BABA I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki wilayah
hutan terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan
bagi bangsa Indonesia, karena dilihat dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia,
pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir serta dapat menjaga kesuburan
tanah. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat ekonomis sebagai
penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena itu,
pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun
1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan
beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan
Dirjen Pengusahaan Hutan.[1]
Hutan adalah
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan
manfaat yang serbaguna yang memang mutlak diperlukan oleh umat manusia.[2] Selain berfungsi sebagai paru-paru bumi, fungsi hutan di antaranya
adalah mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta
memelihara kesuburan tanah; menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat
pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor
sehingga menunjang pembangunan ekonomi; melindungi suasana iklim dan memberi
daya pengaruh yang baik; memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya
dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman perburuan, dan taman wisata,
serta sebagai laboratorium untuk ilmu pengetahuan,
pendidikan, dan pariwisata; serta merupakan salah satu unsur strategi
pembangunan nasional.[3] Namun,
bersamaan itu pula sebagai dampak negatif atas pengelolaan hutan yang
eksploitatif dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat, pada akhirnya
menyisakan banyak persoalan, diantaranya tingkat kerusakan hutan yang sangat
menghawatirkan. [4]
Sedemikian besarnya faedah hutan bagi manusia, sehingga apabila
terjadi kerusakan seperti penebangan liar, kebakaran dan lain sebagainya maka
akan menimbulkan dampak yang kurang baik dalam tatanan hidup manusia. Hutan
secara perlahan namun pasti, menyusut keberadaannya, dengan dilakukannya
penebangan pohon, kawasannya dirambah dan tidak cepat melakukan penanaman
kembali, akibatnya bukan hanya habitat satwa yang terganggu namun juga
ekosistem alam turut berubah secara drastis, dan pada gilirannya
nanti kehidupan manusia turut terancam bahaya.
[5]
Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan
memperhatikan aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi
yang cukup mencenangkan bagi dunia Internasional. Faktanya, Indonesia
mendapatkan rekor dunia guiness yang dirilis oleh Greenpeace sebagai
negara yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia.
Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta
hektar hutan dirusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005.Sebuah tingkat
kerusakan hutan sebesar 2% setiap tahunnya.[6]
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini
tidak memperhatikan manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut,
sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Penyebab utama
kerusakan hutan adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi
karena manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan untuk Hutan
Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian. Selain itu, kebakaran
didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan
dengan pengaruh iklim memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran
hutan.
Hutan
adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.[7]Sedangkan
menurut Ensiklopedia Indonesia, hutan adalah suatu areal yang dikelola untuk
produksi kayu dan hasil hutan lainnya dipelihara bagi keuntungan tidak langsung
atau dapat pula bahwa hutan sekumpulan tumbuhan yang tumbuh bersama.[8]
Menurut
beberapa peraturan terkait dengan pemanfaatan dan pelestarian hutan,hutan
merupakan Sumber Daya Alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung
keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan
non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
rekreasi, pariwisata dan sebagainya.[9]
Luas
hutan di Indonesia berkisar 122 juta hektar, yang persebarannya di Pulau Jawa
hanya sekitar 3 juta Ha, terdiri atas 55% hutan produksi dan 45% hutan lindung.
Persebaran hutan di Indonesia kebanyakan berjenis hutan hujan tropis yang
luasnnya mencapai 89 juta hektar. Daerah-daerah hutan hujan tropis antara lain
terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Irian.
Hutan hujan tropis anggotanya tidak pernah menggugurkan daun, liananya berkayu,
pohon-pohonnya lurus dapat mencapai rata-rata 30 meter.[10]
Karena sudah terjadi setiap tahun dan sulit diberantas, maka sudah
tentu kejahatan pembakaran hutan dan lahan dilakukan secara terorganisir. Kalau
saja hanya dilakukan oleh individu-individu warga masyarakat, mungkin dampak
pembakaran hutan dan lahan tidak lah sedahsyat yang kita rasakan. Karena itu
sangat patut diduga, bahwa pembakaran hutan dan lahan dilakukan secara
terorganisir dan sistematis.Terhadap fenomena kedua, perlu dipikirkan secara
lebih komprehensif bahwa penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remedium
adalah dengan catatan. Catatan itu adalah jika ternyata sanksi lain seperti
sanksi administrasi dan sanksi perdata sudah diberikan, maka sanksi pidana
sebaiknya tidak perlu diterapkan. Namun jika sanksi administrasi dan sanksi
perdata tidak efektif, maka sanksi pidana boleh dijadikan sebagai primum
remedium (sarana penghukuman yang utama).[11]
Praktik penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan
menunjukkan bahwa sanksi administrasi dan atau sanksi perdata senyatanya tidak
memberi efek jera, sehinggga kejadian kabut asap terus berulang kali terjadi.
Dalam hal ini lah sanksi pidana seharusnya diperlukan, karena salah satu
keunggulan sanksi pidana dibandingkan sanksi lain adalah dapat memberikan efek
jera. UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup mengisyaratkan bahwa, setiap orang wajib menjaga lingkungan hidup
termasuk pemilik lahan juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab
menjaganya.Jadi tidak ada alasan membakar hutan secara sengaja atau tidak. Pada
pasal 98 ayat 1 UU No. 32 tahun 2009 menyebutkan bahwa pelaku pembakaran lahan
diancam hukuman minimal tiga tahun penjara, maksimal sepuluh tahun penjara dan
denda minimal Rp. 3 miliar. Jika kebakaran itu menyebabkan jatuhnya korban,
maka pelaku pembakaran lahan diancam hukuman minimal empat tahun penjara,
maksimal 12 tahun penjara dan denda minimal Rp 4
miliar, maksimal Rp 12 miliar.
Jika kebakaran tersebut menyebabkan hilangnya nyawa, maka pelaku diancam hukuman minimal lima tahun penjara, maksimal 15 tahun penjara dan denda minimal Rp 5 miliar, maksimal Rp 15 miliar.Sesuai pasal 116 UU Nomor 32 Tahun 2009, pidananya dijatuhkan kepada pemberi perintah dan pimpinan badan usaha, tanpa melihat apakah pembakaran lahan itu dilakukan secara perorangan atau bersama-sama. Hukuman ditambah dengan pemberatan sepertiga dibandingkan dengan pembakaran lahan yang dilakukan orang pribadi.
Jika kebakaran tersebut menyebabkan hilangnya nyawa, maka pelaku diancam hukuman minimal lima tahun penjara, maksimal 15 tahun penjara dan denda minimal Rp 5 miliar, maksimal Rp 15 miliar.Sesuai pasal 116 UU Nomor 32 Tahun 2009, pidananya dijatuhkan kepada pemberi perintah dan pimpinan badan usaha, tanpa melihat apakah pembakaran lahan itu dilakukan secara perorangan atau bersama-sama. Hukuman ditambah dengan pemberatan sepertiga dibandingkan dengan pembakaran lahan yang dilakukan orang pribadi.
Dalam perspektif Islam, pendekatan sistem melihat
lingkungan alam, manusia dan agama dalam sifat mutualism dan terintegrasi.
Ekosistem lingkungan adalah keseluruhan yang terintegrasi, yang sifat-sifatnya
unit dan lebih kecil. Pendekatan sistem tidak melihat manusia sebagai subjek (yang)
dan lingkungan sebagai objek (ying), tetapi kedua-duanya mutualism.
Sebagai agama yang diturunkan menjadi rahmat bagi alam semesta, Islam
sesungguhnya mempunyai pandangan yang holistik terhadap lingkungan. Pelestarian
alam dan lingkungan hidup ini tidak terlepas dari peran manusia, sebagai
khalifah di muka bumi, sebagaimana disebut di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 30:
وَإِذۡ
قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ ٠ ….
Artinya:
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi….” (QS. Al-Baqarah [2]:
30).
Jelaslah tugas manusia di muka bumi, terutama kaum Muslimin,
sebagai khalifah[12] (pemimpin) dan wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola
lingkungan hidup). Dengan demikian, pendekatan sistem menjadi dasar misi
manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah memelihara lingkungan hidup,
dilandasi visi bahwa manusia harus lebih mendekatkan diri kepada Allah. Perangkat
utama dari misi tersebut adalah kelembagaan, penelitian dan keahlian. Adapun
tolok ukur pencapaian misi ini adalah mutu lingkungan. Berdasarkan “Teorema
sistem” ini, kerusakan lingkungkan merupakan cerminan dari turunnya kadar
keimanan manusia. Rasulullah Saw dan para sahabat telah memberikan teladan
pengelolaan lingkungan hidup yang mengacu kepada tauhid dan keimanan. Seperti dikatan
oleh Sir Thomas Arnold (1931), Islam mengutamakan kebersihan sebagai standar
lingkungan hidup. Standar inilah yang mempengaruhi pembangunan Kota Cordoba. Islam
menjadikan Kota Cordoba memiliki tingkat peradaban tertinggi di Eropa pada masa
itu. Cordoba merupakan kota dengan 70 perpustakaan berisi ratusan ribu koleksi
buku, 900 tempat pemandian umum dan pusatnya segala macam profesi tercanggih
pada masa itu. Kebersihan dan keindahan kota tersebut menjadi, standar
pembangunan kota lain di Eropa. Ringkasnya, Islam mempunyai masterplan
pembangunan kota yang ramah lingkungan dan berorientasi pada keseimbangan (equilibirium)
antara kebutuhan ekonomis dan ekologis masyarakatnya.[13]
Namun hukum pidana Islam tidak menetapkan hukum tertentu bagi
pelaku pembakaran hutan dan lahan. Apakah termasuk had atau ta’zir.
Kalaupun termasuk ta’zir, seperti apa ketentuan hukum bagi pelaku pembakaran
hutan dan lahan tersebut? Hal inilah yang akan dijawab dalam penelitian ini.
Atas dasar diskurusus tersebut, saya ingin meneliti persoalah hukum
pidana bagi pelaku pembakaran hutan ini
menurut tinjauan hukum Islam secara konfrehensif, yang kemudian peneliti kemas
dengan judul: Tindak Pidana Bagi Pembakar Hutan Perspektif Hukum Pidana
Islam.
B. Definisi
Istilah
Untuk memudahkan dalam memahami dan
menela’ah penelitian ini, Penulis membuat batasan pengertian istilah yang
berhubungan dengan judul tesis ini. Adapun istilah-istilah tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Tindak
pidana
Pengertian Tindak pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai
ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar
larangan tersebut.[14] Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu
diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuataan, (yaitu suatu keadaan atau
kejadiaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya
ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada
hubungan yang erat, oleh karena antara kajadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan hubungan
yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak
yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang
tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”.
Istilah ini, karena timbulnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai
dalam perundang-undanagan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjukkan pada suatu yang abstrak
seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan konkrit, sebagaimana halnya
dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku,
gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang . Oleh karena tindak sebagai kata
tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah
tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir
selalu dipakai pula kata perbuatan. Contoh: U.U no. 7 tahun 1953 tentang
pemilihan umum (pasal 127, 129 dan lain-lain. [15]
Menurut Prof. Dr.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di indonesia
memberikan definisi “tindak pidana”atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit,
yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum
pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. [16]
Sedangkan dalam buku
Pelajaran Hukum Pidana karya Drs. Adami Chazawi, S.H menyatakan bahwa istilah
tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang
dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah
itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat. [17]
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang
ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah
strafbaar feit adalah:
a.
Tindak pidana, berupa
istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan
perundang-undangan kita menggunakan istilah ini.
b.
Peristiwa pidana, digunakan
oleh beberapa ahli hukum misalnya, Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum
Pidana.Dan para ahli hukum lainnya.
c.
Delik, berasal dari bahasa
latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya Drs.
E. Utrect, S.H.
d.
Pelanggaran Pidana,
dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh Mr. M.H
Tirtaamidjaja.
e.
Perbuatan yang boleh
dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya”Ringkasan tentang
Hukum Pidana”.
f.
Perbuatan yang dapat
dihukum, digunakan dalam pembentukan undang-undang dalam UUD No. 12/Drt/1951
tentang senjata api dan bahan peledak (baca pasal 3).
2. Perspektif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perspektif berarti :
a. Cara melukiskan suatu benda pada permukaan
yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang,
lebar, dan tingginya);
b. Sudut pandang; pandangan;
c. Gelombang Ling pandangan dari sudut satuan
kompleks bahasa sebagai wujud yang bergerak, yang mempunyai bagian awal, inti,
dan bagian akhir; pandangan dinamis;
d. Medan Ling pandangan dari sudut satuan
bahasa sebagaimana satuan itu berhubungan dengan yang lain dalam suatu sistem
atau jaringan; pandangan relasional;
e. Partikel Ling pandangan dari sudut satuan
bahasa sebagai unsur yang lepas; pandangan statis. [19]
Pengertian perspektif secara umum merujuk pada suatu
perangkat nilai, perangkat gagasan, kerangka konseptual dan perangkat asumsi
yang berpengaruh terhadap persepsi seseorang sehingga akhirnya akan
mempengaruhi tindakan seseorang yang berada dalam kondisi tertentu.
Menurut Martono seorang ilmuwan sosial mengungkapkan
bahwa arti kata perspektif ialah cara pandang terhadap sebuah masalah dengan
menggunakan sudut pandang tertentu dalam melihat fenomena tersebut. Ardianto
dan Q-Anees juga mengungkapkan arti kata perspektif adalah sudut pandang atau
cara pandang kita terhadap suatu hal.
Secara etimologi perspektif dapat diartikan sebagai
cara seseorang dalam melakukan penilaian akan sesuatu hal yang diungkapkan baik
secara lisan maupun tertulis. Hampir setiap hari banyak orang selalu berupaya
mengungkapkan sudut pandang dan perspektif mereka tentang berbagai macam hal.
Misalnya: maraknya orang-orang yang mengungkapkan setiap sudut pandangnya akan
suatu hal melalui media sosial dengan cara teratur menulis dan memperbaharui
status media sosialnya. Hal tersebut merupakan contoh nyata dalam keseharian
kita di mana perspektif dituangkan dalam sebuah tulisan.
Perspektif adalah sudut pandang, sudut pandang dalam melihat,
menilai sesuatu dan bersifat subjektif karena perspektif itu sangat tergantung
oleh “siapa” yang melakukannya. Dengan demikian perspektiflah yang mendasari
opini kemudian membentuk mindset atau pola pikir seseorang.
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang
sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan
cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang
menjadi dasarnya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang
dipandangnya.
Perspektif dapat membimbing seseorang untuk menentukan bagian yang
relevan dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk
dipandang secara rasional. Secara ringkas dapat disi mpulkan bahwa perspektif
adalah sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi cara pandang
manusia, sehingga menghasilkan
tindakan dalam suat konteks
situasi atau hal tertentu
Sedangkan pada Wikipedia English dijelaskan makna dari perspektif adalah “one’s “point of view”,
the choice of a context for opinions, beliefs and experiences”, “the related
experience of the narrator”. Dari beberapa pengertian diatas,
dapat disimpulkan bahwa
perspektif merupakan suatu sudut pandang seseorang dalam melihat
suatu fenomena atau peristiwa dan bersifat subjektif.
[20]
3. Hukum Pidana Islam
Term Hukum Pidana Islam merupakan khas Indonesia yang penggunaan kesehariaannya mengandung ambiguitas (kerancuan),
yaitu sebagai padanan syari’ah (hukum yang diwahyukan Allah yang
tertuang dalam al-Qur’an dan hadits sebagai
sumber orisinil Hukum Islam) di satu sisi, dan sebagai padanan fiqih (norma-norma hukurn hasil olahan syari’ah oleh
para ulama) di pihak lain.[21]
Adapun Hukum Pidana Islam yang dimaksudkan di dalam penelitian ini mencakup dua hal di
atas, yaitu syari’at dan fiqih.
Dengan
demikian, maksud judul di atas adalah menganalisa ketentuan apresiasi Islam
dalam hal memproduktifkan hutan dan lahan yang mati (ihya’ al-mawat) serta
hukum pidana Islam bagi pelaku pembakaran hutan.
C.
Permasalahan
Apabila kita perhatikan dengan seksama
latar belakang masalah tersebut, maka kita menjumpai banyak masalah yang saling
berkaitan, karena kajian ini adalah bidang hukum pidana Islam, maka
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kajian istinbāth hukum (kajian
dalam ilmu fiqh). Tampak dalam latar belakang tersebut bahwa persoalan
keinginan untuk membuka lahan hutan menjadi lahan pertanian atau industri,
merupakan akar permasalahan besar sebagai penyebab terjadinya pembakaran
hutan yang mengakibatkan terjadinya banyak kerusakan pada lingkungan baik
alam, hewan dan bahkan manusia itu sendiri. Kepunahan dan kerusakan siklus
ekosistim alam sehingga menimbulkan bencana dimana-mana yang akhirnya
menjejaskan kehidupan manuasia itu sendiri.
Dalam kajian hokum pidana islam ini akan
dilihat aspek pandang Islam tentang pelaku pembakaran yang berakibat terhadap
kerusakan lingkungan yang menjejaskan keselamatan manusia itu sendiri.
1.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang
masalah di atas, dan dari judul yang telah ditetapkan, maka akan muncul
beberapa permasalahan yang membutuhkan jawaban. Permasalahan-permasalahan
tersebut antara lain adalah:
a.
Dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan.
b.
Apresiasi Islam terhadap memproduktifkan hutan
(Ihya’ al-Mawat).
c.
Tinjauan hukum pidana Islam fiqih lingkungan bagi pelaku pembakaran
hutan.
d.
Klasifikasi (had atau ta’zir) pelaku pembakaran hutan.
2.
Batasan Masalah
Dari sekian banyak permasalahan yang
muncul dari judul di atas, maka untuk lebih terarahnya penelitian ini, penulis
membatasinya pada apresiasi Islam terhadap memproduktifkan (Ihya’ al-Mawat)
hutan serta ketentuan hukum Islam bagi pelaku pembakaran hutan.
3.
Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas,
maka permasalahan yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini adalah:
a.
Bagaimana
apresiasi Islam terhadap memproduktifkan hutan (Ihya’ al-Mawat)?
b.
Bagaimana
tinjauan hukum pidana Islam bagi pelaku pembakaran hutan?
D.
Tujuan Penelitian
Berpijak dari
rumusan masalah yang telah ditetapkan tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah:
a.
Untuk
mengetahui bagaimana apresiasi Islam terhadap memproduktifkan hutan dan
lahan (Ihya’ al-Mawat).
b.
Untuk
mengetahui tinjauan hukum pidana Islam bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan.
E.
Manfaat dan Urgensi Penelitian
Adapun manfaat
penelitian ini dapat tinjau dari dua (2) sisi :
Pertama : Secara
akademis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah yang sangat
berharga terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum Islam khususnya dibidang
kajian ilmu Ushūl fiqh, yaitu teori ulamā dalam menetapkan
hukum dari sumber utamanya yaitu al-Qur’ān dan al-Hadīts yang
masih bersifat umum.[22]
Ternyata banyak metode dan berbeda yang dipergunakan oleh ulamā dalam
menggali hukum dari al-Qur’an dan al-Hadīts sesuai dengan madzhab
yang mereka buat atau bentuk. Sehingga membuka cakrawala intelektual kita dalam
memutuskan sebuah hukum bila diperlukan. Temuan-temuan yang dihasilkan nantinya
diharap dapat memberikan dorongan kepada peneliti berikutnya untuk memformulasikan
teori hukum baru dalam rangka menjawab persoalan hukum yang berkembang sejalan
dengan perkembangan masyarakat.
Sedangkan secara administratif adalah untuk memenuhi tugas
akhir sebagai syarat memperoleh gelar megister dalam bidang hukum Islam (MH) di
Program Pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau.
Kedua: Secara
praktisi hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dalam
upaya pembinaan dan pengembangan Hukum Pidana Islam, sehingga senantiasa
dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, terutama para ulamā dalam
mensyiarkan agama Islam dan hakim dalam mempertimbangkan
putusannya dalam perkara hukum. Kajian ini sangat penting untuk mengembangkan
kerangka pikir dalam metode penetapan hukum sehingga dapat mengikuti
perkembangan zaman.
F.
Sistematika Penulisan
Untuk
lebih jelas dan mudah dipahami pembahasan dalam penelitian
ini, penulis memaparkan dalam
sistematika penulisan yang mengacu kepada Buku Panduan Penulisan Tesis Dan
Desertasi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau tahun 2015.[23]
Adapun tesis ini terdiri dari lima
(5)
bab sebagai berikut :
Bab
I, merupakan bab pendahuluan yang memaparkan
latar belakang masalah, masalah-masalah secara umum, Batasan masalah, rumusan
masalah, tujuan, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan
Bab
II, berisi tentang kerangka teoritis yang meliputi tinjauan umum yang secara
deskriptif meliputi tentang pembahasan pengertian ‘Tindak Pidana dan Hukum
Pidana Islam.
Bab III, berisi tentang metode penelitian,
sumber data (primer dan sekunder) dilanjutkan dengan tehnik
pengumpulan data
Bab IV, berisi tentang dampak pembakaran hutan, ketentuan islam tentang ihya
al-mawat, ketentuan fiqh tentang hukum
pidana bagi pembakar hutan dan fiqih lingkungan, pandangan
fiqih lingkungan tentang lingkungan hidup, klasifikasi manakah (had atau
ta’zir) pelaku pembakaran hutan dan lahan.
Bab V penutup, berisi kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan
disimpulkan temuan-temuan dari penelitian tentang judul tesis ini yang akan
dikemas dengan bahasa yang singkat dan padat. Selanjutnya akan dilengkapi
dengan rekomendasi.
[1]Suriansyah
Murhaimi, Hukum Kehutanan; Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Bidang
Kehutanan, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2012), hal. 53-54.
[2] Wanggai Frans, Manajemen Hutan, (Grasindo, Jakarta, 2009), hal.
2.
[3]Suparmoko, Ekonomi
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPFE YOGYAKARTA, (Yogyakarta, 1997), hal. 239.
[4] Abdul Khakim, Pengantar Hukum
Kehutanan Indonesia (Dalam
Era Otonomi Daerah), (Citra Aditya Bakti Cet.1, Bandung,
2005), hal. 1.
[5] Bambang Pamulardi,
Hukum Kehutanan dan Pembangunan
BidangKehutanan, (Rajagarafindo Persada, Jakarta, 1996), hal. 1-2.
[7]Lihat pasal 1
angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
[8]Abdul Hakim, Pengantar
Hukum Kehutanan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Baktim, 2005), hal. 48.
[11] HS. Salim, Dasar-dasar
Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 37.
[12] Pengertian khalifah
menurut etimologi berasal dari akar kata kha, lam, fa, mempunyai tiga makna
pokok yaitu mengganti, belakang dan perubahan. Lihat Abu Al-Husain bin Ahmad
bin Faris bin Zakariyah, Maqayis al-Lughah. hal. 210. Menurut terminologis,
pengertian khalîfah ditemukan beberapa pendapat, antara lain; menurut Al-Sayuti
menukilkan pendapat Salman Al-Farisiy dan Muawiyah bahwa Khlaifah adalah kepala
pemerintahan umat Islam. Abd. Al-Rahman Jalal al-Din Al-Sayuti, Al-Durr
Al-Mansyur fi Al-Tafsir Al-Mantsur, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983), hal. 169. Sedangkan ditinjau dari sudut filosofis, maka istilah
khalifah dalam arti pengganti atau pemimpin, ada dua pandangan yang
berbeda-beda yaitu:1) menyatakan bahwa manusia sebagai species telah
menggantikan species lain yang sejak itu manusia bertempat tinggal di muka
bumi, karena diakui bahwa jin mendahului manusia, maka manusia sebagai
pengganti jin;2) pandangan kedua tidak perlu mempertimbangkan
pendahulu-pendahulu manusia atau siapa mahluk sebelum manusia di muka bumi ini.
Uraian lebih lanjut lihat Abd. Rahman Sileh Abaullah, Teori-teori Pendidikan
Berdasarkan Al-Qur’an (Cet. I;
Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 46.
[13]Adnan Harahap,
dkk, Islam dan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Penerbit Yayasan Swarna
Bhumy, 2001), hal. 83-84.
[16] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana
Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 58.
[19] Lihat Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta; PT. Gramedia, 2008), hal. 855
[22] Lihat Wahbah Zuhaili, al-Wajīz Fī
Ushūl al-Fiqh, cet. I, (Damaskus; Dar al-Fikri al-Mu’ashirah, 1999), hlm.
13
[23] UIN Suska Pekanbaru, Buku Panduan
Penulisan Tesis Dan Desertasi, (Pekanbaru; PPs UIN Suska, 2015), hlm. 11-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar