BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam
fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering
disebut dengan delik atau tindak
pidana. Jinahah merupakan
bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara
etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan
perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai
beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa
jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai
jiwa, harta benda, atau lainnya. Fiqh Jinayah
adalah segala ketentuan hukum mengenai
tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang
dilakukan oleh orang-orang
mukallaf sebagai hasil
dari pemahaman atas
dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al Qur’an dan Hadist.[24]
Hukum pidana Islam merupakan syariat
Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun
di akhirat. Syari’at Islam dimaksud secara materiil mengandung kewajiban asasi
bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syari’at
yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri
sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana, yang
berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan
untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.[25]
Pengertian fiqh jinayah (hukum pidana
islam) tersebut di atas sejalan
dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif (hukum
hasil produk manusia). Atau dengan kata
lain hukum pidana
itu adalah serangkaian
peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan
hukumannya.[26]
Adapun jinayah menurut bahasa
(etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan
seseorang yang buruk
dan apa yang
diusahakan.[27]
Sedangkan jinayah menurut istilah
(terminologi) adalah suatu perbuatan
yang dilarang oleh syara’ baik
perbuatan tersebut mengenai
jiwa, harta atau
lainnya.[28]
Menurut istilah fiqh, jinayah adalah
pelanggaran yang dilakukan oleh seorang terhadap hak Allah atau larangan Allah,
hak-hak manusia dan hak binatang di mana
orang yang melakukan
wajib mendapat atau
diberi hukuman yang sesuai baik dunia maupun di akhirat.
Dalam rumusan lain di sebutkan bahwa jinayah
adalah perbuatan dosa besar atau
kejahatan (pidana atau kriminal) seperti
membunuh, melukai seseorang,
atau membuat cacat anggota badan
seseorang.[29]
Tujuan
disyariatkannya adalah dalam
rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan.
Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti :
Pencurian, perzinahan, homoseksual,
menuduh seseorang berbuat zina, minum khamar, membunuh atau melukai
orang lain, merusak harta orang dan melakukan gerakan kekacauan dan lain
sebagainya. Di kalangan fukaha,
perkataan jinayah berarti
perbuatan-perbuatan yang terlarang
menurut syara’.[30]
Dari
berbagai pengertian di
atas, konsep jinayah
berkaitan erat dengan masalah
larangan karena setiap
perbuatan yang terangkum
dalam konsep jinayah merupakan
perbutan yang dilarang
syara’. Larangan ini timbul karena perbuatan-perbuatan itu
mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya
larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat
dipertahankan dan dipelihara. Memang ada
manusia yang tidak mau melakukan larangan
dan tidak mau meninggalkan
kewajiban bukan karena
adanya sanksi, tetapi
semta-mata karena ketinggian moralnya
mereka orang yang
akhlaknya mulia. Akan tetapi, kenyataan empirik
menunjukan dimana pun di dunia ini selalu ada orang-orang yang taat karena adanya sanksi, oleh karena
itu jinayah tanpa sanksi tidaklah realistik.
Dari definisi tersebut
dapatlah dipahami bahwa hukuman
adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan
atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara
ketertiban dan kepentingan
masyarakat, sekaligus juga
untuk melindungi kepentingan
individu.[31]
Hukuman itu harus mempunyai dasar, baik
dari Al quran, hadis, atau
lembaga legislatif yang
mempunyai kewenangan
menetapkan hukuman untuk
kasus ta’zīr. Selain
itu hukuman itu
harus bersifat pribadi. Artinya hanya dijatuhkan kepada yang melakukan
kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan
prinsip bahwa: ”Seseorang
tidak menanggung dosanya orang
lain”. Terakhir, hukuman itu harus bersifat umum, maksudnya berlaku bagi semua
orang, karena semua manusia sama di hadapan hukum.[32]
2.
Bentuk-bentuk
jarimah
Para ulama membagi jarimah berdasarkan
aspek berat dan ringannya hukuman serta
ditegaskan atau tidaknya oleh al-quran dal
al-hadits, atas dasar ini mereka membagi menjadi
tiga macam, yaitu :
a.
Jarimah hudud, yang meliputi:
Hudud, jamaknya “had”. Arti menurut bahasa ialah : menahan
(menghukum). Menurut istilah hudud berarti: sanksi bagi orang yang melanggar
hukum syara’ dengan cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu
hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu
sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan
keduanya, tergantung kepada kesalahan yang
dilakukan.
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan syara’ dan
menjadi hak Allah (hak martabat).Hudud Allah ini terbagi pada dua kategori,
pertama peraturan yang menjelaskan kepada manusia berhubungan dengan makanan,
minuman, perkawinan, perceraian dan lain-lain yang dibolehkan dan
dilarang.Kedua hukuman-hukuman yang ditetapkan atau diputuskan agar dikenakan
kepada seseorang yang melakukan hal yang dilarang.Kedua hukuman yang yang
ditetapkam atau diputuskan agar dikenakan kepada seseorang yang melakukan hal
yang terlarang untuk dikerjakan.[33]
Hukuman hudud dalam sistem hukum Islam, dikenakan pada
tindak pidana yang sudah tercantum dalam al-Quran atau Sunnah Nabi Muhammad
SAW, sedangkan hukuman lain ditetapkan dengan pertimbangan qadhi atau penguasa
yang disebut ta’zir.Tindak pidana yang dapat dihukum hudud dalam syariat Islam
ini merupakan hal yang mempengaruhi masyarakat.Al-Quran telah memerincikannya
yaitu pembunuhan (qatl), pembegalan atau perampokan (hirobah), pencurian
(Sariqah), perzinahan dan tuduhan zina (qadzaf).[34]
Hukum had ini merupakan hukuman yang
maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum.
Jarimah hudud ini dalam beberapa kasus di jelaskan dalam
al-Qur’an surah An-Nur ayat 2, surah an-Nur: 4, surah al-Maidah ayat 33,
surat al-Maidah ayat 38.
·
Perzinaan
§
Qadzaf (menuduh berbuat zina)
§
Meminum minuman keras
§
Pencurian
§
Perampokan
§
Pemberontakan
§
Murtad
b.
Jarimah qishas/diyat, yang meliputi :
Hukum qisos adalah pembalasan
yang setimpal (sama) atas pelanggaran yang bersifat
pengerusakan badan. Atau menghilangkan jiwa, seperti dalam
firman Allah SWT. Surah al-Maidah : 45, surah al-Baqarah : 178 Diat
adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh
seseorang yang terkena hukum diad sebab membunuh atau melukai seseorang
karena ada pengampunan, keringanan hukuman, dan hal lain. Pembunuhan yang
terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak
disengaja atau pembunuhan karena kesalahan (khata’). Hal ini
dijelaskan dalam al-Quraan surah an-Nisa’ : 92.
§ Pembunuhan sengaja.
§ Pembunuhan semi sengaja.
§ Pembunuhan tersalah.
§ Pelukan sengaja.
§ Pelukan semi sengaja.
§ Jarimah Jarimah ta’zir
Azas Di dalam sistem hukum pidana
Islam, dua hal harus diperhatikan berkaitan dengan retributive (pembalasan) ini
sebagai gambaran had yaitu kerasnya hukuman dan larangan segala bentuk mediasi
terhadap kasus ini, dengan kata lain hukuman ini wajib dijalankan jika
kejahatan terbukti. Menurut Muhammad Quthb, kerasnya hukuman itu didasarkan
pada pertimbangan psikologis.[35]
Dengan maksud untuk memerangi kecenderungan para penjahat dalam melanggar
hukum, Islam menentukan hukuman keras yang menggambarkan perhatian terhadap
akibat-akibat kejahatan.[36]
c.
Jarimah Ta’zir
Ta’zir menurut bahasa berasal dari kata:(1)‘azzara
yang mempunyaipersamaan kata dengan mana’a waradda yang artinya mencegah dan
menolak; (2) addaba yang artinya mendidik; (3) azzama wa waqqara yang
artinyamengagunkan dan menghormati; dan (4) a’ana wa qawwa wa nasara yang
artinya membantunya, menguatkan dan menolong.[37]
Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan
adalah pengertian addaba (mendidik) dan mana’a wa radda (mencegah dan menolak)[38]
karena ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut
dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya untuk mencegah dan menghalangi
orang yang berbuat jarimah tersebut untuk tidak mengulangi kejahatannya lagi
dan memberikan efek jera.[39]
Hukum ta’zir adalah hukuman atas
pelanggaran yang tidak di tetapkan hukumannya dalam al-Quran dan Hadist
yang bentuknya sebagai hukuman ringan. menurut hukum islam, pelaksanaan
hukum ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam hukum ta’zir
diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan yang tidak atau
belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar
diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya.
ta’zir ini dibagi menjadi tiga bagian :
a.
Jarimah hudud atau qishah/diyat
yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun
sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan,
pencurian dikalangan keluarga, dan pencurian aliran listrik.
b.
Jarimah-jarimah yang ditentukan al-quran dan al-hadits,
namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak
melaksanakan amanat dan menghina agama.
c.
Jarimah jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk
kemashlahatan umum. Dalam hal ini, nilai ajaran islam di jadikan
pertimbangan penentuan kemashlahatan umum. persyartan
kemaslahatan ini secara terinci diuraikan
dalm bidang studi Ushul Fiqh, misalnya, pelanggaran atas
peraturan lalu-lintas. Sedangkan jarimah berdasarkan niat pelakunya dibagi
menjadi menjadi dua, yaitu:
§ Jarimah yang disengaja (al-jarimah
al-maqsudah).
§ Jarimah karena kesalahan (al-jarimah
ghayr al-maqsudah/jarimah al-khatha’).
3.
Jarimah
Ditinjau dari Aspek Niat Pelakunya
a.
Jarimah Sengaja (jara-im maqshudah/
Dolus)
Menurut Muhammad Abu Zahrah, yang dimaksud dengan jarimah
sengaja adalah sebagai berikut. Jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang
dilakukan oleh seseorang dengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia
mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman.[40]
Dari defenisi tersebut dapatlah diketahui bahwa untuk
jarimah sengaja harus dipenuhi tiga unsur:
§
Unsur kesengajaan
§
Unsur kehendak yang bebas dalam
melakukannya
§
Unsur pengetahuan tentang dilarangnya
perbuatan.[41]
Begitulah arti
umum kesengajaan, meskipun pada jarimah pembunuhan, kesengajaan mempunyai arti
khusus, yaitu sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang dan memang akibat
dari perbuatan itu dikehendaki pula. Kalau sipembuat dengan sengaja berbuat
tetapi tidak menghendaki akibat-akibat perbuatannya itu, maka disebut
“pembunuhan semi-sengaja”. Dalam hukum-hukum positif disebut “penganiayaan yang
membawa kematian”.[42]
b.
Jarimah Tidak Sengaja (jara-im ghairu
maqshudah/ Colpus)
Abdul Qadir
Audah mengemukakan pengertian jarimah tidak sengaja sebagai berikut. Jarimah
tidak sengaja adalah jarimah dimana pelaku tidak sengaja (berniat) untuk
melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat
kelalaiannya (kesalahannya).
Kekeliruan atau
kesalahan ada dua macam:
·
Pelaku sengaja melakukan perbuatan yang
akhirnya menjadi jarimah, tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya.
Kekeliruan inipun terbagi dua:
1)
Keliru dalam perbuatan ﺨﻂﺄ
ﻓﻰ ﺍﻠﻔﻌﻞ
Contohnya: seseorang yang menembak
binatang buruan, tetapi pelurunya menyimpang mengenai manusia.
2)
Keliru dalam dugaan ﺨﻂﺄ ﻓﻰ ﺍﻠﻗﺻﺪ
Contohnya: seseorang yang menembak
orang lain yang disangkanya penjahat yang sedang dikejarnya, tetapi ternyata ia
penduduk biasa.
·
Pelaku tidak sengaja berbuat jarimah
yang terjadi tidak diniatkannya sama sekali. Disebut “jariyah majral khatha”,
contohnya: seseorang yang tidur disamping bayi dalam barak pengungsian dan ia
menindih bayi itu sampai mati.
Pentingnya
Pembagian Ini Dapat Dilihat dari Dua Sisi:
a.
Dalam jarimah sengaja jelas menunjukkan
adanya kesengajaan berbuat jarimah, sedangkan dalam jarimah tidak sengaja
kecendrungan untuk berbuat salah tidak ada. Oleh karenanya hukuman untuk
jarimah sengaja lebih berat daripada jarimah tidak sengaja.
b.
Dalam jarimah sengaja hukuman hukuman
tidak bisa dijatuhkan apabila unsur kesengajaan tidak terbukti. Sedangkan pada
jarimah tidak sengaja hukuman dijatuhkan karena kelalaian pelaku atau
ketidakhati-hatiannya semata-mata.[43]
4.
Jarimah dari
Aspek Motif Pelaku
i.
Jarimah Perseorangan (jara-im dhiddul-afraad)
Adalah suatu
jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi hak
perseorangan (individu), walaupun sebenarnya apa yang menyinggung individu,
juga berarti menyinggung masyarakat. Jarimah qishash dan diat termasuk kedalam
kelompok jarimah perseorangan. Jarimah ta’zir sebagian ada yang masuk jarimah
perseorangan, apabila yang dirugikan hak perseorangan, seperti penghinaan,
penipuan dan semacamnya.
ii.
Jarimah Masyarakat (jara-im dhiddul-jamaa’ah)
Adalah suatu jarimah dimana
hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan masyarakat,
walaupun sebenarnya kadang-kadang apa yang menyinggung masyarakat juga
menyinggung perseorangan.
Jarimah-jarimah hudud termasuk ke
dalam jarimah masyarakat, meskipun sebagian daripadanya ada yang mengenai
perseorangan, seperti pencurian dan qadzaf. Jarimah ta’zir sebagian ada yang
termasuk jarimah masyarakat seperti, penimbunan bahan-bahan pokok, korupsi dan
lainnya. Dalam jarimah masyarakat tidak ada pengaruh maaf, karena hukummannya
merupakan hak Allah (hak masyarakat).
B.
Unsur dalam Hukum Pidana Islam
Suatu perbuatan dipandang sebagai jarimah
dan pelakunya dapat dimintai pertanggung jawaban pidana apabila
telah memenuhi unsure-unsur sebagai berikut:
a.
Unsur Formil
(Rukun Syar’i) yaitu adanya nash atau peraturan yang menunjukkan larangan
terhadap suatu perbuatan yang dianncam dengan hukuman.
b.
Unsur Materil
(Rukun Maddi) yakni adanya pebuatan melawan hukum baik perbuatan nyata
ataupun sikap tidak berbuat.
c.
Unsur Moril
(Rukun Adabi), yakni pelakunya adalah orang-orang mukallaf, berakal,
bebas berkehendak, dalam arti mukallaf terlepas dari unsur paksaan dan dalam
kesadaran penuh.[45]
C.
Maqassud Syari’ah Hukum Pidana Islam
Pada dasarnya hukum diciptakan dan diundangkan memiliki tujuan
untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan manfaat dan menghindari
kemudharatan bagi manusia. Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syari’ah
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat terwujud
jika lima unsur pokok (maqashid al-syari’ah) dapat diwujudkan dan
dipelihara.[46]
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin
dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah
dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak
pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi
yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid[47]pun tidak pernah memberikan definisi
tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara'
di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat
di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang
pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan
oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid
syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan
oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah
terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah. [48] Ada
yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik
maslahah atau menolak mafsadah.Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu
berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia
atau di akhirat.Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan
tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada
manusi.[49] Sementara
Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan
"Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau menarik
kebaikan…".Ada juga
yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama,
jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama
klasik yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum. [50]
Kesimpulannya maqasid syariah ialah
"matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat
manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa
maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa
maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.) Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah
Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu
persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.) Golongan
Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti
yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala
macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam
dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu.
Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak
memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat
mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan pada
upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka.
Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada
beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah
dengan muamalah. [51]
Dalam penyelesaian masalah
pembakaran hutan atau kita qiyaskan dengan perusakan lingkungan. Penulis
mengacu pada metode maqashidas-syari’ah[52] yang menawarkan tiga skala prioritas
tetapi saling melengkapi;
1.
al-Dharuruiyyat
(primer);
Hal-hal
yang bersifat kebutuhan primer manusia adalah bertitik tolak kepada lima
perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah
mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin
realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah
bagi manusia kebutuhan primernya.
Untuk mewujudkan
kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan,
yaitu: Maqashid dharûriyât, Maqashid hâjiyat, dan Maqashid tahsînât. Dharûriyât
artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan
menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât maksudnya sesuatu yang
dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak
berpuasa bagi orang sakit. Tahsiniat artinya sesuatu yang diambil untuk
kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia,
menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci
mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-din); (2) menjaga
jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan
(hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mal)[53].
1)
Agama
Agama merupakan
persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh
Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal),
dan hubungan antara sesama manusia
(hubungan horizontal). agama Islam juga
merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan
dalam Al-Qur’an surat al-Maidah : 3
.. ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ
لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ
دِينٗاۚ … ٣
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu”.
Beragama merupakan kekhususan bagi
manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang
dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha
menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam surat asy-Syura : 13.
۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ
أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ
وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ
مَا تَدۡعُوهُمۡ إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِيٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ
إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ ١٣
“Dia telah mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya)”.
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau
yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai
paham dan aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan
kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah
menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk
memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam
firman-Nya dalam surat al-Baqarah : 256.
لَآ
إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ
بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ
لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
2)
Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan
dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang),
diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu,
karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan
mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera
yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari
nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :
a.
Surat Al-Baqarah ayat
178-179
b.
Surat al-an’am ayat 151
c.
Surat Al-Isra’ ayat 31
d.
Surat Al-Isra’ ayat 33
e.
Surat An-Nisa ayat 92-93
f.
Surat Al-Maidah ayat 32.
Berikut ini adalah salah
satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu
surat Al-Isra’ ayat 33
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ
مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ
إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
“Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami
Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan”.
3) Memelihara
Akal
Manusia adalah makhluk yang
paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah
telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu
dengan akal.
Untuk menjaga akal
tersebut, Islam telah melarang minum
Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang
meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang
menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya
tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik
pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang
dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
وَإِنَّ
لَكُمۡ فِي ٱلۡأَنۡعَٰمِ لَعِبۡرَةٗۖ نُّسۡقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِۦ مِنۢ
بَيۡنِ فَرۡثٖ وَدَمٖ لَّبَنًا خَالِصٗا سَآئِغٗا لِّلشَّٰرِبِينَ ٦٦
“66. Dan Sesungguhnya
pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami
memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang
bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang
meminumnya.
وَمِن
ثَمَرَٰتِ ٱلنَّخِيلِ وَٱلۡأَعۡنَٰبِ تَتَّخِذُونَ مِنۡهُ سَكَرٗا وَرِزۡقًا
حَسَنًاۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ٦٧
67.
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan
rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
وَأَوۡحَىٰ
رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ أَنِ ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ
وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ ٦٨
68. Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
ثُمَّ
كُلِي مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسۡلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلٗاۚ يَخۡرُجُ مِنۢ
بُطُونِهَا شَرَابٞ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِۚ إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٦٩
69.
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan
Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman
(madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.
4) Memelihara
Keturunan
Untuk memelihara keturunan,
Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa
yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan
syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan
percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan
anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah
dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang
perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.
5) Memelihara
harta benda
Meskipun pada hakikatnya
semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya
melalui jalan apapun, maka Islam
mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan
peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai
menggadai. [54]
2.
al-Hajiyyat (sekunder);
Hal-hal
yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yan
gdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan
mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi
mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah
hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu
dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam
mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk meringankan
beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum azimah
(kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi
orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam
mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi
kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah
(berniaga dengan harta orang lain)
3.
dan al-tahsiniyyat (tersier).[55]Untuk mengidentifikasi maqashidal-syari’ah (maslahah)tersebut,
menurut al-Syathibi metode yang paling tepat adalah menggunakan istiqra’
(induksi) yaitu dengan model pengembalian kesimpulan premis umum dari
sekumpulan dalil-dalil yang berserakan. Metode ini pada dasarnya memberikan
kebebasan pada akal untuk memahami sebuah nash yang kemudian dikontrol
oleh maqashidal-syari’ah. Metode di atas dipakai sebagai pisau analisa
atau kacamata untuk membaca permasalahan perusakan lingkungan.[56]
Dalam kepentingan-kepentingan
manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam
mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib
baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang
dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma
(infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah
memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau
kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah
satu diantara tiga kepentingan tersebut. [57]
D.
Fiqh Lingkungan
Selain
menggunakan metode maqashid al-syari’ah, penulis juga menggunakan metode
analisis terhadap fiqih bi’ah (fiqih lingkungan).
[58] Fiqih dalam konteks lingkungan adalah hasil bacaan dan pemahaman
manusia terhadap dalil naqli , baik yang maktubah (tertulis),
maupun yang kauniyyah (tidak tertulis) yang tersebar di alam jagat raya.
Jadi, fiqih lingkungan adalah pemahaman manusia tentang lingkungan hidup
melalui pendekatan-pendekatan holy scriptures (teks-teks suci) dan natural
signs (tanda-tanda alam) yang pada akhinya akan melahirkan suatu konsep
dan sikap mereka terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestariannya.
Oleh karena itu, pemahaman ummat terhadap ajaran Islam perlu dikembangkan dan
diperdalam agar Islam bisa dipahami secara konfrehensif.
Kerangka dasar pemahaman fiqih
lingkungan tidak dijelaskan secara terperinci
dalam bab tersendiri
melainkan masih tersebar
dalam kajian beberapa ilmu fiqih.
fiqih lingkungan tidak semata mengkaji masalah pengrusakan alam semesta, akan tetapi lebih cenderung kepada sebuah kriktik terhadap problem lingkungan versus manusia
yang menenpati ruang dalam lingkungan tersebut dimana kita melihat adanya perbedaan yang mendasar dalam menafsirkan antara kebutuhan dan melestarikan.
Kecenderungan manusia dalam mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan mereka lupa akan tugas mereka dimuka bumi sebagai khalifah. Hal tersebut menyebabkan manusia melupakan
bahwa ala mini tidak hanya harus memanfaatkan
sumber dayanya yang ada, tetapi juga harus dilestarikan agar dapat digunakan
secara terus menerus dan
berkesinambungan.
Manusia yang
memiliki keinginan dan kebutuhan yang tak terbatas membuat mereka melakukan
ekspoitassi dan eksplorasi. Eksploitasi dan eksplorasi besar - besaran ditunjukkan dengan pemanfaatan sumber daya alam dengan teknologi yang
membuat manusia melakukan pengrusakan terhadap alam. Berawal dari revolusi industry dan
teknologi dunia barat yang telah mampu
menemukan tegnologi yang dapat digunakan sebagai alat
untuk pengolahan alam,
membuat mereka merasa menguasai alam dengan
kemudahan teknologi tersebut, mereka mengenyampingkan persoalan pelestarian
alam yang sangat penting untuk kehidupan mendatang. Alasan pemenuhan kebutuhan menjadi ukuran utama dalam
perkembangan tegnologi pengolahan hasil sumber daya alam.
Berangkat dari hal itu, fiqih yang
memiliki norma - norma yang menjabarkan nilai - nilai Al Alqur’an dan Al Sunnah
harus dapatmemberikan sumbangan
yang bersifat riil
dalam membentuk pola
pikir manusia yang mampu mengatur tatanan kehidupan manusia
yang mampu mengatur tatanan kehidupannya dalam hal pembangunan yang berwawasan
lingkungan hidup. Hal ini akan mengangkat tatanan hidup manusia kearah yang
lebih baik dan tidak hanya memenntingkan ego manusia dalam eksplorasi alam,
namun lebih kepada pemanfaatan yang disertai dengan pelestarian sumber daya
alam.
Pengkajian Fiqih Lingkungan berdasarkan
pada pemahaman bagaimana manusia mampu menjaga dan melestarikan sumberdaya alam
yang ada sebagai peruwujudan manusia dalam mengolah alam semesta. Ada beberapa
hal yang terkait oleh fiqih lingkungan dimana manusia sebagai khalifah dibumi
perlu menjalankan amanatnya untuk menjaga sebagaibentuk pemeluiharaan
lingkungan hidup diantaranya yaitu :
Dalam pandangan
fiqih lingkungan setiap
jiwa dan ragaa
makhluk hidup adalah hal yang mulia. Oleh sebab itu perlu adanya
penjagaan dan perlindungan yang senantiasanya dijalankan pada setiap makhluk
hidup (manusia, hewan, tumbuhan) tanpa memandang status derajatnya.
Dalam fiqih dijelaskan pengatruran
kehidupan manusia yang mana fiqih telah mengatur tatanan interaksi manusia baik
dengan Alloh SWT. Dengan sesama manusia, dan juga hubungan manusia dengan alam.
Menyelaraskan antara tujuan dunia dan akhirat adalah bagaimana manusia dengan
alam. Menyelaraskan antara tujuan dunia dan akhirat adalah bagaimana manusia
dapat memenuhi kebutuhan daslam menjalankan
roda kehidupan namun tidak melupakan tujuan akhirat yaitu mendapatkan
ridho Allah SWT.
Fiqih lingkungan mengatur tatanan kebutuhan manusia dalam hal
memproduksi atau mengkonsumsi sesuatu harus sesuai dengan kadar kemampuan
manusia untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Hal ini didasarkan pada
larangan manusiauntuk berllebih
- lebihan dalam segala hal.
Tugas manusia untuk mengolah dan melestarikan alam tidak luput dari peran serta manusia dalammenjaga
keseimbangan ekosistem. Jika ekosistem
terjaga maka manusia
akan lebih mudah dalam memenuhi
kebutuhannya.
Selaras dengan
menjaga keseimbangan ekosistem, maka didalamnya manusia
juga harus menjaga setiap makhluk hidup didunia, sebab
makhluk hidup selain manusia dapat juga dimanfaatkan secara
seimbang tidak
diburu untuk kepunahannya.
Dari
pemikiran ini maka fiqih
lingkungan cenderung pada tatanan yang mengatur kehidupan manusia dengan
alam semesta, baik dalam hal pemanfaatan
dan juga pelestariannya. Hal
ini yang akan
menunjukkan eksistensi manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang
berdasarkan Al Qur’an dan Al Sunnah.
Sebab Islam berbicara
tentang alam mulai
dari pembentukannya yang tidak memiliki kekurangan apapun dalam
pemanfaatannya sampai pada hari akhir sebagai bentuk kerusakan bagi umat
manusia.
Dari
kesekian penjelasan tentang prisip dasar fiqih lingkungan semua berkaitan
dengan tugaas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebab manusia yang
mempunyai akal fikiran yang dapat digunakan untuk mengolah dan mengelola alam
semesta.
[24] Abdul Wahab
Khallaf, Uṣūl al-Fiqh, (Beirut: Dār al-Kuwaitiyah.1968), hal. 12. Lihat
juga Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga
Study Islam dan Kemasyarakatan, 1992), hal.86.
[27] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas
Hukum Pidana Islam”Fiqh
Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2004), hal 1.
[28] Abdul Qadir
Audah, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islāmī,
(Beirut: Dār Al Kitāb al-Araby,), hal. 67.
[31] Muslich, Ahmad
Wardi, Opcit, hjal. 136-137.
[33] Abdurrahman I
Do’i, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (PT. Rineka Cipta, Jakarta,
1992), hal. 6
[34] Ibid.,
hal. 7
[36] Muhammad Salim
al Awwa, The Basis of Islamic Penal Legislation, dalam M Cherif Bassiouni,
The Islamic Criminal Justice System, (Oceana Publication, London-Paris-New
York, 1982)., hal. 25-25
[39] Ahmad
Djazuli, Fiqh Jinayah
(Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta:
PT. RajaGrafindo, 1997), hal. 165.
[40] Drs. H. Ahmad
Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam-Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 22
[42] Ahmad Hanafi, MA., Asas-Asas Hukum Pidana
Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), hal. 13
[43] Drs. H. Ahmad
Wardi Muslich, Op. Cit., hal. 23
[45]Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 16. Lihat juga Abdul Qodir Audah, op. cit, hal. 110-111.
[46] Abu Ishaq
al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1408 H/ 1988 M), juz. 2, hal. 72.
[47] Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa
Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, (Tripoli,
cet. Pertama, 1401H/1992M), hal. 131
[48] Muhammad Fathi al-Duraini,
al-Manahij al-usuliyyah, (Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997M),
hal.48
[49] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam
al-Muwaqqi'in, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996M), jil.3, hal. 37
[52] Secara bahasa maqashid
syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan syari’ah. Maqashid
berarti kesengajaan atau tujuan, maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud
yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau
memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju
sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari
ungkapannya sendiri:
هذه الشريعة...وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى
قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا
“
Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat.” Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi
الآحكام مشروعة لمصالحالعباد
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba." Lihat Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo, I,) hal. 21, Ibnu Mandzur, Lisaan Al-‘Arab
Jilid I,( Kairo: Darul Ma’arif, tt) hal. 3642. Dan Ahmad Warson
Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. 14, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), hal. 712
[53] Al-
Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al-
Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), jilid II, hAL.
2-5.
[54] Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Bumi aksara,
Jakarta, 1992), hal 67-101 Lihat Juuga Asafri Jaya Bakri, Konsep
Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi ( Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997),
hal.. 71.
[56] Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih Versus Hermeneutika; Membaca Islam
dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2007), hal.
48.
[57] YuAbdul Wahab
Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hlm 333-343
[58] Fiqh al-Bi’ah
berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata (kalimat majemuk; mudhaf
dan mudhaf ilaih), yaitu kata fiqh dan al-bi`ah. Secara bahasa “fiqh”
berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti al-‘ilmu
bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu), al-fahmu (pemahaman)
Sedangkan secara istilah, fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum
syara’ yang bersifat praktis yang diambil daridalil-dalil tafshili (terperinci).
Adapun kata “al-bi`ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu:
Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lihat Sukarni, Fikih Lingkungan Hidup (Banjarmasin: Antasari Press,
2011) hlm. 45
[59]Alie Yafie, Merintis
Fiqih Lingkungan Hidup, (Jakarta:Tama Printing 2006), 163.
[60] Ibid, 167.
[61] Ibid, 170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar