BAB IV
ANALISA
A. Penyebab Kebakaran Hutan
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat
oleh pepohonan
dan
tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam
ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai
penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink),
habitat hewan, modulator arus
hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfera Bumi yang
paling penting.
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai
manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada
pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak
manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal
dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan,
meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa
liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya.[1] Inilah alasan utama
mengapa api menjadi alat yang paling efektif dalam membuka lahan dengan
membakar hutan.
Salah
satu akibat yang paling nampak dari salah urus pengelolaan hutan selama 30
tahun adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan dan lahan,
khususnya di Kalimantan dan Sumatera. Hutan-hutan tropis basah yang belum
ditebang (belum terganggu) umumnya benar-benar tahan terhadap kebakaran dan
hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya,
hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak
belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran (Schindler dkk., 1989).
Bukti
ilmiah berdasarkan pendataan karbon radioaktif dari endapan kayu arang di
Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan hutan dataran rendah telah berulang
kali terbakar paling sedikit sejak 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa
periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode Glasial
Kuarter (Goldammer, 1990). Kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami,
tetapi kemungkinan manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran di milenium
terakhir ini, pertama untuk memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk membuka
petak-petak pertanian di dalam hutan. Meskipun kebakaran telah menjadi suatu
ciri hutan-hutan di Indonesia selama beribu-ribu tahun, kebakaran yang terjadi
mula-mula pasti lebih kecil dan lebih tersebar dari segi frekuensi dan waktunya
dibandingkan dua dekade belakangan ini. Oleh karena itu, kebakaran yang terjadi
mula-mula ini bukan merupakan penyebab deforestasi yang signifikan. Hal ini
terlihat jelas dari kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Kalimantan,
misalnya, dari dulu berhutan, dan baru pada waktu belakangan ini mengalami
deforestasi yang sangat tinggi.[2]
Berbagai
proses degradasi hutan dan deforestasi mengubah kawasan hutan yang luas di
Indonesia dari suatu ekosistem yang tahan kebakaran menjadi ekosistem yang
rentan terhadap kebakaran. Perubahan yang mendasar ini, ditambah dengan
terjadinya fenomena iklim El Niño,33 telah menyebabkan peledakan kebakaran
hebat yang terjadi selama 20 tahun terakhir ini.
Indonesia
juga memiliki beragam undang-undang lingkungan dan peraturan lainnya yang
menghukum pelaku pembakaran yang dilakukan secara sengaja, baik di tingkat
nasional dan di tingkat propinsi. Namun demikian berbagai undang-undang ini
jarang ditegakkan. Bahkan akibat kebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada
tindakan resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat
dalam pembakaran, dan pada saat penulisan laporan, tidak ada hukuman resmi
penting yang dijatuhkan.
Laporan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP menyimpulkan bahwa "Indonesia
tidak memiliki suatu organisasi pengelolaan kebakaran yang profesional.
Berbagai usaha pemadaman kebakaran dilakukan berdasarkan koordinasi di antara
beberapa lembaga yang terkait. Berbagai lembaga yang terlibat dalam pengelolaan
kebakaran tidak memiliki mandat yang memadai, tingkat kemampuan dan peralatan
yang tidak memadai untuk melakukan tugas-tugas mereka". Departemen Kehutanan
merupakan satu-satunya lembaga pemerintah dengan tugas khusus untuk pencegahan
dan pengendalian kebakaran. Direktorat untuk menanggulangi kebakaran hutan
berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA).
Kelemahan
pokok dalam hal pemadaman kebakaran di Indonesia yang diidentifikasi oleh
kajian Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP meliputi: tumpang tindihnya
fungsi di antara berbagai lembaga yang berbeda; wewenang dan tanggung jawab
kelembagaan yang tidak jelas; mandat yang tidak memadai; dan berbagai kemampuan
kelembagaan lokal yang lemah.
Penerapan
peraturan yang gagal, menurut kajian, merupakan akibat dari: kurangnya kemauan
politik di pihak lembaga penegak hukum; lemahnya akses terhadap data kebakaran
bagi para pejabat penegak hukum; keterbatasan fasilitas dan peralatan untuk
mendukung berbagai penyidikan di lapangan; berbagai persepsi yang berbeda di
antara berbagai lembaga tentang mana yang merupakan bukti resmi yang memadai
dari pembakaran yang disengaja; kurangnya pemahaman tentang berbagai peraturan
resmi mengenai kejahatan perusahaan yang memberikan peluang bagi perusahaan,
daripada para individu pekerja, untuk dituntut; "lemahnya integritas"
di pihak para penegak hukum; dan "berbagai konflik kepentingan"
antara berbagai lembaga, sebagian di antaranya ditugaskan untuk konservasi dan
pemadaman kebakaran, sementara yang lainnya bertugas untuk mengembangkan
perkebunan dan meningkatkan berbagai hasil pertanian.
Kebakaran
dapat menimbulkan bahaya atau mendatangkan bencana. Kebakaran bisa terjadi, karena pembakaran
yang
tidak terkendali, karena proses alami atau karena kelalaian manusia. Sumber api alami antara
lain
adalah kilat, yang menyambar pohon atau
bangunan, letusan gunung berapi yang menyebaran bongkahan barapi dan bergesekan antara ranting tumbuhan kering, karena goyangan
angin yang
menimbulkan panas
atau percikan api. Sedangkan pembakaran adalah
tindakan membakar sesuatu
untuk tujuan tertentu.
Indonesia memiliki hutan tropis
terbesar
di dunia, yang keluaasanya
menempati urutan ke tiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo.
Dengan demikian Indonesia memiliki potensi
sumber daya hutan sangat
besar. Selama 32 tahun pemerintah orde baru menempatkan sector
kehutanana sebagai
andalan perolehan devisa negara ke dua setelah sector migas. Sektor kehutanan juga menyerap bangak tenaga kerja
dan mampu
mendorong terbentuknya sentra-sentar ekonomi dan
membuka keterlisolasian
di beberapa daerah terpencil. Namun, bersamaan dengan itu pula sebagai dampak negatif atas pengelolaan hutan yang eksplitatif
dan
tidak
berpihak pada kepentingan rakyat,
pada akhirnya menyisakan persoalan,
di antaranya kerusakan
hutan yang sangat menghawatirkan.
Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72
% menurut World Resource
Institute. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali
selama
puluhan
tahun dan menyebabkan
terjadinya penyusutan
hutan
tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan
periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode
1997-2000 menjadi 3,8 juta
hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan
tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil
penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan
rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. (badan
Planologi Dephut, 2003). [3]
Setelah
bencana El Nino pada tahun 1997/98 yang menghanguskan 25 juta ektar hutan diseluruh dunia. Kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia pada tahun yang sama bahkan disebutkan sebagai bencana
terburuk tahun 1997 karena dampaknya bagi hutan dan emisi karbon yang
dilepaskan ke udara. Lebih dari 2.67 juta ton karbon dioxide dilepaskan keudara
oleh pembakaran tersebut. Nilainya setara dengan 40 persen dari seluruh
emisi yang ditimbulkan
dari pembakaran bahan bakar
fosil di Indonesia selama setahun.
Bapenas memperkirakan kerugian dari kebakaran
4,5 juta hektar
hutan dan lahan
pada tahun 1997/1998 mencapai angka US$ 9,72 milyar.[4]
Kebakaran
hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi.
Di akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998, saat api membinasakan berjuta-juta hektar
hutan tropika di
Indonesia. Peristiwa kebakaran
yang merusak tersebut mengakibatkan terjadinya lintasan panjang di Pulau
Sumatera dan Kalimantan, berbentuk selimut asap yang tebal dan secara serius
membahayakan kesehatan manusia. Kebakaran ini juga membahayakan keamanan
perjalanan udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di
seluruh kawasan dan menimbulkan banyak keluhan dari Negara tetangga.
Rekor
ini kembali dipecahkan dengan angka yang lebih fantastis, dimana di beberapa
wilayah Indonesia pada 1997/1998 api melalap 11,7 juta hektar hutan yang
menghasilkan selimut tebal asap di Asia Tenggara. Angka ini
pada tahun-tahun berikutnya
menurun walaupun cenderung tidak
terdokumentasi dengan baik, namun
dominasi Indonesia tetap tak tertandingi.
Kebakaran
hutan dan lahan merupakan bukan hal baru terjadi disejumlah daerah di
Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database yang seharusnya
menjadi acuan guna dijadikan pola dalam menganalisa upaya pencegahan yang
dilakukan pada masa mendatang (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan, 2013). Hal tersebut dimaknai sebagai salah satu kapabilitas yang
dijalankan oleh pemerintah,
pola menganalisa merupakan metode untuk mengukur pekerjaan
mereka serta beragam pencegahan yang efektif dibantu track record tersebut.
Database dijadikan pola analisa sekaligus menjadi catatan terhadap kapabilitas
atau kemampuan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah di pusat maupun di
daerah melaksanakan tugasnya, didukung dengan pembagian tugas yang semakin
jelas dan baik
Dalam kertas
posisi yang telah
disampaikan oleh wahana lingkungan hidup (WALHI)
menyebutkan bahwa penyebab kebakaran hutan
yang berakibat pada pencemaran asap dan meningkatnya emisi
karbon disebabkan oleh kebakaran yang dilakukan secara sengaja dan rambatan api
di kawasan/lahan gambut dengan total luas hutan dan lahan yang terbakar dalam
kurun waktu 6 tahun terakhir mencapai
27,612 juta hektar.
Data yang dimiliki
oleh WALHI menunjukkan bahwa
tindakan kesengajaan secara khusus di wilayah Sumatera dan
Kalimantan dipicu oleh
pembakaran lahan untuk perkebunan sawit
dan HTI oleh
perusahaan dan proyek
lahan sejuta hektar yang
berbuntut ekspor asap ke wilayah negara lain, antara lain Malaysia dan
Singapura.[5]
Kebakaran
hutan dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari
masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. Hutan Indonesia sebenarnya masuk
dalam kategori hutan hujan basah yang sebenarnya kecil kemungkinan terjadi
kebakaran dengan sendirinya atau yang
disebabkan karena faktor
alam. Faktanya, kawasan
yang terbakar adalah kawasan yang
telah telah dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu
persiapan pembangunan kawasan perkebunan. Artinya, kebakaran hutan secara nyata
dipicu oleh api yang sengaja dimunculkan.[6]
Pertanyaan
publik nasional dan internasional mengenai keseriusan penegakan hukum baik yang
bersumber pada peraturan perundang- undangan yang ada maupun instrumen
internasional yang telah disepakati oleh Indonesia menjadi pertanyaan serius,
terutama untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, kepentingan menjaga
lingkungan, dan penerapan prinsip zero burning.
Kapabilitas
Pemerintah Daerah Provinsi Riau selama ini tidak luput dari perhatian nasional
maupun negara tetangga, terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
yang menimbulkan dampak kabut asap, yang asapnya dirasakan hingga wilayah negara tetangga (Singapura dan Malaysia)
menimbulkan isu keamanan lingkungan bersifat
lintas batas, serta
dampak asap sampai
pada provinsi tetangga (Kepulauan
Riau, Sumatera Barat
serta Jambi), hal
ini disebabkan oleh faktor dari letak geografis Riau.
Frekuensi
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau hampir setiap tahun, jelas
meresahkan masyarakat karena beragam kerugian dampak dari kabut asap, dari sisi
pemerintahan pada tingkat daerah sudah dalam dua tahun terakhir menyatakan
ketidak mampuan dalam menanggulangi kebakaran, dengan menetapkan status darurat
kabut asap dan memintah bantuan dari Pemerintah Pusat. Kerugian ekonomi,
ekologis serta sosial pun terjadi begitu besar akibat kebakaran karena
menciptakan kabut asap. Pengembangan usaha perkebunan terutama perkebunan
kelapa sawit merupakan
faktor penting dalam
konversi hutan yang berpengaruh pada kebakaran.
Kebakaran
hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi kemungkinan manusia mempunyai
peran dalam memulai kebakaran di milenium terakhir ini, perburuan dan selanjutnya untuk membuka
petak- petak pertanian di dalam hutan. Meskipun kebakaran telah menjadi suatu
ciri hutan-hutan di Indonesia selama beribu-ribu tahun, kebakaran yang terjadi
mula-mula pasti lebih kecil dan lebih tersebar dari segi frekuensi dan waktunya
dibandingkan dua dekade belakangan ini. Oleh karena itu, kebakaran yang
terjadi mula-mula ini
bukan merupakan penyebab deforestasi yang signifikan.
Terlihat
jelas dari kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia adalah hutan, dan
baru pada waktu belakangan ini mengalami deforestasi yang sangat tinggi.
Berbagai proses degradasi hutan dan deforestasi mengubah kawasan hutan yang
luas di Indonesia dari suatu ekosistem yang tahan kebakaran menjadi ekosistem
yang rentan terhadap kebakaran.
Besar
kerugian materil sudah tak terhitung
jumlahnya akibat kebakaran hutan dan asap ini. Mulai dari nilai hutannya
sendiri (kayu, margasatwa dan lingkungan), kerusakan lingkungan, kerusakan
sarana dan prasarana serta harta penduduk yang terkadang ikut terbakar, sampai
kepada biaya yang terjadi karena
gangguan pada trasportasi. Gangguan
transportasi dapat berupa
penundaan penerbangan, keterlambatan karena jarak pandang yang terbatas, atas
lebih celaka lagi kalau terjadi musibah kecelakaan gara-gara asap.
Musibah
ini tidak hanya menimpa negeri yang punya hutan dan asap tersebut, melainkan
juga merambat ke negeri tetangga seperti
Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Sehingga selain negara-negara
tersebut menyumbangkan tenaga dan dana bagi penaggulangan kebakaran hutan dan
asap, mereka juga menyampaikan kritikan pedas bagi
Indonesia.
1. Faktor
Penyebab Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan terjadi karena beberapa factor, yakni oleh
ulah manusia dan faktor alam itu sendiri. Faktor alam biasa terjadi pada musim kemarau ketika cuaca sangat
panas. Namun, sebab utama dari
kebakaran
adalah pembukaan lahan
yang
meliputi ;[7]
a.
Pembakaran lahan yang tidak terkendali sehingga merembet ke lahan lain Pembukaan lahan
tersebut dilaksanakan
baik
oleh masyarakat
maupun perusahaan. Namun bila pembukaan lahan dilaksanakan
dengan
pembakaran dalam
skala besar, kebakaran tersebut sulit terkendali. Pembukaan lahan
dilaksanakan untuk
usaha perkebunan, HTI, pertanian lahan kering,
sonor dan mencari ikan. pembukaan lahan yang paling berbahaya adalah di daerah rawa/gambut.
b.
Penggunaan lahan
yang menjadikan lahan
rawan
kebakaran,
misalnya di
lahan bekas HPH dan
di daerah yang beralang-alang.
c.
Konflik antara pihak pemerintah, perusahaan
dan masyarakat karena status lahan sengketa Perusahaan-perusahaan kelapa sawit
kemudian menyewa
tenaga
kerja dari
luar
untuk
bekerja
dan membakar lahan masyarakat lokal yang
lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan, untuk mengusir masyarakat.
Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi
terdegradasi, dan dengan demikian perusahaan akan lebih mudah dapat mengambil
alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk
asli.
d.
Dalam
beberapa kasus, penduduk
lokal juga melakukan pembakaran untuk memprotes
pengambil-alihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit.
e.
Tingkat
pendapatan masyarakat yang
relatif rendah, sehingga
terpaksa
memilih alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk pembukaan lahan.
f.
Kurangnya
penegakan hukum terhadap
perusahaan yang melanggar
peraturan pembukaan lahan
g.
Pembukaan lahan secara liar baik oleh perorangan
dan perusahaan.
2.
Penyebab kebakaran lain, antara lain:
a.
Sambaran petir pada hutan yang kering karena
musim kemarau yang panjang.
b.
Kecerobohan
manusia antara lain
membuang puntung rokok secara sembarangan dan lupa mematikan
api di perkemahan.
c.
Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar
atau awan panas dari letusan gunung berapi.
d.
Kebakaran
di bawah tanah/ground
fire pada daerah
tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim
kemarau
e.
Hutan-hutan tropis basah yang belum terganggu
umumnya benar- benar tahan terhadap kebakaran dan hanya akan terbakar setelah
periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya, hutan-hutan yang telah
dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan
terhadap kebakaran.
B.
Dampak Kebakaran Hutan
1.
Bencana Ekonomis
Menurut pemerintah, 2,6 juta
hektar lahan dan
hutan telah terbakar antara
bulan Juni dan Oktober
2015,[8]
setara dengan ukuran empat setengah kali
lipat Pulau Bali. Kebakaran yang diakibatkan ulah manusia
tersebut – lebih dari 100.000 kebakaran[9]–
dilakukan untuk mempersiapkan lahan
pertanian dan untuk memperoleh
tanah secara murah.
Dengan tidak diterapkannya pola pembakaran
yang terkendali maupun
penegakan hukum yang memadai,
kebakaran menjadi tidak terkendali, didorong oleh kekeringan dan
diperburuk dengan pengaruh El Niño. Kerugian ekonomi dan lingkungan yang
luas ini berulang setiap tahun. Hanya beberapa ratus bisnis dan beberapa ribu
petani saja yang memperoleh keuntungan
dari praktik-praktik spekulasi tanah
dan perkebunan. Sementara puluhan
juta rakyat Indonesia yang lain menderita kerugian dengan adanya pengeluaran
biaya kesehatan dan gangguan ekonomi. Pada tahun 2015, kerugian bagi negara
Indonesia akibat kebakaran diperkirakan mencapai Rp 221 triliun (16,1 miliar
dolar AS). Biaya tersebut secara regional dan global akan jauh lebih tinggi.
Pemerintah telah berjanji untuk
memprioritaskan pengendalian kebakaran dan Presiden telah menyerukan pengambilan tindakan. Sekarang adalah
waktunya bagi Indonesia untuk mengatasi pendorong utama kebakaran akibat ulah
manusia, menegakkan hukum, dan mengubah kebijakan guna mengurangi risiko
berulangnya bencana ekonomi ini.
Hingga bulan Oktober tahun
2015, masing-masing dari delapan
provinsi mencatat kebakaran dengan luas
melebihi 100.000 hektar. Pulau Sumatera dan Kalimantan – dimana sebagian besar lahan gambut yang rawan di negeri ini
berada – – adalah wilayah yang paling menderita. Provinsi Sumatera Selatan dan
Kalimantan Tengah masing- masing mewakili 23 persen dan 16 persen dari jumlah
luas lahan yang terbakar. Tidak seperti tahun-tahun yang lalu, kebakaran di Papua
meluas hingga 10 persen dari jumlah luas lahan yang terbakar secara nasional.
Ini perkembangan yang sangat menyayangkan karena dibanding propinsi lain, lahan
gambut di Papua masih utuh terjaga di Indonesia.
Pengeringan dan
konversi lahan gambut,
yang terutama didorong oleh produksi minyak kelapa
sawit, berkontribusi terhadap
peningkatan intensitas kabut
asap dari kebakaran. Sekitar 33
persen dari jumlah lahan yang
terbakar merupakan lahan gambut,
yang menyebabkan kabut asap berbahaya yang menyelimuti wilayah Indonesia dan
kawasan sekitarnya, mengganggu perhubungan,
perdagangan, dan pariwisata,
memaksa penutupan sekolah-sekolah, dan
memperburuk kesehatan warga setempat. Kebakaran tahun 2015 itu juga
berkontribusi secara signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) di
Indonesia.
Pembakaran telah lama menjadi
alat pertanian di Indonesia.
Secara tidak resmi, proses pembakaran juga berperan penting dalam pembukaan lahan. Sehingga sementara banyak yang dirugikan akibat meluasnya
kebakaran dan kabut asap, sejumlah pihak
memperoleh keuntungan besar.
Artikel ini menjelaskan, siapa yang untung dan rugi, memperkirakan
kerugian ekonomi dan kerusakan yang
terkait dengan kebakaran dari delapan
provinsi, serta menghubungkannya dengan keuntungan yang diperoleh dari
salah satu sektor pertanian – yaitu kelapa sawit.[10]
Bank Dunia memperkirakan bahwa
kebakaran di Indonesia di tahun 2015 menelan biaya setidaknya Rp 221
triliun (16,1 dolar AS) atau setara dengan 1,9 persen dari PDB tahun 2015. Angka
ini lebih dari dua kali lipat biaya rekonstruksi pasca tsunami Aceh.[11]
Analisis ini memperkirakan dampak terhadap pertanian, kehutanan,
perdagangan, pariwisata, dan
perhubungan. Efek jangka pendek dari
paparan kabut asap terhadap kesehatan dan penutupan sekolah juga disertakan.
Biaya lainnya yang diketahui mencakup biaya terkait lingkungan hidup,
tanggap darurat, dan pemadaman kebakaran. Namun, perkiraan ini belum
sepenuhnya mengidentifikasi dampak kesehatan jangka panjang akibat keterpaparan
yang berkelanjutan terhadap kabut asap, maupun hilangnya semua layanan
ekosistem. Selain itu, perkiraan tersebut
tidak menyertakan kerugian secara regional maupun global.[12]
2.
Bencana Lingkungan Hidup
a.
Emisi Rumah Kaca
Menghitung emisi gas
rumah kaca dari
kebakaran di Indonesia tidak
mudah dan bergantung pada pengukuran jumlah dan
kedalaman lahan gambut yang terbakar.
Sementara semua kebakaran menghasilkan emisi gas rumah kaca, emisi CO2 dari
kebakaran biasanya diimbangi oleh pertumbuhan kembali tanaman pasca kebakaran.
Hal ini tidak terjadi dalam kasus kebakaran lahan gambut, karena api membakar
karbon[13]
yang telah tersimpan selama ribuan tahun dan tidak dapat diganti. Lahan gambut
telah lama menjadi sasaran konversi
lahan – mengeringkan lahan rawa yang
tampaknya tidak produktif dan kemudian membersihkannya dengan dibakar untuk
lahan pertanian. Lahan gambut yang sudah kering akan cepat terbakar dan sulit
untuk dipadamkan.
Karena material organik pembentuknya, gambut menjadi unik. Layaknya
spons, gambut memiliki kemampuan menyimpan air. Kubah gambut (peat dome), yang
ada di pulau-pulau seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua dapat diibaratkan
waduk yang dapat menyimpan jutaan kubik air berasal dari air hujan.
Air tersebut yang kemudian mengalir sepanjang tahun untuk mendukung
kehidupan ekologis, termasuk manusia.[14]
Gambut juga mengatur tata air, rantai air, menjaga kualitas air dan pengendali
banjir.
Eksploitasi gambut berarti mengubah bentang alami yang ada. Gambut
dikeringkan, dengan cara membuat kanal-kanal salurah air yang akan mengeluarkan
air di lahan gambut. Keberadaan kanal
menyebabkan kadar air gambut menurun, akibatnya di bagian atas permukaan gambut
dapat ditanami oleh spesies introduksi pertanian, perkebunanan dan kehutanan
yang sistem perakarannya harus berada di lahan kering.
Akibatnya, ketebalan vertikal area yang dikeringkan tergantung
kepada peruntukan tanaman. Umumnya permukaan lahan gambut yang dikeringkan
antara 40-100 cm. Menurut Kementerian Pertanian, di Indonesia diperkirakan
terdapat 4-6 juta hektar lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya lahan
perkebunan, umumnya berada di wilayah gambut dangkal.
Akan tetapi, ketidak hati-hatian dalam pembukaan lahan dan
pembuatan kanal yang tidak memperhitungkan ketebalan gambut, menyebabkan kubah
gambut terbelah oleh kanal. Alhasil sistem ekologis yang telah ada selama
ribuan tahun berubah. Bahan organik yang ada di dalam gambut menjadi kering dan
mudah terbakar pada saat musim kering.
Secara ilmiah jika dihitung, emisi lahan gambut yang berasal dari
kebakaran lahan (46 persen) yang diikuti oleh oksidasi gambut (25 persen) dan
penghapusan biomassa (mencapai 24 persen) dari deforestasi dan degradasi hutan.
Lahan gambut menyumbang 50 persen emisi gas rumah kaca Indonesia.[15]
Kebanyakan lahan gambut ditemukan di Sumatera, Kalimantan, dan
Papua, tetapi tidak ada peta dasar (baseline)
daerah lahan gambut
yang lengkap dan disepakati.
Dengan mengizinkan pengeringan dan pembakaran lahan gambut,
hal tersebut memiliki konsekuensi perubahan iklim yang signifikan, bahkan
global, serta konsekuensi terhadap kesehatan
dan perekonomian di Indonesia dan
kawasan sekitarnya. Selain berkontribusi secara signifikan terhadap emisi gas
rumah kaca, kebakaran lahan gambut juga memproduksi kabut asap, karena memiliki
kandungan aerosol yang tinggi.
Basis Data Emisi Kebakaran Global versi 4 (Global Fire
Emissions Database version
4, GFED4) memberikan suatu perkiraan
terbaik dampak emisi
gas rumah kaca, walaupun belum
terlalu akurat, akan dampak kebakaran
tahun 2015. Metode ini memperluas perkiraan dari tahun-tahun
sebelumnya berdasarkan pemetaan citra satelit daerah
terbakar dan konsumsi
bahan bakar dan deteksi kebakaran yang sedang
terjadi (aktif).[16]
GFED memperkirakan bahwa pada tahun 2015, kebakaran hutan di Indonesia
menyumbang sekitar 1.750 juta metrik ton setara karbon dioksida (MtCO2e)
terhadap emisi global pada tahun 2015. Sebagai
perbandingan, berdasarkan
Komunikasi Nasional ke-2 dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change),
Indonesia memperkirakan emisinya secara nasional tahunan adalah sebesar 1.800 MtCO2e. Indonesia telah berjanji untuk
mengurangi emisi sebesar 29 persen (atau 41 persen dengan dukungan
keuangan internasional) dibandingkan dengan
skenario seperti biasanya (business
as usual) pada tahun 2030 sebagai bagian dari kontribusinya untuk menjaga
agar peningkatan suhu global tidak melebihi 2 derajat Celsius. Kebakaran
seperti yang terjadi pada tahun 2015 akan membuat sasaran ini tidak mungkin
tercapai.
b.
Dampak Hilangnya Keanekaragaman
Hayati
Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman
hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur
tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan
terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena
itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di
berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga
sulit diperhitungkan.
Hutan alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang
menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung
satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan
permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon
muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah ada sebelumnya.
Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen
dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga komunitasnya yang
kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak.
Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas
permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di
seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan
salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan
hutan hujan tropika yang relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi
pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari
luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 %
dari total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari
total jenis reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis
ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian
dunia internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun
2002/2003, total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi
penutupan lahan, baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan 93,92
juta ha (50 %), Non hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta
ha (6 %). Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi
penutupan lahannya adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non
hutan 39,09 juta ha (29 %) dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN,
2005)
Kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 saja telah
menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan
dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat,
Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu
hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003). Kebakaran hutan setiap tahunnya
telah memberikan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati. Berbagai jenis kayu
kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica),
kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus),
dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa
jenis kayu yang sudah sulit ditemukan di alam. Selain itu, puluhan jenis kayu
kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi
langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan
sifat-sifatnya.
Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada
yang tergolong fast growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi
ada yang termasuk dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan
jangka panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S.
seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka
diperlukan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini perlu dilakukan
agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat kebakaran ataupun
pembakaran hutan.
Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir
dari suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki
kanopi yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan
dari dataran rendah sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan
sub-benua India. Suku Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang
paling berharga di dunia.
Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia
sering mengalami kebakaran baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang
berdampak langsung dengan hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna tertentu.
Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa
spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka
ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang
dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya.[17]
Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan
kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan
dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting.
Dan kini kekayaan tersebut berangsur-angsur hilang akibat ulah lahan gambut
yang terbakar maupun lahan gambut yang berubah fungsi dari wilayah resapan air
menjadi lahan perkebunan.
c.
Dampak Bencana Alam
Dampak utama dari penebangan hutan secara liar adalah banjir dan
tanah longsor. Tanah longsor sering terjadi di Indonesia, diakibatkan
penggundulan hutan bertahun-tahun. Pegiat lingkungan hidup memperingatkan tanah
longsor disebabkan penebangan hutan secara secara eksesif dan gagalnya
penanaman kembali hutan.
Ada dua faktor perubahan kenapa banjir terjadi. Pertama itu
perubahan lingkungan dimana didalamnya ada perubahan iklim, perubahan
geomorfologi, perubahan geologi dan perubahan tata ruang. Dan kedua adalah
faktor dari masyarakat sendiri.
Terjadinya bencana banjir dan tanah longsor menunjukkan peristiwa
yang berkaitan dengan masalah tanah. Hujan dan banjir telah menyebabkan
pengikisan lapisan tanah oleh aliran air yang disebut erosi yang berdampak pada
hilangnya kesuburan tanah serta terkikisnya lapisan tanah dari permukaan bumi.
Banjir akan bisa menjadi lebih besar jika penyimpan air tidak bisa menahan air
limpasan. Hal ini bisa terjadi ketika hutan yang berfungsi sebagai daya simpan
air tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Hutan dapat mengatur fluktuasi
aliaran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi.
Kejadian banjir ini akan menjadi kejadian tahuanan daerah hilir yang rawan
bencana apabila pengelolaan bagian hulu tidak diperbaiki segera, baik melalui
reboisasi / penghijauan dan upaya konservasi tanah.
Akibat penebangan hutan yang luas, jumlah air yang tersedia menjadi
besar karena evapotranspirasi dari tumbuhan menjadi kecil. Namun, ketika turun
hujan, biasanya sebagian besar air hujan akan mengalir di atas permukaan tanah.
Akibatnya, nilai aliran permukaan tanah sangat besar dan mubazir karena air
berlebihan langsung masuk ke sungai dan menimbulkan banjir, terutama apabila
sungainya dangkal akibat pelumpuran dari erosi tanah. Namun, permukaan air
tanah dapat menurun dan pengisian kembali air ke dalam tanah oleh air hujan
sangat sedikit. Karena itu, banyak mata air kering, permukaan air sumur
menurun, dan terjadi kekurangan air terutama pada musim kemarau.
Jika penggundulan hutan dibiarkan terus berlangsung. Banjir dan
tanah longsor akan terjadi silih berganti. Upaya pelestarian lingkungan dapat
dilakukan dengan cara menggalakkan kegiatan menanam pohon atau penghijauan
kembali terhadap tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan atau
pegunungan yang posisi tanahnya miring perlu dibangun tersering atau sengkedan,
sehingga mampu menghambat laju aliran air hujan. Perlu adanya bimbingan dan
penyuluhan kepada penduduk setempat tentang betapa pentingnya keberadaan hutan
bagi kehidupan makhluk hidup. Juga melakukan pembenahan terhadap sistem hukum
yang mengatur tentang pengelolaan hutan menuju sistem hukum yang responsif.
Bencana tanah longsor terjadi disebabkan tidak ada lagi usur yang
menahan lapisan tanah pada tempatnya sehingga menimbulkan kerusakan. Jika
penggundulan hutan dibiarkan terus berlangsung. Banjir dan tanah longsor akan
terjadi silih berganti. Upaya pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan
cara menggalakkan kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali terhadap
tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan atau pegunungan yang posisi
tanahnya miring perlu dibangun tersering atau sengkedan, sehingga mampu
menghambat laju aliran air hujan.
Pada hakekatnya manusia merupakan bagian dari alam. Dalam
melangsungkan kegiatan kehidupan, manusia secara otomatis tidak dapat
melepaskan diri dari ketergantungannya pada lingkungan alam. Dalam hukum
ekologis, setiap gangguan ekosistem akan selalu mengarah pada proses
keseimbangan kembali. Adanya hubungan-hubungan timbal balik antara manusia
sebagai komponen biotik dengan komponen abiotik yang saling berinteraksi dan
saling mempegaruhi akan membentuk sebuah keseimbangan.
Fenomena yang terjadi sekarang ini, kelihatannya pendekatan
lingkungan menjadi semakin terbelakang di tengah derasnya arus pembangunan yang
bergeser kea rah globalisasi. Akibatnya sejumlah dampak yang merugikan muncul
berkaitan dengan system ekonomi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip global
dan sudah pasti, secara keseluruhan korban utama adalah kerusakan lingkungan
melalui eksploitasi sumber daya alam.
Banjir dan tanah longsor akibat dari menurunnya kualitas ekosistem
hanyalah akibat dari perilaku dan hasil kerja manusia dalam memberlakukan dan
mengelolah sumber daya alam dan lingkungan. Banyak perilaku manusia yang hanya
mementingkan diri sendiri untuk memenuhi nafsu perut dan kekuasaan, tanpa
mencoba mengembangkan nalar empati kepada lingkungannya.
d.
Dampak terhadap Harta dan Nyawa
Manusia
Kerugian terhadap harta benda dan nyawa manusia dari peristiwa bencana
alam akibat rusaknya hutan di negeri kita sudah sangat memprihatinkan. Kita
lihat beberapa peristiwa bencana dan kerugian yang dialami baik dari segi harta
benda dan nyawa.
Bencana berskala dahsyat yang melanda Indonesia tak hanya berkutat
pada tiga tersangka utama saja: gempa bumi, tsunami, ataupun gunung meletus.
Selain tiga ancaman tersebut, masih ada satu fenomena alam lain yang jika
dibiarkan dan tak mendapat intervensi menyeluruh akan membawa dampak yang
mematikan pula, yaitu ancaman bencana alam tanah longsor dan kabut asap.
1.
Banjir dan tanah longsor akibat kerusakan
hutan:
1.1. Tanah Longsor Situ Gintung,
Tangerang
Jumat, 27 Maret 2009, tragedi mencekam menyeruak di wilayah
pinggiran kota Jakarta. Situ Gintung yang terletak di Kelurahan Cirendeu,
Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten tiba-tiba Jebol di
waktu subuh. Bencana tersebut menewaskan kurang lebih sekitar 7 orang dan
menenggelamkan ratusan rumah yang berada di sekitarnya. Hasil investigasi Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVG) menjelaskan bahwa bencana
terjadi karena jebolnya tanggil selebar ± 65 meter, yang diikuti oleh gerakan
tanah longsoran pada tanggul dengan panjang antara 3-7 meter, dan lebar antara
3-8 meter. Penyebab jebolnya tanggul secara keseluruhan terjadi karena curah
hujan yang tinggi kala itu, kemudian adanya retakan pada tanggul serta limpahan
air yang melebihi kapasitas. Apalagi ditambah kontur tanah di sekitar kawasan
tersebut yang sangat curam.
1.2.Tanah longsor Bahorok, Sumatera
Utara
Senin, 3 November 2003 silam. Bukit curam yang
berada di sekitar Desa Bukit Selawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara tersapu oleh longsoran tanah yang membawa air bah limpahan
sungai Bahorok. Akibat kejadian ini 90 orang dilaporkan tewas dan ratusan orang
lainnya menderita luka dan hilang terbawa arus banjir. Berdasarkan catatan
kebencanaan dari Walhi, longsor dan banjir bandang Bahorok terjadi akibat
kerusakan hutan karena penebangan liar yang tak terkendali. Kala itu, 170 ribu
hektar taman nasional Gunung Leuser dari luas total 788 ribu hektar rusak parah
akibat penebangan hutan.
1.3.Tanah Longsor Banjarnegara
` Belum hilang dalam ingatan,
bagaimana pertengahan Desember 2026, peristiwa tanah longsor dahsyat menghantam
Dusun Jemblung, Desa Sampang, Banjarnegara. Jumat sore (12/12) menjelang
maghrib, hujan belum sempat menampakkan redanya. Dalam waktu kurang dari lima
menit, tanah longsor mematikan menimbun 105 rumah warga di tiga desa sekaligus.
Akibatnya fatal, seratus lebih korban jiwa melayang tertimbun longsoran tanah.
Tebing setinggi 100 meter di Desa Sampang, Karangkobar, Banjarnegara tersebut
memang mulanya diklasifikasikan sebagai daerah longsor berpotensi sedang dan
tinggi. Catatan penulis menunjukkan bahwa tanah longsor Banjarnegara terjadi
akibat material penyusun bukit Tegallele yang merupakan endapan vulkanik tua
dan lapuk. Ditambah hujan deras yang tak berhenti mengguyur sejak dua hari
sebelumnya menyebabkan tanah jenuh terhadap air. (IJL)[18]
1.4. Banjir Kabupaten Garut Jawa barat
Banjir menerjang tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, Jawa Barat 22
September 2016. Bencana yang menewaskan sedikitnya 23 orang itu meluluhlantakkan
ratusan rumah dan fasilitas umum, Selasa (20/9). Selain akibat faktor cuaca,
banjir terjadi karena maraknya penggundulan hutan. [19]
1.5. Bencana banjir Aceh
Bencana banjir bandang yang terjadi sehari menjelang hari raya
Idulfitri 1433 H itu mengakibatkan 6 orang meninggal dunia, 4 hilang, 37 unit
rumah warga rusak parah dan tiga rusak ringan, 7 jembatan hancur serta 3
kilometer jalan mengalami rusak berat akibat longsor. Kapolda dengan tegas
menyatakan, praktik pembalakan liar telah berdampak besar terhadap kesengsaraan
masyarakat setempat, sehingga kepolisian tidak bisa mentoleransinya lagi.
“Tidak ada toleransi, siapapun pelakunya akan kita tindak tegas,” ujar Kapolda.
[20]
2.
Bahaya Kabut Asap
Kabut asap menjadi masalah bagi banyak kota di
dunia dan terus mengancam lingkungan. Menurut EPA U.S., udara dalam status
bahaya karena problem kabut jika telah melewati batas 80 bagian persejuta
(parts per billion) (ppb) atau 0.5 ppm ozone (komponen utama asbut) [1],
melebihi dari 53 ppb nitrogen dioksida atau 80 ppb partikel. Kabut asap dalam
keadaan berat merusak dan bahkan menyebabkan masalah pernapasan bagi manusia,
termasuk penyakit emphysema, bronchitis, dan asma. Kejadian klinis sering
terjadi saat konsentrasi ozone levels sedang tinggi.
Zat-zat yang terkandung dalam asap kabut ini
antara lain:
a. Sulfur Dioksida
Pencemaran oleh sulfur dioksida terutama
disebabkan oleh dua komponen sulfur bentuk gas yang tidak berwarna, yaitu
sulfur dioksida(SO2) dan Sulfur Trioksida (SO3), dan keduanya disebut Sulfur
Oksida (SOx)
Sumber dan distribusi dari Sulfur Dioksida ini
adalah berasal dari pembakaran arang,minyak bakar gas,kayu dan sebagainya.
Sumber yang lainnya adalah dari proses-proses industri seperti pemurnian petroleum,industri
asam sulfat, industri peleburan baja, dan sebagainya.
Pengaruh utama polutan Sox terhadap manusia
adalah iritasi sistem pernafasan terutama pada tenggorokan yang terjadi pada
beberapa individu yang sensitif iritasi. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya
bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami
penyakit kronis pada sistem pernafasan kadiovaskular.
Pencegahan dari Sulfur dioksida antara lain
dengan :
o
Merawat
mesin kendaraan bermotor agar tetap berfungsi dengan baik
o
Memasang
filter pada knalpot
o
Memasang
scruber pada cerobong asap
o
Merawat
mesin industri agar tetap baik dan melakukan pengujian secara berkala
o
Menggunakan
bahan bakar minyak atau batu bara dengan kadar sulfur yang rendah, dll.
b. Carbon Monoksida (CO)
Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk
senyawa karbon monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan
karbondioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida di
lingkungan dapat terbentuk secara alamiah, tetapi sumber utamanya adalah dari
kegiatan manusia, Karbon monoksida yang berasal dari alam termasuk dari
larutan, oksida metal dari atmosfer, pegunungan, kebakaran hutan, dan badai
listrik alam.
Dampak karbon monoksida bagi kesehatan adalah
penguraian HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel
pigmen tersebut dalam fungsinya membawa oksigen ke seluruh tubuh. Kondisi
seperti ini dapat berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan
keracunan. Dampak keracunan CO berbhaya bagi orang yang telah menderita
gangguan otot jantung.
c. Nitrogen Dioksida
Oksigen Nitrogen (NOx) adalah kelompok gas yang
terdapat di atmosfer yang terdiri dari Nitrogen monoksida (NO) dan Nitrogen
Dioksida (NO2).
Sumber utama Nox yang diproduksi oleh manusia
adalah dari pembakaran dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan
bermotor, produksi energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NOx
buatan manusia berasal dari pembakaran arang, minyak, gas dan bensin.
Dampak Nitrogen Dioksida terhadap kesehatan
adalah NO2 bersifat racun terutama terhadap paru-paru. Kadar NO2 yang lebih
tinggi dari 100 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang dan 90% dari
kematian tersebut disebabkan oleh gejala pembengkakan paru-paru (edema
pulmonari).
d. Oksidan
Oksidan (O3) merupakan senyawa di udara selain
oksigen yang memiliki sifat sebagai pengoksidasi. Oksidasi adalah komponen
atmosfer yang diproses oleh proses fotokimia, yaitu suatu proses kimia yang
membutuhkan sinar matahari mengoksidasi komponen-komponen yang tak segera dioksidasi
oleh oksigen.
Oksidan terdiri dari Ozon, Peroksiasetilnitrat,
dan Hidrogen Peroksida. Dampak dari O3 bagi kesehatan adalah Beberapa gejala
yang dapat diamati pada manusia yang diberi perlakuan kontak dengan ozon,
sampai dengan kadar 0,2 ppm tidak ditemukan pengaruh apapun, pada kadar 0,3 ppm
mulai terjadi iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan Ozon pada
kadar 1,0–3,0 ppm selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat
mengakibatkan pusing berat dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang,
kontak dengan ozon dengan kadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan
mengakibatkan edema pulmonari.
Pada kadar di udara ambien yang normal,
peroksiasetilnitrat (PAN) dan Peroksiabenzoilnitrat (PbzN) mungkin
menyebabkaniritasi mata tetapi tidak berbahaya bagi kesehatan.
Peroksibenzoilnitrat (PbzN) lebih cepat menyebabkan iritasi mata.
e. Hidrokarbon
Hidrokarbon adalah bahan pencemar udara yang
dapat berbentuk gas, cairan maupun padatan. Semakin tinggi jumlah atom karbon,
unsur ini akan cenderung berbentuk padatan. Sebagai bahan pencemar udara,
Hidrokarbon dapat berasal dari proses industri yang diemisikan ke udara dan
kemudian merupakan sumber fotokimia dari ozon. Kegiatan industri yang
berpotensi menimbulkan cemaran dalam bentuk HC adalah industri plastik, resin,
pigmen, zat warna, pestisida dan pemrosesan karet. Diperkirakan emisi industri
sebesar 10 % berupa HC.
Pengaruh hidrokarbon pada kesehatan manusia
dapat terlihat pada tabel dibawah ini.
Jenis Hidrokarbon
|
Kosentrasi (ppm)
|
Dampak Kesehatan
|
Benzene
(C6H6)
|
100
|
Iritasi
membran mukosa
|
3.000
|
Lemas
setelah setengah sampai satu jam
|
|
7.500
|
Pengaruh
sangat brbahaya setelah pemaparan satu jam
|
|
20.000
|
Kematian
setelah pemaparan 5-10 menit
|
|
Toluena
(C7H8)
|
200
|
Pusing,
lemah , dan bekunang-kunang setelahpemaparan 8 jam
|
600
|
Kehiulangan
koordinasi bola mata terbalik setelah pemaparan 8 jam
|
Gas Khlorin ( Cl2) adalah gas berwarna hijau
dengan bau sangat menyengat. Berat jenis gas khlorin 2,47 kali berat udara dan
20 kali berat gas hidrogen khlorida yang toksik. Gas khlorin sangat terkenal
sebagai gas beracun yang digunakan pada perang dunia ke-1.
Karena banyaknya penggunaan senyawa khlor di
lapangan atau dalam industri dalam dosis berlebihan seringkali terjadi
pelepasan gas khlorin akibat penggunaan yang kurang efektif. Hal ini dapat
menyebabkan terdapatnya gas pencemar khlorin dalam kadar tinggi di udara.
Selain bau yang menyengat gas khlorin dapat
menyebabkan iritasi pada mata saluran pernafasan. Apabila gas khlorin masuk
dalam jaringan paru-paru dan bereaksi dengan ion hidrogen akan dapat membentuk
asam khlorida yang bersifat sangat korosif dan menyebabkan iritasi dan
peradangan.
f. Partikel Debu
Partikulat debu melayang (Suspended Particulate
Matter/SPM) merupakan campuran yang sangat rumit dari berbagai senyawa organik
dan anorganik yang terbesar di udara dengan diameter yang sangat kecil, mulai
dari dampak partikel debu terhadap kesehatan dapat mengganggu saluran
pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Selain dapat berpengaruh
negatif terhadap kesehatan, partikel debu juga dapat mengganggu daya tembus
pandang mata dan juga mengadakan berbagai reaksi kimia di udara.
g. Timah Hitam
Timah hitam ( Pb ) merupakan logam lunak yang
berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5°C
dan titik didih 1.740°C pada tekanan atmosfer.Gangguan kesehatan adalah akibat
bereaksinya Pb dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan
pengendapan protein dan menghambat pembuatan haemoglobin, Gejala keracunan akut
didapati bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut
muntah atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu
makan, konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, Kejang
dan gangguan penglihatan.Dampak kabut asap sangat berbahaya bagi kita semua, karena dapat
mengganggu sistem pernapasan dan jantung kronis. [21]
Selain itu kabut asap juga sangat berbahaya bagi lalu lintas. Baik
lalu lintas darat, sungai maupun udara. Karena tebalnya kabut asap membuat
jarak pandang hanya beberapa meter saja.
Hal ini bisa saja dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Contohnya sudah banyak sekali kapal-kapal laut yang bertabrakan, bahkan pesawat
membatalkan penerbangan dan membatalkan lepas landas.
Namun proses pembentukannya tergantung pada cukup tidaknya inti
kondensasi yang tersedia. Kabut asap juga dapat disebabkan oleh kebakaran hutan
dan lahan karena campur tangan manusia di dalamnya.
Ditambah lagi dengan belum turunnya hujan yang membuat keadaan
semakin parah. bahkan sekolah-sekolah pun banyak yang diliburkan. Sedangkan
ketika tidak terlalu parah anak-anak mulai masuk sekolah kembali akan tetapi
jam masuk anak sekolah di mundurkan satu jam. Ketika di pagi hari kabut asap
menjadi sangat tebal sekali.
Banyak upaya yang dilakukan tapi, masih belum berhasil. Upaya yang
dilakukan yaitu berupa menyiram dengan air dan membuat hujan buatan.
Jadi, pengertian kabut asap adalah Halimun butir-butir air nya
lebih besar dari 0,1 milimeter. Kabut asap terbentuk karena kelembaban relatif
udara mencapai 100 persen dan perkembangannya tergantung dengan inti kondensasi
yang tersedia.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengakui bahwa jumlah
korban jiwa dalam musibah kabut asap yang menyelimuti Indonesia telah meningkat
menjadi 19 orang. Lima korban berasal dari Sumatera Selatan, lima dari
Kalimantan Tengah, lima orang dari Jambi, tiga dari Kalimantan Selatan dan satu
orang dari Riau.[22]
Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengumumkan bahwa
terdapat sepuluh orang korban jiwa akibat menghirup asap. Namun jumlah korban
jiwa terus meningkat.
DIperkirakan sebanyak setengah juta orang telah menderita Infeksi
Saluran Pernapasan Akut sejak pertama kali munculnya kebakaran hutan pada bulan
Juli lalu.
Para korban berasal dari Sumatera dan Kalimantan, di mana diduga
banyak lahan yang sengaja dibakar untuk mengosongkan area tersebut dengan biaya
yang murah. Para ahli menilai bahwa bencana kabut asap tahun ini merupakan yang
terburuk dalam sejarah, diperparah dengan adanya fenomena El Nino yang membawa
angin panas.[23]
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Andra Sjafril mengatakan
sebanyak 66.234 jiwa diantaranya terkena penyakit indeks saluran pernafasan
akut (ISPA), 1.076 jiwa terjangkit pneunomoa, 3.073 terjangkit asma, 3.693 jiwa
terkena penyakit mata dan 4.857 jiwa terkena penyakit kulit.[24]
Tabel 1. Berbagai dampak kesehatan
akibat terpajan kabut yang terkait dengan kebakaran
hutan di 8 Provinsi di Indonesia, September - November 19971[25]
|
Dampak kesehatan
|
jumlah kasus
|
Kematian Asma Bronkitis
Infeksi saluran napas akut
Kendala melakukan kegiatan setiap hari Peningkatan perawatan pasien rawat jalan Peningkatan perawatan pasien rawat inap Kehilangan hari kerja
|
527
298.125
58.095
1.446.120
4.758.600
36.462
15.822
2.446.352
|
polutan
|
Mekanisme
|
Efek potensial pada kesehatan
|
Partikulat (partikel kecil
< 10 μ, diameter aero dinamik <
2.5 μ
|
•
Akut: iritasi bronkus, inflamasi
dan reaktivitas meningkat
• Berkurangnya bersihan mukosilier
•
Mengurangi respons makrofag dan imunitas lokal
• Reaksi fibrotik
|
• Mengi, asma eksaserbasi
• Infeksi saluran napas
• Bronkitis
kronik dan PPOK
• PPOK
eksaserbasi
|
Karbon monoksida
|
•
Berikatan dengan hemoglobin menghasilkan karboksi hemoglo- bin yang dapat mengurangi trans- port oksigen ke organ vital dan menyebabkan gangguan janin
|
• Berat badan
bayi lahir rendah
•
Meningkatnya kasus
kematian perinatal
|
Hidrokarbon aromatik
polisiklik
(benzo-alpyrene)
|
Karsinogenik
|
• Kanker paru
• Kanker mulut, nasofaring dan laring
|
Nitrogen dioksida
|
•
Pajanan akut menyebabkan reaktivitas bronkus
•
Pajanan kronik dapat mening-
katkan kerentanan
infeksi bakteri dan virus
|
• Mengi, asma eksaserbasi
• Infeksi saluran napas
• Berkurangnya fungsi
paru anak
|
Sulfur dioksida
|
•
Pajanan akut menyebabkan reaktivitas bronkus
•
Pajanan kronik sulit untuk
memis- ahkan efek partikel
|
• Mengi, asma eksaserbasi
• PPOK
eksaserbasi
• Penyakit kardiovaskuler
|
Kondesat asap biomass, termasuk hidrokarbon aromatik polisiklik dan ion metal
|
•
Absorpsi racun ke dalam lensa
se- hingga terjadi
perubahan oksidatif
|
• Katarak
|
Tabel 2. Pengaruh polutan
asap kebakaran pada sistem pernapasan dan organ lain[26]
Kebanyakan orang dewasa sehat dan anak- anak akan sembuh dengan
cepat dari pa- janan asap dan tidak akan mendapat efek jangka panjang. Namun,
populasi sensitif tertentu dapat mengalami gejala kronik yang lebih berat.
Bahan yang terkandung dalam asap kebakaran hutan dapat meng- iritasi mukosa
serta mencetuskan gang- guan pernapasan
akut dan kronik seperti asma, bronkitis, penurunan faal paru, kan- ker sampai
kematian. Gangguan fungsi makrofag,
peningkatan kadar albumin dan laktosa dehidrogenase yang menunjukkan kerusakan
membran sel serta kerusakan sel epitel dapat ditemukan akibat pajanan asap
kebakaran hutan. Bahkan kondisi kronik
terpajan polusi udara beracun de- ngan konsentrasi tinggi sedikit
meningkat- kan risiko kanker.[27]
C.
Apresiasi Islam terhadap Memproduktifkan
Hutan dan lahan (Ihya’ al-Mawat)
1.
Pengertian Ihya’ al-Mawat
Ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata,
bila diterjemahkan secara literer ihya’ berarti menghidupkan dan mawat
berasal dari maut berarti mati atau wafat. Ihya’ al-mawat menurut
bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. "Bringing to Life" means putting a piece
of land to use by an individual and acquiring proprietary rights over it[28]. Dengan kata lain,
menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun, yang bisa
menjadikan tanah tersebut hidup[29] yakni dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti
usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.
The
Majelle mendefinisikan al-mawat sebagai "Those lands which are not mulk
property of anyone... the localities (of which)... are far from the distant
parts of the village or town, that the sound of a person who has a loud voice
cannot be heard from the houses which are in the extreme limit of the town or
village.” [30]
Secara terminologi, ada beberapa pengertian yang
dikemukakan para ulama’ fiqh tentang ihya’ al-mawat :
a. Menurut Ulama’ Hanafiyah adalah
اصلاح الارض لايملكها ولاينفع بها احد وتعذر زرعها
لانقطاع الماء عنها من العامر
Artinya: Penggarapan lahan yang belun
dimiliki dan digarap orang lain karena ketiadaan irigasi serta jauh
dari pemukiman.
b. Menurut ulama’
Malikiyah adalah:
ما سلم عن اختصاص باحياء (اى بسبب احياء ه بشيئ) او بسبب
كونه حريم عمارة كمحتطب او مرعى لبلد
Artinya: Tanah atau lahan yang selamat dari
pengelolahan (sebab mengelola lahan itu dengan sesuatu), atau sebab
adanya penghalang untuk mengelola lahan tersebut.
c.
Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض ما لم يكون عامرا ولا
حريما لعامر قريب من العامراو بعد
Artinya: Penggarapan tanah atau lahan yang belum
digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat.
d.
Menurut ulama’ Hanabilah adalah:
الارض التى
ليس لها مالك ولابها ماء ولا عمارة ولا ينفع بها
Aritnya: Lahan atau tanah yang tidak ada pemiliknya,
tidak ada airnya (gersang), tidak dikelola, serta tidak dimanfaatkan oleh orang
lain.
Dalam kitab Fiqh Sunnah karya
Sayid Sabiq tertulis: [31]
احياء الموات معناه إعداد الأرض الميتة التى لم يسبق
تعميرها و ﺗﻬﯿﺌﲥﺎ و جعلها صالحة للإنتفاع بها فى السكنى
و الزرع و نحو ذلك.
Dari pengertian di atas jika diperluas maknanya
menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang
belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik
sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan. Pengertian tersebut
mengisyaratkan bahwa yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki sebidang
tanah, manakala tanah itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki seseorang.
Al-Quran tidak memberikan penjelasan tentang ihya’
al-mawat secara jelas dan rinci. Secara umum al-Quran menganjurkan setiap
muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka
menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai
dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani
maka bercocok tanam di lahannya. Sebagaimana firman Allah dalam surah
al-Jummu’ah:
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ
فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ
كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠ [32]
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Dalam hal menghidupkan lahan yang kosong sangat
dianjurkan dalam Islam karena menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak
produktifitas masyarakat semakin meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat diatas
menganjurkan untuk memberdayakan diri
dan lingkungan tentunya ini termasuk pada aktifitas pemberdayaan sumberdaya
alam dengan menghidupkan lahan kosong.
2. Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’
al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang
mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah
SWT. Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah
jaiz (boleh) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim
dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain[33].
Hadits yang berkenaan dengan ihya’ al-mawat adalah
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ
لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ عَمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا (رواه
البخارى) [34]
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musa bin
Daud, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Abi Al-Aswad
dari 'Urwah dari Aisyah berkata: Rasulullah Shallalahu'alaihiwasallam pernah
bersabda: "Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang belum ada seorangpun
yang memilikinya maka dia lebih berhak dengan kepemilikannya." (H.R
Bukhari)
Pada riwayat yang lain dinyatakan bahwa siapa saja
yang mengolah lahan mati dan terbengkalai maka lahat tersebut menjadi miliknya.
Sebagaimana yang diriwayatkan oelh Jabir:
عن جابر رضى الله, ان النبي صلى الله عليه وسلم, قال من
أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد والترمذى) [35]
Artinya: Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW.
bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut
beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)
Wahbah menjelaskan bahwa hadits di atas menunjukkan
kebolehan menghidupkan tanah mati yang tidak ada pemiliknya, dan tidak sedang
dimanfaatkan orang lain. Dengan demikian siapapun boleh menghidupkannya dengan
menyiram, mengolah, dan menanamnya, atau mendirikan bangunan di atasnya, atau
membuat pagar di sekitar tanah tersebut. Hadits ini juga menjelaskan bahwa
syara’ mendorong untuk menghidupkan lahan tidur karena manusia sangat
membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian, perindustrian, dan lapangan
perekonomian lainnya[36].
Dalam
hadits tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal
apa saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk
dihidupkan, dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam
untuk menjadikan lahan kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang
diturunkan Allah SWT. dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan
dan kemaslahatan umat manusia[37]
Dalam hal ini tidak ada bedanya seorang Muslim dengan
kafir dzimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintahan Islam) karena hadits-hadits
tersebut bersifat mutlak. Lagi pula, harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi
menjadi miliknya dan tidak bisa dicabut darinya. Ketentuan ini berlaku umum.
Hanya saja, kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus
dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus-menerus
dihidupkan dengan cara digarap/dimanfaatkan. Abu Yusuf dalam al-Kharaj
menuturkan riwayat dari Said bin al-Musayyab. Disebutkan bahwa Khalifah Umar
bin al-Khaththab pernah berkata:
و ليس لمحتجر حق بعد
ثلاث سنين”Orang yang memagari tanah (lalu
membiarkan begitu saja tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga
tahun.” [38]
3. Cara-cara Ihya’
Al-Mawat
Menurut Hafidz Abdullah
dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau dapat juga disebut
dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara
ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun cara ihya’ al-mawat
adalah sebagai berikut[39]:
a)
Menyuburkan, cara ini
digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat
tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk
kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai
dengan yang diharapkan;
b)
Menanam, cara ini
dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh
tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai
atau telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik
tanaman untuk makanan pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara
khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c)
Menggarisi atau membuat
pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin
untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus
membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d)
Menggali parit, yaitu
membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang
mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup
jalan bagi orang lain untuk menguasainya.
4. Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun obyek yang
berkaitan dengan ihya al-mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati,
bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa
dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam
(khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun
hanya mubah bagi imam. "Nothing
is lawful to any person but what is permitted by the Imam.”
[40] Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara.
Hal itu ditunjukkan
oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada
Rasulullah SAW, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut
diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara
menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda
yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut
bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul SAW. agar memberikannya[41].
Tidak semua lahan
kosong yang boleh dijadikan obyek ihya’ al-mawat. Menurut Ibn Qudamah,
lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada
pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang
menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada
pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat
dan lain sebagainya[42].
5. Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad
Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya
boleh dengan adanya dua syarat yaitu: [43]
a.
Bahwa yang menghidupkan
itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam
(pemuka) mengizinkan atau tidak.
b.
Bumi yang
mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang memilikinya dan menurut
keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.
Hafidz
Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat barang siapa boleh
memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat)
dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki tanah kosong
dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh memilikinya di negara
musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan
tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan
menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas-bekas pemilikan,
tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri Islam maka
tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada di
negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan
tidak boleh[44].
Para ulama Fiqh
menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi
syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah[45]:
a.
Pemilikan lahan
itu.
Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap
sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan,
Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan bahwa status
orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak
milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang
dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
b.
Hubungan pemerintah
dengan lahan itu.
Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh
mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim.
Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil
pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila yang menggarap lahan itu
seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10% dari hasil
lahan garapan itu.
c.
Seorang telah menggarap
sebidang lahan
Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu
untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk
keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum
boleh.
6. Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup
tiga hal, yaitu[46] : orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
a.
Syarat yang terkait dengan orang yang
menggarap
Menurut Ulama’
Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap
lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau
orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak
milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai
orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu
datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu
dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak
boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap
lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya
antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong.
Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawat
merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan
antara muslim dan non-muslim.
b.
Syarat yang terkait
dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi
jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di
negara islam maupun bukan, bukan lahan yang dimilki seseorang, baik
muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu
perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak
warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
c.
Syarat yang terkait
dengan penggarapan lahan
Menurut Imam Abu
Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak
mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu,
menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka
menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari
pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah,
Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh
Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat
jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena
harta seperti itu adalah harta yang boleh dimilki setiap orang, dan
hadis-hadis Rasulullah SAW, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak
pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari
pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.
7. Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda
pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib
diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis
menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa
(pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan
mengenai hal tersebut[47]. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan
(tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk
ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin
dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya
untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi
normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh
tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif
di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah
kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang
menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah
tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan
area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut
berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari
perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis
menjadi milik orang yang pertama membukanya.
Pada masa Rasulullah
keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa yang
membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah
memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan
dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena
itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa).
Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu
merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya,
kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu
kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para
fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya. Yahya
meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Hak kepemilikan pertama atas tanah
adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan
setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”
[48]. Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian
utama kebijakan keuangan Islam awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah
kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah
tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia
memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya
untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau membangunnya untuk
kepentingannya[49].
Dari uraian di atas
jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki
tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati.
Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara
dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak
tanah.
Di Indonesia kewenangan
untuk membuka lahan tidur diberikan kepada setiap individu atau badan hukum
selama pembukaan lahan tersebut mendapatkan izin dari penguasa setempat baik
dari camat, bupati, atau gubernur ditingkat propinsi. Untuk tanah yang
berukuran luas, maka harus mendapatkan izin langsung dari Badan pertanahan
Nasional. Untuk lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak dan kebutuhan
masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut, maka dalam hukum Islam lahan
seperti ini tidak boleh dihidupkan untuk dimiliki.
Hal yang sama juga
dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang berfungsi sosial
tidak dapat dimiliki oleh siapa pun selama tanah itu masih difungsikan
untuk kebutuhan sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak mengenal kepemilikan
tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam masyarakat adat yang disebut
dengan hak ulayat[50]. Kepemilikan tanah dalam Islam lebih cenderung bersifat individual. UUPA
sebenarnya lebih cenderung mengarahkan kepemilikan tanah yang bersifat kolektif
tersebut semakin dikurangi, oleh karena itulah pemerintah menganjurkan
pemerintah lokal untuk tidak menghidup-hidupkan kembali kepemilikan tanah
bersifat kolektif tersebut (tanah ulayat).
Untuk pembukaan lahan
baru yang belum pernah dimiliki seseorang atau badan hukum, maka kewenangan
untuk membuka lahan baru tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja akan tetapi
harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat yaitu kepada Gubernur untuk
tingkat propinsi, Wali Kotamadya/Bupati untuk tingkat Kotamadya/Kabupaten, dan
Camat Kepala Wilayah untuk tingkat kecamatan[51].
8. Ihya’
Al-Mawat
Dalam Masalah Pertanian
Dalam masalah produksi, termasuk di bidang
pertanian, Islam tidak menyinggung masalah bagaimana tatacara memproduksi
kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan kekayaan. Telah
diriwayatkan, bahwa Nabi SAW. pernah bersabda adalah masalah penyerbukan kurma,
“Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan) dunia kalian.” Juga terdapat
riwayat, bahwa Nabi SAW. pernah mengutus dua orang Muslim untuk berangkat ke
pandai besi Yaman demi mempelajari industri persenjataan. Semua ini
menunjukkan, bahwa syariah telah menyerahkan masalah memproduksi harta kekayaan
tersebut kepada manusia, agar mereka memproduksinya sesuai dengan keahlian dan
pengetahuan mereka.
Demikian pula dalam bidang pertanian. Pilihan
tatacara pengadaan dan peningkatan produksi pertanian merupakan hal yang mubah
untuk ditempuh. Hanya saja, pilihan cara peningkatan produksi itu harus
dijaga dari unsur dominasi dan dikte asing, serta pilihan yang mempertimbangkan
kelestarian lingkungan ke depan. Untuk itu peningkatan produksi dalam
pertanian biasanya menempuh dua jalan, intensifikasi dan
ekstensifikasi, sebagaimana telah diujelaskan sebelumnya.
Intensifikasi pertanian dicapai dengan
meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan
intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di
kalangan para petani; membantu petani dalam hal pengadaan mesin-mesin
pertanian, benih unggul, pupuk serta sarana produksi pertanian lainnya.
Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang
digunakan berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri
pertanian asing. Dengan begitu intervensi dalam pengelolaan pertanian negara
oleh pihak asing dapat dihindarkan.
Adapun ekstensifikasi pertanian dicapai dengan[52]:
Pertama, mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah
mati. Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan
pasang surut dan sebagainya, sesuai dengan pengaturan negara. Tanah mati adalah
tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang serta tidak tampak ada
bekas-bekas apa pun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain.
Menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) artinya mengelola tanah atau
menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah mati, jika
telah telah dihidupkan oleh seseorang, menjadi milik yang bersangkutan. Syariah
telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya.
Kedua, setiap orang yang memiliki tanah
diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Siapa saja yang
membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi modal dari Baitul Mal sehingga orang
yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal. Namun, apabila
orang yang bersangkutan mengabaikan tanahnya selama tiga tahun, maka tanah
tersebut akan diambil dan diberikan kepada yang lain.
Kebijakan Islam dalam distribusi lahan
pertanian tentu amat erat kaitannya dengan tanah. Tanah merupakan faktor
produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling serius para ahli
ekonomi, karena sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh faktor produksi
lainnya. Sifat itu antara lain tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan
permanen manusia, tanah kuantitasnya terbatas dan tanah bersifat tetap.
Sifat lainnya adalah tanah bukan produk tenaga kerja. Segala sesuatu yang lain
adalah produk tenaga kerja kecuali tanah. Di dalam masyarakat, permasalahan
tanah juga telah menjadi penyebab pertentangan, pertikaian dan pertumpahan
darah. Tanah juga memberikan andil besar dalam perubahan struktur dan sistem
masyarakat. Sistem ekonomi Kapitalisme maupun Sosialisme dalam hal ini sedikit
banyak dipicu karena kecemburuan sosial terhadap orang-orang yang memiliki
tanah karena hak-hak istimewa dan menjadikannya sebagai alat eksploitasi
masyarakat.
Dari sudut sejarah, status kepemilikan tanah
terus berkembang mengikuti kompleksitas masyarakat. Pada masa kehidupan berburu
dan meramu, kepemilikan atas tanah bukanlah termasuk raison d’etre oleh
masyarakat saat itu. Ketika masyarakat mulai memasuki tahap awal dunia
pertanian, kepemilikan atas tanah mulai melembaga. Namun, tipe perladangan
berpindah yang diterapkan masyarakat primitif waktu itu belum menimbulkan
masalah dalam kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah saat itu dianggap sebagai
kepemilkan sementara karena mereka meninggalkan tanahnya setelah selesai
dipergunakan. Baru pada tahap pertanian menetap dan populasi masyarakat semakin
bertambah, masyarakat mulai mencintai tanah dan berusaha menguasai tanah secara
permanen. Pada periode ini, meski masih dianggap sebagai milik masyarakat,
tanah dibagi sama rata pada kepala keluarga dan berlaku untuk jangka waktu
tertentu. Lalu datanglah suatu masa ketika pembagian secara periodik tidak
dipakai lagi. Mereka yang telah mengolah tanahnya tidak mau tunduk lagi pada
tujuan komunitas. Mereka mempertahankan tanah garapannya dan memunculkan
lembaga kepemilikan keluarga. Sistem ini terus berkembang menjadi kepemilikan
bebas. Tidak hanya bebas untuk memiliki, namun juga bebas untuk
memindahtangankan kepemilikan kepada pihak lain.
Pemilikan tanah dianggap suatu tipe kepemilikan
yang par excellence (paling istimewa) di negara-negara kapitalis. Tanah
boleh dimiliki oleh individu seluas-luasnya, bahkan menyewakannya kepada
masyarakat dengan harga sewa dan harga jual yang dilakukan sewenang-wenang.
Akibatnya cukup serius, harga bahan pokok naik dan inflasi terjadi. Bagi
negara, tanah menjadi lahan subur bagi perolehan pajak. Konsekuensinya, dalam
sistem kapitalis, penyewaan tanah akan memberikan nilai tambah dan karena itu
dapat dikenakan pajak tinggi. Namun, pemilikan atas secara individual justru
tidak diakui dalam masyarakat sosialis. Para petani dan kaum buruh dilarang
mengambil nilai tambah dari hasil kerjanya. Status mereka pun semata-mata
sebagai buruh tani. Sistem ini secara faktual menimbulkan ketimpangan ekonomi
dan menjadikan negara-negara sosialis gagal mencapai swasembada pangan pada
pertengahan abad kedua puluh. Mereka masih bergantung pada negara lain untuk
memenuhi kebutuhan pangannya.
Hingga kini persoalan kepemilikan dan
penguasaan tanah masih menjadi agenda utama perekonomian. Persoalan tentang
kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab oleh ekonomi kapitalis dan
sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu dijawab oleh sistem ekonomi
Islam. Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur
sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi. Islam secara tegas
menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di antara seluruh
masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun demikian,
Islam juga tidak mengizinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di
luar kemampuan untuk mengelolanya. Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk
dalam kategori kepemilikan individu apabila tidak ada unsur-unsur yang
menghalanginya, seperti terdapat kandungan bahan tambang atau dikuasai oleh
negara. Ketika kepemilikan ini dianggap absah secara syariah, maka pemilik
tanah memiliki hak untuk mengelola tanahnya maupun memindahtangankan tanahnya
melalui pewarisan, jual-beli, hibah, wakaf, ihya’ al-mawat, tahjir, dan iqtha’.
Salah satu masalah dalam pertanian di Indonesia
adalah masalah lahan pertanian. Menurut Anton
Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia. Dua diantaranya
adalah luas kepemilikan lahan petani sempit sehingga sulit menyangga kehidupan
keluarga petani, dan masih banyaknya lahan tidur (idle land). Sebagai contoh,
data menunjukkan umumnya para petani Indonesia tergolong petani gurem dengan luas
garapan kurang dari 1 ha. Menurut hasil sensus 1983, petani Indonesia rata-rata
memiliki lahan 0,98 ha/petani. Namun, menurut sensus 2003 petani Indonesia
hanya memiliki 0,7 ha/petani. Bahkan di Pulau Jawa petani hanya memiliki 0,3 ha
dan luar Jawa memiliki 0,8 ha/petani (Sinar Harapan, 15 Juli 2011).
Solusinya? Ada yang menggagas, agroindustri pedesaan harus dibangun untuk
merasionalisasi (mengurangi) jumlah petani yang memiliki lahan sempit. Ini
artinya, petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah mendasarnya
sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit. Solusi ini
juga jelas tidak menggunakan syariah Islam yang sebenarnya telah mengatur
bagaimana seseorang dapat memiliki lahan. Contoh lain, masalah
lahan tidur. Solusinya kadang hanya dijelaskan secara global saja, misalnya
dengan memanfaatkan lahan tidur untuk memberdayakan masyarakat. Padahal syariah Islam punya solusi untuk mengatasi lahan-lahan tidur yang
ditelantarkan oleh pemiliknya.
Jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan
pertanian diterapkan, masalah-masalah lahan di Indonesia kiranya akan dapat
diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit, dapat diselesaikan
dengan menerapkan hukum ihya’ al-mawat. Seluruh rakyat baik Muslim
maupun non-Muslim akan mendapat kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme ihya’
al-mawat. Dengan kata lain, sistem ekonomi Islam telah menetapkan mekanisme
lainnya dalam penguasaan tanah secara khusus, yaitu menghidupkan tanah mati dan
pemberian oleh negara. Karena itu, hukum-hukum seputar tanah dalam
pandangan Islam memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan sistem
ekonomi lainnya.
D. Tinjauan Fiqh
Lingkungan bagi Pelaku Pembakaran Hutan
Islam memproyeksikan bahwa manusia mempunyai peranan penting
dalam menjaga kelestarian alam (lingkungan hidup). Islam merupakan agama yang
memandang lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan
seseorang terhadap Tuhan. Manifestasi dari keimanan seseorang dapat dilihat
dari perilaku manusia, sebagai khalifah terhadap lingkungannya. Islam mempunyai
konsep yang sangat detail terkait pemeliharaan dan kelestarian alam.
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk dan hamba
Tuhan, sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan di muka bumi. Manusia mempunyai
tugas untuk mengabdi, menghamba (beribadah) kepada Sang Pencipta. Tauhid
merupakan sumber nilai sekaligus etika yang pertama dan utama dalam teologi
pengelolaan lingkungan. [53]
Al-Qur'an al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat menguraikan
berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan
fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat
kauniyyah, dan tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal
tersebut. Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara
tersirat.[54]
Menurut Quraish Shihab, meskipun terdapat sekian banyak
ayat-ayat tersebut, tidak menjadi jaminan bahwa al-Qur’an sama dengan kitab
ilmu pengetahuan atau bertujuan menguraikan hakekat-hakekat ilmiah. Ketika
al-Qur’an memperkenalkan diri sebagai tibyanan likulli syay’i (QS/16: 89) bukan
dimaksudkan untuk mengklaim bahwa dia menjelaskan segala sesuatu, tetapi lebih
menggam¬barkan bahwa dalam al-Qur’an terdapat segala pokok petunjuk menyangkut
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[55]
Masalah kehidupan di dunia (العالم),
disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 112 kali.[56]
Dunia dalam bahasa Arab artinya dekat,[57]
adapula yang mengartikan hina.[58]
Dikatakan “dekat” karena umur dunia ini tidak lama. Dikatakan “hina” karena
dunia ini tempat kehinaan dan kesengsaraan, penyebab dari segala malapetaka.
Karena kehidupan di dunia sifatnya sementara, maka Islam
dengan segala bimbingan dan arahannya mengaharapkan adanya keseimbangan jasmani
dan rohani. Itu disebabkan karena kehidupan di dunia merupakan jembatan atau kendaraan
menuju akhirat sebagai kehidupan yang abadi.[59]
Dalam QS al-Ra’d/13: 26 Allah swt. ber-firman :
اَللهُ يَبْسُطُ الرِزْقَ لِمَنْ
يَشَاءُ، وَفَرِحُواْ بِالحَيَوةِ الدُنْيَا وَمَا اْلحَيَاةُ الدُّنْيَا فِى
الآخِرَةِ اِلاَّ مَتَاعٌ.
Terjemahnya :
Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang
Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan
dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang
sedikit).’[60]
Eksistensi kehidupan di dunia sebagaimana dalam ayat di
atas, tentu akan mendorong manusia untuk menyediakan bekal (beramal),
mengerjakan perbuatan baik yang akan diterima pahalanya di akhirat kelak yang
sifatnya abadi. Jadi, hidup ini amat baik dan berharga untuk dipergunakan
dengan baik-baiknya dalam arti; jangan disia-siakan dan terbuang percuma.
Al-Qur'an tidak melarang manusia untuk merasakan keuntungan
dan kebahagiaan di dunia. Hanya saja, diingatkan jangan sampai me-lampaui batas
sehingga merugikan diri sendiri atau orang lain. Pem-batasan ini perlu, manusia
jangan sampai salah menpergunakan kekayaan, kekuasaan dan pengetahuan di dunia
ini, dengan wahana yang telah berlumur dosa dan maksiat bisa membawa kepada
ke-runtuhan, kehancuran dan kekacauan bagi mereka sendiri.
Mata pencaharian dan pekerjaan duniawi bukan sekedar masalah
yang mubah, tetapi dituntut juga wajib, tergantung kepada masyarakat. Mencari
pencaharian di dunia dengan berbagai macam ragamnya, ada yang mubah di satu
sisi dan ada pula yang wajib di sisi lain. Umpamanya; siapa yang memanfaatkan
kerja orang lain dalam masalah makan, pakaian dan tempat tinggalnya maka dia
harus berbuat pula bagi orang lain itu dengan kadar yang sama (seimbang dalam
menerima dan memberi). Jika tidak dilakukannya seperti itu, berarti dia adalah
orang zalim.” Siapa yang ridha terhadap sesuatu ynag sedikit dari pekerjaannya,
maka dia tidak menerima keduniaan kecuali hanya sedikit pula.
Oleh karena itu, apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan
firman Allah swt. maka ditemukan korelasinya dalam QS Al-Baqarah/2: 22 sebagai
berikut;
ٱلَّذِي
جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فِرَٰشٗا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءٗ وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ
مَآءٗ فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ رِزۡقٗا لَّكُمۡۖ فَلَا تَجۡعَلُواْ
لِلَّهِ أَندَادٗا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٢
Terjemahnya:
‘Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap dan dia menjadikan air hujan dari langit, lalu dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena
itu janganlah kamu meng-adakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu
mengetahui’.[61]
Kata lakum (لكم)
dalam ayat di atas, menunjukkan arti manfaat. Maksudnya, untuk dimanfaatkan
bagi setiap orang. Antara lain pemanfaatan itu, ada yang berhubungan dengan
masalah makan dan ada pula yang berhubungan dengan masalah keperluan
sehari-hari seperti pakaian, perumahan dan sebagainya.[62]
Lebih lanjut al-Marâgiy me-nyatakan bahwa adanya hujan yang diturunkan Allah
swt. mengakibat-kan hidupnya tumbuh-tumbuhan di tanah (sawah) tersebut. Dari
tumbuh-tumbuhan yang hidup itu, membuahkan hasil yang sangat bermanfaat bagi
manusia.[63]
Adapun penjelasan dari iman al-Syaukani, beliau menyatakan
bahwa; yang dimaksud pemanfaatan pada ayat di atas, bukan satu macam
pemanfaatan saja, misalnya makan bahkan termasuk semua yang layak untuk
dimanfaatkan dari segala seginya. Umpamanya, sekalipun menurut sunnah tanah itu
haram dimakan, namun juga bermanfaat untuk hal-hal yang lain. Dan sebagai bekal
pemanfaatan ini, manusia dibumi ini dan kekuatan yang dimilikinya serta
pemanfaatan hasil bumi itu, selalu memerlukan penjagaan hidupnya, kekuatannya
dan keaktifannya dengan makanan, obat-obatan, pakaian tempat tidur dan
perumahan, juga perlu sarana, alat dan sebagainya.[64]
Oleh karena itu, manusia berhak menguasai sebagian tanah
untuk ditanami tumbuh-tumbuhan, mereka berhak menguasai pohon-pohonan,
memproduksi tambang-tambangnya seperti minyak dan sebagainya. Atau mendirikan
rumah, gedung, pertokoan, pabrik dan lain-lain. Yang demikian itu, karena
Allahlah yang menciptakan langit dan bumi serta seluruh isinya adalah untuk
kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Bumi Allah itu luas maka apa yang diberikan oleh-Nya
hendaknya dimanfaatkan. Dalam QS al-Nisa/4: 97.
.. قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ
وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ
Terjemahnya :
Para malaikat berkata; “Bukankah
bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?[65]
Ayat di atas, memberikan pemahaman bahwa bumi ini sangat
luas dan bagi manusia adalah tempat mereka berhijrah dalam arti mereka dapat
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk melangsungkan
hidupnya.[66]
Jadi, dengan informasi bahwa bumi ini sangat luas maka tentu manusia secara
bebas berdiam dan beraktifitas di dalamnya.
Menurut Nurcholish Madjid, dengan berdiamnya manusia di bumi
ini mereka digugat untuk tidak hanya menetap di satu atau di satu wilayah saja,
melainkan mereka harus berpindah-pindah (transmigrasi) untuk berbuat sesuatu
yang bakal mengangkat harkat dan martabatnya yang diperoleh dari iman dan bakti
kepada Tuhan yang Maha Esa.[67]
Dapat diketahui bahwa pada dasarnya seluruh yang ada di bumi
ini boleh dimanfaatkan. Tidak ada yang berhak untuk menghalanginya kecuali atas
izin Allah swt. Dalam hal pemanfaatan itu, manusialah yang diberi hak otoritas
disebabkan mereka menyandang predikat khalîfah.
Menurut M. Quraish Shihab, khalifah berarti berarti
“peng-ganti”. Pada awalnya diartikan sebagai “di belakang”, kemudian se-suatu
yang berada di belakang adalah pengganti. Selanjutnya khalifah diasosiasikan
dengan pemimpin yang datang sesudah Rasulullah saw. wafat. Khalifah yang dimaksud
adalah khulafaur rasyidin.[68]
Tetapi menurut Abd. Muin Salim, khalifah yang dimaksud di sini adalah semua
manusia yang telah dikodrati untuk mengurus bumi ini.[69]
Secara tegas dinyatakan bahwa wilayah kekhalifahan manusia adalah bumi.[70]
Seluruh makhluk hidup termasuk hewan-hewan dapat berdiam di
atasnya. Di atas permukaan bumi ini lah Allah swt. menumbuhkan berbagai
tumbuhan untuk bahan makanannya. Jadilah bumi ini tempat tinggal yang
melindunginya dari hawa panas atau dingin atau sebagai tempat menguburkan
bangkai-bangkai tubuh manusia itu sendiri.
Dengan beraktifitasnya semua makhluk, khususnya manusia,
maka eksistensi bumi inilah dapat dijadikan sebagai tempat isterahat yang
nyaman, tidur dan pindah tempat untuk mengusahakan pekerjaan serta kehidupan
yang lebih baik.
Seandainya bumi ini dalam keadaan kering, maka batu-batu
semakin keras, tanam-tanaman yang tidak tumbuh yang mengakibatkan tidak menbawa
manfaat bagi manusia. Oleh karena itu, penciptaan bumi ini telah dilengkapi
dengan segala fasilitas dan daur kosmologi yang tertata baik memang Allah swt.
peruntukkan kepada manusia.[71]
Akan tetapi ketika manusia mulai melakukan aktifitas
pemenuhan kebutuhan hidupnya di bumi ini, mereka mulai melampaui batas. Dalam
memenuhi kebutuhan yang tak terbatas ini manusia mulai melakukan ekspoitasi
terhadap alam secara sangat luar biasa. Proses eksploitasi ini berkembang
semakin jauh seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia..
Alam seakan akan tidak lagi bias memenuhi kebutuhan dan
keinginaan manusia. Sehingga dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut manusia
mengabaikan banyak hal. Mereka abai terhadap pentingnya menjaga kelestarian
ekosistim yang ada. Sebab mereka tak menyadari bahwa merusak ekosisitim berarti
secara tidak langsung kita sudah merusak pola hubungan simbiosis mutualisme
antara manusia dana lam. Bias di pastikan ini akan menjejaskan manusia itu
sendiri.
Atas keprihatinian inilah maka muncul pembahasan tentang
fiqh lingkungan dalam persoalan kehidupan manusia. Bagaimana upaya fiqh
lingkungan dalam memformulasikan hokum-hukum seputar lingkungan hidup yang di
ambil dari nash-nash al-Quran dan hadits Rasulullah SAW.
1. Fiqh Lingkungan (Fiqh Bi’ah)
Rusaknya alam
yang di akibatkan bencana
semakian hari semakin dekat mengancam jiwa manusia. Secara nasional,
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, kekeringan dan
bayaknya virus dan penyakit merupakan fenomena yang akrab dengan penduduk
bangsa Indonesia. Sementara itu, secara global telah terjadi perubahan drastis
wilayah lingkungan hidup, mulai dari kerusakan ozon (lubang ozon) pemanasan
global, efek rumah kaca, perubahan ekologi, dan sebagainya. Belakangan
ditemukan pula banyaknya kasus daratan pulau yang lenyap dari peta dunia karena
naiknya permukaan laut serta kasus kepunahan spesies binatang tertentu, seperti
punahnya harimau jawa.[72] Krisis
lingkungan ini pada gilirannya akan mengancam eksistensi bumi sebagai tempat
tinggal manusia dan makhluk lain.Umat Islam yang umumnya tinggal di
negara-negara yang berkembang tidak luput dari ancaman krisis lingkungan ini,
bahkan persoalan cenderung lebih kompleks.
Pasca kolonialisme dan imperialisme Barat
negara-negara muslim berusaha bangkit menemukan identitas mereka. Masalahnya,
sebagai negara berkembang yang baru saja ingin bangkit, negara-negara muslim
harus berhadapan pada dualisme keadaan antara pembangunan ekonomi yang bertumpu
pada eksploitasi kekayaan sumber daya alam dan industrialisasi yang sangat
tidak terkendali, dan keadaan lingkungan yang telah sangat cepat berubah
sehingga dikhawatirkan menimbulkan bencana yang akan menimpa.[73]
Jika diamati secara lebih cermat, menurut
sebagian pakar hukum Islam yang peduli terhadap issue lingkungan setidaknya ada tiga faktor utama yang
menyebabkan lahirnya kriris lingkungan
ini. Pertama, permasalahan fundamental-filosofis. Permasalahan ini
berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan posisi
manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang mengganggap
dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik terhadap
inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap
sumber daya alam. Paham ini ditunjang dengan paham materialisme, kapitalisme,
dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah mempercepat dan
memperburuk kerusakan lingkungan.[74]
Kedua, permasalahan politik
ekonomi global. Sebagai imbas paham materialisme, kapitalisme, dan
pragmatisme, negara-negara maju (Barat) telah mendirikan pabrik-pabrik
industri yang telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Permasalahan kemudian muncul ketika negara-negara Barat menuntut negara-negara
dunia ketiga untuk mengambil peran positif dalam memelihara lingkungan ini,
terutama menetralisir kasus kebakaran hutan, sementara negara-negara miskin dan
berkembang memandang Barat sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap
krisis lingkungan global.
Ketiga, permasalahan- pemahaman keagamaan. Di
kalangan umat Islam, masih terdapat golongan yang menganut pagam teologi yang
bercorak teosentrik. Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana
alam seperti tsunami, banjir dan sebagainya sebagai taqdir Tuhan, dan
tidak memandang krisis ekologis ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis
moralitas sosial serta kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah).
Menurut WHO (World Health Organization) kesehatan di
artikan suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan
agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya tidak pernah lepas dari lingkungan. Aktivitas manusia
dipengaruhi oleh lingkungan sebagai penunjang kehidupan, baik lingkungan fisik,
biologis, ataupun lingkungan sosial. Hubungan interaksi antara manusia dan
lingkungan jika tidak berjalan dengan baik dan seimbang akan menimbulkan bahaya
lingkungan yang selanjutnya menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan
kesehatan lingkungan. Pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan
sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan lingkungan secara tuntas.
Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar
dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Perkembangan
kota yang cepat membawa dampak pada masalah lingkungan. Perilaku manusia
terhadap lingkungan akan menentukan wajah kota, sebaliknya lingkungan juga akan
mempengaruhi perilaku manusia. Lingkungan yang bersih akan meningkatkan
kualitas hidup. Perkembangan kota akan diikuti dengan pertambahan jumlah
penduduk, yang juga akan berakibat pada masalah-masalah sosial dan lingkungan.[75]
Dalam bidang fikih, watak teosentrik tampak pada
segolongan orang yang memahami fikih hanya sebatas ibadah mahdloh
seperti salat, saum, zakat, dan haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan
fenoeman sosial, seperti fikih lingkungan masih terabaikan. Padahal dalam konteks krisis ekologis saat ini,
fikih lingkungan menjadi sangat urgen. Melalui fikih lingkungan, perlu
ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa membuang sehelai sampah ke
tempatnya atau menyingkirkan duri dari jalanan itu adalah ibadah. Melalui fikih
lingkungan, juga perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa
berjualan di atas trotoar itu termasuk mengambil hak para pejalan kaki yang
diharamkan agama dan sebagainya.[76] Agama selama ini dipandang hanya berkutat pada
ranah ritus dan simbol belaka dan cenderung mengabaikan realitas sosial yang
tengah berkembang.[77] Ketika kemudian Islam dihubung-hubungkan dengan
upaya pmeliharaan lingkungan, sebagian orang memandang sebelah mata.
Padahal umat Islam (ulâma) memiliki peranan penting dalam membangun kesadaran
masyarakat mengenai pentingnya konservasi lingkungan hidup, antara lain dengan
menggunakan pendekatan fikih.[78]
Masalah lingkungan telah ada di hadapan kita, berkembang
sedemikian cepatnya, baik di tingkat nasional maupun internasional (global dan
regional) sehingga tidak ada suatu negara pun dapat terhindar daripadanya.[79] Masalah
ini bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan
sosial-budaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai
perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif fikih lingkungan (fiqh
al-bîah)[80], karena persoalan ekologi berkaitan dengan problem kemanusiaan secara
keseluruhan. Fikih lingkungan (fiqh al-bîah) merupakan terobosan baru
bagi upaya konservasi dan restorasi lingkungan hidup dengan perspektif
keagamaan.
Perspektif ini sekaligus menegaskan akan pentingnya pendekatan agama,
termasuk produk hukumnya, dalam rangka konservasi dan restorasi lingkungan sebagai suplement bagi
pendekatan disiplin ilmu lain yang telah ada. Selanjutnya kata
"lingkungan", sebagi terjemahan dari kata al-bîah dalam
tulisan ini dilekatkan dengan kata "fiqh" yang secara istilah
berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at Islam mengenai
perbuatan-perbuatan manusia, yang mana pengetahuan tersebut diambil dari
dali-dalil yang bersifat at-tafshiliyyah.[81] Oleh karenanya, fikih lingkungan yang dimaksud adalah pengetahuan atau
tuntutan syar'i yang konsen terhadap masalah-masalah ekologi atau
tuntutan syar'i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap perilaku
manusia yang cenderung memperlakukan lingkungan secara destruktif dan
eksploitatif. Di sini fikih lingkungan harus
mengatur tentang kaidah baik-buruk atau halal-haram yang akan menjadi patokan
penilaian bahwa sebuah aksi itu baik atau buruk. Dengan cara ini, umat Islam
akan mampu menghadirkan sebuah pendekatan religius yang mendasarkan diri pada
Qur’an dan Hadits dalam memandang
persoalan lingkungan hidup. Umat Islam sekaligus dapat meyakinkan dunia
bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan dan terorisme dan tidak apatis
terhadap persoalan lingkungan, tetapi ia memiliki view point yang
berbasis al-Qur’an-al hadist mapun fikih untuk menyelesaikan persoalan
lingkungan hidup.[82]
Pencemaran alam dapat menjadi faktor pembatas pada
populasi manusia. Pencemaran alam berpengaruh pada pencemaran udara, kesehatan,
dan pertumbuhan tanaman yang juga akan menghambat perkembangan populasi
manusia. Permasalahan ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap
dirinya, alam, dan posisi manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang
manusia yang mengganggap dirinya superior telah mendorong manusia untuk
bersikap hegemonik terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia
cenderung bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Paham
ini ditunjang dengan paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan
kendaraan sains dan teknologi telah mempercepat dan memperburuk kerusakan
lingkungan.[83]
Di samping itu problematika pemahaman keagamaan menjadi faktor pendorong akan
minimnya kesadaran manusia tentang menjaga ekosistem. Dikalangan umat Islam,
masih terdapat golongan yang menganut faham teologi yang bercorak teosentrik.
Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir
dan kerusakan lingkungan sebagai taqdir Tuhan, dan tidak memandang krisis
ekologis ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial
serta kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah). Padahal Tuhan
sendiri menyuruh manusia untuk memahami fenomena alam dan fenomena sosial
berdasarkan informasi ilmu pengetahuan serta hidup berdampingan secara harmoni
bersama alam dengan jalan menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya.
Dalam bidang fikih, watak teosentrik ini juga tampak pada segolongan orang yang
memahami fikih hanya sebatas ibadah mahdloh seperti salat, saum, zakat, dan
haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan fenomana sosial, seperti fikih
lingkungan masih terabaikan.
Diantara sumber-sumber metodologi pengembangan
hukum Islam, mashlahah merupakan salah satu alat metodologis yang dapat
dijadikan pegangan dalam mengembangkan fikih lingkungan. Konsep mashlahah ini
pada mulanya dijadikan dasar bagi para fuqaha untuk merumuskan konsep maqâshid
asy-syarî‘ah yang akan menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Berbeda
dengan pendekatan kebahasaan terhadap sumber hukum Islam yang menitikberatkan
kepada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu
dari teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui maqâshid asy-syarî‘ah kajian
lebih menitikberatkan pada upaya melihat nilai-nilai yang berupa kemashlahatan
manusia dalam setiap taklîf yang diturunkan Allah.[84]
Berdasarkan pemahaman al-Syatibi terhadap ayat-ayat
al-Quran, ia menyimpulkan bahwa maqâshid asy-syarî‘ah dalam arti kemashlahatan
dapat ditemukan dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan artinya apabila
terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas dimensi
kemashlahatannya maka ia dapat dianalisis melalui maqâshid asy-syarî‘ah yang
dapat dilihat dari ruh syarî‘ah dan tujuan umum dari pewahyuan agama Islam.
Menurut al-Syatibi, hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syarî‘ah adalah
mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok; agama (ad-din), jiwa (an-nafs),
keluarga (an-nasl), akal (al- ’aql), dan harta (al-mâl)
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur
pokok tersebut, al-Syatibi membagi tingkat maqâshid atau tujuan syari‘ah kepada
maqâshid ad-dharûriyat, maqâshid al-hâjiyyat dan maqâshid at-tahsîniyyat.
Maqâshid ad-dharûriyyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur dalam kehidupan
manusia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya
hidup dan kehidupan.[85] seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah
lainnya.
Namun demikian, baik al-Syathibi tidak menyinggung
hifzh al-bi’ah atau hifzh al-‘alam (memilihara lingkungan) sebagai bagian dari
maqashid asy-syari’ah. Syariat memang tidak membahas secara langsung isu-isu
tentang pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan, sementara fikih sendiri
merupakan ilmu pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana
keputusan manusia yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat
dibenarkan dan mana yang tidak. Fikih mempertimbangkan kepentingan umat manusia
(mashalih) yang terdiri atas lima hal: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keluarga
(an-nasl), akal (al-‘aql), dan harta (al-mal).[86]
Secara tematik (maudlu’i) ayat-ayat al-Quran serta hadits-hadits secara
langsung atau tidak langsung, eksplisit atau implisit, memberikan hak kepada
manusia sebagai khalifah Allah untuk memanfaatkan alam demi memenuhi kebutuhan
hidupnya, dan pada saat yang sama memerintahkan manusia untuk memeliharan dan
menjaga keseimbangan alam. Karena itu, memelihara alam semesta (hifzh al-’alam)
merupakan pesan moral yang bersifat universal yang telah di sampaikan Allah
kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup merupakan bagian integral
dari tingkat keimanan seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada
dua hal yang perlu di sampaikan mengenai pemeliharaan alam semesta (hifzh
al-’alam) Pertama, pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) dipandang sebagai
bagian dari maqâshid asy-syarî‘ah, di samping memelihara agama (ad-dîn), jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl), akal (al-’aql), dan harta (al-mâl). Dengan demikian, kebutuhan
dasar manusia tidak lagi terdiri dari lima hal pokok (al-kulliyyat al-khamsah)
melainkan enam (al-kulliyyat al-sittah) Kedua, tanpa merubah struktur
(al-kulliyyat al-khamsah) sebagaimana digagas al-Syathibi, namun dapat
digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihî
fahua wâjib” (sesuatu yang menjadi mediator pelaksaan sesuatu yang wajib maka
ia termasuk wajib).[87] Dengan
argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta
(hifzh al-’alam) tidak termasuk dalam kategori al-kulliyyat al-khamsah, tetapi
al-kulliyyat al-khamsah itu sendiri tidak mungkin terlaksana dengan baik
apabila pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) diabaikan. Sebagai contoh
upaya memelihara jiwa (an-nafs) tidak akan berhasil dengan baik apabila kita
mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam), upaya memelihara
keluarga (an-nasl) tidak berhasil dengan sempurna apabila kita mengabaikan
pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) dan seterusnya.
Fikih lingkungan tumbuh dengan kompleksitas problem
ekologi secara multidisipliner. Berbeda dengan fiqh al-zakâh dan fiqh al-hajji
misalnya, fikih lingkungan dapat menjadi disiplin ilmu keislaman yang
“mengekspansi” seluruh bidang-bidang kehidupan manusia dengan alam. Menurut
Yusuf Qaradhawi, menjaga lingkungan (hifzh al-bi`ah) sama dengan menjaga agama
(din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).
Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta rusak, maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda.[88] Oleh
sebab itu, dislokasi fikih lingkungan atau fiqh al-bîah bisa menjadi
oportunitas yang konfrontatif jika diikuti oleh paradigma epistemologi yang
komprehensip dan konseptualisasi yang bisa dipertanggung jawabkan.
Fiqh al-bî’ah adalah fikih ling-
kungan yang merupakan bagian dari persoalan fikih kontemporer yang
diorientasikan untuk menyikapi berbagai isu lingkungan dari perspektif yang
lebih praktis dengan memberikan patokan-patokan hukum dan regulasi yang berkaitan
dengan lingkungan. Pendekatan fikih
lingkungan memiliki ke- unggulan dibanding pendekatan-pendekatan
lain, semisal filsafat
lingkungan,[89] karena umat Islam memerlukan aturan yang
lebih praktis dengan bukti pola pikir bayâni (seperti kecenderungan nalar
fikih) yang basisnya teks (nashsh) lebih dominan daripada pola-pola pikir lain
(‘irfânî dan burhânî).[90] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fiqih
al- bî’ah adalah kerangka berpikir
konstruktif hukum Islam dalam memahami lingkungan alam makrokosmos
maupun mikrokosmos sebagai tempat hidup dan kehidupan manusia.
Sayyed Hossein Nasr memandang
krisis lingkungan atau ekologi sebagai akibat dari krisis spiritual manusia
modern. Manusia modern telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa
disadari integritas kemanusiaannya telah tereduksi dan ter- perangkap pada
jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi. Nasr
menggunakan dua istilah pokok yaitu axis dan rim atau center dan periphery.
Menurutnya, manusia modern telah berada dipinggiran (rim/periphery)
eksistensinya dan bergerak menjauhi pusat (center/axis) eksistensinya.[91]
Alquran menginformasikan kepada
manusia bahwa bencana-bencana alam seringkali diawali dengan terjadinya
penyimpangan perilaku manusia di dalam masyarakat. Dengan kata lain, menurut
Nasaruddin Umar, bahwa perilaku makrokosmos seringkali berbanding lurus dengan
perilaku mikrokosmos.[92]
Lebih lanjut Nasarudin
mengidentifikasi beberapa contoh bencana alam yang di- informasikan dalam
Alquran, seperti umat Nabi Nuh yang keras kepala dan diwarnai berbagai
kezhaliman (Q.s. al-Najm [53]: 52), dihancurkan dengan banjir besar (Q.s. Hûd
[11]: 40). Umat Nabi Syu’aib yang penuh dengan korupsi dan kecurangan (Q.s.
al-A’râf [7]: 85, Hûd [11]: 84-85) dihancurkan dengan gempa yang menggelegar
dan mematikan (Q.s. Hûd [11]: 94). Umat Nabi Shaleh yang kufur dan dilanda
hedonisme dan cinta dunia yang berlebihan (Q.s. al-Syu’âra’ [26]: 146-149)
dimusnahkan dengan keganasan virus yang mewabah dan gempa (Q.s. Hûd [11]:
67-68). Umat Nabi Luth yang dilanda kemaksiatan dan penyimpangan seksual (Q.s.
Hûd [11]: 78-79) dihancurkan dengan gempa bumi dahsyat (Q.s. Hûd [11]: 82).
Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang berambisi mengambil alih Ka’bah sebagai
bagian dari ambisinya untuk memonopoli segala sumber ekonomi, juga dihancurkan
dengan cara mengenaskan sebagaimana di- lukiskan dalam surah al-Fil [105]: 1-5.
Kondisi inilah yang disinyalir
Alquran sebagai penyebab krisis lingkungan, karena egoisme dan egosentrisme
manusia acapkali menjadi penyebab terjadinya kerusakan alam, sebagaimana
diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
Andaikata
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada
mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.s.
al-Mu’minûn [23]: 71).
Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.s. al-Rûm [30]: 41).
Munculnya kesadaran mengenai urgensitas fiqh
al-bî’ah ini merupakan buah dari ajaran Islam yang sangat peduli terhadap
lingkungan hidup. Sejak awal Islam telah menganjurkan pemeluknya untuk
melakukan dua pola relasi- interaksi yang adil dan berimbang, antara pola
interaksi manusia dengan Tuhan (hablun min
Allah) dan manusia dengan
manusia dan alam (hablun min
al-nâs). Pola yang pertama dibingkai
oleh fiqh al-ibâdât, se-
dangkan pola yang
kedua diwadahi oleh fiqh al-mu`âmalat dengan memasukkan
kajian baru seperti fiqh al-bî’ah, fiqh al-siyâsah dan lainnya.
Jika dikaji lebih lanjut, pola interaksi tersebut
sesungguhnya terbangun atas dasar konsep tawhîd. Secara harfiah, tawhîd berarti
kesatuan (unitas) yang secara absolut berarti mengesakan Allah dan sekaligus
membedakannya dari makhluk. Akan tetapi tawhîd juga dapat diartikan secara luas
sebagai kesatuan (unitas) seluruh ciptaan- baik manusia maupun alam-dalam relasi-
relasi kehidupan. Dengan kata lain, tawhîd mengandung pengertian tentang
kesatuan antara Tuhan, manusia dan alam.[93]
Dalam
buku Major Themes of The
Quran, Rahman menjelaskan pandangan dunia
(world view) Alquran
mengenai relasi Tuhan-manusia-alam dalam tiga gagasan utama. Pertama,
Tuhan merupakan satu- satunya eksistensi yang menciptakan alam dan manusia.
Kedua, Tuhan menciptakan alam sebagai sebuah kosmos atau tatanan yang
teratur yang tidak statis, melainkan berkembang secara dinamis. Ketiga, alam
bukan suatu permainan yang sia-sia, tetapi ia memiliki tujuan dan manusia harus
mempelajari hukum-hukum alam ini yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan (sunnatullah) dan menjadikannya sebagai panggung aktivitas
manusia.[94]
Demikian hubungan integratif antara
Tuhan-manusia-alam dalam pandangan Islam. Hubungan integratif ini selanjutnya
akan menjadi basis ontologis permusan paradigma fiqh al-bî’ah berbasis
kecerdasan naturalis. Dalam hubungan ini, manusia dan alam sama-sama menempati
posisi yang sejajar. Manusia diberi hak mengelola alam, tetapi pada saat yang
sama Allah memerintahkan manusia untuk memelihara keseimbangan alam dengan
sebaik-baiknya.
2.
Kerangka Metodologis Fiqh al-Biah
Dalam kajian fikih dijelaskan bahwa terdapat empat
sumber hukum Islam yang disepakati para ulama meliputi Alquran, sunnah, ijma’
(konsensus) dan qiyâs (penalaran
analogis). Logika syariah sebagai suatu sistem per- undang-undangan agama
menunjukkan secara jelas bahwa
ia adalah perundang- undangan yang dijabarkan pertama kali secara
langsung dari Alquran dan sunnah Nabi serta dari tindakan individu dan ma-
syarakat yang hidup
sesuai dengan wahyu dan tradisi Nabi. Menurut Abdillahi
Ahmed al-Na’im, ijmâ’ dan
qiyâs tidak disebutkan secara
jelas dalam Alquran dan sunnah sebagai sumber hukum Islam.[95]
Namun demikian, kesimpulan para ulama tentang empat
sumber hukum Islam tersebut dapat dilacak dari penfsiran mereka terhadap firman
Allah Q.s. al-Nisa [4]: 59 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatillah Rasulnya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”.
“Perintah mentaati Allah dan RasulNya” sebagaimana tercantum dalam ayat
tersebut dapat diartikan sebagai perintah mengikuti Alquran dan sunnah,
sedangkan perintah mentaati ûlil amri diartikan sebagai perintah mengikuti hukum-hukum
yang telah disepakati mujtahidîn, karena mereka itulah ûlil amri ummat Islam
dalam pembentukan hukum Islam. Kemudian perintah mengembalikan kejadian yang
dipertentangkan antara umat Islam kepada Allah dan Rasulnya diartikan sebagai perintah
mengikuti qiyâs ketika tidak terdapat
nash atau ijmâ’. Pengertian taat dan mengembalikan masalah ini
adalah mengembalikan masalah yang dipertentangkan kepada Allah dan Rasulnya
karena qiyâs adalah melakukan penyesuaian antara kejadian yang tidak terdapat
hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan ‘illat hukum antara dua jenis
kejadian tersebut. Jadi ayat tersebut, merupakan dalil untuk mengikuti empat
sumber hukum Islam yang selama ini diakui umat Islam.[96]
Di samping empat sumber hukum primer tersebut, terdapat
sumber-sumber hukum lain yang bersifat
sekunder, antara lain; pertama, istihsân yang didefinisikan
sebagai upaya berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyâs jali (nyata)
kepada qiyâs khâfî (tersembunyi) atau dari hukum kulli (umum) ke hukum
pengecualian karena ada dalil atau indikator yang menunjukkan perpindahan ini.[97] Kedua,
mashlahah mursalah (kesejahteraan umum) merupakan mashlahah yang tidak
disyari’atkan oleh al-Syâri’ untuk mewujudkan mashlahah itu serta tidak
terdapat dalil yang menunjukkan pengakuan dan pembatalannya, seperti keputusan
menciptakan system penjara bagi pelaku kriminal atau mencetak uang sebagai alat
tukar.[98] Menurut
Ahmed An- Na’im, konsep mashlahah ini sangat mirip dengan ide tentang
“kebijakan umum” (public policy) atau “kebijakan hukum” (the policy of the law)
dalam tradisi Barat.[99]
Di antara sumber-sumber metodologi pengembangan
hukum Islam, maslahah merupakan
salah satu alat
metodologis yang dapat dijadikan pegangan dalam mengembangkan paradigma
fiqh al-bî’ah. Konsep maslahah ini pada mulanya dijadikan dasar bagi
para fuqaha untuk merumuskan konsep
maqâshid al-syarî‘ah yang akan
menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Berbeda dengan pendekatan ke-
bahasaan terhadap sumber hukum Islam yang menitikberatkan kepada pendalaman
sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari
teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui
maqâshid al-syarî‘ah kajian lebih menitikberatkan pada upaya melihat
nilai- nilai yang berupa kemashlahatan manusia dalam setiap taklîf yang
diturunkan Allah.[100]
Konsep
maqâshid al-syarî‘ah ini diartikan sebagai maksud atau tujuan atau
prinsip disyari‘atkannya hukum dalam Islam, karena itu yang menjadi bahasan
utama adalah mengenai masalah hikmah dan ‘illat al-hukm.[101]
Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa semua
kewajiban (taklîf) diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia
di dunia dan akhirat,[102] dan
bahwa semua kewajiban (taklîf) yang diemban oleh setiap manusia tidak dapat
dipisahkan dari aspek kemaslahatan baik secara eksplisit maupun secara
implisit. Dalam pandangan al-Syâthibî, hukum yang tidak mempunyai tujuan
kemaslahatan akan menyebabkan hukum tersebut kehilangan legitimasi sosial di
tengah masyarakat manusia, dan ini suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada
hukum Tuhan.[103]
Berdasarkan pemahaman al-Syâthibî terhadap ayat-ayat Alquran, ia menyimpulkan
bahwa maqâshid al-syarî‘ah dalam arti kemaslahatan dapat ditemukan dalam
aspek- aspek hukum secara keseluruhan,[104]
artinya apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas
dimensi ke- maslahatannya, maka ia dapat dianalisis melalui maqâshid
al-syarî‘ah yang dapat dilihat dari ruh syariah dan tujuan umum dari pewahyuan
agama Islam. Menurut al-Syâthibî, hakikat atau tujuan awal pemberlakuan
syarî‘ah adalah mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok; agama (al-dîn),
jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl), akal (al-aql), dan harta (al-mâl).
Sementara Ibn‘Asyûr menyatakan, bahwa mashlahah adalah sifat perbuatan yang
menghasilkan sebuah kemanfaatan yang berlangsung terus menerus dan ditetapkan
berdasarkan pendapat mayoritas ulama”.[105]
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa mashlahah memiliki relasi yang signifikan
dengan syariah dalam beberapa rumusan di antaranya: Pertama, syariah dibangun
atas dasar kemaslahatan dan menolak adanya
kerusakan di dunia dan akhirat, Allah memberi perintah dan
larangan dengan alasan kemaslahatan; Kedua, syariah selalu
berhubungan dengan kemaslahatan,
sehingga Rasulullah Saw. men- dorong umatnya untuk melakukan kebaikan dan
menjauhi kerusakan; Ketiga, tidak ada
kemungkinan adanya pertentangan antara syariah dan kemaslahatan; dan Keempat,
syariah selalu menunjukkan pada kemaslahatan meskipun tidak diketahui
keberadaan letak kemaslahatannya, dan Allah memberi kepastian bahwa semua
kemaslahatan yang ada dalam syariah tidak akan menimbulkan kerusakan.[106]
Dapat dirumuskan bahwa memelihara
alam semesta (hifdz al-’âlam) merupakan pesan
moral yang bersifat universal
yang telah disampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup
merupakan kewajiban dan menjadi bagian integral keimanan seseorang. Prinsip
yang mendasari pertimbangan terakhir adalah kemaslahatan manusia. Dalam mazhab
Maliki, suatu hal yang meski tidak ditetapkan oleh nash secara eksplisit,
tetapi memiliki kemanfaatan adalah dianjurkan, bahkan wajib,
karena dasar tujuannya yang tepat
(al-muhdatsat al-mahmûdah fî al-ma’nâ). Apalagi, jika pemeliharaan lingkungan
terkait dengan pelaksanaan kewajiban, maka memelihara lingkungan menjadi wajib,
karena ada kaidah:
بجاو وهف هبلاا
بجاولا متيلاام
“Sesuatu yang bisa menentukan kesempurnaan pelaksanaan suatu kewajiban akan
menjadi wajib pula”.
Dan ada kaidah
lain yang menyebutkan:
لئاسولل دصاقلما مكح
“Sarana memiliki status hukum yang sama dengan perbuatan yang menjadi
tujuan”.
Kedua kaidah ini adalah tepat atas dasar anggapan
jika pemeliharaan lingkungan hanya menjadi pelengkap dari sudut pandangan fikih
ibadah. Sebaliknya, jika pemeliharaan lingkungan menjadi isu krusial, maka
status hukumnya bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai tujuan yang memiliki
dasar-dasar nash, sebagaimana halnya juga ibadah yang hukumnya wajib.[107]
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang perlu di sampaikan mengenai
pemeliharaan alam semesta (hifdz
al-’âlam). Pertama, pemeliharaan
alam semesta (hifdz al-’âlam) dipandang sebagai bagian
dari maqâshid al-syarî‘ah, di samping
memelihara agama (al-dîn), jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl),
akal (al-aql), dan harta (al-mâl). Kedua, tanpa merubah struktur (al-kulliyyât
al-khamsah), sebagaimana digagas al-Syâthibî, namun dapat digunakan kaidah ushul
fikih yang mengatakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahua wâjib” (sesuatu
yang menjadi mediator pelaksaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib).
Dengan argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam
semesta (hifdz al-’ âlam) tidak termasuk dalam kategori al- kulliyyat
al-khamsah, tetapi al-kulliyyat
al- khamsah itu sendiri tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila
pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’âlam) diabaikan. Sebagai contoh upaya
memelihara jiwa (al-nafs) tidak akan berhasil dengan baik, jika seseorang
mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’ âlam). Upaya memelihara
keluarga (al-nasl) tidak berhasil dengan sempurna, jika sesorang mengabaikan
pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’âlam)
dan seterusnya.
Fiqh al-bî’ah
adalah regulasi norma-norma hukum Islam yang mengatur perilaku dan tindakan
manusia yang berhubungan dengan konservasi lingkungan hidup. Sebagaimana
diketahui, bahwa krisis ekologis sebagian besar dilatarbelakangi tindakan
manusia. Dalam konteks inilah letak signifikansi merumuskan paradigma fiqh
al-bî’ah berbasis kecerdasan naturalis untuk mengatur kaidah baik-buruk atau
halal-haram yang akan menjadi patokan penilaian tindakan manusia terhadap
lingkungan, sehingga dengan cara ini, umat Islam akan mampu menghadirkan sebuah
pendekatan religius yang mendasarkan diri pada Alquran, Hadits dan ijtihad
dalam memandang persoalan lingkungan hidup.
Secara
ontologis, fiqh al-bî’ah dibangun atas landasan teologis yang memandang Tuhan,
manusia dan alam sebagai aspek yang memiliki hubungan yang bersifat integratif.
Dalam pola hubungan ini, manusia dan alam sama-sama menempati posisi yang
sejajar. Dalam hal ini, manusia sebagai khalifah diberi hak mengelola alam,
tetapi pada saat yang sama Allah me- merintahkan manusia untuk memelihara
keseimbangan alam dengan sebaik-baiknya.
Secara epistemologis, fikih lingkungan dibangun atas dasar konsep
maslahah. Konsep ini pada mulanya dijadikan dasar untuk merumuskan konsep
maqâshid al-syarî‘ah yang akan menjadi landasan dalam penetapan hukum
Islam. Meskipun al-Syâthibî dan Rahman sama-sama tidak menyinggung hifdz al-‘âlam (memilihara lingkungan)
sebagai bagian dari maqâshid al-syarî’ah, namun terdapat beberapa penjelasan Alquran
maupun hadits yang menerangkan mengenai urgensitas pemeliharaan alam. Karena
itu, hifdz al-‘âlam (memilihara
lingkungan) dapat dijadikan sebagai mediator utama bagi terlaksananya
al-kulliyyat al-khamsah tersebut.
Sementara itu,
secara aksiologis. fiqh al-bî’ah berisi norma-norma yang
mengatur dan mengontrol pemeliharaan alam semesta melalui dua instrumen; yaitu
halal dan haram. Konsep halal dan haram sebagaimana yang digagas fiqh al-bî’ah
ini dibangun atas dasar konsep tauhid, khilafah dan amanah serta prinsip
keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan umat, sehingga kerangka
etika lingkungan dalam perspektif Islam dapat disusun secara lengkap dan
komprehensif.[108]
E. Tinjauan Hukum Pidana Islam bagi Pembakaran Hutan dan Lahan.
[1] Lihat
Soemarsono, 1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia
(Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan). Prosiding Simposium:
“Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16
Desember 1997 di Yogyakarta. hal:1-14. Lihat juga Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak
Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya
Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap
Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. Hal.
36-39.
[2] Barber, C.V.
& Schweithelm, J. (2000). Trial by fire. Forest fires and forestry
policy in Indonesia's era of crisis andreform. World Resources Institute
(WRI), Forest Frontiers Initiative. In collaboration with WWF-Indonesia and
Telapak Indonesia Foundation, Washington D.C, USA.
[3] Abduk Khakim, Pengantar
Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah, (Bandung: Chitra Aditya
Bakti, 2005), hlm. 1.
[5] WALHI, Kebakaran
Hutan Yang Berulang, Di Akses pada http/www.walhi.or.id
[6] Ibid.
[8] Disampaikan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia di Pertemuan Forum
Komunikasi Data dan Informasi Bencana di Jakarta tanggal 10 November 2015.
[10] Versi tulisan ini disertakan dalam Triwulanan
Perekonomian Indonesia edisi bulan Desember 2015
[11] As reported by
the World Bank: http://www.worldbank.org/en/news/ feature /2012/12/26/
indonesia-reconstruction-chapter-ends-eight-years- after-the-tsunami.
[12] Jurnal The
World Bank Group Edisi Februari 2016, Gedung Bursa Efek Indonesia Menara 2,
lantai 12 Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53, Jakarta 12190, Indonesia
Laporan
Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia ini sebelumnya dimuat pada Laporan
Triwulanan Perkembangan Perekonomian Indonesia (IEQ), Bank Dunia, Jakarta.
Desember 2015.
Laporan ini
disusun oleh Ann Jeannette Glauber, Sarah Moyer, Magda Adriani, dan Iwan
Gunawan. Turut memberi kontribusi adalah Elitza Mileva, Pandu Harimurti,
Muhammad Farman Izhar, Anita Kendrick, dan George Henry Stirrett Wood.
Diseminasi dilakukan oleh Indra Irnawan, Jerry Kurniawan, GB Surya Ningnagara
dan Nugroho Sunjoyo, di bawah bimbingan Dini Sari Djalal.
Pendanaan
diberikan oleh Pemerintah Norwegia dan Kedutaan Besar Denmark melalui REDD+
Support Facility (RSF) Bank Dunia. Pendanaan dukungan juga diberikan oleh
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia di bawah naungan program
SEMEFPA.
Temuan-temuan,
interpretasi dan kesimpulan-kesimpulan yang dinyatakan di dalam laporan ini
tidak mencerminkan pandangan Bank Dunia, para Direktur Pelaksana Bank
Dunia atau
pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data-data
yang temuat dalam laporan ini. Batas-batas, warna, denominasi dan
informasi-informasi lain yang digambarkan pada setiap peta di dalam laporan ini
tidak mencerminkan pendapat Bank Dunia mengenai status hukum dari wilayah
apapun atau dukungan atau penerimaan dari batas-batas tersebut.
[13] Indonesia
memiliki lebih dari 20 juta hektar lahan gambut yang tersebar dari Sumatera
hingga Papua, sehingga menjadikan negara ini pemilik lahan gambut tropis
terluas di dunia. Gambut sering disebut sebagai ekosistem penting yang sering
diasosiasikan sebagai pelindung atmosfer bumi dari lepasan unsur gas rumah
kaca.
Kata gambut
sendiri dipercaya berasal dari kosa kata bahasa suku Melayu Banjar yang tinggal
di Kalimantan Selatan. Gambut adalah tumpukan material organik yang terbentuk
secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan
terakumulasi pada lahan rawa. Ketebalan vertikal di lahan gambut dapat mencapai
belasan bahkan hingga puluhan meter. Jenis vegetasi yang mampu beradaptasi
dengan gambut dan hutan rawa beradaptasi selama ribuan bahkan puluhan ribu
tahun sehingga membuat suatu hubungan saling ketergantungan antara massa biotik
dan abiotik yang saling mendukung secara simbiotik.
Dengan
demikian, lahan gambut memiliki perbedaan komposisi dibandingkan lahan lainnya.
Lahan gambut menyimpan karbon (stock carbon) dalam biomasa dan nekromasa
tanaman (di atas permukaan dan di dalam tanah). Di dalam tanah, karbon
tersimpan pada lapisan gambut. Pada lahan kering, karbon yang tersimpan di
dalam biomasa tanaman bisa melebihi karbon yang tersimpan di dalam tanah,
tergantung jenis dan kerapatan tutupan tanaman pada lahan tersebut. Lihat
Fahmudin Agus, Kurniatun Hairiah dan Anny Mulyani. Pengukuran Cadangan
karbon Tanah gambut. 2011. World Agroforestry Centre. Bogor. Hal.1.
[14] Rencana Induk
rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di
Kalimantan Tengah. Kerjasama antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Kalimantan
Tengah dan Pemerintah Belanda. 2008. Hal. 5.
[15] Bappenas.
Reducing Carbon Emissions from Indonesia`s Peat Lands. Interim Report of A
Multi-Disciplinary Study. 2009. Hal. 18.
[16] Pendekatan ini
dijelaskan dalam Van der Werf et al. (2010), “Global fire emissions and the
contribution of deforestation, savanna, forest, agricultural, and peat fires
(1997–2009)” Journal of Atmospheric Chemistry and Physics, dan selanjutnya
diperinci pada situs web GFED.
[17] Sheil, D, et
all. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan pandangan
masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. Center for International
Forestry Research. Indonesia
[18]
http://blog.act.id/3-kejadian-tragedi-tanah-longsor-mematikan-di-indonesia
[19]
http://mediaindonesia.com/news/read/68124/banjir-garut-akibat-hutan-gundul/2016-09-22
. Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Dadan Ramdhan, kemarin, mengungkapkan areal
hutan di hulu dan sekitar Sungai Cimanuk berkurang drastis. Praktik alih fungsi
lahan berlangsung masif sehingga berdampak pada areal resapan air.
“Memang hujan
dengan intensitas tinggi tengah melanda Jabar, termasuk wilayah Priangan timur
seperti Garut, Sumedang, Ciamis, dan Tasikmalaya. Namun, faktor cuaca termasuk
hujan hanya pemicu. Faktor utamanya, pelanggaran penggunaan lahan,” ujar
Dadan.
Dia tambahkan,
ekspansi bisnis juga terus merambah wilayah konservasi. Lahan parkir air nyaris
tak lagi ada. Olah tanah pertanian pun tak memedulikan dampak buruk.
Begitu pula
dengan penggundulan hutan di sekitar anak Sungai Cimanuk seperti Sungai
Cikarenjeng, Bungbulang, dan Cisutan sehingga tak lagi optimal menyerap dan
menampung air. Ia meminta pemerintah segera mengembalikan lahan konservasi
atau resapan air.
Menurut Kepala
Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo
Purwo Nugroho, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk memang sudah tidak
sehat. Koefisien regim sungai (KRS) atau perbandingan debit air tertinggi
dengan debit air terendah dalam satu periode pada DAS Cimanuk mencapai 713.
Padahal, kondisi DAS dikatakan baik apabila memiliki KRS kurang dari 80.
‘’Kondisi itu
menyebabkan mudahnya air meluap saat terjadi hujan dan surut secara cepat. Saat
musim kemarau, DAS akan mengalami kekeringan,’’ jelas Sutopo.
Bupati Garut
Rudi Gunawan mengakui pula bahwa banjir bandang di Garut tak lepas dari
kerusakan lingkungan. “Untuk aliran sungai di hulu Cikajang, kondisi hutan
bagus, tetapi ada hutan lainnya gundul.’’
[20]
http://www.mongabay.co.id/2012/12/28/kalesidoskop-bencana-lingkungan-2012-degradasi-hutan-melaju-banjir-menerjang-manusia/
[21]
http://bloggudangtugas.blogspot.co.id/2017/03/makalah-kabut-asap.html
[22]
https://www.rappler.com/indonesia/110936-jumlah-kematian-akibat-kabut-asap
[23]http://regional.liputan6.com/read/2589511/ratusan-warga-riau-korban-kabut-asap-kembali-ke-rumah
[24]http://kabar24.bisnis.com/read/20151022/78/484905/kebakaran-hutan-korban-kabut-asap-di-riau-capai-70.000-jiwa
[25] Dawud Y. Smoke
episodes and assessment of health impacts related to haze from forest fires:
Indonesian experience. The Indonesian Association of Pulmonologist,
Persahabatan Hospital Jakarta; 1999.p 313-22
[26] National
Interagency Fire Center. The science of wildland fire. [cited 2011 Jan 9]. Available from
www.nifc.gov/preved/comm_guide/wildfire/fire 4.html.
[27] A Guide for
Public Health Officials. Wildfire smoke revised (July 2008). Available from:
http://www.arb.ca.gov/smp/progdev/pubeduc/wfgv8.pdf. Lihat juga Malilay J. A
review of factors affecting the human health impacts of air pollutants from
forest fires. Health guideline for vegetation fire. (WHO october 1998).
hal. 70.
[28] Zua Uj-Haque, Landlord and Peasant in Early
Islam: A Study of the Legal Doctrine of Muzaraa or Sharecropping,
(Islamabad: Islamic Research Institute Press, 1984), hal. 248.
[33] Imam Taqi al-Din abu Bakar ibn Muhammad
al-Husaini, Kifayah al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisar, (Damaskus:
Darl al-Khair, 1994), hal. 361.
[34] Al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul
Maram Min Adillatil Ahkam, (Indonesia: Al-Hidman, 733-852 H.), hal. 195.
[35] Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2001), hal. 227. Lihat juga dalam Sunan Tarmidzi hadits 1299 dan 1300
dalam Hadits Soft:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ أَخْبَرَنَا
أَيُّوبُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ
عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ
لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَقَدْ رَوَاهُ بَعْضُهُمْ عَنْ هِشَامِ بْنِ
عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُرْسَلًا وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ
مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ وَهُوَ
قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ قَالُوا لَهُ أَنْ يُحْيِيَ الْأَرْضَ الْمَوَاتَ
بِغَيْرِ إِذْنِ السُّلْطَانِ وَقَدْ قَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ لَهُ أَنْ
يُحْيِيَهَا إِلَّا بِإِذْنِ السُّلْطَانِ وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ قَالَ
وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَعَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ جَدِّ كَثِيرٍ
وَسَمُرَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ سَأَلْتُ
أَبَا الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيَّ عَنْ قَوْلِهِ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
فَقَالَ الْعِرْقُ الظَّالِمُ الْغَاصِبُ الَّذِي يَأْخُذُ مَا لَيْسَ لَهُ قُلْتُ
هُوَ الرَّجُلُ الَّذِي يَغْرِسُ فِي أَرْضِ غَيْرِهِ قَالَ هُوَ ذَاكَ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah mengabarkan kepada kami
Abdul Wahhab Ats Tsaqafi telah mengabarkan kepada kami Ayyub dari Hisyam bin
Urwah dari ayahnya dari Sa'id bin Zaid dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda: "Barangsiapa menghidupkan tanah mati (membuka lahan baru)
maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi orang yang memiliki
tanah secara zhalim." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib dan
sebagian mereka telah meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam secara mursal. Hadits ini menjadi pedoman amal
menurut sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan selain mereka, ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat: Ia
boleh menghidupkan tanah mati tanpa seizin penguasa sedangkan sebagian ulama
berpendapat: Ia tidak boleh menghidupkannya kecuali mendapat izin dari
penguasa. Pendapat pertama lebih shahih. Ia mengatakan: Dalam hal ini ada
hadits serupa dari Jabir, Amr bin 'Auf Al Muzani kakek Katsir dan Samurah.
Telah menceritakan kepada kami Abu Musa Muhammad bin Al Mutsanna ia berkata:
Aku bertanya kepada Abu Al Walid Ath Thayalisi tentang sabda beliau:
"Tidak ada hak bagi orang yang memiliki tanah secara zhalim." Ia pun
menjawab: Orang zhalim yang memiliki adalah orang yang merampas, ia mengambil
sesuatu yang bukan miliknya. Aku bertanya: Apakah ia orang yang menanam di
tanah orang lain? Ia menjawab: Dialah orangnya.
قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Abu
Isa berkata: Hadits ini hasan shahih.
[40] Muaz bn Jabal, Al-Wahbah al-Zuhaili, Al-Figh
Al-Islami Wa Adillahtuh, Vol V, (Damascus: Darnl FikT, 1989), hal. 561.
[42] Ibn Qudamah, Al-Kaffi fi Fiqh al-Imam Ahmad
Ibn Hanbal, (Beirut: Al-Maktabul Islami, 1988), hal. 435.
[45] Syekh Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath
al-Qarib al-Mujib, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab al-Arabiah, tt), hal.
38.
[46] Shalih ibn Fauzan ibn Abdullah, Al-Mulakhashu
al-Fiqhiy, (Arab Saudi: Darl ibn al-Jauzi, 2005), hal. 152.
[53] A. Qadir
Gassing, “Fiqih Lingkungan: Telaah Kritis tentang Penerapan Hukum Taklifi dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup”Pidato Pengukuhan Guru Besar, Makassar: IAIN/UIN Alauddin,
8 Februari 2005), hal. 4-7.
[54] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Cet. XXVIII; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), hal. 131.
[55]
Ibid
[56] Asharuddin Sahil, Indeks
Al-Quran, Panduan Mencari Ayat Al-Quran Berdasarkan Kata Dasarnya (Cet.
I; Bandung: Mizan, 1994), hal. 174
[58] Ibn Zakariyah, Maqayis
al-Lughah. Lihat pula Mahmud Yunus, Kamus Arab IndonesiaJakarta:
Hidakarya Agung, 1992), hal. 277.
[60] Departemen
Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 373.
[61] Lihat
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 11.
[62] Lihat Hamka, Tafsir
al-Azhar, jilid I (Cet. II; Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), hal. 121.
[63] Lihat Ahmad
Mustafa al- Maraghi, Tafsîr al-Maraghi., juz IMesir: Mushtafa al-Baby
al-Halabiy wa Awladuh, 1973), hal. 101.
[64] Demikian
penjelasan al-Syaukaniy yang dikutip oleh
Khalil Mushawiy, Kaifa Tabniy al-Syahshiyah.
[65]
Departemen
Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 137.
[66] Hamka, Tafsir
al-Azhar, jilid V, hal. 222.
[68] M.Quraish
shihab, Opcit, hal. 76
[69] Abd. Muin
Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-Qur'an (Cet. II; Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1992),
hAL. 110.
[70] Ibid.
hal. 120
[71] Lihat Imam
al-Ghazali, Al-Hikmah Fiy Makhlûqatillah diterjemahkan oleh Abdullah Alkaf
dengan udul Hikmah Penciptaan Makhluk (Cet.I; Bandung: Pustaka, 1986), hal.
14.
[72] Musnahnya harimau Jawa tidak hanya merugikan orang
Jawa, tapi juga orang-orang di seluruh dunia. Musnahnya harimau Jawa sama dengan terputusnya rantai ekosistem kehidupan di muka bumi.
[74] Hikmat Trimenda,
“Islam dan Penyelamatan Lingkungan”, http://www.pikiran-rakyat.com/
cetak/2007/022007/16/0902.htm, diakses tanggal 20 September
2013
[76] Muchsin al-Fikri, “Fikih
Lingkungan dan Kearifan Lokal”,
http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/04/
renungan_jumat.htm, diakses tanggal 20 September 2017
[77] Muhammad Mawhiburrahman, Menggagas Fikih Lingkungan, http://muhammad
mawhiburrahman.blogspot.com 2013/05/ menggagas- fikih-lingkungan.html,diakses tanggal 20 September 2017
[79] M.Daud
Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, (Alumni, Bandung, 2001), hal. 10.
[80] Kemunculan wacana fikih lingkungan bisa ditelusuri belum lama
ini.Sebuah survei historis-arkeologis yang lebih komprehensif tentu tetap harus
dilakukan untuk menandai secara pasti sejak kapan istilah ini menjadi kosa kata
baru dalam wacana keislaman (dan hukum Islam) kita secara umum. Namun, menurut
pengamatan terbatas penulis, wacana fiqh lingkungan mengemuka kurang lebih saat
Yusûf al-Qardlâwî, guru besar fikih dari Syiria yang pandangan-pandangannya
populer di negara kita, menulis karyanya yang berjudul Ri'âyah al-Bîah fî
Syarî'ah al-Islâm pada tahun 2001 yang lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa
tahun-tahun sebelumnya wacana ini telah populer dalam diskursus ilmiah di Arab
sana. Tetapi bila kita lihat "fluktuasi" perkembangan wacananya di
Indonesia, secara hipotetis bisa dikatakan bahwa wacana ini merupakan
"rintisan" al-Qardlâwî. Seolah menindak lanjuti gagasan al-Qardlâwî,
pada tahun 2006 KH.Ali Yafie kemudian menerbitkan buku Merintis Fiqh Lingkungan
Hidup. Menyetujui gagasan al-Qardlâwî, Ali Yafie yang juga seorang faqîh di
Indonesia, mewacanakan perlunya suatu landasan baru untuk memperluas kajian
fiqh hingga merambah persoalan-persoalan lingkungan. Gagasan Ali Yafie ini seolah
mengiringi serangkaian buku dan tulisan yang terbit dua atau tiga tahun
sebelumnya tentang "bidang baru" ini, seperti antara lain buku hasil
karya Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam (2005).
[81] Lihat Abd al-Wahhâb Khallâf,
Ushûl al-fiqh (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978), hal 15.
[82] Ilyas Supena, Jurnal ADDIN, Stud fikih Lingkungan (Sebuah Kajian
Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis). 2009
[83]
Hikmat Trimenda, “Islam dan Penyelamatan Lingkungan”, http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2007/022007/16/0902.htm
[84] Maqâshid
asy-syarî‘ah secara substansial
mengandung kemashlahatan yang menurut al-Syatibi yang dapat dilihat dari dua
sudut pandang: Pertama, Maqâshid asy-Syarî‘ (tujuan Tuhan) dan kedua Maqâshid
al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqâshid
asy-syarî‘ah mengandung empat aspek, yaitu (1) tujuan awal dari al-Syari‘ dalam
menetapkan syari‘ah, yaitu kemashlahatan dunia dan akhirat, (2) penetapan
syari‘ah sebagai sesuatu yang harus dipahami, (3) penetapan syari‘ah sebagai
hukum mukallaf yang harus dilaksanakan, (4) penetapan syari‘ah guna membawa manusia ke bawah lindungan
hukum. Sedangkan maqâshid asy-syarî‘ah ditinjau dari sudut tujuan mukallaf
aialah agar setiap mukallaf memenuhi keempat tujuan syari‘ah yang digariskan
al-Syari, sehingga tercapai kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.Lihat
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, (Jakarta: Logos, 1999), hal.
43
[85] Imam Syathibi,
al-Muwafaqat…, Juz II, hal. 7.
[86] Muhammad Abu
Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hal. 220
[87] Ibid
[88] Yusuf al-qordhawi, Islam Agama Ramah
lingkungan terj. Hakam shah (jakarta; pustaka al kaustar)
[89] Mustafa
Abu-Sway, “Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqih
al-Bi`ah fil-Islam)”, dalam http://www.
homepages.iol.ie/~afifi/Articles/environment.htm. Menurut Abu-Sway, guru besar
filsafat Islam di al-Quds University, istilah fiqih lingkungan lebih mudah
diterima dalam kesadaran umat Islam dibandingkan filsafat lingkungan
(philosophy of environment) yang sekarang masih diasosiasikan sebagai pemikiran
abstrak metafisis. Filsafat lingkungan yang dimaksud Abu-Sway adalah bagian
dari filsafat alam, seperti persoalan asal-usul kejadian alam
[90] Muhammad
‘Ãbid al-Jâbiri, Bunyan al-‘Aql al-‘Arâbi: Dirâsah
Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma’rifah fi al-Tsaqafat al-‘Arabiyyah,
(Bayrût: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993)
[91] Sayyed
Hossein, Man and Nature, The Spiritual Crisis in Modern Man, hal. 14
[92] Nasaruddin Umar,
Islam Fungsional, (Jakarta: RahmatSemesta Center, 2010), hal. 275.
[93] Nurcholish
Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998),
cet. XI, hal. 276.
[94] Fazlur Rahman,
Major Themes of The Quran, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), hal.
2-3.
[95] Abdullah Ahmed
An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. (Yogyakarta: LKIS, 1997), hal. 39
[96] Abdul Wahab
Khallaf, ‘Ilm Ushûl Fiqh, (Mishr: Dârul Qolam, t.t), hal. 21.
[99] Abdullah Ahmed
An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, hal. 51.
[100]
Istilah Maqâsid
al-syarîah yang berarti tujuan penetapan hukum
ini dipopulerkan oleh seorang
ahli ushul fikih dari Madzab Maliki,
Abû Ishâq al-Syâthibî,
terutama semenjak beredarnya kitab
“al-Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî’ah”, akan tetapi dari sudut gagasan, sebenarnya
poin-poin maqâshid al- syarîah ini sudah pernah dikemukakan oleh ulama ushul
fikih sebelumnya seperti kata al-maqâshid sendiri menurut Ahmad Raisûni,
pertama kali digunakan oleh at-Turmudzî al-Hâkim, ulama yang hidup pada abad
ke-3. Dialah yang pertama kali menyuarakan Maqâshid al-syarîah melalui buku-bukunya, al- Shalâh
wa Maqâshiduhu, al-Haj wa Asrâruhu, al-‘Illah,
‘Ilal al-Syarî’ah, ‘Ilal al-‘Ubûdiyyah dan
juga bukunya al-Furûq yang kemudian diadopsi oleh
al-Qarafî menjadi judul buku karangannya. Setelah al-Hâkim kemudian muncul Abû
Manshûr al-Mâturidî (w. 333) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abû
Bakar al-Qaffâl al-Syâsyî (w.365) dengan bukunya Ushûl al-Fiqh dan Mahâsin al-Syarî’ah. Setelah
al-Qaffâl muncul Abû Bakar
al-Abhârî (w.375) dan al-Baqîlânî (w. 403) masing- masing dengan karyanya,
diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al- Dalâil wa al-‘Illah dan al-Taqrîb wa
al-Irsyâd fi Tartîb Thurûq al-Ijtihâd. Sepeninggal al-Baqîlânî muncullah
al-Juwainî dalam kitab al-Burhân, al-Ghazâlî dalam kitab al-Mushtashfâ, al-Râzî
dalam kitab al-mahsûl, al-‘Amidi> dalam kitab al-Ihkâm, Ibn Hâjib, al-Baidlâwî,
al-Asnawî, Ibn Subukî,
Ibn ‘Abdissalâm, al-Qarâfî,
al-Thûfî, Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim. Urutan di atas adalah versi Ahmad
Raisûnî, sedangkan menurut Yûsuf Ahmad Muhammad al-Badawî, sejarah maqâshid
al-syarî’ah ini dibagi dalam dua fase yaitu fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase
setelah Ibn Taimiyyah. Adapun menurut Hammâdî al-Ubaidî orang yang pertama kali
membahas maqâshid al-syarî’ah adalah Ibrâhiîm al-Nakhâ’î (w. 96 H), seorang
tâbi’în sekaligus gurunya Hammâd ibn Sulaimân gurunya Abû Hanîfah. Setelah itu
muncul al-Ghazâlî, ‘Izzuddîn ‘Abdussalâm, Najmuddîn al-Thûfî dan terakhir al-Syâthibî.
Meskipun dengan versi yang beraneka ragam, namun dapat diambil kesimpulan bahwa
sebelum al- Syâthibî, maqâshid
al-syarî’ah sudah ada dan sudah dikenal, hanya saja susunannya belum
sistematis. Lihat, Imâm Syâthibî: Bapak Maqâshid al-Syarî’ah Pertama,
http://islamlib.com.
[101] Abdul Wahab
Khallaf, Opcit. hal. 199
[102] Abû Ishâq
al-Syâthibî, Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî’ah,(Bayrût: Dâr al-Ma‘rifah,
t.t.), Juz II, h.195.
[103] Konsep maqâshid al-syarî’ah dalam
pemikiran al-Syatibi ini
bertujuan mengekspresikan penekanan
terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan apresiasi hokum manusia.
Lihat Wael B. Hallaq, “The Primacy of
The Quran inSyatibi Legal Theory”, (Leiden: Ej-Brill, 1991), hal. 89
[104] Abû Ishâq
al-Syâthibî, Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî’ah, hal. 6-7.
[105] Muhammad
Thâhir bin ’Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Bayrût:
Muassasah Fuâd, 2004), Juz II, hal. 297
[106] Muhammad bin
Abû Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abû
Abdullah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb
al-‘Ãlamîn, (Bayrût: Dâr al-Jail, t.t.), Juz III, hal. 3.
[107] Wardani, “Menformulasikan
Fiqh Al-Bi`ah: Prinsip- Prinsip Dasar Membangun Fiqih Ramah Lingkungan”,
dalam Jurnal Al-Mustawa Vo.1 No. 1/ Februrai, 2009, DPPAI UII
[108] Muhammad
Harfin Zuhdi, Fiqh Al-Bî’ah: Tawaran Hukum Islam Dalam Mengatasi Krisis
Ekologi, Jurnal Al-‘Adalah Vol. XII, No. 4, Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar