BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam melakukan istinbat hukum dan
upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja
memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya,
tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung
dibalik lafal nash serta begitu pula dengan dalalahnya. Berkenaan dengan cara
penunjukan dalalah lafal nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh
terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh.
Nash Yang Menjadi dalil hukum Islam
baik dalam Al Qur’an maupun AsSunnah, keduanya adalah menggunakan bahasa Arab.
Untuk memahaminya dengan baik, maka membutuhkan kemampuan memahami bahasa dan
ilmu bahasa Arab dengan baik pula.
Seseorang yang ingin
mengistinbathkan atau mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut harus
betul-betul mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Ia harus mengerti betul
kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya). Karena
itulah ulama’ Ushul Fiqh menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau
dalil yang berbahasa Arab dapat dipahami dengan baik dan sempurna.
Suatu teks nash kadang-kadang dapat
memberikan pengertian yang bermacam-macam karena dari jalan-jalan yang
dipergunakan oleh para mujtahid untuk memahami petunjuknya
(Thuruqud-Dalalahnya). Mengambil petunjuk suatu nash bukanlah hanya terbatas
dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi
dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu.
Mencari illat yang menjadi sebab
ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang
tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga
pengertiannya menjadi rasional. Jalan tersebut oleh Ahli Ushul dinamai
‘Dilalatun Ibarat, Dalaltul Isyarah, Dalalatud Dalalah, dan Dalalalatul
Iqtidha’.
Pembicaraan tentang Dalalah inipun
merupakan sebagian dari pembicaraan tentang lafadh yakni pembicaraan tentang
lafadh ditinjau dari maksud yang terdapat di dalamnya. Memang Dalalah itu
sendiri menurut bahasa adalah kepada maksud tertentu.
Dalalah atau petunjuk lafadh ini
mempunyai beberapa macam. Hanya saja di kalangan para ulama’ Ushul Fiqh tidak
sependapat dalam membaginya. Dalam makalah ini akan pemakalah uraikan tentang
Dalalah menurut ulama’ Hanafiyah.
Menurut ulama Hanafiah, metode dalam
penunjukan nass terbagi menjadi 4 yaitu ibarah nas, isyarah nash, dalalah nash,
dan iqtida’ nash[1]. Dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara
bagaimana penunjukannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian lafal dalalah nash?
2. Bagaimana penunjukan lafal nash
menurut madzhab Hanafi ?
3. Bagaimana perbedaan metode-metode
menurut madzhab Hanafi ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui lafal dalalah nash.
2. Untuk mengetahui penunjukan lafal
nash menurut madzhab Hanafi.
3. Untuk
mengetahui perbedaan metode-metode menurut madzhab Hanafi Lafazs Dan Dalalahnya
BAB 11
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Lafal Dalalah
Nash
Secara bahasa kata “دلا لـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar)
dari kata “دل- يـدل” yang berarti menunjukan dan kata dalâlah
sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan.[2]
Adapun menurut istilah sebagaimana disebutkan oleh Quthub Mustafa Sanu bahwa
yang dimaksud dengan dalâlah adalah ;
كـون
الشـئ بـحـالـة يـلـزم مـن الـعـلم بـه الـعـلم بشـئ أخـر.
Dalâlah itu ialah keadaan sesuatu
yang dapat memastikan untuk mengetahui yang lainnya.
Dalalah adalah suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang
dimaksudkan atau memahami sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul yang
ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum
itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil yang
menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil
hukum.
Adapun pengertian yang lain Dalalah (الدلالة) itu
sendiri menurut bahasa adalah maksud tertentu[3].
Dan dalam ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang
ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain petunjuk suatu lafadh kepada makna
tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah hubungan antara al-dal dan al-madlul.
Al-dal adalah lafadh sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh.[4]
Contoh : الصلاة (sholat). ini namanya
al-dal. dan madlulnya adalah do’a (ma’na bahasa atau lughawi). Atau perbuatan
yang diakhiri dengan takbir dan diakhiri dengan salam (ma’na istilah). Maka
penunjukan ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam namanya Dalalah.
Pembahasan Dalalah sangat amat penting untuk mengetahi maksud suatu
dalil. Dalam mengambil suatu dalil namanya istidlal (الأستدلال). Jadi antara al-dal,
al-madlul, Dalalah, dan al-istidlal itu tidaklah sama
Dengan kata lain, dilâlah itu ialah
penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga
dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu
dalil nash. Dilâlah lafal itu ialah makna atau pengertian yang
ditunjukan oleh suatu lafal nash dan atas dasar pengertian tersebut kita
dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ini:
وَاَحَـلَّ اللهُ الْـبَـيْـعَ
وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا …
البـفـرة ٢:٢٧٥
Dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba’.
Dilalah atau penunjukkan yang dapat
dipahami dari ayat ini adalah bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba’ itu
hukumnya haram, karena makna atau pengertian inilah yang segera dan mudah
ditangkap oleh akal seseorang.
Pembahasan tentang dilâlah ini
sangat penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem
berpikir. Menurut Amir Syarifuddin.[5] bahwa untuk mengetahui sesuatu
tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup
dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan
isyarat disebut dengan berpikir secara dilâlah.
2. Penunjukan
Lafal Nash Menurut Madzhab Hanafi
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah
kumpulan lafal-lafal yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap
dalil memiliki dilalah atau dalalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di
sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf[6] adalah sebagai berikut;
مـايـسـتـد
ل الـنـظرالصحيح فـيـه عـلى حكم شـرعي عـملي عـلى ســبـيـل
ا لـقـطع أوالـظن
Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan
menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang
bersifat amali, baik sifatnya qoth’i maupun dhanni.
Oleh karena itu dapat dipahami
bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah
segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan
dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilâlah, seperti dijelaskan oleh Muhammad
Al-Jarjani, dalam kitab “Al-Ta’rifât” adalah :
كـيـفـية
د لا لـة اللـفــظ عـلى المـعـنى
Cara penunjukkan lafadz atas sesuatu
makna atau pengertian yang dikandung oleh Nash.
Atas dasar ini dapat disimpulkan
bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dilalah ialah sesuatu yang
ditunjukkan.
Menyangkut dilalah lafadz nash ini
di kalangan ulama ushul memang terdapat perbedaan.Kalangan ulama Hanafiyah
membagi cara penunjukan dilalah lafal nash itu kepada empat macam,[7]
yaitu ‘ibarah nass, isyarah nass, dilalah nass, dan iqtida’ nass.
a. Ibarah Nash
Dalalah Ibarat yang juga disebut
Ibarat Nash ialah petunjuk lafadh kepada makna yang mudah dapat dipahami baik
dimaksudkan untuk suatu arti ashli maupun untuk arti tab’i[8],
dan makna itu memang dikehendaki oleh Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan),
baik maksud itu asli menurut mereka atau maksud utama dari nash dan maksud yang
tidak asli atau maksud kedua yang mengikuti ma’na yang asli tadi tapi tidak
disebutkan dalam nash[9].
Yang dimaksud dengan Ibârat al-Nash
ialah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا الـكلآ م
عــلى الـمـعـنـى الـمـقـصود مـنـه ا مـا أصالـة أوتــبـعـا
Ibarat nash ialah petunjuk kalimat
(lafal) kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan
langsung oleh kalimat itu sendiri.[10]
Menurut
Abu Zahrah adalah:
وهي المعنى المفهوم من اللفظ سواء كان نصا
او ظاهرا
Artinya:
“Makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafadh, baik dalam
bentuk nash ataupun dzahir”.
Oleh karena itu, setiap pengertian
yang difahami dari keadaan lafadh yang jelas disebut Dalalah Ibarah.[11]
Definisi lain, sebagaimana
diungkapkan oleh Quthub Mustafa Sanu adalah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا لـة الـفــظ
عــلى مـا كان الـكلا م مـسـوقـا لآجـلـه أصا لـة أ و تـبـعـا وعـلـم قـبـل الـتـأ
مـل أن ظا هـر اللـفـظ يـتـنـا ولـه.
Ibarat al-Nash ialah petunjuk lafal
yang didasarkan pada susunan kalimatnya sendiri secara langsung dan ia dapat
diketahui dengan mudah dan jelas yang tercakup di dalamnya.
Dari dua definisi di atas dapat
dipahami bahwa, Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian
atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu
sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 275 berikut
ini.
وَاَحَـلَّ اللهُ الْبَــيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا …
Dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba’
Ungkapan atau ibarat pada ayat
tersebut menunjukkan dua pengertian sebagaimana berikut:
Membedakan antara jual beli dan
riba. Ini merupakan tujuan utama yang ditunjukkan ayat tersebut.[12]
Menjelaskan akan halalnya jual beli.
Pengertian ini merupakan tujuan Taba’i (sekunder).[13]
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ayat
ini arti asalnya adalah menjelaskan antara jual beli dan riba’ itu dua hal yang
berbeda atau tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual beli itu
boleh dan riba’ itu haram.Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari
petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat.
DaIalah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami baik
dari arti asli (arti yang mula-mula terpakai dengan disusunnya lafadz itu dalam
suatu nash ataupun arti tabi’i (arti lain yang cukup jelas atau yang mudah
dapat dipahami dari lafadz tersebut)
Sebagai contoh lain adalah ibarat dalam Al-Qur’an misalnya firman
Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا
Artinya:. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Qs. An-nisa:10).
Nash tersebut menunjukkan, bahwa di antara perbuatan dzalim yang
paling keji ialah memakan harta benda anak yatim, dimana perbuatan tersebut
adalah dosa yang menimbulkan siksaan kelak di hari kiamat dan sanksi hukuman di
dunia yang dilaksanakan oleh pemerintah, agar perbuatan tersebut tidak terulang
lagi.
Menurut Abu Zahrah:
‘‘Ibarah Nash adalah makna yang dapat dipahami dari lafazh, baik
itu lafazh zharir atau lafazh nash, atau baik itu lafazh muhkam atau bukan
muhkam.”
Menurut Syaykh al-Khudlariy:
“Ibarah Nash itu lafazh dan artinya adalah petunjuk lafazh atas
makna yang dimaksudkan, baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli.”
Dapat disimpulkan bahwa ‘ibarah nash mengandung lafazh yang
tersusun dari dua maksud hukum, yakni maksud hukum yang asli (hukum yang
mula-mula dipakai) dan maksud hukum bukan asli (taba’iy = ikutan). ‘Ibarah nash
mengandung makna yang segera dapat dipahami dari susunan lafazhnya.
Contoh lafazh ‘ibarah nash:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا
طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ
أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ
أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Pengertian asli dari nash ini adalah pembatasan jumlah maksimal
wanita yang boleh dikawini, yaitu empat orang. Adapun pengertian tidak asli
disini bahwa adanya anjuran/ pembolehan kawin dengan wanita yang disenangi.[14]
Dengan memperhatikan ’Ibaratnash (apa yang
tersurat dalam nash) tersebut kita memperoleh tiga pengertian. Yakni:
1.
Diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangi,
2.
Membatasi jumlah istri sampai empat orang saja dan,
3.
Wajib hanya mengawini seorang saja jika dikhawatirkan berbuat khianat
lantaran mengawini wanita banyak.
Pengertian yang pertama bukan merupakan maksud
asli, sedang pengertian yang kedua dan ketiga merupakan maksud yang asli. Sebab
ayat tersebut dikemukakan pada orang-orang yang khawatir berkhianat terhadap hak-hak
wanita yatim, sehingga harus dialihkan dari beristri yang tiada terbatas kepada
terbatas yaitu hanya dua, tiga atau empat orang saja. Inilah maksud yang ashli
dari Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan), kemudian maksud yang tidak asli
(tabi’i) tentang bolehnya mengawini wanita yang disenangi.[15]
b. Isyarah
Nash
Yang dimaksud dengan Isyarat al-Nash
ialah ;
هـى
الـد لا لـة اللـفــظ عـلى حـكم لـم يـقـصد أصا لـة ولا تـبـعـا ولكـنـه لازم
للـمـعـنى الذى سـيـق الـكلا م لا فـاد تـه.
Isyarat dan al-nash ialah
penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung
oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan
untuk itu
Dari pengertian ini dapat dipahami
bahwa isyârat al-nash itu sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang
bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Tegasnya, isyârat al-nash itu
ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar
yang tersurat.
Dalalah Isyarartun Nash ialah petunjuk
lafadh kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil kalaziman atau
kemestian dari arti yang dipahami dengan dalalah Ibarotun Nash[16].
Adapun menurut Abu Zahrah adalah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu
lafadh, dari kesimpulan dari pemahaman terhadap sesuatu ungkapan (ibarat) dan
bukan dari ungkapan itu sendiri atau dengan kata lain menyimpulkan dari arti
yang dipahami dengan dalalah ibarotun nash.[17]
Sedangkan
dalam kamus Ushul Fiqh:
اشارة النص وهي دلالة على مالم يقصد له اللفظ أصلا
Artinya: Isyarat Nash adalah
petunjuk lafadh kepada yang tidak dimaksud oleh lafadh untuknya (yang ditunjuki
oleh lafadh, bukan dengan ibarat nya, tetapi petunjuk itu datang sebagai
natijah dari ibarat ini).[18]
Sebagai contoh dapat dilihat dalam
surat al-Baqarah, ayat 233:
وَعَـلَى
الْمَوْلُوْدِ لَــهُ رِزْقُــهُـنَّ وَكِـسْـوَتُهُـنَّ بِالْمَعْـرُوْفِ …
(البقـرة / ۲ :۲۳۳)
Dan kewajiban Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan
layak kepada isteri …
Secara ibarat Nash pengertian yang
dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi
isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal
secara layak dan patut (ma’ruf).
Menurut Amir Syarifuddin[19] , bahwa ungkapan “المولودلـه” yang diartikan dengan ayah adalah sebagai pengganti kata “الاب” dalam ayat di atas. Akan tetapi
mengapa Allah menggunakan kata “المولود له” dalam
ayat ini. Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat
dipahami oleh orang biasa. Ungkapan “المولود له” adalah terdiri dua unsur kata,
yaitu “المولود”yang arti dasarnya adalah “anak yang
dilahirkan, dan kata “له” yang
berarti “untuknya” dan kata “له” itu
sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti asalnya “anak untuk ayah”.
Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung arti lain. Selain dari
arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak
yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang
disebut terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan
lafal nash.[20]
Sebagai contoh lain firman Allah SWT
yang berbunyi:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ
اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ
رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,” (Qs. Al-Baqarah :282)
Maksudnya adalah memberi sifat
terhadap catatan dengan benar, memberikan pemahaman secara jelas bahwa apa yang
ditulis itu harus benar dan sesuai kehendak orang yang mengimlakkan. Dan secara
implisit (isyarat) dapat dipahami bahwa catatan itu dapat dijadikan Argumentasi
(data) bagi orang yang mengimlakkan, dimana ia tidak dapat terhadap apa-apa
yang tertera dalam tulisan tersebut selama tidak didustakan.
Dalalah isyarat nash atau isyarat
al-Nash adapun yang dimaksud dengan dalalah isyarat nash adalah petunjuk lafazh
yang diperbolehkan dari apa yang tersirat dalam nash.
Contoh lain:
لَّا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ
إِن طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمۡ تَمَسُّوهُنَّ أَوۡ تَفۡرِضُواْ لَهُنَّ
فَرِيضَةٗۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلۡمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلۡمُقۡتِرِ
قَدَرُهُۥ مَتَٰعَۢا بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٢٣٦ وَإِن
طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدۡ فَرَضۡتُمۡ لَهُنَّ
فَرِيضَةٗ فَنِصۡفُ مَا فَرَضۡتُمۡ إِلَّآ أَن يَعۡفُونَ أَوۡ يَعۡفُوَاْ ٱلَّذِي
بِيَدِهِۦ عُقۡدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ وَلَا
تَنسَوُاْ ٱلۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٢٣٧
Artinya: Tidak ada kewajiban
membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dari ayat ini, bahwa berdasarkan
ibarah nash, boleh menceraikan istri sebelum bercampur dan sebelum menentukan
maharnya. Akan tetapi, arti yang lazim dan tidak bisa dipisahkan dari nash
ialah sah mengadakan aqad perkawinan tanpa menentukan maharnya lebih dahulu.
Sebab talak (perceraian) tidak akan terjadi (tidak pernah ada) sebelum adanya
akad nikah. Inilah yang disebut dalalah nash.[21]
Contoh lainnya:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوف
Artinya: Dan kewajiban ayah memberi
makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah, ayat
233)
Makna Ibarat Nash yang tersurat dari
ayat tersebut adalah bahwa memberi nafkah dan pakaian kepada ibu yang menyusui
wajib bagi Ayah. Karena demikianlah makna yang dapat diambil dengan mudah dari
lafadh tersebut dan memang dimaksudkan oleh Siyaqul Kalam, adapun makna isyarat nash nya yang tersirat antara lain:
Ayah tidak dapat disertai orang
lain dalam menjalankan kewajibannya
memberi nafkah kepada anak-anaknya, lantaran anak itu adalah putranya sendiri
bukan putra orang lain.
Ayah walaupun dalam keadaan miskin
sedangkan ibunya mampu, maka putra tersebut tetap menjadi tanggungannya.
Ayah dalam keadaan yang sangat
memerlukan boleh mengambil harta anaknya sekedar menutup kebutuhannya, tanpa
menggantinya. Karena ia adalah anaknya dan harta anaknya termasuk hartanya
juga.
Pengertian-pengertian yang demikian
ini diistimbathkan dari Isyarat Nash. Yaitu dari huruf ”lam” pada lafadh
“lahu”yang mengandung pengertian itu bahwa seorang anak itu adalah milik
bapaknya.[22]
c. Dalalah
Nash
Dilâlat al-Nash ini disebut juga
dengan dilâlat al-dilâlat. Adapun yang dimaksud dengan dilâlat al-dilâlat
adalah
دلا
لـة الـنص هـى دلا لـة الـكلا م عـلـى ثـبـوت حـكـم المنصوص عـلـيه المـسـكـوت
عـنـه لا شـتــراكهـما فى عـلـة الحكم التى يـمكـن فـهـمهـا بـمجـرد فـهـم اللـغـة
مـن غـيـر احـتـيـاج الى نـظـرواجـتـهـا د
Dilalat Nash ialah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum
yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut
‘anhu), karena antara kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat
pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah,
yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan
segala kemampuan daya nalar.
Dalalah nash (Petunjuk Nash) adalah
petunjuk lafazh nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu
yang tidak disebutkan kerena terdapat persamaan illat keduanya.[23]
Jika nash itu ungkapannya
menunjukkan pada hukum suatu kejadian karena ‘illat yang menjadi dasar hukum
itu, kemudian didapati kejadian yang sama ‘illat hukumnya atau lebih utama
daripadanya, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash itu mencakup dua
kejadian tersebut.[24]
Contoh lafazh:
.. فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا
قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣
Artinya: Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[25]
(Q.S. al-Isra’ 23)
Pengertian secara dalalah nash bahwa
semua perkataan atau perbuatan yang menyakitkan kedua hati orang tua itu
dilarang.[26]
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa
kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan
menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan
kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan
kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada
perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya yang pada
dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan
maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau
tindakan yang dilakukan, selain ucapan “ah” atau hardikan yang dapat menyakiti
kedua orang tua adalah dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa
kepada Allah SWT.[27]
Contoh lain:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ
أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ
وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ١٠
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya.” (Q.S. An Nisa’ [4]: 10)
Pengertian secara dalalah nash bahwa
membakar, membuang harta anak yatim, serta memberikannya kepada orang lain juga
dilarang.[28]
Menurut Romli, Dalalah al-Nash
adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu
yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya.
DaIalah Nash
merupakan petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh
lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu
lafadz, illah yang dipahami dari lafasz itu sama dengan illah suatu peristwa
yang tidak disebutkan hukumnya.
d. Iqtidha’
Nash
Dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’ (دلالة
الإقتضاء)
ini disebut juga dilâlat al-iqtidlâ’.Yang maksud dengan iqtidhâ’al- nash(إقتضاء النص). ialah:
اقـتـضاء
الـنـص هى دلا لـة الكلآ م عـلى مـسـكوت عـنـه يـتـو قــف عـلـيه صدق الكلآ م.
Iqtidla’ al-nash ialah penunjukan
lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung
kepada yang tidak disebutkan.[29]
Adapun Abu Zahrah secara sederhana
mendefinisikannyasebagai berikut:
دلالة اللفظ على كل امرلا يستقيم
المعنى الا بتقديره
Artinya: “Penunjukan
lafadh kepada setiap sesuatu yang tida selaras maknanya”.
Dari definisi ini dapat dipahami
bahwa suatu petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada
penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash.
Menurut Romli, Iqtida’ al-Nash
adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk
ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan
lafal sebagai penjelasannya. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah
pada surat al-Ma’idah, ayat 3 berikut ini:
حُـرِّمَتْ
عَـلَيْـكُمُ الْـمَـيْـتَــةَ وَالدَّمَ وَلَحْـمَ الْـخِـنْـزُيْـرِ…
Diharamkan atas kamu bangkai, darah
dan daging babi
Pengertian ayat ini belum jelas. Oleh
karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks. Untuk
kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan
daging babi.Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada
manfaatnya.
Dalalah iqtidhaun nash ialah yang
mengandung suatu pengertian dalam suatu hal yang tidak disebutkan lafadznya
untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan (lafadz).
Misalnya firman Allah SWT:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا
فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا
Artinya: Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami
berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang benar”. (Q.S.Yusuf:82)
Menurut dzahir ungkapan ayat
tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada
“kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan
sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu
dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung” yang dapat ditanya dan
memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-orang”
sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi orang-orang dalam “kafilah” yang
memungkinkan memberikan jawaban.[30]
Kehendak nash adalah makna atau
pengertian yang mana kalimat itu tidak dapat dimengerti kecuali dengan
memperkirakan adanya pengertian tersebut. Jadi lafazhnya tidak ada, akan tetapi
kebenaran kalimat dan maknanya membutuhkan pengertian itu.[31]
Seperti dalam firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ اُمَّهاَ تُكُمْ وَبَناَتُكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu, dan anak-anakmu yang perempuan.” (Q.S. An Nisa’: 23)
Pengertian secara iqtidha nash pada
ayat ini adalah “mengawini mereka”, karena menyandarkan keharaman kepada
pribadi ibu dan anak adalah tidak tepat. Maka diperkirakanlah lafazh yang
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh nash tersebut yakni kata mengawini.
Arti yang dipahami dengan Dalalah
Ibarotun Nash dari ayat di atas adalah bahwa ibu dan anak perempuan adalah
haram. Akan tetapi keharaman itu terletak pada perbuatan bukan pada materi
bendanya. Oleh karena itu untuk menjadikan lebih jelas pengertian ayat
tersebut, harus diperkirakan adanya sesuatu yang tidak disebutkan yakni
(mengawini), sehingga arti ayat di atas menjadi: Diharamkan atas kamu mengawini
ibu-ibumu, anak-anakmu.
3. Perbedaan
Metode-metode menurut Mazhab Hanafi
Dalam pandangan ulama ushul, dari
keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka
yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat
al-nash dan setelah itu baru dilâlat al-nash dan yang terakhir
adalah iqtidlâ’ al-nash. Sebagaimana dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bila
terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibârat al-nash dengan suatu
ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyârat nash, maka ketentuan hukum
yang ditetapkan berdasarkan ibârat al-nash lebih didahulukan dari pada isyârat
al-nash. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan
berdasarkan ibârat nash atau isyârat nash dengan dilâlat al-nash, maka lebih
didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilâlat al-nash. Bila terjadi
pertentangan antara dilâlat al-nash dengan iqtidlâ’ al-nash, maka dilâlat
al-nash lebih didahulukan atas iqtidlâ’ al-nash. Sebagai contoh adalah firman
Allah: Surat al-Baqarah ayat 178 berikut ini:
يـَاَيُّـهَـاالَّـذِ
يْـنَ امَـنِـوْا كُـتِـبَ عَـلَـيْـكُـمُ الْـقِـصَاصُ فِى الْـقَـتْـلَى…
Wahai orang-orang yang beriman
diwajibkan kepada kamu (melaksanakan qishash dalam pembunuhan
Ayat ini dilihat dari segi ibârat
nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian
Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 93 berikut ini:
وَمَـنْ
يَـقْـتُـلْ مُـؤْ مِـنًـا مُـتَـعَـمُّـدًا فَـجَـزَاؤُهُ جَـهَـنَّـمَ
خـَالُـدٌا فِـيْـهـَا وَغَـضِـبَ اللهُ عَـلَـيْـهِ وَلَـعَـنَّـهُ وَاَعَـدَّ
لَـهُ عَـذَا بًـا عَـظِـيْـمًـا”)
النساء/ ٤:۹۳(
Dan barang siapa yang membunuh
seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal
di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab
yang besar baginya.
Ayat ini dengan cara isyârat
menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab
itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibârat nash
mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu
ketentuan hukum dengan ibârat nash lebih diutamakan dari isyârat nash, yaitu
dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.
Empat macam dalalah yang telah
disebutkan di atas tadi khususnya yang dalalah lafdhiyah dapat dijadikan
pegangan ataupun hujjah untuk menentukan arti suatu nash dalam suatu penetapan
hukum, hanya saja kekuatan di antara empat macam Dalalah tersebut
bertingkat-tingkat.[32]
Tingkatan Dalalah-Dalalah tersebut dalam Istinbath hukum tidaklah sama. Dalalah
Ibarat (eksplisit) yang paling kuat, dan Dalalah iqtidha’ yang paling lemah.
Menurut Madzhab Hanafi, tingkatan Dalalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dalalah.al-Ibarah
2. Dalalah.al-Isyarah
3. Dalalah.an-Nash
4. Dalalah.al-Iqtidha’
Dengan urutan-urutan ini maka
apabila dalam suatu peristiwa terjadi pertentangan arti yang dipahami dengan
Dalalah yang satu dengan arti yang dipahami dengan dalalah yang lain, maka
didahulukan arti yang dipahami dengan dalalah yang lebih kuat. Jadi arti yang
dipahami dengan Isyarotun Nash didahulukan dari pada arti yang dipahami dengan
dalalah-dalalah yang lain.
Sebagai contoh, pertentangan antara
arti yang dipahami dengan Dalalah Isyarotun Nash, dari ayat-ayat sebagai
berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; (QS. Al-Baqarah:178).
Arti yang dipahami dengan dalalah
ibrotun nash dari ayat di atas yaitu bahwa pembunuh baik dengan sengaja maupun
dengan tidak sengaja wajib dikenai hukuman qhishos. Sedangkan dalam ayat yang
lain disebutkan:
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا
مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ
وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا ٩٣
Artinya: Dan barangsiapa yang membunuh
seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di
dalamnya ….(Q.S, an-nisa’: 93).
Arti yang dipahami dengan Dalalah
Isyarotun Nash dari ayat di atas adalah bahwa pembunuh dengan sengaja tidak
dikenai hukuman qishas, sebab Allah SWT telah menentukan balasannya, dengan
demikian terjadilah pertentangan antara arti yang dipahami dari kedua ayat di
atas.
Dalam hal ini dipilih arti bahwa
pembunuh dengan sengaja wajib dikenai qishas, sebab arti ini dipahami dengan
Ibarotun Nash, dan arti yang dipahami dengan Ibarotun Nash maka harus
didahulukan dari arti yang dipahami dengan dalalah-dalalah yang lain.
Para Ulama sepakat bahwa mafhum
laqab tidak dapat dijadikan hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini
dapat dijadikan hujah, pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya;
yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengqias sesuatu padanya, namun
tidak ada seorangpun para ulama pendukung qias yang membenarkan bahwa pada
hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah
hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah
yang lain yaitu: mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad,
ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan
ketentuan:
1. Mafhum Mukholafah tidak
bertentangan dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti firman Allah
(al-Isro’:31)
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ
مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ
سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ
إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا
٣٣
Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh
membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini tidak bisa dijadikan hujah,
karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari firman Allah (al-Isro’: 33)
2. Apabila adanya pembatasan hukum
yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh
diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum
yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafa.
Arti yang terkandung dalam
pembatasan hukum yang disebut menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum
mukholafah, antara lain:
a. Pembatasan hukum tersebut sesuai
dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi, misal firman Allah
(an-Nisa: 23)
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ
وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ
أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ
ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن
لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ
أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ
إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ
b. Pembatasan hukum yang disebut dimaksud
sebagai pendorong untuk dilaksanakan, seperti sabda Nabi SAW: ”tidak boleh bagi
wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih tiga hari
kecuali terhadap (kematian) suaminya, selama empat bulan sepuluh hari”.
c. Pembatasan hukum yang tersebut,
dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah.
(at-Taubah :80)
ٱسۡتَغۡفِرۡ
لَهُمۡ أَوۡ لَا تَسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ إِن تَسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ سَبۡعِينَ مَرَّةٗ فَلَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَهُمۡۚ
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَفَرُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ
ٱلۡفَٰسِقِينَ ٨٠
Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan
ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi
mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan
kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena
mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada kaum yang fasik
اسْتَغْفِرْ
لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً
فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
d. Pembatasan hukum yang tersebut
dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi ditanya
tentang zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau menjawab. ”pada unta yang
mencari makan sendiri dikenakan zakat”.
Alasan ulama yang menjadikan mafhum
mukholafah sebagai hujah, yaitu:
1. Bahwasnya syara’ membatasi
hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan
hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan
meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang
menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti
firman Allah ( an-Nisa’:101)
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
3. Terhadap pendapat yang menyatakan
bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti mempunyai penggunaan dan
jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama hanafiyah mengatakan
bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang
tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang tidak disebut itu
justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya
berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh”
Dalam buku ushul fiqih karya Drs.
Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum mukholafah
dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara
syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. mafhum mukallaf itu tidak
bertentangan denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari padanya, seperti Manthuq
dan Mafhum Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas Jali, maka didahulukan
Qiyas daripadanya.
2. Sesuatu yang disebutkan itu bukan
dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan
menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَهُوَ
الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا
Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).
Mafhum Mukhalafah nya yaitu
terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak
menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
3. Sesuatu yang disebutkan itu
bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan. Jika ia
disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan, maka mafhum
mukhalafah nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya adalah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ
اليَوْمَ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ {رواه البخارى مسلم}
Artinya: “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau hendaknya
ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).
Mafhum mukhalafah dari lafaz yang
beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa
menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan
dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.
4. jika kait disebutkan dalam
rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi
hujjah.
Misalnya firman Allah:
وَلَا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: “janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri`tikaf dalam mesjid…”. (QS. Al Baqarah: 187)
Kait dalam masjid-masjid mafhumnya
yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah menunjukkan b ahwa bagi
orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan isterinya.
5. kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan
yang umum. Jika ia menunjukkan suatu kebiasaan yang umum, maka mafhum
Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
Artinya: “anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu…”.
(QS. An Nisaa’: 23).
Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada
mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan yang umum yaitu anak tiri
biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi ayat ini tidaklah
menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak tirinya yang bukan
dalam pemeliharaannya.
6. jika suatu kait menunjukkan
kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi
hujjah.
Contoh ayat:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Surat Ali Imran: 130).
Kait dengan berlipat ganda tidak ada
mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan kekjian riba. Jadi ayat ayat ini
tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang tidak berlipat ganda itu hukumnya
mubah (boleh).
7. jika suatu kait menunjukkan
banyak (jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum mukhalafhnya tidak menjadi
hujjah.
Contoh ayat:
إِنْ
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
Artinya: “Kendati pun kamu
memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak
akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).
Kait tujuh puluh kali tidak ada
mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya
bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat
ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh
kali lalu mereka diampunkan.
BAB 111
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas maka dapat
kita simpulkan bahwa pada mazhab Hanafi
terdapat empat tingkatan dalalah yakni:
Pertama dalalah Ibarat Nash yakni
petunjuk lafadh kepada makna yang mudah dapat dipahami baik dimaksudkan untuk
suatu arti ashli maupun untuk arti tab’i, dan makna itu memang dikehendaki oleh
Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan), baik maksud itu asli menurut mereka atau
maksud utama dari nash dan maksud yang tidak asli atau maksud kedua yang
mengikuti ma’na yang asli tadi tapi tidak disebutkan dalam nash.
Kedua isyârat al-nash yakni petunjuk
lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Tegasnya,
isyârat al-nash itu ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas arti yang
tersirat, bukan atas dasar yang tersurat.
Ketiga dalalah nash (Petunjuk Nash) yakni
petunjuk lafazh nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu
yang tidak disebutkan kerena terdapat persamaan illat keduanya.
Keempat dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’
yakni suatu petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada
penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash.
Dalam pandangan ulama mazhab Hanafi,
dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas,
maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat
al-nash dan setelah itu baru dilâlat al-nash dan yang terakhir
adalah iqtidlâ’ al-nash.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo:
Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1984)
2.
Abdul Wahab Khalaf. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. 1984. Kairo:
Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah.
3.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta :
PT.Logos Wacana Ilmu, 2001), 126.
4.
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. 2001. Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu.
5.
Asjmuni A. Rahman, Metoda Penetapan Hukum Islam, cet. I,
(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986)
6.
Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk., Ushul Fiqh II
(Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta:
Dirjen PKAI Depag, 1986.
7.
Jazuli, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Ed. 1, cet. I,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000)
8.
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia,
1998.
9.
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum
Islam, cet. I, (Surabaya: Citra Media, 1997).
10. Miftahul Arifin, Ushul Fiqh:
Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I,
11. Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
12. Muhammad Adib Shalih, Tafsir
an-nusush Fil Fiqhul Islami, Maktab Islami, Beirut, 1993.
13. Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999).
14. Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu
Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005.
15. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami. Juz I, (Beirut Libanon; Dar al-Fikr, 1986).
16. Yahya Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar
Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
17. Zaky al-Din Sya’ban, Ushul
al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah,1965).
18. Zaky al-Din Sya’ban.Ushul al-Fiqh
al-Islami.1965. Mesir: Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah.
[1]
Yahya Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 295
[2]
A. Jazuli, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Ed. 1, cet. I, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 279
[3]
Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005,
hlm 37.
[4]
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm 25.
[5]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2009), Hlm. 132-133
[6]
Abdul Wahab Khalaf. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. 1984. Kairo: Maktabah al-Da’wah
al-Islamiyah.
[7]
Amir Syarifuddin, Opcit, hlm. 280
[8]
Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan
Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986, hlm.
81
[9]
Muhammad Adib Salih, Tafsir an-nusush Fil Fiqhul Islami, Maktab
Islami, Beirut, 1993, hlm. 470
[10]
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I,
(Surabaya: Citra Media, 1997), hlm. 175
[11]
Totok Jumantoro, dkk, Op.Cit, hlm. 42
[12]
Muhammad Adib Salih, Op.Cit, hlm. 475
[13]
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 205.
[14]
Muhammad Adib Salih, OpCit, hlm. 472. Lihat juga Miftahul Arifin, Ushul Fiqh:
Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Surabaya: Citra Media, 1997), hlm.
175
[15]
Yahya Mukhtar, dkk, Op.Cit, hlm. 296.
[16]
Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk. Op.Cit. hlm. 84. Lihat juga Muhammad
Adib Salih, OpCit. Hlm. 478.
[17]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. 1995, hlm. 205
[18]
Totok Jumantoro, dkk, Op.Cit, hlm. 39
[19]
Ibid, hlm. 280
[20]
Muhammad Adib Salih, OpCit., hlm 472-474
[21]
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hlm.
234-235
[22]
Yahya Mukhtar, Op.Cit, hlm. 298
[23]
ibid
[24]
Asjmuni A. Rahman, Metoda Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1986), Hlm. 98
[25]
Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada
itu.
[26]
Asjmuni A. Rahman, Opcit, hlm. 177
[27]
Muhammad Adib Salih, OpCit. Hlm. 518-519.
[28]
Ibid, hlm. 177-178
[29]
Ibid. hlm. 548
[30]
Ibid. hlm. 549
[31]
Ibid., hlm. 178
[32]
A. Jazuli, Opcit, hlm. 279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar