BANK ASI
DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A.
Pendahuluan
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang
terbaik bagi bayi, karena pengolahannya telah berjalan secara alami dalam tubuh
si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah disiapkan lebih dahulu, sehingga
begitu anak itu lahir, air susu ibu telah siap untuk dimanfaatkan. Demikian
kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Namun demikian ada banyak kaum ibu
pada saat ini yang tidak dapat memberikan ASI kepada anaknya dengan berbagai
alasan seperti ASI-nya tidak keluar, alasan kesehatan serta karena waktunya
tersita untuk bekerja, maka muncullah gagasan untuk mendirikan Bank ASI untuk
memenuhi kebutuhan ASI balita yang ibunya tidak bisa menyusui anaknya secara
langsung.
Berdasar pada hal tersebutlah maka ide mendirikan
bank ASI ini muncul. Sebenarnya ide ini telah berkembang di Eropa kira-kira
lima puluh tahun yang lalu. Gagasan itu muncul setelah adanya bank darah.
Mereka melakukannya dengan mengumpulkan ASI dari wanita dan membelinya kemudian
ASI tersebut dicampur di dalam satu tempat untuk menunggu orang yang membeli
ASI tersebut dari mereka. Permasalahan ini cukup menarik untuk dikaji melalui
hukum Islam. Pentingnya melakukan kajian tersebut, karena sebagaimana yang
diketahui bahwa dalam Islam ada istilah yang disebut sebagai saudara sesusu.
Apakah bank ASI ini juga mengakibatkan terjadinya saudara sesusuan atau tidak?
Setiap
anak yang baru dilahirkan memiliki hak atas dirinya yang harus dipenuhi ibunya,
Islam mewajibkan ibu untuk menyusui anak hingga berusia dua tahun. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surah alBaqarah ayat 233 sebagai berikut:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ آَامِلَيْنِ
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Artinya : Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama
dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna…..[1]
Asal
hukum menyusui anaknya bagi seorang ibu hukumnya adalah sunnah, namun hal itu
terjadi bila seorang ayah merupakan orang yang mampu dan ada orang lain yang
mau menyusui anaknya. Jika semua hal itu tidak ada, maka menyusui anak tersebut
hukumnya wajib [2].
Kata al-walidat dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan ummahat yang
merupakan bentuk jamak dari kata umm. Kata ummahat biasanya digunakan. untuk
menunjuk kepada para ibu kandung, sedangkan al-walidat artinya adalah para ibu,
baik ibu kandung atau bukan. Oleh karena itu, al-Qur’an sejak dini telah
menggariskan bahwa ASI, baik susu ibu kandung atau bukan, adalah konsumsi
terbaik bagi bayi sampai usia dua tahun. Dan air susu ibu kandung yang lebih
baik tentunya. Karena anak merasa tenang dan tentram, sebab menurut ilmuan,
bayi ketika itu mendengar detak jantung ibunya dan sudah mengenal sejak dalam
kandungan. Detak jantung wanita lain berbeda dengan ibunya sendiri.
Penyusuan
sampai dua tahun bukan merupakan perintah wajib, karena dipahami dari potongan
ayat liman arada an yutimma ar-rada’ah (bagi yang ingin menyempurnakan susuan).
Akan tetapi, anjuran ini sangat ditekankan, seolah-olah merupakan perintah
wajib. Apabila kedua orang tuanya sepakat untuk mengurangi masa tersebut, maka
tidak mengapa. Tetapi hendaknya jangan lebih dari dua tahun, karena dua tahun
telah dinilai sempurna oleh Allah.[3]
Di
sisi lain, masa dua tahun itu menjadi tolak ukur bila terjadi perbedaan
pendapat diantara ibu bapak. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa seorang
hakim dapat memaksa seorang ibu untuk menyusui anaknya. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat bahwa seorang ibu hanya dianjurkan (mandub) untuk menyusui anaknya.
Oleh karena itu hakim tidak berhak memaksa, kecuali hanya dalam keadaan
darurat.[4]
Perbedaan
pendapat ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman dalam memahami ayat 233
dalam surah al-Baqarah. Sebagian ulama memahami bahwa ayat ini sebagai perintah
pada seorang ibu untuk menyusui anaknya. Pendapat ini mereka dukung dengan
potongan lain dalam surah al-Baqarah ayat 233 yang menyatakan:
….لَا تُضَارَّ
وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ....
Artinya
: “..........janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan juga seorang
ayah karena anaknya......”.[5]
Jumhur
ulama memahami perintah dalam ayat ini bukanlah perintah wajib melainkan sunnah
(mandub), disamping ayat itu merupakan petunjuk bagi suami istri dalam
persoalan menyusukan anak. Didukung dengan firman Allah SWT dalam surah at-Talaq
ayat 6:
.....وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ اُخْرى…..
Artinya
: dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya.[6]
Menurut
jumhur ulama fiqih dianjurkan seorang ibu untuk menyusui anaknya, karena susu
ibu lebih baik bagi anaknya dan kasih sayang ibu dalam menyusukan anak lebih
dalam. Di samping itu menyusukan anak itu merupakan hak bagi ibu sebagaimana
juga menjadi hak bagi sang anak. Oleh karena itu, seorang ibu tidak boleh
dipaksakan mempergunakan haknya, kecuali ada alasan yang kuat untuk memaksa para
ibu untuk menyusui anaknya.[7]
ASI
merupakan bahan makanan yang diberikan Allah SWT kepada seorang bayi melalui
payudara ibunya selama dua tahun pada awal masa kehidupannya. Menyusui
sebaiknya dilakukan setelah proses kelahiran bayi dan setiap kali bayi menetek.
Dan sebaiknya bayi pada masa itu diberikan dengan susu kolustrum[8]
yang merupakan nutrisi pertama paling penting bagi bayi, karena mengandung
antibodi yang melindungi bayi dari infeksi dan faktor pertumbuhan yang membantu
perkembangan secara normal dan pematangan pencernaan.[9]
Karena
sebab penyusuan itu pula berkaitan hukum Islam terutama dalam perkawinan Islam
yaitu terdapat hal yang istimewa di antaranya adalah penghalang bagi seseorang
untuk menikah dengan wanita yang menyusuinya yang lebih dikenal dengan rada'ah.
Persusuan akan menjadikan orang yang disusui menjadi mahram bagi ibu rada'ahnya
sebagaimana menjadi kemahraman bagi anak laki-laki terhadap setiap orang yang
diharamkan baginya dari keturunan ibu kandung. Menyusui merupakan hal yang
esensial bagi manusia, maka sebagian orang berpikir tentang beragam cara agar
semua orang dengan segala aktivitas dapat menyusui tanpa mengganggu kinerja
kerjanya.
Maka
para ilmuwan Eropa menghadirkan ide untuk mendirikan Bank ASI dengan tujuan
membantu para ibu yang tidak bisa menyusui bayinya secara langsung, baik karena
kesibukan bekerja maupun kesulitan yang lain seperti ASI yang tidak bisa
keluar, ibu mengidap penyakit yang mempengaruhi produksi ASInya dan membantu
bagi bayi yang lahir secara prematur maupun yang ditinggal mati ibunya.[10]
Namun
masih terdapat rasa kekhawatiran dari sebagian masyarakat mengenai timbulnya mahram
antara donatur susu (para ibu) dengan para bayi yang menyusu, sehingga ketika
bayi sudah mencapai usia dewasa, kemudian dia menikahi wanita yang menyusuinya,
maka dikhawatirkan terjadi perkawinan yang dilarang karena hubungan persusuan.
Oleh karena itu muncul pertanyaan apakah persusuan dalam Bank ASI tetap
menimbulkan hukum mahram atau tidak?
Berbeda dengan Yusuf Qardawi, sebagai ulama kontemporer dia pernah
melontarkan pemikiran kontroversial tentang perwujudan Bank ASI. Menurutnya
pendirian Bank ASI tidaklah dilarang oleh agama karena tidak dijumpai alasan
untuk melarang (mani’), asalkan bertujuan untuk mewujudkan tujuan yang kuat dan
untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi bagi bayi prematur (yang tidak
mempunyai daya dan kekuatan) terlebih bayi yang ditinggal mati oleh ibunya.[11]
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan [12],
menyimpulkan bahwa pengumpulan susu oleh rumah sakit dari kaum ibu yang
diberikan pada bayi-bayi yang dirawat dalam rumah sakit dapat menimbulkan hukum
mahram.
menurut Mazhab Hanafi bahwa air susu yang sudah terpisah dari
seorang ibu dianggap telah menjadi bangkai dan haram menjual air susu ibu,
sehingga pendirian Bank ASI tidak diperbolehkan, sedangkan menurut Syafi’i
bahwa pemisahan air susu dari seorang ibu, maka ASI tersebut tetap suci dan
boleh dikonsumsi namun tetap mengakibatkan hukum mahram, dan diperbolehkan
menjual ASI karena dianggap seperti makanan sebagaimana susu yang lain pada
umumnya, sehingga bila ditinjau dari pendapat ini, maka Bank ASI boleh didirikan.
Muhammad Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah al-Hadisah pada masalah-masalah
Kontemporer Hukum Islam[13],
menyimpulkan bahwa agak sukar menentukan atau mengetahui donor ASI sebagaimana
donor darah, karena pendonor ASI dan bayi yang menyusu tidak saling mengenal.
Adapun pemanfaatan air susu dari Bank ASI adalah sah apabila dalam keadaan
terpaksa (bukan karena haram).
B.
Pengertian Bank Asi
Bank ASI
merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI dari donor ASI yang kemudian akan
diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu
yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI
biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es
agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk
anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan,
terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu
menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.[14]
Semua ibu donor
diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu
non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan
memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif
untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan
terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC
aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau
riwayat kanker. Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu ruangannya[15]:
a.
Suhu 19-25 derajat celsius ASI dapat tahan 4-8
jam.
b.
Suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari
c.
Suhu dalam freezer khusus bisa tahan 3-4 bulan[16]
C.
Kaitan Bank ASI dengan radla'ah
a.
Pengertian ar-Radha'ah
Para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha' atau susuan.
Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha' adalah seorang bayi yang
menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan
Malikiyah mengatakan bahwa ar-Radha' adalah masuknya susu
manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As-Syafi'iyah mengatakanar-Radha' adalah
sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al-Hanabilah
mengatakan ar-Radha' adalah seorang bayi di bawah dua tahun
yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau
meminum susu tersebut atau sejenisnya.[17]
b.
Batasan Umur
Para ulama
berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang
bisa menyebabkan kemahraman.[18] Mayoritas
ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke
bawah.
فَإِنَّمَاالرَّضَاعَةُمِنْ
الْمَجَاعَةِ
"Sesungguhnya
persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar" (HR
Bukhari dan Muslim)[19]
Para ulama
berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan. Mayoritas
ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam
perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap
puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara as-su'uth (memasukkan
susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara al-wujur (menuangkannya
langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.[20] Sebagaimana
Riwayat Abu Daud dan Daar Kuthny dari Ibnu Mas'ud bahwasannya Rasulullah Saw.
Bersabda,
لاَرَضَاعَ
اِلاَّمَاانْشَزَالْعُظْمَ وَانْبَتَ ا للَّحْمَ
Tidak ada penyusuan kecuali yang membesarkan
tulang dan menumbuhkan daging. (HR. Abu Dawud).
d.
Dasar
Hukum Rada'ah
Dalil
yang menjadi dasar rada'ah bersumber dari:
a.
Ayat
al-Qur’an, antara lain:
…..وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ آَامِلَيْنِ
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ....
Artinya
: Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi
yang ingin menyusui secara sempurna.......... (alBaqarah: 233)[21]
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي
نَكُمْأَرْضَعْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ ......
Artinya
: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
........... (an-Nisa’: 23)[22]
b.
Sunnah
Rasulullah
حَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ح
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ح
وَحَدَّثَنَا
سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ آِلَاهُمَا عَنْ
أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ )وَقَالَ سُوَيْدٌ وَزُهَيْرٌ إِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ.
Artinya: هBercerita padaku Zuhair Ibn
H{arb berkata padaku Isma’il Ibn Ibrahim dan Berkata padaku Muhammad Ibn
‘Abdillah Ibn Numair berkata padaku Isma’il dan Berkata padaku Suwaid Ibn Sa’id
berkata padaku Mu’tamir Ibn Sulaiman keduanya dari Ayyub dari Ibnu Abi Mulaikah
dari ‘Abdillah Ibn Zubair dari ‘Aisyah ra Berkata, Rasulullah SAW Bersabda
“tidaklah menimbulkan kemahraman satu kali sedot dan dua kali sedotan ”.
وحَدَّثَنَاه
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ ح وحَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ مِهْرَانَ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
عُمَرَ جَمِيعًا عَنْ شُعْبَةَ ح و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ آِلَاهُمَا
عَنْ قَتَادَةَ بِإِسْنَادِ هَمَّامٍ سَوَاءً غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ شُعْبَةَ
انْتَهَى عِنْدَ قَوْلِهِ ابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ وَفِي حَدِيثِ سَعِيدٍ
وَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ وَفِي
رِوَايَةِ . 8 بِشْرِ
بْنِ عُمَرَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ زَيْدٍ
Artinya
: Bercerita Zuhair Ibn H{arb bercerita padaku Yahya yaitu alQuttan bercerita padaku
Muh{ammad Ibn Yahya Ibn Mihran al-Quta’iy bercerita padaku Bisyr Ibn Umar
bersamaan dari Syu’bah dan bercerita padaku Abu Bakar Ibn Abi Syaibah bercerita
padaku ‘Ali Ibn Musyhir dari Sa’id Ibn Abi ‘Arubah kedua- duanya
dari Qatadah dengan sanad Hammam sama saja selain bahwa hadis Syu’bah selesai
pada sabda Rasul: “Sesungguhnya dia (anak perempuan Hamzah) adalah anak
perempuan saudara sepersusuanku sesuatu yang diharamkan sebab persusuan sama
dengan yang diharamkan sebab nasab. Dan dalam riwayat Bisyr Ibn Umar saya
mendengar Jabir Ibn Zaid.
Riwayat ini memberikan pengertian bahwa hukum rada'ah yang dimaksud
di atas adalah haramnya pernikahan, melihat, khalwat, dan berpergian dengan
pasangan. Selain itu tidak termasuk seperti warisan, kewajiban memberi nafkah
dan memerdekakan budak dan hal-hal yang berhubungan dengan nasab, sehingga
hukum mahram dan sebagainya disebabkan melihat pada orang yang orang yang
menyusui, sehingga kerabatnya termasuk kerabat orang yang menyusu, maka kerabat
orang yang menyusui selain daripada anak-anaknya tidak ada hubungan diantara
mereka dengan orang yang disusui, maka tidak ada ketentuan hukum diantara
mereka.[23]
Dalam sebuah hadis yang lain disebutkan:
....قَالَتْ عَائِشَةُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي رَجُلٌ قَاعِدٌ فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ
وَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِهِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ
أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ قَالَتْ فَقَالَ انْظُرْنَ إِخْوَتَكُنَّ مِنْ
الرَّضَاعَةِ فَإِنَّمَا …….. الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ
Artinya :..... Aisyah berkata: Rasulullah masuk kepadaku dan
disisiku ada lelaki yang duduk. Maka Rasul kaget menyaksikan hal itu. Dan saya
melihat kemarahan diwajah beliau. Aisyah berkata: saya berkata: Wahai
Rasulullah! Dia adalah saudara laki-lakiku sepersusuan. Aisyah ra berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda, "Perhatikan saudara laki-laki kalian, karena saudara
persusuan itu akibat kenyangnya menyusu”.....
e.
Rukun
dan Syarat Rada'ah
Rukun
Rada'ah Jumhur Ulama selain Abu Hanifah menetapkan bahwa rukun rada'ah ada tiga[24],
yaitu:
1.
Anak
yang menyusu;
2.
Wanita
yang menyusui; Wanita yang menyusui menurut beberapa pendapat ulama disyaratkan
adalah seorang wanita, baik dewasa, dalam keadaan haid, hamil atau tidak. Namun
ulama berbeda pendapat tentang air susu dari wanita yang sudah meninggal.[25]
Menurut Syafi’i air susu harus berasal dari wanita yang masih hidup, sedangkan
menurut Imam Hanafi dan Malik boleh meskipun wanita tersebut sudah mati.[26]
3.
Air
Susu.
Syarat Rada’ah
Menurut
jumhur ulama syarat susuan yang mengharamkan nikah adalah:
1.
Air
susu harus berasal dari manusia, menurut jumhur baik perawan atau sudah
mempunyai suami atau tidak mempunyai suami;
2.
Air
susu itu masuk kerongkongan anak, baik melalui isapan langsung dari puting
payudara maupun melalui alat penampung susu seperti gelas, botol dan lain-lain;
Menurut ulama Mazhab empat terjadinya rada’ah tidak harus melalui penyedotan
pada puting susu, namun pada sampainya air susu pada lambung bayi yang dapat
menumbuhkan tulang dan daging. Namun mereka berbeda pendapat mengenai jalan lewatnya
ASI, menurut Imam Malik dan Hanafi harus melewati rongga mulut, sedangkan
menurut H{anbali adalah sampai pada lambung dan pada perut atau otak besar.
3.
Menurut
mayoritas ulama penyusuan yang dilakukan melalui mulut (wajur) karena bersifat
mengenyangkan sebagaimana persusuan atau melalui hidung (sa’ut) karena adanya
sifat memberi makan, karena otak mempunyai perut seperti lambung, namun sifat
memberi makan tidak disyaratkan harus melalui lubang atas, akan tetapi
sampainya susu pada lambung dianggap cukup untuk menimbulkan hukum mahram.
Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan apabila susu
itu dialirkan melalui alat injeksi, bukan mulut atau hidung maka tidak
menimbulkan kemahraman. Sedangkan menurut ulama Malikiyyah meskipun dengan cara
ini tetap haram. Begitu juga
menurut Imam Muhammad penyuntikan ini tetap menimbulkan hukum mahram seperti
batalnya puasa karena persusuan.
4.
Menurut
ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah air susu itu harus murni, tidak bercampur
dengan yang lainnya. Apabila susu itu bercampur dengan cairan lainnya, maka
menurut mereka diteliti manakah yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah
susu maka bisa mengharamkan nikah. Apabila yang dominan adalah cairan lain maka
tidak mengharamkan nikah. Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah susu yang
dicampur dengan cairan lain itupun dianggap sama saja hukumnya dengan susu
murni dan tetap mengharamkan nikah, apabila susu itu dicampur dengan susu
wanita lain. Menurut Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf yang haram dinikahi adalah
wanita yang air susunya lebih banyak dalam campuran itu.
Akan tetapi, menurut Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Zufar bin
Hudail bin Qaisy al-Kufi seluruh pemilik susu yang dicampur itu haram dinikahi
anak tersebut, baik jumlah susu mereka sama atau salah satunya lebih banyak,
karena dua susu yang dicampur masih sejenis.[27]
5.
Menurut
maz\hab fiqih empat dan jumhur ulama susuan itu harus dilakukan pada usia anak
sedang menyusu. Oleh sebab itu menurut mereka apabila yang menyusu itu adalah
anak yang sudah dewasa di atas usia dua tahun, maka tidak mengharamkan nikah.
Alasannya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 233 yang
menyatakan bahwa sempurnanya susuan adalah dua tahun, dan juga dalam surah
Luqman ayat 14:
...وَفِصَالُهُ
فِيْ عَامَيْنِ ....
Artinya:
…..dan menyapihnya dalam dua tahun……
Maksudnya
selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun. Dan sebuah
riwayat hadis:
..عَن
ابن عَبَّاس ,عَنِ النَّبِي ص م "لَا يَحرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ
ا اِلَا
مَا آَانَ فِيْ حَوْلَيْن
Artinya:....
Dinar dari Ibn ‘Abbas dari Rasulullah SAW “tidak dinamakan menyusui kecuali
dalam usia dua tahun” .......
Akan tetapi Daud az-Zahiri mengatakan bahwa sususan anak yang telah
dewasa tetap mengharamkan nikah. Alasannya adalah sebuah riwayat dari Aisyah:
....قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ لِعَائِشَةَ إِنَّهُ
يَدْخُلُ عَلَيْكِ الْغُلَامُ الْأَيْفَعُ الَّذِي مَا أُحِبُّ أَنْ يَدْخُلَ
عَلَيَّ قَالَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ أَمَا لَكِ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُسْوَةٌ قَالَتْ إِنَّ امْرَأَةَ أَبِي حُذَيْفَةَ قَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ سَالِمًا يَدْخُلُ عَلَيَّ وَهُوَ رَجُلٌ وَفِي نَفْسِ
أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْهُ شَيْءٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ":أَرْضِعِيهِ حَتَّى 21 يَدْخُلَ عَلَيْك
Artinya:.....
Ummi Salamah berkata pada Aisyah bahwa anak kecil yang masuk dalam rumahmu yang
tidak saya sukai ketika masuk rumahku berkata: Aisyah berkata mungkin engkau
mendapat jawaban pada Rasulullah SAW tentang masalahmu? Berkata: sesungguhnya
Istri Abi Huzayfah (Sahlah binti Suhail) berkata “Ya Rasulullah, Salim masuk
dalam rumahku dan dia adalah seorang laki-laki. Dan dalam diri Abi Huzayfah
darinya terdapat sesuatu. Rasulullah menjawab”susukan dia, sehingga ia dapat
masuk dalam rumahmu”.
Kemudian Sahlah menyusui Salim sebanyak lima kali, kemudian Salim
menjadi anak di rumahnya, dan juga didukung adanya ‘Aisyah memerintahkan
anak-anak perempuan saudara laki-laki dan perempuannya untuk menyusui pada
setiap lelaki yang menyukai ‘Aisyah ketika melihatnya, yang kemudian masuk ke
rumahnya, apabila lelaki tersebut sudah dewasa, maka disusui dengan lima kali
susuan.[28]
Menurut jumhur ulama radha’ah hanya dapat terjadi dalam masa
anak-anak, jumhur ulama menyatakan bahwa kasus Salim merupakan rukhsah
(keringanan hukum) baginya.
6.
Menurut
maz\hab Syafi’i dan Hanbali penyusuan harus dilakukan dengan lima kali isapan
yang terpisah, karena yang dianggap kuat dalam hal persusuan adalah persusuan
menurut adat istiadatnya (‘urf), ketika si bayi memisahkan diri dari penyusuan
karena sudah enggan menyusu, maka dihitung menjadi rada’ah hal itu didasarkan
pada 'urf, adapun ketika bayi memutuskan berpisah dari menyusu walau hanya
sekedar istirahat, bernafas, bermain-main atau berpindah-pindah pada puting
susu satu ke yang satunya dari satu wanita ke wanita yang lain, kemudian dia
kembali menyusu lagi maka tidak masuk dalam hitungan rada’ah, melainkan
seluruhnya dihitung satu kali isapan saja, apabila penyusuan tersebut kurang
dari lima kali isapan maka tidak ada hukum mahram, apabila ada keraguan (syak)
dalam hitungannya maka harus dibangun adanya keyakinan dalam penyusuan
tersebut, karena dalam hal itu pada asalnya adalah tidak adanya persusuan yang
menimbulkan mahram, namun meninggalkan keraguan lebih diutamakan, karena syak
merupakan hal yang samar.
Hal ini didasarkan pada beberapa hal di antaranya adalah:
a.
Hadis
yang diriwayatkan dari Aisyah
......عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ آَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ
الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ
مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 24 وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ
مِنْ الْقُرْآنِ
Artinya:.....
dari Aisyah ra, Sesungguhnya dia berkata: “Ayat alQur’an pernah turun dalam
mengahramkan wanita tempat menyusu jika susuan (mencapai) sepuluh kali susuan,
kemudian dinasakh menjadi lima kali susuan. Lalu Rasulullah wafat dan hukum
lima kali susuan itu masih dibaca dalam al-Qur’an ”
b.
‘illat
terkandung dalam keharaman rada’ah adalah syubhat juz’iyyah, yaitu yang terjadi
dengan sebab susu yang menumbuhkan daging dan tulang, dan hal itu tidak terjadi
dalam susuan yang sedikit. Oleh karena itu persusuan yang sedikit tidak
mengharamkan yang mengharamkan adalah seperti yang tersebut dalam hadi, yaitu
lima kali susuan;
c.
Hadis lain dari 'Aisyah:
......عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( وَقَالَ سُوَيْدٌ وَزُهَيْرٌ إِنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَقَ :” )لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَان
Artinya: Dari
Aisyah ra Berkata, Rasulullah SAW Bersabda (dan Suwaid dan Zuhair: Bahwa
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda): “tidaklah menimbulkan kemahraman satu
kali sedot dan dua kali sedotan.
7.
Sedangkan
menurut Imam Malik dan Hanafi ASI yang banyak atau sedikit tetap dihukumi
mahram meskipun satu kali sedot. Berdasarkan pada beberapa dalil di antaranya:
1.
Keumuman firman
Allah SWT:
....وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
.......
Artinya:...dan
ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan;.. (an-Nisa’:
23)[29]
Firman ini
menggantungkan keharaman dengan sebab menyusu tanpa keharaman dengan sebab
tertentu. Bagaimanapun cara terjadinya persusuan tetap menimbulkan hukum
mahram.
2.
Hadis
yang menyatakan bahwa “sesuatu yang diharamkan sebab persusuan sama dengan yang
diharamkan sebab nasab” hadis tersebut mengandung hukum mahram tanpa menentukan
persusuan dan didukung pula dengan hadis lain dari para sahabat, yaitu riwayat
dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas, bahwa mereka berkata: “sedikit atau
banyaknya susuan tetap mengharamkan”.
3.
Bahwa
persusuan merupakan perbuatan yang mengandung hukum mahram,maka baik sedikit
atau banyak sama saja, karena maksud dari asy-Syari’menggantungkan hukum dan
hakikat serta terlepas dari syarat berulang-ulang dan banyaknya, apabila
hakikat itu terwujud, maka hukum itupun datang.
Pendapat ini banyak dipakai di
negara Mesir dan Libya, sedangkan pendapat pertama banyak dipakai di negara Suriah
karena merupakan pendapat yang kuat dan mengandung unsur kemudahan dan
keluwesan bagi manusia.[30]
Sedangkan menurut Daud azh-Zahiri
kadar susuan yang mengharamkan nikah itu minimal tiga kali isapan, dan jika
kurang dari itu tidak haram bagi lelaki tempat ia menyusu, dalilnya adalah hadis
Rasulullah:
......عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) وَقَالَ سُوَيْدٌ وَزُهَيْرٌ إِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 28 وَسَلَّمَ قَالَ " (لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَان
Artinya:
..........dari Aisyah ra Berkata, Rasulullah SAW Bersabda asas“tidaklah
menimbulkan kemahraman satu kali sedot dan dua asasskali sedotan ”.
Menurut
Daud az-Zahiri hukum susuan yang ditentukan secara umum oleh ayat al-Qur’an di
atas dibatasi oleh hadis ini. Dengan demikian ibu susuan dan seluruh wanita
yang mempunyai hubungan darah dengannya haram dikawini apabila susuan itu
mencapai kadar tiga kali susuan atau isapan tiga kali ke atas.[31] Begitu
juga menurut Saur Abu Daud, Daud Ibnu Muzakkir yaitu sedikitnya tiga kali
susuan yang mengenyangkan.
8.
Menurut
Qardawi Bank ASI didukung oleh Islam mempunyai tujuan yang baik yang membantu
orang yang lemah terlebih pada bayi yang prematur, bahkan bila perlu susu
dibeli jika sang donatur tidak berkenan memberikan susunya. Memberikan pertolongan
tersebut menurut Qardawi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena sangat
membantu para bayi yang terlahir dan kurang beruntung dengan tidak mendapatkan
ASI.[32]
Dalam pendapatnya Qardawi mengemukakan beberapa poin, antara lain:
a.
Para
ulama fiqih berbeda pendapat dalam masalah rada’ah terbagi ulama menjadi dua
golongan, yaitu:
1)
Kelompok
ulama yang memperluas pengharaman, yaitu mereka yang lebih berpijak pada
kehati-hatian dalam menghukumi hukum haram. Yaitu ulama yang berpendapat dalam
beberapa hal, di antaranya:
a.
Sedikit
maupun banyaknya susuan menimbulkan hukum mahram;
b.
Persusuan
terjadi tanpa mengenal umur meski dalam usia 40 tahun;
c.
Persusuan
tidak harus dilakukan dengan menetek;
d.
Hukum
mahram tetap ada, meskipun susu berasal dari wanita yang telah mati;
e.
Terdapat
ulama yang mengatakan bahwa dua anak yang menyusu pada kambing tetap
menimbulkan hukum mahram.
2)
Kelompok
ulama yang mempersempit pengharaman, yaitu pendapat yang telah disampaikan oleh
Imam Lais bin Sa’ad yang mengambil riwayat dari Ahmad yang merupakan pendapat
Mazhab Ibnu Hazm bahwa persususan hanya dapat terjadi dengan menetek langsung
dari puting sang ibu, hal itu dilihat dari kejelasan arti pada lafadz rada’ah,
arda'athuturdhi'uhu-irdha'an, kelompok ulama ini tidak setuju dengan kelompok
pertama, karena sifat umumah tidak bisa timbul antara manusia dan hewan yang
merupakan makanan dan tumpangan mereka.[33]
b.
Kadar
susuan yang menjadikan haramnya perkawinan
1)
Persusuan
tidak harus terjadi dalam hal penumbuhan daging dan penumbuhan tulang; Yusuf
Qardawi tidak sependapat dengan hadis yang digunakan Ibnu Qudamah untuk
menguatkan pendapat pendapat jumhur bahwa persusuan yang dianggap adalah
persusuan yang menumbuhkan daging dan menguatkan tulang. Berdasarkan hadis Ibnu
Mas’ud:
حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ
أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ الْمُغِيرَةِ حَدَّثَهُمْ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ
عَنْ ابْنٍ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَا
رَضَاعَ إِلَّا مَا شَدَّ 8 الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ
Artinya
: Bercerita padaku ‘Abdul Salam Ibn Mutahhir bahwa Sulaiman Ibn al-Mugirah
bercerita kepada mereka dari Abi Musa dari ayahnya dari anak laki-laki
‘Abdillah Ibn Mas’ud dari Ibn Mas’ud berkata: “Bahwa tiada susuan kecuali
susuan yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging” ......
Menurutnya jika ‘illat susuan
terletak pada menumbuhkan daging dan menguatkan tulang dengan cara apapun maka
sama seperti halnya tranfusi darah yang dilakukan oleh seorang wanita pada
seorang anak, maka akan timbul hukum mahram, karena darah lebih cepat
dibandingkan dengan ASI dalam hal menumbuhkan daging dan menguatkan tulang.[34]
2)
Wajur
dan sa’ut tidak menimbulkan kemahraman;
Hukum
mahram dapat timbul akibat penyusuan melalui menuangkan air susu melalui hidung
(sa’ut) yang menurut jumhur ulama karena merupakan jalan yang membatalkan puasa
dan menuangkan air susu ke tenggorokan melalui mulut (wajur) karena sama dengan
menyusu. Menurut Qardawi tidak demikian, karena proses sa’ut sama saja dengan
memasukkan susu melalui luka pada tubuh, hal itu sejalan dengan pendapat Abu
Bakar, Mazhab Daud, dan perkataan Ata' al-Khurasaniy hal ini bukan penyusuan.[35]
Menurut Qardhawi wajur tidaklah menimbulkan hukum mahram, dan tidak
mengharamkan perkawinan pula jika si anak diberi minum air susu si perempuan
yang dicampur dengan obat, karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab
penyusuan itu ialah yang dihisap melalui tetek. Hal ini sesuai dengan pendapat
dengan al-Lais, Abu Sulaiman yakni Daud, Imam Ahli Zahir dan para Ahli Zahir.[36]
3)
Sifat
keibuan (umumah) merupakan ‘illat hukum mahram pada susuan.
Menurut
Yusuf Qard{awi ‘illat dari timbulnya hukum mahram persusuan terletak pada sifat
ummumah (keibuan) yang dalam bentuk verbal hanya terjadi dengan menyedot puting
secara langsung. Keibuan yang ditegaskan dalam surah an-Nisa': 23 tidak
terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap
teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan
ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan
sepersusuan. Dan keibuan disini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu
mengikutinya. Pendapat Qardawi sejalan dengan Ibn Hazm yang menganggap bahwa
persususan hanya dapat terjadi dengan menetek langsung dari puting sang ibu,
hal itu dilihat dari kejelasan arti pada lafaz rada’ah :
arda'athu-turdi'uhu-irda'an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan rada'ah
dan rada' atau rida’ (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil
tetek wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu.[37]
4)
Hukum
meragukan (syak) dalam rada’ah
Menurut
Qardawi, pendapat jumhur yang mensyaratkan beberapa hal dalam penyusuan dan
pengisapan seperti ketentuan wanita yang menyusui sehingga tidak diketahui
siapakah wanita yang disusu oleh seorang anak? berapa kadar air susunya yang
diminum oleh anak tersebut, apakah lima kali susuan? Apakah sebanyak yang dapat
mengenyangkan? Dan apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam
air susu lainnya hukumnya sama dengan air susu murni, apakah yang lebih
dominan?. Semua itu menimbulkan keraguan dalam hal persusuan sehingga tidaklah
menyebabkan hukum mahram.. [38]
D.
Hukum Jual Beli Asi
Air Susu Ibu
(ASI) adalah bagian yang mengalir dari anggota tubuh manusia, dan tidak
diragukan lagi itu merupakan karunia Allah bagi manusia dimana dengan adanya
ASI tersebut seorang bayi dapat memperoleh gizi. ASI tersebut merupakan sesuatu
hal yang urgen di dalam kehidupan bayi[39].
Karena pentingnya ASI tersebut untuk pertumbuhan maka sebagian orang memenuhi
kebutuhan tersebut dengan membeli ASI pada orang lain. Jual beli ASI manusia
itu sendiri di dalam fiqih Islam merupakan cabang hukum yang para ulama berbeda
pendapat di dalamnya. Ada dua pendapat ulama tentang hal tersebut.[40]
Pertama,
tidak boleh menjualnya. Ini merupakan pendapat ulama madzhab Hanafi kecuali Abu
Yusuf, salah satu pendapat yang lemah pada madzhab Syafi'i dan merupakan
pendapat sebagian ulama Hanbali.
Kedua, pendapat
yang mengatakan dibolehkan jual beli ASI manusia. Ini merupakan pendapat Abu
Yusuf (pada susu seorang budak), Maliki dan Syafi'i, Khirqi dari madzhab
Hanbali, Ibnu Hamid, dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga madzhab Ibnu
Hazm.[41]
Sebab
Timbulnya Ikhtilaf (Perbedaan)
Menurut Ibn
Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam hal tersebut adalah
pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah. Karena proses
pengambilan ASI tersebut melalui perahan.[42] Imam
Malik dan Imam Syafi'i membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak
membolehkannya. Alasan mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu halal
untuk diminum maka boleh menjualnya seperti susu sapi dan sejenisnya. Sedangkan
Abu Hanifah memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena
dia disamakan seperti daging manusia.[43] Maka
karena daging manusia tidak boleh memakannya maka tidak boleh menjualnya,
adapun ASI itu dihalalkan karena dharurah bagi bayi, sebagaimana qawaid
fiqih :
اَلضَّرُوْرَةُ
تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Darurat itu bisa membolehkan yang dilarang.
Hal ini jelas,
karena akan menambah masalah. Kaitannya dengan pembahasan kita yaitu, ketiadaan
ASI bagi seorang bayi adalah suatu kemudaratan, maka memberi bayi dengan ASI
yang dijual di bank ASI adalah kemudaratan pula. Maka apa yang tersisa dari
bertemunya kemudaratan kecuali kemudaratan.[44] Karena
Fiqih bukanlah pelajaran fisika dimana bila bertemu dua kutub yang sama akan
menghasilkan hasil yang berbeda. Maka penulis sependapat bahwa hendaknya kita
melihat mana yang lebih besar manfaatnya daripada kerusakannya.
Sebagian Ulama
Kontemporer Membolehkan Bank ASI.
Sebagian ulama
kontemporer membolehkan pendirian bank ASI ini, diantara mereka adalah Dr.
Yusuf al-Qardhawi. Mereka beralasan :[45]
Bahwa
kata kata radha'(menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna menghisap
puting payudara dan meminum ASI-nya. Maka oleh karena itu meminum ASI bukan
melalui menghisap payudara tidak disebut menyusui, maka efek dari penyusuan
model ini tidak membawa pengaruh apa-apa di dalam hukum nasab nantinya.
Yang
menimbulkan adanya saudara sesusu adalah sifat "keibuan", yang
ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya,
tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan
kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah
persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan
yang lain mengikutinya.[46]
Dalam hal ini, perantaraan untuk meneguk susu tidak diambil karena
pada pandangan jumhur ulama, ‘illat hukum ini terdapat pada sampainya susu ke
dalam perut bayi walau dengan cara apapun. Sehingga meminum susu dari Bank ASI
adalah tidak dibolehkan karena ia membawa kepada percampuran nasab yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu Wahbah Zuhayliy mendukung Majma' Fiqih al-Islami.
Akan tetapi menurut Wahbah Zuhaiyly pengunaan ASI dalam Bank ASI dapat
dilakukan dengan catatan diharuskan adanya beberapa syarat yang harus dipatuhi
yaitu:
1). Hendaklah susu itu diberikan kepada anak-anak
oleh seorang wanita saja dan tidak bercampur aduk agar tidak bercampur nasab
apabila ia memberikan susu lebih dari lima kali yang mengenyangkan.
2) Hendaklah pihak pengurus Bank susu
mengeluarkan catatan “Ibu Susuan” agar bayi yang menyusu kelak mengetahui ibu
susuan dan saudara susuannya. Sementara wanita yang tidak menikah yang
berkeinginan mengambil anak angkat untuk dijadikan anak susuan harus mematuhi
pada kaidah dan hukum tersebut.[47]
Selain itu
kehati-hatian terhadap percampuran nasab karena rada’ah mendapat perhatian dari
Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa banyak dari manusia menganggap mudah dalam
hal persusuan. Sehingga mereka menyusukan anaknya pada seorang atau beberapa
wanita, dan tidak ada petunjuk untuk mengetahui anak-anak dan saudara wanita
yang menyusui, begitu juga anak-anak suaminya dari selain wanita tersebut. Hal
tersebut ditujukan untuk mengetahui akibat hukum yang timbul, seperti hukum
mahram dan hak-hak kekerabatan baru yang telah dijadikan oleh as-Syari’ seperti
keturunan. Sehingga rentan terjadi perkawinan yang dilakukan oleh seorang
lelaki dengan saudara perempuan maupun bibi dari ibu dan ayah dari hubungan
sepersusuan, sedangkan lelaki tersebut tidak mengetahuinya. Maka diwajibkan
adanya sikap kehati-hatian yang tinggi dalam masalah ini, sehingga manusia
tidak akan terjatuh dalam hal-hal yang dilarang.[48]
Alasan yang
dikemukakan oleh beberapa madzhab dimana mereka memberi ketentuan berapa kali
penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dan ibu susu memilki ikatan
yang diharamkan nikah, mereka mengatakan bahwa jika si bayi hanya menyusu
kurang dari lima kali susuan maka tidaklah membawa pengaruh di dalam hubungan
darah.[49]
Setelah
memperhatikan berbagai pendapat yang disampaikan oleh para ulama, penulis
tampaknya cenderung kepada yang membolehkan keberadaan Bank ASI dengan alasan
sebagaimana yang disebutkan.
E.
Penutup
Kesimpulan
Dari uraian
diatas, dapat kita simpulkan permasalah hukum yang timbul terhadap Bank Asi
adalah masalah radha’ah (menyusui) dan kemahramannya.
Illat
dalam masalah radha’ah adalah menyusunya, meski dalam prosesnya terjadi
perbedaan pendapat terhadap kemahramannya. Ada perbedaan pada kadar susuan, ada
yang berbeda pada cara masuknya susu tersebut, langsung atau tidak langsung.
Ada yang berbeda pada kemurnian susu tersebut, asli atau sudah bercampur.
Perbedaan
pandangan ulama terhadap beberapa masalah penyusuan mengakibatkan mereka
berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya Bank Asi. Akan tetapi kita sudah bisa
mendapatkan illat dari masalah timbulnya Bank Asi yaitu menyusuinya. Apakah
kadar susunya banyak sehingga sampai menumbuhkan tulang dan daging atau
kadarnya hanya sekedar kenyang, mungkin sebatas tiga kali isapan; Apakah
dihisap secara langsung dari putting susu ibu susuan, atau melalui botol maupun
mungkin dimasukkan melalui alat lain; Apakah
susu tersebut telah bercampur atau masih murni; hal ini bukanlah menjadi
persoaalan.
Perbedaan ini
menimbulkan perbedaan terhadap kesimpulan hukum dalam hal Bank Asi pengqiyasan
yang dapat kita ambil pada masalah ini adalah qiyas musawwi atau setara dengan
hukum asal yamh illatnya radha’ah (menyusui) yang menyebabkan timbulnya
hubungan kemahraman. Meski ada perbedaan pada masalah cara masuk susu tersebut;
langsung dari putting atau tidak langsung, takarannya menjadi daging atau tidak
, sahisab atau sampai kenyang. Sehingga terjadilah perbedaan pendapat sebagaimana
berikut:
Pendapat
Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Salah satu
alasannya: Bayi tidak bisa menjadi mahram bagi ibu yang disimpan ASI-nya di
bank ASI. Karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung.
Sedangkan dalam kasus ini, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua
menyatakan hukumnya haram. Menimbang dampak buruknya menyebabkan tercampurnya
nasab. Dan mengikuti pendapat jumhur yang tidak membedakan antara menyusu
langsung atau lewat alat.
Pendapat Ketiga
menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa
syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI,
harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya dan
dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI tersebut
harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI, supaya jelas
nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama
yang melarang bisa dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdul
Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan, Cetakan I.
2.
Abdul
Qadim, Zallum, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning,
Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan,
Definisi Hidup dan Mati,Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
3.
Abdurrahman, Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
4.
Ahmad
Dahlan Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam.
5.
Ahmad
Sawi al-Malik, Hasyiyah al-‘Allamah as-Sawi ‘ala Tafsir alJalalain
6.
Cholil,
Uman, Agama Menjawab Tentang Berbagai
Masalah Abad Modern, Cet. 2, Surabaya: Ampel Suci, 1994.
7.
Ibnu
Hamam, Syarh Fath al-Qadir, Juz III.
8.
Ibnu
Qayyim, Jami’ al-Fiqh, Juz VI.
9.
Ibnu
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II.
10.
M.
Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol, I.
11.
Mahjuddin,
Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Cet. V,
Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
12.
Masjfuk,
Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta
Hukum Islam, Cet. XI, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
13.
Masjfuk,
Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta
Hukum Islam, Cet. XI, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
14.
Muhammad
Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah al-H{adisah pada masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam.
15.
Muhammad
Ibn ‘Ismail al-Kahilaniy, Subul as-Salam, Juz III.
16.
Qararah
wa Tausiyat Majma’ al-Fiqh al-Islami, Majma’ al-Fiqh al-Islami.
17.
Sayyid
Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II.
18.
Sunardi,
Ayah Beri Aku ASI.
19.
Wahbah
Zuh{aiyly, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu,Juz X.
20.
Yusuf
Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II.
21.
Yusuf
Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II.
22.
Yusuf
Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid III.
23.
Yusuf
Qardawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan.
[1]
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 47
[2]
Ahmad Sawi al-Malik, Hasyiyah al-‘Allamah as-Sawi ‘ala Tafsir alJalalain,
h.108-109
[3]
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol, I, h. 470-471
[4]
Wahbah Zuh{aiyly, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu,Juz X, h. 7274
[5]
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 47
[6]
Ibid, h. 817
[7]
Wahbah Zuh{aily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,Juz X, h. 7275
[8]
Susu awal yang dihasilkan payudara selama beberapa hari pertama persalinan.
Susu awal ini berwarna kekuning-kuningan, kental dan lengket.
[9]
Sunardi, Ayah Beri Aku ASI, h.48
[10]
Ahmad Dahlan Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1475
[11]
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, h.783
[12]
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan, Cetakan I,h.207
[13]
Muhammad Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah al-H{adisah pada masalah-masalah
Kontemporer Hukum Islam, h.163
[14]
Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Cet. V,
Jakarta: Kalam Mulia, 2003, h. 120.
[15]
Ibid., h. 120
[16]
ibid
[17] Cholil, Uman, Agama
Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Cet. 2, Surabaya: Ampel
Suci, 1994, h. 267.
[19]
Abdurrahman, Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam
Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, h. 75.
[20]
Masjfuk,
Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam,
Cet. XI,
Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2000, h. 157.
[21]
Departemen Agama RI, ibid., h. 47
[22]
Ibid., h. 105
[23]
Muhammad Ibn ‘Ismail al-Kahilaniy, Subul as-Salam, Juz III, h. 217
[24]
Wahbah Zuhayliy, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu, Juz X, h. 7273
[25]
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, h. 39-40
[26]
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h.191
[27]
Ibnu Hamam, Syarh Fath al-Qadir, Juz III, h. 435
[28]
Wahbah Zuhayliy, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu, Juz X, h. 7286
[29]
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 105
[30]
Wahbah Zuhayliy, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu, Juz X, h. 7289-7290
[31]
Ibnu Qayyim, Jami’ al-Fiqh, Juz VI, h. 193 - 194
[32]
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, h.783
[33]
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid III, h.418-419
[34]
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, h.785-786
[35]
Ibid., h. 785
[36]
Ibid., h. 788
[37]
Ibid.
[38]
Ibid, h. 790
[39]
Masjfuk,
Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam,
Cet. XI,
Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2000, h. 165.
[41]
Abdul Qadim, Zallum, Beberapa
Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ,
Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati,Jakarta:
PT. RajaGrafindo
Persada, 2003, h. 234.
[42]
Ibid.
[48]
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h.195-196
[49]
Cholil, Uman, Loc. Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar