadap alam itu sendiri.
Sebaliknya keberlangsungan hidup manusia dan mahluk yang lainnya tergantung
akan keterjagaan stabilitas alam dengan baik.
Oleh karena
kemaslahatan dan keberlangsungan hidup sangat terganggu denga peristiwa
pembakaran hutan dan lahan ini, maka sudah sepatutnya para pelaku pembakaran
tersebut mendapatkan perlakuan yang sepantasnya dimata hukum. Mereka tak
mungkin dibiarkan begitu saja. Berapa banyak korban harta dan nyawa akibat ulah
mereka.
Karena secara
tegas Islam tidak merinci tentang ketentuan hukum bagi perusak alam, maka
kajian yang komrehensif diperlukan untuk memformulasikan ketetapan hukum
terhadap rindakan ini. Secara hukum tindakan ini termasuk katagori sengaja atau
tidak sengaja, katagori had atau ta’zir, perlukah hukum diyat atau denda
pengganti diterapkan kepada pelaku atau tidak.
Dalam menjawab
persmasalahan tersebut, maka diperlukan pembuktian yang sangat hati-hati. Peran
ini tentunya hanya bisa di lakukan oleh penguasa atau hakim yang ditunjuk oleh
penguasa. Sebab ketentuan-ketentuan Islam sudah jelas tentang hal-hal yang
dapat membahayakan harta dan nyawa orang lain.
Pada hemat
penulis bahwa pelaku pembakaran hutan mestilah ditindak secara hukum pidana.
Karena syarat-syarat kepidanaan yang dibutuhkan untuk menghukum seorang pelaku
kajahatan sudah terpenuhi. Setiap pelaku pembakaran hutan dan lahan pasti
melakukannya dengan sengaja. Meski pada tahap berikutnya mereak tak dapat
mengontrol kebakaran tersebut. Akibatnya kebakaran tidak terkendali. Lingkungan
menjadi rusak bahkan harta benda dan nyawa terancam. Ketidak sengajaan yang
berakibat membahayakan orang lain termasuk pada tindak pidana dalam Islam.
Perbuatan ini dilarang dan berada dalam kategori jinayah.
فَالْجِنَا يَةُ
اِسْمٌ لِفِعْلٍ مُحَرَّمٌ شَرْعًا,سَوَاءٌ وَقَعَ الْفِعْلُ عَلَى نَفْسٍ أَوْ
مَالٍ اَوْ غَيْرُ ذَالِكْ
Jinayah adalah
suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan
tersebut mengenai jiwa, harta, atau
lainnya. [239]
Sedangkan
Sayyid Sabiq menyatakan: “Jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan
yang dilarang.dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh
syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa,
akal, kehormatan, atau harta benda”.[240]
Oleh karena syarat
jinayah pada pembakaran hutan sudah terpenuhi terlepas dari sengaja atau tidak,
maka ketentuan hukum pidana Islam bisa dilaksanakan dalam kasus pembakaran
hutan dan lahan ini. Konsep yang dipakai dapat berupa diyat maupun ta’zir.
F.
Ta’zir, diyat dan
Ganti Rugi bagi Pembakar Hutan dan Lahan
1.
Ta’zir dan
Diyat bagi Pembakar Hutan dan Lahan
Menurut bahasa,
lafaz ta’zir berasal dari kata azzara yang berarti man’u wa radda (mencegah dan
menolak). Ta’zir dapat berarti addaba (mendidik) atau azhamu wa waqra. Yang artinya
mengagungkan dan menghormat. Dari berbagai pengertian, makna ta’zir yang paling
relevan adalah al-man’u wa raddu (mencegah dan menolak), dan pengertian kedua
ta’dib (mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdur
Qadir Audah dan Wahbah Az-Zuhaili. Ta’zir diartikan mencegah dan menolak karena
ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Ta’zir diartikan
mendidik karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar
ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.
Selain diatas, ta’zir secara harfiah juga dapat diartikan sebagai menghinakan
pelaku kriminal karena tindak pidananya yang memalukan.[241]
Menurut
istilah, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Mawardi bahwa yang dimaksud
dengan ta’zir adalah sebagai berikut :
“Ta’zir adalah
hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya
ditentukan oleh syara’.”
Sementara
Wahbah az-Zuhaily memberikan definisi yang mirip dengan definisi al-Mawardi :
“Ta’zir menurut
syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang
tidak dikarenakan had dan tidak pula kifarat.”
Jadi dengan
demikian jarimah ta’zir adalah suatu jarimah yang hukumannya diserahkan kepada
hakim atau penguasa. Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan
hukuman bagi pelaku jarimah ta’zir.[242]
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu
istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan
oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumnya belum ditetapkan
oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir. Jadi istilah ta’zir bisa digunakan
untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana)[243].
Dari definisi
tersebut, juga dapat difahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had dan tidak pula dikenakan
kifarat, dengan demikian, inti dari jarimah takzir adalah perbuatan maksiat.
Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan
dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). Para fiqaha memberikan
contoh meninggalkan kewajiban seperti menolak membayar zakat, meninggalkan
shalat fardhu, enggan membayar hutang padahal mampu, mengkhianati amanat,
seperti menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim, hasil wakaf dan
lain sebagainya. Sebagai contoh melakukan perbuatan yang dilarang, seperti
mencium perempuan lain bukan istri, sumpah palsu. Penipuan dalam jual beli,
melakukan riba, melindungi dan menyembunyikan pelaku kejahatan, memakan
barang-barang yang diharamkan, seperti darah, bangkai, dan sebagainya. Contoh
diatas termasuk dalam jarimah ta’zir.
Disamping itu
juga hukuman ta’zir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh
kemashlahatan umum, meskipun perbuatannya bukan maksiat, melainkan pada awalnya
mubah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan,
karena perbuatan tersebut tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena
sifatnya. Apabila sifat tersebut ada maka perbuatannya diharamkan, dan apabila
sifat tersebut tidak ada maka perbuatannya mubah. Sifat yang menjadi alasan
(illat) dikenakan hukuman atas perbuatannya tersebut adalah membahayakan atau
merugikan kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur
merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku
dikenakan hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut bukan jarimah
dan pelaku tidak dikenakan hukuman.
Penjatuhan
hukuman ta’zir untuk kepentingan umum ini didasarkan kepada tindakan Rasulullah
SAW, yang menahan seorang laki-laki yang diduga mencuri unta. Setelah diketahui
ternyata ia tidak mencurinya. Rasulullah SAW melepaskannya.
Analisis
terhadap tindakan Rasulullah SAW tersebut adalah bahwa penahanan merupakan
hukuman ta’zir, sedangkan hukuman hanya dapat dikenakan terhadap suatu jarimah
yang sudah dapat dibuktikan. Apabila dalam peristiwa tersebut tidak terdapat
unsur pidana maka artinya Rasulullah mengenakan hukuman penahanan (penjara)
hanya karena tuduhan semata-mata (tuhmah).
Hal ini
mengandung arti bahwa Rasulullah SAW membolehkan penjatuhan hukuman terhadap
dalam posisi tersangka, meskipun ia tidak melakukan perbuatan yang dilarang.
Tindakan yang diambil oleh Rasulullah SAW tersebut dibenarkan oleh kepentingan
umum, sebab membiarkan si tersangka hidup bebas sebelum dilakukan penyelidikan
tentang kebenaran tuduhan terhadap dirinya biar mengakibatkan ia lari, dan biar
juga menyebabkan dijatuhkannya vonis yang tidak benar terhadap dirinya, atau
menyebabkan tidak dapat dijalankannya hukuman yang telah diputuskan[244].
Pada jarimah
ta’zir al-Qur’an dan al-Hadits tidak menerapkan secara terperinci, baik dari
segi bentuk jarimah maupun hukumannya[245].
Dasar hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta’zir adalah at-ta’zir
yadurru ma’a mashlahah artinya, hukum ta’zir didasarkan pada pertimbangan
kemashlahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam masyarakat[246]
Jarimah ta’zir dibagi pada 3 kategori
hukuman:
a.
Hukuman Ta’zir
yang Berkaitan dengan Badan
a.1.
Hukuman Mati
Hukuman mati
ditetapkan sebagai hukuman qishash untuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman
had untuk jarimah hirabah, zina muhsan, riddah, dan jarimah pemberontakan.
Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara
beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati
sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati
apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang
dilakukan berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang dilakukan oleh
kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk Islam.
Malikiyah juga
membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu,
seperti spionase dan melakukan kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail.
Sebagian fuqaha
Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran
aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran dan assunah. Demikian
pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan
tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhshan.
Dari uraian
tersebut jelas bahwa hukuman mati untuk jarimah ta’zir, hanya dilaksanakan
dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya, dengan syarat-syarat
sebagai berikut.
1.)
Bila pelaku
adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman
mati
2.)
Harus
dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan
pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi.[247]
Adapun alat
yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada
keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula
yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun
kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah
digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang
lebih cepat.[248]
a.2. Hukuman Jilid (Dera)
Alat yang
digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak
terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Imam Ibn Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara
adalah pertengahan.
Adapun sifat
atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih diperselisihkan oleh para fuqaha.
Menurut Hanafiyah, jilid sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada
jilid dalam had agar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera,
disamping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain
adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama
selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam ta’zir dengan sifat jilid dalam
hudud.[249]
Pukulan atau
cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan
ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian
perut dan dada, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan
orang yang terhukum.
Dari uraian
tersebut, dapat dipahami bahwa hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan
cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai
membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan
kepadanya.[250]
b.
Hukuman yang
Berkaitan dengan Kemerdekaan
b.1. Hukuman Penjara
Dalam bahasa
Arab istilah untuk hukuman penjara yaitu disebut dengan Al-Habsu yang artinya
mencegah atau menahan. Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, yang dimaksud
Al-Habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit,
melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar tidak melakukan perbuatan
hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun di tempat
lainnya. Penahanan model itulah yang dilaksanakan pada masa Nabi dan Abu Bakar
tidak ada tempat yang khusus disediakan untuk menahan seorang pelaku. Akan
tetapi setelah umat Islam bertambah banyak dan wilayah kekuasaan Islam
bertambah luas, Khalifah Umar pada masa pemerintahan-nya membeli rumah Shafwan
ibn Umayyah dengan harga 4000 dirham untuk kemudian dijadikan sebagai penjara.
Hukuman penjara
dalam syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu:
1.) Hukuman penjara terbatas
Adalah hukuman
penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini
diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamr, pemakan riba, melanggar kehormatan
bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur dll. Adapun
lamanya hukuman penjara ini tidak ada kesepakatan dikalangan ulama. Batas
tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini juga tidak ada kesepakatan di
kalangan fuqaha.
2.) Hukuman penjara tidak terbatas
Hukuman penjara
tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai
orang yang terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa
disebut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman ini dikenakan kepada penjahat
yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh
oleh orang ketiga, atau seperti orang yang mengikat orang lain, kemudian
melemparkannya ke depan seekor harimau.[251]
b.2. Hukuman Pengasingan
Meskipun
hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namaun dalam praktiknya, hukuman
tersebut diterapkan juga sebagai hukuma ta’zir. Di antara jarimah ta’zir yang
dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku mukhannats
(waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar
Madinah. Demikian pula tindak pidana pemalsuan terhadap Alquran. Hukuman
pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh
kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk
menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.
Adapun tempat pengasingan
diperselisihkan oleh fuqaha.
amanya (masa)
pengasingan juga tidak ada kesepakatan di kalangan para fuqaha. Menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah, masa pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun
agar tidak melebihi masa pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman
had. Menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun,
sebab pengasingan di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had. Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Imam Malik. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan
batas waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa (hakim).
c. Hukuman yang
Berkaitan dengan Harta.
Para ulama,
Imam Abu Hanifah dan Muhammad tidak membolehkan sanksi ta’zir berupa harta,
sedangkan Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad membolehkannya.
Ulama yang
membolehkannya juga berbeda pendapat dalam mengartikan sanksi ta’zir berupa
harta benda. Ada yang mengartikannya dengan menahan harta terhukum selama waktu
tertentu, bukan dengan merampas atau menghancurkannya. Alasannya adalah, karena
tidak boleh mengambil harta seseorang tanpa ada alasan hukum yang
membolehkannya.
Ada pula ulama
yang berpendapat bahwa sanksi ta’zir berupa harta diperbolehkan pada waktu awal
Islam lalu dinasakh, karena dengan diperbolehkannya sanksi yang demikian maka
menyebabkan Ulil Amri mengambil harta orang lain dengan sewenang-wenang. Akan
tetapi alasan ulama tidak memperbolehkannya ini tidak dapat diterima oleh
jumhur ulama, karena banyak bukti, baik Rasulullah maupun Khalifah al-Rasyidin
menerapkan sanksi ta’zir berupa harta ini, seperti keputusan Rasul yang
memerintahkan untuk menghancurkan tempat khamr dan mendenda dengan dua kali
lipat buah-buahan yang dicuri dari pohonnya serta memberikan hukuman didenda
kepada pencuri harta bukan dari tempat penyimpanannya yang layak.
Ibn Taimiyah
membagi sanksi ta’zir berupa harta menjadi tiga bagian, yaitu menghancurkannya,
mengubahnya dan memilikinya. Contohnya, Umar menumpahkan harta dagangan yakni
susu yang dicampur dengan air untuk menipu pembeli.
Ulama
berpendapat bahwa itlaf al-mal itu bukan dengan cara menghancurkan, melainkan
diberikan kepada fakir miskin bila harta tersebut halal dimakan.
Contoh sanksi
ta’zir yang berupa mengubah milik penjahat antara lain mengubah patung yang
disembah oleh muslim dengan cara menghilangkan kepalanya.
Contoh sanksi
ta’zir berupa pemilikan harta penjahat adalah keputusan Rasulullah
melipatgandakan harta buah-buahan yang dicuri oleh seorang pencuri sebagai
denda.
Dengan
demikian, maka di kalangan ahli hukum Islam dikenal adanya sanksi denda dalam
ta’zir ini dan kadang-kadang ia sebagai hukuman pokok dan kadang-kadang sebagai
hukuman tambahan. Namun, para ulama tidak menentukan batas tertinggi dan terendah
dalam sanksi ta’zir berupa harta. Dari contoh diatas bahwa sanksi ta’zir yang
berupa harta diancamkan kepada jarimah-jarimah yang berkaitan dengan harta atau
yang bernilai harta. Tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa jarimah yang
berkaitan dengan harta dapat dijatuhi hukuman penjara.
Setelah
mengetahui yang dikemukakan Ibn Taimiyah tentang pembagian sanksi ta’zir
berkaitan dengan harta, maka salah satu bentuk pemilikan harta itu adalah
denda. Sanksi denda ini bisa merupakan hukuman pokok yang dapat digabungkan
dengan sanksi lainnya. Hanya saja syari’at tidak menentukan batas tertinggi dan
terendah bagi hukuman denda inidan hal ini diserahkan kepada hakim sesuai
dengan keadilan dan tujuan pemberian hukuman denda dengan mempertimbangkan
jarimah-jarimah pelaku dan kondisi-kondisinya. Penerapan sanksi denda ini
tampaknya dikenakan dalam jarimah-jarimah yang berkaitan dengan ketamakan
seseorang terhadap harta orang lain.
Selain denda,
sanksi ta’zir berupa pemilikan harta juga dengan jalan perampasan, meskipun
dalam hal ini ada ulama yang tidak membolehkannya bila harta tersebut adalah
harta yang halal dimiliki oleh muslimin. Akan tetapi jumhur ulama pada umumnya
membolehkan dengan alasan karena harta itu sendiri bila kita menggunakan teori
ta’asuf dalam pemilikan harta, maka menurut ulama, kita tidak boleh mengganggu
hak milik orang lain dengan cara:
-
Harta itu
dihasilakan dengan jalan halal
-
Harta itu
digunakan sesuai dengan fungsi
-
Penggunaan
harta tersebut tidak menggangu hak orang lain.
Jika
persyaratan itu tidak terpenuhi, maka dapat diterapkan sanksi ta’zir
dengan merampas harta tersebut oleh Ulil
Amri sebagai hukuman terhadap perbuatannya.
Dalam kasus
pembakaran hutan yang dilakukan baik secara sengaja atau tidak sengaja dan
perbuatan tersebut dapat secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak
langsung menimbulkan bahawa bagi harta benda dan keselamatan nyawa orang lain,
dapat dilakukan hukum ta’zir berupa penjara ataupun denda. Keputusan hukum ini
dapat dilakukan oleh penguasa. Keputusan hukum diambil dari tingkat
kemaslahatan yang telah dijejaskan oleh tindakan tersebut dan besaran ganti
rugi atas akibat perbuatan tersebut dibenarkan secara syar’i.
Menurut Sayyid
Sabiq, pembunuhan tidak disengaja adalah ketidaksengajaan dalam kedua unsure, yaitu perbuatan dan
akibat yang ditimbulkan. Apabila dalam
pembunuhan sengaja terdapat
kesengajaan dalam berbuat
dan kesengajaan dalam akibat yang ditimbulkannya, dalam pembunuhan tidak
disengaja, perbuatan tersebut tidak diniati dan akibat yang terjadi pun sama
sekali tidak dikehendaki. Walaupun demikian, ada kesamaan antara keduanya,
yaitu ala dipergunakan, yaitu sama-sama mematikan.[252]
Dua bentuk
jarimah pembunuhan yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an tertera dalam, surat
An-Nisa ayat 92 dan 93, sebagai berikut:[253]
وَمَا
كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَٔٗاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا
خَطَٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ
أَهۡلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ
Artinya: Dan tidak layak bagi seorang
mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja), dan Barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah………
وَمَن
يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا
وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا ٩٣
Artinya: “Dan barang siapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam,
kekallah dia di dalamnya. Allah memurkainya dan mengutuknya serta menyediakan
azab yang besar baginya” (Q.S An-Nisa: 93)
Meski para
pembakar hutan tidak bermaksud untuk melakukan pembunuhan, akan tetapi akibat
dari kegiatan pembakaran tersebut secara langsung atau tidak telah
menghilangkan nyawa seseorang, maka dari pemahaman ayat diatas pelaku dapat
juga dikenakan sangsi hukuman. Sangsi tersebut dapat berupa ta’zir ataupun
diyat sesuai dengan ketetapan yang telah dilakukan oleh penguasa.
Syaikh As Sa’di
mengatakan,
و الخطء و الإكراه و النسيان…أسقطه معبودنا الرحمان لكن مع الإتلاف
يثبت البدل…و ينتفي التأثيم عنه و الزلل
Kesalahan karena tidak sengaja, dipaksa, atau lupa. Dimaafkan
oleh Ar Rahman, Dzat yang kita sembah. Tapi jika menyebabkan rusaknya sesuatu
milik orang lain, wajib menggantinya. Namun dia tidak dikenai dosa atas
kesalahannya.
Meskipun orang yang berbuat keliru karena tidak sengaja
atau lupa tidak menanggung dosa, tetapi jika kesalahannya tersebut berimbas
pada terluka atau terbunuhnya orang lain, atau rusaknya barang miliki orang
lain, maka ia wajib ganti rugi.
Kesimpulannya, orang yang tidak sengaja, atau lupa, atau
dipaksa melakukan suatu kesalahan, tidak menanggung dosa atas kesalahannya.
Akan tetapi, ia wajib ganti rugi jika kesalahannya berdampak pada terbunuhnya
orang lain atau rusaknya barang orang lain. Karena masalah ganti rugi dikaitkan
dengan perbuatan dan kerugian yang ditimbulkannya, sama saja karena sengaja
atau tidak.
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan menerangkan, “Setiap mukallaf
(yaitu orang yang baligh dan berakal) wajib ganti rugi jika merusak sesuatu
milik orang lain. Begitu juga dengan mereka yang bukan mukallaf, semacam
anak-anak atau orang gila. Kaidah ini mencakup kerugian pada jiwa (terbunuh
misalnya –pen), harta, atau hak-hak orang lain.
Maka siapa saja yang merusak sesuatu milik orang lain
tanpa alasan syar’i, wajib ganti rugi, sama saja apakah karena sengaja, tidak
tahu, atau lupa. Sama saja apakah mukallaf ataukah bukan mukallaf. Karena
masalah ganti rugi ini tidak berkaitan dengan status pelakunya (mukallaf atau
tidak), tapi masalah ini adalah mengaitkan hukum (ganti rugi –pen) dengan
sebabnya (rusaknya properti orang –pen). Jika sebabnya dijumpai, hukum harus
ditegakkan”.[254]
2.
Ganti Rugi
(Daman) Terhadap Hilangnya Harta Benda Akibat Pembakaran Hutan dan Lahan.
Secara
etimologis, daman[255] memiliki makna yang cukup beragam. Misalnya,
menanggung, tanggung jawab, dan kewajiban. Dalam kamus Lisan al-'Arab, Ibnu
Manzur menandaskan bahwa semua makna daman terkonsentrasi pada jaminan, penanggungan
atau garansi. Makna yang tak jauh berbeda juga ditemukan dalam kamus al-Muhith[256]
yang mengartikan daman dengan ganti rugi.
Dalam term
fiqh, daman juga dimaknai beragam. Imam
Ghazali,[257] misalnya memaknai daman dengan "luzumu
rad al-syayy' awu badaluhu bil mitsli awu bil qimati (keharusan mengganti suatu
barang dengan barang yang sama atau sepadan dengan nilai jualnya). Al-Hamawy[258] pensyarah kitab al-Asybah wa alNaza'ir karya
Ibn Nujaim mengatakan bahwa daman adalah 'ibaratun 'an raddi misli awu qimatuhu
(mengganti barang yang rusak dengan barang yang sama atau yang sepadan dengan
nilai jualnya). Sedangkan as-Syaukani[259]
mengatakan bahwa daman adalah `ibaratun 'an garamati al-talif (mengganti barang
yang rusak).
Majallah
al-Ahkam al-Adliyah menyebutkan bahwa
ganti rugi disesuaikan dengan jenis barang yang rusak (daman huwa i'tha'u misli
al-syai' inkana minal misliyat, waqimatuhu inkana minal qimiyat). Apabila
jenisnya tergolong al- misliyat, maka ganti ruginya dengan barang yang sama
(al-misli). Jika barang yang rusak tergolong al-qimiyat, maka nilai ganti rugi
disesuaikan dengan nilai jualnya di pasar (qimah). Menurut al-Zarqa'10 daman adalah iltizam bi ta 'widhin maliyin'an
darari al-gair. Sedangkan menurut al-Zuhaili daman adalah hua al-iltizam
bita'widhi al-gair ‘amma lahiqahu min talafi al-mal awu awu ishabatin min
dhararin juz awu kulli hadisun hi al-nafsi al-insdniyah awu hi'udhwin minha.[260]
Baik definisi al-Gazali maupun al-Majallah sama-sama membatasi daman pada
tanggung jawab akibat perbuatan yang tergolong ta 'addi seperti merampas atau
merusak harta orang lain. Kedua definisi tersebut juga tidak menyentuh daman
al-aqdi (ganti rugi yang muncul akibat pelanggaran akad). Pengertian daman
seperti ini sudah barang tentu masih kurang karena tidak mengakomodasi seluruh
teori daman yang sudah dirumuskan oleh para fuqaha'.
Adapun definisi
al-Syaukani, al-Zarqa', dan al-Zuhaili sama-sama berangkat dari darar.
Darar-lah yang mewajibkan ganti rugi. Berdasarkan titik tolak ini maka daman
mencakup sesuatu yang wajib pada zimmah untuk menghilangkan darar yang muncul
akibat pelanggaran pada akad (mukhalafatu aqdin), melakukan dan atau tidak melakukan
perbuatan tertentu sehingga
mengakibatkan mafasid. Al-
Bazdawi mengisyaratkan dua macam daman, yaitu daman al-aqdi fasidan kana awu
jaizan yajibu bi al-tarodhi, wa daman al-rudwan ya'tamidu awusofal ain (ganti
rugi akibat pelanggaran terhadap perjanjian dalam akad fasid maupun jaiz (akad
sahih) diwajibkan berdasarkan kerelaan masing-masing pihak, dan ganti rugi
akibat pelanggaran tersebut mengacu pada sifat-sifat barang).
Hal yang sama
juga dilakukan oleh al-Sarakhsi. Ia membedakan antara daman judwan dengan daman
al-aqdi (ganti rugi akibat pelanggaran dengan ganti rugi berdasarkan akad).[261] Indikasi perbedaan tersebut juga ditunjukkan
oleh al-Suyuthi yang merinci sebab-sebab daman menjadi dua yaitu ta' addi dan
aqdi.[262] Cakupan daman, dengan demikian, meliputi
wilayah perdata dan pidana. Sehingga ganti rugi dapat terjadi atas barang yang
rusak atau manfaat barang yang hilang, atau luka fisik seseorang sehingga
mengakibatkan kerugian, baik total atau sebagian.
Dari catatan
tersebut dapat disimpulkan bahwa daman adalah tanggungan seseorang untuk
memenuhi hak yang berkaitan dengan kehartabendaan, fisik, maupun perasaan
seperti pencemaran nama baik. Hal ini berlaku baik darar yang muncul akibat
pelanggaran seluruh dan atau sebagian perjanjian dalam akad, melakukan
perbuatan (yang diharamkan) dan atau tidak melakukan perbuatan yang
(diwajibkan) oleh pembuat
undang-undang.
Perbuatan-perbuatan
hukum yang mewajibkan daman hampir tidak terbatas jumlahnya.[263]
Tetapi secara akumulatif perbuatan-perbuatan tersebut dapat disebut perbuatan
gair masyru 'ah, atau akhtha' atau ta 'ddiyat (delicts, torts, wrongs). Namun
untuk memudahkan sistem pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatan, maka para
ahli hukum pertama-tama melakukan pembagian terhadap perbuatan prespektif motif
dan tujuan pelaku menjadi: akhtha' amdiyah (intekntional torts) dan akhtha'
taqshiriyah atau al-ihmal (negligence).
Di dalam fiqh,
al-akhtha' gair al- `amdiyah dibagi menjadi dua macam yaitu al-khatha' dan ma
jara majrahu. Suatu perbuatan yang menjadi tujuan pelaku, namun tidak
menghendaki akibatnya disebut
al-khatha'. Sedangkan suatu perbuatan dan akibatnya sama-sama
tidak dikehendaki oleh pelaku disebut ma jara majra al-khatha'. Yang pasti
khatha' amdi sangat berbahaya sehingga di dalam hukum Barat - dengan mengacu
kepada istilah hukum Perancis - disebut alkhatha' lei yagtafiru (kesalahan yang
tidak dimaafkan).[264]
Tujuan dari
pada daman adalah untuk memberikan ganti rugi pada korban dan menghilangkan
kerugian yang diderita (raf'u al-darar wa izalatuha). Hal ini mencakup dua hal.
Pertama ganti rugi terhadap kerugian yang berhubungan dengan jiwa, kehormatan,
dan nama balk seseorang. Kedua, ganti rugi terhadap kerugian yang berkaitan
dengan harta benda.
Ganti rugi
terhadap kerugian yang berhubungan dengan jiwa disebut jawabir al-dharar al-badaniyah mencakup
kehilangan jiwa, kehilangan
anggota badan, atau fungsi
keduanya. Jawabir model ini oleh para
fuqaha' disebut dengan diyat (ganti
rugi pembunuhan), ursy al-muqaddarah wa
gairu al-muqaddarah (denda luka yang sudah ditetapkan di dalam nas). Ganti
rugi model ini sering disebut hukumatu 'adl karena ukuran kualitas dan
kuantitasnya diserahkan kepada otoritas peradilan yang adil.
Hitungan dan
perkiraan ganti rugi tersebut berasaskan pada beberapa hal.
Pertama; Ganti rugi
tidak dimaksudkan untuk
memperkaya pihak yang
dirugikan, menolongnya, atau memberikan taharru' terhadapnya. Namun,
dimaksudkan untuk mengembalikan keadaannya seperti sebelum terjadi
kerugian—dengan catatan jika hal itu memungkinkan.
Kedua; Ganti rugi
dibebankan kepada pihak
yang mengakibatkan darar
secara langsung. Adapun darar tidak langsung yang tidak dapat
dinisbatkan kepada perbuatan muta'addi tidak dapat dikenakan ganti rugi.
Ketiga: Hitungan dan perkiraan ganti rugi disesuaikan dengan
tingkat darar yang ada, tidak lebih dan juga tidak kurang. Menyimpang dari
prinsip ini dikategorikan "aklu amwalinnas bi al-bathil (makan harta orang
lain secara batil). Kecuali dalam kasus di mana tingkat ta'addi-nya sangat
tinggi, ganti rugi perlu dilipatgandakan agar pelaku menjadi jera.
Ganti rugi
terhadap kehilangan nyawa dan harta benda akibat pembakaran hutan dan lahan dapat dilakukan,
konsep gati rugi pun berlaku dalam kesengajaan maupun ketidak sengajaan.
[75]
https://id.wikipedia.org/wiki/Hutan
[76]Kusmana, C. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Proceeding. Simposium Penerapan
Ekolabel di Hutan Produksi. Jakarta 1995.
[77] Lihat Soemarsono. Kebakaran
Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab, Upaya dan Perspektif
Upaya di Masa Depan). Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap
Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta.
hal:1-14. Lihat juga Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta
Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya.
Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan
Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. Hal. 36-39.
[78] Schindler,
P.L, Obidzinski, Yasmi, A, Stakeholder
Conflict and Forest Decentralization Policies in West Kalimantan: Their Dynamics
and Implications for Future Management. Journal
of Forest,
Trees and Licelihoods,
1989 Vol.16 (2): 146-153.
[79] Schweithelm,
J. dan D. Glover. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana:
Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D.
Glover & T. Jessup. 1999.
[80] Goldammer, J.G. (ed.) . Fire in the tropical biota. Ecosystem
processes and global challenges. (Ecological Studies 84, Springer-Verlag,
Berlin-Heidelberg-New York, 1990), hal. 497
[81] Barber, C.V. & Schweithelm, J.
Trial by fire. Forest fires and forestry policy in Indonesia's era of crisis
andreform. World Resources Institute (WRI), Forest Frontiers Initiative. In
collaboration with WWF-Indonesia and Telapak Indonesia Foundation, Washington
D.C, USA, 2000).
[83] Ibid. hal. 67
[84] Ibid. hal. 68
[85] Popi Tobulele, Kebakaran Hutan di Indonesia dan Proses Penegakan Hukumnya Sebagai
Komitmen dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim , (Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu, Vol. 3, No. 2, Desember 2014), hal. 126
[86] Abduk Khakim, Pengantar Hukum
Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah, (Bandung: Chitra Aditya
Bakti, 2005), hal. 1.
[88] Popi Tobulele, Op. Cit, hal. 127
[89]
Ibid.
[90]
Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, 2013
[91] WALHI, Kebakaran Hutan Yang
Berulang, Di Akses pada http/www.walhi.or.id
[92] Ibid.
[93]
Kebakaran lahan dan kebun, baik yang merupakan milik masyarakat maupun milik
perusahaan perkebunan selalu terjadi pada setiap tahunnya sehingga menimbulkan
banyak kerugian dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan.” Sumber: Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Rokan Hulu
[94]
Armely Meivian dkk, Bumi makin Panas
Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, (Yayasan Pelangi), Jakarta, hal. 2
[95]
Ibid
[97]Disampaikan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Indonesia di Pertemuan Forum Komunikasi Data dan Informasi
Bencana di Jakarta tanggal 10 November 2015.
[99]
http://sp.beritasatu.com/home/indonesia-kehilangan-rp-221-triliun-akibat
kebakaran-hutan/104464
[100]
Basis Data Emisi Kebakaran Global: http://www.globalfredata.org/index.html
[101]
Ir. Nazir Foead, M.Sc, Kepala Badan Restorasi Gambut, dalam Laporan BRG Tahun
2016
[102]
Jurnal The World Bank Group
Edisi Februari 2016, Gedung Bursa Efek Indonesia Menara 2, lantai 12 Jl.
Jenderal Sudirman Kav. 52-53, Jakarta 12190, Indonesia, hal. 1
Laporan Pengetahuan Lanskap
Berkelanjutan Indonesia ini sebelumnya dimuat pada Laporan Triwulanan
Perkembangan Perekonomian Indonesia (IEQ), Bank Dunia, Jakarta. Desember 2015.
Laporan ini disusun oleh Ann
Jeannette Glauber, Sarah Moyer, Magda Adriani, dan Iwan Gunawan. Turut memberi
kontribusi adalah Elitza Mileva, Pandu Harimurti, Muhammad Farman Izhar, Anita
Kendrick, dan George Henry Stirrett Wood. Diseminasi dilakukan oleh Indra
Irnawan, Jerry Kurniawan, GB Surya Ningnagara dan Nugroho Sunjoyo, di bawah
bimbingan Dini Sari Djalal.
Pendanaan diberikan oleh Pemerintah
Norwegia dan Kedutaan Besar Denmark melalui REDD+ Support Facility (RSF) Bank
Dunia. Pendanaan dukungan juga diberikan oleh Departemen Luar Negeri dan
Perdagangan Australia di bawah naungan program SEMEFPA.
Temuan-temuan, interpretasi dan
kesimpulan-kesimpulan yang dinyatakan di dalam laporan ini tidak mencerminkan
pandangan Bank Dunia, para Direktur Pelaksana Bank
Dunia atau pemerintah yang mereka
wakili. Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data-data yang temuat dalam laporan
ini. Batas-batas, warna, denominasi dan informasi-informasi lain yang
digambarkan pada setiap peta di dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat
Bank Dunia mengenai status hukum dari wilayah apapun atau dukungan atau penerimaan
dari batas-batas tersebut.
[103] Versi tulisan ini disertakan dalam
Triwulanan Perekonomian Indonesia edisi bulan Desember 2015
[104] As reported by the World Bank:
http://www.worldbank.org/en/news/ feature /2012/12/26/ indonesia-reconstruction-chapter-ends-eight-years-
after-the-tsunami.
[105] Jurnal The World Bank Group Edisi
Februari 2016, Op. Cit. hal. 4
[106] Indonesia memiliki lebih dari 20
juta hektar lahan gambut yang tersebar dari Sumatera hingga Papua, sehingga
menjadikan negara ini pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia. Gambut
sering disebut sebagai ekosistem penting yang sering diasosiasikan sebagai
pelindung atmosfer bumi dari lepasan unsur gas rumah kaca.
Kata gambut sendiri dipercaya
berasal dari kosa kata bahasa suku Melayu Banjar yang tinggal di Kalimantan
Selatan. Gambut adalah tumpukan material organik yang terbentuk secara alami
dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi
pada lahan rawa. Ketebalan vertikal di lahan gambut dapat mencapai belasan
bahkan hingga puluhan meter. Jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan
gambut dan hutan rawa beradaptasi selama ribuan bahkan puluhan ribu tahun
sehingga membuat suatu hubungan saling ketergantungan antara massa biotik dan
abiotik yang saling mendukung secara simbiotik.
Dengan demikian, lahan gambut
memiliki perbedaan komposisi dibandingkan lahan lainnya. Lahan gambut menyimpan
karbon (stock carbon) dalam biomasa dan nekromasa tanaman (di atas permukaan
dan di dalam tanah). Di dalam tanah, karbon tersimpan pada lapisan gambut. Pada
lahan kering, karbon yang tersimpan di dalam biomasa tanaman bisa melebihi
karbon yang tersimpan di dalam tanah, tergantung jenis dan kerapatan tutupan
tanaman pada lahan tersebut. Lihat Fahmudin Agus, Kurniatun Hairiah dan Anny
Mulyani. Pengukuran Cadangan karbon Tanah gambut. 2011. World
Agroforestry Centre. Bogor. Hal.1.
[107] Rencana Induk rehabilitasi dan
Revitalisasi Kawasan Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Kerjasama antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Kalimantan Tengah dan
Pemerintah Belanda. 2008. Hal. 5.
[108]
http://www.mongabay.co.id/2016/08/26/bentang-lahan-gambut-kebakaran-dan-sejarah-tata-kelolanya-di-indonesia/
[109] Bappenas. Reducing Carbon
Emissions from Indonesia`s Peat Lands. Interim Report of A Multi-Disciplinary
Study. 2009. Hal. 18.
[110] Pendekatan ini dijelaskan dalam
Van der Werf et al. (2010), “Global fire emissions and the contribution of
deforestation, savanna, forest, agricultural, and peat fires (1997–2009)”
Journal of Atmospheric Chemistry and Physics, dan selanjutnya diperinci pada
situs web GFED.
[111]
Global fre emissions and the contribution of deforestation, savanna, forest,
agricultural, and peat fres (1997–2009)” Journal of Atmospheric Chemistry and
Physics, dan selanjutnya diperinci pada situs web GFED
[112]
Fachmi Rasyid, Permasalahan dan Dampak
Kebakaran Hutan, (Jurnal Lingkar Widyaiswara (www.juliwi.com) Edisi 1 No. 4, Oktober –
Desember 2014), hal.47
[113]
Ibid.
[114]
Ministri Of Depelopment Planning, Biodixersity
Action PlantFor Indonesia, (Jakarta, 1993)
[115]
Kementerian Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2007
[116]
Anonim. Potret Keadaan Hutan Indonesia.
Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch. (Washington
D.C. 2001) hal. 102, Lihat Juga Fachmi Rasid, Log. Cit. Jurnal Lingkar
[117] Sheil, D, et all. 2004. Mengeksplorasi
keanekaragaman hayati, lingkungan dan pandangan masyarakat lokal mengenai
berbagai lanskap hutan. Center for International Forestry Research.
Indonesia
[118]
https://sumberbelajar.belajar.kemdikbud.go.id/sumberbelajar/tampil/PERAN-
MANUSIA-DALAM-PENGELOLAAN-LINGKUNGAN-2012/konten10.html
[119]
Murdiyarso, D. dan Kurnianto, S. Peranan vegetasi dalam mengatur pasokan air.
Workshop peran hutan dan kehutanan dalam meningkatkan daya dukung DAS.(
Surakarta. 2007)
[120]
https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/risiko/bencana-alam/item243?
[121]
http://news.liputan6.com/read/175098/tanggul-situ-gintung-jebol-32-orang-tewas
[123] http://blog.act.id/3-kejadian-tragedi-tanah-longsor-mematikan-di-indonesia
[124]
http://mediaindonesia.com/news/read/68124/banjir-garut-akibat-hutan-gundul/2016-09-22
. Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Dadan Ramdhan, kemarin, mengungkapkan areal
hutan di hulu dan sekitar Sungai Cimanuk berkurang drastis. Praktik alih fungsi
lahan berlangsung masif sehingga berdampak pada areal resapan air.
“Memang hujan dengan intensitas
tinggi tengah melanda Jabar, termasuk wilayah Priangan timur seperti Garut,
Sumedang, Ciamis, dan Tasikmalaya. Namun, faktor cuaca termasuk hujan hanya
pemicu. Faktor utamanya, pelanggaran penggunaan lahan,” ujar Dadan.
Dia tambahkan, ekspansi bisnis juga
terus merambah wilayah konservasi. Lahan parkir air nyaris tak lagi ada. Olah
tanah pertanian pun tak memedulikan dampak buruk.
Begitu pula dengan penggundulan
hutan di sekitar anak Sungai Cimanuk seperti Sungai Cikarenjeng, Bungbulang,
dan Cisutan sehingga tak lagi optimal menyerap dan menampung air. Ia meminta
pemerintah segera mengembalikan lahan konservasi atau resapan air.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi
dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, kondisi
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk memang sudah tidak sehat. Koefisien regim
sungai (KRS) atau perbandingan debit air tertinggi dengan debit air terendah
dalam satu periode pada DAS Cimanuk mencapai 713. Padahal, kondisi DAS
dikatakan baik apabila memiliki KRS kurang dari 80.
‘’Kondisi itu menyebabkan mudahnya
air meluap saat terjadi hujan dan surut secara cepat. Saat musim kemarau, DAS
akan mengalami kekeringan,’’ jelas Sutopo.
Bupati Garut Rudi Gunawan mengakui
pula bahwa banjir bandang di Garut tak lepas dari kerusakan lingkungan. “Untuk
aliran sungai di hulu Cikajang, kondisi hutan bagus, tetapi ada hutan lainnya
gundul.’’
[125]http://www.mongabay.co.id/2012/12/28/kalesidoskop-bencana-lingkungan-2012-degradasi-hutan-melaju-banjir-menerjang-manusia/
[126]
Bahri, Samsul. “Kajian Penyebaran Kabut
Asap Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Wilayah Sumatera Bagian Utara Dan Kemungkinan
Mengatasinya Dengan TMC”.Volume3,No.2. 2002. http://wxmod. bppt.go.id/JSTMC/hpstmc/VOL03/pdf/vol3no2-03.pdf.4
September 2015.
[127]
Drh. Ardilasunu Wicaksono, Pencemaran
Udara Akibat Kendaraan Bermotor, Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor, (Bogor, 2010), hal. 2
[128]
Disaster planning for lung health: Fire Fact Sheet.( California Thoracic
Society American Lung Association; 2008). Hal.. 1-6
[129] Lihat fikri faisal, faisal Yunus,
fachrial Harahap, Dampak Asap Kebakaran
Hutan pada Pernapasan, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Persahabatan, (Jakarta
2012)
[131]
https://www.rappler.com/indonesia/110936-jumlah-kematian-akibat-kabut-asap
[132]http://regional.liputan6.com/read/2589511/ratusan-warga-riau-korban-kabut-asap-kembali-ke-rumah
[133]http://kabar24.bisnis.com/read/20151022/78/484905/kebakaran-hutan-korban-kabut-asap-di-riau-capai-70.000-jiwa
[134] Dawud Y. Smoke episodes and
assessment of health impacts related to haze from forest fires: Indonesian
experience. The Indonesian Association of Pulmonologist, Persahabatan
Hospital Jakarta; 1999.p 313-22
[135] National Interagency Fire Center.
The science of wildland fire. [cited
2011 Jan 9]. Available from www.nifc.gov/preved/comm_guide/wildfire/fire
4.html.
[136] A Guide for Public Health
Officials. Wildfire smoke revised (July 2008). Available from:
http://www.arb.ca.gov/smp/progdev/pubeduc/wfgv8.pdf. Lihat juga Malilay J. A
review of factors affecting the human health impacts of air pollutants from
forest fires. Health guideline for vegetation fire. (WHO october 1998).
hal. 70.
[137] Zua
Uj-Haque, Landlord and Peasant in Early Islam: A Study of the Legal Doctrine
of Muzaraa or Sharecropping, (Islamabad: Islamic Research Institute Press,
1984), hal. 248.
[139]
Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem
Ekonomi Alternatif, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), hal. 135.
[142]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Gaya
Media Pratama: Jakarta, 2007), hal.45.
[144]
Al-Imam Alamah Ibn Ali Ibn Muhammad Syaukani, Nail al-Autar, (Beirut : Dar al-Qutub al-Arabia, tt), hal. 3.
[146]
Abu Zakariya Yahya bin Syarif al-Nawawi,
Minhaj al-Talibin, Juz 3, (Beirut :
Dar al-Fikr, tt), hal. 88. Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz I, (Semarang: Toha
Putra, tt), hlm. 315.
[147] Imam Taqi al-Din abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah
al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisar, (Damaskus: Darl al-Khair, 1994), hal.
361.
[148] Al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min
Adillatil Ahkam, (Indonesia: Al-Hidman, 733-852 H.), hal. 195.
[149] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 227. Lihat
juga dalam Sunan Tarmidzi hadits 1299 dan 1300 dalam Hadits Soft:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ هِشَامِ
بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْيَى أَرْضًا
مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَقَدْ رَوَاهُ بَعْضُهُمْ عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مُرْسَلًا وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ
الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَغَيْرِهِمْ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ قَالُوا لَهُ أَنْ يُحْيِيَ
الْأَرْضَ الْمَوَاتَ بِغَيْرِ إِذْنِ السُّلْطَانِ وَقَدْ قَالَ بَعْضُهُمْ
لَيْسَ لَهُ أَنْ يُحْيِيَهَا إِلَّا بِإِذْنِ السُّلْطَانِ وَالْقَوْلُ
الْأَوَّلُ أَصَحُّ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَعَمْرِو بْنِ عَوْفٍ
الْمُزَنِيِّ جَدِّ كَثِيرٍ وَسَمُرَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيَّ عَنْ قَوْلِهِ
وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ فَقَالَ الْعِرْقُ الظَّالِمُ الْغَاصِبُ الَّذِي
يَأْخُذُ مَا لَيْسَ لَهُ قُلْتُ هُوَ الرَّجُلُ الَّذِي يَغْرِسُ فِي أَرْضِ
غَيْرِهِ قَالَ هُوَ ذَاكَ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah mengabarkan kepada kami
Abdul Wahhab Ats Tsaqafi telah mengabarkan kepada kami Ayyub dari Hisyam bin
Urwah dari ayahnya dari Sa'id bin Zaid dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda: "Barangsiapa menghidupkan tanah mati (membuka lahan baru)
maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi orang yang memiliki
tanah secara zhalim." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib dan
sebagian mereka telah meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam secara mursal. Hadits ini menjadi pedoman amal
menurut sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan selain mereka, ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat: Ia
boleh menghidupkan tanah mati tanpa seizin penguasa sedangkan sebagian ulama
berpendapat: Ia tidak boleh menghidupkannya kecuali mendapat izin dari
penguasa. Pendapat pertama lebih shahih. Ia mengatakan: Dalam hal ini ada
hadits serupa dari Jabir, Amr bin 'Auf Al Muzani kakek Katsir dan Samurah.
Telah menceritakan kepada kami Abu Musa Muhammad bin Al Mutsanna ia berkata:
Aku bertanya kepada Abu Al Walid Ath Thayalisi tentang sabda beliau:
"Tidak ada hak bagi orang yang memiliki tanah secara zhalim." Ia pun
menjawab: Orang zhalim yang memiliki adalah orang yang merampas, ia mengambil
sesuatu yang bukan miliknya. Aku bertanya: Apakah ia orang yang menanam di
tanah orang lain? Ia menjawab: Dialah orangnya.
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ
Abu
Isa berkata: Hadits ini hasan shahih.
[154] Muaz bn Jabal, Al-Wahbah al-Zuhaili, Al-Figh Al-Islami Wa
Adillahtuh, Vol V, (Damascus: Darnl FikT, 1989), hal. 561.
[156] Ibn Qudamah, Al-Kaffi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal,
(Beirut: Al-Maktabul Islami, 1988), hal. 435.
[159] Syekh Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib
al-Mujib, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab al-Arabiah, tt), hal. 38.
[160] Shalih ibn Fauzan ibn Abdullah, Al-Mulakhashu al-Fiqhiy,
(Arab Saudi: Darl ibn al-Jauzi, 2005), hal. 152.
[161]
Darul Islam adalah suatu negeri yang: 1) menerapkan hukum Islam, 2) keamanannya
untuk menerapkan hukum Islam serta untuk mempertahankan negeri tersebut dari
serangan musuh yang berada di tangan kaum Muslimin, meskipun secara kuantitas
kaum Muslimin sebagai pihak minoritas (Lihat, As-Syakhshiyah Al-Islamiyah,
An-Nabhani, Jilid II, hal. 215).
[162]
Darul Kufur adalah negeri yang tidak memenuhi salah satu atau kedua kriteria
darul Islam, meskipun secara kuantitas jumlah kaum Muslimin mayoritas (Lihat,
Ibid, hal. 216).
[163]
Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam (Bandung: Nuansa, 2005), hal.
118.
[165]
Ibid.
[167]
Ibnu Qadamah, Log. Cit
[172]
Sahih Muslim
4358.
صحيح
مسلم ٤٣٥٨: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ
كِلَاهُمَا عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَسْوَدُ
بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ
فَقَالَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ
فَقَالَ مَا لِنَخْلِكُمْ قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ أَنْتُمْ أَعْلَمُ
بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Shahih Muslim 4358: Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan 'Amru An Naqid seluruhnya
dari Al Aswad bin 'Amir: Abu Bakr berkata: Telah menceritakan kepada kami Aswad
bin 'Amir: Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin
'Urwah dari Bapaknya dari 'Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati suatu kaum yang sedang
mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: "Sekiranya mereka tidak
melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik." Tapi setelah itu, ternyata
kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: 'Ada
apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab: Bukankah anda telah mengatakan
hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: 'Kalian lebih mengetahui urusan
dunia kalian.'
[174]
Y. Wartaya Winangun, SJ, Tanah Sumber Nilai Hidup, Cetakan 1, Kanisisus,
Yogyakarta, 2004, hal 21.
[175]
I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia, Rineka Cipta, (Jakarta,
1994), hal. v
[176]
Mustain, Petani VS Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara,
Ar-Ruzz Media , (Yogjakarta, 2007), hal.14.
[177]
Juo, ASR & Manu, A. Agriculture, Ecosystems, and Environment :
Chemical Dinamic in Slash and Burn Agriculture. 1996), hal 49-60. Lihat juga Soemarwoto,
Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Penerbit Djambatan, Yogyakarta 2004
[179] Musnahnya harimau Jawa tidak
hanya merugikan orang Jawa, tapi juga orang-orang di seluruh dunia. Musnahnya
harimau Jawa sama dengan
terputusnya rantai ekosistem kehidupan di muka bumi.
[181] Hikmat Trimenda, “Islam dan
Penyelamatan Lingkungan”, http://www.pikiran-rakyat.com/
cetak/2007/022007/16/0902.htm, diakses tanggal 20 September 2013
[183] Muchsin al-Fikri, “Fikih Lingkungan dan
Kearifan Lokal”,
http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/04/
renungan_jumat.htm, diakses tanggal 20 September 2017
[184] Muhammad Mawhiburrahman, Menggagas Fikih Lingkungan, http://muhammad
mawhiburrahman.blogspot.com 2013/05/ menggagas- fikih-lingkungan.html,diakses tanggal 20 September 2017
[186] M.Daud Silalahi, Hukum
Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Alumni,
Bandung, 2001), hal. 10.
[187] Kemunculan
wacana fikih lingkungan bisa ditelusuri belum lama ini.Sebuah survei
historis-arkeologis yang lebih komprehensif tentu tetap harus dilakukan untuk
menandai secara pasti sejak kapan istilah ini menjadi kosa kata baru dalam
wacana keislaman (dan hukum Islam) kita secara umum. Namun, menurut pengamatan
terbatas penulis, wacana fiqh lingkungan mengemuka kurang lebih saat Yusûf al-Qardlâwî,
guru besar fikih dari Syiria yang pandangan-pandangannya populer di negara
kita, menulis karyanya yang berjudul Ri'âyah al-Bîah fî Syarî'ah al-Islâm pada
tahun 2001 yang lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa tahun-tahun sebelumnya
wacana ini telah populer dalam diskursus ilmiah di Arab sana. Tetapi bila kita
lihat "fluktuasi" perkembangan wacananya di Indonesia, secara
hipotetis bisa dikatakan bahwa wacana ini merupakan "rintisan"
al-Qardlâwî. Seolah menindak lanjuti gagasan al-Qardlâwî, pada tahun 2006
KH.Ali Yafie kemudian menerbitkan buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup.
Menyetujui gagasan al-Qardlâwî, Ali Yafie yang juga seorang faqîh di Indonesia,
mewacanakan perlunya suatu landasan baru untuk memperluas kajian fiqh hingga
merambah persoalan-persoalan lingkungan. Gagasan Ali Yafie ini seolah
mengiringi serangkaian buku dan tulisan yang terbit dua atau tiga tahun
sebelumnya tentang "bidang baru" ini, seperti antara lain buku hasil
karya Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam (2005).
[188] Lihat Abd al-Wahhâb Khallâf, Ushûl al-fiqh
(Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978), hal 15.
[189]
Ilyas Supena, Jurnal ADDIN, Stud
fikih Lingkungan (Sebuah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis). 2009
[190] Hikmat Trimenda, “Islam dan
Penyelamatan Lingkungan”,
http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2007/022007/16/0902.htm
[191] Maqâshid asy-syarî‘ah secara substansial mengandung kemashlahatan
yang menurut al-Syatibi yang dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama,
Maqâshid asy-Syarî‘ (tujuan Tuhan) dan kedua Maqâshid al-mukallaf (tujuan
mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqâshid asy-syarî‘ah mengandung
empat aspek, yaitu (1) tujuan awal dari al-Syari‘ dalam menetapkan syari‘ah,
yaitu kemashlahatan dunia dan akhirat, (2) penetapan syari‘ah sebagai sesuatu
yang harus dipahami, (3) penetapan syari‘ah sebagai hukum mukallaf yang harus
dilaksanakan, (4) penetapan syari‘ah
guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum. Sedangkan maqâshid
asy-syarî‘ah ditinjau dari sudut tujuan mukallaf aialah agar setiap mukallaf
memenuhi keempat tujuan syari‘ah yang digariskan al-Syari, sehingga tercapai
kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.Lihat Nasrun Rusli, Konsep
Ijtihad al-Syaukani, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 43
[192] Imam Syathibi, al-Muwafaqat…,
Juz II, hal. 7.
[193] Muhammad Abu Zahrah, Ushûl
al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hal. 220
[194] Ibid
[195]
Yusuf al-qordhawi, Islam Agama Ramah lingkungan terj. Hakam shah
(jakarta; pustaka al kaustar)
[196] Mustafa Abu-Sway, “Towards an
Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqih al-Bi`ah fil-Islam)”, dalam
http://www. homepages.iol.ie/~afifi/Articles/environment.htm. Menurut Abu-Sway,
guru besar filsafat Islam di al-Quds University, istilah fiqih lingkungan lebih
mudah diterima dalam kesadaran umat Islam dibandingkan filsafat lingkungan
(philosophy of environment) yang sekarang masih diasosiasikan sebagai pemikiran
abstrak metafisis. Filsafat lingkungan yang dimaksud Abu-Sway adalah bagian
dari filsafat alam, seperti persoalan asal-usul kejadian alam
[197]
Muhammad ‘Ãbid al-Jâbiri,
Bunyan al-‘Aql al-‘Arâbi: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm
al-Ma’rifah fi al-Tsaqafat al-‘Arabiyyah, (Bayrût: al-Markaz al-Tsaqafi
al-‘Arabi, 1993)
[198] Sayyed Hossein, Man and Nature,
The Spiritual Crisis in Modern Man, hal. 14
[199] Nasaruddin Umar, Islam
Fungsional, (Jakarta: RahmatSemesta Center, 2010), hal. 275.
[200] Nurcholish Madjid, Islam:
Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), cet. XI, hal. 276.
[201] Fazlur Rahman, Major Themes of
The Quran, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), hal. 2-3.
[202] Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj. (Yogyakarta: LKIS, 1997), hal. 39
[203] Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushûl
Fiqh, (Mishr: Dârul Qolam, t.t), hal. 21.
[206] Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, hal. 51.
[207] Istilah Maqâsid al-syarîah yang
berarti tujuan penetapan hukum ini dipopulerkan
oleh seorang ahli ushul
fikih dari Madzab Maliki, Abû
Ishâq al-Syâthibî, terutama
semenjak beredarnya kitab “al-Muwâfaqât fî
ushûl al-Syarî’ah”, akan tetapi
dari sudut gagasan, sebenarnya poin-poin maqâshid al- syarîah ini sudah pernah
dikemukakan oleh ulama ushul fikih sebelumnya seperti kata al-maqâshid sendiri
menurut Ahmad Raisûni, pertama kali digunakan oleh at-Turmudzî al-Hâkim, ulama
yang hidup pada abad ke-3. Dialah yang pertama kali menyuarakan Maqâshid al-syarîah melalui buku-bukunya, al- Shalâh
wa Maqâshiduhu, al-Haj wa Asrâruhu, al-‘Illah,
‘Ilal al-Syarî’ah, ‘Ilal al-‘Ubûdiyyah dan
juga bukunya al-Furûq yang kemudian diadopsi oleh
al-Qarafî menjadi judul buku karangannya. Setelah al-Hâkim kemudian muncul Abû
Manshûr al-Mâturidî (w. 333) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abû
Bakar al-Qaffâl al-Syâsyî (w.365) dengan bukunya Ushûl al-Fiqh dan Mahâsin al-Syarî’ah. Setelah
al-Qaffâl muncul Abû Bakar
al-Abhârî (w.375) dan al-Baqîlânî (w. 403) masing- masing dengan karyanya,
diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al- Dalâil wa al-‘Illah dan al-Taqrîb wa
al-Irsyâd fi Tartîb Thurûq al-Ijtihâd. Sepeninggal al-Baqîlânî muncullah
al-Juwainî dalam kitab al-Burhân, al-Ghazâlî dalam kitab al-Mushtashfâ, al-Râzî
dalam kitab al-mahsûl, al-‘Amidi> dalam kitab al-Ihkâm, Ibn Hâjib, al-Baidlâwî,
al-Asnawî, Ibn Subukî,
Ibn ‘Abdissalâm, al-Qarâfî,
al-Thûfî, Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim. Urutan di atas adalah versi Ahmad
Raisûnî, sedangkan menurut Yûsuf Ahmad Muhammad al-Badawî, sejarah maqâshid
al-syarî’ah ini dibagi dalam dua fase yaitu fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase
setelah Ibn Taimiyyah. Adapun menurut Hammâdî al-Ubaidî orang yang pertama kali
membahas maqâshid al-syarî’ah adalah Ibrâhiîm al-Nakhâ’î (w. 96 H), seorang
tâbi’în sekaligus gurunya Hammâd ibn Sulaimân gurunya Abû Hanîfah. Setelah itu
muncul al-Ghazâlî, ‘Izzuddîn ‘Abdussalâm, Najmuddîn al-Thûfî dan terakhir
al-Syâthibî. Meskipun dengan versi yang beraneka ragam, namun dapat diambil
kesimpulan bahwa sebelum al- Syâthibî, maqâshid
al-syarî’ah sudah ada dan sudah dikenal, hanya saja susunannya belum
sistematis. Lihat, Imâm Syâthibî: Bapak Maqâshid al-Syarî’ah Pertama, http://islamlib.com.
[208] Abdul Wahab Khallaf, Opcit.
hal. 199
[209] Abû Ishâq al-Syâthibî, Muwâfaqât
fî ushûl al-Syarî’ah,(Bayrût: Dâr al-Ma‘rifah, t.t.), Juz II, h.195.
[210] Konsep maqâshid al-syarî’ah dalam
pemikiran al-Syatibi ini
bertujuan mengekspresikan penekanan
terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan apresiasi hokum manusia.
Lihat Wael B. Hallaq, “The Primacy of
The Quran inSyatibi Legal Theory”, (Leiden: Ej-Brill, 1991), hal. 89
[211] Abû Ishâq al-Syâthibî, Muwâfaqât
fî ushûl al-Syarî’ah, hal. 6-7.
[212] Muhammad Thâhir bin ’Asyûr, Maqâshid
al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Bayrût: Muassasah Fuâd, 2004), Juz II, hal. 297
[213] Muhammad bin Abû Bakar bin
al-Qayyim al-Jauziyah Abû Abdullah, I’lâm
al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Ãlamîn, (Bayrût: Dâr al-Jail, t.t.),
Juz III, hal. 3.
[214] Wardani, “Menformulasikan Fiqh
Al-Bi`ah: Prinsip- Prinsip Dasar Membangun Fiqih Ramah Lingkungan”, dalam
Jurnal Al-Mustawa Vo.1 No. 1/ Februrai, 2009, DPPAI UII
[215] Muhammad Harfin Zuhdi, Fiqh
Al-Bî’ah: Tawaran Hukum Islam Dalam Mengatasi Krisis Ekologi, Jurnal
Al-‘Adalah Vol. XII, No. 4, Desember 2015
[216] A. Qadir Gassing, “Fiqih
Lingkungan: Telaah Kritis tentang
Penerapan Hukum Taklifi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Makassar: IAIN/UIN Alauddin, 8 Februari 2005), hal. 4-7.
[217] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. XXVIII;
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), hal. 131.
[219] Asharuddin Sahil, Indeks Al-Quran, Panduan Mencari Ayat Al-Quran
Berdasarkan Kata Dasarnya (Cet. I; Bandung: Mizan, 1994), hal. 174
[221] Ibn Zakariyah, Maqayis al-Lughah. Lihat pula Mahmud Yunus, Kamus
Arab IndonesiaJakarta: Hidakarya Agung, 1992), hal. 277.
[223] Departemen Agama RI., Al-Qur’an
dan Terjemahnya, hal. 373.
[224] Lihat Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 11.
[225] Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar,
jilid I (Cet. II; Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), hal. 121.
[226] Lihat Ahmad Mustafa al- Maraghi, Tafsîr
al-Maraghi., juz IMesir: Mushtafa al-Baby al-Halabiy wa Awladuh, 1973),
hal. 101.
[227] Demikian penjelasan al-Syaukaniy
yang dikutip oleh Khalil Mushawiy, Kaifa
Tabniy al-Syahshiyah.
[228] Departemen Agama RI., Al-Qur’an
dan Terjemahnya, hal. 137.
[229] Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid V,
hal. 222.
[231] M.Quraish shihab, Opcit,
hal. 76
[232] Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah:
Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-Qur'an (Cet. II; Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1992),
hAL. 110.
[233] Ibid. hal. 120
[234] Lihat Imam al-Ghazali, Al-Hikmah
Fiy Makhlûqatillah diterjemahkan oleh Abdullah Alkaf dengan udul Hikmah
Penciptaan Makhluk (Cet.I; Bandung: Pustaka, 1986), hal. 14.
الجرائم
محظورات شرعية زجر الله تعالى عنها بحد او تعزير
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
syara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.”Kata jarimah diistilahkan
dalam hukum positif sebagai tindak pidana (delik) atau pelanggaran.Dalam
pemakaian kata jinayah mempunyai arti lebih luas, yaitu ditujukan bagi segala sesuatu
yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan pada
satuan perbuatan dosa tertentu (jarimah)..
Pengertian jarimah tersebut hampir
bersesuaian dengan pengertian menurut hukum positif (hukum pidana Indonesia).
Jarimah dalam istilah hukum pidana Indonesia diartikan dengan peristiwa pidana.
Menurut Mr. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, peristiwa pidana ialah
rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan perundangan lainya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman.
Pengertian jarimah menurut syara’
pada lahiriyahnya ternyata sedikit berbeda dengan pengertian jarimah atau
tindak pidana menurut hukum positif dalam kaitannya dengan masalah ta’zir.
Menurut hukum islam hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak tercantum nash ata
ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan ketentuan yang pasti dan
terperinci. Sedangkan menurut hukum positif dalam perngertian di atas, hukuman
itu harus tercantum dalam undang-undang. Lihat Ahmad Wardi Muslich, Pengantar
Dan Asas Hukum Pidana Islam;Fiqh Jinayah, cet.II, Jakarta :Sinar Grafika,
2006, hal. 10 lihat juga Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam;Fiqih Jinayah,cet.2,
Bandung : Pustaka Setia, 2000, hal.13
[236]Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’
al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/ 1989 M), hal. 66.
[237]Ahmad Wardi Muslich, Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam; Fiqih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hal. 136.
[238]Romli Atmasasmita, Bunga Rampai
Kriminologi, (Jakarta: Rajawali, 1984), hal. 31.
[239]
Abdul Qodir Audah, At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, juz 1,( Dar
Al Kitab Al ‘Araby, Bierut, tanpa
tahun), hal. 67
[240] Sayid Sabiq, Fiqh As-sunnah,
juz II, (Dar Al Fikr, Beirut, cetakan II. 1982), hal. 110
[241] Prof. Abdur Rahman I.Doi,. Ph.D., Tindak
Pidana dalam Syariat Islam (Jakarta: PT. Putra Melton, 1992). Hal. 14.
[242] Marsum, Jarimah Ta’zir : Perbuatan
Dosa dalam Hukum Pidana Islam (Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, 1988). Hal.
1.
[243] Ahmad Wardi Muslih, Hukum
Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Hal. 249.
[244] Drs. Makhrus Munajat, M.Hum., Hukum
Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009). Hal. 177-181.
[245] Jaih Mubarok, Kaidah-Kaidah
Fiqh Jinayah (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). Hal. 47.
[246] Makhrus munajat, Reaktualisasi Pemikiran
Hukum Pidana Islam (Yogyakarta: Cakrawala, 2006). Hal. 14.
[247]
H.A. Djazuli, Op. Cit, hal.158-159
[248] Ahmad Wardi Muslich, Hukum
Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 260
[249] H.A. Djazuli, Op. cit hal.196-197
[250]
Ahmad Wardi Muslich, Op. cit, hal.260-261
[251] Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit,
hal.262-263
[252] Rahmat Hakim, Hukum Pidana
Islam, hal. 121
[253] Depag RI. Al-Qur’an Dan Tarjamah. hal. 43
[254] Abdullah Al Fauzan, Jam’ul
Mahshul fii Syarh Risaalati Ibni Sa’di fil Ushul, (muqarrar Ma’had Al ‘Ilmi
Yogyakarta tahun ajaran 1431-1433) Sumber: https://muslim.or.id/22179-kaidah-fikih-ganti-rugi-wajib-baik-sengaja-atau-tidak.html
[255] Dalam fiqh kontemporer istilah
ganti rugi (daman) sering digandengkan dengan istilah almasuliyah. Daman
sendiri mengandung makna ganti rugi, sedangkan al-masuliyah mengandung makna
tanggung jawab. Dasar hukum syar'i tentang daman maupun al- masuliyah, antara
lain ya aiyuhallaz Ena cimana la tasalit 'an asyyd in tubda lakum tasu'kum
(al-Maidah: 101); fas 'al bihi khabira (al-Furqon: 59); inna as-sam'a wa al-
bashara wa al-fu 'dda kullu ulaika kcina anhu masfila (al-Isra': 36).
[256] Majduddin al-Fairuzabadi, al-Qamus
al-Muhit, Kairo: Dar al-Hadis, tt, Bab daman
[257] Definisi daman yang beragam
mengarah pada makna menjamin (menanggung) untuk membayar utang, mengadakan
barang, atau menghadirkan orang pada tempat yang telah ditentukan. Karena itu,
biasanya daman mengandung tiga masalah pokok, yaitu (1) jaminan atas utang seseorang; (2) jaminan dalam pengadaan
barang; dan (3) jaminan dalam menghadirkan
seseorang di tempat tertentu, seperti pengadilan.
[258] Ahmad Ibn Muhammad al-Hamawy, Gamzu
‘Uyuni al-Basha 'ir wa Syarah al-Asybah wa al Naiza 'ir, (Bairut: Dar
al-Kutub al-'ilmiah, Cet. 1405 H/1985 M), hal. 2/211.
[259] As-Syaukani, Nail al-Authar Syarh
Muntaqa al-Akhbar, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1380 H), hal. 5/299.
[260] Wahbah al-Zuhaily, al-Mas
'uliyah 'an Fi al-Gair,( Damaskus: Dar al-Muktabi, Cet. 1,1416 H/1995 M),
hal. 12.
[261] Al-Saralchsi, al-Mabsut,
(Mesir: al-Sa'adah, 1324 H), hal 11/69.
[262]
Jalaluddin Al-Suyuthi, al-Asybah wa
al-Naza 'ir, (Beirut:
Muassasah al-Kutub al- Saqofiyah, Cet. 1, 1415 H/1994 M), hal. 362.
[263] Seseorang tidak dapat dibebankan
ganti rugi kecuali memenuhi dua rukun, yaitu: al- i'tida' dan al-darar.
Al-i'tida' adalah melampaui batas yang menurut para fuqaha' mengandung unsur
kezaliman, rasa permusuhan, dan
melampaui hak. Kriterianya adalah menyimpang dari perilaku normal.
Adapun sebab-sebab daman ada tiga, yaitu aqad, yad, dan itlaf. Daman pada aqad
dapat terjadi ketika ada pihak yang melakukan interpretasi terhadap ketentuan
eksplisit dari redaksi perjanjian atau makna implisitnya sesuai dengan keadaan
dan situasi (al- `urf atau al- `aclah) yang berlaku. Sedangkan wadh'u al-yad
dapat menjadi sumber ganti rugi baik itu alyad mu 'tamanah maupun bukan mu
'tamanah. Yad al-mu 'tamanah seperti yad al-wadi' dan al-mudharib, al- amil
al-musaqi, al-ajir al-khas, al-washi `ala mal al-yatim, hakim dan al-qadhi` al
asunduq dan lain-lain. Mereka ini jika melakukan ta 'addi (personal abuse case)
atau taqshir dibebani / dikenakan ganti rugi. Namun jika tidak ada unsur ta
'addi atau taqshir tidak dapat dibebankan ganti rugi karena mereka tergolong
al-aydi al-amcinah (tangan-tangan amanah). Adapun al-yad gairu al-mu 'tamanah
yang melakukan sesuatu terhadap harta orang lain tanpa izin dari pemilik
seperti pencuri dan perampas, atau dengan seizin pemilik seperti alyad al-ba
terhadap barang yang dijual sebelum serah terima, atau al-musytari setelah
serah terima barang, dan penyewa hewan tunggangan atau semisalnya jika melakukan
ta 'addi terhadap
syarat-syarat yang sudah ditentukan atau ketentuan yang sudah biasa
berlaku. Mereka ini wajib memberikan ganti rugi terhadap kerusakan barang pada
saat berada di tangannya, apapun penyebab kerusakan sekalipun terpaksa seperti
bencana alam dan lainnya. Adapun aliticif menjadi sebab ganti rugi baik
langsung maupun hanya sebagai penyebab. Itlaf
biasanya diartikan mendisfungsikan barang. dibagi dua yaitu al-itlaf
al-mubasyir (perusakan langsung), dan al-itlaf bi al-tasabbub (perusakan tidak
langsung). (Pembahasan tuntas dapat dilihat dalam al-Kasani, al-Badai' dan
dalam Majallatu al-Ahkam al- Adliyah pasal 887-888.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar