BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Riau pada tempo dulu
adalah merupakan wilayah perkembangan kerajaan melayu dan perkembangan agama
Islam disepanjang selat Malaka. Ada beberapa kerajaan yang tumbuh dan
berkembang pada awal abad ke 18 diantaranya Kerajaan Riau Lingga, Kerajaan
Siak, kerajaan Indragiri dan Kerajaan Pelalawan, merupakan kerajaan –kerajaan
Melayu yang berpengaruh pada masa tersebut. Kesemua kerajaan Melayau Riau ini
menunjukkan bahwa masyarakat Riau pada masa itu telah mempunyai peradaban yang
tinggi. Sehingga orang-orang melayu sudah dikatakan telah mempunyai ilmu
pengetahuan, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama. Karena
kalau kita baca sejarah dari kerajaan – kerajaan melayu RIau terlihat megah dan
mencapai puncak kejayaan pada masa itu.
Pada masa tersebut
sudah terdapat sistim pemerintahan monarkhi. Meskipun tidak sebagai Kerajaan
Islam, tetapi prinsip-prisip Islam dilakukan sepanjang yang dapat diusahakan
oleh masyarakat Melayu Ketika Itu. Kedudukan seorang Sultan sultan sangatlah
menentukan bukan saja sebagai seorang pemimpin negeri, tetapi juga sebagai
khalifatullah atau wali Allah atau sultan adalah bayangan Allah di permukaan
bumi ini.[1]
Siak adalah salah satu
Kerajaan yang cukup berpengaruh dan berkembang ketika itu. Maka dari itulah
kami ingin mengetahui dan mempelajari bagaimana system peradilan yang dipakai
pada masa pemerintahan Siak sesuai dengan disiplin ilmu yang sedang penulis
dalami pada program studi Hukum Islam Strata 2 pada UIN Suska Pekanbaru.
Tentunya keterbatasan sumber dan Literature yang ada untuk mnggali lebih
mendalam tentang system peradilan kerajaan Siak ini tidaklah begitu memadai.
Akan tetapi penulis berharap upaya ini dapat memberikan kita pmahaman dan
menambah khazanah keilmuan kita terhadap pengaruh Islam terhadap sisitem
peradilan pada masyarakat melayu masa lalu.
B. Batasan Masalah
Masalah yang akan kita
bahas pada makalah ini terbatas pada masalah system peradilan yang ada pada
masa kerajaan Siak Sri Inderapura.
C. Rumusan Masalah
Permasalah yang akan
ditulis pada makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah Sejarah
Lahir dan Berkembangnya Kerajaan Siak?
2. Bagaimanakah Sisitim
Peradilan Pada masa Kerajaan Siak?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Berdiri dan
Berkembangnya Kerajaan Siak Sri Inderapura
a. Masa Awal
Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan
Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia.
Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil, anak dari Sultan Mahmud Shah
sultan Kesultanan Johor yang dibunuh dan dilarikan ke Pagaruyung[2] bersama
ibundanya Encik Apong. Raja kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun
1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam
perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat[3] dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir
timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa.
Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat,
sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan.[4] Pasang
surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan
jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung
dengan Republik Indonesia.[5]
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak
berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah
raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun
daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang
ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada awal tahun 1699
Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri
Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke
Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan
kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk
pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar
Sultan Abdul Jalil Riayat Syah[6].
Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja
Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut
direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera
Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku
Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang
mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya
masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang,
dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri
baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya
kerajaan Siak di Buantan.
Sebelum
menetap di daerah yang dinamakan Kabupaten Siak, Kesultanan Siak Sri Indrapura
beberapa kali mengalami perpindahan pusat kekuasaan. Ketika pertama kali
didirikan, pusat pemerintahan Kesultanan Siak Sri Indrapura berada di Buantan,
kemudian berpindah ke Mempura, Senapelan Pekanbaru, kembali lagi ke Mempura,
dan ketika diperintah oleh Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif
Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864) pusat pemerintahan dipindahkan ke
kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap di sana sampai pemerintahan Sultan
Siak Sri Indrapura yang terakhir, Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan
Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946)[7] dan menetap
disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.[8]
Pada
masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin
yang memerintah pada tahun 1889 / 1908, dibangunlah istana yang megah terletak
di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang
dibangun pada tahun 1889. Dan oleh bangsa Eropa menyebutnya sebagai The Sun
Palace From East (Istana Matahari Timur).[9]
Pada
masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama
dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu
Jerman dan Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih
kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan
baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar
Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan
nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II). Sultan As-Sayyidi
Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin II atau Sultan Syarif Kasim II (lahir di
Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak.
Dia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan
Syarif Hasyim. Riau di bawah Kesultanan Siak pada masa kepemimpinan Sultan
Syarif Kasim Sani (Sani=dua). Ketika Jepang kalah, ikatan Hindia Belanda lepas,
Sultan Syarif Kashim menghadapi 3 pilihan: berdiri sendiri sperti dulu,
bergabung dg Belanda atau bergabung dg Republik Sultan sebagai sosok yg wara'
dan keramat melakukan istikharah. Saya kuat menduga Allah memberitahu Sultan Syarif
Kasim agar bergabung dg Republik karena kekayaan Riau yg sangat berlimpah dan
berlebihan kalau sekedar dikuasai sendiri. Maka Sultan menentukan pilihan
bergabung dg Republik. Mendukung NKRI. BERGABUNG, bukan menyerahkan diri.
Sultan
menurunkan modal 13 juta Golden (3x nilai kompleks gedung Sate, Bandung),
bersama-sama dengan para komisaris lainnya di PT. NKRI (Deli, Asahan Siak,
Yogya, Solo, Kutai kartanegara, Pontianak, Ternate, Tidore, Bali,
Sumbawa-daerah-daerah yg termasuk Zelfbestuuren-berpemerintahan sediri pada
jaman pendudukan Belanda di nusantara).
Bersamaan
dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan
bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke
Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil
menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden pada tahun
1946. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada
tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968
Beliau
tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun
dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II
mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional
Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak
Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin. Diawal
Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan
Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi
Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan
ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.
b.
Masa keemasan
Dengan klaim sebagai
pewaris Malaka,[10]
pada tahun 1724-1726 Sultan
Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah
Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun tahun 1728 atas
perintah Raja Sulaiman, Yang
Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil menekan Raja Kecil
keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat
pemerintahannya dan atas keberhasilan itu Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan
di Pulau
Penyengat.[11]
Sementara Raja Kecil
terpaksa melepas hegemoninya pada kawasan kepulauan dan mulai membangun
kekuatan baru pada kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745,
Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung
Malaya.[25] Ancaman dari Siak, serta
di saat bersamaan Johor juga mulai tertekan oleh orang-orang Bugis yang meminta balas atas
jasa mereka. Hal ini membuat Raja Sulaiman pada tahun 1746 meminta bantuan Belanda
di Malaka dan menjanjikan memberikan Bengkalis kepada Belanda, kemudian
direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.
Sepeninggal Raja Kecil
tahun 1746, klaim atas Johor memudar, dan pengantinya Sultan Mahmud fokus
kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan daerah vazal di
Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak
membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak
atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam bidang persenjataan.[28] Walau kemudian muncul dualisme
kepemimpinan di kerajaan ini yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara
mereka, Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi Sultan
Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul
sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan
Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.
Sekitar tahun 1767, Raja
Ismail, telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh Orang Laut, terus menunjukan
dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol
perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan
Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian
diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara
perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat
signifikan mulai dari Terengganu, Jambi dan Palembang. Laporan Belanda
menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar
jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang
kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke
Palembang.
Pada abad ke-18 K.esultanan Siak telah menjadi kekuatan yang
dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan
Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah
tersebut dalam pengawasannya,[12]
termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan
perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC
menyerang dan menundukkan Selangor, sebelumnya
mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.[13]
Perdagangan
Kesultanan Siak Sri
Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan
mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak
terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171
kapal dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan
antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang. Namun disisi lain
kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda
terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan
permusuhan terhadap Sultan
Siak, terlihat dalam Tuhfat al-Nafis, di mana dalam deskripsi
ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yang rakus akan
kekayaan dunia.
Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan
inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak
Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan berbagai produk
perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar bahkan timah dan emas. Sementara pada
saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yang utama di
Selat Malaka serta salah satu kawasan industri kayu terutama untuk pembuatan
kapal maupun untuk bangunan. Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada
tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada
sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar
kompensasi kepada VOC namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses
langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan
hujan yang tidak berujung.
Dominasi Kesultanan Siak
terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera dan Semenanjung Malaya cukup
signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan
jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang
kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan, yang sebelumnya telah
menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian kemajuan
perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman
Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.[14]
c.
Kemunduran
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh
Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan
Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang
sultan dari keturunan Tumenggung
Johor, yang berada dalam perlindungan Inggris di Singapura.[38][39] Sementara Belanda
memulihkan kedudukan Yang
Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu Belanda juga
mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw
pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka,
mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru
mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819.
Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit
antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris. Demikian juga
pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari
pemerintahan Hindia-Belanda, setelah memaksa Sultan Siak menandatangani
perjanjian pada 1
Februari 1858. Dari perjanjian tersebut
Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap
pengangkatan raja Siak mesti mendapat
persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda
mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat
perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan
Hindia-Belanda.[15]
Perubahan peta politik
atas penguasaan jalur Selat
Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan
dengan Inggris dan Belanda melemahkan pengaruh
hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya. Tarik
ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian
Sumatera antara pihak Inggris dan Belanda, menjadikan Siak berada
pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah. Kemudian
berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah
Hindia-Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada
Residen Riau. Namun di tengah tekanan tersebut Kesultanan Siak masih mampu
tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa
pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan
militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.[16]
d.
Struktur pemerintahan
Pengaruh Kerajaan
Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak,
setelah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yang mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini
memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang
Yang Ampat di Negeri
Sembilan. Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan
undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya. Dewan menteri ini terdiri
dari:
1. DatukTanah Datar dengan gelar
Sri Paduka Raja
2.
Datuk Lima Puluh dengan gelar Sri Bejuangsa
3.
Datuk Pesisir dengan gelar Sri Dewa Raja
4.
Datuk Kampar dengan gelar Maharaja Sri Wangsa
Di
samping keempat datuk tersebut ada pula Datuk Bintara Kanan dan Kiri yang
mengatur tata pemerintahan, hukum dan undang-undang kesultanan; Datuk Laksmana
untuk mengatur laut; dan Panglima untuk kawasan darat .[17]
Di luar
pusat pemerintahan, Kesultanan Siak Sri Indrapura juga mengatur sistem
pemerintahan di daerah. Sebagaimana tercatat di buku Sejarah Piau (2004),
pemerintahan di daerah-daerah dipegang oleh Kepala Suku yang bergelar Penghulu,
Orang Kaya, dan Batin. Ketiga jabatan tersebut sama kedudukannya, hanya saja
Penghulu tidak mempunyai hutan tanah. Dalam menjalankan tugasnya Penghulu
dibantu oleh:
1.
Sangko Penghulu (wakil Penghulu)
2.
Malim Penghulu (pembantu urusan kepercayaan/agama)
3. Lelo
Penghulu (pembantu urusan adat sekaligus berfungsi sebagai Hulubalang).
Batin
dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku ash. Jabatan ini didapat
secara turun temu run. Batin mempunyai hutan tanah (ulayat). Dalam menjahankan
tugasnya, Batin dibantu oheh:
1.
Tongkat (pembantu Batin dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban
terhadap sultan)
2. Monti (pembantu Batin urusan adat)
3. Antan-antan (pembantu Batin
yang sewaktu-waktu dapat mewakili Tongkat atau Monti jika keduanya berhalangan).
Batin
dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku ash. Jabatan ¡ni didapat
secara turun temurun. Batin mempunyai hutan tanah (ulayat). Dalam menjalankan
tugasnya, Batin dibantu oleh:
1.
Tongkat (pembantu Batin dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban
terhadap sultan)
2. Monti (pembantu Batin urusan adat)
3. Antan-antan (pembantu Batin
yang sewaktu-waktu dapat mewakili Tongkat atau Monti jika keduanya berhalangan).
Pada
masa pemerintahan Raja Kecil, terdapat beberapa perbatinan di sepanjang ahiran
Sungai Siak, antara lain: Perbatinan Gassib, Senapelan, Sejaleh, dan Perawang.
Perbatinan sebelah selatan Sungai Siak antara lain: Perbatinan Sakai dan
Petalangan. Sedangkan perbatinan di pulau-pulau, antara lain : Perbatinan
Tebing Tínggi, Senggoro, Merbau, dan Rangsang. Sementara itu, daerah ash yang kepala
sukunya disebut penghulu antara lain: Siak Kecil, Siak Besar, Betung, dan
Rempah [18]Model
sistem pemerintahan yang dirancang oleh Raja Kecil bertahan hingga Kesultanan
Siak Sri Indrapura diperintah oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil
Syarifuddin (1889-1908). Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jahil Syarifuddin
merubah sistem pemerintahan dan meletakkan landasan sistem pemerintahan
Seiring dengan
perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan pembenahan sistem
birokrasi pemerintahannya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh model birokrasi
pemerintahan yang berlaku di Eropa maupun yang diterapkan pada kawasan kolonial
Belanda atau Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak
terlihat pada naskah Ingat
Jabatan yang diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33
halaman yang panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi. Ingat Jabatan
merupakan dokumen resmi Siak Sri Inderapura yang dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung
jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat
istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari
setiap uraian tugas para birokrat tersebut ditutup dengan peringatan serta
perintah untuk tidak khianat kepada sultan dan nagari.[19]
Nama-nama raja Siak
1.
Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil
Rakhmat Syah (1723-1746). Raja Kecil adalah pendiri Kesultanan Siak Sri
Indrapura setelah sebelumnya merebut Kesultanan Johor pada 1717.
2.
Tengku Buang Asmara bergelar Sultan Muhammad Abdul
Jalil Jalaluddin Muzafar Syah (1746-1765). Pada masa pemerintahannya nama Siak
Sri Indrapura resmi digunakan.Tengku Buang Asmara bergelar Sultan Muhammad
Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah (1746-1765). Pada masa pemerintahannya nama
Siak Sri Indrapura resmi digunakan.
3.
Tengku Ismail bergelar Sultan Ismail Abdul Jalil
Jalaluddin Syah (1765-1767). Beliau juga dikenal dengan sebutan “Sultan Kudung”
karena tangannya kudung dalam peperangan melawan Belanda pada 1766.
4.
Tengku Alamuddin bergelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin
Syah (1766-1780).
5.
Tengku Muhammad Ah Panglima Besar bergelar Sultan
Muhammad Ah Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782). Pada masa pemerintahannya
Pekanbaru berkembang menjadi pusat perdagangan.
6.
Tengku Sulung/Yahya bergelar Sultan Yahya Abdul
Jalil Muzaffar Syah (1782-1784).
7.
Tengku Said Ah bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ah
Abdul Jalil Baalawi (1784-1810). Beliau adalah putra dan Tengku Embung Badariah
dan Said Syarif Usman, seorang bangsawan Arab, sehingga beliau merupakan Sultan
Siak pertama berdarah Arab. Pada masa pemerintahannya Siak memiliki 12 daerah
jajahan, di antaranya: Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai,
Bilah, Asahan, Deli, Serdang, Langkat,dan Temiang.
8.
Tengku Said Ibrahim berQelar Sultan Assyaidis
Syarif Ibrahim Abdul Jahil Khahiluddin (1810-1827).
9.
Tengku Said Isrnail bergelar Sultan Assyaidis
Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864). Pada masa pemerintahannya
Traktat Siak ditandatangani pada 1 Februari 1858.
10.
Tengku (Panglima Besar) Said Kasim I bergelar
Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifuddin (1864-1889). Beliau
berhasil mendirikan Masjid Syahabuddin, Qubbah Kasyimiah, membuat mahkota kesultanan,
memuhai modernisasi pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi.
11.
Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan
Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jahil Syarifuddin (1889-1908). Beliau meneruskan
modernisasi dalam pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkaya
kesultanan dengan eksport hasil bumi Siak. Behiau juga membangun Balai
Kerapatan Tínggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah yang diisi
dengan perhengkapan Eropa (di antaranya tempat cerutu yang terbuat dan perak,
tempat gula yang khusus dipesan dan Limoges, Perancis, dan alat musik Gramafon
dan Komet buatan Jerman), membangun percetakan, dan menyusun Al Qawa’id atau Babul
Qawa’id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura). Babu! Qawa’id
diartikan sebagai “Pintu Segaha Pegangan” (Norma Dewi et.al., 1999/2000:13).[20]
12.
Tengku (Putera) Said Kasim H bergelar Sultan
Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946). Sultan Kasim
II adalah sultan terakhir Kesultanan Siak Sri Indrapura. Pada 25 April 1968
beliau ditetapkan sebagai Warga Utama Daerah Riau, dan pada 6 November 1998
beliau mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia.[21]
Perkembangan selanjutnya,
Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang,
dikenal dengan nama Bab al-Qawa'id. Kitab ini dicetak di
Siak tahun 1901, menguraikan hukum yang dikenakan kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang
terlibat perkara dengan masyarakat Melayu. Namun tidak mengikat orang Melayu
yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi
permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah
Hindia-Belanda.
Dalam pelaksanaan masalah
pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan
Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi
Siak serta Controleur Siak sebagai anggota. Selanjutnya beberapa
nama jabatan lainnya dalam pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira
Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi.
Kemudian terdapat juga warga dalam yang bertanggung jawab terhadap harta-harta
disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendarhari Sriwa Raja
yang bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan.[51]
Dalam administrasi
pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu dan hilir,
masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dalam bentuk distrik[48] yang dipimpin oleh
seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab
kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak,[53] salah satunya keturunan Al-Jufri
yang bergelar Bendahara Patapahan.[54]
Pada kawasan tertentu di
Siak Sri Inderapura, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko
Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara
terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yang sama dengan Penghulu,
namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki oleh
Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat,
Monti dan Antan-antan. Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk
jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo
atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir.[14][50][55]
Yang
Dipertuan Besar Siak adalah gelar dari penguasa Siak Sri Inderapura, selain
gelar Sultan Siak. Penguasa Siak ini dipilih oleh sebuah dewan menteri
yang terdiri dari 4 orang datuk yaitu
Datuk Tanah Datar, Datuk Limapuluh, Datuk Pesisir dan Datuk Kampar..
2.
Sistim Peradilan Masa
Kerajaan Siak
a.
Penyusunan Babul Al-Qawaid
Kehidupan modern di Kesultanan Siak sudah bermula
ketika Belanda masuk dan berlanjut pada Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar
Sultan Assyaidis Syarif Hasirn Abdul Jalil Syarifuddin naik tahta pada
1889-1908. Seperti tertulis didalam buku Siak Sri Indrapura (2005), beliau
meneruskan modernisasi dalam pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
memperkaya kesultanan dengan ekspoit hasil bumi Siak. Beliaulah yang membangun Balai
Kerapatan Tínggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah yang diisi
dengan perlengkapan Eropa (di antaranya tempat cerutu yang terbuat dan perak,
tempat gula yang khusus dipesan dan Limoges, Perancis, dan alat musik Gramafon
dan Komet buatan Jerman), membangun percetakan, dan menyusun AI-Qawa’id atau
Babul Qawa’id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura) tahun 1901 walaupun pada saat itu pemerintahan penjajahan Belanda
berkuasa, namun pemerintahan kerajaan tetap berjalan dan
berkuasa. Sejak abad ke 13 M di kerajaan Siak ini telah memiliki Pengadilan
Agama sendiri dengan dilengkapi Buku Hukum (kodifikasi) yang berjudul babul
qawaid. Dalam buku ini disamping mengatur tentang kompetensi dan
kedudukan Hakim-Hakim juga mengatur tentang komposisi kelembagaan dan mekanisme
kerja peradilan itu sendiri.[22]
Babul Qawa’id merupakan kitab undang-undang di
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang
hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan
dengan orang Melayu. Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005) dijelaskan bahwa
bagian pertama Babu! Qawa’id merupakan bagian pembukaan yang terdiri dan dua pasal
dan menjelaskan tentang motivasi, atar belakang, nama dan naskah ini, dan
menyebutkan bahwa isinya tidak beriaku sebagai hokum bagi penduduk bukan Melayu
atau Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kecuali yang terhibat
perkara dengan orang Melayu. Pengadilan untuk kasus ini akan mehibatkan pejabat
Kesultanan Siak Sri Indrapura dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda.[23]
Pengadilan
Tinggi berada di ibukota Kerajaan yang disebut Kerapatan Qodhi yang diketuai
oleh Sultan, sedangkan hakim Anggota adalah datuk-datuk dari setiap suku,
Qodhi dan Controleur yaitu :
1. Datuk Sri Pekermaja (Kepala Suku Tanah Datar)
2. Datuk Sri Bijuangsa (Kepala Suku Lima Puluh)
3. Datuk Sri Dewaraja (Kepala Suku Pesisir)
4. Datuk Amir Pahlawan (Kepala Suku Kampar)
5. Qodhi
6. Controleur
Balai
Kerapatan Qodhi diberi nama Balairung, yakni tempat diselenggarakannya
aktifitas peradilan, yang berkenaan dengan soal agama seperti Muamalat
(perdata) maupun Jinayat (pidana) berupa Jarimah seperti Hudud, Qisas Diat dan
Ta’zir .[24]
Pada
bagian utama Babul Qawa’id terdiri dan 22 bab yang mencakup 154 pasal. Bab
pertama merinci pembagian negeri ke dalam 10 provinsi dan batas-batasnya. Selanjutnya
tertulis pula bab-bab yang mengatur, antara lain:
1.
Gelar yang Berkuasa di Kerapatan Tínggi,
2.
Besaran Hukuman yang Akan Disidang di Kerapatan
Tinggi,
3.
Perkara yang Akan Disidang di Hadapan Hakim Polisi,
4.
Tugas Hakim Polisi Kesultanan dan Provinsi
Jajahan,
5.
Nama-nama Suku.[25]
Selain
Babul Qawa’id, perubahan sistem pemeritahan juga terlihat pada lembaga
pemerintahan di
Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Di dalam buku Sefintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya
(1999/2000), disebutkan bahwa di dalam menjalankan pemerintahan, sultan dibantu
oleh para pejabat kesultanan yang memimpin lembaga, baik di pusat maupun di
daerah yang terdiri dari:
1.
Sultan merupakan kepala pemerintahan, pemegang
kedaulatan dan administratur tertinggi.
2.
Dewan Menteri (Dewan Kesultanan) yang bertugas
memilih dan mengangkat sultan. Dewan ini bersama dengan sultan membuat undang-undang
dan peraturan.
3.
Hakirn Kerapatan Tingqi yang bertugas dalam
pelaksanaan pengadilan umum.
a.
Sedang Balai Kerapatan Tinggi adalah tempat untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi pada rakyat Siak. Kepala dan
b.
Kerapatan Tinggi adalah sultan dan didampingi oleh
para Datuk. Kadi negeri Siak dan Controleur Siak berfungsi sebagai anggota.
4.
Hakirn
Polisi merupakan kepala pemerintahan di tingkat provinsi sebagai wakil sultan.
Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura terdiri dan 10 provinsi. Yakni:
a.
Propinsi Siak bergelar Tengku Besar
b.
Propinsi Tebing Tinggi bergelar Tengku Temenggung
Muda
c.
Propinsi Merbau Bergelar Orang Kaya Setia Indera
d.
Propinsi Bukit Batu Bergelar datuk Laksamana Setia
Diraja
e.
Propinsi Bangko bergelar Datuk Dewa Pahlawan
f.
Propinsi Kubu bergelar Datuk Jaya Perkasa
g.
Propinsi Pekanbaru bergelar datuk Syahbandar
h.
Propinsi Tapung Kiri bergelar Syarif Bendahara
i.
Propinsi Tapung Kanan bergelar Datuk Bendahara
j.
2 Komisaris Negara Pangeran wira Negara dan
Pangeran Wira Kesuma
5.
Hakim
syariah yang terbagi menjadi dua, pertama berkedudukan di Negeri Siak Sri
Indrapura bergelar Kadi Siak. Tugas dan Kadi Siak menangani pengadilan tentang
harta pusaka atau warisan dan masalah hukum adat. Kedua berkedudukan di daerah
provinsi yang bergelar Imam Jajahan. Tugas Imam jajahan adalah membantu Kadi
Siak.
6.
Hakirn Kepala Suku/Hinduk merupakan pemerintahan
yang terendah menurut hierarki Kesultanan Siak Sri Indrapura. Hakim Kepala
Suku/Hinduk bertu gas melaksanakan pemerintahan dan men gatur kehidu pan
bermasyarakat, beragama, dan berkesultanan pada sukunya masing-masing. Hakim
Kepala Suku/Hinduk tunduk pada Hakim Polis. Provins.i [26]
Namun
pada 15 Juni 1915 atas tekanan kerajaan Belanda, kekuasaan kerajaan Siak
menjadi sangat dibatasi,[27]
para hakim propinsi kekuasaannya dipersempit bahkan ada yang hilang.
Berdasarkan keputusan yang diatur oleh Belanda wilayah Siak dibagi dalam bentuk
Distrik yang dipecah lagi menjadi Oder
Distrikyaitu:
1.
Distrik Siak yaitu Siak Sri Inderapura, Mempura di
Buatan, Mandau dan Sungai Pakning
2.
Distrik Selat Panjang di Tebing Tinggi selat
Panjang dan Merbau di Belitung
3.
Distrik Bukit Batu dan distrik Dumai di Batu
Panjang
4.
Distrik Bagan Siapi-Api yaitu Bangko di Bagan
Siapi-Api, Tanah Putih dan Kubu
5.
Distrik Pekanbaru di pekanbaru, Tapung Kiri di
Petapahan dan Tapung Kanan di Sikijang[28]
Pembagian
wilayah Distrik ini seolah-olah bertujuan untuk memudahkan Sultan dalam
mengatur Negeri, akan tetapi sebenarnya bertujuan untuk menghambat gerakan
Sultan, sebab pengangkatan kepala Distrik tidak lagi merupakan kekuasaan penuh
Sultan namun harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.[29]
Rngkasan Babul AlQawaid
BAB I
Menentukan
watas dan perhinggaan bagian provinsi masing-masing.
Pasal Satu
Negeri Siak
Sri Indrapura
Pasal Dua
Negeri Tebing
Tinggi
Pasal Tiga
Negeri Merbau
Pasal Empat
Negeri Bukit
Batu
Pasal Lima
Negeri Bangko
Pasal Enam
Negeri Tanah
Putih
Pasal Tujuh
Negeri Kubu
Pasal Delapan
Negeri
Pekanbaru
Pasal Sembilan
Negeri Tapung Kiri
Pasal Sepuluh
Negeri Tapung
Kanan
BAB II
Nama gelar
yang berkuasa di Kerapatan Tinggi dan menjadi Hakim Polisi pada propinsi
masing-masing.
Pasal Satu
Hakim
Kerapatan tinggi, polisi, Hajim Syari’ah, Hakim Kepala Suku Hinduk di Siak
Pasal Dua
Tengku
Tumenggung di Tebing Tinggi
Pasal Tiga
Orang Kaya
Setia Indra di Merbau
Pasal Empat
Datuk
Laksamana di Bukit Batu
Pasal Lima
Datuk Dewa
Pahlawan di Bangko
Pasal Enam
Datuk Setia
Maharaja di Tanah Putih
Pasal Tujuh
Datuk Jaya
Perkasa / Datuk Raha Indra Setia di Kubu
Pasal Delapan
Datuk Bandar
di Pekanbaru
Pasal Sembilan
Syarif
Bendahara di tapung Kiri
Pasal Sepuluh
Datuk
Bendahara Muda Sekijang di Tapung Kanan
BAB III
Perkara dan
bicara yang wajib dibawa ke hadapan Majelis Kerapatan Tinggi yang bersemayam di
dalam Negeri Siak Sri Indrapura.
Pasal Satu
Membunuh
disengaja dengan senjata tajam dan sejenisnya
Pasal Dua
Membunuh orang
disengaja dengan racun dan sejenisnya
Pasal Tiga
Rupa-rupa
pembunuhan lainnya dengan senjata
Pasal Empat
Terkena luka
besar, merusak urat besar, sampai merusakkan anggota badan jadi cacat
Pasal Lima
Mencuri,
maling, samun, dan segala tipu daya
Pasal Enam
Salah bakar
Pasal Tujuh
Celaka durhaka
Pasal Delapan
Angkara Murka
Pasal Sembilan
Hutang piutang
BAB IV
Perkara dan
bicara yang wajib dibawa ke hadapan hakim polisi yang bersidang di dalam Negeri
Siak Sri Indrapura.
Pasal Satu
Menyuruh kerja
paksa.
Pasal Dua
Menentukan
denda.
Pasal Tiga
Memutuskan
perkara hutang piutang.
Pasal Empat
Menyelesaikan
perkara dusun, kebun dan kampung.
BAB V
Perkara dan
bicara yang dibicarakan di hadapan Hakim Polisi Jajahan Negeri Siak Sri
Indrapura
Pasal Satu
Menghukum
kerja paksa, setinggi-tingginya 3 bulan.
Pasal Dua
Bila hukuman
kerja paksa lebih satu bulan.
Pasal Tiga
Menentukan
denda maka, setinggi-tingginya 60 ringgit burung.
Pasal Empat
Memutuskan
perkara hutang-piutang, setinggi-tingginya 150 ringgit burung.
Pasal Lima
Menyelesaikan
perkara harta pusaka, setinggi-tingginya 300 ringgit burung.
Pasal Enam
Menyelesaikan
perkara dusun, kebun dan kampung, setinggi-tingginya 300 ringgit burung.
Pasal Tujuh
Yang wajib
dibicarakan bahagian propinsi, dan perkara yang lebih besar wajib dikirimkan
pada hakim Polisi Negeri Siak Sri Indrapura
BAB VI
Musyawarah
hakim-hakim polisi
BAB VII
Nama kepala
suku hinduk-hinduk
BAB VIII
Kuasa kepala
suku
BAB IX
Kuasa bagi
bendahara
BAB X
Kuasa Qadi
Negeri Siak
BAB XI
Imam jajahan
BAB XII
Kuasa kepala
sekalian imam jajahan
BAB XIII
Ketinggian Sri
Paduka Sultan atas hukum polisi dan kepala suku hinduk-hinduk
BAB XIV
Pekerjaan dan
tanggungan hakim-hakim polisi bagian Negeri Siak Sri Indrapura dan hakim polisi
bahagian propinsi jajahan.
BAB XV
Kewajiban bagi
pangeran-pangeran.
BAB XVI
Pekerjaan hoof
jaksa.
BAB XVII
Tambahan
pekerjaan baduada perkasa.
BAB XVIII
Aturan menjual
kebun, dusun, dalam negeri Siak Sri Indrapura serta jajahannya taklukanya
BAB XIX
Menentukan
nama suku
BAB XX
Aturan
kepala-kepala mengerah bila beroleh perintah dari Sri Paduka Sultan menyuruh
berat bekerja
BAB XXI
Menyatakan
bahagian-bahagian denda dan sapu meja yang dapat dari tempat keadilan yang
dilakukan oleh Kerapatan Tinggi dan Hakim Polisi Negeri Siak dan Hakim Polisi
Jajahan.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
hasil pemaparan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang kerajaan Siak
dan sistim Peradilannya yaitu:
1.
Kerajaan siak
yang menganut sistim Monarkhi Demokrasi ini didirikan oleh Raja Kecik anak
keturunan anak dari Sultan Mahmud Shah
sultan Kesultanan Johor yang dibunuh dan dilarikan ke Pagaruyung bersama
ibundanya Encik Apong. Raja kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun
1723. Kerajaan ini tumbuh sampai tahun 1946 atau berkuasa sekitar 223
tahun. Berakhir karena Sultan Syarif Kasim II menyatakan bergabung dengan NKRI.
Islam dijadikan agama resmi kerajaan.
2.
Sistim
peradilan yang digunakan pada masa kerajaan Siak bersumber pada Kitab Babul
Qawaid yang disusun oleh Tengku
Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasirn Abdul Jalil
Syarifuddin naik tahta pada 1889-1908. Buku ini disusun tahun 1901 dan
dijadikan sumber hukum dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembagian kekuasaan
serta sistim peradilan perdata maupun pidana pada masa itu. Landasan hokum yang
digunakan pada masa itu adalah bercorakkan hokum Islam. Akan tetapi jika
menyangkut tentang masalah yang terjadi antara masyarakat dengan Belanda
ataupun orang-orang yang bekerja dengan Belanda maka permasalahn Hukum
diputuskan secara bersama oleh kedu belah pihak.
Demikian
penulisan ini semoga bermanfaat dan dapat menambah khazanah pengetahuan kita
tentang keberadaa Kerajaan Siak dan system Peradilannya. Masukan dan saran
diperlukan untuk penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Amir Lutfi, Unsur Islam Dalam Sistem Peradilan
Kesultanan Siak Sri Inderapura 1915-1945, Pekanbaru, IAIN Susqa Press.
2.
Amir Luthfi., Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan
hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press.
3.
A. Reid, Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai
Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19, Yayasan Obor Indonesia,
2005.
4.
Collins, James T. Bahasa
Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV bekerja sama dengan Pusat Bahasa dan
Yayasan Obor Indonesia.2005.
5.
DEPDIKBUD. Sejarah daerah Riau, Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
6.
J. Cave, R.
Nicholl, P. L. Thomas., Tenas Effendy, , Syair Perang Siak: a court
poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile,
Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
7.
L. Y. Andaya.,
Raja Kechil and the Minangkabau conquest of Johor in 1718, JMBRAS 1972.
8.
Norma Dewi et
.al.. Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya. Bapeda
Riau 2000.
9.
S. M. Samin, Sultan
Syarif Kasim II: pahlawan nasional dari Riau, Yayasan Pusaka Riau 2002.
10.
Swardila Suwarno,
et.al.. Siak Sri Indrapura. Jakarta: Amanah-Lontar, 2005.
11.
T. P. Barnard,
Multiple centres of authority: society and environment in Siak and
eastern Sumatra, 1674-1827, KITLV Press.
12.
T. P. Barnard, Texts,
Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth
Century, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3 2001.
13.
Tenas Effendy,
Lintasan Sejarah Kerajaan Siak, Pekanbaru, BPKD, 1972.
14.
The Edinburgh
Gazetteer, Or Geographical Dictionary, A. Constable and Company, 1822.
15.
Yuli S.
Setyowati (ed.).. Sejarah Riau. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2004
[1]
Lutfi, Amir, Unsur Islam Dalam Sistem
Peradilan Kesultanan Siak Sri Inderapura 1915-1945, Pekanbaru, IAIN Susqa
Press, p. 266
[2]
Andaya, L.Y., Raja Kechil and the Minangkabau conquest of Johor in 1718, JMBRAS
1972, p. 45.
[3] The
Edinburgh Gazetteer, Or Geographical Dictionary, A. Constable and Company,
1822.
[4] Andaya, L.Y., Op. Cit., p. 55. Lihat juga
Barnard, T. P., (2003), Multiple centres of authority: society and environment
in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827, KITLV Press, dan Cave, J., Nicholl, R.,
Thomas, P. L., Effendy, T., (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting
the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, Malaysian Branch
of the Royal Asiatic Society
[5] Samin, S. M., Sultan Syarif Kasim II:
pahlawan nasional dari Riau, Yayasan Pusaka Riau 2002, p. 25
[6] Norm a Dewi et .al.. Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri
Indrapura dan Peninggalannya. Bapeda Riau 2000, p. 5 Baca juga Luthfi, A., Hukum
dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan
Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press, 1991, p. 52
[7] Ibid., p. 6
[8] Yuli S. Setyowati (ed.).. Sejarah Riau. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2004, p. 207
[9] Suwarno, Swardila, et.al.. Siak Sri Indrapura.
Jakarta: Amanah-Lontar, 2005, p. 65
[10] Luthfi, A., , Hukum dan perubahan struktur
kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press, 1991,
p. 91
[11]
Andaya, L.Y., Op Cit., p. 55.
[12] Collins,
James T. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV bekerja sama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia.2005, p. 69
[13] Barnard, T.P., Texts,
Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in
theEighteenth Century, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No.
3 2001, p. 331-342.
[14] Reid, A., Asal
mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan
Aceh abad ke-19, Yayasan Obor Indonesia, 2005, p 115
[15]
Ibid, p 220
[16] Sejarah daerah Riau, Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, p. 125
[17]
Norma, Dewi, Op., Cit., p. 6-7
[18]
Setyowati, Yuli, Log., Cit.
[19]
Ibid
[20]
Ibid, p. 13
[22]
Lutfi, Amir, Op., Cit., p. 340
[23]
Suwarno, Adila, Op., Cit., p 88
[24]
Ibid
[25]
Ibid
[26]
Dewi, Norma, Op., Cit., p. 7-8
[27]
Lutfi, Amir, Op., Cit., p 295-296
[28]
Effendy, Tenas, Lintasan Sejarah Kerajaan Siak, Pekanbaru, BPKD, 1972,
p. 49-50
[29]
Lutfi, Amir, Log., Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar