BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Pembahasan mengenai
pengembangan dan pembentukan hukum diistilahkan dalam literatur ushul fiqh
sebagai ijtihad. Ijtihad dalam hal ini diartikan sebagai upaya yang dilakukan
oleh seorang ahli fiqh atau faqih dalam merumuskan hukum syar’i dari sumbernya.[1] Dalam perkembangannya
selalu berkaitan erat dengan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dalam
kehidupan masyarakat. Secara umum dapat diungkapkan bahwa ijtihad adalah upaya
mengoptimalkan penggalian hukum Islam dari sumbernya dengan harapan mendapatkan
jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.
Keberadaan hukum pada
umumnya seperti yang disepakati dalam semua literatur yang terkait dengan ilmu
sosiologi hukum senantiasa dituntut memainkan peran ganda yang sangat penting.
Hukum bisa dijadikan alat kontrol sosial dengan berbagai perubahan yang
berlangsung dalam kehidupan manusia dan hukum dapat dijadikan sebagai alat
rekayasa sosial, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sebagai
tujuan hakiki hukum itu sendiri.[2]
Sistem hukum Islam
yang didasarkan wahyu bukan hanya mewujudkan kemaslahatan manusia di akhirat
tapi juga di dunia sebagai keseimbangan dalam kehidupan di antara keduanya.
Perwujudan ini banyak ditentukan oleh harmonisasi hubungan, baik secara
individu maupun kolektif serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Maka
dalam hal ini juga, pengembangan metode ijtihad juga ditentukan dengan
harmonisasi tujuan-tujuan syari’at atau maqasid al-syari’ah utamanya dalam
corak penalaran istislahi. Hanya saja upaya mengharmonisasikan penalaran
istislahi sebagai metode ijtihad dalam menghadapi berbagai perubahan sosial
dalam kehidupan tercakup dalam bidang muamalah.
Hal ini dimaksudkan
karena cakupan bidang muamalah aturan-aturan hukumnya yang dituangkan oleh
Allah dalam bentuk garis-garis besarnya saja dan bersifat zanni (tidak pasti).
Berbeda dengan masalah aqidah dan ibadah murni sudah diatur dengan rinci dan
jelas serta sifatnya yang qat’i (pasti).
Pengertian Fiqih
(Hukum Islam) hingga saat ini masih rancu dengan pengertian Syariah. Untuk itu
dalam pengertian fiqih disini dimaksudkan di dalamnya pengertian syariat. Dalam
kaitan ini kita jumpai pendapat yang mengatakan bahwa fiqih atau hukum islam
adalah sekelompok dengan syariat-yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal
perbuatan manusia yang diambil dari nash Al-Quran dan Al-Sunnah. Bila ada nash
dari Al-Quran dan Al-Sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut,
atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari Al-Quran
atau Al-Sunnah, dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan
demikian yang disebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan
manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Menurut pengikut Asy
Syafi’i mengatakan bahwa fiqih (ilmu
fiqih) itu ialah :
العِلْمُ
الَّذِي يُبَيِّنُ الأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَآلِ
اْلمُكَلَّفِيْنَ اْلمُسْتَنْبِظَةِ مِنْ اَدِلَّتِهَآ التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu yang menerangkan segala hukum
agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf, yang dikeluarkan
(diistimbatkan) dari dalil-dalil yang
jelas
Yang dimaksud dengan
amal perbuatan manusia ialah segala amal perbuatan orang mukallaf yang
berhubungan dengan bidang ibadat, muamalat, kepidanaan dan sebagainya; bukan
yang berhubungan dengan akidah (kepercayaan). Sebab yang terakhir ini termasuk
dalam pembahasan ilmu kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang
terperinci ialah stuan-satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu
hukum tertentu.
Berdasarkan batasan
tersebut diatas sebenarnya dapat dibedakan antara syariah dan fiqih atau hukum
islam. Perbedaannya tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakannya.
Jika syariat didasarkan pada nash Al-Quran dan Al-Sunnah secara langsung, tanpa
memerlukan penalaran; sedangkan hukum islam didasarkan pada dalil-dalil yang
dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang
pada semangat yang terdapat dalam syariat. Dengan demikian, jika syariat
bersifat permanen, kekal dan abadi, fiqih atau hukum islam bersifat temporer,
dan dapat berubah. Namun, dalam praktiknya antara syariat dan fiqih sulit
dibedakan. [3]
Dengan perkembangan
masyarakat seperti itu, maka tentunya masalah hukum pun berkembang sehingga
diperlukan beberapa metode pendekatan pemahaman hukum Islam yang terdapat pada
Al-Quran dan Sunnah Rasul. Pendekatan tersebut telah melahirkan beberapa metode
ijtihad yakni ijtihad ta’lili, ijtihad bayani dan ijtihad istishahi. Dengan
ijtihat tersebut telah melahirkan jawaban terhadap permasalahan hukum pada
masyarakat yang berkembang. Salah satu diantaranya adalah fiqh waqi atau
dikenal juga dengan fiqh realita pada masa ini berkembang terutama pada
pemikiran Ibnul Qayyim dan Yusuf al-Qaradawi.
Fiqh waqi ini mencoba
melahirkan produk hukum melalui pengamatan terhadap realitas masyarakat
kekinian. Dengan demikian hukum dapat berkembang dan berubah sesuai dengan
kondisi realitas lingkungan masyarakat dimana hukum tersebut berlaku. Fiqh ini boleh dikatakan lahir melalui proses
ijtihad istislahi yang bersandar pada kemaslahatan ummat, yang insyaallah akan
coba kita bahas pada makalah kali ini.
B.
Batasan
Masalah
Melihat dari luasnya
aspek kajian masalah Fiqh dan Ushul Fiqh, maka pada penulisan makalah ini
penulis menfokuskan diri pada pembahasan Fiqhul Waqi dan Ijtihad Istislahi.
C.
Rumusan
Masalah
Dari Permasalahan
yang akan kita bahas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah yang menjadi
fokus penelaahan pada makalah ini yakni;
1.
Apakah yang
Dimaksud dengan Ijtihad Istislahi?
2.
Apakah yang
Dimaksud dengan Fiqhul Waqi?
3.
Bagaimanakah Hubungan
antara Ijtihad Istislahi dengan Fiqhul Waqi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ijtihad
Istislahi
Ijtihad dipandang
dari cakupannya digolongkan atas dua macam, yakni ijtihad mutlaq dan ijtihad
juz’i. Ijtihad mutlaq dimaksudkan adalah adanya kemampuan yang memungkinkan
dari upaya yang dilakukan dalam semua hukum-hukum fiqh. Sedangkan ijtihad juz’i
yang mana kemampuannya hanya terbatas pada sebagian hukum-hukum fiqh saja.[4] Metode ijtihad dengan
corak penalaran istislahi adalah bagian dari keduanya, dimana kalangan ulama
dengan kategori ijtihad mutlaq merumuskan metode terbarunya sedangkan kalangan
ulama yang termasuk dalam kategori ijtihad juz’i menekankan maupun mempertegas
metode dengan penalaran yang bertumpu pada kemampuan individu serta mempertajam
analisisnya dari metode yang dirumuskan pada ulama sebelumnya.
Dianggap sebagai
upaya untuk menggali hukum dengan bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan
yang disimpulkan pada al-Qur’an dan Hadis. Hal ini berarti bahwa kemaslahatan
yang dimaksudkan tidak lain adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh
kedua sumber hukum tersebut. Dalam arti lain, kemaslahatan yang ada tidak dapat
dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung, baik melalui proses
penalaran yang sifatnya bayani maupun yang sifatnya ta’lili melainkan harus
dikembalikan kepada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nas.[5]
Namun selain dari
corak penalaran istislahi, ada penalaran ta’lili dan bayani. Dari ketiga corak
penalaran tersebut hanya penalaran ta’lili dan istislahi saja yang dalam
metode-metode ijtihad perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Hal dikarena
corak penalaran ta’lili mempunyai fungsi yang sama dengan adanya upaya di
dalamnya untuk menggali hukum yang bertumpu pada penentuan illah-illah hukum
yang terdapat dalam suatu nas. Pengembangan corak penalaran ta’lili haruslah
didukung dengan kenyataan bahwa nas al-Qur’an dan Sunnah dalam penuturannya
tentang suatu masalah hukum sebagian diiringi dengan cara menyebutkan
illah-illah hukum yang terdapat di dalamnya.[6] Dasar illah yang
terkandung di dalam suatu nas, permasalahan-permasalahan hukum yang muncul
diupayakan oleh mujtahid pemecahannya melalui penalaran terhadap illah yang ada
dalam nas tersebut. Ditinjau dari perkembangan pemikiran usul fiqh, corak
penalaran ta’lili ada dalam bentuk metode qiyas dan istihsan.
Sedangkan metode
ijtihad dengan corak penalaran bayani adalah upaya penggalian hukum dari suatu
nas dengan bertumpu pada kaidah-kaidah lughawi (kebahasaan) dan biasanya banyak
terkait dalam masalah ibadah. Sedangkan masalah ibadah dengan menggunakan corak
penalaran bayani dan membahasnya dengan upaya pendekatan tentu tidak bisa
dipaparkan lebih lanjut karena maslaah ibadah bukan lapangan ijtihad.[7]
Adapun penalaran
istislahi dalam perkembangan pemikiran usul fiqh, corak ini tampak dalam metode
al-masalih al-mursalah dan al-zari’ah. Dalam pemaparan perlu kiranya ditelaah
urgensi dan keterkaitannya dengan konsep maqasid al-syari’ah dalam filsafat
hukum Islam.
Mempertimbangkan
maqasid al-syari’ah tentu dianggap penting dengan keberadaan metode ijtihad
istislahi. Corak penalaran istislahi adalah bagian dari lapangan ijtihad yang
harus selalu dikembangkan yang nantinya akan menunjukkan urgensi pertimbangan
maqasid al-syari’ah dalam metode tersebut.
Corak ijtihad
istislahi diantaranya adalah maslahah, dalam pengertian istilahnya adalah
manfaat yang dikemukakan oleh syar’i dalam menetapkan hukum untuk hambanya
dalam upaya pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[8] Sedangkan definisi
maslahah dalam pandangan Muhammad Ruwwas adalah kebaikan yang lazim dalam
berbagai tindakan dan perbuatan yang sesuai keinginan pribadi. Sedangkan
kalangan ulama ushul menyatakan bahwa maslahah adalah bentuk apresiasi dari
ketertiban hukum dalam rangka merealisasikan terwujudnya manfaat yang akan
diraih atau menghindarkan diri dari kerusakan.[9]
Seluruh hukum yang
ditetapkan Allah SWT atas hamba-hambaNya, baik dalam bentuk suruhan atau
larangan adalah mengandung maslahah. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari
maslahah. Keseluruhan suruhan atau perintah Allah bagi manusia untuk melakukan
manfaat untuk dirinya baik secara langsung atau tidak. Manfaat itu ada yang
bisa dirasakannya pada waktu itu juga dan ada pula yang dirasakannya
sesudahnya. Umpamanya ketika Allah SWT menyuruh mendirikan shalat yang
mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan kebersihan
jasmani.[10]
Begitupun dengan
semua larangan Allah untuk dijauhi manusia, tentunya di balik semua larangan
terkandung maslahah yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan.
Umpamanya larangan minum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari
rasa mabuk yang dapat memberi kerusakan pada anggota tubuh, kerusakan pada
kesehatan mental dan akal. Semua ulama sependapat tentang adanya kemaslahatan
dalam semua hukum yang ditetapkan Allah. Meskipun ada perbedaan pendapat
tentang perwujudan maslahah sehingga Allah menetapkan hukum syara’ atau
maslahah itu yang mendorong Allah dalam menetapkan hukum ataupun ada sebab
lainnya. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah itu
tetapi perbedaan pendapat itu dianggap tidak memberi pengaruh apa-apa secara
praktis dalam hukum. Terlepas dari perbedaan pendapat, secara jelas dalam
setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka
biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara’ dalam bentuk suruhan dan
demikian pula sebaliknya.[11]
Intinya setiap hukum
syara’ selalu sejalan dengan akal manusia dan akal manusia selalu sejalan
dengan hukum syara’. Hal ini menunjukkan bahwa maslahah dapat diperhitungkan
oleh mujtahid dalam menggali hukum serta menetapkan hukum suatu masalah yang
tidak ditemukan hukumnya baik dalam al-Qur’an, Sunnah Nabi maupun dalam ijma’.
Hanya saja dalam perkembangan ilmu usul fiqh dengan metode ijtihad istislahi
dalam pola maslahah biasanya yang dipermasalahkan adalah adanya kekuatan hukum
atau ketiadaan kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya.
Urgensi kemaslahatan
terdapat pada semua bentuk hukum, baik itu hukum-hukum yang didasarkan atas
wahyu seperti hukum Islam maupun hukum-hukum yang didasarkan bukan dari wahyu
walapun penekanan dari masing-masing hukum tersebut berbeda. Tentunya dengan
adanya perbedaan tersebut adalah suatu keistimewaan dalam hukum Islam itu
sendiri. Perbedaan dari keistimewaan itu di antaranya adalah:
Pengaruh kemaslahatan
dalam hukum Islam tidak terbatas di dunia tetapi juga berpengaruh dalam kehidupan
akhirat, tentunya ini dikaitkan karena syari’at Islam diciptakan untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dimensi hukum Islam
dengan kemaslahatannya bersifat materi dan juga immateri (ruhi) terhadap
kehidupan manusia. Berbeda dengan hukum yang tidak didasarkan atas wahyu
biasanya bersifat materi saja.
Kemaslahatan yang
terkandung dalam hukum Islam merupakan dasar bagi kemaslahatan-kemaslahatan
lain. Hal ini menandakan jika ada pertentangan antara kemaslahatan lain dengan
kemaslahatan agama, maka kemaslahatan agama tidak boleh dikorbankan.[12]
Orientasi dunia dan
ukhrawi memang selalu terkait dalam kemaslahatan agama. Sebagaimana yang
dikatakan al-Syatibi bahwasanya kemashatan harus diwujudkan dan kerusakan yang
semestinya harus dihapuskan, menurut ketentuan syari’at harus ditegakkan pada
tegaknya kehidupan dunia dan akhirat.[13]
Maslahat menurut para
pakar ushul dibagi menjadi tiga bagian;[14]
Pertama,
maslahah mu’tabarah. Maslahat bentuk ini, merupakan kemaslahatan yang didukung
oleh syara’. Artinya, kemaslahatan tersebut didukung dengan dalil khusus yang
menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Para ulama sepakat,
kemaslahatan seperti ini dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum. Menurut Mustafa Dib al-Bugha, kemaslahatan semacam
ini termasuk dalam metode qiyas.[15]
Kedua, maslahah
mulghah. Kemaslahatan bentuk
kedua ini merupakan kemaslahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentangan
dengan ketentuan syara’ itu sendiri. Oleh karenanya, kemaslahatan semacam ini
oleh para ulama ushu sepakat untuk menolaknya, dan tidak dapat dijadikan
sandaran hukum.[16]
Ketiga, maslahah
mursalah[17]. Maksud
dari kemaslahatan bentuk ini
adalah kemaslahatan yang keberadaannya
tidak didukung syara’
dan juga tidak ditolak
oleh syara melalui
dalil-dalil yang terperinci. Disebut sebagai suatu maslahah, karena
hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah ini, dapat menghindarkan mukallaf
dari suatu bahaya atau kerusakan, tetapi sebaliknya maslahah tersebut, akan
mendatangkan kemanfaatan dan kebaikan bagi mukallaf. Demikian halnya, disebut
mursalah karena Syari’ tidak
menyetujuinya melalui dalil-dalil khusus, demikian juga tidak menolak secara
terang- terangan.
Maslahat yang pertama
adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran maupun
dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan
ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara
kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang
tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan
keduanya.[18]
Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi.
Secara ringkas, dapat
dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi itu difokuskan terhadap
lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah
yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar. Juga
difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang
berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi
seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn
Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan
didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’ untuk mencegah
kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al Quran.[19]
Berdasar pada ketiga
maslahah, al-maslahat al-mursalah
adalah merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur
secara eksplisit dalam Al Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih
menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Di antara kedua maslahat tersebut,
ada yang disebut
maslahat mursalat yakni
maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut
dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.[20]
Istilah yang sering
digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah adalah
suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan
hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat
al- mursalat.[21] Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh
menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut mereka
memberikan beberapa syarat. Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut :[22]
a. Maslahat
tersebut bersifat reasonable (ma‟qul)
dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.
b. Maslahat
tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan
kesulitan (raf‟u al-haraj),
dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat.
c. Maslahat
tersebut harus sesuai dengan maksud disyari‟atkan hukum (maqashid al-syari‟at) dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟ yang qahti‟.
Sementara itu
Al Ghazali menetapkan
beberapa syarat agar
maslahat dapat dijadikan sebagai
penemuan hukum.[23]
a. Kemaslahatan itu
masuk kategori peringkat
daruriyyat. Artinya bahwa
untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus
diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat
atau belum sampai pada batas tersebut.
b. Kemaslahatan
itu bersifat qath‟i,
artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut bena-benar telah diyakini
sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhan) semata- mata.
c. Kemaslahatan
itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan
kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual
maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan
maqashid al- syari‟at.
Berdasarkan ungkapan
tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode penemuan hukum istislahi sangat erat kaitaannya dengan
maslahat. Sebagaimana yang diungkpkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus
sesuai dengan tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya
menghilangkan segala bentuk kesulitan. Bentuk penemuan hukum berdasarkan
istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar, tetapi juga tidak ada
pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari‟at dan
tidak ada „illat
yang keluar dari syara‟
yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu
yang sesuai dengan hukum syara‟,
yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk
menyatakan suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan istislahi.
Kemaslahatan yang
terkandung dalam hukum Islam merupakan dasar bagi kemaslahatan-kemaslahatan
lain. Hal ini menandakan jika ada pertentangan antara kemaslahatan lain dengan
kemaslahatan agama, maka kemaslahatan agama tidak boleh dikorbankan.[24]
Orientasi dunia dan
ukhrawi memang selalu terkait dalam kemaslahatan agama. Sebagaimana yang
dikatakan al-Syatibi bahwasanya kemaslahatan harus diwujudkan dan kerusakan
yang semestinya harus dihapuskan, menurut ketentuan syari’at harus ditegakkan
pada tegaknya kehidupan dunia dan akhirat.[25] Uraian ini menggambarkan
adanya kemaslahatn secara substansial hanya saja permasalahan akan timbul dalam
hal legalitas yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dianggap sebagai sesuatu
maslahah. Oleh karena itu diperlukan cara menentukan legalitas maslahah yang
akhirnya membagi maslahah tersebut pada tiga macam.
Pertama,
maslahah yang diperhitungkan legalitasnya dalam syari’at atau secara syar’i,
baik itu langsung maupun tidak langsung. Maslahah yang terkandung di dalamnya
maslahah yang permanen dan bersifat abadi.[26] Ketentuan maslahah dalam
hal ini berkenaan dengan adanya penunjuk pada adanya maslahah yang menjadi
alasan dalam penetapan hukum. Sebagai contoh tentang tidak baiknya mendekati
perempuan yang kondisinya dalam keadaan menstruasi dengan adanya alasan
keterkaitan penyakit dalam kondisi tersebut. Keterkaian ini dianggap sebagai
maslahah karena mengandung penyakit atau kerusakan.[27] Legalitas maslahah di
dalamnya didasarkan penunjukannya dari suatu nas yang ditegaskan dalam QS.
al-Baqarah 2/ 222 sebagai berikut:
يسألونك
عن المحيض قل هو أذى فاعتولوا النساء فى المحيض.
Terjemahnya:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit; oleh karena
itu jauhilah perempuan yang sedang haid.
Keberadaan atau
penunjukan dalam bentuk nas itu sendiri dalam bentuk illah yang menyebut
sesuatu itu ada suatu maslahah dalam hal ini ada kerusakan atau penyakit, ini
disebut dengan maslahah mu’tabarah. Pemeliharaan dan menghindarkan jiwa dari
suatu penyakit yaitu haid merupakan kemaslahatan yang harus diwujudkan.
Demikian pula larangan Allah mendekati atau berzina dalam surah al-Isra’ ayat
32 adalah usaha mewujudkan kemaslahatan keturunan dan kehormatan manusia.[28] Kemaslahatan dalam ziarah
kubur tidak lain adalah mengingatkan keberadaan hari kiamat ataupun ketentuan
nas dalam kewajiban melaksanakan shalat bagi kaum muslimin adalah evaluasi
diri, membersihkan jiwa dari sifat-sifat buruk dan sebagainya.[29]
Kedua,
kemaslahatan yang legalitasnya ditolak oleh syari’at, yang berarti sesuatu yang
dilihat manusia sebagai suatu kemaslahatan akan tetapi menurut syari’at seperti
yang ditunjukkan dalam nas ada yang membatalkan atau menafikan kemaslahatan
tersebut.[30]
Maslahah yang terkandung di dalamnya dianggap baik oleh akal, tetapi tidak
mendapatkan perhatian menurut syari’at sementara petunjuk syari’atnya memang
menolaknya.[31]
Beberapa literatur
ushul fiqh memberikan sebuah kasus yang legalitas kemaslahatannya ditolak dalam
ketentuan syari’at. Secara akal memang dianggap baik dan telah sejalan dengan
tujuan syari’at namun ternyata syari’at menetapkan hukum yang berbeda dengan
apa yang dituntut oleh maslahah tersebut. Umpamanya seorang raja atau orang
kaya yang melakukan pelanggaran hukum yaitu mencampuri istrinya di siang hari
pada bulan ramadhan. Seorang faqih al-Laits menetapkan bahwa hukuman yang
pantas bagi raja atau orang kaya tersebut adalah puasa dua bulan berturut-turut
sebagai ganti kewajiban memerdekakan budak dan bukan hukuman yang lain. Menurut
faqih, keharusan memerdekakan budak adalah sanksi hukum yang dianggap tidak
akan berdampak positif dan tentunya disebabkan oleh adanya kemudahan bagi
seorang raja atau si kaya karena dikaruniai kondisi kehidupan yang serba mewah.
Oleh karena itu, keharusan berpuasa sebagai sanksi urutan kedua setelah
memerdekakan budak sebagaimana yang ditetapkan dalam nas haruslah didahulukan
pelaksanaannya karena dapat mewujudkan kemaslahatan sebagai tujuan hukum.[32]
Pengkategorian
maslahah mulghat atau yang ditolak legalitasnya oleh syar’i secara tekstual
memang dianggap cukup beralasan. Namun apabila kita bertolak dari tujuan
pensyari’atan hukum, tentunya fatwa ulama fiqh yang terkenal dan dianggap
sebagai imamnya orang Mesir masa itu patut dipertimbangkan sehingga petunjuk
nas dalam hal ini hadist yang berkaitan dengan persetubuhan di siang Ramadhan
dikembangkan pendapatnya di kalangan ulama antara menerapkan hadist tersebut
secara berurutan dan takhyir (memilih dan selektif).
Ketiga,
maslahah yang tidak ada legalitasnya, baik terhadap keberlakuan maupun
ketidakberlakuannya. Kategori ketiga dari maslaha inilah yang menjadi corak
dari metode ijtihad istislahi. Artinya tidak ada penunjukan nas baik dalam
tingkat jenisnya maupun pada tingkat macamnya.[33] Dalam hal posisi, tidak
mendapatkan legalitas khusus dari nas tentang keberlakuan dan
ketidakberlakuannya, maka maslahah ini disebut dengan maslahah mursalah yang
berarti terlepas dari petunjuk nas secara khusus. Intinya tidak ada dalil
khusus yang menjadi dasar dari maslahah ini meskipun penyebutanannya ada dalam
bentuk lain seperti istislah dan istidlal mursal.[34]
Dalam perspektif
kesejarahan hukum Islam, kategori maslahah ini selalu dikedepankan semacam
pemberlakuan pajak terhadap pemilik tanah pertanian dan pajak penghasilan,
pemberlakuan adanya penjara dalam kasus kriminal dan pencetakan mata uang.[35] Contoh lain yang lebih
populer yang pernah terjadi pada masa khalifah Usman bin Affan yaitu pembukuan
mushaf al-Qur’an.
Pemberlakuan metode
maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum mengundang polemik di kalangan
ulama sehingga menimbulkan perbedaan antara yang menganggapnya sebagai kekuatan
hukum atau hujjah dan sebagian ulama yang menolak penggunaannya sebagai dasar
penetapan hukum. Imam Syafi’i termasuk sebagai kelompok yang menolak metode
tersebut sebab penggunannya sama dengan menganggap bahwa Tuhan luput dari
membicarakan sebagian dari kemaslahatan makhlukNya ketika menetapkan hukum.[36]
Sedangkan Imam Malik,
guru Imam Syafi’i berbeda dengan pendapat muridnya yang mempergunakan maslahah
mursalah dalam menetapkan hukum. Imam Malik berpendapat bahwa metode ini
dianggap tidak keluar dari cakupan ketentuan nas meskipun tidak ada petunjuk
nasnya secara khusus namun sesuai dengan tindakan syar’i yang dasar hukumnya
disimpulkan dari sejumlah nas yang menunjukkan pada prinsip-prinsip umum dan
inilah dalil yang kuat. Imam Malik menetapkan ada tiga syarat yang harus
dipenuhi.
Pertama,
persesuain antara maslahah dengan maqasid al-syari’ah serta tidak ada pertentangan
dengan dasar hukum lain.
Kedua,
substansinya dari maslahah itu adalah logis.
Ketiga,
penggunaan maslahah haruslah bertujuan untuk menghilangkan kesempitan dalam
kehidupan manusia serta tidak menyusahkan.[37]
Melihat proses
penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang ditunjukan oleh khusus. Dalam hal
ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian
tujuan syara‟. Proses
seperti itu disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu masalah).[38] Walaupun para
ulama berbeda dalam
memandang metode ini,
hakikatnya adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya terdapat
tujuan secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau
menolaknya.
Sedangkan menurut
Al Ghazali istislahi
menurut pandangannya adalah
suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara‟ yang tidak merupakan dalil
tambahan terhadap nash syara‟,
tetapi ia tidak keluar dari nash syara‟.
Menurut pandangannya, ia merupakan hujjah
qathi‟iyyat selama
mengandung arti pemeliharaan maskud syara‟,
walaupun dalam penetapannya zhani. [39]
Secara ringkas, dapat
dikatakan bahwa metode penemuan hukum
dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat
dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum
yang ada penguatnya melalui suatu i‟tibar.
Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma‟ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian
tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran
dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal itu
tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang
sejalan dengan kehendak syara‟
untuk mencegah kemungkinan timbulnya
perselisihan umat tentang Al Quran.[40]
Dari uraian di atas
jelaslah bahwa istislahi merupakan cara penemuan hukum yang berdiri sendiri,
yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, „urf dan kaidah raf al-harj
wa al-masyaqqat.
B. Fiqhul
Waqi’
a.
Pengertian
Fiqhul Waqi’
Fiqh bererti “Ilmu”.
Waqi’ bererti “Kenyataan Atau Kebenaran”. Apabila dua kalimah ini digabungkan
ia bererti “Ilmu Kenyataan Atau Ilmu Kebenaran”. Ia dikatakan juga sebagai
“Ilmu Peristiwa Dan Hukumnya”. Namun, jika difahami penggunaan kesemua
istilah-istilah ini, ia tidak dapat memberi kenyataan, kebenaran atau apa pun
ilmu yang hak yang berkenaan dengannya, kecuali jika diambil atau difahami dari
kitab Allah dan sunnah RasulNya. Maka fiqhul waqi’ yang sebenar adalah yang diambil,
dipelajar dan difahami dari al-Quran dan as-Sunnah. Oleh kerana itu, Syeikh
Nasruddin al-Albani rahimahullah berkata:
“Asas awal fiqhul
waqi’ (yang dikehendaki oleh syara, Pent.) ialah mengetahui al-Kitab dan
as-Sunnah melalui manhaj Salaf as-Soleh. Sama ada secara pemahaman atau cara
pelaksanaannya, bukan hanya setakat pengakuan dan angan-angan. Maka tidak boleh
dikatakan “memahami fiqhul waqi’ yang sebenar” sesiapa yang tidak mengetahui
kitab Rabb-Nya dan sunnah Nabi-Nya”. (Lihat: Soal Jawab Haula Fiqhul Waqi’,
hlm. 16-17 Al-Albani)
Secara ringkas,
fiqhul waqi’ dapat difahami dengan jelas dari penjelasan Ibnul Qaiyim
rahimahullah. Beliau berkata:
وَلاَ
يَتَمَكَّنُ الْمُفْتِيُّ وَلاَ الْحَاكِمُ مِنَ الْفتوَى وَالْحُكْم بِالْحَقِّ
اِلاَّ بِنَوْعَيْنِ مِنَ الْفَهْمِ .
“Seseorang mufti atau
hakim tidak akan mampu berfatwa dan mengeluarkan (memutuskan) hukum kecuali
setelah memahami (waqi’/kenyataan. Pent.) dua (jenis) pemahaman:
اَحَدُهُمَا : فَهْمُ الْوَاقَعِ ،
وَالْفِقْهُ فِيْهِ ، وَاسْتِنْبَاطُ عِلْمِ حَقِيْقَته مَا وَقَعَ بَالْقَرَائِنِ
وَاْلأمَارَاتِ وَالْعَلاَمَاتِ حَتَّى يحِيْطَ بِهِ عِلْمًا.
“Pertama: Memahami
(tahu dan mengerti) tentang waqi’ (kejadian/keadaan/kondisi), berilmu tentang
ilmu hakikat (peristiwa/kejadian yang sedang berlaku pada masyarakat. Pent.)
Kemudian mampu membuat keputusan secara hakikat yang sebenarnya dari kejadian
tersebut, disertai dengan pembuktian-pembuktian, tanda-tanda dan ciri-cirinya
sehingga dirinya menguasai ilmu tersebut”.
وَالنَّوْعُ الثَّانِيْ : فَهْمُ الْوَاجِبِ فِى
الْوَاقِعِ : وَهُوَ
فَهْمُ حُكْم اللهِ الَّذِيْ حكمَ بِهِ فَى كِتَابِهِ اَوْ عَلَى لِسَانِ
رَسُوْلِهِ فِى هَذَا الْوَاقِعِ.
“Kedua: Faham
(menguasai) ilmu yang wajib yang berkaitan dengan kenyataan. Iaitu memahami
hukum-hakam Allah di dalam al-Quran dan lisan (Sunnah) Rasul-Nya yang dengannya
Allah telah menentukan sesuatu hukum berdasarkan kenyataan kejadian yang
berlaku”.
Kemudian melaksanakan
kedua perkara ini (yang wajib digabungkan. Pent), salah satunya dengan yang
lainnya kerana tidak boleh dipisahkan. Dan sesiapa yang mengarahkan
kesungguh-sungguhannya dan mengorbankan ruang waktunya yang panjang untuk yang
demikian, maka dia tidak terlepas dari mendapat dua atau satu pahala dari dua
perkara tersebut.
Maka orang alim
dituntut untuk menguasai ilmu waqi’ atau berusaha untuk memahaminya agar dapat
diputuskan peristiwa/kejadian dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. (Lihat: اعلام
الموقعين 1/187. Ibnu Qaiyim)
”Mengetahui
hukum-ahkam Allah Subhanahu wa-Ta’ala yang terdapat di dalam al-Quran dan
Sunnah NabiNya. Kemudian mampu menerapkan keduanya pada kejadian yang berlaku
serta permasalahan yang ada pada ketika itu”.
b.
Dalil Yang
Digunakan Sebagai Dasar Pemikiran Fiqhul Waqi’
Berdasar
pada firman Allah:
وَاَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ هُمْ
“Dan hendaklah engkau
berhukum antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah
turuti hawa nafsu mereka”. (Al-Maidah, 5:49)
اِنَّا
اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
اَرَاكَ اللهُ.
“Sesungguhnya
telah Kami turunkan aL-Kitab (al-Quran) kepadamu agar kamu berhukum antara
mereka dengan apa yang telah diperlihatkan Allah kepadamu”. (An-Nisaa, 105)
Dengan demikian,
untuk menetapkan dan melaksanakan fiqhul waqi’ maka asasnya adalah al-Quran dan
as-Sunnah kerana keduanya merupakan penerangan, petunjuk dan pelajaran dalam
menghadapi waqi’.
Ini bermakna,
mengamalkan fiqhul waqi’ sebagaimana yang dituntut dan mengikut manhaj yang
dilalui oleh para Salaf as-Soleh, adalah memenuhi perintah Allah Subhana
wa-Ta’ala yang berdasarkan firmanNya:
اِنَّا اَنْزَلْنَا
اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرَاكَ اللهُ.
“Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadamu al-Kitab dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili
(berhukum) antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu”.
(An-Nisaa, 4:105)
وَاَنِ احْكُمْ بِيْنَهُمْ
بِمَآ اَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ هُمْ.
“Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”. (Al-Maidah, 5:49)
هَذَا بَيَانٌ للنَّاسِ
وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ للْمُتَّقِيْنَ.
“Al-Quran)
ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yang bertakwa”. (Ali Imran, 3:138)
Ayat di atas ini
menjelaskan bahawa keadaan, kejadian (peristiwa), kondisi dan situasi (waqi’)
ditundukkan dan dirujukkan kepada hukum-ahkam al-Quran dan as-Sunnah. Bukan
al-Quran dan as-Sunnah diketepikan kerana memenuhi kehendak fiqhul waqi’
(kondisi, situasi, peristiwa dan kenyataan) yang berlandaskan hawa nafsu, yang
diimarahkan dan yang dijadikan fiqh keutamaan sehingga kerananya menjadi
penyembah pendewaan akal (aklani – (عقلاني sehingga terkeluar dari panduan dan kehendak al-Kitab (al-Quran
dan as-Sunnah).
c.
Fiqh Waqi
Ibnul Qayim al-Jauziyah
1.
Al-Allamah
Ibnul Qayim al-Jauziyah berkata:
"Tidak akan
mampu seorang mufti atau seorang hakim untuk berfatwa atau menetapkan hukum
dengan benar, kecuali dengan bantuan dua jenis ilmu (pemahaman):
1)
Memahami dan
mengetahui situasi 'dan kondisi, dan menetapkan kesimpulan hakekat yang terjadi
dengan bantuan beberapa indikasi dan tanda-tanda, hingga dia benarbenar
menguasainya.
2)
Memahami
kewajiban yang berkenaan dengan kondisi tersebut, yaitu memahami hukum Allah,
yang telah ditetapkan dalam kitab-Nya dan juga melalui lisan Rasul-Nya
berkenaan dengan kondisi tersebut. Kemudian ia menerapkan hukum itu pada
kondisi tersebut atau sebaliknya.
Maka barangsiapa
mengerahkan kemampuan dan usaha untuk itu, niscaya dia tidak akan kehilangan
satu atau dua pahala. Seorang alim adalah orang yang dengan memahami waqi'
(kondisi) dapat mengetahui hukum Allah dan Rasulnya.[41]
Setelah memahami arti
sekilas dan asal munculnya istilah fiqhul waqi', agar memperjelas arti dan
hakikatnya, maka berikut akan diuraikan contoh-contoh dari Al-Qur'an dan Sunnah
Rasulullah. Serta tidak lupa penjelasan para ulama' terhadap contoh-contoh ini.
Silahkan simak apa yang dijelaskan oleh Ibul Qayyim berikut ini.
2.
Contoh-contoh Penerapan Fiqhul Waqi' Menurut Salaf
Banyak orang yang
keliru di dalam memahami istilah fiqhul waqi' yang dibawakan Ibnul Qayim tadi.
Yang berbuntut timbulnya kesalahan di dalam menerapkannya. Sehingga menurut
tanggapan mereka fiqhul waqi' itu identik dengan membolak-balik berita dan
mendalami informasi-informasi bohong yang disebarkan musuh-musuh Islam.
Untuk itu akan kita
paparkan contoh-contoh penerapan fiqhul waqi' menurut ulama, sekaligus untuk
mengetahui hakekat fiqhul waqi' :
1)
Al-Allamah
Ibnul Qayim berkata:
Sebagaimana saksi Nabi
Yusuf dapat mengetahui bebasnya Nabi Yusuf dari tuduhan, karena kejujuran.
beliau dengan koyaknya baju beliau di bagian belakang. Yaitu kisah Nabi Yusuf
yang disebutkan dalam al-quran suratYusuf: 25-29 yang artinya:
Dan
kedua-duanya berlomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari
belakang, hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu dimuka
pintu. Wanita itu berkata:
"Apakah
balasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain
dipenjarakan atau dihukum dengan azab yang pedih."
Yusuf berkata:
"Dia menggodaku untuk menundukkan diriku kepadanya." Dan seorang
saksi dari keluarga wanita itu berkata (memberikan kesaksiannya):
"Jika
baju gamisnya koyak didepan, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang
yang dusta. Dan jika gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta,
dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar."
Maka tatkala
suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, dia berkata:
"Sesungguhnya kejadian itu adalah tipu dayamu. Sesungguhnya tipu dayamu
adalah besar.
Hai Yusuf
berpalinglah dari ini (rahasiakanlah peristiwa ini). Dan kamu (wahai isteriku)
motion ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesunguhnya termasuk orang yang
berbuat salah."
Coba lihat
betapa tajam dan kuatnya firasat saksi dari keluarga wanita tersebut, sehingga
dapat menetapkan al-haq dalam kasus itu.
2)
Al-Allamah
Ibnul Qayim melanjutkan lagi:
Sebagaimana Nabi
Sulaiman dapat menentukan ibu seorang anak yang diperdebatkan, dengan ucapan
beliau:
"Berikanlah kepadaku sebilah
pisau hingga aku dapat membelah dua anak ini bagi kalian."
Beliau
mengisyaratkan kepada sebuah kisah dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah bahwa Rasullulah bersabda:
Dahulu ada dua
orang wanita bersama anak mereka berdua, lalu seekor serigala menerkam anak
salah seorang dari mereka. Seorang berkata kepada temannya : "Serigala itu
telah menerkam anakmu." Temannya menjawab: "Tidak. Bahkan serigala
itu yang menerkam anakmu."
Kemudian
mereka berdua berhukum (meminta keputusan hukum -red) kepada Nabi Dawud. Lalu
Nabi Dawud memutuskan bahwa anak yang selamat itu adalah anak dari wanita yang
tertua di antara keduanya.
Lalu keduanya
berangkat ke Nabi Sulaiman (anak Nabi Dawud) dan menceritakan apa yang terjadi.
Lalu Nabi Sulaiman berkata:
Datangkan
sebilah pisau agar aku dapat membagi (membelah -red) dua anak ini bagi kalian
berdua!"
Wanita yang
muda berkata: "Jangan lakukan hal itu. -Semoga Allah merahmatimu- Anak itu
adalah anaknya.".
Kemudian
(dengan ucapan itu) Nabi Sulaiman memutuskan bahwa anak tersebut adalah anak
(milik) wanita yang muda.[42]
Ibnul Qayim berkata:
"Nabi Sulaiman
beralasan bahwa kerelaan wanita yang tua terhadap pembelahan (menjadi dua) anak
itu menunjukkan bahwa ia ingin berbagi duka dengan wanita yang muda atas
kehilangan anaknya.
Dan (Nabi Sulaiman) beralasan bahwa
penolakan wanita yang muda serta rasa kasih sayangnya, menunjukkan bahwa ia
adalah ibu anak tersebut. Indikasi itu merupakan bukti kuat bagi Nabi Sulaiman
untuk menetapkan anak baginya tanpa menghiraukan pengakuan lisannya bahwa
"anak itu adalah milik wanita yang tua".[43]
Demikianlah ketajaman
firasat Nabi Sulaiman dalam mengungkap waqi'(realita) hingga beliau dapat
menetapkan hukum dengan benar.
3)
Al-Allamah
Ibnul Qayim melanjutkan contoh lainnya:
Sebagaimana Ali bin
Abu Thalib dapat mengeluarkan kitab (surat rahasia) dari seorang wanita yang
membawanya dari Hathib (seorang sahabat) tatkala wanita itu mengingkari telah
membawanya; dengan ucapan beliau:
"Engkau
keluarkan kitab tersebut, atau aku lepaskan pakaianmu."
Kisah
lengkapnya dapat dilihat dalam shaih Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abu Thalib
yang berkata:
Rasullulah
mengutus aku, Abu Martsad dan Aj-Jubeir bin Awwam. Kami semua mengendarai kuda.
Rasullulah bersabda:
"Berangkatlah
kalian sampai ke Raudhatu-khokh, sebab di sana ada seorang wanita musyrik yang
membawa kitab dari Hathib bin Abi Balta'ah kepada kaum musyrikin."
Kemudian
kami mendapatinya (wanita itu) sedang menunggang untanya di tempat yang
dikatakan Rasulullah tadi. Lalu kami berkata: "Serahkan kitab
tersebut!" Ia berkata: "Aku tidak membawa kitab." Lalu kami
tambatkan untanya dan kami periksa, namun kami tidak menemukannya. Kami
berkata:
"Rasulullah
pasti tidak berbohong. Keluarkanlah kitab tersebut atau kami akan melepaskan
pakaianmu.
Maka
tatkala ia melihat kesungguhan kami, ia merogoh tempat ikat pinggangnya (ia
mengenakan ikat pinggang) lalu mengeluarkan kitab tersebut. Selanjutnya kami
membawa kitab itu kepada Rasulullah. Umar berkata:
"Ya
Rasulull'ah, ia (Hathib bin Abi Balta'ah) telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang beriman. Biarkanlah aku menebas lehernya."
Nabipun
bersabda kepada Hathib: "Apa yang mendorong engkau melakukan hal
itu?" Hathib menjawab:
"Demi
Allah, aku hanyalah seorang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah. Aku hanya
ingin agar aku punya kekuatan untuk membela keluargaku di sana (Mekkah). Semoga
Allah melindungi keluargaku dengan kekuatan tersebut. Dan setiap sahabat engkau
(Nabi), pasti punya kekuasaan di sana, yang dengannya Allah melindungi keluarga
dan hartanya."
Rasullulah
menjawab: "Engkau benar, ia (Hathib) jangan kalian kornentari kecuali
dengan kebaikan." [44]
Berdasarkan hadits
ini, Ibnul Qayim berkata:
"Apabila seorang
terdakwa mengaku pailit (tidak ada harta padanya), lalu penggugat berkata
kepada hakim bahwa ada harta padanya dan penggugat meminta agar terdakwa
diperiksa, maka wajib bagi hakim untuk memenuhinya, agar dapat mengembalikan
barang kepada yang berhak."[45]
Coba lihat kedalaman
dan keahlian para sahabat dalam mengambil tindaKan dalam situasi dan kondisi
apapun. Sehingga mereka dapat memecahkan berbagai masalah dengan firasat (ilham
dari Allah -red) dan pemahaman yang jernih.
Dari contoh-contoh di
atas serta syarah (keterangan dan penjelasan) Ibnul Qayim, maka jelaslah bagi
kita bahwa beliau berbicara tentang firasat yang dianugerahkan kepada seorang
alim. (hakim, qadi atau mufti) tatkala dihadapkan kepada suatu kasus yang tidak
ia dapati sebelumnya dan pada kondisi yang tidak dia ketahui sebelumnya.
Tidak sebagaimana
yang disangka sebagian orang -tatkala mendapati Ibnul Qayim mendapati istilah
tersebut- bahwa yang dimaksud dengan fiqhul waqi' adalah fiqhul waqi' yang
mereka pahami dan mereka ada-adakan, yaitu membolak-balik majalah dan surat
kabar serta memasang telinga di depan radio dan televisi.
Bukan demikian maksud
Ibnul Qayim ... akan tetapi beliau berbicara tentang firasat para ulama
mujtahidin. Oleh karena itu beliau memulai kitab ath-Thuruqul Hukmiyah fis
Siyasah asy-Syariah, dengan pembahasan mengenai firasat seorang hakim dan qadi.
Bahkan di sebagian naskah kuno kitab beliau tersebut berjudul al-Firasah
al-Mardiyah fi Ahkamis Siyasah asy-Syar'iyyah.
Jadi seorang dapat
dikatakan faqihul waqi' jika berkumpul padanya dua perkara yaitu ijtihad dan
firasat. Sehingga dia adalah seorang ulama mujtahid dan memiliki firasat yang
tajam dan jernih; Oleh karena itu tidak semua ulama dapat berbicara tentang
fiqhul waqi'.
d.
Fiqh Waqi
Yusuf Al-Qaradawi
Gagasan ijtihad fiqh
realitas oleh Qaradhawi adalah usaha mengikuti jejak para ulama terkemuka dalam
merespons perubahan realitas sebagai pertimbangan hukum. Di antara ulama yang
turut menginspirasi gagasan beliau terkait fiqh al-waqi’ adalah Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyyah, Al-Qarafi, dan Ibnu ‘Abidin. Berikut ini, pokok- pokok pemikiran
Qardhawi dalam menyikapi realitas sosial kekinian (fiqh al-waqi)[46]:
Pertama, fatwa hukum
bisa berubah-ubah dipengaruhi oleh realitas sosial yang melingkupinya. Hal ini
bukan kaidah yang baru, karena
para ulama terdahulu
dari berbagai periode telah mempraktekannya,
seperti Ibnu al- Qayyim, al-Qarafi, dan Ibnu ‘Abidin.[47]
Kedua, realitas
sosial yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar kehidupan
manusia dan mempunyai
pengaruh, baik pengaruh positif
maupun negatif.
Ketiga, sebelum diberikan
suatu hukum tertentu, realitas sosial
kekinian perlu dikaji secara mendalam untuk mengetahui
hakikatnya.
Keempat, realitas sosial pada masa permulaan Islam
perlu dipelajari dan dikaji untuk dijadikan model atau sampel dalam memahami
karakter syari’ah Islam serta tujuan syari’ah. Istilah-istilah yang digunakan
pada masa permulaan
Islam harus disesuaikan dengan pemahaman masa kini, seperti kata
sha’, mud, wisq, qullah,
zira’, dirham, dinar, auqiyah, rathl, qinthar, dll.
Kelima, sebagai
pengamalan realistisitas (waqi’iyyah)
Islam, hukum fikih
hendaknya bersifat realistis dalam arti tidak menyulitkan, namun
memperhitungkan tingkat kemampuan mukallaf, sehingga jika pada keadaan tertentu
seperti keadaan darurat hukum bisa berubah 180 derajat, seperti dalam keadaan
darurat.
Keenam, fikih realitas tidak berdiri sendiri, ia
adalah kelanjutan dari metode istimbath
hukum (ushul fikih) yang telah berjalan selama ini. Ilmu ushul fikih
klasik tidak banyak membahas mengenai peran realitas sosial dalam proses
formulasi hukum fikih, sedangkan untuk ushul fikih kontemporer
kajian atas realitas
sosial secara mendalam tidak bisa dikesampingkan.
Ketujuh, fikih
realitas tidak mengesampingkan tekstualitas al-Qur`an dan sunnah, namun perlu
adanya keselarasan antara
teks-teks al-Qur`an dan sunnah
dan esensi tujuan syari’at yang universal.[48]
Selanjutnya, konsep
fikih realitas ini bertumpu pada
pemahaman yang jelas
mengenai fleksibilitas Islam (al-murunah; wilayah Islam yang bisa
dinegosiasikan) dan mengenai yang konstan dalam Islam (as-sabat), yaitu
dasar-dasar yang bersifat konstan dan tidak mungkin berubah dari masa ke masa
(wilayah Islam yang tidak mungkin dinegosiasikan).[49]
Al-Qaradhawi
menyadari bahwa realitas sosial mungkin
bisa memberikan pengaruh
posisitif bagi kehidupan manusia,
namun ada kemungkinan pula ia
memberikan pengaruh negatif. Oleh karena itu, perlu adanya verifikasi untuk
menerima atau menolak realitas sosial yang sedang berjalan[50].
Menyikapi realitas
yang bermata dua tersebut, al-Qaradhawi membatasi justifikasi realitas sosial
yang dapat mempengaruhi produk hukum hanya berkisar pada wilayah ijtihad yang
mencakup hal- hal sebagai berikut:
Pertama, wilayah yang posisinya tidak diketahui secara pasti
dan meyakinkan melalui dalil al-Qur`an dan sunnah (qath’i as-tsubût wa ad-dilâlah); kedua, wilayah yang disebut oleh al-Qur`an
secara mujmal; ketiga, wilayah yang didiamkan oleh al-Qur`an dan sunnah;
keempat, wilayah yang bersifat juz`i (bagian-bagian/cabang-cabang hukum).[51]
Pada akhirnya,
al-Qaradhawi menegaskan bahwa dalam fikih atau ushul fikih lama,
realitas sosial yang
menyebabkan perubahan fatwa yaitu:
a.
Realitas Zamani;
Perubahan zaman
(az-zamân). Yang dimaksud
dengan perubahan zaman di sini
bukanlah perubahan dari tahun yang satu ke tahu yang lain, namun yang
dimaksudkan adalah perubahan perilaku manusia yang disebabkan oleh perubahan
zaman. Zaman di mana kita hidup saat ini
tidak sama dengan zaman orang-orang yang hidup di masa lalu. Perubahan mungkin
juga diartikan sebagai perubahan perilaku manusia dari perilaku yang baik
menjadi jelek, dari jelek menjadi lebih
jelek, dan seterusnya.
Contoh perubahan fatwa
yang disebabkan karena perubahan zaman bisa dilihat dalam fatwa hukum
mengenai hukuman bagi
peminum khamr (arak).
Pada masa Rasulullah tidak
ada hitungan cambukan
tertentu bagi peminum arak.
Kemudian di masa
Abu Bakar peminum
arak dihukum 40 (empat
puluh) kali cambukan.
Pada masa Umar
bin Khattab peminum arak dihukum
dengan 80 (delapan puluh) kali cambukan. Yang cukup unik adalah bahwa di masa
Ali bin Abu Thalib hukuman dikembalikan menjadi 40 (empat puluh) kali cambukan,
padahal di masa Umar bin Khattab Ali lah yang mengusulkan agar peminum arak
dicambuk 80 (delapan puluh) kali.
b.
Realitas Tempat;
Perubahan tempat
(al-makân). Tidak bisa
dimungkiri bahwa perbedaan
tempat berpengaruh pula pada pola pikir dan perilaku, sehingga mengakibatkan
pula perubahan dalam segi hukum. Dalam hal ini desa tentunya berbeda dengan
kota, negara dengan musim dingin berbeda dengan negara dengan musim panas,
seorang muslim yang tinggal di
negara muslim berbeda
dengan yang tinggal
di negara non-muslim, dll. Contoh dalam hal ini adalah dibolehkannya
melakukan tayamum jika udara dalam keadaan sangat dingin dan tidak mamungkinkan
memanaskan air.
c.
Realitas
Tradisi dan Adat Istiadat
Perubahan tradisi (al-’urf). Maksud dari ‘urf di sini adalah segala sesuatu yang
menjadi kebiasaan dalam
kehidupan manusia, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, baik
ataupun buruk. Contoh mengenai hal ini bisa dilihat dari penetapan nishâb emas
dan perak, di mana Rasulullah memberikan batas nishâb emas sebesar 20 Dinar (85
gram) perak sebesar 200 Dirham (595 gram). Pada saat itu, nilai 20 Dinar emas
setara dengan nilai
200 Dirham perak
dan nishâb disandarkan pada hal itu. Namun ketika tradisi
manusia berubah, di mana harga perak
menurun dibandingkan harga
emas, sehingga nishâb dengan
mengunakan standar emas senilai 10
(sepuluh) kali lipat dibanding
nishâb dengan menggunakan
standar perak, maka yang paling tepat untuk saat ini adalah
menggunakan standar emas sebagai nishâb. Demikian
ini dikarenakan memiliki 85 gram emas lebih pantas dianggap kaya
secara syar’i dari pada memilki 595 gram perak.
d.
Realitas
Kepribadian Pelaku Hukum
Perubahan pada kepribadian pelaku
hukum mengakibatkan perubahan pada
paradigma berpikir (ar-ra’yu
wa al-fikr). Dengan terbukanya dunia saat ini
menyebabkan mudahnya akses informasi dan
intensifnya pola interaksi antar individu. Hal itu terkadang bisa
berpengaruh cara pandang dan pola pikir seseorang sehingga
bisa bergeser, dari cara pandang yang serba mempersulit menjadi lebih
memberikan kemudahan-kemudahan, dari
paradigma tekstualis menjadi
paradigma maqâsid, yang pada akhirnya merubah metodologi. Hal paling
kentara dalam hal ini diwakili oleh Imam Syafi’i yang mempunyai dua qaul,
yaitu qaul qadîm dan qaul jadîd.
e.
Realitas Niat
dan Motif
Perubahan realitas niat dan motif dapat dicontohkan
seperti kisah ketika ada
seseorang datang kepada
Ibnu Abbas menanyakan mengenai
taubatnya si pembunuh,
apakah diterima atau tidak?
Kepada orang tersebut Ibnu Abbas mengatakan
bahwa taubatnya pembunuh tidak akan diterima oleh Allah. Ketika orang
yang bertanya tersebut
telah pergi, salah
seorang sahabat Ibnu Abbas
berkomentar: “kami sebelumnya
mendengar darimu tidak seperti
itu”. Lalu Ibnu
Abbas menjawab: “ketika
aku melihat mukanya, terlihat
olehku dia sedang marah
dan ingin membunuh seorang
mukmin”. Jika seandainya yang datang kepada Ibnu Abbas adalah orang yang telah membunuh orang lain lalu menyesal dan ingin bertaubat tentunya Ibnu Abbas akan
mengatakan bahwa pintu taubat masih terbuka.[52]
e.
Kritik
Terhadap Fiqh Waqi Yusuf Al-Qaradawi
1.
Kelemahan Tatabbu‘ ar-Rukhash
Apa yang digagas
al-Qaradhawi sebagai fiqh taysîr, dalam ungkapan para ahli ushul fikih, disebut
dengan tatabbu’ ar-rukhash. Maksudnya bukanlah mengikuti rukhshah (keringanan),
seperti berbuka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan, tetapi mengambil
pendapat yang teringan di antara hukum-hukum syariat ketika terjadi perbedaan
pendapat (Abdullah, 1995: 376). Az-Zuhaili mengungkapkan istilah ini dengan
ungkapan ikhtiyâr al-aysar (memilih pendapat termudah) (Az-Zuhaili, 1996: 39).
Misalnya, seseorang mengambil pendapat bahwa menyentuh perempuan tidak
membatalkan wudlu (mazhab Hanafi), seraya meninggalkan pendapat bahwa menyentuh
perempuan membatalkan wudlu (mazhab Syafi’i). Hal ini serupa dengan manhaj
al-Qaradhawi yang selalu menekankan prinsip kemudahan dan keringanan. Dalam
contoh di atas akan terlihat jelas manhaj al-Qaradhawi ini.
Di antara ulama ushul
telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah tatabbu’ ar-rukhash. Menurut
Muhammad Husain Abdulah dalam Al-Wâdhih fî Ushûl al-Fiqh (hlm. 376), dalam
masalah ini ada 3 pendapat: Pertama, ada ulama yang melarang tatabbu’ rukhash,
seperti Imam Ahmad (dalam satu riwayatnya), Abu Ishaq al-Marwazi, Imam
asy-Syatibi, Imam al-Ghazali, ulama Hanabilah, dan ulama Malikiyah (Az-Zuhaili,
1996: 40). Tatabbu’ rukhash dilarang karena merupakan kecenderungan berdasarkan
hawa nafsu, sedangkan syariat melarang mengikuti hawa nafsu. Selain itu, jika
ada perbedaan pendapat, wajib dikembalikan pada syariat dengan jalan tarjîh
(memilih pendapat dengan dalil terkuat), bukan memilih sesuka hati
2. Kekeliruan Kaidah Perubahan Hukum
(Taghayyur al-Ahkâm)
Memang, ada kaidah
dalam kitab kodifikasi undang-undang Daulah Utsmaniyah, yakni Majallah al-Ahkam
Al-Adliyah, pasal 39, yang berbunyi: Lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyur
az-zamân (Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman) (Az-Zuhaili,
2001: 1181). Kaidah ini sebenarnya sangat lemah, lagipula sering disalahpahami,
seakan-akan faktor satu-satunya yang mengubah hukum adalah zaman; atau
semisalnya seperti tempat, kondisi, dan adat. Padahal, dengan mencermati kitab
I‘lâm al-Muwaqqi‘în, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, yang sering dirujuk sebagai
sumber kaidah ini, akan jelas bahwa duduk perkaranya tidaklah demikian. Yang
benar, perubahan hukum itu terjadi karena adanya nash itu sendiri, yang
menunjukkan perubahan hukum, bukan karena faktor waktu, zaman, dan sebagainya
(Sa’id, 1995: 309). Waktu dan tempat tidak dapat mengubah hukum jika tidak ada
nash yang menunjukkan perubahan hukum. Ibnu Qayyim mencontohkan, Rasulullah
saw. tidak menjatuhkan hukum potong tangan pada saat perang. Tindakan Rasul itu
bukan karena perang itu sendiri, tetapi karena ada nash lain yang menetapkan
tidak dilaksanakannya hukum potong tangan pada saat perang (Al-Jauziyah,
2000:463).
3. Menjustifikasi Realitas yang Rusak.
Pendapat fikih yang
keliru dan lemah pada dasarnya masih tergolong pendapat Islami (ar-ra’yu
al-islâmî), selama masih berlandaskan dalil atau syubhah ad-dalîl (dalil
syariat yang lemah) seperti al-Istihsân, al-Mashâlih al-Mursalah, atau konsep
tatabbu’ ar-rukhash. Namun, mungkin orang lupa, bahwa dulu ketika para ulama
mencetuskan pendapat-pendapat itu, mereka hidup dalam masyarakat Islami dan
dalam Daulah Khilafah Islamiyah sehingga pendapat-pendapat mereka dapat dinilai
sebagai opini intelektual murni yang tidak akan menimbulkan suatu bahaya
(mudlarat), karena mereka hidup dalam suasana kehidupan Islami. Para ulama
semata-mata berijtihad, bukan melakukan justifikasi terhadap penyimpangan
agama. Ini jelas berbeda dengan fiqh al-wâqi‘ gagasan al-Qaradhawi, yang lahir
di tengah masyarakat yang tidak Islami, dalam sistem kehidupan yang dicengkeram
oleh sistem demokrasi sekular yang kufur. Gagasan seperti ini sangat berbahaya,
kontraproduktif, dan sulit diterima akal sehat. Sebab, yang seharusnya
dilakukan umat Islam justru menghancurkan sistem sekular yang ada, karena
sistem itu adalah thâghût yang wajib diingkari. Jelas pendapat seperti ini
sangat berbahaya. Sebab yang seharusnya dilakukan umat Islam justru mengubah
sistem demokrasi sekuler yang ada ini dengan sistem Islam ajaran Rasulullah
saw.
f.
Syarat Dan
Batasan Fiqhul Waqi'
Asy-Syekh Abul Hasan
al-Mishri telah mencantumkan beberapa syarat dan batasan bagi fiqhul waqi' ini
dalam silsilah fatawa syar'iyyah beliau. Di antaranya:
a)
Mengetahui
kabar-kabar (informasi tentang waqi' tertentu) dari sumber yang benar (yang
dapat dipercaya kebenarannya). Tidak cukup dengan sumber-sumber berita yang
palsu. Yang hari ini mengatakan suatu ucapan, besok dibantah sendiri.
b)
Yang menangani
berita-berita waqi' tersebut adalah sebagian kecil dari umat, dan selebihnya
terus tetap menuntut ilmu syar'i atau yang lainnya, yang dapat mendatangkan
manfaat bagi umat. Dan bagi mereka yang menangani, jika mereka ada kemauan
untuk menuntut ilmu, maka hendaknya mereka mendahulukan menuntut ilmu. Apalagi
jika mereka memiliki kecakapan dan kecerdasan.
c)
Hanya saja
yang menangani berita-berita waqi' ini adalah orang-orang yang tidak mempunyai
keseriusan menuntut ilmu syar'i. Dan seorang insan hendaknya beramal di bidang
yang dengannya ia dapat sukses.
d)
Mereka yang
menanganinya harus memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an
dan As-Sunnah seperti: permusuhan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap umat ini;
bahwa syirik dan bid'ah dapat meruntuhkan dien ini; bahwa dosa syirik itu ada
tingkatannya dan bid'ah juga demikian. Bahwa mayoritas kerapkali menimbulkan
mudharat dan tidak bermanfaat; bahwa dienul Islam adalah dienullah yang tidak
diterima dari seorangpun, kecuali al-Islam. Bahwa kemenangan adalah bagi
al-Islam. Tidak bagi yang lainnya, walaupun dalam jangka waktu yang panjang. Bahwasannya
perselisihan itu tercela. Dan kejahilan/kebodohan tentang agama adalah senjata
utama musuh-musuh kita. Bahwasannya pemahaman salaf terhadap Al-Qur'an dan
As-Sunnah adalah jaminan keselamatan. Barangsiapa yang tidak memiliki
prinsip-prinsip dengan jelas, maka dikhawatirkan ia akan menyimpang bersama
gemerlapnya ucapan musuh-musuh Allah.
e)
Bahwa mereka
yang menangani berita-berita tidak menyendiri dalam berfatwa', dengan hanya
berdasarkan niakuinat yang mereka terima. Akan tetapi mengembalikan seluruhnya
kepada ulama. Merekalah (para ulama) yang akin menangani din mengeluarkan fatwa
berdasarkan kekokohan/ kedalaman ilmu mereka, disertai penelaahan maklumat
tersebut.
f)
Masalah fiqhul
waqi' ini harus ditempatkan sesuai dengan porsinya di tengah-tengah
masalah-masalah ilmiyah lainnya, sesuai dengan timbangan syar'inya berdasarkan
ketentuan-ketentuan di atas tadi. Tidak dikatakan la fardu ain yang paling
penting! sebab ia hanyalah fardlu kifayah dan tidak pula dikatakan bid'ah.
Demikianlah
enam point yang disebutkan oleh Syeikh Abul Hasan al-Mishri sebagai ketentuan
-bagi mereka yang menangani berita-berita waqi'. Hal ini adalah amat penting,
agar mereka tidak salah kaprah, lalu terjerumus ke dalam sikap
ghuluw(berlebih-lebihan) dalam masalah ini.
C. Hubungan
Antara Metode Ijtihad Istislahi dengan Fiqhul Waqi.
Sebagaimana yang
telah di paparkan diatas bahwa perkembangan masyarakat telah mengakibatkan
masalah hukum pun berkembang sehingga diperlukan beberapa metode pendekatan
pemahaman hukum Islam yang terdapat pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Pendekatan
tersebut telah melahirkan beberapa metode ijtihad yakni ijtihad ta’lili,
ijtihad bayani dan ijtihad istishlahi.
Tiga bentuk maslahat
yang diungkapkan oleh ulama seperti; maslahah mu’tabarah yang merupakan kemaslahatan yang didukung oleh
syara’, dengan dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut. Yang oleh para ulama bersepakat bahwa kemaslahatan seperti ini dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
Menurut Mustafa Dib al-Bugha,
kemaslahatan semacam ini termasuk dalam metode qiyas. Selanjutnya maslahah mulghah merupakan kemaslahatan yang ditolak
oleh syara’ karena bertentangan dengan ketentuan syara’ itu sendiri. Oleh
karenanya, kemaslahatan semacam ini oleh para ulama ushu sepakat untuk
menolaknya, dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Terakhir maslahah mursalah.
yakni kemaslahatan yang keberadaannya
tidak didukung syara’
dan juga tidak ditolak
oleh syara melalui
dalil-dalil yang terperinci. Disebut sebagai suatu maslahah, karena
hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah ini, dapat menghindarkan mukallaf
dari suatu bahaya atau kerusakan, tetapi sebaliknya maslahah tersebut, akan
mendatangkan kemanfaatan dan kebaikan bagi mukallaf. Demikian halnya, disebut
mursalah karena Syari’ tidak
menyetujuinya melalui dalil-dalil khusus, demikian juga tidak menolak secara
terang- terangan.
Maslahat yang pertama
adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran maupun
dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan
ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara
kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang
tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan
keduanya. Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah
istislahi.
Intinya bahwa metode
penemuan hukum dengan istislahi terfokus
pada masalah yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As
Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i‟tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak
didapatkan adanya ijma‟
atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Istislahi merupakan cara
penemuan hukum yang berdiri sendiri, yang beramal dengan al-maslahat
al-mursalat, ijmak, „urf dan kaidah raf al-harj wa al-masyaqqat.
Dengan terbukanya
proses ijtihat secara istislahi tersebut dalam menjawab persoalan hukum dalam
masyarakat yang berkembang, telah melahirkan suatu metode menjawab permasalahan
hukum pada masyaraka. Salah satu diantaranya adalah fiqh waqi atau dikenal juga
dengan fiqh realita yang berusaha memahami realitas dalam menetapkan suatu
hukum.
Pemikiran yang awal
dikembangkan oleh Ibnulqayim dan dilanjutkan oleh Yusuf al-Qaradawi ini ini
mencoba melahirkan produk hukum melalui pengamatan terhadap realitas masyarakat
kekinian. Dengan demikian hukum dapat berkembang dan berubah sesuai dengan
kondisi realitas lingkungan masyarakat dimana hukum tersebut berlaku. Fiqh ini boleh dikatakan lahir melalui proses
ijtihad istislahi yang bersandar pada kemaslahatan ummat.
Meski pemikiran ini
banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan ulama yang mengkhawatirkan bahwa
kecendrungan dalam melihat realita dikhawatirkan menimbulkan image bahwa kita memudah-mudahkan
persoalan agama. Selanjutnya dengan fiqh realitas dikhawatirkan hukum lebih
memihak realitas masyarakat dari pada esensi hukum itu sendiri. Karena bukan
tidak mungkin realita yang akan membentuk hukum bukan hukum yang membentuk
realita.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan
tulisan diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan:
1.
Ijtihadul
Istislahi adalah metode penetapan hukum islam yang berdasar pada kemaslahatan.
Fokus Metode ini pada masalah yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran
maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu
i‟tibar. Juga
difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma‟ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian
tersebut. Istislahi merupakan cara penemuan hukum yang berdiri sendiri, yang
beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, „urf dan kaidah raf al-harj wa
al-masyaqqat.
2.
Fiqhul Waqi
adalah metode dalam mengambil kesimpulan hukum pada satu persoalan hukum yang
terjadi dalam masyarakat dengan cara melihat realita. Bahwa kita takakan bias
membuat suatu produk hukum yang baik dan berkeadilan tampa melihat realita yang
ada. Dalam metode fiqhul waqi mestilah berkumpul padanya dua perkara yaitu
ijtihad dan firasat. Sehingga dia adalah seorang ulama mujtahid dan memiliki
firasat yang tajam dan jernih.
Dalam menghasilkan hukum fiqhul
waqi’ dapat dipengaruhi oleh beberapa realitas, yakni; realitas zaman, realitas
tempat, realitas tradisi atau urf, realitas kepribadian pelaku hukum dan
realitas niat dan motif.
3.
Fiqhul waqi adalah
salah satu poduk dari hasil metode ijtihad istislahi yang bertolak dari hal
kemaslahatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdu
al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1982 )
2. Abdul
Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi‟ah, Adillat
al-Tasyri‟ al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha, Mu‟assasat al-Risalat,
Cet. 1, 1399 H / 1979.
3. Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al- A‟la al-Indonesi
li al-Da‟wat al-Islamiyyyat, Jakarta,
1972
4. Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
5. Al-Ghazali,
al-Mustahasfa min „Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein,
Kairo, tt,
6. Ali
Hasaballah, Ushul Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976)
7. Al-Syathibi,
al-I‟Tisham, yang suting
oleh Fathurrahman Djamil,
8. Al-Syatibi,
al-I’tisham, (Riyad: Maktabah Riyad al-Hadisah, t.th.)
9. Al-Syatibi,
Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Cairo: Mustafa Mahmud, t.th)
10. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Cet. V; Jakarta: Prenada Media Group,
2009)
11. Asafri
Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syalabi, (Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1996)
12. Husain
Hamid Hassan, Nadhariyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamy (Beirut: Dar
al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971)
13. Ibnu
Hajar Astqolani, Fathul Bari,
14. Ibnul
Qayim Al-Jauziyah,Thuruqul Hukmiyah.
15. Ibnul
Qayim Al-Jauziyah, I'lamul Muwaqqi'in Juz 1. Terj. Asep Saefullah FM,
Kamaluddim Sa'diyatulharamain, (Pustaka Azzam, Jakarta, 2000)
16. Moh.
Nur Salim, Fikih Realistis, (t.tp.:HatiNUraniPress, 2009)
17. Muhammad
Mustafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah,
1981)
18. Muhammad
Ruwwas Qal’ah Jay, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Mujallad al-Awwal,
(Cet. I; Beirut: Dar al-Nafais, 2000)
19. Muhammad
Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-
Maslahah fi al-Syariah al-Islamiyah,
cet IV (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005)
20. Mustafa Dib
al-Bugha, Atsar al- Adillah al-Mukhtalaf Fiha fi al-Fiqh
al-Islamy, cet. IV (Damskus: Dar al-Qalam, 2007)
21. Rachmat
Syafe‟i,
Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia, 1999)
22. Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1980)
23. Yusuf
al-Qaradhawi, Al- Sunnah:
Mashdaran li al-Ma’rifah
wa al-Hadharah, (Surabaya:
Danakarya, 1997)
24. Yusuf
Al-Qaradhawi, Madkhal li
Dirasah asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001).
25. Yusuf
Al-Qaradhawi, Taysir al-Fiqh al-Islamī, terjemah, Zuhairi Misrawi, M.
Imdadun Rahmah, (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 2001).
[1]
Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Mujallad
al-Awwal, (Cet. I; Beirut: Dar al-Nafais, 2000), h. 54-55.
[2]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press,
1980), h. 115-126.
[3]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 298
[4]
Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, op. cit., hlm. 55.
[5]
Muhammad Mustafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Nahdah
al-Arabiyyah, 1981), hlm. 14-15.
[6]
Ibid.
[7]
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syalabi, (Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1996), hlm. 133
[8]
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah
al-Islamiyyah, (Dimasyq: al-Maktabah al-Amawiyyah, 1969), hlm. 23.
[9]
Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Mujallad
al-Tsani, (Cet. I; Beirut: Dar al-Nafais, 2000), hlm. 1809.
[10]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Cet. V; Jakarta: Prenada Media Group,
2009), hlm. 343-344.
[11]
Ibid.
[12]
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buti, Op. Cit., hlm. 45-59.
[13]
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Cairo: Mustafa Mahmud,
t.th), hlm. 37.
[14]
Husain Hamid Hassan, Nadhariyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamy
(Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971), hlm. 3-4.
[15]
Mustafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf Fiha fi al-Fiqh
al-Islamy, cet. IV (Damskus: Dar al- Qalam, 2007), hlm. 32
[16]
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabit
al- Maslahah fi al-Syariah
al-Islamiyah, cet IV (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), hlm. 131-260.
[17]
Mustafa Dib al-Bugha,
Atsar al- Adillah al-Mukhtalaf
Fiha fi al-Fiqh al-Islamy, cet. IV (Damskus: Dar
al-Qalam, 2007), hlm. 35.
[18]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,
(Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-Indonesia 1972),
hlm. 84
[20]
Dalam kajian ilmu Ushul Fiqh “al-maslahat al-mursalah” adalah suatu
kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh al-Syari‟ sebagai dasar penetapan hukum, tidak pula ada dalil syar‟i yang
menyatakan keberadaannya atau keharusan meninggalkannya. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al- A‟la al-Indonesi li al-Da‟wat
al-Islamiyyyat, Jakarta, 1972, hlm. 84.
[21]
Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi‟ah, Adillat al-Tasyri‟
al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha, Mu‟assasat al-Risalat, Cet. 1, 1399
H / 1979. M, hlm. 221.
[22]
Dalam karangan al-Syathibi, al-I‟Tisham, yang suting oleh
Fathurrahman Djamil, Op.Cit, hlm. 142
[23]
Al-Ghazali, al-Mustahasfa min „Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid
al-Husein, Kairo, tt, hlm. 364-367.
[24]
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buti, Op. Cit., hlm. 45-59.
[25]
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Cairo: Mustafa Mahmud,
t.th), hlm. 37
[26]
Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, Op., Cit., hlm. 1810.
[27]
Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 351
[28]
Husein Hamid Hasan, Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy,
(Mesir: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1971), hlm. 15.
[29]
Muhammad Ruwwas Qal’ah Jay, Loc. Cit.
[30]
Husein Hamid Hasan, Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy,
(Mesir: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1971), hlm. 15
[31]
Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 353
[32]
Asafri Jaya Bakri, Op. Cit., hlm. 145
[33]
Husein Hamid Hasan, Op. Cit., hlm. 17
[34]
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Op. Cit., hlm. 39.
[35]
Abdu al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1982
), hlm. 84
[36]
Ali Hasaballah, Ushul Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976),
hlm.162
[37]
Al-Syatibi, al-I’tisham, (Riyad: Maktabah Riyad al-Hadisah, t.th.), hlm.
124-134.
[39]
Al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 310.
[41]
Lihat Ibnul Qayim Al-Jauziyah, I'lamul Muwaqqi'in Juz 1, hlm. 78.
[42]
Ibnu Hajas Astqolani, Fathul Bahri , hlm, 12/56.
[43]
Ibnul Qayim Al-Jauziyah, Thuruqul Hukmiyah, hlm 5
[44]
Ibnu Hajar Astqolani, Fathul Bari, no hadits 3081
[45]
Ibnul Qayim Al-Jauziyah, Op., Cit., hlm. 9
[46]
Qaradhawi menyebutkan kata fiqh al-waqi dalam kitabnya yang berjudul
Al-Sunnah: Mashdaran li al- Ma’rifah wa
al-Hadhârah namun tidak
membahas secara luas, hanya
dijelaskan dalam beberapa paragraf saja. Beliau juga tidak
menulis buku yang berjudul fiqh al-waqi. Dalam hal ini, Moh. Nur Salim, dalam
tesisnya yang telah dipublikasikan dalam judul Fikih Realitas
mencoba mengumpulkan tulisan- tulisan Qaradhawi mengenai fiqh
al-wâqi yang “tercecer” di berbagai buku, majalah, website, dll. untuk
dijadikan satu kesatuan pemikiran Qaradhawi yang utuh dan komprehensif. Yang
dimaksudkan dengan realitas adalah segala yang ada di sekitar kehidupan manusia
dan mempunyai pengaruh, baik pengaruh positif maupun negatif; baik mengenai
realitas alam, iklim, keadaan suatu tempat, atau kepribadian seseorang; baik
mengenai realitas kaum muslimin atau para non-muslim. al-Qaradhawi, Al-
Sunnah: Mashdaran li
al-Ma’rifah wa al-Hadharah, (Surabaya: Danakarya,
1997), hlm. 292.
[47]
Dalam pandangan al-Qaradhawi, ada 10
hal yang dapat menjadikan faktor
perubahan fatwa, yaitu: perubahan situasi dan kondisi (al-ħal ), perubahan zaman (az-zaman), perubahan
tradisi (al-’urf), perubahan tempat (al-makan), perubahan paradigma berpikir
(ar-ra’yu wa al-fikr), perubahan tingkat kemampuan dan kemungkinan (al-qudrat wa al- imkanat, perubahan kebutuhan manusia
(hajat an-nas), perubahan situasi dan kondisi kehidupan (al-audha’
al-hayatiyyah, sesuatu yang sukar
dielakkan (umum al- balwa). Lebih jelas, buka (www.qaradawi.net) diakses, 18
Mei 2015.
[48]
Moh. Nur Salim, Fikih Realistis,
(t.tp.:HatiNUraniPress, 2009), hlm. 82
[49]
Al-Qaradhawi, Madkhal li Dirasah
asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), hlm.
243.
[50]
Qaradhawi, Taysir al-Fiqh al-Islamī, terjemah, Zuhairi Misrawi, M.
Imdadun Rahmah, (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 2001), hlm. 288.
[51]
Moh. Nur Salim, Log., Cit.
[52]
Al-Qaradhawi lebih suka
menggunakan ungkapan “perubahan
fatwa” sebagaimana digunakan oleh
Ibnu al-Qayyim daripada
ungkapan “perubahan hukum-hukum” yang digunakan oleh majalah al-ahkâm al-‘adliyyah
dengan dua alasan. Pertama,
penyebutan kata “hukum-hukum”
termasuk soal nash dan ijtihad serta qath’i dan Ŝanni di dalamnya.
Meskipun di sana pasti ada
hukum-hukum yang yang tidak bisa
berubah dan tidak boleh diganti, yaitu
hukum-hukum nash yang
qath’i dalam penetapan
dan pengambilannya sebagai dalil.
Kedua, perubahan hukum bukan hanya karena perubahan zaman, tetapi juga
karena tempat dan
keadaan sebagaimana telah
diungkapkan oleh Ibn al-Qayyim. Maka penggunaan istilah “perubahan fatwa” di
sini jelas lebih benar (al-Qaradhawi,
2001: 114). Dalam wawancara
dengan TV al-Jazirah, 2007,
al-Qaradhawi mengatakan lebih jelas lagi mengenai perbedaan
hukum syar’i dengan
fatwa. Menurutnya, hukum
syar’i adalah perintah Allah
(khithab allah) yang berhubungan dengan
perilaku mukallaf, baik untuk melakukan, meninggalkan, atau memilih sesuatu. Dalam hal ini hukum
tersebut ada lima, yaitu wajib, haram, mustahab, makruh, dan mubah. Sedangkan
fatwa adalah tanazzul al- ħukm (menurunkan/memberikan hukum) atas suatu
realitas (www.qaradawi.net).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar