BAB II
A.
Kerangka Teoritis
Kejahatan di bidang kehutanan di
Indonesia sudah terjadi sejaka lama, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan.
Berbagai bentuk kejahatan di bidang kehutanan telah terjadi, baik dilakukan
oleh perorangan maupun korporasi. Di sisi lain, aparat penegak hukum tidak
berdaya menghadapi pelaku kejahatan di bidang kehutanan, karena mereka biasanya
menggunakan teknologi canggih, bahkan tidak sedikit di antaranya yang memiliki back
up atau pelindung yang kuat, sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan
kehutanan sering kali tidak berjalan sesuai harapan.
Salah satu bentuk kejahatan di
bidang kehutanan adalah pembakarn hutan yang akhir-akhir ini sering terjadi.
Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan telah mengatur tindak
pidana di bidang kehutanan, termasuk pembakaran hutan. Hanya saja pengaturan
mengenai pembakaran hutan sebagai salah satu bentuk kejahatan kehutanan masih
terdapat beberapa kelemahan, sehingga berakibat pada lemahnya penegakan hukum
terhadap kejahatan pembakaran hutan tersebut. Tidak mengherankan jika hingga
kini seringkali diberitakan terjadinya kejahatan kehutanan yang menimbulkan
kerugian materiil dan kerusakan hutan, kejahatan pembakaran hutan ini tidak
bisa dibiarkan terus berkembang yang akhirnya dapat merusak kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia.
Dalam
mengatasi kejahatan pembakaran hutan ini, pemerintah telah mengeluarkan
berbagai peraturan, salah satunya adalah Undang-undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang di dalamnya memuat sanksi bagi para pelanggarnya.
Terhadap pelaku kejahatan hutan, undang-undang ini menetapkan tiga sanksi;
sanksi pidana, sanksi ganti rugi, dan sanksi administratif. Ketentuan sanksi
pidana yang diatur dalam pasal 78, memuat pidana penjara, denda, dan perampasan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Namun
ketentuan-ketentuan sanksi tersebut dianggap masih belum efektif, sebab belum
memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan hutan. Hal ini terbukti dengan
masih maraknya perbuatan pembakaran hutan dan lahan, disamping itu banyaknya
pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum. Wajar saja, di dalam Undang-undang
Kehutanan ini ketentuan sanksi tertinggi hanya 15 tahun penjara dengan
ketentuan denda tertinggi Rp. 5.000.000.000, 00 (lima miliar Rupiah).
Adapun
kejahatan dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah jarimah[19]yang ditafsirkan menurut Abdul Qadir‘Audah yaitu sebagai suatu
larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan had atas ta’zir.[20] Sedang ancaman hukumannya dapat disebut dengan ‘Uqubah,
yaitu membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya, atau balasan dalam
bentuk ancaman hukuman yang jenisnya ditetapkan oleh syara’.[21]Perbuatan larangan tersebut ada kalanya berupa mengerjakan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dalam
pengertian lain disebutkan bahwa kejahatan sebagai perbuatan atau tindak anti
sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan di dalam masyarakat, Negara
harus menjatuhkan sanksi kepada pelaku kejahatan.[22]
Suatu perbuatan
dipandang sebagai jarimah dan pelakunya dapat dimintai pertanggung
jawaban pidana
apabila telah memenuhi unsure-unsur sebagai berikut:
1.
Unsur Formil (Rukun Syar’i) yaitu adanya nash atau peraturan yang
menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang dianncam dengan hukuman.
2.
Unsur Materil (Rukun Maddi) yakni adanya pebuatan melawan
hukum baik perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat.
3.
Unsur Moril (Rukun Adabi), yakni pelakunya adalah
orang-orang mukallaf, berakal, bebas berkehendak, dalam arti mukallaf terlepas
dari unsur paksaan dan dalam kesadaran penuh.[23]
Pada dasarnya
hukum diciptakan dan diundangkan memiliki tujuan untuk merealisir kemaslahatan
umum, memberikan manfaat dan menghindari kemudharatan bagi manusia. Hakikat
atau tujuan awal pemberlakuan syari’ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia. Kemaslahatan itu dapat terwujud jika lima unsur pokok (maqashid al-syari’ah)
dapat diwujudkan dan dipelihara.[24]
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan
sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh
tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang
spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu
maqasid[25]pun tidak pernah memberikan definisi
tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara'
di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat
di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang
pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan
oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid
syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan
oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah
terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah. [26] Ada
yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik
maslahah atau menolak mafsadah.Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu
berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia
atau di akhirat.Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan
tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada
manusi.[27] Sementara
Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan
"Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau menarik
kebaikan…".Ada juga
yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama,
jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama
klasik yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum. [28]
Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin
dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah
menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang
menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi
dalam dua golongan sebagai berikut:
a.) Golongan Ibadah, yaitu
membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan
khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.) Golongan Muamalah
Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti yang
ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada
maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan
ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat,
sebagaimana tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu
berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak
mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah
haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak
membedakan antara ibadah dengan muamalah. [29]
Dalam
penyelesaian masalah pembakaran hutan atau kita qiyaskan dengan perusakan
lingkungan. Penulis mengacu pada metode maqashidas-syari’ah[30] yang menawarkan tiga skala prioritas
tetapi saling melengkapi;
1.
al-dharuruiyyat (primer);
Hal-hal
yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah
bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan
(nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara
itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan
hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.
1)
Agama
Agama merupakan
persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh
Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal),
dan hubungan antara sesama manusia
(hubungan horizontal). agama Islam juga
merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan
dalam Al-Qur’an surat al-Maidah : 3
.. ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ
دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ
دِينٗاۚ … ٣
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu”.
Beragama merupakan kekhususan bagi
manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang
dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha
menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam surat Asy-syura : 13.
۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ
أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ
وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ
مَا تَدۡعُوهُمۡ إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِيٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ
إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ ١٣
13. Dia telah mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya)
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau
yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai
paham dan aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan
kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah
menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk
memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam
firman-Nya dalam surat al-Baqarah : 256.
لَآ
إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ
بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ
لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
”Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui
2)
Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan
dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang),
diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu,
karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan
mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera
yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari
nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :
1) Surat
Al-Baqarah ayat 178-179
2) Surat
al-an’am ayat 151
3) Surat
Al-Isra’ ayat 31
4) Surat
Al-Isra’ ayat 33
5) Surat
An-Nisa ayat 92-93
6) Surat
Al-Maidah ayat 32.
Berikut ini adalah salah
satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu
surat Al-Isra’ ayat 33
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ
مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ
إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
“Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami
Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan”.
3) Memelihara
Akal
Manusia adalah makhluk yang
paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah
telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu
dengan akal.
Untuk menjaga akal
tersebut, Islam telah melarang minum
Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang
meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang
menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya
tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik
pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang
dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
وَإِنَّ
لَكُمۡ فِي ٱلۡأَنۡعَٰمِ لَعِبۡرَةٗۖ نُّسۡقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِۦ مِنۢ
بَيۡنِ فَرۡثٖ وَدَمٖ لَّبَنًا خَالِصٗا سَآئِغٗا لِّلشَّٰرِبِينَ ٦٦
“66. Dan Sesungguhnya
pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami
memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang
bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang
meminumnya.
وَمِن
ثَمَرَٰتِ ٱلنَّخِيلِ وَٱلۡأَعۡنَٰبِ تَتَّخِذُونَ مِنۡهُ سَكَرٗا وَرِزۡقًا
حَسَنًاۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ٦٧
67.
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan
rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
وَأَوۡحَىٰ
رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ أَنِ ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ
وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ ٦٨
68. Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
ثُمَّ
كُلِي مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسۡلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلٗاۚ يَخۡرُجُ مِنۢ
بُطُونِهَا شَرَابٞ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِۚ إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٦٩
69. Kemudian makanlah
dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah
dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.
4)
Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan,
Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa
yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan
syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan
percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan
anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah
dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang
perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.
5)
Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya
semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya
melalui jalan apapun, maka Islam
mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan
peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai
menggadai. [31]
2.
al-hajiyyat (sekunder);
Hal-hal
yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yan
gdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan
mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi
mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah
hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu
dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam
mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk meringankan
beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum azimah
(kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan
bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam
mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi
kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah
(berniaga dengan harta orang lain)
3.
dan al-tahsiniyyat (tersier).[32]Untuk mengidentifikasi maqashidal-syari’ah (maslahah)tersebut,
menurut al-Syathibi metode yang paling tepat adalah menggunakan istiqra’
(induksi) yaitu dengan model pengembalian kesimpulan premis umum dari
sekumpulan dalil-dalil yang berserakan. Metode ini pada dasarnya memberikan
kebebasan pada akal untuk memahami sebuah nash yang kemudian dikontrol
oleh maqashidal-syari’ah. Metode di atas dipakai sebagai pisau analisa
atau kacamata untuk membaca permasalahan perusakan lingkungan.[33]
Dalam kepentingan-kepentingan
manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam
mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib
baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang
dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma
(infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah
memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau
kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah
satu diantara tiga kepentingan tersebut. [34]
Selain
menggunakan metode maqashid al-syari’ah, penulis juga menggunakan metode
analisis terhadap fiqih bi’ah (fiqih lingkungan).
[35] Fiqih dalam konteks lingkungan adalah hasil bacaan dan pemahaman
manusia terhadap dalil naqli , baik yang maktubah (tertulis),
maupun yang kauniyyah (tidak tertulis) yang tersebar di alam jagat raya.
Jadi, fiqih lingkungan adalah pemahaman manusia tentang lingkungan hidup
melalui pendekatan-pendekatan holy scriptures (teks-teks suci) dan natural
signs (tanda-tanda alam) yang pada akhinya akan melahirkan suatu konsep
dan sikap mereka terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestariannya.
Oleh karena itu, pemahaman ummat terhadap ajaran Islam perlu dikembangkan dan
diperdalam agar Islam bisa dipahami secara konfrehensif.
Kerangka dasar pemahaman fiqih
lingkungan tidak dijelaskan secara terperinci
dalam bab tersendiri
melainkan masih tersebar
dalam kajian beberapa ilmu fiqih.
Hal ini terlihat jelas dimana fiqih mengajarkan kepada kita tentang pola
tahapan yang diawali dari kebersihan dan diakhiri dengan tertib dalam
menjalankan. Didukung dengan kebebasan dari rasa takut akan kekhawatiran dan
didasarkan pada prinsip kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kearifan dari
kehidupan manusia. Melihat hal tersebut persoalan fiqih lingkungan bukan hanya
mengkaji masalah sampah dan pengrusakan alam semesta, namun lebih cenderung
kepada sebuah kriktik dimana kita melihat akan adanya perbedaan yang mendalam
dalam menafsirkan antara kebutuhan dan melestarikan. Kecenderungan manusia
dalam memuja ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan mereka lupa akan tugas mereka dimuka bumi sebagai khalifah
yang mana tidak hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada, tetapi juga harus
melestarikan agar dapat digunakan secara terus menerus.
Secara umum kita pahami bahwa
kebutuhan manusia tidak akan ada habisnya. Eksplorasi besar - besaran
ditunjukkan dengan pemanfaatan tegnologiyang membantu manuisa dalam merusak
alam. Dimulai dari revolusi dunia barat yang telah mampu menemukan tegnologi
yang dapat digunakan sebagai alat
untuk pengolahan alam,
namun manusia mengesampingan teknologi yang bermanfaat
untuk melestarikan alam. Alasan pemenuhan kebutuhan menjadi ukuran utama dalam
perkembangan tegnologi pengolahan hasil sumber daya alam.
Berangkat dari hal itu, fiqih yang
memiliki norma - norma yang menjabarkan nilai - nilai Al Alqur’an dan Al Sunnah
harus dapatmemberikan sumbangan
yang bersifat riil
dalam membentuk pola
pikir manusia yang mampu mengatur tatanan kehidupan manusia
yang mampu mengatur tatanan kehidupannya dalam hal pembangunan yang berwawasan
lingkungan hidup. Hal ini akan mengangkat tatanan hidup manusia kearah yang
lebih baik dan tidak hanya memenntingkan ego manusia dalam eksplorasi alam,
namun lebih kepada pemanfaatan yang disertai dengan pelestarian sumber daya
alam.
Pengkajian Fiqih Lingkungan
berdasarkan pada pemahaman bagaimana manusia mampu menjaga dan melestarikan
sumberdaya alam yang ada sebagai peruwujudan manusia dalam mengolah alam
semesta. Ada beberapa hal yang terkait oleh fiqih lingkungan dimana manusia
sebagai khalifah dibumi perlu menjalankan amanatnya untuk menjaga sebagaibentuk
pemeluiharaan lingkungan hidup diantaranya yaitu :
1. Perlindungan jiwa raga (hifdh al
nafs). [36]
Dalam pandangan
fiqih lingkungan setiap
jiwa dan ragaa
makhluk hidup adalah hal yang mulia. Oleh sebab itu perlu adanya
penjagaan dan perlindungan yang senantiasanya dijalankan pada setiap makhluk
hidup (manusia, hewan, tumbuhan) tanpa memandang status derajatnya.
2. Menyelaraskan tujuan kehidupan
dunia akhirat. [37]
Dalam fiqih dijelaskan pengatruran
kehidupan manusia yang mana fiqih telah mengatur tatanan interaksi manusia baik
dengan Alloh SWT. Dengan sesama manusia, dan juga hubungan manusia dengan alam.
Menyelaraskan antara tujuan dunia dan akhirat adalah bagaimana manusia dengan
alam. Menyelaraskan antara tujuan dunia dan akhirat adalah bagaimana manusia
dapat memenuhi kebutuhan daslam menjalankan
roda kehidupan namun tidak melupakan tujuan akhirat yaitu mendapatkan
ridho Allah SWT.
3. Kebutuhan akan produksi dan
konsumsi harus seimbang. [38]
Fiqih lingkungan mengatur tatanan kebutuhan manusia dalam hal
memproduksi atau mengkonsumsi sesuatu harus sesuai dengan kadar kemampuan
manusia untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Hal ini didasarkan pada
larangan manusiauntuk berllebih
- lebihan dalam segala hal.
4. Keseimbangan ekosistem harus
dijaga.
[39]
Tugas manusia untuk mengolah dan melestarikan alam tidak luput dari peran serta manusia dalammenjaga
keseimbangan ekosistem. Jika ekosistem
terjaga maka manusia
akan lebih mudah dalam memenuhi
kebutuhannya.
5. Semua makhluk
adalah mulia (muhtaram).
[40]
Selaras dengan
menjaga keseimbangan ekosistem, maka didalamnya manusia
juga harus menjaga setiap makhluk hidup didunia, sebab
makhluk hidup selain manusia dapat juga dimanfaatkan secara
seimbang tidak
diburu untuk kepunahannya.
6. Manusia menjalankan tugas kekhalifahannya dalam hal mengolah dan mengelola alam semeta. [41]
Dari pemikiran ini
maka fiqih lingkungan cenderung pada tatanan yang mengatur kehidupan manusia
dengan alam semesta, baik dalam hal pemanfaatan
dan juga pelestariannya. Hal
ini yang akan
menunjukkan eksistensi manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang
berdasarkan Al Qur’an dan Al Sunnah.
Sebab Islam berbicara
tentang alam mulai
dari pembentukannya yang tidak memiliki kekurangan apapun dalam
pemanfaatannya sampai pada hari akhir sebagai bentuk kerusakan bagi umat
manusia.
Dari kesekian penjelasan tentang prisip
dasar fiqih lingkungan semua berkaitan dengan tugaas manusia sebagai khalifah
di muka bumi. Sebab manusia yang mempunyai akal fikiran yang dapat digunakan
untuk mengolah dan mengelola alam semesta.
B.
Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran penulis
tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukan terkait judul penelitian
ini, penulis menemukan judul-judul sebagai berikut:
1.
Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau Menurut Perspektif Hukum
Lingkungan, oleh Ahmad Jazuli, di Jurnal RechtsVinding, edisi 27 Oktober
2014. Kesimpulannya adalah bahwa untuk meminimalisir dampak kebakaran hutan
yang dapat dilakukan, antara lain: (a) pemetaan daerah rawan kebakaran lahan
dan/atau hutan; (b) penguatan data dan informasi terkait dengan hot-spot,
persebaran asap, pemetaan daerah terbakar, Fire Danger Rating System (FDRS),
pengembangan Standard Operation Procedure dalam pencegahan dan
penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan, dan pengelolaan lahan gambut.
Bahkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah memberikan
pelatihan kepada Malaysia dalam pengembangan FDRS melalui sistem remote
sensing; (c) penguatan dan peningkatan kapasitas masyarakat peduli api yang
dilakukan melalui sosialisasi, kegiatan pencegahan dini maupun pelatihan, (d).
penanggulangan bencana asap yang terkoordinir dalam rangka tanggap darurat
bencana, antara lain melalui gelar pasukan pemadaman api, operasi modifikasi
cuaca, dan lain-lain; (e). melakukan penegakan hukum (pidana dan perdata)
terhadap pelaku (individu dan korporasi) pembakaran lahan dan/atau hutan serta
pencemaran asap lintas batas yang mengakibatkan kerusakan lingkungan; dan (f)
memperkuat kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang mendukung
kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning policy) dan
pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran
asap lintas batas.[42]
2.
Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pembakaran Hutan dan
Lahan di Provinsi Riau, oleh Erdiansyah, di Jurnal Ilmu Hukum, volume 4 Nomor 3
September 2014-Januari 2015. Kesimpulannya, pertama, meskipun Undang-undang
kehutanan dan lingkungan dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk
membebankan criminal liabilityterhadap korporasi, namun Pengadilan
Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan
peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus
kejahatan korporasi di pengadilandan tentu saja berdampak pada sangat
sedikitnya keputusanpengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi di Provinsi
Riau. Ada 9 (sembilan) perusahaan di Riau diduga terlibat melakukan pembakaran
hutan dan lahan di Riau, namun baru 2 (dua) perusahaan ditetapkan sebagai
tersangka atas nama perusahaan PT. Adei Plantation dan PT. National Sagu Prima,
dan baru perusahaan Adei Plantation & Industry sampai ke tingkat peradilan,
itupun pada tahun 2013di mana PT. Adei Plantation & Industry dijatuhi
sanksi oleh Pengadilan Negeri Pelalawanmenyatakan bahwa terdakwa PT.
AdeiPlantation & Industry tidak terbukti secara sah dan menyakinkanbersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatifketiga primair Jaksa
Penuntut umum, kemudianmembebaskan terdakwa PT.Adei Plantation & Industry
dari dakwaan alternatif ketiga primair tersebut. Selanjutnya menyatakan
terdakwa PT. Adei Plantation & Industry telah terbukti secara sah dan
menyakikan bersalah melakukan tindakpidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Kemudian menjatuhkan
pidana terhadapterdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp.1.500.000.000,-(satu
milyar lima ratus juta Rupiah) denganketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayar diganti denganpidana kurungan yang diwakili oleh Sdr. Tan Kei Yoong
selama 5(lima) bulan; menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa PT.Adei
Plantation & Industry berupa perbaikan akibat tindak pidanauntuk memulihkan
lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas 40 Ha
melalui pemberian kompos, dengan biaya sebesar Rp.15.141.826.779.325,-(lima
belas milyar seratus empat puluh satu juta delapan
ratus dua puluh enam ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan Rupiah tiga ratus
dua puluh lima sen). Kedua, hambatan dalam implementasi pertanggungjawaban
pidana korporasi pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau adalah bahwa tindakpidana
yang dilakukan korporasi terhadap pencemaran lingkungan sangat sulit sekali
diketahui. Meskipun diketahui, untuk membuktikannya di pengadilan masih
menghadapi permasalahan hukum, karena kesulitan dalam mencari bukti-bukti
berdasarkan hukum dan sulit menentukan siapa yang harus pertanggungjawab atas
tindak pidana yang dilakukan korporasi tersebut sehingga dalam implementasi pertanggungjawaban
pidana korporasi pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau mengalami beberapa
hambatana ntara lain: (a) ketidak sederhanaan perangkat hukum dan perangkat peraturan
perundang undangan; (b) profesionalisme aparat penegak hukum lingkungan,dan; c)
kesadaran hukum masyarakat dan sarana yang mendukung penegakan hukum.[43]
3.
Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran Hutan di Wilayah Kabupaten
Kotawaringin Timur, oleh Aji Prasetyo, di Diponegoro Law ReviewVolume1, Nomor
2, Tahun2013. Kesimpulannya adalah, pertama, pengaturan tindak pidana
pembakaran hutan tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu
dalam KUHP, Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan,
Undang-undang Perkebunan, Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Hutan, dan
Peraturan Daerah Kalimantan Tengah. Kedua, penyidikan tindak pidana pembakaran
hutantidak hanya dilakukan oleh penyidik Polri, namun juga dapat dilakukan oleh
penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang tugas dan wewenangnya di tentukan
dalam Undang-undang. Penegakan hukum tindak pidana pembakaran hutan di Wilayah
Kabupaten Kotawaringin Timur terhadap para pelaku tidak berjalan secara optimal,
hal ini ditunjukan dengan tidak adanya pelaku yang dapat dipidana, namun hanya
sampai pada proses penyidikan saja. Ketiga, penegakan Hukum Tindak Pidana
Pembakaran Hutan di wilayah Kabupaten Kota Waringin Timur mengalami beberapa
yaitu: (a) dana, sarana, dan prasarana yang terbatas; (b) kurangnya Sumber Daya
Manusia; (c) kebiasaan masyarakat membuka lahan dengan cara membakar yang sulit
dihilangkan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut yaitu: (a) melakukan
kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang
dilakukan setiap menjelang musim kemarau. (b). peningkatan sarana dan prasarana
pendukung, yaitu dengan penambahan kendaraan operasional yang dapat mencapai
lokasi kebakaran hutan, alat pemadam yang memadai, dan alat-alat yang diperlukan
dalam penyidikan. (c).Melaksanakan Patroli rutin yang dilakukan aparat terkait
dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, kepolisian , dan Satpol PP.[44]
4.
Kebakaran Hutan di Indonesia dan Proses Penegakan Hukumnya sebagai Komitmen
dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim, oleh Popi Tuhulele, di Jurnal Supremasi
Hukum, vol. 3, No. 2, Desember 2014. Kesimpulannya, kesadaran dan keseriusan
para pengambil keputusan dalam memperhatikan danmengimplementasikan kebijakan
dan komitmen dalam sector lingkungan hidup sangatlah tidak memadai. Banyak
komitmen nasional dan global dibidang lingkungan hidup yang sasarannya jelas
tidak tercapai. Ada gap yang besar antara rumusan kebijakan dengan
operasionalisasinya. Diperlukan kemauan yang keras, tidak kenal lelah, dan
mendasar untuk menempatkan perhatian dan kebijakan yang pro lingkungan hidup
khususnya para elit yang berada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif,
meskipun Indonesia memiliki berbagai peraturan terkait dengan kebakaran hutan dan
lahan.Dari beberapa uraian di atas, ada banyak celah yang membingungkan dan ini
nyata-nyata dipergunakan oleh pihak yang sengaja melakukan cara-cara
pengusahaan hutan/perkebunan dengan jalan pembakaran hutan sebagai jalan yang
sebenarnya melawan hukum, selain ada celah ketidak serasian
siapa aktor penegak hukumnya, dalam hal penegakkan hukum secara sektoral yang
selama ini dilakukan antara pihak Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian,
dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kepolisian Republik Indonesia dengan
arahan Undang-undangnya masing-masing. Bahkan di tingkat lapangan, hal ini
menjadi sangat rumit sekali. Perlu dilakukan upaya yang keras untuk mendorong
penegakan hukum lingkungan, terutama bagi pelaku pembakar hutan dan pentingnya
dilakukan koordinasi semua departemen yang terkait dengan dikukuhkan oleh Surat
Keputusan Bersama (SKB) atau lebih tinggi setingkat Instruksi Presiden (Inpres)
seperti yang kita lihat dalam Inpres mengenai Pemberantasan Pembalakan Liar (illegal
logging). Hal yang patut untuk dilakukan Pemerintah Indonesia dalam
melaksanakan komitmen dalam mengatasi dampak perubahan iklim dan dalam
kaitannya dengan kebakaran hutan yakni perlu penegakan hukum terhadap oknum
pelaku kebakaran secara konsisten dan serta menimbulkan efek jera, hal itu
dapat dilakukan dengan menyiapkan aturan-aturan yang tegas serta tidak
memberikan peluang adanya pelanggaran perlu diupayakan lahirnya Peraturan
Pemerintah terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup mengenai tanggung jawab
perusahaan apabila terjadi kebakaran/pembakaran di hutan/lahan di konsesinya
untuk menutup celah kesimpangsiuran ketentuan hukum seperti yang telah
dipaparkan di atas. Reratifikasi terhadap ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution, dan mengambil peranan utama dalam implementasi persetujuan in
perlu dilakukan Indonesia sebagai perwujudan komitmen internasional dan
regionalnya. Karena bagaimanapun perjanjian ini merupakan perjanjian di tingkat
regional yang pertama di dunia yang mensyaratkan sekelompok negara bekerjasama
menanggulangi asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan lahan.[45]
Berdasarkan
judul penelitian-penelitian di atas, tidak terdapat judul yang sama dengan
judul yang akan diteliti. Judul-judul di atas hanya hasil penelitian tentang supremasi
hukum bagi pelaku pembakar hutan dan lahan. Adapun distingsi dengan penelitian
yang akan penulis lakukan adalah menggali
ketentuan hukuman bagi pelaku pembakar hutan dan lahan menurut hukum Islam.
الجرائم محظورات شرعية زجر الله تعالى عنها بحد او تعزير
“Jarimah adalah
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had
atau ta’zir.”Kata jarimah diistilahkan dalam hukum positif sebagai tindak
pidana (delik) atau pelanggaran.Dalam pemakaian kata jinayah mempunyai arti
lebih luas, yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan
kejahatan manusia dan tidak ditujukan pada satuan perbuatan dosa tertentu
(jarimah)..
Pengertian jarimah tersebut hampir bersesuaian dengan pengertian
menurut hukum positif (hukum pidana Indonesia). Jarimah dalam istilah hukum
pidana Indonesia diartikan dengan peristiwa pidana. Menurut Mr. Tresna dalam
bukunya Asas-asas Hukum Pidana, peristiwa pidana ialah rangkaian perbuatan
manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangan
lainya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.
Pengertian jarimah menurut syara’ pada lahiriyahnya ternyata
sedikit berbeda dengan pengertian jarimah atau tindak pidana menurut hukum
positif dalam kaitannya dengan masalah ta’zir. Menurut hukum islam hukuman
ta’zir adalah hukuman yang tidak tercantum nash ata ketentuannya dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan ketentuan yang pasti dan terperinci. Sedangkan
menurut hukum positif dalam perngertian di atas, hukuman itu harus tercantum
dalam undang-undang. Lihat Ahmad Wardi Muslich, Pengantar
Dan Asas Hukum Pidana Islam;Fiqh Jinayah, cet.II, Jakarta :Sinar Grafika,
2006, hal. 10 lihat juga Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam;Fiqih Jinayah,cet.2,
Bandung : Pustaka Setia, 2000, hal.13
[20]Abdul Qadir
‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/
1989 M), hal. 66.
[21]Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam; Fiqih Jinayah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), hal. 136.
[22]Romli
Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, (Jakarta: Rajawali, 1984), hal.
31.
[23]Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 16.
[24] Abu Ishaq
al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1408 H/ 1988 M), juz. 2, hal. 72.
[25] Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa
Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, (Tripoli,
cet. Pertama, 1401H/1992M), hal. 131
[26] Muhammad Fathi al-Duraini,
al-Manahij al-usuliyyah, (Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997M),
hal.48
[27] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam
al-Muwaqqi'in, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996M), jil.3, hal. 37
[30] Secara bahasa maqashid
syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan syari’ah. Maqashid
berarti kesengajaan atau tujuan, maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud
yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau
memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju
sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari
ungkapannya sendiri:
هذه الشريعة...وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى
قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا
“
Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat.” Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi
الآحكام مشروعة لمصالحالعباد
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan
hamba." Lihat Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’ah, (Kairo, I,) hal. 21, Ibnu Mandzur, Lisaan
Al-‘Arab Jilid I,( Kairo: Darul Ma’arif, tt) hal. 3642. Dan Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,
cet. 14, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), hal. 712
[33] Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih Versus Hermeneutika; Membaca Islam
dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2007), hal.
48.
[34] YuAbdul Wahab
Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hlm 333-343
[35] Fiqh al-Bi’ah
berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata (kalimat majemuk; mudhaf
dan mudhaf ilaih), yaitu kata fiqh dan al-bi`ah. Secara bahasa “fiqh”
berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti al-‘ilmu
bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu), al-fahmu (pemahaman)
Sedangkan secara istilah, fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum
syara’ yang bersifat praktis yang diambil daridalil-dalil tafshili (terperinci).
Adapun kata “al-bi`ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu:
Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lihat Sukarni, Fikih Lingkungan Hidup (Banjarmasin: Antasari Press,
2011) hlm. 45
[36]Alie Yafie, Merintis
Fiqih Lingkungan Hidup, (Jakarta:Tama Printing 2006), 163.
[37] Ibid, 167.
[38] Ibid, 170.
[42]Ahmad
Jazuli,“Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau Menurut Perspektif Hukum
Lingkungan,” di Jurnal Rechtsvinding,
edisi 27 Oktober 2014, hal. 41-42.
[43]Erdiansyah
, “Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pembakaran Hutan dan
Lahan di Provinsi Riau,”Jurnal Ilmu Hukum, volume 4 Nomor 3
September 2014-Januari 2015, hal. 163-164.
[44]Aji
Prasetyo, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran Hutan di Wilayah
Kabupaten Kotawaringin Timur,”Diponegoro Law Review, Volume1, Nomor
2, Tahun 2013, hal. 9-10.
[45]Popi
Tuhulele, “Kebakaran Hutan di Indonesia dan Proses Penegakan Hukumnya
sebagai Komitmen dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim,” di Jurnal
Supremasi Hukum, vol. 3, No. 2, Desember 2014, hal. 140-141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar