SHALAT GHAIB BAGI JENAZAH TERKENA CORONA (COVID
19) OLEH KELUARGA DAN KERABAT
Sudah dimaklumi bahwa pada asalnya shalat
jenazah dilakukan pada mayit yang ada dihadapan imam dan jamaah yang shalat
serta jenazah diletakkan di tanah ke arah kiblat. Namun terkadang mayitnya jauh
dan tidak ada dihadapan orang yang shalat. Dari sinilah muncul istilah shalat
ghâib yaitu menyhalatkan jenazah atau mayit yang tidak ada dihadapan orang yang
menyhalatkannya dengan tata cara yang sama dengan tata cara shalat jenazah.
Ada beberapa riwayat dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukannya terhadap beberapa Sahabat yang wafat jauh dari kota Madinah dan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menyaksikan kematian dan
penguburannya. Para Sahabat tersebut Radhiyallahu anhum berjumlah empat orang
seperti disampaikan banyak riwayat, yaitu: an-Najâsyi Raja Habasyah, Mu’awiyah
bin Mu’âwiyah al-Laitsi atau al-Muzani, Zaid bin Hâritsah dan Ja’far bin Abi
Thalib Radhiyallahu anhum.
Riwayat-riwayat ini ada yang shahih dan ada
yang lemah. Riwayat yang shahih hanya pada kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan shalat ghâib pada an-Najâsyi, selain itu, riwayatnya lemah
sekali. Sehingga Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyatakan pada biografi
an-Najâsyi, “Dia wafat di masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghâib atasnya bersama
para Sahabat Radhiyallahu anhum dan tidak benar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan shalat ghâib pada selainnya. [Siyar A’lam Nubala` 1/428-429]
PENSYARIATAN SHALAT GHAIB
Para Ulama fikih berbeda pendapat tentang
pensyariatan shalat ghâib dalam beberapa pendapat:
1. Shalat ghâib disyariatkan dan boleh
dilakukan pada Muslim yang wafat di negara lain. Ini adalah pendapat
asy-Syâfi’iyah dan riwayat yang masyhur dari Ahmad rahimahullah dan menjadi
pendapat mu’tamad dalam madzhab Hanâbilah. (lihat al-Umm 1/308, Kasyâf al-Qinâ’
2/121, al-Majmû’ 5/252 dan Kifayatul Akhyâr 1/163). Juga pendapat Ibnu Hazm
azh-Zhâhiri rahimahullah dan mayoritas Salaf [lihat al-Muhalla 3/399 dan Nailul
Authâr 4/560].
Dalil pendapat ini: Perbuatan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam terhadap an-Najâsyi, seperti dalam hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى لِلنَّاسِ )وهو بالمدينة( النَّجَاشِيَّ )أَصْحَمَهْ(
)صَاحِبَ الْحَبَشَةِ( فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ ) قَالَ: إِنَّ أَخًا قَدْ
مَاتَ (وفي رواية: مَاتَ الْيَوْمَ عَبْدٌ للهِ صَالِحٌ) )بِغَيْرِ أَرْضِكُمْ( )فَقُوْمُوْا
فَصَلُّوْا عَلَيْهِ( ، )قَالُوْا: مَنْ هُوَ؟ قَالَ النَّجَاشِيُّ( )وَقَالَ: اسْتَغْفِرُوْا
لأَخِيْكُمْ( ، قَالَ: فَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى (وفي رواية: البَقِيْعِ)
)ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَفُّوْا خَلْفَهُ( )صَفَّيْنِ( ، )قَالَ: فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ
كَمَا يُصَفُّ عَلَى الْمَيِّتِ وَصَلَّيْنَا عَلَيْهِ كَمَا يُصَلَّى عَلَى الْمَيِّتِ(
)وَمَا تُحْسَبُ الْجَنَازَةُ إِلاَّ مَوْضُوْعَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ( )قَالَ: فَأَمَّنَا
وَصَلَّى عَلَيْهِ( ، وَكَبَّرَ(عَلَيْهِ) أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang
ketika itu sedang berada di Madinah) pernah mengumumkan berita kematian
an-Najâsyi (Ash-hamah) (raja Habasyah) kepada orang-orang pada hari
kematiannya. (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
saudara kalian telah meninggal dunia –dan dalam sebuah riwayat disebutkan :
Pada hari ini, hamba Allah yang shalih telah meninggal dunia) (di luar daerah
kalian) (karenanya, hendaklah kalian menshalatinya)”, (Mereka berkata :
“Siapakah dia itu?” Beliau menjawab : “an-Najâsyi”) (Beliau juga bersabda :
“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian ini”). Perawi hadits ini pun
bercerita : Maka Beliau berangkat ke tempat shalat (dan dalam sebuah riwayat
disebutkan : Ke kuburan Baqi). (Setelah itu, Beliau maju dan mereka pun
berbaris di belakang Beliau (dua barisan) (dia bercerita : “Maka kami pun
membentuk shaff di belakang Beliau sebagaimana shaff untuk shalat jenazah dan
kami pun menshalatkannya sebagaimana shalat yang dikerjakan atas seorang
jenazah). (Dan tidaklah jenazah itu melainkan diletakkan di hadapan Beliau)”
(Dia bercerita : “Maka kami bermakmum dan Beliau menshalatkannya). Seraya
bertakbir atasnya sebanyak empat kali”.
Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (III/90,145,155
dan 157), Muslim (III/54), dan lafazh di atas miliknya. Juga Abu Dawud
(II/68-69), an Nasâ`i (I/265 dan 280), Ibnu Mâjah (I/467), al-Baihâqi (IV/49),
ath-Thayâlisi (2300), Ahmad (II/241, 280, 289, 348, 438, 439, 479,539) melalui
beberapa jalan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . [Diambil dari Ahkâm
al-Janâ`iz, hlm. 89]
Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menyhalat jenazah di atas kuburan mayit apabila belum sempat
menyhalatkannya sebelum itu. Padahal jelas mayit yang dalam kuburan adalah
ghâib. Kalau demikian maka diperbolehkan juga shalat ghâib sesuai dengan hukum
asalnya. [lihat al-Majmû’ 5/247-249]
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: Diantara
Sunnah Beliau adalah apabila ketinggalan Shalat atas jenazah, maka Beliau
Shalat diatas kubur, pernah setelah semalam, pernah setelah tiga hari dan
pernah setelah sebulan (dari kematiannya) dan tidak menentukan batasan waktu
dalam hal ini. [Zâd al-Ma’âd 1/512].
2. Shalat ghâib tidak disyariatkan. Inilah
pendapat madzhab Hanafiyah dan Mâlikiyah (Hâsyiyah Ibnu Abidin 2/309, Syarhul
Khirasyi 3/142 dan adz-Dzakhîrah 2/467) serta satu riwayat dari Ahmad [lihat
al-Mughni 2/382] Dalil pendapat ini:
(a). Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam melakukan shalat ghâib terhadap mayit an-Najâsyi adalah kekhususan
untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.
(b). Banyak Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang wafat namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyhalatkannya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat semangat
untuk menyhalatkan mereka hingga menyatakan: فَلا
يَمُوتَنَّ بَيْنَكُمْ أَحَدٌ مَا دُمْتُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ إِلا آذَنْتُمُونِي؛
فَإِنَّ صَلاتِي عَلَيْهِ رَحْمَةٌ.
Jangan sampai ada salah seorang yang wafat diantara kalian selama aku ada
diantara kalian kecuali harus memberitahukan aku, karena shalatku adalah rahmat
baginya [HR. An-Nasâ’i dan Ibnu Mâjah dan dishahihkan al-Albâni dalam Ahkâm
al-Janâ`iz, hlm. 88]
(c). Tidak ada berita shalat ghâib dilakukan
setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan juga kaum Muslimin
tidak melakukan shalat ghâib terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal tidak semua kaum Muslimin menghadiri shalat jenazah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.
(d). Diantara syarat sah shalat Jenazah adalah
adanya jenazah, seperti disampaikan dalam kitab ad-Durul Mukhtâr, “ Diantara
syarat shalat jenazah adalah ada mayit dan diletakkannya dihadapan orang yang
menyhalatkannya dan berada diarah kiblat sehingga tidak sah untuk yang ghâib.
[ad-Durul Mukhtâr yg ada bersama Hâsyiyah ibnu ‘Âbidin, 2/208].
3. Shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali pada
orang yang mati dan belum dishalatkan. Ini sebuah pendapat dalam madzhab Ahmad
bin Hambal dan dirajihkan oleh Abu Dawûd, al-Khathâbi, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh al-Albâni dan Syaikh Muhammad bin Utsaimin
rahimahumullah. [lihat ‘Aunul Ma’bud 9/5; Ma’âlim as-Sunan, 1/270; Zâd
al-Ma’âd, 1/520; al-Ikhtiyarât al-Ilmiyah, hlm. 51; Nailul Authâr, 4/57; Ahkâm
al-Janâ`iz, hlm. 89-91]
Dalil pendapat ini: (a). Hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu tentang Shalat ghâib terhadap an-Najâsyi yang sudah ada dalam
dalil pendapat pertama. Imam Abu Dawûd rahimahullah membuat Bab Shalat Jenazah
Atas Orang Muslim Yang Meninggal di Negara Orang Musyrik. Lalu Imam al-Khathâbi
rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “an-Najâsyi adalah
seorang Muslim yang telah beriman kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan membenarkan kenabiannya, namun masih menyembunyikan keimanannya.
Tentunya seorang Muslim bila mati maka wajib bagi kaum Muslimin untuk
menshalatkannya. An-Najâsyi berada di tengah-tengah orang-orang kafir dan tidak
ada orang yang mampu menunaikan haknya dalam shalat jenazah yang ada di sana.
Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan untuk melakukan shalat
ghâib, sebab Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabinya dan walinya
serta orang yang paling berhak atasnya. Wallahu a’lam ini adalah sebab yang
mendorong Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghâib atasnya.
Berdasarkan hal ini, apabila seorang Muslim
mati di sebuah negeri dan sudah ditunaikan haknya untuk dishalatkan, maka orang
yang ada di negeri lain tidak melakukan lagi shalat ghâib. Apabila diketahui ia
belum dishalatkan karena ada rintangan atau penghalang atau udzur, maka
sunnahnya adalah dishalatkan shalat ghâib dan tidak dibiarkan hanya karena
jauhnya jarak. Mereka shalat dan menghadap Kiblat dan tidak menghadap ke negeri
mayit apabila berada tidak di arah kiblat. (Ma’âlim as-Sunan 1/`270). Ar-Ruyâni
–yang bermadzhab asy-Syâfi’i – juga secara baik menyampaikan pendapat yang sama
seperti pendapat al-Khathâbi, yang ini juga merupakan pendapat Abu Dawûd t , di
mana dia menerjemahkan hadits tersebut di dalam kitab Sunannya melalui bab
tersendiri yang dibuatnya, yaitu “Bab fî ash-Shalâh ‘alâl Muslimi Yamûtu fî
Bilâdi asy-Syirk (Bab Shalat Jenazah Atas Orang Muslim Yang Meninggal di Negara
Orang Musyrik)”. Dan pendapat tersebut menjadi pilihan Syaikh Shâlih al-Maqbûli
rahimahullah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Nailul Authâr (4/43).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
mengatakan, “Yang benar adalah orang yang bertempat tinggal jauh dan meninggal
dunia di suatu negara yang tidak ada seorang pun yang menyhalatkan di negara
tersebut, maka dia perlu dishalatkan dengan shalat ghâib, sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap jenasah
an-Najâsyi. Karena dia meninggal di tengah-tengah orang-orang kafir dan tidak
ada yang menyhalatkannya.Seandainya dia sudah dishalatkan di tempat dia meninggal
dunia, maka dia tidak dishalatkan dengan shalat ghâib atas jenazahnya. Sebab,
kewajiban itu telah gugur dengan shalatnya kaum Muslimin atas dirinya. Dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ghâib dan meninggalkannya.
Sedang apa yang dikerjakan dan apa yang beliau tinggalkan merupakan sunnah. Dan
ini menempati porsinya masing-masing. Wallahu a’lam [Zâd al-Ma’âd 1/520-521].
Sedangkan ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Bukan petunjuk dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan
Shalat ghâib bagi setiap orang yang meninggal dunia. Sebab, cukup banyak kaum
Muslimin yang meninggal dunia sedangkan mereka jauh dari Rasûlullâh, namun
Beliau tidak menshalatkan mereka dengan Shalat ghâib. [Zâdul Ma’âd
(I/205-206)].
(b). Berargumen dengan sebagian riwayat yang
berbunyi:
إِنَّ أَخًا قَدْ مَاتَ بِغَيْرِ
أَرْضِكُمْ فَقُوْمُوْا فَصَلُّوْا عَلَيْهِ
Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal
dunia di luar daerah kalian. karenanya, hendaklah kalian menshalatinya.
Riwayat ini menunjukkan bahwa shalat ghâib
disyariatkan apabila mayit meninggal di daerah yang tidak ada seorangpun yang
menshalatkannya.
(c). Dan di antara yang memperkuat tidak
disyariatkannya shalat ghâib bagi setiap orang yang meninggal di tempat yang
jauh adalah riwayat yang menyebutkan, ketika para Khulafa-ur Rasyidin dan juga
yang lainnya meninggal dunia, tidak ada seorangpun dari kaum Muslimin yang
mengerjakan shalat ghâib atas mereka. Seandainya mereka mengerjakan hal
tersebut, sudah barang tentu nukilan dari mereka mengenai hal tersebut
benar-benar mutawatir. [Ahkâm al-Janâ`iz hlm 93].
4. Shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali pada
orang yang belum dishalatkan dan pada orang yang terkenal sebagai orang shaleh
dan perintis kebaikan. Ini adalah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah
sebagaimana dinukilkan Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-fatawa al-Kubra
(4/444).
Imam Ahmad rahimahullah menyatakan: Apabila
mati orang yang shalih maka dishalatkan. Pendapat ini dirajihkan Syaikh
Abdurrahmân As-Sa’di rahimahullah dan Syaikh Bin Bâz rahimahullah. Syaikh
al-Basâm rahimahullah berkata: Guru kami Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di
rahimahullah merajihkan perincian ini. Inilah yang diamalkan di Najd. Mereka
melakukan Shalat ghâib untuk orang yang memiliki jasa besar terhadap kaum Muslimin
dan tidak melakukannya pada selain mereka dan hukum Shalat ini adalah Sunnah
[Nailul Ma’ârib 1/324].
Dalil pendapat ini adalah kisah an-Najâsyi,
dimana an-Najâsyi adalah seorang tokoh yang sangat berjasa kepada kaum Muslimin
dengan mendukung dan melindungi para Sahabat yang berhijrah ke Habasyah. 5.
Shalat ghâib hanya boleh dilakukan pada hari kematiannya atau dekat-dekat
dengan hari itu dan tidak boleh bila sudah lama. Pendapat ini disampaikan Ibnu
Abdilbarr rahimahullah dari sebagian ulama. [Lihat Fathul Bâri 3/431-432 dan
Nailul Authâr 4/560]
Dalil pendapat ini adalah riwayat dari kisah
Shalat ghâib untuk an-Najâsyi, dimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى لِلنَّاسِ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ [قَالَ:
إِنَّ أَخًا قَدْ مَاتَ (وفي رواية: مَاتَ الْيَوْمَ عَبْدٌ للهِ صَالِحٌ) [بِغَيْرِ
أَرْضِكُمْ] [فَقُوْمُوْا فَصَلُّوْا عَلَيْهِ] ،
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumumkan berita kematian an-Najâsyi
(Ash-hamah) (Raja Habasyah) kepada orang-orang pada hari kematiannya. (Beliau
bersabda : “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia –dan dalam sebuah
riwayat disebutkan : Pada hari ini, hamba Allah yang shalih telah meninggal
dunia) (di luar daerah kalian) (karenanya, hendaklah kalian menshalatinya)”.
Riwayat ini menunjukkan Shalat ghâib
disyariatkan pada hari kematiannya atau dekat-dekat dengan hari tersebut.
6. Diperbolehkan shalat ghâib apabila mayit
meninggal di negeri yang ada di arah kiblat saja dan bila tidak di arah kiblat
maka tidak diperbolehkan. Ini adalah pendapat Ibnu Hibbân (Shahih Ibnu Hibbân
7/366). Al-Muhib ath-Thabari menyatakan: Aku tidak mendapatkannya pada selain
beliau [lihat Fathul Bâri 3/432].
Dalil pendapat ini disampaikan langsung oleh
Ibnu Hibbân rahimahullah dalam pernyataan beliau: “ Sebab Shalat ghâib terhadap
an-Najâsi dalam keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di negerinya
(Madinah), karena negeri an-Najâsyi terletak di arah kiblat. Hal itu karena
negara Habasyah apabila seorang berdiri di Madinah maka ia berada di belakang
Ka’bah dan Ka’bah terletak diantara orang tersebut dengan negeri Habasyah.
Apabila mayit meninggal dan dikuburkan kemudian diketahui kematiannya di negara
lain. Sedangkan negara tempat dikuburkannya dan negaranya berada diantara
Ka’bah, maka boleh melakukan Shalat ghâib. [Shahih Ibnu Hibân 7/366-367].
PENDAPAT YANG RAJIH.
Pendapat yang rajih adalah pendapat ketiga yang
menyatakan shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali pada mayit yang belum dishalatkan,
karena kuatnya dalil dan argumentasinya. Sedangkan alasan kisah an-Najâsyi
adalah kekhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak benar dan
lemah, karena pada asalnya hal itu bukan kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tanpa dalil dan dasar yang kuat. Imam al-Baghâwi t menyatakan: “Mereka
menganggap bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhususkan dalam
perbuatannya tersebut. Ini adalah lemah karena meneladani Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatannya adalah wajib kifayah selama
tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan tidak boleh menetapkan pengkhususan
disini karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Shalat ghâib
sendirian dan melakukannya bersama para Sahabatnya. [Syarhus Sunnah 5/341-342].
Oleh
karena itu Komite tetap untuk Fatwa kerajaan Saudi Arabia (Lajnah Da`imah)
ketika ditanya tentang bolehkah Shalat ghâib seperti yang dilakukan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada an-Najâsyi atau itu khusus untuk Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja ?. Mereka menjawab: Diperbolehkan Shalat
ghâib berdasarkan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak
khusus untuk Beliau saja, karena para Shahabat juga melakukan Shalat ghâib
bersama Beliau untuk an-Najâsyi dan disebabkan asalnya adalah tidak dikhususkan
(untuk Beliau saja). [Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ`imah 8/418].
Syaikh as-Sâ’ati berkata, “Kesimpulannya adalah
pendapat yang mensyariatkan Shalat ghâib hujjahnya lebih kuat karena kesesuaian
dengan dalil tanpa dipaksakan dan ta’wil. [al-Fathu ar-Rabbâni 7/2230].
Dengan demikian shalat ghâib disyariatkan pada
Muslim yang mati di negeri kafir dan belum dishalatkan. Juga disyariatkan pada
orang yang mati tenggelam atau mati terbakar atau mati dalam tawanan dan
sejenisnya yang belum dishalatkan jenazahnya. Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah
menyatakan: Yang rajih adalah tidak dishalatkan seorang shalat ghâib kecuali
belum dishalatkan jenazahnya. Pada zaman Khulafâ’ur Rasyîdîn banyak orang yang
punya jasa atas kaum Muslimin yang mati dan tidak ada seorangpun dari mereka
dishalatkan dengan Shalat ghâib. Pada asalnya dalam ibadah adalah tidak
dilakukan hingga ada dalil yang mensyariatkannya. [Fatâwa Islâmiyah 2/18].
Dari
keterangan para ulama diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan
shalat ghaib haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.
Jenazah tersebut belum disholatkan
Dipastikan bahwa jenazah yang terkena covid
tersebut belum dishalatkan oleh petugas yang berwenang atau tidak ada petugas
berwenang yang bias melakukannya. Jika sudah dilaksanakan maka hokum shalat
jenazahnya sudah gugur, karena hokum menyelenggarakannya adalah fardhu kifayah
2.
Jenazah tersebut memiliki jasa yang besar
selama hidup terhadap agama atau aspek kehidupan lainnya.
Dalam hadits dikatakan, Nabi Muhammad SAW
sempat melaksanakan sholat ghaib
untuk Raja Negus yang menguasai wilayah Abyssinia. Negus kerap disebut
An-Najashi, sementara Abyssinia kini dikenal sebagai Ethiopia.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَعَى لِلنَّاسِ النَّجَاشِيَ فِي الْيَوْمِ
الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى وَكَبَّرَ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ
Artinya: Abu Huraira
melaporkan,"Rasulullah SAW memberitakan kematian Negus pada kaum muslim.
Rasulullah SAW kemudian membariskan mereka di tempat ibadah dan mengucapkan
empat takbir." (HR Muslim).
Saat itu, Nabi Muhammad SAW berada di Madinah
yang jauh dari Ethiopia. Semasa hidup, Raja An-Najashi membuka negaranya bagi
kaum muslim yang saat itu menghadapi ancaman dari kaum musyrik. Selain punya
jasa besar, An-Najashi kemungkinan meninggal tidak dikelilingi kaum mulim
sehingga tak ada yang menyolatinya.
Tata cara sholat ghaib sama dengan
sholat jenazah yaitu takbir empat kali tanpa ruku dan sujud. Bacaan sholat
ghaib juga sama dengan sholat jenazah serta dilakukan sambil berdiri.
Tata cara sholat ghaib:
1. Niat Sholat
Ghaib
Bila diketahui identitasnya bisa membaca,
أُصَلِّى عَلَى اْلمَيِّتِ
(اْلمَيِّتَةِ) اْلغَائبِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ اْلكِفَايَةِ
(إِمَامًا / مَأْمُوْمًا) لِلّهِ
تَعَالى
Arab latin: Usholli alalmayyiti
(tati-perempuan) alghooibi arba'a takbiroti fardhol kifayati (makmuman) lillahi
ta'ala
Artinya: Aku niat sholat atas mayit (nama)
empat kali takbir fardu kifayah karena Allah Ta'ala.
Bila tidak diketahui identitasnya bisa membaca,
أُصَلِّى عَلَى مَنْ
صَلَّى عَلَيْهِ اْلإِمَامِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ اْلكِفَايَةِ مَأْمُوْمًا
لِلّهِ تَعَالى
Arab latin: Usholli ala man sholla alaihi
arba'a takbiroti fardhol kifayati (makmuman) lillahi ta'ala
Artinya: Aku sholat ghoib atas mayyit yang
disholati imam empat kali takbir fardu kifayah makmum karena Allah Ta'ala
2. Takbir
pertama dilanjutkan membaca surat Al-Fatihah
3. Takbir kedua
dilanjutkan membaca sholawat
Bacaan sholawat saat sholat ghaib adalah yang
dibacakan saat duduk tahiyat. Sholawat dibacakan atas Nabi Muhammad SAW
اللّـٰهُمَّ صَلَّ
عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى
سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Arab latin:
Allahumma sholli alaa muhammad wa ala aali
muhammad
Kamaa shollaita ala ibroohim wa ala aali
ibroohim
Wa baarik ala muhammad wa ala aali muhammad
Kamaa baarokta ala ibroohim wa ala aali
ibroohim
Innaka hamidun majiid
Artinya: "Ya Allah, berilah shalawat kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat
kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha terpuji lagi Maha
Mulia. Dan berilah berkat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana
Engkau memberi berkat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau
Maha terpuji lagi Maha Mulia."
4. Takbir
ketiga dilanjutkan membaca doa untuk jenazah
Berikut doa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW,
اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ
لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ،
وَاغْسِلْهُ باالْمَاءٍ وَالثَّلْجِ والْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى
الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَاراً خَيْراً مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً
خَيْراً مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجاً خَيْراً مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ اْلجَنَّة وَأَعِدْهُ
مِنْ عَذَابِ اْلقَبْرِ وَعَذَابِ الناَّرِ
Arab latin:
Allaahummaghfir la-hu warham-hu waafi-hi
wafu'an-hu, wa akrim nuzuula-hu, wawassi' madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i
wats tsalji wal-baradi, wanaqqi-hi minal khathayaayaa kamaa yunaqqats tsaubul
abyad-hu minal danasi, wa abdil-hu daaran khairan min daari-hi, wa ahlan
khairan min ahli-hi, wa zaujan khairan min zau-ji-hi, waqi-hi fitnatal qabri
wa'adzaban naari
Artinya:
"Ya Allah, ampunilah dia (mayat), berilah
rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai),
maafkanlah dia dan tempatkanlah dia di tempat yang mulia, luaskanlah
kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es.
Bersihkanlah dia dari segala kesalahan,
sebagaimana Engkau mebersihkan baju putih dari kotoran. Berilah dia rumah yang
lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga yang lebih baik daripada
keluarganya di dunia, istri yang lebih baik dari istrinya (atau suaminya) dan
masukkan dia ke surga, jagalah dia dari siksa kubur dan neraka."
5. Takbir
keempat dilanjutkan membaca doa untuk keluarga yang ditinggalkan
Berikut doa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW,
اللّـٰهُمَّ لاَ
تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ وَلِإِخْوَانِنَا
الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَ بِااْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فىِ قُلُوْبِنَا غِلاَّ لِّـلَّذِيْنَ
آمَنُوْا رَبَّناَ اِنَّكَ رَؤُفٌ الرَّحِيْمٌ
Arab latin: Allahumma la tahrim naa ajrahu
walaa taftinnaa ba'dahu waghfirlanaa walahu.
Waliikhwaninalladzinasabaquunabiliimaani walaa taj'al fii quluubina
ghillallilladzina aamanuu robbanaa innaka rouufurrohiim
Artinya: "Ya Allah janganlah kami tidak
Engkau beri pahalanya, dan janganlah Engkau beri fitnah kepada kami sesudahnya,
dan berilah ampunan kepada kami dan kepadanya."
6. Salam
Untuk salam didahului menengok ke kanan
kemudian ke kiri. Setelah rangkaian sholat ghaib selesai bisa dilanjutkan
dengan membaca doa untuk keselamatan jenazah. Berikut doanya,
Allaahumma shalli'alaa sayyidinaa muhammadin
wa'alaa aali sayyidinaa muhammad. allahumma bihaqqil faatihati i'tiq riqabanaa
wariqaaba haadzal mayyiti (kalau perempuan haadzihil mayyitati) minan naari.
allahumma anzilirrahmata wal maghfirata alaa haadzal mayyiti (kalau perempuan
haadzihil mayyitati) waj'al qabrahu (ha) raudlatan minal jannati walaa taj'alhu
(ha) hufratan minan niraani, washallallaahu alaa khairi khalqihi sayyidana
muhammadin wa alaa allihi washahbihii ajma'iin, wal hamdu lillahirabbil
aalamiin.
Artinya:
Ya Allah, curahkanlah rahmat atas junjungan
kita Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad. Ya Allah, dengan
berkahnya surat Al Fatihah, bebaskanlah dosa kami dosa mayit ini dari siksaan
api neraka.
Ya Allah, curahkanlah rahmat dan berilah ampun
kepada mayit ini. Dan jadikanlah kuburnya taman yang nyaman dari surga dan
janganlah Engkau menjadikan kuburnya itu lubang jurang neraka.
Dan semoga Allah memberi rahmat kepada
semulia-mulia makhluk-Nya yaitu junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya
serta sahabat-sahabatnya sekalian, dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian
alam.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am
Sholeh mengatakan, sholat ghaib untuk korban meninggal dunia karena virus corona bisa
dilakukan di rumah masing-masing, baik berjamaah mau pun sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar